Minggu, 07 September 2014

Hadist tentang Larangan Menimbun Bahan Pokok dan Berburuk Sangka

Makalah
“Hadist tentang Larangan Menimbun Bahan Pokok dan Berburuk Sangka”
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Hadits
Disusun oleh:
Jubaida Kidam
Nim   : 09.2.3.047
Tarbiyah / PAI 2
Semester IV
Dosen:
Drs. Moh. S. Rahman. M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2011



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menimbun adalah salah satu yang diharamkan dalam islam, yaitu menumpuk bahan kebutuhan pokok manusia dan tidak menjualnya sampai harga jualnya dipasaran naik. Sebagai akibat dari perbuatan menimbun ini keseimbangan pemerataan akan kacau dalam tubuh masyarakat.
Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.
Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si X begini, si Y begitu, si Z demikian, dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang.
B.     Permasalahan
Dari uraian di atas pemakalah dapat menarik beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu?

1.      Bagaimana redaksi hadits tentang menimbun bahan pokok?
2.      Menimbun seperti apa yang diharamkan Islam?
3.      Bagaimana redaksi hadits tentang buruk sangka?
4.      Apa yang dimaksud dengan buruk sangka?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hadist tentang larangan menimbun bahan pokok
من احتكرعلى المسلمين طعا مهم ضربه الله بافلاس أوبجذام
“ barang siapa yang melakukan penimbunan terhadap makanan kaum muslimin, Allah akan menimpanya dengan kerugian atau akan terkena penyakit lepra” (H.R. Imam Ahmad).

Dan sabda Rasulullah saw.:
من احتكرطعامافهوخاطىء
      “barang siapa yang menimbun makanan maka ia adalah orang yang berdosa.” (H.R Muslim dan Abu Daud).

Rasulullah pernah bersabda:
مناحتكرطعاماأربعين ليلة فقد برىء من الله وبرىءالله منه
“barang siapa menimbun makanan selama empat puluh hari, ia akan lepas dari tanggungan Allah dan Allah pun cuci tangan dari perbuatannya.” (H.R Imam Ahmad)

Rasulullah menegaskan sekali lagi mengenai masalah penimbunan ini dengan sabda beliau:
الجالب مرزوق ولمحتكرملعون
“orang yang menjual barang dagangannya akan diberkahi rezkinya dan orang yang menimbun dagangannya akan dilaknat Allah.” (H.R Ibnu Majjah)
Kemudian orang yang suka melakukan penimbunan akan dijauhkan dari rahmat Allah, karena ia tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap manusia,[1] sedangkan Rasulullah saw bersabda:
لايرحم الله من لايرحم الناس
“Allah tidak akan menaruh belas kasihan terhadap orang yang tidak mempunyai rasa belas kasihan terhadap orang lain.” (H.R Bukhari)
B.     Menimbun
Menimbun yang diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik. Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya. Setelah situasi sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka, maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah. Oleh karena itu, islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan menurut pandangan islam.
Sebagai akibat dari perbuatan menimbun ini keseimbangan pemerataan akan kacau dalam tubuh masyarakat, karena para tengkulak terus menyedot sebagian besar kekayaan rakyat tanpa mengenal belas kasihan. Sebagai akibatnya maka harga barang-barang dipasaran mengalami kenaikan drastic, dan keadaan pasaran menjadi guncang karena tidak adanya stabilitas harga barang-barang. Melihat situasi yang labil ini, rakyat pun berlomba-lomba malakukan pembelian yang lebih dari kebutuhannya, sekalipun harga barang sangat mahal karena takut habis. Yang menjadi korban utama adalah kaum fakir miskin. Mereka tak dapat meraih kebutuhan-kebutuhan pokoknya disebabkan kemampuan daya beli mereka yang terbatas. Hal ini tak akan bisa terjadi, seandainya tidak ada para tengkulak yang memborong semua kebutuhan-kebutuhan pokok, dan mencegahnya dari peredaran.[2]
Antara kaum penimbun dan kaum periba, kedua-duanya sama saja. Mereka menindas rakyat dengan cara menguasai kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Hanya saja, kaum penimbun lebih terkutuk disisi Allah karena dua hal:
1.      Penimbunan kebutuhan pokok rakyat dan barang-barang yang serupa,[3] lebih berbahaya dari pada penimbunan yang dilakukan oleh orang-orang yang suka menjalankan riba, karena kaum periba hanya menimbun uang saja.
