Senin, 06 Oktober 2014

konsep Al-Basyar dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Mafhum atau konsep tentang manusia selalu dikaji dan digali sejak kemunculan manusia itu sendiri hingga kini. Artinya pengkajian dan penggalian terus berlanjut meski belum menemukan kata pasti, atau masih misteri, menurut istilah Alexis Carrel, karena beragam pemikiran dan pandangan subyektivitas yang tak terhindarkan. Alquran yang tema sentralnya manusia mungkin belum banyak diungkap. Gambaran Alquran yang beraneka ragam yang merujuk kepada pandangan tentang manusia antara lain al-Basyar yang lazim diartikan manusia sebagai makhluk biologis, namun tetap dituntut dan dituntun mengikuti norma dan nilai-nilai etis. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam upaya manusia menemukan hakekat dan jati dirinya dari sudut pandangan Alquran. Upaya pencarian jatidiri bagi manusia adalah sebuah persoalan yang tetap aktual sepanjang masa kehidupannya dan tak pernah usai.[1]
Pencarian hakekat manusia yang hanya bertumpu pada pandangan yang subjektif, yang meletakkan pandangan manusia sebagai satu-satunya cara untuk menentu-kan pamahaman terhadap hakekatnya sendiri terasa belum sepenuhnya memadai. Hal ini karena persoalan hakekat manusia hanyalah semata-mata dilihat dari sudut pan-dangan manusia sendiri sebagai obyek studi yang terlepas dari Penciptanya, sehingga mengabaikan sudut pandangan penciptanya. Padahal sudut pandangan Penciptanya tentang penciptaannya merupakan hal yang sangat fundamental untuk memahami sebuah penciptaan (Asy’ari, 1992: 11).
Meskipun Alquran menggambarkan manusia dengan berbagai istilah, Namun dalam tulisan ini penulis hanya akan mencoba mendeskripsikan mengenai pengertian dan konsepsi al-Basyar dalam Alquran dengan bahan referensi yang sangat terbatas.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan apa yang menjadi latar belakang dalam pembahasan kami maka kami sebagai penaji makalah ini memberikan batasan permasalahan agar supaya tidak melebar dan menjadi panjang pembahasannya berhubung terbatasnya waktu dalam pembahasan ini. Adpaun yang kami ankat dalam makalah ini adalah bagaimana konsep Basyar dalam pendidikan dan sejarah Islam ?.















BAB II
PEMBAHASAN
A.     Hakekat manusia
Masalah manusia  adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa.[2]
Bagi Iqbal ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Pantheisme memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa aku ada.[3] Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia kehendak bebas dan berkreatif.[4]
Hakekat manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik, dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya. Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif. Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya, sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang membentuk pada tahapan nafs secara aktual
Bagi Freire dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik, dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia didunia.
Orientasi dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk menjadi lebih. Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis, seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis yang penuh makna dan simbol.
Ruh Tuhan dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas.[5] Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk. Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.
Manusia merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi.[6] Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi. Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi.
Begitu pula manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan. Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya.[7] Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No
Eksistensi manusia
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)
Basic Human Values (Basic Islamic Values)
Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
1
Al Insan
Rasa ingin tahu
Intelektual
Intelektual
2
Al Basyar
Rasa lapar, haus, dingin
Biologis
Biologis
3
Abdullah
Sara ingin berterimakasih dan bersykur kepada tuhan
Spiritual
Spiritual
4
An-Nas
Rasa tahan sendiri dan menderita dalam kesepian
Sosial
Sosial
5
Khalifah fil ardli
Butuh keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan lingkungan
Estetika
Estetika
Manusia yang melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan, al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual, bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan.[8] Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
B.     Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia. Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut. Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai trasendensi.
Manusia dengan Tuhan memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi.[9] Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah. Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan, harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.[10]
C.    Tujuan hidup manusia
Pada hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya.
Nafs yang dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan cahaya kreatifitas abadi
Proses bertemunya nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya alam serta manusia.[11]
Setelah menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai cerminan Tuhan dalam muka bumi.[12] Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun alam
D.    Pengertian al-Basyar
Kata al-basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk manusia baik laki-laki maupun perempuan, satu maupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang berarti permukaan kulit muka, wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut. Ibn Barjah mengartikannya sebagai kulit luar. al-Laits mengartikannya sebagai permukaan kulit pada wajah dan tubuh manusia, karena itu kata mubasyarah diartikan mulamasah yang berarti persentuhan antara kulit laki-laki dan kulit perempuan, disamping itu kata mubasyarah diartikan sebagai al-wath’ atau al-jima` yang berarti persetubuha.
