BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Islam adalah agama
wahyu dan akal. Wahyu mempunyai kedudukan tersendiri, begitu juga akal. Islam
menghargai akal dan menempatkannya pada tempat yang layak, sesuai fitrah
manusia dan fungsi akal itu sendiri. Bila kita membuka Al Qur’an maka pasti
kita akan menemukan kata “al-`aql”
beserta pecahan kalimat dan perubahannya lebih dari lima puluh kali, begitu
juga kata “Ulu l-albab” yang disebut
hingga sepuluh kali lebih. Tujuannya adalah agar manusia benar-benar
menggunakan akal yang dianugrahkan secara maksimal dan benar. Selain itu
Al-Qur’an menjelaskan bahwa salah satu sebab terjerumusnya manusia ke dalam api
neraka adalah tidak menggunakan akal dengan baik.[1]
Kedudukan akal dan wahyu dalam Islam
menempati posisi yang sangat terhormat, melebihi agama-agama lain. karena Akal dan wahyu adalah suatu yang
sangat urgen untuk manusia, dialah yang memberikan perbedaan manusia untuk
mencapai derajat ketaqwaan kepada sang kholiq, akal pun harus dibina dengan
ilmu-ilmu sehingga mnghasilkan budi pekrti yang sangat mulia yang menjadi dasar
sumber kehidupan dan juga tujuan dari baginda rasulullah SAW. Tidak hanaya
itu dengan akal juga manusia bisa menjadi ciptaan pilihan yang allah
amanatkan untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini, begitu juga dengan wahyu
yang dimana wahyu adalah pemberian allah yang sangat luar biasa untuk
membimbing manusia pada jalan yang lurus.
Namun dalam menggunakan akal terbatas akan hal-hal bersifat
tauhid, karena ketauhitan sang pencipta tak akan terukur dalam menemukan titik
akhir, begitu pula dengan wahyu sang Esa, karena wahyu diberikan kepada
orang-orang terpilih dan semata-mata untuk menunjukkan kebesaran Allah. Maka
dalam menangani anatara wahyu dana akal harus slalu mengingat bahwa semua itu
karna allah semata. Dan tidak akan terjadi jika allah tak mengijinkannya. Hal
tersebut dilakukan untuk mencegah kemusyrikan terhadap allah karena
kesombongannya.
B.
Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas dapat diambil beberapa
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
a. Apa Pengertian Akal?
b. Apa Fungsi Akal?
c. Apa Kekuatan Akal?
d. DimanaTempat Akal?
e. Akal untuk manusia?
f. Apa Tanda-tanda oran berakal?
g. Apa Kegunaan dari akal?
h. Apa Pentingnya akal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Akal
Kata akal sudah menjadi kata
Indonesia, berasal dari kata Arab al-‘Aql
(العـقـل), yang dalam bentuk kata benda. Al-Qur’an
hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluuh
(عـقـلوه) dalam 1 ayat, ta’qiluun (تعـقـلون) 24 ayat, na’qil (نعـقـل)
1 ayat, ya’qiluha (يعـقـلها) 1 ayat dan ya’qiluun
(يعـقـلون) 22 ayat, kata-kata itu datang dalam arti
faham dan mengerti. Maka dapat diambil arti bahwa akal adalah peralatan manusia
yang memiliki fungsi untuk membedakan yang salah dan yang benar serta
menganalisis sesuatu yang kemampuanya sangat luas.
Kata akal berasal dari kata dalam
bahasa Arab, al-‘aql. Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata ‘Aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang
maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro
“ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya, maknanya
adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca
indra.[2]
Dalam pemahaman Prof. Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliyyah dipakai dalam arti
kecerdasan praktis (practical
intelligence) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan
memecahkan masalah (problem-solving
capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai
kecakapan untuk menyelesaikan masalah. Bagaimana pun kata ‘aqala mengandung arti mengerti, memahami dan berfikir. Sedangkan Muhammad Abduh berpendapat bahwa akal adalah: sutu daya yang hanya dimiliki
manusia dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.[3]
Imam Abu Ja’far Muhammad Al-Baqir berkata, "Ketika Allah
menciptakan akal, Dia mengajaknya berbicara. Allah berkata, ‘Menghadaplah
(kepada-Ku)!’ Maka, akalpun segera menghadap. Kemudian Allah berfirman
kepadanya, ‘ Demi kebesaran dan kemuliaan-Ku, tiada makhluk yang lebih Aku
cintai daripada kamu. Dan tidak Aku sempurnakan kamu melainkan pada orang-orang
yang Aku cintai. Kepadamulah Aku menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi
pahala.’"
Dalam mensyarahi hadis di atas, Allamah Majlisi dalam kitab Mir’at
al-‘Uqul menyatakan bahwa ’aql (akal) secara bahasa berarti
pengikatan dan pemahaman terhadap sesuatu. Secara istilah, akal digunakan untuk
menunjukkan salah satu definisi berikut ini:[4]
1.
Kemampuan
untuk mengetahui sesuatu.
2.
Kemampuan
memilah-milah antara kebaikan dan keburukan yang niscaya juga dapat digunakan
untuk mengetahui hal-ihwal yang mengakibatkannya dan sarana-sarana yang dapat
mencegah terjadinya masing-masing dari keduanya.
3.
Kemampuan
dan keadaan (halah) dalam jiwa manusia yang mengajak kepada kebaikan dan
keuntungan dan menjauhi kejelekan dan kerugian.
4.
Kemampuan
yang bisa mengatur perkara-perkara kehidupan manusia. Jika ia sejalan dengan
hukum dan dipergunakan untuk hal-hal yang dianggap baik oleh syariat, maka itu
adalah akal budi. Namun, manakala ia menjadi sesuatu yang mbalelo dan
menentang syariat, maka ia disebut nakra` atau syaithanah.
5.
Akal
juga dapat dipakai untuk menyebut tingkat kesiapan dan potensialitas jiwa dalam
menerima konsep-konsep universal. An-nafs an-nathiqah (jiwa rasional yang
dipergunakan untuk menalar) yang membedakan manusia dari binatang lainnya.
6.
Dalam
bahasa filsafat, akal merujuk kepada substansi azali yang tidak bersentuhan
dengan alam material, baik secara esensial (dzaty) maupun aktual (fi’ly).
Definisi-definisi yang dipaparkan Allamah Majlisi di atas
mengandung ketumpang-tindihan terminologis. Dengan sedikit kecermatan, kita
bisa mendapatkan persamaan makna pada tiap-tiap definisi yang diberikan.