2.      Bahaya yang ditimbulkan oleh penimbunan kebutuhan pokok rakyat amatlah fatal, karena seluruh rakyat akan merasakan penderitaannya. Berbeda dengan riba, ia hanya golongan-golongan tertentu saja yang merasakan penindasannya yaitu golongan yang membutuhkan capital.
Rasulullah telah menjelaskan kepada kita akibat menjalankan pekerjaan menimbun ini, bahwa harta yang dihasilkan dari usaha menimbun sama sekali tidak akan diberkahi oleh Allah. Dan pelakunya akan tertimpa penyakit paling kotor. Selain itu, pelakunya mendapat dosa yang amat besar karena sudah keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh Allah.
C.    Hadits tentang Berburuk Sangka
إياكموالظن٬فإن الظن اكذب الحديث
“Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka itu merupakan sedusta-dustanya pembicaraan” (H.R Bukhari dan Muslim)[4]
D.    Berburuk sangka
Buruk sangka adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas.[5]
Berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.
Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Berbagai prasangka terlintas di pikiran kita, si X begini, si Y begitu, si Z demikian, dan demikian. Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang.[6] Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Q.S Al-Hujurat: 12)[7]
Dalam ayat di atas, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk menjauhi kebanyakan dari prasangka dan tidak mengatakan agar kita menjauhi semua prasangka. Karena memang prasangka yang dibangun di atas suatu qarinah (tanda-tanda yang menunjukkan ke arah tersebut) tidaklah terlarang. Hal itu merupakan tabiat manusia. Bila ia mendapatkan qarinah yang kuat maka timbullah zhannya, apakah zhan yang baik ataupun yang tidak baik. Yang namanya manusia memang mau tidak mau akan tunduk menuruti qarinah yang ada. Yang seperti ini tidak apa-apa. Yang terlarang adalah berprasangka semata-mata tanpa ada qarinah. Inilah zhan yang diperingatkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinyatakan oleh beliau sebagai pembicaraan yang paling dusta.
Buruk sangka adalah sifat yang keji yang merupakan duri dalam kehidupan. jika di perhatikan setiap kali berlaku sesuatu tindakan atau tingkah laku tertentu dalam masyarakat, orang lebih cenderung untuk bersangka buruk daripada berbaik sangka. Sikap inilah yang selalu membawa perpecahan & pertikaian dalam kehidupan sehari-hari.[8]
Berikut ini adalah beberapa obat untuk menyembuhkan penyakit hati kita :
1.      Tidak Banyak Bicara; Terlalu banyak bicara dapat membuat hati kita menjadi keras. Berbicaralah yang tidak penting secukupnya dan hindari menjadi orang yang omong besar, omdo / omong doang, pembual, tukang bohong, ghibah, ngerumpi, dan lain sebagainya. Banyak bicara dalam kebaikan boleh-boleh saja seperti untuk mengajar, petugas pelayanan, ngobrol biasa dengan teman, tetangga, keluarga, dan lain sebagainya.
2.      Menjaga Emosi Dan Nafsu; Emosi dapat membuat hidup menjadi tidak tenang. Oleh karena itu kita sebaiknya selalu menjaga emosi kita agar tidak menjurus ke penyakit hati. Beberapa contoh nafsu yang harus kita tundukkan antara lain seperti nafsu akan harta, nafsu seks, nafsu makan, nafsu jabatan, nafsu marah, nafsu mewujudkan impian, dan lain sebagainya. Salah satu cara untuk melatih emosi dan nafsu kita adalah dengan melakukan ibadah puasa, baik puasa sunah maupun puasa wajib ramadhan.[9]
3.      Selalu Mengingat Allah SWT; Ada beberapa cara untuk dapat selalu mengingat Allah SWT yaitu seperti dengan rajin sholat baik sholat wajib lima waktu, shalat tahajud, sholat dhuha, solat malam, dan lain-lain. Selain itu zikir, doa dan mengaji atau membaca al-qur'an juga dapat menghindarkan kita dari penyakit hati. Diharapkan dari mengingat Allah SWT kita menjadi takut atas ancaman Allah SWT jika kita melakukan dosa yang disebabkan oleh penyakit hati dan perbuatan maksiat.
