Makalah
“Hadist tentang
Larangan Menimbun Bahan Pokok dan Berburuk Sangka”
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Hadits
Disusun
oleh:
Jubaida
Kidam
Nim : 09.2.3.047
Tarbiyah
/ PAI 2
Semester
IV
Dosen:
Drs.
Moh. S. Rahman. M.Pd.I
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
MANADO
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menimbun
adalah salah satu yang diharamkan dalam islam, yaitu menumpuk bahan kebutuhan
pokok manusia dan tidak menjualnya sampai harga jualnya dipasaran naik. Sebagai
akibat dari perbuatan menimbun ini keseimbangan pemerataan akan kacau dalam
tubuh masyarakat.
Berbagai
prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita.
Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup.
Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.
Buruk
sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan
mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka
terlintas di pikiran kita, si X begini, si Y begitu, si Z demikian, dan
demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak
beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada
orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan
kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan
kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang
terlarang.
B.
Permasalahan
Dari uraian di
atas pemakalah dapat menarik beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu?
1. Bagaimana
redaksi hadits tentang menimbun bahan pokok?
2. Menimbun
seperti apa yang diharamkan Islam?
3. Bagaimana
redaksi hadits tentang buruk sangka?
4. Apa
yang dimaksud dengan buruk sangka?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadist
tentang larangan menimbun bahan pokok
من
احتكرعلى المسلمين طعا مهم ضربه الله بافلاس أوبجذام
“
barang siapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslimin, Allah
akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra”
(H.R. Imam Ahmad).
Dan sabda
Rasulullah saw.:
من
احتكرطعامافهوخاطىء
“barang
siapa yang menimbun makanan maka ia adalah orang yang berdosa.” (H.R Muslim
dan Abu Daud).
Rasulullah
pernah bersabda:
مناحتكرطعاماأربعين
ليلة فقد برىء من الله وبرىءالله منه
“barang
siapa menimbun makanan selama empat puluh hari, ia akan lepas dari tanggungan
Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya.” (H.R
Imam Ahmad)
Rasulullah
menegaskan sekali lagi mengenai masalah penimbunan ini dengan sabda beliau:
الجالب
مرزوق ولمحتكرملعون
“orang
yang menjual barang dagangannya akan diberkahi rezkinya dan orang yang menimbun
dagangannya akan dilaknat Allah.” (H.R Ibnu Majjah)
Kemudian orang
yang suka melakukan penimbunan akan dijauhkan dari rahmat Allah, karena ia
tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap manusia,[1]
sedangkan Rasulullah saw bersabda:
لايرحم
الله من لايرحم الناس
“Allah
tidak akan menaruh belas kasihan terhadap orang yang tidak mempunyai rasa belas
kasihan terhadap orang lain.” (H.R Bukhari)
B.
Menimbun
Menimbun yang
diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan
tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik.
Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut
hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya. Setelah situasi
sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan
menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka,
maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah. Oleh karena itu,
islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan
menurut pandangan islam.
Sebagai akibat
dari perbuatan menimbun ini keseimbangan pemerataan akan kacau dalam tubuh
masyarakat, karena para tengkulak terus menyedot sebagian besar kekayaan rakyat
tanpa mengenal belas kasihan. Sebagai akibatnya maka harga barang-barang
dipasaran mengalami kenaikan drastic, dan keadaan pasaran menjadi guncang
karena tidak adanya stabilitas harga barang-barang. Melihat situasi yang labil
ini, rakyat pun berlomba-lomba malakukan pembelian yang lebih dari
kebutuhannya, sekalipun harga barang sangat mahal karena takut habis. Yang
menjadi korban utama adalah kaum fakir miskin. Mereka tak dapat meraih
kebutuhan-kebutuhan pokoknya disebabkan kemampuan daya beli mereka yang
terbatas. Hal ini tak akan bisa terjadi, seandainya tidak ada para tengkulak
yang memborong semua kebutuhan-kebutuhan pokok, dan mencegahnya dari peredaran.[2]
Antara kaum
penimbun dan kaum periba, kedua-duanya sama saja. Mereka menindas rakyat dengan
cara menguasai kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Hanya saja, kaum penimbun
lebih terkutuk disisi Allah karena dua hal:
1. Penimbunan
kebutuhan pokok rakyat dan barang-barang yang serupa,[3]
lebih berbahaya dari pada penimbunan yang dilakukan oleh orang-orang yang suka
menjalankan riba, karena kaum periba hanya menimbun uang saja.
