Senin, 06 Oktober 2014

Konsep Pendidikan Dalam Masyrakat Madani

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2: 185).
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

B.       PERMASALAHAN
Dari latar belakang di atas dapat di ambil beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dengan rumusan sebagai berikut:
  1. Apa pengertian pendidikan?
  2. Bagaimana konsep masyarakat madani ?
  3. Apa pengertian masyarakat madani?
  4. Seperti Apa Karakteristik Masyarakat Madani?
  5. Bagaimana konsep pendidikan islam dalam masyarakat madani ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Pendidikan

Dalam arti sederhana pendidikan sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya, istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orag dewasa agar ia menjadi dewasa. Dewasa disini dmaksudkan adalah dapat bertanggungjawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis.[1]
Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang di jalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tingi dalam arti mental[2]
Kenyataannya pengertian pendidikan selalu mengalami perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda. Berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengertian pendidikan yang diberikan oleh para ahli (pendidikan), yaitu:

1.        Langeveld;
Pendidikan ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar lebih cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan ditujukan kepada orangyang belum dewasa[3]


2.        John Dewey;
Pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kea rah alam dan sesame manusia.

3.        Driyarkara;
Pendidikan ialah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insane.[4]

4.        Ahmad D. Marimba;
Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini adalah:
a.       Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar.
b.      Ada pendidik atau pembimbing atau penolong.
c.       Ada yang dididik atau si terdidik.
d.      Bimbingan itu mempunyai dasar dan tujuan
e.       Dalam usaha itu tentu ada alat-alat yang dipergunakan.[5]