4.      Bergaul Dengan Orang Saleh / Soleh; Dengan berteman dengan orang-orang yang penuh dengan penyakit hati hanya akan menulari kita dengan penyakit-penyakit itu sehingga kita akan semakin jauh dari Allah. Salah pergaulan juga dapat menambah dosa akibat perbuatan maksiat yang baik disadari atau tidak telah kita lakukan. Lain hal apabila kita bergaul dengan orang shaleh yang selalu menjaga dan membatasi diri dalam pergaulan agar mereka tidak terjerumus dalam maksiat.
Darimana buruk sangka datang?
Kebiasaan berburuk sangka telah ada sejak lama. Di sekitar kita, bila dicermati, bertebaran sikap manusia yang berprasangka buruk. Sebutlah pandangan mata curiga, sinis, ekspresi kecut yang penuh apriori, sampai dalam bentuk sikap kasar yang tidak bersahabat.
Menurut para ahli, buruk sangka merupakan salah satu mekanisme psikologis yang paling alamiah dalam diri manusia. Karena itu, sulit sekali menghilangkan buruk sangka. Banyak faktor yang memicu merebaknya prasangka-prasangka buruk:[10]
1.      Faktor lingkungan;
Lingkungan memberi pengaruh yang cukup besar bagi lahirnya sikap buruk sangka. Lingkungan dimaksud bisa keluarga, masyarakat, tempat bekerja, sekolah, dan lain sebagainya. Lingkungan yang kejam, kotor, dan tidak sehat seringkali memberi pengaruh kuat bagi lahirnya kebiasaan buruk sangka. Bahkan, dalam budaya orang-orang ‘primitif’, buruk sangka seringkali menjadi acuan utama kehidupan sosial mereka, sebagai kompensasi timbal balik dari lingkungannya yang memang buruk. Seperti yang terjadi pada suku Dobu di Melanesia. Ideologi hidup mereka adalah sihir. Akibatnya, paradigma hidup mereka pun banyak yang terjungkal. Setiap anak-anak Dobu meyakini bahwa kehidupan mereka diatur oleh kekuatan sihir. Maka, begitu ada yang terkena bencana atau musibah, muncullah aksi balas dendam dari keluarganya kepada pihak-pihak yang diduga telah menyihir anggota keluarganya.
Setiap orang dari suku tersebut selalu takut kalau diracun. Makanan dijaga ketat. Hanya dengan orang-orang tertentu saja suku Dobu mau makan bersama. Sikap curiga, buruk sangka, tidak dapat dipercaya, menjadi budaya hidup mereka. Lingkungan hidup yang keras bisa menumbuhsuburkan sikap cepat curiga. Ia identik dengan medan tempat setiap orang harus bertarung mempertahankan hidupnya. Berjibaku mengejar apa yang bisa ia makan, meski harus memangsa orang lain dengan jalan yang salah. Bagaimana dengan lingkungan kita? Atau Bagaimana dengan lingkungan kerja kita?
2.      Keyakinan yang salah
Keyakinan yang salah bisa melahirkan buruk sangka. Termasuk dalam kategori ini adalah ideologi atau aqidah yang salah. Seperti berburuk sangka kepada Allah, dengan menuduh-Nya tidak adil. Orang-orang jahiliyah sebelum Islam punya keyakinan yang terkait erat dengan prasangka buruk. Setiap memasuki hari-hari yang baru, mereka mengukur nasib dengan apa yang pertama kali mereka lihat. Bila pagi itu mereka melihat ular, atau burung gagak, atau apa saja yang berwarna hitam, pertanda hari buruk sedang menanti. Dalam Islam, perilaku seperti itu disebut dengan tathayyur. Secara bahasa, tathayyur artinya sebuah perilaku menyandarkan sikap kepada burung (tha-ir). Tindakan seperti itu dilarang keras oleh Islam karena bisa merusak kemurnian akidah.[11]
Buruk sangka dengan kemasan keyakinan seperti itu masih banyak menyebar dalam masyarakat. Terlebih bila masyarakat tersebut dahulunya penganut paham animisme. Tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat modern pun banyak yang masih terjerat perilaku seperti itu. Banyak yang menggantungkan nasibnya kepada ramalan-ramalan aneh.