2. Bahaya
yang ditimbulkan oleh penimbunan kebutuhan pokok rakyat amatlah fatal, karena
seluruh rakyat akan merasakan penderitaannya. Berbeda dengan riba, ia hanya
golongan-golongan tertentu saja yang merasakan penindasannya yaitu golongan
yang membutuhkan capital.
Rasulullah
telah menjelaskan kepada kita akibat menjalankan pekerjaan menimbun ini, bahwa
harta yang dihasilkan dari usaha menimbun sama sekali tidak akan diberkahi oleh
Allah. Dan pelakunya akan tertimpa penyakit paling kotor. Selain itu, pelakunya
mendapat dosa yang amat besar karena sudah keluar dari garis-garis yang telah
ditentukan oleh Allah.
C.
Hadits
tentang Berburuk Sangka
إياكموالظن٬فإن الظن اكذب الحديث
“Jauhilah oleh kalian
berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka itu merupakan sedusta-dustanya
pembicaraan” (H.R Bukhari dan Muslim)[4]
D.
Berburuk
sangka
Buruk
sangka adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai
bukti yang jelas.[5]
Berbagai
prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita.
Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang
cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.
Buruk
sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan
mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka
terlintas di pikiran kita, si X begini, si Y begitu, si Z demikian, dan
demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak
beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada
orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan
kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan
kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang
terlarang.[6]
Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman,
jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya
sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.”
(Q.S Al-Hujurat: 12)[7]
Dalam
ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan
dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena
memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang
menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat
manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah
zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak
mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang
terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang
diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh
beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta.
Buruk
sangka adalah sifat yang keji yang merupakan duri dalam kehidupan. jika di
perhatikan setiap kali berlaku sesuatu tindakan atau tingkah laku tertentu dalam
masyarakat, orang lebih cenderung untuk bersangka buruk daripada berbaik
sangka. Sikap inilah yang selalu membawa perpecahan & pertikaian dalam
kehidupan sehari-hari.[8]
Berikut
ini adalah beberapa obat untuk menyembuhkan penyakit hati kita :
1. Tidak
Banyak Bicara; Terlalu banyak bicara dapat membuat hati kita menjadi keras.
Berbicaralah yang tidak penting secukupnya dan hindari menjadi orang yang omong
besar, omdo / omong doang, pembual, tukang bohong, ghibah, ngerumpi, dan lain
sebagainya. Banyak bicara dalam kebaikan boleh-boleh saja seperti untuk
mengajar, petugas pelayanan, ngobrol biasa dengan teman, tetangga, keluarga,
dan lain sebagainya.
2. Menjaga
Emosi Dan Nafsu; Emosi dapat membuat hidup menjadi tidak tenang. Oleh karena
itu kita sebaiknya selalu menjaga emosi kita agar tidak menjurus ke penyakit
hati. Beberapa contoh nafsu yang harus kita tundukkan antara lain seperti nafsu
akan harta, nafsu seks, nafsu makan, nafsu jabatan, nafsu marah, nafsu
mewujudkan impian, dan lain sebagainya. Salah satu cara untuk melatih emosi dan
nafsu kita adalah dengan melakukan ibadah puasa, baik puasa sunah maupun puasa
wajib ramadhan.[9]
3. Selalu
Mengingat Allah SWT; Ada beberapa cara untuk dapat selalu mengingat Allah SWT
yaitu seperti dengan rajin sholat baik sholat wajib lima waktu, shalat tahajud,
sholat dhuha, solat malam, dan lain-lain. Selain itu zikir, doa dan mengaji
atau membaca al-qur'an juga dapat menghindarkan kita dari penyakit hati.