Misalnya definisi kesatu, kedua, dan ketiga itu dapat dikatakan identik, meski
dipandang dari perspektif yang sedikit berbeda. Definisi keempat memberikan
gambaran umum tentang akal melalui bahasa syariat yang dapat dibedakan dari
definisi-definisi sebelumnya hanya dari sisi detailnya. Definisi kelima
berupaya mengembalikan makna akal sebagai suatu potensi pencerapan yang
bersifat pasif. Definisi keenam memandang akal dari sisi penalarannya yang
bersifat aktif. Dan definisi ketujuh, agak berbeda dari yang sebelumnya,
memandang akal dari perspektif ontologisnya. Namun demikian, masing-masing
definisi ini sama sekali tidak dapat dipertentangkan. [5]
Dalam mensyarahi hadis yang sama, Mulla Shadra dengan tegas
memaknai ‘aql di sini sebagai kepribadian Nabi Muhammad Saww. - dalam
seluruh martabat wujud beliau. Karena menurutnya, semua sifat yang diberikan
Allah kepada akal itu identik dengan sifat-sifat Nabi Muhammad Saww. yakni:
7.
Dalam
hadis ini digambarkan bahwa Allah mengajak akal "berbicara". Dan ini
sama halnya dengan Allah mengajak Nabi berbicara dalam perjalanan Mikraj
beliau.
8.
Hadis
ini menegaskan ketaatan akal kepada Allah. Ketaatan Nabi kepada Allah itu
bersifat aksiomatis.
9.
Dalam
hadis di atas Allah menandaskan kecintaan-Nya yang luar biasa kepada akal.
Dalil-dalil rasional dan riwa`iy (riwayat) menegaskan bahwa Nabi adalah
makhluk yang paling dicintai Allah.
10.
Keimanan
terhadap wujud Nabi atau kepada kenabian beliau ialah syarat mutlak
kesempurnaan tauhid. Dan kesempurnaan tauhid adalah anugerah agung dan luas
yang tidak Allah berikan kecuali kepada para kekasih-Nya.
11.
Dan
sifat terakhir yang tercantum di dalam hadis ini adalah bahwa kepada akal-lah
Allah menyuruh, melarang, menyiksa, dan memberi pahala. Allah berfirman,
øÎ)ur xs{r& ª!$# t,»sWÏB z`¿ÍhÎ;¨Y9$# !$yJs9 Nà6çG÷s?#uä `ÏiB 5=»tGÅ2 7pyJõ3Ïmur ¢OèO öNà2uä!%y` ×Aqßu ×-Ïd|ÁB $yJÏj9 öNä3yètB £`ãYÏB÷sçGs9 ¾ÏmÎ/ ¼çm¯RãÝÁYtGs9ur 4 tA$s% óOè?ötø%r&uä ôMè?õs{r&ur 4n?tã öNä3Ï9ºs Ìô¹Î) ( (#þqä9$s% $tRötø%r& 4 tA$s% (#rßpkô$$sù O$tRr&ur Nä3yètB z`ÏiB tûïÏÎg»¤±9$# ÇÑÊÈ
Artinya:
"(Ingatlah) ketika Allah mengambil janji para nabi (yaitu), sungguh apa
yang Aku datangkan kepada kalian berupa kitab dab hikmah. Kemudian, datanglah
kepada kalian utusan yang membenarkan apa yang ada pada kalian dan berkata,
‘Hendaklah kalian beriman kepadanya dan menolongnya.’ Allah berkata, ‘Adakah
kalian akui dan ambil janji-Ku itu!’ Mereka menjawab, ‘Kami mengakuinya.’
Berkata Allah, ‘Bersaksilah! Sesungguhnya Aku beserta kalian akan menjadi
saksi.’" (QS Ali’ Imran, 3:81).[6]
Jelas
bahwa kepada Nabi Muhammad Saw. Allah memberi perintah dan larangan dan karena
beliau pulalah Allah menurunkan pahala dan siksa.
Dengan ungkapan yang agak berbeda, Allamah Thabathaba`i
menarik kesimpulan yang sama. Dalam magnum opus-nya, Al-Mizan, Allamah Thabathaba`i
menye-butkan, dengan mengutip sebuah hadis masyhur, bahwa akal adalah sesuatu
yang dengannya Allah di-sembah. Dengan kata lain, akal adalah lentera yang
dengannya seseorang dapat mengenali "Wajah" Allah. Ini berarti bahwa
peran yang dimainkan akal itu sama sekali tidak berbeda dengan peran yang
dibawa oleh Nabi. Dan kesimpulan ini jelas tidak berbeda dengan kesimpulan
Mulla Shadra yang mengatakan bahwa akal itu identik dengan Nabi Muhammad Saww.
Dari sudut yang berbeda, dapat kita katakan bahwa akal
adalah manifestasi dan petunjuk internal dari keberadaan Nabi. Muhammad adalah
inti wujud segenap nabi dan senjata pamungkas kerasulan. Bagaimanapun juga,
manifestasi mesti mencerminkan obyek dasarnya. Dengan demikian, semua ucapan,
amalan, dan penegasan Nabi Muhammad Saww. pasti bersifat rasional. Lebih jauh,
Nabi Muhammad Saww. adalah kriteria rasionalitas dan irasionalitas segala
sesuatu.
Dan Alquran yang merupakan tajally yang paling sempurna
dari haqiqah muhammadiyyah (hakikat ke-Muhammad-an) dapat pula memainkan
peran yang sama. Inilah metode penggabungan sisi intelektual, rasional, dan
teoretis manusia atau masyarakat dengan sisi individual, sosial, dan praktisnya
dalam pandangan-dunia Islam. Pandangan-dunia Islam menggunakan metode ini untuk
membangun infrastruktur (rasio), struktur (masyarakat), dan suprastruktur
(pemerintahan) sosial kemasyarakatan.
Muhaqqiq al-Lahiji menulis demikian, "Akal dan ruh, sirr
dan khafy, jiwa rasional dan kalbu adalah hakikat yang sama. Namun,
karena dzuhur (manifestasi) yang terjadi pada berbagai gradasi
eksistensialnya, maka mereka memiliki hukum dan sifat yang berbeda-beda sesaui
dengan tingkat eksistensialnya. Oleh sebab itu para ulama memberikan pada
masing-masingnya nama yang berbeda-beda" .[7]
Iqbal dan Idbar
Ada banyak kemungkinan makna iqbal (kemenghadapan)
dan idbar (keberpalingan). Boleh jadi, makna menghadap dan berpalingnya
akal itu bersifat hakiki dan bukan majasi. Karena banyaknya manusia yang dengan
akalnya menjadi taat kepada Allah (iqbal) dan ada pula yang tidak.
Kemungkinan ini, tentunya bertentangan dengan teori Mulla Shadra yang kami
paparkan di atas. Sebab Nabi Muhammad Saww. mustahil tidak taat kepada Allah.