Pemakaian kata basyar di beberapa tempat dalam Alquran memberikan pengertian bahwa yang dimaksud adalah anak adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan.[13]
Jadi basyar untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriah yang menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiahnya. Manusia dalam pengertian basyar mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum dari bahan yang sama yang ada dalam alam ini, dan oleh bertambahnya usia, kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya. Oleh karena itu, manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya kepada alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan dan diminumnya.
Dengan demikian, pemakaian basyar untuk merujuk dimensi alamiahnya yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan meninggal dunia.

E.      Konsep al-Basyar
Dengan memahami konsep manusia dari sudut pandang Penciptanya, diharapkan dapat diambil manfaat yaitu munculnya kesadaran terhadap kebenaran firman-firman Tuhan, yang pada gilirannya membentuk pandangan teosentris.
Dalam Alquran, kata basyar (tanpa menggunakan alif-lam) sebanyak 31 kali, al-basyar (dengan menggunakan alif-lam) sebanyak 5 kali dan basyarain (tanpa alif-lam dalam bentuk dual) sebanyak 1 kali (al-Hasani, t.t.: 52-53). Dari semua ayat tersebut, khususnya basyar dan al-basyar dapat diklasifikasikan menjadi 6 bagian[14], yaitu:
1.      Menggambarkan dimensi fisik manusia
Ada satu ayat yang menyebutkan basyar dalam pengertian kulit manusia, yaitu (Neraka Saqar) akan membakar kulit manusia/lawwahah li al-basyar (lihat Alquran Surat 74: 27-29)
2.      Menyatakan Seorang Nabi adalah Basyar
Ada 23 ayat yang menyatakan bahwa kata basyar dipakai oleh Alquran yang berhubungan dengan dengan Nabi dan kenabian, dan 12 diantaranya menyatakan bahwa seorang nabi adalah basyar, yaitu secara lahiriah mempunyai ciri yang sama yaitu makan dan minum dari bahan yang sama. Antara lain dinyatakan, bahwa para pemuka orang-orang yang kafir dan mendustakan akan menemui hari akhirat: Orang ini tidak lain hanyalah manusia seperti kamu/basyar mitslukum Lihat Alquran Surat 23: 33-34. Lihat juga 14: 10-11, 18: 110, 21: 3, 23: 24, 26: 154 & 186, 36: 15, 41: 6 dan 11: 27
Basyar mitslukum di atas ditafsirkan oleh al-Naisaburi sebagai Adami atau anak keturunan Adam yang tidak punya kelebihan apapun atas anak Adam (manusia) lainnya. Namun ayat ini jelas hanyalah klaim orang-orang kafir.
3.      Menyatakan tentang kenabian
Ayat yang menyatakan kata basyar dipakai oleh Alquran dalam kaitannya dengan kenabian sebanyak 11 buah, antara lain: Tidak wajar bagi seorang manusia (basyar) yang Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah” (Alquran Surat 3: 79. Lihat juga 6: 91, 42: 51, 74: 31, 12: 31, 17: 93-94, 23: 34, dan 54: 24). al-Thabathaba’i (1972: 275) menafsirkan, tidak patut bagi seorang manusia (dalam hal ini Nabi) yang diberikan Tuhan karunia yang berlimpah, lalu memproklamirkan dirinya agar disembah, hanya karena ia diberikan al-Kitab, hikmah dan kenabian.
4.      Menunjukkan Persentuhan Laki-laki dan Perempuan
Ada 2 ayat yang menyebutkan kata basyar dalam kaitannya dengan per-sentuhan antara laki-laki dan perempuan. Maryam berkata: “Bagaimana mung-kin akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia (wa lam yamsasni basyar) pun menyentuhku, dan akan bukan pula seorang pezina” (lihat Alquran Surat 19: 20, lihat juga 3: 47) Lam yamsasni basyar, ditafsirkan oleh al-Naisaburi dengan tidak pernah seorang suami pun mendekatiku, wa lam aku baghiyya, bukan pula seorang lacur (mendekatiku), dan aku sendiri bukan seorang pezina. Seorang anak tidak mungkin ada kecuali dari (hubungan) suami isteri atau berzina.[15]
5.      Menggambarkan Manusia pada umumnya
Alquran yang menggunakan kata basyar dalam pengertian manusia pada umumnya sebanyak 5 ayat, antara lain: “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (In hadza illa qawl al-basyar (Alquran Surat 74: 25, lihat juga 19: 17, 74: 36, 19: 26).
