Senin, 06 Oktober 2014

konsep manusia dalam al-Qur’an

BAB I
PENDAHULUAN
A.          Latar Belakang
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu memiliki beberapa redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya jiwa social. Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama lain.
Manusia diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna dibandingkan makhluk Allah yang lainnya, karena ia dikaruniai akal dan bentuk yang sempurna yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Ia dapat menggunakan akalnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Ia juga dapat membedakan antara baik dan buruk. Hanya saja, manusia juga diberi nafsu oleh Allah sehingga terkadang nafsunya mengalahkan akalnya.
Manusia dikaruniai oleh Allah berbagai kelebihan, disamping memilki banyak kekurangan juga. Dalam hal ini, Allah membebaskan manusia untuk beraktivitas dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. ia diperintah untuk melakukan apapun yang ia bisa untuk mencari karunia Allah.
Sebagai khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi Allah sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh karena itu, jika saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah ulah tangan-tangan usil manusia sendiri. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat baik maupun buruk manusia dalam ayat-ayatnya dengan berbagai redaksi, diantaranya adalah dengan kata al-nas. Dalam makalah  ini juga akan dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan manusia dalam Al-qur’an dengan redaksi al-nas



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat manusia !
2.      Bagaimana definisi manusia menurut al-Qur’an !
3.      Unsur-unsur dalam diri manusia !
4.      Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an !
5.      Apa Definisi Al-Nas !
6.      Bagaimana Pengunaan Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an !
7.      Bagaimana Makna Al-Nas dalam Al-Qur’an !




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Hakikat Manusia

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurnah dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi[1] misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa “taka ada makhluk Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-ayarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagai makhluk Allah dimuka bumi.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi dengan cara memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata lain manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat Tuhan menurut perintah dan petunjuknya.[2]
Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid kepada manusia, menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial manusia, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[3]
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq [86] ayat 5-7.
̍ÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ   t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#yŠ ÇÏÈ   ßlãøƒs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#uŽ©I9$#ur ÇÐÈ 
Artinya:
“Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)[4]
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia.
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat sejauh mana hakikat manusia menurut perspektif Al-Qur’an. Di awal pembahasan, penulis akan memaparkan secara sekilas definisi manusia dan asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah inspirasi untuk memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.
B.     Definisi Manusia Menurut Al-Qur’an
Adanya manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Bapak Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di surga. Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia.[5]
Satu nilai lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat. Dan Allah berfirman: “....Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada malaikat, akhirya
Malaikatpun tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia. Dari uraian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun dijelaskan dalam firman Allah SWT: “.....kemudian kami katakan kepada para Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis, dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir” (al-Baqarah ayat 34).



Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang lainnya, bahkan Malaikat sekalipun. Menjadi menarik dari sini jika legitimasi kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka.
Lalu, kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini jauh di bawah standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia. Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas, yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah. Tiga hal inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.............” (al-A’raaf, ayat 176). Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia mengabaikan itu.[6]
Ini memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. Satu hal yang tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu, manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.[7]
Menurut M. Quraish Shihab[8], kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.
Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan.[9]  Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.
Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.  Musa Asy’arie[10] menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak.
Menurut M. Quraish Shihab[11], makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang).  Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.
Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi[12]’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.

C.     Unsur-unsur dalam diri manusia
Membahas sifat-sifat manusia tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan[13].  Dan hal ini juga dijelaskan di dalam firman Allah :  Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh (ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati; (tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9).
Sejalan dengan Muthahari dan ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis), ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar, manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah[14].
Luar biasanya manusia jika ia mampu mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.

D.    Teori evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila dilihat secara kasar, maka jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan mengatakan bahwa “al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi pun balik menyerang[15], “ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.

E.     Definisi Al-Nas

Kata al-nas (الناس) berasal dari kata الاناس (al-unas) yang dihapus hamzahnya, sedangkan huruf alifnya asli[16].
Lafaz  al-nas memiliki dua bentuk, yaitu:
Ø  Merupakan  bentuk jamak dari lafaz “insan ( muzakkar) atau insaniyyah ( muannas)” .
Ø  berasal dari kata al-nas kemudian dihapus hamzah pada lafaz tersebut dan ditambah dengan alif lam sebagai tanda ma’rifahnya.