3.      Kepentingan Politik
Kepentingan-kepentingan politik juga menjadi pemicu lahirnya sikap buruk sangka. Definisi kepentingan politik yang dimaksud tidak selalu harus dalam konteks kekuasaan di sebuah negara, dari tingkat lurah sampai presiden. Bisa saja berbentuk politik pencapaian jabatan di sebuah instansi, politik pencapaian tujuan tertentu dalam sebuah organisasi, atau dalam sebuah komunitas masyarakat.
Di jaman Soeharto berkuasa, tak sedikit kebijakan politik yang dijalankan berdasarkan buruk sangka. Kekhawatiran dan ketakutan kepada umat Islam dalam kurun yang cukup lama telah menjadi alasan untuk berlaku diskriminatif kepada anak bangsanya sendiri. Tragedi Priok misalnya, telah banyak memakan korban. Bahkan banyak orang yang sama sekali tak punya urusan dengan peristiwa Priok juga terdzalimi dengan kejam.
Pendek kata, kepentingan politik telah menjadikan alasan sistem kewaspadaan nasional sebagai pembenaran tindakan-tindakan brutal, yang dasarnya hanya prasangka buruk. Identifikasi bahwa semua orang Islam yang nampak konsisten disebut bagian dari ekstrim kanan, yang akan merongrong kewibawaan negara, menggulingkan pemerintahan yang sah, adalah idiom-idiom buruk sangka yang terus dijadikan komoditas politik Soeharto. Sayangnya, idiom ekstrim kanan juga masih didengungkan oleh penguasa saat ini. Bahkan, muncul kebiasaan menyebarkan prasangka dan keresahan dengan menyebut inisial, sebagai tertuduh dalam beberapa kasus. Tentu semua orang tidak ingin, bila bangsa ini terus menerus dipimpin oleh penguasa yang kebijakan politiknya hanya berdasar buruk sangka, berpijak pada asumsi-asumsi buta, atau bahkan hanya karena selera suka atau tidak suka.[12]
4.      Estimasi Pertahanan Diri
Kadang, orang punya prasangka buruk demi kepentingan mempertahankan diri. Rasa aman yang ingin diperoleh seseorang sering kali diwujudkan dengan membuat lingkar pengaman secara psikologis atas semua orang yang dihadapi. Kebiasaan ini bahkan telah merambah ke sektor-sektor kehidupan harian. Ada penelitian unik (Baron & Byrne,1997) tentang kecenderungan para perawat di rumah sakit yang enggan merawat orang-orang gemuk, karena prasangka ringan (mild prejudice) yang tak berdasar. Mereka berprasangka bahwa orang gemuk umumnya sulit diberi pelayanan perawatan. Tentu saja ini belum tentu benar. Tapi, begitulah adanya.
Estimasi pertahanan diri yang dasarnya buruk sangka sangat berbahaya. Ia bisa melahirkan stereotipe. Sebuah penyeragaman pandangan atas suatu obyek dengan totalitas. Seperti sangkaan bahwa ‘laki-laki yang menuntun motor di tengah malam itu pasti pencuri’, ‘orang yang berambut panjang itu pasti preman’, dan lain sebagainya.