Kebanyakan mufassir tidak mengomentari lagi ayat ini karena sudah sangat jelas kandungannya, namun al-Sayuthi dan al-Mahalli sedikit memberikan penjelasan bahwa ini merupakan rekaman perkataan orang-orang kafir dimana mereka mengatakan sesungguhnya Alquran itu hanya ajaran yang disampaikan oleh manusia  biasa  menambahkan, bahwa orang-orang kafir mengatakan Alquran itu hanya dikutip dari perkataan orang lain (ma-nusia biasa) saja, bukan kalam Allah sebagaimana dakwaannya (Muhammad).[16]
6.      Menyatakan proses penciptaan dari tanah
Yang menyatakan arti basyar sebagai proses penciptaan manusia dari tanah ada 4 ayat, antara lain: Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkem-bang biak/basyar tantasyirun (Alquran Surat 30: 29. Lihat juga 38: 71, dan 15: 28).
Dia menciptakan kamu dari tanah, dimaksud adalah basyar (manusia), kemudian menjadi manusia yang terdiri dari daging dan darah yaitu keturunannya yang tersebar di permukaan bumi (al-Naisaburi, 1994: 431) Menunjukkan manusia akan menemui kematian
Alquran yang menerangkan kata basyar dalam pengertian semua manusia akan menemui kematian hanya 1 ayat, yaitu: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (wa ma ja’alna li basyar min qablik al-khuld), maka jikalau kamu (Muhammad) mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati … (Alquran Surat 21: 34-35)
Hawwa  menafsirkan ayat ini, Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun, yaitu kekal di dunia selama-lamanya sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal? Mereka berangan-angan mati lalu hidup lagi setelah itu. Maka Allah menyangkal anggapan itu dengan ungkapan ini dan menjelaskan mereka pun menuju kehancuran, artinya Ia telah menetapkan tidak akan kekal (hidup) seorang manusia pun di dunia ini. Itulah bukti keperkasaan Allah Swt.[17]
Bila dilihat secara keseluruhan ayat-ayat Alquran yang mengungkapkan tentang kata basyar, semuanya menunjukkan pada gejala umum yang nampak pada fisiknya, atau lahiriahnya, yang secara umum antara satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan, terutama anatomi-anatomi yang tampak kelihatan oleh yang lain. Meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak menyangkut hal-hal yang substansial, namun hanya menyangkut masalah-masalah kecil yang tidak banyak mempengaruhi terhadap fungsi dan eksistensinya selaku manusia.
Dengan melihat pada konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran tersebut, maka dapat ditarik pengertian bahwa kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam kaitannya yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan. Manusia secara fisik tubuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga memungkinkan manusia mempunyai kekuatan untuk mewujudkan gagasan-gagasannya dalam ruang dan waktu tertentu.
Pengertian basyar, tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan mendapatkan dorongan kodrat alamiahnnya, seperti makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu yang berhubungan dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan eksistensi tubuh/diri manusia itu sendiri.[18]
Oleh karenanya, melalui aktivitas basyariahnya, yaitu aktivitas tubuhnya, maka gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian dan kegiatan mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat bangunan.
Kalau dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar jelas menunjukkan konteks yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada ka-pasitas tindakannya.