Mungkin juga makna dari menghadap dan perginya akal itu
bersifat takwiny (kreatif atau berkaitan dengan penciptaannya). Sehingga
jika akal dalam keadaan menghadap, maka ia dapat melakukan
penyempurnaan, pendekatan-diri kepada Allah, dan transendensi. Sebaliknya,
kalau ia dalam keadaan berpaling, maka ia mengalami keme-rosotan dan
kehancuran maknawi. Teori ini tidak sesuai dengan pendapat Mulla Shadra dan
Allamah Thabathaba`i di atas. Kedua kemungkinan makna ini diajukan oleh Allamah
Majlisi dalam kitabnya yang sama.
Kemungkinan lain adalah bahwa makna keduanya mengacu kepada
istilah para sufi mengenai qabdh (penyem-pitan dan penggenggaman) dan basth
(pelapangan dan pe-longgaran [dari ikatan atau genggaman]). Menurut Qusyairi,
kedua keadaan tersebut adalah maqam-maqam yang dilalui oleh para penempuh jalan
spiritual.
"Keduanya akan tampak setelah seorang hamba melewati
keadaan takut dan harap. Keadaan sempit bagi para sufi
atau arif itu sama dengan keadaan takut bagi murid. Keadaan lapang
bagi arif itu sama dengan keadaan harap bagi seorang murid," ungkap
Qusyairi.
Para sufi berpendapat bahwa kedua keadaan itu, baik bagi
arif maupun murid, selalu bergonta-ganti dalam kalbu seorang mukmin yang
berjalan meniti sirath al-mustaqim (jalan yang lurus).
Kamaluddin Abdurrazzaq Al-Kasyani menerangkan kedua keadaan
ini sebagai berikut, "Keadaan lapang pada kalbu sama dengan keadaan
harap pada jiwa manusia. Ia adalah keadaan hati yang mengisyaratkan
penerimaan (qabul yang berasal dari akar-kata yang sama dengan iqbal),
kelembutan (luthf), rahmat, dan keintiman hati dengan Allah (uns).
Sebaliknya, keadaan sempit sepadan dengan keadaan takut pada
jiwa. Keadaan lapang pada sang mahabenar adalah saat Allah melapangkan
seorang hamba yang hidup secara lahir di tengah masyarakat dan menyempitkannya
dan merangkulnya untuk Diri-Nya sendiri secara batin sebagai rahmat
bagi hamba tersebut. Maqam ini menjadikan hamba tersebut dapat mencakupi segala
sesuatu, tapi tidak dicakupi oleh sesuatu apapun (selain daripada Allah). Dia
dapat mempengaruhi segala sesautu (dengan izin Allah) dan tidak dipengaruhi
oleh apapun (selain daripada-Nya).[8]
Imam ‘Ali pernah berkata, "Kalbu mempunyai keadaan ingin,
menghadap dan mengungkur. Maka, datangilah kalbu ketika ia dalam
keadaan ingin dan menghadap. Karena, bila kalbu itu sudah tidak
ingin, maka ia menjadi buta."
Seyogyanya, seorang bertanya tentang bagaimana korelasi
antara akal dalam pembahasan ini dan keadaan-keadaan kalbu yang saya sebutkan.
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin mengembalikan perhatian Anda kepada
premis yang saya nukil dari seorang filosof agung di atas, Muhaqqiq Lahiji.
Dalam bukunya tersebut, dia membawakan pembuktian filosofis dan demonstratif
akan korelasi antara akal dan kalbu. Bahkan, lebih jauh, Lahiji mengemukakan
dalil-dalil tentang kesatuan keduanya. [9]
B.
Fungsi
Akal
Akal banyak memiliki fungsi dalam
kehidupan, antara lain:
1.
Sebagai tolak ukur akan kebenaran
dan kebatilan.
2.
Sebagai alat untuk menemukan solusi
ketika permasalahan datang.
3.
Sebagai alat untuk mencerna berbagai
hal dan cara tingkah laku yang benar.[10]
Oleh para
filosof muslim, akal (al-‘aql) biasanya dibagi menjadi dua macam, akal praktis
dan akal teoretis. Namun, karena kita berbicara tentang akal sebagai sumber
pengetahuan, sedangkan akal praktis berkaitan dengan tindakan (etika), di sini
kita akan lebih terfokus pada akal teoritis. Kita telah mendiskusikan tidak
hanya kemampuan dan kelebihan panca indera lahir, tetapi juga
kekurangan-kekurangannya. Misalnya, tidak semua gelombang cahaya dapat
ditangkap oleh mata kita, seperti halnya tidak semua gelombang suara
berfrekuensi antara 15-20000 hertz yang dapat diterima sebagai suara oleh
telinga kita. Atau dengan contoh lain, hanya separuh dari bulan yang dapat
ditangkap oleh mata pada saat kita memandangnya. Untuk menyempurnakan kesan
indra ini agar menjadi “pengetahuan sebagaimana adanya”, kita dapat
menyempurnakan pengetahuan kita tentang bentuk bulan yang seutuhnya, dan bukan
hany separuh sebagaimana yang dikesankan oleh mata kita.
Pertanyaan
penting sekarang adalah bagaimana sebenarnya akal dapat menyempurnakan
pencerapan indra kita dan memperbaiki kekeliruan-kekeliruan kesan yang
diterimya? Manusia dibedakan dari hewan oleh kecakapan mental yang luar biasa,
yang tidak dimiliki oleh hewan apapun, yaitu akal. Akal dapat melakukan hal-hal
yang tidak bisa dilakukan oleh indra-indra kita (baik lahir maupun batin),
yaitu kemampuan untuk bertanya secara kritis. Akal, misalnya, dapat bertanya
tentang di mana sebuah “benda” berada. Akal juga dapat bertanya tentang kapan
suatu peristiwa yang kita dengar terjadi. Demikian akal juga ia mampu bertanya
tentang apa yan menyebabkan peristiwa itu, oleh siapa, dan bagaimana. Memalui
kemampuannya untuk menanyakan beberapa hal penting seperti tersebut di atas
apa, dimana, kapan, mengapa,, bagaimana, siapa dan lain-lain. Akal telah
menjadi sumber informasi yang luar biasa kayanya dengan menjawab semua
pertanyaan tersebut, yang semuanya tidak bisa dipasok oleh indra. Dengan
demikian, kita tidak bisa lagi meragukan lagi pentingnya akal sebagai sumber
pengetahuan kita, yang tanpanya manusia akan berada dalam kegelapan.