5.        Ki Hajar Dewantara
Pendidikan yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[6]

B.       Konsep Masyarakat Madani
Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.[7]
Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
C.      Pengertian masyarakat madani
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:[8]
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×ptƒ#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJtƒ 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ÇÊÎÈ  
Artinya:
Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap (masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation, dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu masyarakat yang menjunjung peradaban.
Hal di atas bukan berarti antara civil society dan masyarkat madani memiliki makna yang sama karena civil society merupakan erkembangan pemikiran yang ada di dunia Barat, yang tentu berbeda dengan budaya sosial masyarakat Islam. Dalam perspektif Islam social society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban. Berkaitan mengenai makna At Tamaddun yang berarti peradapan dengan Al-Madinah yang berati kota, maka civil of society diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal yaitu: agama yang merupakan sumbernya dan peradapan adalah prosesnya serta masyarakat kota adalah hasilnya.
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas – luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama dalam satu komunitas.
Masyarakat dalam pengertian umum dapat dianalogikan sebagai komunitas yang hidup dalam suatu negara, daerah atau lingkungan tertentu yang mempunyai common dalam mengakui adanya kebhinekaan dalam ideologi kultur, ras, agama dan lainnya.
Sedangkan Madani Berarti beradab (civeleze), demokratis, baik, bermoral. Yang dimaksud adalah masyarakat yang beradab yang diwujudkan dengan berbudi pekerti yang luhur, mempunyai nilai yang luhur dan mempunyai nilai – nilai moral yang tinggi.[9]
Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat yang berperadaban (civil society) akan tercapai lewat proses pendidikan, yang berarti pendidikan menjadi kunci bagi terciptanya individu yang berbudi pekerti luhur, beretika sosial yang baik kesemuannya mendorong terciptanya masyarakat berperadaban (madani). Di sinilah kuncinya bagaimana Pendidikan Islam dengan “roh” nya Al Qur’an dan Hadits dapat menciptakan dinamika sosial lewat pembentukan individu – individu yang “baik” sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat beradab.[10]
Dengan demikian yang penulis maksud dengan judul di atas adalah bagaimana nilai – nilai pendidikan Islam secara langsung bisa menciptakan sebuah masyarakat madani (civil society), karena ada keterkaitan secara hakekat antara pendidikan Islam dengan masyarakat madani (civil society). Pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah, dasar, tujuannya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, yang ajaran – ajarannya mengandung prinsip moralitas, etika dan nilai – nilai universalisme yang juga merupakan hakekat masyarakat madani (civil society) itu sendiri. Pembahasan yang akan dilakukan penulis pertama adalah menjelaskan Pendidikan Islam dilihat dari nilai – nilainya, sebagai dasar bagi penjelasan identitas yang ada pada masyarakat madani (civil society), kemudian menjelaskan masyarakat madani (civil society), di mana batasan yang penulis lakukan pada konteks Indonesia, walaupun sebelumnya mencoba melakukan pembedahan dalam aspek historis. Akhirnya melakukan penyelerasan bagaimana konsep implementasi nilai – nilai Pendidikan Islam dalam menciptakan masyarakat madani (civil society). Implementasi yang dimaksud penulis menekankan pada implementasi nilai bukan implementasi praktis.
Kemajemukan masyarakat Madinah mengakibatkan munculnya permasalahan sosial yang harus diantisipasi dengan baik  pada saat itu . Oleh karena Nabi Muhammad bersama  penduduk Madinah meletakkan dasar masyarakat Madinah dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal dengan piagam Madinah. Hal tersebut diangap sebagai konstitusi tertulis yang pertama dalam sejarah manusia.
Istitusi piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal secara formal mengatur hubungan sosial antara komponen masyarakat dari sesama muslim dan antar komunitas muslim dengan non muslim. Di dalamnya juga terdapat nilai dasar yang tertuang sebagai fundamental dalam mendirikan dan membangun negara Madinah yaitu prinsip kesederajatan dan keadilan. Hal ini mencakup semua aspek baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dan yang kedua adalah insklusivisme (keterbukaan) konsekwensi dari kemanusiaan yang merupakan suatu pandangan secara positif dan optimis dalam memandang manusia yang pada dasarnya baik. Kedua prinsip ini menjadi landasan ideal dan operasional dalam menjalin hubungan masyarakat  yang mencakup semua aspek kehidupan.[11]
Masyarakat madani, jika dielaborasi terdiri dari dua kata “Masyarakat” yang artinya sekumpulan orang, dan “Madani” yang berarti peradaban, sehingga Masyarakat madani adalah sekumpulan orang (masyarakat) yang beradab. Tetapi pemaknaan secara etimologis (bahasa) seperti itu menurut penulis sangat tidak fair dan terlalu apologis karena secara tidak langsung hanya melakukan penyederhaan dan transfer bahasa dari kata civil atau civilized (beradab) dan society (masyarakat / sosial).
Walaupun dalam arkeologi istilah ilmiah, terjemahan civil society untuk masyarakat madani, adalah kebetulan dan tepat. Tetapi yang jelas ada dua kutub yang berbeda dalam segi bahasa antara Masyarakat madani dan civil society. Masyarakat madani merupakan konstruksi bahasa yang “Islami” yang mengacu pada kata al din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang artinya kota. Dengan demikian, maka terjemahan masyarakat madani mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini agama merupakan sumber, peradaban adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.[12]
Sedangkan civil society secara harfiah adalah terjemahan dari istilah Latin, Civilis Societas. Menurut Cicero (106 – 43 SM) Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (Political Society) yang memiliki kode hukum sebagai pengaturan hidup. [13]
Jadi, secara semantik, istilah masyarakat madani agak kurang tepat disepadankan dengan istilah civil society.  Meski kedua istilah tersebut secara parsial substantif memiliki kesamaan. Dan keduanya sangat relevan sebagai bahan kajian dalam upaya mencari paradigma masyarakat baru. Namun bila ditilik dari locus sejarah berkembangnya, kedua istilah tersebut secara pragmatik, berbeda.[14]
Jadi, akan lebih baik jika masyarakat madani dan civil society lebih banyak ditinjau dari pemaknaan secara filosofis karena akan lebih komprehensif, sekaligus untuk menghindari perdebatan maka kita perlu memberika wish bahwa dalam persoalan pengertian antara Masyarakat madani dan civil society “kira – kira” adalah sama.
Kajian ini, saya mulai dari pendapat Salvador Gilner dalam bukunya “Civil Society and Its Future” seperti dikutip A. Qodry Azizy menyatakan bahwa:[15]
Civil Society is a historically evolved sphere of individual rights, freedom and voluntary associations whose politically undisturbed competition with each other in the pursuit of their respective private concerns, interests, preferences and intentions is guaranted by public institutions, called the state. Any nature civil society exhibits least five prominent dimensions individualism, privacy, market, pluralism and class.
Arti bebasnya kurang lebih,  masyarakat sipil (masyarakat madani) adalah sejarah pengembangan kebebasan hak – hak individu, kemerdekaan dan berbagai macam organisasi sukarela yang memiliki persaingan sehat dalam pengejaran mengenai pribadi mereka, perhatian, pilihan dan mengenai kehendak, adalah jaminan oleh lembaga masyarakat yang bernama negara. Masyarakat sipil secara alami menunjukkan lima bentuk kesanggupan pribadi, pasar, pluralitas, dan kelas.
Kita juga bisa melihat bahwa bahwa masyarakat madani yang dianalogikan dengan civil society adalah suatu kondisi masyarakat yang dilandasi oleh civileze society, karena civileze society menjadi prasyarat terwujudnya masyarakat madani itu sendiri,[16] yang tentunya harus ditegakkan atas landasan  nilai – nilai etik-moral transendental (adat dan agama) yang bersumber dari doktrin langit.[17]
Gagasan perlunya masyarakat madani (civil society) adalah mengandaikan semua elemen masyarakat memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara akumulatif bisa meredam terjadinya proleferasi kekuasaan alamiah (Natural Society) di satu fihak dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di fihak lain.
Untuk itulah mengapa masyarakat madani (civil society) dalam pandangan M. Dawam Rahardjo haruslah masyarakat yang mengacu kepada nilai – nilai kebajikan umum, yang disebut al khair. Masyarakat seperti itu harus dipertahankan dengan membentuk persekutuan – persekutuan, perkumpulan atau asosiasi yang memiliki visi dan pedoman perilaku.[18]
Sedikit menambahi Nurcholish Madjid menyatakan, bahwa masyarakat madani (civil society) lebih dari sekedar campuran berbagai bentuk asosiasi. Pengertian masyarakat madani (civil society)  mengacu kepada kualitas civility, keberadaban; tanpa itu, lingkungan hidup masyarakat hanya akan terdiri faksi – faksi,    klik – klik dan bahkan serikat – serikat rahasia yang saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi – pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik yang berbeda; juga kesediaan untuk menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak ada jawaban yang paling benar terhadap suatu masalah.[19]
Sedangkan Muhamad Atho’ilah Shohibul Hikam, berpendapat bahwa civil society adalah wilayah kehidupan sosial politik yang menjamin berlangsungnya tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi material, tidak terserap dalam jaringan kelembagaan politik resmi, serta wilayah yang mengandung transaksi komunikasi yang bebas oleh warga negara.
Dari sinilah pada dasarnya civil society adalah otonom. Artinya, dia memiliki kemandirian terhadap negara. Tetapi diantara keduanya, sekaligus terdapat hubungan timbal balik. Selain itu, civil society adalah arena sosial yang mengandung berbagai kemungkinan pula terjadi negosiasi terus menerus secara bebas.[20]
Dari beberapa pendapat di atas, benang merah yang kita dapatkan dari pengertian masyarakat madani atau civil society adalah suatu masyarakat yang beradab yang didasarkan pada asas – asas etika (moral) transendental (adat dan agama). Selain itu masyarakat madani atau civil society tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk lembaga kemasyarakatan apapun, dengan syarat “dibungkus” nilai – nilai toleransi sebagai koridornya. Di sisi lain komunikasi antara negara (state) dan masyarakat harus tetap dilangsungkan sebagai garansi bahwa negara (state) juga menjamin adanya masyarakat yang beradab.[21]
Ada dua masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani, yaitu:
1) Masyarakat Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.