Akan tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa lafaz al-nas tidak berasal dari kata “اناس”. Mereka berpendapat bahwa orang Arab memberikan bentuk tashghir untuk lafaz “الناس” dengan ungkapan “نويس”, maka seandainya “الناس” itu berasal dari kata “اناس” tentulah lafaz tashghirnya itu bukan “نويس”, tetapi “ انيس ”.[17]

F.     Penggunaan Kata Al-Nas Dalam Al-Qur’an
Kata al-nas di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 241 kali dengan ragam penjelasan yang bermacam-macam seperti:

Ø  Kata al-nas dikaitkan dengan kata iman dan turunannya (bentuk kata lainnya dari akar kata yang sama) seperti , QS. An-nisa’: 1
 $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3­/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZŽÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6ŠÏ%u ÇÊÈ  
Artinya:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu’’.[18]

Ø  Kata al-nas juga sering dikaitkan dengan kata kafir.
Q.S. Al-Baqarah: 161-162
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qè?$tBur öNèdur î$¤ÿä. y7Í´¯»s9'ré& öNÍköŽn=tæ èpuZ÷ès9 «!$# Ïps3Í´¯»n=yJø9$#ur Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèyJô_r& ÇÊÏÊÈ   tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù ( Ÿw ß#¤ÿsƒä ãNåk÷]tã Ü>#xyèø9$# Ÿwur öLèe šcrãsàZムÇÊÏËÈ  
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat la'nat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya.Mereka kekal di dalam la'nat itu; tidak akan diringankan siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”.[19]




Ø  Kata al-nas juga dikaitkan bahwa sebagian besar manusia tidak mengerti
Seperti:
QS. Yusuf: 68
 $£Js9ur (#qè=yzyŠ ô`ÏB ß]øym öNèdttBr& Nèdqç/r& $¨B šc%Ÿ2 ÓÍ_øóムOßg÷Ztã z`ÏiB «!$# `ÏB >äóÓx« žwÎ) Zpy_%tn Îû ħøÿtR z>qà)÷ètƒ $yg9ŸÒs% 4 ¼çm¯RÎ)ur rä%s! 5Où=Ïæ $yJÏj9 çm»oYôJ¯=tæ £`Å3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw šcqßJn=ôètƒ ÇÏÑÈ  

Artinya:
“Dan tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah, akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya'qub yang Telah ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui’’.

Ø  Kata al-nas dikaitkan bahwa sebagian manusiaitu tidak beriman,
Seperti:
Q.S. Yusuf: 103
!$tBur çŽsYò2r& Ĩ$¨Y9$# öqs9ur |Mô¹tym tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÊÉÌÈ  
Artinya:
“Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya”[20].
Ø  Kata al-nas  ketika berserikat dengan kebaikan dan mengutuk kekafiran disebut bersamaan dengan kata al-malaikah.
Seperti QS. Al-Baqarah 161:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qè?$tBur öNèdur î$¤ÿä. y7Í´¯»s9'ré& öNÍköŽn=tæ èpuZ÷ès9 «!$# Ïps3Í´¯»n=yJø9$#ur Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèyJô_r& ÇÊÏÊÈ  

Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat la'nat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”.
Ø  Kata Al-nas berserikat dengan kejelekan, kejahatan dan kekafiran yang kemudian masuk neraka Jahannam , maka kawan berserikatnya adalah dari golongan Jin, aljinnah.[21]
Seperti dalam QS. Hud: 119

žwÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4 y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3 ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr& ÇÊÊÒÈ  
Artinya:
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.

G.    Makna “al-Nas“ di dalam AlQuran

a)      Surat Al-Baqarah : 8

z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)tƒ $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ̍ÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ  
Artinya:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah dan hari kemudian[22]," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman”.
Kata al-nas dalam QS.Albaqarah ayat 8 di atas ditafsirkan dalam Fathul Qadir sebagai bentuk jamak dari kata إنسان  atau إنسانية  dan dengan diikuti huruf   من sebelumnya menandakan sebagian manusia, karena huruf tersebut faidahnya untuk تبعيض.[22] Sehingga, maknanya dalam ayat ini adalah hanya sebagian manusia saja yang mengatakan beriman kepada Allah dan hari akhir akan tetapi sebenarnya mereka mengingkari. Jadi bukan semua manusia.
b)      Surat Al-Baqarah: 13

#sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% öNßgs9 (#qãYÏB#uä !$yJx. z`tB#uä â¨$¨Z9$# (#þqä9$s% ß`ÏB÷sçRr& !$yJx. z`tB#uä âä!$ygxÿ¡9$# 3 Iwr& öNßg¯RÎ) ãNèd âä!$ygxÿ¡9$# `Å3»s9ur žw tbqßJn=ôètƒ ÇÊÌÈ  
Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu”.
Kata “al-nas” dalam surat al-Baqarah: 13 di atas ditujukan kepada orang-orang yang beriman terhadap kerasulan Muhammad dan wahyu yang diturunkan kepadanya. Jadi, ayat ini memerintahkan orang-orang munafik untuk beriman dan membenarkan kerasulan Muhammad sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang yang beriman sebelumnya.
Alif Lam yang terdapat pada kata “al-nas” di atas bukanlah berarti alif lam yang menunjukkan bahwa semua manusia termasuk ke dalam golongan manusia yang diperintahkan oleh Allah untuk dicontoh keimanannya. Allah hanyalah memaksudkan sebagian golongan saja di antara mereka.
Ar-Razi[23] menjelaskan makna kata “al-nas” di dalam surat Al-baqarah:13 di atas dengan menguraikan makna yang terdapat pada alif lam yang mengikuti kata tersebut. Ar-Razi menyatakan bahwa alif lam dalam kata “al-nas” memiliki dua kemungkinan makna yaitu pertama, jika Alif  lam ‘ahdiyyah maka kata al-nas di sana sudah ditentukan orangnya yakni Abdullah bin Salam dan keluarganya karena mereka merupakan golongan yang pertama mengimani Rasulullah Saw. Kedua, jika alif lam jinsiyyah, bisa mengandung dua kemungkinan juga, yaitu orang-orang Aus-Khazraj, dan orang-orang  mukmin.

c)      Surat An-Nisa’: 54

ôQr& tbrßÝ¡øts }¨$¨Z9$# 4n?tã !$tB ÞOßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù ( ôs)sù !$oY÷s?#uä tA#uä tLìÏdºtö/Î) |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur Mßg»oY÷s?#uäur %¸3ù=B $VJŠÏàtã ÇÎÍÈ  
Artinya:
”Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia  yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami telah memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar”.

Mengenai ayat di atas ada dua pendapat terhadap kata “al-nas
Ø  Ibnu Abbas dan mayoritas ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata “al-nas” di sini adalah nabi Muhammad Saw. meskipun kata “al-nas” itu pada dasarnya memiliki makna jama’.

Ø  Makna “ al-nas” pada ayat di atas adalah Rasulullah Saw dan orang-orang Mukmin yang membenarkan serta mengikuti risalah dan ajaran serta mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Golongan yang memegang pendapat ini berhujjah bahwa kata “al-nas” merupakan bentuk jama’, maka membawanya dalam arti jama’ (Rasulullah dan orang-orang mukmin yang mengikutinya) lebih utama dari pada membawanya kepada arti singular (Rasulullah Saw).
Pendapat ini pun kemudian dibantah oleh pemegang pendapat pertama. Penyebutan kata “al-nas” itu bukan selalu menuntut bentuk plural, adakalanya yang diinginkan dengan penyebutan lafaz “ al-nas” itu adalah untuk kelompok  tertentu dari manusia, bukan mereka secara keseluruhan. Hal ini dapat kita lihat di dalam surat Az-zariyat: 56, berkaitan dengan kewajiban manusia kepada Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya:

$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Ayat di atas mengandung maksud bahwa seluruh golongan Jin dan manusia memiliki kewajiban untuk menyembah Allah sebagai khaliq yang telah menciptakan mereka. Namun, jika yang melaksanakan kewajiban tersebut hanya sebagian kecil dari manusia seperti nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya saja, maka seolah-olah mereka itu menempati posisi seperti manusia secara keseluruhannya.
At-Tabari menyatakan di dalam tafsirnya bahwa ahli takwil berbeda pendapat di dalam memahami maksud lafaz “al-nas” pada ayat di atas.
a. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “al-nas” pada ayat di atas hanyalah nabi Muhammad Saw saja.
b. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “ al-nas” di sini adalah nabi Muhammad dan orang-orang beriman yang mengikuti risalah ada ajarannya[24].
Az-Zamakhsyari[25] berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “al-nas” di sini adalah Rasulullah Saw. dan orang-orang mukmin yang mengikuti jalan dan tuntunannya.
Jadi, ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang yang tidak memiliki kesucian batin yang dengki terhadap kerasulan dan kemenangan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad. Hal serupa juga telah diberikan Allah kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Allah memberi mereka nikmat yang besar berupa hikmah, kitab dan kerajaan yang besar. Namun, mengapa orang-orang yang dengki melihat kerasulan Muhammad dan kemenangannya tidak kagum dan merasa dengki pula terhadap nikmat-nikmat yang diterima nabi Ibrahim dan keluarganya tersebut.