Pengalaman unik seorang pemuda berikut bisa menjadi pelajaran. Arman (24 tahun), sempat gemetar dan serta merta menjauhi laki-laki berkulit gelap berminyak, berambut gondrong, berbadan besar serta berpakaian lusuh yang menghampirinya. Malam itu, ia terpaksa tidur di emperan toko. Arman bukan pengemis atau gelandangan, melainkan pemuda ‘rumahan’ yang ‘terlunta-lunta’ di Jakarta. Dari Surabaya, Arman memutuskan mendatangi teman lamanya di Jakarta. Ia berencana menetap sementara di rumah temannya sambil mencari kerja, berbekal ijazah SMA dan beberapa ijazah kursus. Di luar dugaannya, sewaktu tiba di alamat yang dituju, temannya sudah pindah, dan -suatu hal yang tidak aneh- para tetangga tidak tahu alamat barunya. Malam mulai tiba. Sementara Arman tidak ingin mengeluarkan uang untuk menginap di losmen. Ia khawatir, uang simpanannya keburu habis sebelum nasibnya jelas. Ketika malam semakin larut, akhirnya ia memilih emperan toko untuk bermalam. Tapi segera ia menyesali pilihannya, karena laki-laki gondrong itu sekonyong-konyong menghampirinya. Di kepalanya sudah berkecamuk, orang seram seperti itu pasti akan merampok, menganiaya atau bahkan membunuhnya. Tapi laki-laki itu dengan ramah menegurnya, dan mengajaknya berbincang. Akhirnya, Arman justru menceritakan masalah yang menimpanya. Melihat ketulusan di sorot mata laki-laki itu, Arman tiba-tiba yakin, ia orang baik-baik. Bahkan ia melihat, laki-laki itu seperti iba padanya. Menurut pengakuan laki-laki itu, ia memiliki adik yang sebaya Arman, dan sekarang tinggal di kampung halamannya, di daerah Sumatera.[13]
Akhirnya, malam itu Arman justru menginap di rumah laki-laki itu, di daerah kumuh pinggiran kali Ciliwung. Dan orang yang kemudian dipanggilnya Abang itu memberinya pekerjaan, sebagai kenek bis yang dikemudikannya. Beberapa bulan Arman tinggal di rumah laki-laki itu, yang ternyata benar-benar baik dan memperlakukan Arman seperti adiknya. Ia juga heran, di jaman seperti ini, masih ada orang yang tulus seperti itu. Kini Arman sudah bekerja sebagai pegawai di suatu kantor. Tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan sang Abang.
Sikap stereotipe menilai sesuatu secara keseluruhan juga dialami oleh Musyarif (26). Ia mengisahkan pengalaman yang tak akan ia lupakan. Suatu hari seperti biasa ia naik bis umum dari tempat tinggalnya di Bekasi ke Jakarta untuk bekerja. Menjelang keluar tol UKI, dilihatnya seorang laki-laki dengan kacamata hitam terus mendekat-dekat kepada seorang wanita berjilbab. Musyarif yakin bahwa seorang copet sedang siap-siap beraksi. Ia berusaha sedikit menghalangi laki-laki itu. Begitu bus menurunkan penumpangnya di UKI, wanita berjilbab itu menggamit laki-laki berkacamata hitam itu dan menuntunnya. Ternyata laki-laki itu buta. Dari cara wanita itu membimbingnya, bisa dipastikan ia suaminya, atau paling tidak salah satu keluarga dekatnya."
Bila berlebihan, buruk sangka karena estimasi pertahanan diri bisa menjadi penyakit kepribadian seperti paranoid. Di mana orang punya rasa takut yang sangat berlebihan. Hingga melahirkan anggapan secara konsisten bahwa orang lain berusaha menuntut, merusak, atau mengancam. Bahkan, orang yang berpenyakit seperti itu menolak menceritakan rahasia kepada orang lain karena takut kalau informasi tersebut digunakan untuk melawan dirinya. Bisa juga berdampak kepada gangguan kepribadian skizotipal. Yaitu suatu sikap dan penampilan ganjil, selalu curiga, dan kecemasan sosial yang luar biasa terhadap orang yang tidak dikenal.[14]
5.      Ilmu yang Pas-Pasan
Keterbatasan ilmu juga menjadi pemicu bagi munculnya sikap buruk sangka. Minimnya pengetahuan akan berpengaruh pada kemampuan seseorang untuk memandang masalah, menyimpulkan, serta menentukan sikap atas berbagai peristiwa. Dalam beberapa disiplin ilmu, kata ‘prasangka’ secara definitif diartikan sebagai penguasaan masalah sebesar 50 persen atau lebih tapi tidak sampai seratus persen. Ia sekaligus lawan dari kata ‘faham’, yaitu penguasaan masalah hingga seratus persen. Maka, orang yang tidak faham, sangat mungkin memaknai sesuatu dengan cara yang salah.