D.      Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:[22]
1.      Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.
2.      Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3.      Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.
4.      Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap keputusan-keputusan pemerintah.
5.      Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6.      Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7.      Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai ragam perspektif.
8.      Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang mengatur kehidupan sosial.
9.      Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.
10.  Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi kebebasannya.
11.  Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak lain yang berbeda tersebut.
12.  Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.
13.  Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14.  Berakhlak mulia.
Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).[23]
Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1.      Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2.      Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3.      Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4.      Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan publik dapat dikembangkan.
5.      Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6.      Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7.      Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur, terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).[24]
Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1.      Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan sosial.
2.      Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5), “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”  Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3.      Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.[25]
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).[26]
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.[27]
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Al-Quran.
Meski Al-Quran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. [28]
Prinsip terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama, diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Al-Quran. Pluralitas juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana tertuang dalam Q.S Al-Hujurat (49): 13.[29]
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ  
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Dengan kata lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan. Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas) juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas (penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam Q.S  Al-An’am: 108.[30]
Ÿwur (#q7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããôtƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrôtã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Y­ƒy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ  
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
Ketiga, adalah tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai demokrasi.
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZムÇÌÑÈ  
Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka.” (Q.S As-Syuura: 38)[31]
Ketiga prinsip dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan.
E.       Pembaharuan Paradigma Pendidikan Islam.
Perubahan paradigma pendidikan Islam dari peradigma yang berorientasi pada pendidikan masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Seperti paradigma dualisme pendidikan Islam yaitu adanya dikotomi ilmu yang menjadi bidang garapan pendidikan Islam yakni ilmu agama dan ilmu umum. Paradigma yang mengawetkan kemajuan ke paradigma yang merintis kemajuan, paradigma yang sentralistik ke paradigma yang desenralistik, proses pendidikan yang berorientasi teacher center ke student center, pendidikan yang selama ini difokiskan dengan pengajaran (teaching) harus difokuskan ke pendidikan(learning).
Dengan adanya perubahan paradigma di atas diharapkan dapat memberikan rekonstruksi terhadap asas yang mendasar atau arah pendidikan di dalam usaha meletakkan dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis pendidikan di dalam rangka membangun masyarkat yang demokratis, religius dan tangguh menghadapi tantangan internal maupun global menuju masyarakat madani.