Bagaimanakah hal itu (kemampuan perangkat-perangkat, atau konstruksi-konstruksi
mental, atau apa yang oleh Immanuel Kant disebut sebagai kategori-katergori,
seperti kategori ruang, waktu, substansi, kausalitas, relasi, dan kuantitas.[11]
Namun
kelebihan yang paling istimew dari akal terletak pada kecakpam atau
kemampuannya untuk menangkap “kuiditas” atau “esensi” dari suatu yang diamati
atau dipahaminya. Dengan kecakapan ini, akal manusia dapat mengetahui konsep
universal atau tentang sifat dasar kmanusiaan. Ketika berbicara tentang meja,
kita buka lagi berbicara tentang meja particular atau tertentu. Inilah yang
disebut oleh Aristoteles dengan “bentuk’ (form/shurah). Dengan kemampuan akal
menagkap esensi (mahiyyah) dari benda-benda yang diamatinya, manusia bisa
menyimpa jutaan “makna” atau ‘pemahaman” tentang berbagai objek ilmu yang
bersifat absrtak sehingga tidak memerlukan ruang fisik yang luas di dalam
pikiran kita.
Dan masih
banyak lagi fungsi akal, karena hakikat dari akal adalah sebagai mesin
penggerak dalam tubuh yang mengatur dalam berbagai hal yang akan dilakukan
setiap manusia yang akan meninjau baik, buruk dan akibatnya dari hal yang akan
dikerjakan tersebut. Dan Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan
akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
Dengan uraian diatas, cukup kiranya
kita telah membicarakan kemampuan dan fungsi akal yang luar biasa penting sebagai
sumber pengetahuan, yang tentu saja tidak bisa ditinggalkan oleh manusai karena
tidak bisa ditangani oleh indra-indra kita, baik yang lahir maupun yang batin.[12]
C.
Kekuatan
Akal
Tak seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan
mudah dimengerti, seperti contoh:
1)
Mengetahui
tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Mengetahui adanya hidup akhirat.
3)
Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran
tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4)
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
5)
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.[13]
6)
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
[14]
D.
Tempat Akal
Para ulama berbeda
pendapat mengenai letak akal dalam diri manusia. Ulama Hanafiyah, Hanabilah dan
Mu’tazilah berpendapat akal terletak dalam otak, artinya di kepala. Dasarnya,
apabila seseorang mengalami benturan keras di daerah kepala dan ia mengalami
gegar otak, akalnya akan hilang. Juga kebiasaan orang arab yang mengatakan
orang yang berakal itu sempurna otaknya, sedang orang yang lemah akalnya adalah
orang yang lemah otaknya.
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akal berada dalam hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sebagian Hanabilah dan imam Abu Alid al Baji. Dalil mereka adalah firman Allah : ”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga yang dengannya mereka mendegar.”
Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa akal berada dalam hati manusia. Ini juga menjadi pendapat para dokter tempo dulu, sebagian Hanabilah dan imam Abu Alid al Baji. Dalil mereka adalah firman Allah : ”Maka mereka mempunyai hati yang dengannya mereka berakal atau telinga yang dengannya mereka mendegar.”
Pendapat yang
benar adalah akal itu mempunyai hubungan dengan otak dan hati. Berfikir itu
berasal dari otak, sedang keinginan berasal dari hati. Orang yang berkeinginan
tak mungkin mempunyai keinginan kecuali setelah memahami apa yang ia inginkan,
sedangkan pemahaman berasal dari otak.”[15]
E.
Akal Untuk Manusia
Manusia itu sejenis hewan juga,
tetapi tuhan memberikannya kelebihan dengan akal. Kepada akal itulah bersandar
segala perkara yang wajib dia lakukan atau wajib dia tinggalkan. Adapun hewan
jenis lain, yang dirasainya hanyalah semata-mata kelezatan perasaan kasar.
Dikejarnya kelezatan itu dengan tidak menimbang dan memikir lebih dahulu.
Sedang bagi manusia, akal itu yang menjadi penjaganya dan yang menguasainya.
Meskipun suatu perkara dipandang lezat untuk badannya, belum tentu dia mau
mengerjakan kalau belum mendapat persetujuan dari akalnya. Bila melihat harta
orang lain yang amat bagus, akalnya melarang mengambil dan mengganggu hak orang
itu. Bila dia ingin kepada seorang perempuan cantik, tetapi lantaran menurut
pertimbangan akalnya, mendekati perempuan itu kalau tidak dengan jalannya akan
menjatuhkan martabatnya, maka rasa lezat yang diinginkannya itu ditahannya
saja. Dia tidak mau hilang hijab malu pada dirinya. Kecuali orang yang akalnya
lemah dan nafsunya serta syahwatnya lebih kuat, yang telah tuli telinganya
daripada mendengar seruan batin dan akalnya. Orang yang begini mudah
terperosok, dan mudahlah memikul rasa malu.[16]
Dengan adanya rasa malu pada orang
yang berakal, terbukti bahwasannya memperturutkan klezatan badan itu tidaklah
mendatangkan keuntungan bagi manusia. Insan
yang kamil, manusia yang hendak mengikat kesempurnaan selalu memandang
hina akan perkara yang memang pantas dihinakan dan selalu pula memuliakan
barang yang patut dimuliakan, yang patut ditimbang, yang patut dimalui. Baginya
makan untuk melengkapi hidup, bukan hendak memuaskan nafsu belaka.
Dengan akal itulah manusia dapat
memikirkan besar nikmat yang diterimanya dari Tuhan, nikmat kemuliaan dan
ketinggian yang tiada ternilai, sehingga dia terlepas daripada kehinaan. Dengan
akal itulah jenis manusia dilebihkan daripada jenis yang lain. Akal tiap orang
itu berbeda-beda pula sebagaimana berbeda badan kasarnya satu sama lain.
Berlainan warna kulitnya, berlainan bentuk badannya. Lantaran akal itu
berlainan pula keinginan, tujuan hidup, pertimbangan dan perasaannya, berlainan
pula garis yang dilalui masing-masing. Semuanya buat mencukupkan hidup.
Tetapi lantaran bukan akal saja yang
dianugrahkan Allah, bahkan di samping itu ada pula nafsu – sebab manusia termasuk
jenis binatang pula, maka tidaklah kita terlepas daripada garis sebagaimana
manusia – tidalah ia lepas dari kesalahan, keteledoran, kesilapan dan
kegagalan. Sebab itu kita tidak boleh memaksa diri di atas dari kesanggupan
manusia, atau mendakwkan barang yang sebenarnya tidak ada pada kesanggupan
kita. Kita hanya menjaga langkah, mengawasi dan mnimbang.