Oleh karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
Dalam lapangan etika, makna sebuah tindakan ditentukan oleh kesatuannya dengan akal, karena tindakan yang lahir dari gagasan akal adalah tindakan yang sudah diperhitungkan akibat-akibatnya dan dengan sendirinya juga kesediaan memikul tanggungjawab dan menerima sanksi etika bahkan hukum.[19]
Sebaliknya, tindakan yang terlepas dari gagasan akalnya, seperti gerak reflektif, menggaruk karena gatal atau tindakan yang muncul karena pikirannya tidak bekerja seperti orang gila atau tidak sadar, maka tindakannya tidak bisa dinilai dari sudut etika.[20]







BAB II

A.    KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGIS
  Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena al-Qur'an seluruhnya
  berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
                                 Dr. Yusuf Qardhawi
Masyarakat Islam dibentuk  karena  ideologinya,  yaitu  Islam, Ideologi adalah Weltanchauung, yang menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu.  Ideologi adalah  cara  memandang  realitas.  Di antara realitas penting yang diulas ideologi adalah manusia. Toute  ideologie  precise d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu et la place qui lui est assignee daus la groupe,  en  fonction de    l'objektif   social   poursuiri.   Pour    une   religion eschatologique  comme  l'Islam,   dieu   sera   la    reference primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et le fin de la destine e humaine, tulis Marcel  A.  ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani mengenai manusia dalam bab Les Fils d'Adam.[21]
Agak  mengherankan,  walaupun  Boisard   mengakui    pentingnya filsafat  antropologis  dalam  Islam,  ia kemudian menyebutkan bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan  Tuhan  kepada manusia;  bukan  untuk menjelaskan manusia -non pour expliquer l'humain.  Karena  itu  dalam    seluruh bukunya,  Boisard  hampir  tidak pernah membahas karakteristik manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya  filsafat  manusia (philosophic de l'homme). [1]
Dirk  Bakker  (1965) dalam bukunya Man in the Qur'an, mengulas manusia dari segi  penciptaannya,  hubungannya  dengan  dunia, sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia sebagai hamba Tuhan, tapi tidak membahas principe d'entre manusia. Adalah Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan  principe
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaanmanusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan  dalam kalimatnya,
The  only different is that while every other creature follows its nature automatically, man ought to follow his nature; this tranformation  of  the  is  into  ought  is  both   fhe  unique privelege and the unique risk of man.[22]
Rahman mengulas manusia dengan  mengulas  pandangan  al-Qur'an tentang   kedudukan   manusia  sebagai  individu  dan   anggota masyarakat. Ia tidak memulai dari konsep dasar yang  digunakan al-Qur'an   untuk   mengabsorbsikan   manusia.  Dalam   tulisan tersebut,  juga  dalam  tulisan  lain    --yang membahas  amanah  sebagai  inti kodrat manusia-- uraian Rahman tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang  lebih  klasik
(Lihat  Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun) dan beberapa tulisan lainnya  membahas karakteristik  khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali, juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya, seperti  Fazlur  Rahman,  mereka  meneliti ayat-ayat al-Qur'an yang  berkenaan  dengan  manusia,  lalu  menyimpulkan    secara induktif.  Yang  kita  perlukan  di sini, sebetulnya menemukan bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep konsep  dasar manusia.    Dengan   kata   lain,   kita    mengidentifikasikan istilah istilah al-Qur'an tentang manusia,  kemudian  mengenal bidang  semantik  setiap  istilah  itu,  sebagaimana digunakan dalam al-Qur'an.[23]
Saya  sangat  terkesan  dengan  Izutsu yang memperkenalkan metodologi   semantik  dalam  memahami konsep konsep dasar al-Qur'an.  Tidak  mungkin  dalam  makalah ini,  saya  menguraikannya  secara  terperinci. Izutsu sendiri berkata, Unfortunately, what is called semantics today  is  so bewilderingly  complicated.  It is extremely difficult, if not absolutely impossible, for an outsider even to get  a  general idea  of  what  it  is. Malangnya di samping makalah  ini  tidak  dimaksudkan  untuk  itu,   penulis makalah  ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa langkah[24].
Pertama, kita memilih istilah-istilah kunci  (key-terms)   dari vocabulary   al-Qur'an,   yang  kita  anggap  merupakan   unsur konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua,  kita menentukan  makna  pokok  (basic  meaning)  dan   makna  nasabi(relational  meaning).  Makna  pokok  yang  berkenaan    dengan constant  semantic  element which remains attached to the word whereever it goes and however it is used (Izutsu,  1964:  19). Makna nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah itu dihubungkan dengan konteks di  mana  istilah  itu  berada. Ketiga,   kita  menyimpulkan 
Weltanschauung  yang   menyajikan konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
Ketika  Izutsu  membahas  kosep  Tuhan   dan    manusia   dalam al-Qur'an,  ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the Koranic weltanschauung.  Ia  mengambil  konsep  Allah   sebagai istilah  kunci  dan  menjelaskan  hubungan  konsep  itu dengan manusia. Ia  menyebutkan  tiga  hubungan  ontologis,  hubungan komunikasi  nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep  yang  digunakan al-Qur'an  untuk  merujuk manusia. Tulisan ini mengambil jalan lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci manusia  dan bidang  semantiknya. Kedua, akan dibahas implikasi dari bidang semantik   tersebut   untuk   memperoleh    gambaran    tentang Weltanschauung Qur'ani.[25]
F.     BASYAR, INSAN, DAN AL-NAS