Diharapkan dari mengingat Allah SWT kita menjadi takut atas ancaman Allah SWT
jika kita melakukan dosa yang disebabkan oleh penyakit hati dan perbuatan
maksiat.
4. Bergaul
Dengan Orang Saleh / Soleh; Dengan berteman dengan orang-orang yang penuh
dengan penyakit hati hanya akan menulari kita dengan penyakit-penyakit itu
sehingga kita akan semakin jauh dari Allah. Salah pergaulan juga dapat menambah
dosa akibat perbuatan maksiat yang baik disadari atau tidak telah kita lakukan.
Lain hal apabila kita bergaul dengan orang shaleh yang selalu menjaga dan
membatasi diri dalam pergaulan agar mereka tidak terjerumus dalam maksiat.
Darimana
buruk sangka datang?
Kebiasaan
berburuk sangka telah ada sejak lama. Di sekitar kita, bila dicermati,
bertebaran sikap manusia yang berprasangka buruk. Sebutlah pandangan mata
curiga, sinis, ekspresi kecut yang penuh apriori, sampai dalam bentuk sikap
kasar yang tidak bersahabat.
Menurut
para ahli, buruk sangka merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling
alamiah dalam diri manusia. Karena itu, sulit sekali menghilangkan buruk
sangka. Banyak faktor yang memicu merebaknya prasangka-prasangka buruk:[10]
1. Faktor
lingkungan;
Lingkungan
memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan
dimaksud bisa keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain
sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi
pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya
orang-orang ‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan
sosial mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang
buruk. Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia. Ideologi hidup mereka
adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka pun banyak yang terjungkal.
Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa kehidupan mereka diatur oleh kekuatan
sihir. Maka, begitu ada yang terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas
dendam dari keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota
keluarganya.
Setiap orang
dari suku tersebut selalu takut kalau diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya
dengan orang-orang tertentu saja suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga,
buruk sangka, tidak dapat dipercaya, menjadi budaya hidup mereka. Lingkungan
hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan sikap cepat curiga. Ia identik dengan
medan tempat setiap orang harus bertarung mempertahankan hidupnya. Berjibaku
mengejar apa yang bisa ia makan, meski harus memangsa orang lain dengan jalan
yang salah. Bagaimana dengan lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan
kerja kita?
2. Keyakinan
yang salah
Keyakinan
yang salah bisa melahirkan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah
ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan
menuduh-Nya tidak adil. Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan
yang terkait erat dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru,
mereka mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu
mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna hitam,
pertanda hari buruk sedang menanti. Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut
dengan tathayyur. Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan
sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang keras oleh Islam
karena bisa merusak kemurnian akidah.[11]
Buruk
sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu masih banyak menyebar dalam
masyarakat. Terlebih bila masyarakat tersebut dahulunya penganut paham animisme.
Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih
terjerat perilaku seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada
ramalan-ramalan aneh.
3. Kepentingan
Politik
Kepentingan-kepentingan
politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan
politik yang dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah
negara, dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik
pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan tertentu dalam
sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas masyarakat.
Di jaman
Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan politik yang dijalankan berdasarkan
buruk sangka. Kekhawatiran dan ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang
cukup lama telah menjadi alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak
bangsanya sendiri. Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan korban. Bahkan
banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan peristiwa Priok juga
terdzalimi dengan kejam.
Pendek kata,
kepentingan politik telah menjadikan alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai
pembenaran tindakan-tindakan brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk.
Identifikasi bahwa semua orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari
ekstrim kanan, yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan
pemerintahan yang sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan
komoditas politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih
didengungkan oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan
prasangka dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam
beberapa kasus. Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini terus menerus
dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya berdasar buruk sangka,
berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan hanya karena selera suka atau
tidak suka.[12]
4. Estimasi
Pertahanan Diri
Kadang, orang
punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang
ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman
secara psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah
merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron &
Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang enggan
merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild prejudice) yang tak
berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk umumnya sulit diberi pelayanan
perawatan. Tentu saja ini belum tentu benar. Tapi, begitulah adanya.
