Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Liberal

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Seiring pergantian zaman, paham-paham yang berkembang didunia mengalami berbagai perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang berkembang pada zaman tertentu. Ada pertentangan-pertentangan yang senantiasa bertarung dan secara silih berganti mendominasi pola pemikiran masyarakat. Misalnya pertarungan antara agama dan sains. Pada zaman pertengahan agama mendominasi, dan sains termarjinalkan. Selanjutnya pada zaman renaissance hingga sekarang, sains mendominasi dan menjadi alat ukur kebenaran sedangkan agama lebih cenderung dimarjinalkan.
 Dalam tataran ideologi, pertarungan antara kapitalisme dan sosialisme mewarnai ideologi masyarakat dunia. Kapitalisme yang dimotori oleh Amerika berpegang pada kebebasan individu secara mutlak, sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia berpegang pada pembatasan terhadap kebebasan individu, dan semuanya diatur oleh Negara untuk kepentingan bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Amerika sebagai pembawa bendera kapitalis yang akhirnya berdampak pada berbagai sector kehidupan masyarakat, salah satunya pada sector pendidikan. Pendidikan memiliki peranan penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam kehidupan ditengah masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa actual pendidikan tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam, Hermes, sampai zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang ditengah masyarakat. Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan ditengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis. Perbedaan dari ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu. Kapitalisme global berimplikasi pada pengakuan terhadap hak individu. Hal ini menimbulkan paham liberalisme yang menekankan kebebasan pada masing-masing individu dalam segala hal. Dalam menghadapi hal tersebut, pendidikan dituntut untuk mempersiapkan generasi-generasi yang mampu berinteraksi dengankeadaaan yang terjadi sekarang. Untuk itu kemudian ideologi pendidikan liberal muncul. Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal saat ini.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan liberal?
2. Apa saja corak-corak liberalisme pendidikan?
3. Apa saja ciri-ciri umum liberalisme pendidikan?
4. Apa landasan pendidikan liberal?
5. Apa saja dalil-dalil pokok liberalisme pendidikan?
6.  



BAB  II
B. Pengertian Pendidikan Liberal
Kata liberal secara harfiah artinya "bebas" (free), artinya "bebas dari berbagai batasan" (free from restraint).[1] Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu system pemerintahan yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam system demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah yang sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan.[2] Menurut Abdulah Nashih Ulwan, pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi.[3] Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages).[4] Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.[5]
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/ kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menurut kebebasan. Dalam sejarah Kristen Eropa, kata secular danliberal dimaknai sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja yang sangat kuat dan hegemonik pada zaman pertengahan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik.[6] Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Tujuan jangka panjang pendidikan menurut Liberalisme Pendidikan adalah untuk melestarikan dan meningkatkan mutu ketahanan sosial yang ada sekarang dengan cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya sendiri secara efektif. Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis menganggap bahwa sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang khususnya berupaya untuk : (1) Menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk belajar sendiri secara efektif, (2) Mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok, dengan berdasar kepada tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian gagasan.[7]
A.    Sekolah dan Masyarakat[8]
Perbedaan antara berbagai idiologi liberal adalah terutama pada bagaimana menghadapi keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat. Tafsiran tentang konsep relatifisme budaya dan demokrasi sosial, ketika persoalannya sampai pada hubungan antara sekolah dengan masyarakat, kaum liberal mengambil pendekatan psikologis (personalistis), di mana individu didahulukan ketimbang tuntutan-tuntutan masyarakat. Ada dua alasan mengapa liberalis pendidikan mengambil sikap seperti itu.
Pertama, kaum liberal yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan puncak bagi pembuktian kebenaran atau kekeliruan/kesalahan klaim manapun terhadap pengetahuan. Belajar adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang lebih mendasar jika dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang berpusat pada kelompok.Kedua, tidak ada budaya yang benar-benar terbuka dan kritis, dan akan menjadi model yang sahih bagi pencarian kecerdasan praktis yang terlatih, yang dipandang sebagai sebuah sasaran secara kolektif. Sekolah dipandang sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih bertanggungjawab dibandingkan dengan sistem politis.[9]
Bagi kaum liberal, pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan melatih anak meyakini hal-hal tersebut sebagai hal-hal yang paling baik berdasarkan pengetahuan ilmiah.