Dalam  al-Qur'an,  ada  tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna  pokok  manusia:  basyar,   insan,   dan    al-Nas.   Ada konsep-konsep  lain  yang  jarang dipergunakan dalam al-Qur'an dan dapat dilacak pada salah satu di antara tiga istilah kunci di  atas,  unas,  anasiy,  insiy,  ins. Unas disebut lima kali
dalam  al-Qur'an  (2:60;  7:82;  70:160;  17:71;  27:56)    dan menunjukkan  kelompok  atau  golongan manusia. Dalam QS. 2:60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12  golongan  dalam Bani  Israil.  Surat  17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari kami  memanggil  setiap  unas  dengan  imam   mereka. Anasiy  hanya  disebut  satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk  jamak  dari  insiy,  seperti  kursiy,   menjadi karasiy (Lihat al-Thabrasi, 1937), yang  merupakan  bentuk  lain  dari insanIns  disebut  18  kali  dalam   al-Qur'an,  dan  selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia  yang mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29; 46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
Basyar. Marilah kita kembali kepada ketiga istilah kunci tadi. Basyar  disebut  27  kali.  [3]  Dalam  seluruh ayat tersebut, Basyar  memberikan  referensi  pada  manusia  sebagai   makhluk biologis.   Lihatlah   bagaimana   Maryam    berkata,  Tuhanku, bagaimana  mungkin  aku  mempunyai  anak,  padahal  aku   tidak disentuh  Basyar  (3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena nabi hanyalah Basyar  --manusia biasa   yang  "seperti  kita,"  bukan  superman.   Kata  Basyar dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan  mitsluna  (enam kali)  diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw, disuruh Allah menegaskan bahwa  secara  biologis,  ia  seperti manusia  yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (Basyar) seperti kamu, hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu  ialah Tuhan yang satu (18:110; 41:6). Tentang para Nabi, orang-orang kafir selalu berkata, Bukankah  ia  Basyar  seperti  kamu,  ia makan  apa  yang  kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum (33:33). Ayat ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka  berkata, Bukankah  Rasul  itu  memakan  makanan  dan  berjalan-jalan di pasar; dan QS. 25: 20, Dan  tidak  Kami  utus  sebelummu  para utusan  kecuali  mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf  as.,  mereka  berkata, Ya Allah, ini bukan Basyar, tapi ini tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).[26]
Secara  singkat  konsep  Basyar  selalu   dihubungkan    dengan sifat-sifat  biologis manusia: makan, minum, seks, berjalan di pasar. Dari segi inilah, kita tidak tepat menafsirkan Basyarun mitslukum sebagai manusia seperti kita dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul  untuk  tidak  patuh  pada  dosa   dan
kesalahan   bukan   sifat-sifat   biologis,  tapi   sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya  untuk  tidak menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan  menunjukkan  karakteristik fisiologi   manusia.  Yusuf  Ali  (1977:  1759)  dengan tepat menafsirkan ayat ini
to man God gave the purest and  the  best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God has  made  him  (QS  30:30).
 Al-Syaukani   (1964,    5:   465) menyebutkan  umumnya  para  mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan  kelebihan  manusia  secara  fisiologis:  berjalan tegak,  dan  makan  dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi berkata, Tak ada  makhluk  Allah  yang  lebih  bagus   daripada manusia.   Allah   membuatnya   hidup,  mengetahui,   berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar,  melihat,  dan  memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.[27]
Insan.   Sekali  lagi,  kekeliruan  penafsiran,  umumnya   para mufassir bermula  dari  salah  paham  tentang  semantic   field istilah  insan,  yang  berbeda dengan Basyar. Insan disebut 65 kali dalam al-Qur'an. [4] Kita  dapat  mengelompokkan  konteks insan  dalam  tiga kategori. Pertama, Insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul  amanah.  kedua, Insan  dihubungkan  dengan  predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali  kategori  ketiga  yang  akan  kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis  atau spiritual.
Pada  kategori  pertama,  kita  melihat  keistimewaan   manusia sebagai wujud yang berbeda dengan hewani.  Menurut  al-Qur'an, manusia  adalah makhluk yang diberi ilmu, Yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak diketahuinya. [5] (96:  4, 5),  "Ia  mengajarkan  (insan)  al-bayan" [6] (55: 3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya.  Karena itu  juga,  kata  insan  berkali-kali  dihubungkan dengan kata nazhar.  Insan  disuruh  menazhar  (merenungkan,    memikirkan, menganalisis,   mengamati)   perbuatannya   (79:  35),   proses terbentuknya   makanan   dari   siraman   air    hujan   hingga terbentuknya  buah-buahan  (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah,  setelah  Allah  menjelaskan  sifat insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan pada  diri  mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu al-Haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah makhluk yang memikul  amanah  (33:  72).  amanah adalah menemukan hukum alam, menguasainya atau dalam  istilah  al-Qur'an  "mengetahui nama-nama   semuanya"   dan  kemudian  menggunakannya[28],   dengan inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan  dunia  yang baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat para mufassir tentang makna amanah dan  memilih  makna  amanah sebagai  predisposisi  (isti'dad)  untuk  beriman dan mentaati Allah. Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia  sebagai pemikul  al  wilayah  al-ilahiyyah.  Amanah  inilah yang dalam ayat-ayat lain disebutkan  sebagai  perjanjian  (ahd,  mitsaq,'isr).  [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan secara metaforis [8] dalam surat 7:172.