Estimasi
pertahanan diri yang dasarnya buruk sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan
stereotipe. Sebuah penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas.
Seperti sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti
pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain sebagainya.
Pengalaman unik
seorang pemuda berikut bisa menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar
dan serta merta menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong,
berbadan besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia
terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan,
melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari Surabaya,
Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia berencana menetap
sementara di rumah temannya sambil mencari kerja, berbekal ijazah SMA dan
beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya, sewaktu tiba di alamat yang dituju,
temannya sudah pindah, dan -suatu hal yang tidak aneh- para tetangga tidak tahu
alamat barunya. Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin mengeluarkan uang
untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang simpanannya keburu habis sebelum
nasibnya jelas. Ketika malam semakin larut, akhirnya ia memilih emperan toko
untuk bermalam. Tapi segera ia menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong
itu sekonyong-konyong menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang
seram seperti itu pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya. Tapi
laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan mengajaknya berbincang. Akhirnya,
Arman justru menceritakan masalah yang menimpanya. Melihat ketulusan di sorot
mata laki-laki itu, Arman tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia
melihat, laki-laki itu seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia
memiliki adik yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di
daerah Sumatera.[13]
Akhirnya, malam
itu Arman justru menginap di rumah laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran
kali Ciliwung. Dan orang yang kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya
pekerjaan, sebagai kenek bis yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal
di rumah laki-laki itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman
seperti adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang
tulus seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor.
Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.
Sikap stereotipe
menilai sesuatu secara keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia
mengisahkan pengalaman yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia
naik bis umum dari tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja.
Menjelang keluar tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam
terus mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa
seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi
laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita berjilbab itu
menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya. Ternyata laki-laki
itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa dipastikan ia suaminya, atau
paling tidak salah satu keluarga dekatnya."
Bila berlebihan,
buruk sangka karena estimasi pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian
seperti paranoid. Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga
melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut,
merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu menolak
menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau informasi tersebut
digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak kepada gangguan
kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan penampilan ganjil, selalu curiga,
dan kecemasan sosial yang luar biasa terhadap orang yang tidak dikenal.[14]
5. Ilmu
yang Pas-Pasan
Keterbatasan
ilmu juga menjadi pemicu bagi munculnya sikap buruk sangka. Minimnya
pengetahuan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memandang masalah,
menyimpulkan, serta menentukan sikap atas berbagai peristiwa. Dalam beberapa
disiplin ilmu, kata ‘prasangka’ secara definitif diartikan sebagai penguasaan
masalah sebesar 50 persen atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia
sekaligus lawan dari kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus
persen. Maka, orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan
cara yang salah.
Setiap orang
harus sadar, bahwa di atas yang tahu masih ada yang lebih tahu. Di atas yang
berilmu masih ada yang lebih berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis,
berkembang, dan memunculkan hal-hal baru. Buruk sangka karena keterbatasan
pengetahuan bisa dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah
memutuskan menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah,
sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai kekalahan.
Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.
Dahulu, Musa menganggap
Hidhir telah bertindak aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta
memperbaiki bangunan di suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah
dijelaskan alasannya barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.[15]
Disisi yang
lain, ada juga hasil kesimpulan yang akhirnya memberikan nilai minus/kurang
atas diri seseorang, yang mana instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan
perangkat penilaian yang obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah
Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap sebagai kesimpulan
yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya, orang yang ilmu-nya pas-pas-an
justru menaruh simpati kepada orang yang telah dinilai kurang tersebut. Lebih
parah lagi jika rasa simpati itu sudah bersemayam sejak lama, sehingga
melahirkan sikap proteksi atas semua penilaian yang kurang atas orang yang
dikaguminya. Inilah bentuk lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang
obyektif. Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul
amanah.