B.     Kemenduaan Liberalisme Pendidikan
Liberalisme pendidikan pada intinya merupakan sebuah cabang pertumbuhan dari sudut pandang empirisme dan eksperimentalisme, yang menaati gagasan bahwa nilai tertinggi ‘kebahagiaan’, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental merupakan keluaran sampingan dari kecerdasan praktis. Di sisi lain, generalisasi-generalisasi tersebut memerlukan tiga batasan sebagai berikut :
1.      Fenomenologi dan Behaviorisme
Ketika sampai pada persoalan hakikat puncak pengalaman personal, kaum empiris cenderung tergelincir ke arah satu dari dua kubu yang saling bertentangan yaitu kaum fenomenologis dan behavioris.
Kaum fenomenologis memegang keyakinan bahwa segala hal yang mungkin bisa diketahui seseorang, adalah proses kesadarannya sendiri atau subjektivitasnya sendiri. Tokoh utama fenomenologi yakni Edmund Husserl.
Kaum behavioris berpendapat bahwa makna yang tersimpul dalam pengalaman personal mengisyaratkan bahwa seluruh pengalaman selaras dengan keadaan-keadaan yang mendahului dan menentukan sifat-sifat hakiki serta pola pengalaman itu sendiri. Tokoh pemikir kaum behavior yakni B.F Skinner.
2.      Eksperimentalisme dan behaviorisme
Eksperimentalisme pada intinya merupakan perkawinan antara behaviorisme filosofis denga pragmatisme. Behaviorisme filosofis menganggap bahwa pengalaman personal merupakan keluaran dari perilaku antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Tokoh filosofi eksperimental adalah adalah John Dewey.
Pragmatisme memiliki sikap yang menganggap bahwa sebuah gagasan adalah benar jika menuntun ke arah konsekuensi-konsekuensi efektif bilamana diterapkan ke pemecahan masalah nyata ( praktis).[10]
3.      Eksperimentalisme dan ideology
Eksperimentalisme sebagai aliran utama yang bergerak dalam apa yang biasanya dipandang sebagai liberalisme pendidikan.
C.     Tiga Ungkapan Dasar Pemikiran Eksperimentalis[11]
1.      Eksperimentalisme Aliran Utama (Mainstream)
Pemikiran eksperimentalisme aliran utama ini mengambil sikap bahwa semua komitmen terhadap penyelidikan yang terbuka dan kritis pastilah menyiratkan adanya komitmen yang selaras, terhadap sebuah masyarakat yang terbuka dan kritis.
2.      Eksperimentalisme Egalitarian
Mengisyaratkan sebuah masyarakat kritis sejati hanya bias mengakar di mana sudah ada sebuah pembagian kembali sumberdaya-sumberdaya dan kekuasaan-kekuasaan efektif yang menyediakan kondisi-kondisi sosial dan ekonomi praktis yang diperlukan untuk membuat pilihan personal menjadi pilihan yang sungguh-sungguh bermakna.
3.      Eksperimentalisme Teknokratis
Yaitu para eksperimentalis yang mewakili sebuah jenis sudut pandang teknokratis, cenderung memandang pemikiran kritis sebagai sesuatu yang secara fundamental bergantung kepada sebuah masyarakat objektif (ilmiah), dimana pengetahuan ilmiah adalah prasyarat bagi keadilan sosial serta dalam jangka waktu yang panjang menjadi prasyarat bagi perwujudan diri individual.
D.    Eksistensialisme dan Liberalisme Pendidikan
Filosofi ekstensialisme dipandang sebagai penuntun ke arah sebuah corak liberalisme pendidikan.
a)      Eksistensialisme dan Persoalan Pilihan Bebas
Seluruh ekstensialisme pada prinsipnya adalah empirisme radikal, yang mengikuti gagasan bahwa keberadaan (eksistensi; pengalaman personal) mendahului dan menentukan intisari (esensi; kebenaran, pengetahuan, makna). Seorang eksistensialis memiliki pendirian yang merupakan pendirian realism klasik, yakni prinsip kemandirian (independensi).