Ketiga,  karena  manusia  memikul  amanah,  maka  insan   dalam al-Qur'an  juga  dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75: 36; 75:3; 50:16). Ia diwasiatkan  untuk  berbuat  baik  (29:8; 31:14;  46:15);  amalnya  dicatat  dengan  cermat untuk diberi balasan sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39).  Karena itu,   insanlah   yang   dimusuhi  setan  (17:53;   59:16)  dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat  (75:10,  13,  14;  79:35; 80:17; 89:23).
Keempat,  dalam  menyembah  Allah,  insan  sangat   dipengaruhi lingkungannya. Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah Allah  dengan  ikhlas;  bila  ia  mendapat  keberuntungan,   ia cenderung sombong, takabur, dan bahkan musyrik  (10:12;  11:9; 17:67; 17:83; 39:8, 49; 41:49, 51; 42:48; 89:15).
Pada   kategori   kedua,   kata   insan    dihubungkan   dengan predisposisi negatif pada  diri  manusia.  Menurut  al-Qur'an, manusia  itu  cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15), tergesa-gesa (17:11; 21:37), bakhil (17:100),  bodoh  (33:72), banyak  membantah  atau  mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah, gelisah, dan segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan  untuk bersusah  payah  dan  menderita  (84:6; 90:4), tidak berterima kasih (100:6),  berbuat  dosa  (96:6;  75:5),  meragukan   hari akhirat (19:66).[29]
Bila  dihubungkan  dengan  sifat-sifat  manusia  pada kategori pertama,  insan  menjadi  makhluk  paradoksal,  yang   berjuang mengatasi  konflik  dua  kekuatan  yang  saling   bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah (memikul amanat Allah) dan  kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua kekuatan ini digambarkan dengan kategori ayat-ayat ketiga.[30]
Secara menarik proses penciptaan manusia  atau  asal  kejadian manusia  dinisbahkan  pada  konsep insan dan Basyar sekaligus. Sebagai insan manusia diciptakan  dari  tanah  liat,  saripati tanah, tanah (15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula Basyar berasal dari tanah liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20)  dan  air (25:54).  Ini  mendorong  saya untuk menyimpulkan bahwa proses penciptaan manusia menggambarkan secara simbolis karakteristik Basyari dan karakteristik insani. Menurut Qardhawi (1973: 76), manusia adalah gabungan  kekuatan  tanah  dan  hembusan  Ilahi (bain  qabdhat al-thin wa nafkhat al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang  kedua  unsur  ruhani.  Yang  pertama   unsur Basyari,  yang  kedua  unsur  insani. Keduanya harus tergabung dalam keseimbangan. "Tidak boleh (seorang  mukmin)  mengurangi hak-hak  tubuh  untuk  memenuhi  hak  ruh,  dan tidak boleh ia mengurangi hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh,"  kata  Abbas Mahmud al-'Aqqad (1974, 7:381).
Al-Nas.  Konsep  kunci  ketiga  ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial.  Inilah  manusia  yang  palingbanyak  disebut  al-Qur'an    (240  kali,  lihat  'Abd   al-Baqi, al-Mu'jam;  pada  kata  al-Nas).  Tak  mungkin  dalam   makalah singkat  ini, kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas.  Cukuplah  di  sini  ditunjukkan  beberapa  hal    yang memperkuat  pertanyaan  pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.[31]
Pertama, Banyak ayat yang menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian manusia). Dengan memperhatikan  ungkapan  ini,  kita menemukan kelompok manusia yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman  (2:8), yang  mengambil  sekutu  terhadap  Allah  (2:165),  yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200),  yang  mempesonakan  orang dalam  pembicaraan  tentang  kehidupan  dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang  berdebat  dengan  Allah  tanpa  ilmu, petunjuk,  dan  al-Kitab (22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan  iman  yang  lemah   (22:11;   29:10),    yang   menjual pembicaraan  yang  menyesatkan (31:6); di samping ada sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya  untuk  mencari  kerelaan Allah.