6. Diskriminasi
‘Besar-Kecil’
Adanya
diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh ‘orang-orang besar’ dalam berbagai
bentuk juga merupakan salah satu korban buruk sangka. Seringkali orang-orang
kaya memenuhi pikirannya dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik,
bodoh, bahkan pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya
sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih. Seorang pembantu rumah tangga
wanita, sebut saja Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan
majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima.
Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu meluluhkan
hatinya untuk pergi. Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada penghuni
rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya yang diperiksa.
Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung dibongkar dan diacak-acak.
Tina berusaha tabah meski sebagai manusia normal ia sebenarnya tidak rela
diperlakukan kasar.
Diskriminasi
‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak bentuk. Budaya feodalisme yang merambah
beragam sektor kehidupan turut membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi
penyakit yang menyerang kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang
paling kuat, sedang orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang
paling punya pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak
tahu menahu soal penyakit.[16]
Orang tua merasa
dirinya paling tahu sedang anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau
kencur yang tak mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer,
seorang direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada
dibawahnya lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di Afrika
juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih lebih mulia
dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk sangka yang
diskriminatif dan tidak semuanya benar. Urat nadi buruk sangka masih sangat
banyak. Dengan menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya
kita telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup banyak
orang. Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita harus
berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang tidak
ringang, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian hari, karena
hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
من
احتكرطعامافهوخاطىء
“barang
siapa yang menimbun makanan maka ia adalah orang yang berdosa.” (H.R Muslim
dan Abu Daud).
Menimbun yang
diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan
tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik.
Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut
hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya. Setelah situasi
sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan
menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka,
maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah. Oleh karena itu,
islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan
menurut pandangan islam.
إياكموالظن٬فإن الظن اكذب الحديث
“Jauhilah
oleh kalian berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka itu merupakan
sedusta-dustanya pembicaraan” (H.R Bukhari dan
Muslim)
Buruk sangka
adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai
bukti yang jelas. Buruk sangka adalah sifat yang keji yang merupakan duri dalam
kehidupan. jika di perhatikan setiap kali berlaku sesuatu tindakan atau tingkah
laku tertentu dalam masyarakat, orang lebih cenderung untuk bersangka buruk daripada
berbaik sangka. Sikap inilah yang selalu membawa perpecahan & pertikaian dalam
kehidupan sehari-hari.
B.
Saran
Sebagai
sesama manusia, kita di sarankan agar senantiasa berbaik sangka, karena hal ini
dapat menghindari daripada tersebarnya fitnah yang bersarang daripada sikap
buruk sangka. Sebaliknya jika kita berbaik sangka kita akan dapat mempererat
kasih sayang, kepercayaan, & persaudaraan. Betapa indahnya kesan bersangka
baik karena ia juga melambangkan ketenangan & kepercayaan diantara individu
dalam masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001
Thabbarah, Afif Abdullah Fattah, Dosa-Dosa Menurut Al-Qur’an, Cet. IX;
Bandung: Gema Risalah Press, 1993
Nawawi, Imam, Shahih Riyadhush-Shalihin 2,
Cet. I; Jakarta: Pusataka Azzam, 2003
[1] Afif Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa-Dosa Menurut Al-Qur’an, (Cet. IX;
Bandung: Gema Risalah Press, 1993), h. 227-228
[2] Ibid., h. 226-227
[3] Dan seorang ahli fiqh yang
bernama Abu Yusuf mengatakan bahwa segala apa yang membahayakan manusia apabila
disimpan/ditimbun itu juga diharamkan, baik berupa bahan pakaian, emas dan
padi, dan sebagainya.
[4] Imam Nawawi, Shahih Riyadhush-Shalihin 2, (Cet. I;
Jakarta: Pusataka Azzam, 2003), h. 444
[7] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro,
2001), h. 412
EmoticonEmoticon