Sebagaimana terpandang hina dan
terpemcil dari masyarakat yang mninggalkan bahasa ibunya atau bahasa tanah
airnya yang dengan dia lidahnya lebih sanggup menerangkan segala perasaan
hatinya, lalu meminjam bahasa dan logat orang lain semata-mata untuk
bermegah-megah, maka lebih terpandang hina lagi manusia yang melebihi kekuatan
dan kesanggupannya, atau memilih yng sebenarnya bukan pakainnya.
Akal menyuruh manusia menjaga
dirinya dan mengatur peri kehidupannya, jangan meniru orang lain sebelum
dipikirkan apakah yang ditiru itu cocok dengan dirinya. Yang lebih utama
menurut akal ialah mengukur bayang-bayang diri mengenal siapa diri, dan
berusaha memperbaiki mana yang telah rusak. Seorang bintang film, seorang
pemain sandiwara, berkali-kali mengadakan latihan untuk menyesuaikan dirinya
dengan lakon yang akan dijalankannya; maka kita seluruh manusia ini lebih
berhak melatih diri kita supaya menjalankan lakon yang akan kita jalani pula di
dalam lakon hidup dan sandiwara kehidupan ini.[17]
Ekonomi
ada orangnya, perniagaan ada orangnya, ulama ada orangnya, kesenian ada
orangnya, pedang panjang dilapangan perang ada pahlawannya, pedang kecil
dilapangan kertas yang bernama pena ada pula panglimanya. Semuanya ukanlah
perkara mudah. Semuanya harus menempuh perjuangan dan percobaan. Siapa awas
teruslah maju dan menang, tetapi ada pula yang jatuh lalu tegak dan jatuh lagi,
tetapi tegak pula kembali. Kejatuhan pertama dijadikannya pelajaran untuk
menempuh kesulitan yang kedua. Adapula yang jatuh tapi tak bangun lagi
selama-lamanya. Perjuangan demikian tidak ada pada binatang, hanyalah pada
manusia, dan itulah kekuatan yang mereka rasai.
Selain ihwal manusia yang umum atau yang khusus
itu, ada lagi hal yang ketiga, nasib yang laksana jalan terentang yang akan
dilalui dan cara mereka melaluinya. Maka mahkota dan mahligai, pangkat dan
kehormatan, kekayaan atau kemiskinan, dan yang lain sebagainya, hanyalah barang
injaman yang tak kekal adanya. Berganti-ganti datangnya sebagaimana pergantian
hari, tidak ada yang dapat menangkap kakinya. Tetapi yang tak akan terpisah
dari pada manusia, yang ditanggung tidak akan meninggalkan manusia atau
ditinggalkan, ialah sifat batin dan kekayaan batin. Walaupun uang pergi dan
datang, pangkat naik atau jatuh, namun kekayaan jiwa itu tidaklah akan
meninggalkan diri. Umpamanya ialah ilmu, hikmah, budi, bahasa, bahasa, insaf
dan sadar.
Ranting
mewarisi dahan, dahan mempusakai pohon, akan tetapi ada pula buah yang terbit
dari jambu cangkokan lebih sedap dari buah jambu asalnya. Dengan lain jalan,
pernah juga jalan yang dilalui anak tidak sama dengan jalan yang dilalui si
ayah dahulunya. Semuanya itu terjadi karena perbedaan ksanggupan, tegasnya
perbedaan akal. Sebaliknya lagi, bila kelihatan berkumpul orang jahat yang
durjana, maka mata orang akan dapat juga memperbedakan mana penjahat yang asal
usulnya jahat dan ada penjahat yang ada juga mempunyai asal usul bai. Semuanya
ini harus kita perhatia untuk memperbedakan kekuatan akal manusia.
Maka
sebelum kita maju dalam menentukan tujuan hidup, hendaklah kita pandai memilih
mana yang cocok buat diri, jangan mana yang disukai saja. Anak muda kerap kali
tidak insyaf akan hal ini, karena darahnya masih muda dan panas. Ada anak muda
melihat orang lain senang makan gaji, dia hendak makan gaji pula, padahal yang
lebih cocok dengan dia bukan makan gaji, tetapi berniaga. Ada pula yang melihat
orang yang menjadi wartawan atau pengarang, dia hendak mnjadi wartawan atau pengarang
pula, padahal yang lebih sesuai dengan dirinya jika ia jadi petani. Ada pula
pemuda yang hendak dibentuk oleh ayahnya menurut maunya saja, mau menurut
kelayakan yang cocok dengan anak itu, ada pula karena pengaruh orang lain
hilang timbangannya.[18]
Tetapi ada
lagi golongan ketiga yang mempelajari pkerjaan sebelum ditempuhnya, menimbang
sebelum berjalan dengan kemerdekaan pendapat dan akal, memakai pakaian yang
sesuai dengan tubuhnya. Inilah yang paling benar, tetapi ini pula yang sulit.
F.
Tanda Orang Berakal
Orang yang berakal, luas pandangannya ke[ada sesuatu yang
menyakiti atau yang menyenangkan. Pandai memilih perkara yang member manfaaat
dan menjauhi yang akan menyakiti. Dia memilih mana yang lebih kekal alaupun
sulit jalannya dari pada yang mudah didapat padahal rapuh. Sebab itu merka
utamakan kegembiraan kesopanan daripada kegembiraan hawa nafsu. Mereka
menimbang biarlah susah menempuh suatu perkara yang sulit asal akibatnya baik,
daripada perkara yang mudah tetapi akibatnya buruk. Mereka tetap mengharap dan
tetap takut. Tetapi tidaklah kekuatannya itu pada perkara yang bukan-bukan,
tidak pula harapannya itu kepada hal yang tidak-tidak. Pandangannya luas,
ditimbangnya sebelum dikerjakannya. Sebab mengharap keutamaan dengan tidak
mempergunakan pemandangan adalah pekerjaan sia-sia.
Orang berakal selalu menaksir harga dirinya. Menaksir harga
diri ialah dengan menilik hari-hari yang telah dilalui, adakah dipergunakan
kepada perbuatan-perbuatan yang berguna, dan hari yang masih tinggal kemanakah
pula digunakan. Karena mahal atau murah harga diri, baik waktu hidup, apalagi
setelah mati. Dia sadar bahw hari yang telah habis terbelanjakan untuk yang
tidak perlu, tidaklah akan dapat ditebus lagi. Oleh sebab itu dilihatya tahun
berganti, bulan bersilih dan hari berlalu. Dihitungnya baik-baik kemanakah dia
telah pergi, apakah bekas kerjanya buat kemaslahatan dirinya
sekurang-kurangnya, atau kemaslahatan kepada masyarakatnya.[19]
Yang kedua, orang berakal itu selalu berbantah dengan
dirinya. Kalau diri itu bermaksud menempuh yang jahat, dihukumnya bahwa
kejahatan itu berbahaya, merugikan dan mencelakakan. Dan kalau diri itu ada
mengingat-ingat yang baik, dihukumkan bahwa kebaikan itu menguntungkan, membawa
membawa kemenangan dan memberi laba. Lantaran hukuman yang demikian, mudahlah
diri mengingat yang baik-baik itu dan buah hasilnya, sehingga mudah
menunjukkannya ke sana. Dan bila akan menghadapi kejahatan itu mudah pula dia
ingat bahayanya dan celakanya, gemetar badannya, dan timbul takutnya akan
melampaui batas itu.