F.       Konsep Pendidikan Islam dalam Membangun Masyarakat Madani.
Konsep pendidikan adalah sebuah pemikiran yang akan menjadi dasar pengaplikasian kegiatan pendidikan atau model desain suatu lembaga pendidikan (Purtanto,1994:30). Sebagai konsep pendidikan Islam yang telah ditawarkan oleh hasyim Amir yang dikutip oleh A.Malik Fajar,untuk menghadapi perubahan  pendidikan dalam masyarakat madani adalah pendidikan yang idealistik yaitu suatu konsep pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik yang berdasarkan pada budaya yang kuat.[32]

a.         Konsep Pendidikan Integralistik
Yaitu pendidikan yag diorientasikan pada komponen kehidupan meliputi orientasi Robbaniyyah (ketuhanan), insaniyya (kemanusiaan) dan alamiyah. Sebagai sesuatu yag integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai pribadi jasmani, rohani, intelektual, perasaan, dan individu sosial yang akan menghasilkn manusia yang memiliki integritas yang tinggi.

b.        Konsep Pendidikan Humanistik.
Pendidikan yagn berorientasi dengan memandang manusia sebagai manusia yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya, manusia makhluk hidup yang harus mampu melangsungkan dan mempertahankan hidupnya. Posisi pendidikan dapat menghasilkan manusia yang manusiawi, mengembangkan dan membentuk manusia yang berfikir, berasa dan berkemauan untuk bertindak sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan.

c.         Konsep Pendidikan Pragmatik
Pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup  yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat maupun rohani. Dengan demikian, model pendidikan ini diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah sosial kemanusiaan.

d.        Pendidikan yang Berakar dari Budaya
Yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar sejarah baik secara kemanusiaan umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa. Pendidikan ini diharapkan dapat membentuk manusia yang mempunyai kepribadian, harga diri dan percaya pada diri sendiri untuk membangun peradaban  berdasarkan budaya.
Dengan konsep pendidikan di atas akhirnya dapat dijadikan desain model pendidikan Islam untuk membangun masyarakat madani. Dalam bentuk operasionalnya sebagai berikut:[33]

1.         mendesain model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga pendidikan yang lain. Dengan demikian visi misi dan tujuan pendidikan, kurikulum, materi pembelajaran, metode pembelajaran, manajemen pendidikan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman.
2.         model pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan, yaitu benar-benar sesuai dengan konsep-konsep Islam.
3.         model pendidikan agama Islam tidak hanya dilaksanakan  di sekolah formal tetapi juga di luar sekolah seperti di lingkungan keluarga masyarakat sehingga pendidikan agama dapat ditanamkan dan disosialisasikan yang menjadi kebutuhan peserta didik, akhirnya pendidikan agama Islam bukan lagi berupa pengetahuan yang di hafal tetapi menjadi kebutuhan dan perilaku aktual.
4.         Desain pendidikan diarahkan pada dua dimensi. Dimensi itu meliputi:

a.         dimensi dialektika (horisontal) pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam/ lingkungan sosialnya, akhirnya manusia mempu mengatasi tantangan dan kendala melalui pengembangan iptek.
b.        dimensi vertikal, hal ini pendidikan sebagai jembatan dalam memahami fenomena dan misteri kehidupan yang abadi.

Keempat model pendidikan islam di atas perlu diupayakan untuk membangun masyarakat madani. Dengan demikian apapun model pendidikan Islam yang ditawarkan untuk membangun masyarakat madani pada dasarnya harus berfungsi untuk memberi kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai ilahiyah, pengetahuan, dan ketrampilan. Nilai-nilai demokrasi dan sosial cultural harus berfungsi untuk memberi kaitan secara operasional antara peserta didik dengan masyarkatnya.[34]



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan

pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orag dewasa agar ia menjadi dewasa. Dewasa disini dmaksudkan adalah dapat bertanggungjawab terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis. Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang di jalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tingi dalam arti mental.
Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap (masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation, dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu masyarakat yang menjunjung peradaban.
Berdasarkan gambaran masyarakat madani di atas, maka dapat kita lihat beberapa karakteristik sebagai berikut:

a.         Masyarakat kota yang berperadaban dan mampu menciptakan peradaban.
b.        Masyarakat yang memiliki pola kehidupan yang benar.
c.         Masyarakat yang terbuka, pluralistik menjamion kebebasan beragama, jujur,adil,  mandiri dan menghormati hak asasi manusia.