Setiap orang harus sadar, bahwa di atas yang tahu masih ada yang lebih tahu. Di atas yang berilmu masih ada yang lebih berilmu. Apalaqi hampir semua ilmu itu dinamis, berkembang, dan memunculkan hal-hal baru. Buruk sangka karena keterbatasan pengetahuan bisa dihindari dengan mencari tahu. Dahulu, ketika Rasulullah memutuskan menerima perjanjian damai dengan orang-orang Quraisy di Hudhaibiyah, sebagian sahabat -termasuk Umar bin Khatab- memandang itu sebagai kekalahan. Tetapi dikemudian hari ia menyadari kekeliruan dugaannya.
Dahulu, Musa menganggap Hidhir telah bertindak aniaya. Membolongi perahu, membunuh anak, serta memperbaiki bangunan di suatu kampung yang penduduknya pelit. Setelah dijelaskan alasannya barulah ia menyadari bahwa dugaannya itu salah.[15]
Disisi yang lain, ada juga hasil kesimpulan yang akhirnya memberikan nilai minus/kurang atas diri seseorang, yang mana instrumen penilaiannya benar-benar berdasarkan perangkat penilaian yang obyektif (misalnya mengacu pada poin-poin syakhsiyah Islamiyah). Namun ironisnya penilaian itu justru dianggap sebagai kesimpulan yang dipenuhi oleh rasa buruk sangka. Akibatnya, orang yang ilmu-nya pas-pas-an justru menaruh simpati kepada orang yang telah dinilai kurang tersebut. Lebih parah lagi jika rasa simpati itu sudah bersemayam sejak lama, sehingga melahirkan sikap proteksi atas semua penilaian yang kurang atas orang yang dikaguminya. Inilah bentuk lain dari buruk sangka terhadap suatu evaluasi yang obyektif. Wallahu’alam. Hanya orang yang kuat dan berilmu, yang mampu memikul amanah. 
6.      Diskriminasi ‘Besar-Kecil’
Adanya diskriminasi atas ‘orang-orang kecil’ oleh ‘orang-orang besar’ dalam berbagai bentuk juga merupakan salah satu korban buruk sangka. Seringkali orang-orang kaya memenuhi pikirannya dengan persepsi bahwa orang-orang miskin itu kumuh, udik, bodoh, bahkan pencuri. Padahal, orang-orang ‘besar’ banyak juga yang profesinya sebagai koruptor dan penjahat berkerah putih. Seorang pembantu rumah tangga wanita, sebut saja Tina, di kawasan Jakarta Selatan pernah pergi meninggalkan majikannya karena tidak tahan dengan perlakuan diskriminatif yang ia terima. Kedekatan anak-anak majikannya dengan dirinya akhirnya tak mampu meluluhkan hatinya untuk pergi. Kebetulan sekali saat ia pamit, baru saja ada penghuni rumah itu yang kehilangan uang. Dan, dengan serempak dirinya yang diperiksa. Tas kecil miliknya yang berisi pakaian pun tak urung dibongkar dan diacak-acak. Tina berusaha tabah meski sebagai manusia normal ia sebenarnya tidak rela diperlakukan kasar.