Orang yang berakal selalu mengingat kekurangannya, kalau
perlu dituliskannya di dalam suatu buku peringatan sehari-hari. Baik kekurangan
pada agama, atau pada akhlak dan kesopanan peringan di ulang-ulangnya dan buku
itu kerapkali dilihatnya untuk direnungi dan diikhtiarkan mengangsur-angsur
merubah segala kekurangan itu. Baik dalam berhari atau berbulan, atau bermusim
sekalipun. Kalau perlu bia telah dapat satu macam sifat kekurangan itu
diubahi., didorongnya dari notes peringatan tadi dengan tinta merah. Setelah
dicoreng, digembirakannya hatinya, sebab telah menang di dalam suatu perjuangan
yang amat hebat. Dan pandangannya pula dengan hati hiba dan sedih segala
sisa-sisa yang masih ketinggalan. Dan dia tidak berhenti berusaha.
Dilihatnya kebaikan budi pekerti orang lain. Dipujinya di
dalam hati dan ditimbulkannya cita-cita hendak meniru, seraya diangsurnya pula
meneladan dari selangkah ke selangkah.
Kalau hendak mencari teman, handai tolan dan sahabat, orang
yang berakal memilih orang yang mempunyai kelebihan baik dalam perkara agama
atau ilmu atau budi kesopanan. Yang terlebih dari kita supaya dapat kita tiru
teladan. Atau dicarinya teman yang sama tingkatan supaya kuat menguatkan. Karena
budi pekerti yang baik dan adat yang terpuji tidaklah subur tumbuhnya di dalam
diri kalau tidak bertolong-tolongan menggembirakan dengan teman. Tidak ada
karib atau kerabat yang lebih setia daripada seorang teman yang menyokong dan
membantu membesarkan hati dan memberanikan kita di dalam menempuh suatu
perbuatan baik. Hati kita yang tadinya kurang kuat menjadi kuat dan bertambah
kuat karena digosok kawan. Budiman mengeluarkan pepatah bahwasanya berkawan
dengan orang yang tidak berilmu, tetapi hidup dalam kalangan orang-orang yang
berilmu, lebih baik dari pada berkawan dengan oaring yang berilmu tetapi hidup
dalam kalangan orang yang bodoh-bodoh.[20]
Orang yang berakal tidak berdukacita lantaran ada
cita-citanya di dunia yang tidak sampai atau nikmat yang meninggalkannya.
Diterimnya apa yang terjadi atas dirinya dengan baik merasa kecewa dan tidak
putus-putusnya berusaha. Jika rugi tidaklah cemas, dan jika berlaba tidaklah
bangga. Karena cemas merendahkan himmah dan bangga menghilangkan timbangan.
Orang yang berakal nggan menjauhi orang yang berkala pula.
Karena tanpa teman yang berakal, akan lemahlah dia, dan dengan bersama akan
dapat dia membandingakan di mana kekurangannya dan di mana kelebihannya.
Empat saat yang selalu diawasi oleh orang yang berakal. Biar
lengah dari yang lain, tetapi tidak lalai dia menjaga yang empat saat itu.
1. Saat itu menyembahkan hajatnya
kepada Tuhannya.
2. Saat untuk meniik dirinya sendiri.
3. Saat untuk membukakan rahasia diri
kepada sahabatnya yang setia, menyatakan aib-aib dan celanya supaya dapat
dinasehati dan ditunjukkan oleh teman setia itu secra terus terang.
4. Saat dia bersunyi-sunyi diri, duduk
bersoal jawab dengan dirinya, menanyakan mana yang hala dan mana yang indah,
mana yang jahat dan mana yang baik.
Maka saat yang keempat ini adalah saat yang paling penting
di antara keempat saat itu. Karena jiwa, dan hati mesti satu saat wajib
diistirahatkan.[21]
Orang yang berakal hanyalah merindui
tiga perkara:
Pertama, menyediakan bekal untuk hari kemudian
Kedua, Mencari kelezatan buat jiwa
Ketiga, Menyelidiki arti hidup.
Orang yang berakal tahu membedakan manusia, sebab itu dia
tidak canggung bergaul dengan siapapun. Manusia dibaginya dua. Pertama orang
awam (orang kebanyakan). Perkataannya di sana dijaganya, tiap-tiap kalimat yang
ke luar dari mulutnya dibatasinya.
Kedua ialah orang khawas (orang-oang utama). Di sanalah dia merasa lezatnya ilmu. Kepada
yang lebih dari dia, dia belajar. Kepada yang saa dengan dia, dia membanding.
Tempo tidak ada yang terbuang.
Dalam 1.000 manusia, 999 termasuk kedalam golongan pertama.
Hanya seorang yang termasuk di golongan yang kedua. Dari yang seorang di dalam
1000 itulah dapat dicari pendapat yang jitu, persahabatan yang setia, nasehat
yang jujur, keteguhan dan persaudaraan. Itulah rahasia kata hikmat: “kawan
tertawa amat banyak, kawan menangis sedikit sekali”.
Orang yang berakal memandang besar segala kesalahan itu.
Walaupun bagaimana kecilnya di mata orang lain. Dia tidak mau memandanga kecil
suatu kesalahan. Karena bila sekali kita memandang kecil suatu kesalahan, yang
kedua, ketiga dan seterusnya, kita tidak merasa bahwa kesalahan itu besar, atau
tak dapat membedakan lagi mana yang kecil dan mana yang besar. “sehari selembar
benang, lama-lama menjadi sehelai kain”. Tak ubahnya membiarkan kesalahan diri
yang kecil itu dengan hikayat seorang nahkoda kapal yang membiarkan sehelai
papan yang dimakan rayap termasuk di dalam dinding kapal. Padahal dari sebab tercampur papan yang sehelai itu di
dalam papan yang lain, itulah yang kelak menyebabkan kapal karam. [22]
Memang dari perkara-perkara yan gkecil itu jualah biasanya
timbul bahaya yang besar. Orang yang mati dibunuh nyamuk tiap-tiap tahun lebih
banyak daripada orang yang mati dibunh singa. Penyakit yang berbahaya ialah
dari pada baksil yang kecil-kecil. Banjir besar dating dari kumpulan setitik-setitik
air hujan.