Perubahan paradigma pendidikan Islam dari peradigma yang berorientasi pada pendidikan masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang berorientasi ke masa depan. Seperti paradigma dualisme pendidikan Islam yaitu adanya dikotomi ilmu yang menjadi bidang garapan pendidikan Islam yakni ilmu agama dan ilmu umum. Paradigma yang mengawetkan kemajuan ke paradigma yang merintis kemajuan, paradigma yang sentralistik ke paradigma yang desenralistik, proses pendidikan yang berorientasi teacher center ke student center, pendidikan yang selama ini difokiskan dengan pengajaran (teaching) harus difokuskan ke pendidikan(learning).

Konsep pendidikan adalah sebuah pemikiran yang akan menjadi dasar pengaplikasian kegiatan pendidikan atau model desain suatu lembaga pendidikan (Purtanto,1994:30). Sebagai konsep pendidikan Islam yang telah ditawarkan oleh hasyim Amir yang dikutip oleh A.Malik Fajar,untuk menghadapi perubahan  pendidikan dalam masyarakat madani adalah pendidikan yang idealistik yaitu suatu konsep pendidikan yang integralistik, humanistik, pragmatik yang berdasarkan pada budaya yang kuat.
B.       Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan oleh karena itu saran dan kritik dari teman-teman pembaca sangat di harapkan demi perbaikan makalah ini kedepannya.



DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodry, Masyarakat Madani, Antara Cita dan Fakta, Kajian   Historis – Normative, Semarang : Makalah Seminar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan,  Cet. ke – 1., Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2001
Djohar, “Pendidikan yang Membebaskan sebagai Kontruksi Masyarakat Madani” dalam Membongkar ‘Mitos’ Masyarakat Madani, Cet. ke – 1., Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2000
Driyarka, Driyarka Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1950
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999
Langeveld, (terj.), Paedagogiek teoritis/sistematis, Jakarta: FIP IKIP, 1971
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, “Universalisme NilaiNilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Profetika Vol. 1. No. 2. Jakarta, 1999
Raharjo, M. Dawam, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani dalam Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , 2001
Raharjo,  M. Dawam, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Cet. ke – 1., Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999
Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Suito, Deny, Membangun Masyarakat Madani. Jakarta: Centre For Moderate Muslim Indonesia, 2006
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: PT. Aksara Baru, 1985
Wibowo,  Indiwan SW. “Peran Militer Dalam ‘Civil Society’ “, dalam Suara Merdeka, Semarang, 8/ 01 / 2001.



[1] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), h.1
[2] Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992), h. 4
[3] Langeveld, (terj.), Paedagogiek teoritis/sistematis, (Jakarta: FIP IKIP, 1971), h. 5
[4] Driyarka, Driyarka Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1950), h. 74
[5] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), h. 19
[6] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT. Aksara Baru, 1985), h. 2
[7] Deny Suito, Membangun Masyarakat Madani. (Jakarta: Centre For Moderate Muslim Indonesia, 2006), 48
[8] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2001), h. 343
[9] Dawam Rahardjo, Masyarakat madani : Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Cet. ke – 1, Jakarta:  LP3ES, 1999), h. 146.
[12] M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, (Cet. ke – 1., Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), h. 146.
[13] M. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani dalam Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , 2001), h. 18.
[14] Muhajir Effendy, Op. Cit., h. 1.
[15] A. Qodry Azizy, Masyarakat Madani, Antara Cita dan Fakta, Kajian   Historis – Normative, (Semarang : Makalah Seminar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999), h. 3.
[16] Djohar, “Pendidikan yang Membebaskan sebagai Kontruksi Masyarakat Madani” dalam Membongkar ‘Mitos’ Masyarakat Madani, (Cet. ke – 1., Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2000), h. 301.
[17] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Universalisme NilaiNilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Profetika Vol. 1. No. 2. Jakarta, 1999, h. 170.
[18] M. Dawam Rahardjo, Masyarakat Madani: Agama ., h. 152.

[19] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan,  (Cet. ke – 1., Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1999),  h. X.
[20] Indiwan SW Wibowo. “Peran Militer Dalam ‘Civil Society’ “, dalam Suara Merdeka, Semarang, 8/ 01 / 2001.
[29] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 412
[30] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 112
[31] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 389


EmoticonEmoticon