Eksistensialisme mengambil sikap yang menyatakan bahwa adalah mungkin untuk membuat pilihan bebas untuk menolak sifat-sifat hakiki yang pasti bersifat subjektif (personal) dari seluruh makna dengan cara memilih untuk meyakini yang bukan itu.
b)      Teologi Eksistensial dan Eksistensialisme Teologis
Kaum eksistensialis yang mendasarkan pendirian teistik mereka pada pilihan eksistensial mengambil sikap bahwa keberadaan Tuhan tak bisa dibuktikan tetapi hanya bias muncul dari komitmen personal.
Seorang teolog eksistensialis bisa dipaparkan sebagai seorang yang berpendapat bahwa dirinya sudah membuat pilihan eksistensial atau sebuah sikap yang bukan eksistensial (metafisis). Seorang eksistensial teologis berpendapat bahwa adalah mungkin untuk menjadi seorang teis (percaya pada keberadaan Tuhan yang personal) dalam konteks kesangsian eksistensial.
c)      Eksistensialisme Pendidikan
Eksistensialisme sering dipakai secara berbeda dalam psikologi khususnya dalam psikoterapi (terapi kejiwaan). Sebagai sebuah filosofi, eksistensialisme tidak meresepkan kebebasan sebagai obat bagi penyakit-penyakit sosial maupun personal. Kaum eksistensialis tidak menentang pemecahan masalah secara eksperimentalis sebagai pendekatan mendasar terhadap pendidikan.
E.     Dasar-Dasar Filosofis Liberalisme Pendidikan[12]
Pada dasarnya ada tiga pengamatan secara umum yang bisa dilakukan terhadap landasan filosofis dalam liberalisme pendidikan.
I.            Pengetahuan harus dibuktikan dengan cara menerapkan gagasan-gagasan pada pemecahan masalah praktis yang ada di dalam dunia nyata; untuk melakukan itu orang harus berusaha untuk menjadi seilmiah mungkin dalam hal bagaimana ia berfikir serta dalam hal apa yang ia yakini kemudian.
II.            Tidak semua eksperimentalis (seseorang yang memecahkan masalah dengan cara ilmiah) merupakan kaum liberalis pendidikan. Sebagian (kaum rekonstruksionis) melampaui liberalisme, membela liberasionisme sebagai satu-satunya cara efektif untuk melembagakan kondisi-kondisi sosial yang diperlukan bagi demokrasi sosial.
III.            Kaum eksistensialis jarang menjadi liberalis pendidikan. Penekanan mereka pada intelektualisme, bersimpati kepada banyak hal yang diajukan oleh kaum intelektualis.
F.      Corak-Corak Liberalisme Pendidikan
Ada tiga corak utama liberalisme pendidikan :[13]
1.Liberalisme Metodis
Mereka yang mengambil sikap bahwa selagi metoda-metoda pengajaran harus disesuaikan dengan zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis baru dalam hakikat belajar oleh manusia, namun sasaran-sasaran atau tujuan pendidikan, termasuk isi tradisionalnya secara fundamental sudah baik dan tidak memerlukan penyesuaian yang penting.
2.Liberalisme Direktif
Pada dasarnya liberalisme direktif menginginkan pembaharuan mendasar dalam hal tujuan sekaligus dalam hal cara kerja sekolah. Mereka menganggap bahwa wajib belajar adalah perlu dan memilih untuk mempertahankan beberapa keperluan mendasar tertentu serta mengajukan penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran yang akan diberikan pada siswa. John Dewey dapat dikatakan berada pada aliran ini.
3.Liberalisme Non-direktif
Kaum liberalisme non-direktif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi otoritariannya yang tradisional kea rah sasaran pendidikan yang mengajar siswa untuk memecahkan masalahnya sendiri secara efektif.
Tetapi mereka ingin mengurangi seluruh batasan di dalam situasi persekolahan konvensional, dengan cara melenyapkan hal-hal seperti wajib belajar, dan pengajaran mata pelajaran wajib. Tokoh liberalisme non-direktif diwakili oleh A.S Neill dan Carl Rogers.