Kedua, dengan memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan,  sebagian  besar  manusia   mempunyai    kwalitas rendah,  baik  dari  segi  ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur'an sebagian manusia itu tidak  berilmu  (7:187;  12:21; 28,68;  30:6,  30;  45:26;  34:28,36;  40:57), tidak bersyukur (40:61; 2:243; 12:38), tidak beriman  (11:17;  12:103;  13:1), fasiq   (5:49),  melalaikan  ayat-ayat  Allah  (10:92),   kafir (17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab  (22:18). Ayat-ayat  ini  dipertegas  dengan  ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya kelompok manusia yang beriman (4:66;  38:24;  2:88; 4:46;  4:155),  yang  berilmu  atau  dapat mengambil pelajaran (18:22; 7:3; 27:62;  40:58;  69:42),  yang  bersyukur  (34:13; 7:10;  23:78;  67:23;  32:9),  yang  selamat  dari   azab Allah (11:116), yang tidak diperdayakan syetan  (4:83).  Surat  6116 menyimpulkan  bukti kedua ini, Jika kamu ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.[32]
Ketiga, al-Qur'an menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah hanya  dimaksudkan  pada  manusia secara individual, tapi juga manusia secara sosial.  Al-Nas  sering  dihubungkan  al-Qur'an dengan  petunjuk  atau  al-Kitab  (57:25;  4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya).
G.    QUR'ANI TENTANG MANUSIA
Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia sebagai
makhluk  biologis,  psikologis  dan  sosial.  Sebagaimana   ada hukum-hukum yang  berkenaan  dengan  karakteristik    biologis manusia,  maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai Basyar berkaitan dengan unsur  material,  yang dilambangkan  manusia  dengan  unsur  tanah. Pada keadaan itu, manusia secara otomatis tunduk kepada  takdir  Allah  di  alam semesta,    sama   taatnya   seperti matahari,   hewan   dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar. Namun  manusia sebagai  insan  dan  al-Nas  bertalian  dengan  unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya  dikenakan aturan-aturan,  tapi  ia  diberikan kekuatan  untuk  tunduk  atau  melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi  mahkluk  yang  mukhayyar.  Ia  menyerap    sifat-sifat rabbaniah  menurut  ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar, kalam, qadar. Ia  mengemban  wilayah  Ilahiyah,  seperti  kata al-Thabathabai.  Karena  itu,  ia  dituntut  untuk bertanggung jawab. Karena pada  manusia  ada  predisposisi  negatif  dan   positif sekaligus,   menurut   al-Qur'an,   kewajiban    manusia  ialah memenangkan predisposisi positif.  Ini  terjadi  bila  manusia tetap  setia  pada  amanah  yang  dipikulnya.  Secara   konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam yang  dirancang  sesuai  amanah.  Al-Qur'an tak lain merupakan rangkaian  ayat  yang  mengingatkan  manusia  untuk    memenuhi janjinya itu[33].
Ada  dua komponen esensial yang membentuk hakikat manusia yang membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan  iman dan  ilmu.  Usaha  untuk  mengembangkan keduanya disebut 'amal shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu  dan  iman adalah  dasar  yang  membedakan  manusia dari makhluk lainnya. Inilah hakikat kemanusiaannya. Keduanya harus dikembangkan secara seimbang.
Dalam  pandangan  al-Qur'an,  sedikit  sekali orang yang dapat mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit orang  yang beriman,  sedikit  orang  yang berilmu, dan lebih sedikit lagi orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir inilah  yang disebut  al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi  ilmu"  (QS. 58:11).  Makna  hidup  manusia  diukur sejauh mana ia berhasil beramal sebaik-baiknya, yakni  sejauh  mana  ia  mengembangkan iman  dan ilmunya.  Ia  lah  yang  menciptakan   kehidupan dan kematian untuk menguji kamu siapa diantara  kamu  yang  paling baik  amalnya  (QS.  67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang ada dipermukaan bumi sebagai perhiasan untuk  menguji  mereka,[34]
siapa  diantara mereka yang paling baik amalannya (18:7). Bila Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup ini medan untuk membuktikan 'amal shalih.
H.    CATATAN
1.      Obyek formal dari filsafat manusia ialah inti manusia, alam kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang ingin ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya (principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)
2.      Metodologi semantik didefinisikan sebagai an analytic study of the key-terms of language with a view to arriving eventually at a conceptual grasp of the Weltanschauung or world-view of the people who use that language as tool not only of speaking and thinking, but, more important still, of conceptualizing and interpreting the world that surround them.