Orang yang berakal sadar bahwa diantara akal dan nafsu, atau
di antara pikiran dan hawa tidak ad persetujuan. Kehendak nafsu biasa manis
pangkal dn hambar ujungnya, dan kehendak akal pahit pangkal tetapi manis
ujungnya. Sebab itu mereka lebih suka berpahit-pahit dahulu, bermanis-manis
kemudian!
Jika dia menghadapi suatu pekerjaan ragu-ragu atau jalan
bersimpang yang belum dapat ditentukan, ditanyailah hatinya, mana yang lebih
cocok. Dan nafsunya itulah yang dijauhinya. (perbedaan hawa dan akal kita
terangkan lebih luas kelak!).
Setengah dari tanda-tanda orang yang berakal, bukanlah
lantaran sucinya daripada dosa. Bagaimana akan suci bersih gelanggang
pertempuran haw nafsu dengan akal? Yang terdapat di sana ialah perjuangan! Dan
tidak ditempuhnya suatu kesalahan dngan sengaja, atau diulangnya suatu
kesalahan dua kali. Dia cukupkan apa yang ada, tidak mengharap kekayaan yang
lain. Tidak dia suka bercakap dengan orang yang ditakuti tidak mengabulkan
permintaanya. Tidak dia suka berjanji dengan orng yang pemungkir. Tiada dia
menharap dari orang yang tidak dapat diharap!
Prang yang berakal tidaklah berduka hati. Karena kedukaan
itu tiada ada faedahnya. Banyak duka mengaburkan akal. Tidak dia bersedih,
karena kesedihan tidaklah memperbaiki perkara yang telah terlanjur. Dan banyak
sedih mengurangi akal. Orang yang
berakal menyediakan obat sebelum sakit, menyediakan paying sebelum hujan.
Tetapi kalau penyakit dating juga, padahal obat telah sedia, dan bajunya kena
hujan juga, padahal paying telah di tangan, tidaklah dia kecewa tetapi dia
sadar dan rela dan dicarinya usaha untuk mengatasi. Orang yang berakal tidak
ada tempat dai takut selain Tuhannya. Kalau timbul takutnya dengan tiba-tiba,
diselidikinya apa sebab dia takut. Dari salah, atau hanya dari rendah
himmahnya?[23]
Orang berakal tidaklah tersembunyi bagian cela dirinya,
karena orang yang lupa memandang aib dirinya sendiri, akan lupalah kepada
kebaikan orang lain. Maka lupa akan aib diri itu adalah bencana hidup yang
sebesar-besarnya. Sebab kalau tidak tahu atau lengah dari aib kita sendiri,
tidaklah timbul usaha untuk membongkar uratnyaa. Bertambah lama dia bertambah
tumuh di dalam jiwa, maka meranalah jiwa; laksana liamu yang dikalahkan benalu.
Orang yang berakal pergi ke medan prang dengan senjata.
Berbantah dan bertukar pikiran dengan cukup alasan. Berlawan dengan kekuatan.
Karena dengan akallah tercapai hidup, dengan budi teranglah hati, dengan
pikiran tercapai maksud, dengan ilmu ditaklukan dunia.
Orang yang berakal pandai membandingkan yang belum ada
dengan yang telah ada, yang belum didengar dengan tang didengar. Umurnya yang
tinggal dibandingkannya dengan yang telah pergi. Yang belum trcapai dengan yang
telah tercapai. Segala pekerjaan tidaklah diukurnya dengan uang atau emas
bertahil. Sebab harta datang dan pergi, mendahului kita, atau didahului. Tetapi
akal tetap dan bekasnya kekal, walaupun badan tubuh masuk ke liang lahat.[24]
Orang yang berakal hidup buat masyarakatnya, bukan buat
dirinya sendiri.
G.
Kegunaan Akal
Akallah alat untuk berpikir, dialah
hulu hikmat. Lantaran akal datangnya taklif perintah agama. Di dalam agama
barulah sah perintah dipikulkan bila seorang telah mempunyai akal. Tidaklah
terpikul agama oleh orang yang gila atau anak-anak yang belum berakal. Untuk
mencapai bahagia dunia dan agama, ialah dengan melalui jembatan akal. Dengan
akal meningkatkan tangga mengenal Tuhan dan dengan akal di atur rahasia
pendirian alam. DiberikanNya kepada hambaNya seorang satu. Kalau mereka pandai
menggunakan, bergunalah mereka di waktu hidup sampaikan mati. Dengan akal
membongkar rahasia yang ersembunyi. Dengan akal terbuka hijab yang tertutup
Kata Rawi: “pernahlah Jibril datang
kepada Nabi Adam, lalu disuruh pilij di antara tiga perkara! Lalu Adam
bertanya: “ Manakah yang tiga perkara itu?”
Jibril menjawab :”Pertama akal,
kedua malu, ketiga agama”. Lalu Nabi Adam memilih akal. Maka berkatalah Jibril
kepada malu dan agama: “Pulanglah engkau keduannya, karena telah dipilihnya
akal”. Keduanya menjawab: “Disuruh pulang atau tidak, kalau akal telah
dipilihnya, tidaklah dapat kami kedua meninggalkannya, sebab kami berdua ini
adalah pengiring akal”.
Maka pada diri manusia itu
terdapat 3 kekuatan, kekuatan akal, kekuatan marah dan kekuatan syahwat.
1. Kekuatan akal mi pada yang batil,
tunduk kepada hukum membawa orang kepada hakekat, menjauhkan dari pada yang
batil, tunduk kepada hokum, menerima perintah dan menjahi larangan. Tampak
olehnya yang baik lalu diikutinya, kelihatan olehnya yang buruk, lalu
dijauhinya.
2. Kekuatan marah, itulah yang menyuruh
menangkis dan bertahan, mengajak mencapai kekuasaan dan kemenangan, dan
kadang-kadang menyuruh bangga, sombong dan takabur.
3. Kekuatan syahwat, yang mengajak
melepaskan kehendak hati, mencapai kelezatan, menyuruh lali, menyuruh lengah,
sehingga lupa memikirkan akibat.
1. Akal
menurut pendapat Muhammad Abduh adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia
dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2. Akal
adalah tonggak kehidupan manusia yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya,
peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar dan sumber kehidupan dan
kebahagiaan bangsa-bangsa.
3. Akal
adalah jalan untuk memperoleh iman sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak
didasarkan akal iman harus berdasar pada keyakinan, bukan pada pendapat dan
akalah yang menjadi sumber keyakinan pada tuhan.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Kata
akal berasal dari kata dalam bahasa Arab, al-‘aql.