G.    Landasan Pendidikan Liberal[14]
Landasan pendidikan liberal atau dalil-dalil pokok liberalisme pendidikan yaitu sebagai berikut:
a)      Seluruh kegiatan hasil belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman personal.
b)      Seluruh hasil kegiatan belajar bersifat subjektif dan selektif.
c)      Seluruh kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian indrawi.
d)      Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses pemecahan masalah secara aktif dalam pola “coba-dan-salah” (trial and error)
e)      Cara belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh perintah-perintah eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan terbaik adalah yang paling selaras dengan pembuktian ilmiah yang sudah dianggap sahih sebelumnya.
f)       Pengalaman yang paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan selanjutnya dank arena itu juga paling penting artinya.
g)      Kegiatan belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari perilaku.
h)      Sifat-sifat hakiki dan pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat hakiki pengalaman personal.
i)        Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting hanya bias berlangsung dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis yang memiliki komitmen terhadap ungkapan umum pemikiran dan perasaan individual.


H.    Idiologi Pendidikan dan Liberalisme Pendidikan[15]
1.      Tujuan pendidikan secara keseluruhan
2.      Tujuan utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku personal yang efektif.
Sasaran-sasaran Sekolah Keberadaan sekolah didasari oleh dua alasan mendasar :
1)      Untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri
2)      Untuk mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan masalah praktis lewat penerapan tatacara-tatacara penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok yang didasarkan pada metoda-metoda ilmiah-rasional.
3)      Ciri-ciri umum liberalisme pendidikan
a)      Menganggap pengetahuan berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan masalah secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan kea rah tujuan berupa perilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari
b)      Menekankan kepribadian unik dalam diri tiap individu.
c)      Menekankan pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatuan utamanya kepada kemampuan sikap individu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan personalnya sendiri secara efektif.
d)     Memandang pendidikan sebagai perkembangan dari keefektifan personal.
e)      Memusatkan perhatian kepada tatacara-tatacara pemecahan masalah secara individual maupun kelompok.
f)       Menekankan perubahan sosial secara tak langsung, melalui perkembangan kemampuan tiap orang berperilaku praktis dan efektif.
g)      Didirikan di atas tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional.
4)      Anak sebagai pelajar
Seorang anak pada umumnya cenderung untuk menjadi baik berdasarkan konsekuensi-konsekuensi alamiah dari perilakunya sendiri yang terus berkelanjutan.
Perbedaa-perbedaan individual lebih penting ketimbang persamaan-persamaannya, dan perbedaan-perbedaan itu sangat menentukan (determinatif) dalam penetapan program-program pendidikan.
5) Administrasi dan pengendalian pendidikan
Wewenang pendidikan harus ditanamkan di tangan para pendidik yang telah memperoleh latihan tingkat tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses penyelidikan kritis dan yang mampu membuat perubahan-perubahan yang diperlukan sehubungan dengan informasi baru dan relevan.
Wewenang guru harus didasarkan terutama pada keterampilan-keterampilan yang dimilikinya dalam bidang pendidikan.
6) Sifat-sifat hakiki kurikulum
1)      Sekolah harus menekankan keefektifan personal, melatih anak untuk menyesuaikan diri secara efektif sesuai dengan tuntutan-tuntutan situasinya sendiri sebagaimana ia memahami situasi tersebut.
2)       Sekolah harus menekankan pemecahan masalah secara praktis, dan penekanan pada tata cara.
3)      Pelajaran ditentukan lebih dulu, baik yang wajib maupun pilihan yang seimbang.
4)      Penekanan pada hal-hal yang yang bersifat intelektual dan praktis.
5)      Sekolah harus menekankan pada penjelajahan yang terbuka dan kritis pada masalah dan isu-isu kontemporer selama hal itu dianggap penting bagi siswa.
6)      Pemecahan masalah hendaknya dilakukan secara kelompok dan dengan pendekatan antar disiplin (keilmuan).
7)      Metode-metode Pengajaran dan Penilain Hasil Belajar
8)      Kendali Ruang Kelas
a.       Para siswa harus dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri.
b.      Guru harus bersifat demokratis dan obyektif dalam menentukan tolok ukur tingkah laku dan ia juga harus meminta persetujuan dari siswa tentang aturan-aturan yang akan dibuat.
B. LIBERASIONISME PENDIDIKAN[16]
Menguraikan liberasionisme pendidikan, terasa tidak lengkap jika tidak dijelaskan siapa itu Paulo Freire. Hal ini penting mengingat Dia adalah tokoh penting disamping Ivan Illich dalam mengusung ideologi pendidikan liberasion di Amerika Latin dan kemudian memengaruhi beberapa negara ketiga lainnya.