3.      Karena banyak, pembaca dianjurkan melihat sendiri dalam Al-Baqi, Mu'jam.
4.      Dr Muhammad Mahmud Hijazi menjelaskan ayat ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuK  meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan percobaan sehingga sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta tabiat segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti memenuhi kehendak manusia."
5.      Al-Bayan ditafsirkan sebagai kemampuan berbicara, pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan mengembangkan ilmu.
6.      Abd al-Karim Biazar menulis tentang the Covenant in the Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam setiap surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan manusia pada perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama (Allah) pihak kedua (Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi yang harus dipenuhi pihak kedua, janji, ancaman, saksi, sumpah dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan pelajaran dari masa lalu.















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Kata basyar dipakai dalam Alquran sangat terbatas, antara lain untuk menunjukkan manusia pada umumnya seperti yang tampak pada fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada makan dan minum dari apa yang ada di bumi (Alquran Surat 23: 33).
Dengan melihat konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran, maka dapat disimpulkan bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam hubungannya dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan berjalan-jalan
Manusia secara fisik tumbuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini, sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk merealisasikan kehendak dan keinginannya. Maka bila diteliti dari arah ini, sebetulnya manusia merupakan bagian dari alam materi, dan oleh karena itu ia tunduk dan patuh pada kehendak dan hukum-hukum alam atau sunnatullah.






DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII, Yogyakarta, 1984.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII, Yogyakarta, 1984.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan Pusat UII, Yogyakarta, 1984
Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
al-Ishfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Ali Daud, Mohammadi, Pemdidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy,  Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Bernadib, Imam, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet. V, Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Fattah Jalal, Abdul, Min al-Ushul al-Tarbawiyah al-Islamiyah, 1997.
Freire, Paulo, Action For Freedom, USA: Penguin Education, 1971.
Gunarsah, Singgih, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet. II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982.
Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984.
Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mau'izhatul Mukminin min Ihya' 'Ulumuddin" Imam Alghazali", Al-Maktabah At-Tijjariyyah al-Kubro (tidak bertahun), Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, 1973
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, II, 1986.
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya MediamPratama,
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. IV, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1998.
Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.
Sutadipura, R. Prayana, Alam Pikiran, Bandung: Sumur, 1960.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
_________________, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka, 1992.
Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970.
Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004).
Biodata
Nama                   : Imam Tasmara
NIM                    : 09.2.3.045
Alamat                 : ma`had Putra Al-Jamiah Stain Manado
Tempat                : Kotamubagu
Tanggal Lahir      : 01-04-1990
Suku                    : Sunda
No HP                 : 085256210674
Nama Orang Tua
Ayah                    : Wawan Ridwan
Ibu                       : Emun Maemunah
Pekerjaan Orang Tua
Ayah                    : Dagang
Ibu                       : Dagang
Pesan                   : Hargailah waktu yang kita miliki
Kesan                          : ketika Pak Doktor memberikan motifasi yang tak bisa saya          dapatkan di luar kampus, dan bisa mendatangkan inspirasi baru bagi saya.



[1] Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, H. 59
[2] Ali Syariati, Paradigma Kaum Tertindas, (Jakarta : Gunung mulia. 2001), h. 87
[3] al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy,  Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979., h.48
[4] Donny Grahal Adian, Matinya Metafisika Barat, Yogyakarta : pustaka setia. 2001), h. 167
[5] Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h. 27
[6] Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mau'izhatul Mukminin min Ihya' 'Ulumuddin" Imam Alghazali", Al-Maktabah At-Tijjariyyah al-Kubro (tidak bertahun), Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, 1973, h. 62
[7] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 74
[8] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 78
[9] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7, h. 78
[10] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, II, 1986., h. 59
[11] Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, Surabaya: Bina Ilmu, 1980, h. 49
[12] Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970, h. 29
[13] Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970, h. 49
[14] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984., h. 107
[15] Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970, h. 109
[16] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995, h. 152
[17] Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 271
[18] Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 274
[19] Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991, h. 139
[20] Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991, h. 128
[21] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. 7
[22] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 287
[23] Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h.58
[24] Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, h. 77
[25] Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001., h.  98
[26] Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, h.128
[27] Leahy, Louis, Manusia: Sebuah Misteri,( Jakarta: Gramedia. 1986), h. 148
[28] al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy,  Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979., h. 38
[29] Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993, h. 283
[30] Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:Muassasah al-Bi'tsah. Manusia dan Agama, Bandung: Mizan. 1986., h. 129
[31] Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, II, 1986, h. 288
[32] Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h.286
[33] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
[34] Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, h. 133


EmoticonEmoticon