Kata al-‘aql adalah mashdar dari kata
‘Aqola – ya’qilu – ‘aqlan yang
maknanya adalah “ fahima wa tadabbaro
“ yang artinya “paham (tahu, mengerti) dan memikirkan (menimbang) “. Maka al-‘aql, sebagai mashdarnya, maknanya
adalah “ kemampuan memahami dan memikirkan sesuatu “. Sesuatu itu bisa
ungkapan, penjelasan, fenomena, dan lain-lain, semua yang ditangkap oleh panca
indra.
·
Akal
banyak memiliki fungsi dalam kehidupan, antara lain:
ü Sebagai tolak ukur akan kebenaran
dan kebatilan.
ü Sebagai alat untuk menemukan solusi
ketika permasalahan datang.
ü Sebagai alat untuk mencerna berbagai
hal dan cara tingkah laku yang benar.
·
Tak
seperti wahyu, kekuatan akal lebih terlihat jelas dan mudah dimengerti, seperti
contoh:
1)
Mengetahui
tuhan dan sifat-sifatnya.
2)
Mengetahui adanya hidup akhirat.
3)
Mengetahui bahwa kebahagian jiwa di
akhirat bergantung pada mengenal tuhan dan berbuat baik, sedang kesengsaran
tergantung pada tidak mengenal tuhan dan pada perbuatan jahat.
4)
Mengetahui
wajibnya manusia mengenal tuhan.
5)
Mengetahui
wajibnya manusia berbuat baik dan wajibnya ia menjauhi perbuatan jahat untuk
kebahagiannya di akhirat.
6)
Membuat
hukum-hukum mengenai kewajiban-kewajiban itu.
·
Pendapat yang benar adalah akal itu mempunyai
hubungan dengan otak dan hati. Berfikir itu berasal dari otak, sedang keinginan
berasal dari hati. Orang yang berkeinginan tak mungkin mempunyai keinginan
kecuali setelah memahami apa yang ia inginkan, sedangkan pemahaman berasal dari
otak.”
·
Manusia
itu sejenis hewan juga, tetapi tuhan memberikannya kelebihan dengan akal.
Kepada akal itulah bersandar segala perkara yang wajib dia lakukan atau wajib
dia tinggalkan. Adapun hewan jenis lain, yang dirasainya hanyalah semata-mata
kelezatan perasaan kasar.
·
Tanda
Orang Berakal
1.
Orang
yang berakal, luas pandangannya
2.
Orang
berakal selalu menaksir harga dirinya.
3.
orang
berakal itu selalu berbantah dengan dirinya.
4.
Orang
yang berakal selalu mengingat
5.
Orang
yang berakal tidak berdukacita lantaran ada cita-citanya di dunia yang tidak
sampai
6.
Orang
yang berakal nggan menjauhi orang yang berkala pula
7.
Orang
yang berakal tahu membedakan manusia,
8.
Orang
yang berakal memandang besar segala kesalahan itu.
9.
Orang
yang berakal sadar bahwa diantara akal dan nafsu tidak ada persetujuan.
10. Orang yang berakal tidaklah berduka
hati. Orang berakal tidaklah tersembunyi bagian cela dirinya.
11. Orang yang berakal pergi ke medan
prang dengan senjata. Berbantah dan bertukar pikiran dengan cukup alasan.
Berlawan dengan kekuatan. Karena dengan akallah tercapai hidup, dengan budi
teranglah hati, dengan pikiran tercapai maksud, dengan ilmu ditaklukan dunia.
12. Orang yang berakal pandai
membandingkan yang belum ada dengan yang telah ada, yang belum didengar dengan
tang didengar. Umurnya yang tinggal dibandingkannya dengan yang telah pergi.
Yang belum trcapai dengan yang telah tercapai. Segala pekerjaan tidaklah
diukurnya dengan uang atau emas bertahil. Sebab harta datang dan pergi,
mendahului kita, atau didahului. Tetapi akal tetap dan bekasnya kekal, walaupun
badan tubuh masuk ke liang lahat.
13. Orang yang beakal hidup buat
masyarakatnya, bukan buat dirinya sendiri.
·
Akallah
alat untuk berpikir, dialah hulu hikmat. Lantaran akal datangnya taklif
perintah agama. Di dalam agama barulah sah perintah dipikulkan bila seorang
telah mempunyai akal. Tidaklah terpikul agama oleh orang yang gila atau
anak-anak yang belum berakal. Untuk mencapai bahagia dunia dan agama, ialah
dengan melalui jembatan akal. Dengan akal meningkatkan tangga mengenal Tuhan
dan dengan akal di atur rahasia pendirian alam. DiberikanNya kepada hambaNya
seorang satu. Kalau mereka pandai menggunakan, bergunalah mereka di waktu hidup
sampaikan mati. Dengan akal membongkar rahasia yang ersembunyi. Dengan akal
terbuka hijab yang tertutup
·
Pentingnya Akal
1.
Akal menurut pendapat Muhammad Abduh
adalah sutu daya yang hanya dimiliki manusia dan oleh karena itu dialah yang
memperbedakan manusia dari mahluk lain.
2.
Akal adalah tonggak kehidupan manusia
yang mendasar terhadap kelanjutan wujudnya, peningkatan daya akal merupakan
salah satu dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
3.
Akal adalah jalan untuk memperoleh iman
sejati, iman tidaklah sempurna kalau tidak didasarkan akal iman harus berdasar
pada keyakinan, bukan pada pendapat dan akalah yang menjadi sumber keyakinan
pada tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2001
Hamka, Falsafah Hidup, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1994
Kartanegara, Mulyadhi, Menyimak Tirai Kejadilan Pengantar
Epistemology Islam, (Bandung: Mizan 2003), h.24
Nasution,Harun , Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, Jakata: Universitas Indonesia (UI-Press), 1987
[6] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 2001), h. 47
[12] Mulyadhi Kartanegara, Menyimak Tirai Kejadilan Pengantar
Epistemology Islam, (Bandung: Mizan 2003), h.24
[14] Harun Nasution, , Muhammad Abduh dan Teologi
Rasional Mu’tazilah, (Jakata: Universitas Indonesia (UI-Press), 1987), h. 44
[16] Hamka, Falsafah Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1994), h.24
[17] Hamka, Falsafah Hidup, h. 24-25
[18] Hamka, Falsafah Hidup, h. 25-26
[19] Hamka, Falsafah Hidup, h.43
[20] Hamka, Falsafah Hidup, h. 44
[21] Hamka, Falsafah Hidup, h. 45
[22] Hamka, Falsafah Hidup, h. 45-46
[23] Hamka, Falsafah Hidup, h. 46-47
[24] Hamka, Falsafah Hidup, h. 47
[25] Nasution, Harun, Muhammad
Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, h. 14
EmoticonEmoticon