Diskriminasi ‘besar-kecil’ terjadi dalam banyak bentuk. Budaya feodalisme yang merambah beragam sektor kehidupan turut membudidayakan kebiasaan buruk sangka menjadi penyakit yang menyerang kemana-mana. Seorang tentara mengira dirinya yang paling kuat, sedang orang sipil itu lemah. Seorang dokter merasa dirinya yang paling punya pengetahuan tentang kesehatan, sedang pasien itu bodoh dan tidak tahu menahu soal penyakit.[16]
Orang tua merasa dirinya paling tahu sedang anak-anaknya yang mulai tumbuh dianggap anak bau kencur yang tak mengerti apa-apa. Seorang kepala bagian, seorang manajer, seorang direktur, seorang ketua, merasa bahwa orang-orang yang berada dibawahnya lebih rendah dari dirinya. Rasialisme oleh rezim apartheid di Afrika juga bagian dari bentuk prasangka buruk, bahwa orang kulit putih lebih mulia dari orang kulit hitam. Semua itu adalah perilaku buruk sangka yang diskriminatif dan tidak semuanya benar. Urat nadi buruk sangka masih sangat banyak. Dengan menekan semaksimal mungkin sikap berprasangka buruk, setidaknya kita telah memberi kontribusi yang cukup berarti bagi kelangsungan hidup banyak orang. Ya, kita memang harus berpikir sebelum bertindak. Kita harus berpengetahuan sebelum berkesimpulan. Sebuah pembiasaan diri yang tidak ringang, memang. Agar kita tidak salah langkah lagi dikemudian hari, karena hidup ini tidak mengenal siaran tunda. Wallahu’alam



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
من احتكرطعامافهوخاطىء
      “barang siapa yang menimbun makanan maka ia adalah orang yang berdosa.” (H.R Muslim dan Abu Daud).
Menimbun yang diharamkan oleh Islam ialah, menumpuk kebutuhan-kebutuhan pokok manusia, dan tidak menjualnya sambil menunggu sampai harga barang di pasaran menjadi naik. Dengan disekapnya kebutuhan-kebutuhan pokok itu, maka barang-barang tersebut hilang diperedaran, padahall rakyat sangat membutuhkannya. Setelah situasi sudah sampai ketaraf ini, maka para penimbun dan tengkulak-tengkulak akan menjual barang-barangnya dengan harga tinggi. Tentu saja, akibat ulah mereka, maka beban yang harus dipikul oleh rakyat makin bertambah. Oleh karena itu, islam mengharamkan perbuatan ini, dan perdagangan semacam ini tidak dihalalkan menurut pandangan islam.
إياكموالظن٬فإن الظن اكذب الحديث
“Jauhilah oleh kalian berprasangka, karena sesungguhnya berprasangka itu merupakan sedusta-dustanya pembicaraan” (H.R Bukhari dan Muslim)
Buruk sangka adalah sifat yang curiga atau menyangka orang lain berbuat buruk tanpa disertai bukti yang jelas. Buruk sangka adalah sifat yang keji yang merupakan duri dalam kehidupan. jika di perhatikan setiap kali berlaku sesuatu tindakan atau tingkah laku tertentu dalam masyarakat, orang lebih cenderung untuk bersangka buruk daripada berbaik sangka. Sikap inilah yang selalu membawa perpecahan & pertikaian dalam kehidupan sehari-hari.
B.     Saran
Sebagai sesama manusia, kita di sarankan agar senantiasa berbaik sangka, karena hal ini dapat menghindari daripada tersebarnya fitnah yang bersarang daripada sikap buruk sangka. Sebaliknya jika kita berbaik sangka kita akan dapat mempererat kasih sayang, kepercayaan, & persaudaraan. Betapa indahnya kesan bersangka baik karena ia juga melambangkan ketenangan & kepercayaan diantara individu dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Departemen  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001
Thabbarah, Afif Abdullah Fattah, Dosa-Dosa Menurut Al-Qur’an, Cet. IX; Bandung: Gema Risalah Press, 1993
Nawawi, Imam,  Shahih Riyadhush-Shalihin 2, Cet. I; Jakarta: Pusataka Azzam, 2003



[1] Afif Abdullah Fattah Thabbarah, Dosa-Dosa Menurut Al-Qur’an, (Cet. IX; Bandung: Gema Risalah Press, 1993), h. 227-228
[2] Ibid., h. 226-227
[3] Dan seorang ahli fiqh yang bernama Abu Yusuf mengatakan bahwa segala apa yang membahayakan manusia apabila disimpan/ditimbun itu juga diharamkan, baik berupa bahan pakaian, emas dan padi, dan sebagainya.
[4] Imam Nawawi,  Shahih Riyadhush-Shalihin 2, (Cet. I; Jakarta: Pusataka Azzam, 2003), h. 444
[7] Departemen  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001), h. 412


EmoticonEmoticon