d)     Surat Al-hujurat: 13
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz ÇÊÌÈ
 
Artinya:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Az-zamakhsyari[26] di dalam tafsirnya Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa, di dalam ayat ini Allah memberitahukan kepada manusia bahwa mereka diciptakan dari asal yang satu, yaitu Adam dan Hawa. Semua mereka sama di mata Allah, maka tidak ada alasan untuk berlaku sombong dan berbangga diri antara satu sama lainnya dalam nasab, karena semuanya berasal dari satu keturunan. Maka, yang menjadi pembeda di antara mereka adalah sebarapa besar tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah Swt.




BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan

Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu memiliki beberapa redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya jiwa social. Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama lain.
Manusia Sebagai khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi Allah sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh karena itu, jika saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah ulah tangan-tangan usil manusia sendiri.
Begitu juga penggunaan kata al-Nas dalam al-Qur’an sebanyak 241 kali dalam ragam penyebutan maksud yang bermacam-macam. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh suatu ayat dengan melihat konteks kalimat tersebut atau melihat kolerasi (munasabahnya) dengan ayat-ayat yang lain.
Dalam penunjukan maknanya, walaupun kata al-nas merupakan bentuk plural, namun di dalam Al-qur’an ia tidak selalu menunjukkan kepada makna plural. Adakalanya ia menunjukkan hanya kepada satu orang, beberapa kelompok manusia dan adakalanya ia menunjukkan makna untuk manusia secara keseluruhannya.





2.      saran
Dengan adanya uraian makalah diatas penulis mengharapkan agar dapat menambah wawasan dan pemahaman atas konsep manusia dalam Islam (konsep An-Nas). Dan saaya mengucapkan trerima kasih kepada pihak yang sudah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.










DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Baqi Muhammad Fuad ‘, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Faruqi Ismail Raj’I,  Islam dan kebudayaan, Bandung: Mizan, 1994
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
Arrazi, Fakhruddin. Mafatihul Ghaib, Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.
Asy’arie Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an , Yogyakarta: LESFI, 1992
Asy-Syaukani, Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Pustaka Ridwana, 2008.
At-Thabari Abu Ja’far, jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran. Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008
Az-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.

Bintusy Syathi’Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief , Yogyakarta: LKPSM, 1997
http://www.shvoong.com/humanities/1707858-konsep-manusia-dalam-al-quran
Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: Lentera, 2002
Najati Muhammad Utsman, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Shihab M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 2007



Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam,  Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006
Yusron M.,dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: TH Press, 2006



[1] Ismail Raj’I al-Faruqi, Islam dan kebudayaan,(Bandung: Mizan, 1994), h.37
[2] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006) h.91
[3] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 11.
[4] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[7] Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 153
[8] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), h. 367.
[9] Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h. 7.
[10] Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 19.
[11] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, h. 369.
[12] Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia, h. 14.
[13] http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/20/konsep-manusia-dalam-al-quran
[14] http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/20/konsep-manusia-dalam-al-quran
[15] http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/20/konsep-manusia-dalam-al-quran/
[16] Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, (Jakarta: Lentera, 2002), h. 19.
[17] Muthahari, Murthada, Manusia dan Alam Semesta, h. 19.
[18] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[19] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[20] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
[21] M. Yusron,dkk. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: TH Press, 2006), h.31-32

[22] Asy-Syaukani, Fathul Qadir, (Maktabah Syamilah.Pustaka Ridwana, 2008).
[23]Fakhruddin Arrazi, Mafatihul Ghaib,( Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008).
[24] Abu Ja’far at-Thabari, jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran. (Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008)
[25] Az-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. (Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008).


[26] Az-Zamakhsyari. Al-Kasysyaf. (Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008).



EmoticonEmoticon