1.      Mengenal Paulo Freire
Freire lahir tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah daerah miskin di timur laut Brazil (Yamin, 2009: 139). Freire kuliah di University of Recife untuk dididik menjadi pengacara. Nilai-nilai kekristenan relatif kental dalam benak Freire seiring dengan keikutsertaannya dalam gerakan aksi Katolik yang kemudian nantinya meletakkan dasar gerakan teologi pembebasan.
Beberapa karya yang memengaruhi ideologi Freire, seperti “The Wretched of the Earth” karya Frantz Fanon, khususnya ketika akan menyelesaikan “Pedagogy of the Oppressed”, kemudian juga terpengaruh Albert Memi dengan bukunya “Colonizer and the Colonized”, setelah itu oleh Lev Vygotsky melalui bukunya “Thought and Language”, dan juga Gramsci. Selain itu, gagasan pemikiran pendidikan Freire dipengaruhi oleh gagasan teologi pembebasan Katolik dan pemikiran-pemikiran “Marxian”.
Freire memulai aktivitas sosialnya pada tahun 1946 pada bagian pelayanan sosial di Pernambuco, ia mendapat tanggung jawab pada program pendidikan untuk masyarakat miskin kota dan pekerja industri, termasuk di daerah Recife, tempat kelahirannya sendiri. Di situlah ia kali pertama tertarik pada masalah pendidikan literasi orang dewasa dan pendidikan rakyat, di situ pula ia mulai membaca dan mengembangkan gagasan pendidikannya.
Pada 1954 ia keluar dan mulai mengajar sejarah dan filsafat pendidikan di University of Recife. Kemudian pada pemilihan politik tahun 1959, Freire diberi kepercayaan untuk mengurus program pendidikan orang dewasa (Movimento de Cultura Popular) oleh walikota Recife terpilih yang dikenal progresif. Pada waktu yang sama ia mendapatkan gelar doktornya dari University of Recife, dalam karya doktoralnya ia menggambarkan perkembangan gagasan pendidikan orang dewasa yang ia formulasikan.
Lingkup gerakan pendidikannya makin meluas ketika ia diangkat menjadi kepala dari program literasi nasional Brazil yang baru, melalui program itulah tahun 1964 metode pendidikan literasinya disebarkan sangat luas menjangkau lima juta orang yang buta huruf di seluruh Brazil. Sayangnya di tahun itu juga karena kudeta politik, maka ia sebagai bagian dari pemerintahan diusir dari Brazil. Ia kemudian ke Cili, seteah itu berangkat ke Harvard untuk mengajar dan sekaligus menulis di situ.
Pada tahun 1970 ia bergabung dengan The World Council of Churches, di Jenewa, setelah itu ia hampir selalu bepergian ke banyak bagian negara di dunia untuk melihat dan mendampingi pengembangan program literasi yang ia gagas, dan ia pun tetap menulis, sampai pada tahun 1980 dia boleh kembali ke Brazil.
Beberapa karya Freire, yakni: (1) Pedagogy of the Oppressed; (2) Pedagogy of The City (1993); Pedagogy of the Hope (1995); Pedagogy of the Heart (1997); Pedagogy of the Freedom (1998); Pedagogy of the Indignation (2004) (Freire, 2008: xvi).
Tepat tanggal 2 Mei 1997, Paulo Freire meninggal dunia du Rumah Sakit Albert Enstein, Sao Paulo. Dia wafat dalam usia 75 tahun akibat serangan jantung. Di samping berbagai karya yang telah dihasilkan, ia juga mewariskan keteladanan hidup sebagai pribadi yang terbuka, jujur, lugas, kreatif, dan penuh perjuangan. Dan yang lebih penting, Dia selalu berusaha sungguh-sungguh agar tindakannya mencerminkan kata-katanya (Freire, 2008: xvii).[17]
2.      Liberasion: Pengertian dan Hal-Hal yang Mencirikannya
Secara etimologis liberasion berasal dari bahasa Portugis, yakni dari kata liberacion yang artinya pembebasan. Pendidikan liberasion mendorong pembaharuan sosial dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta mengkondisikan pendidikan dengan kondisi yang manusiawi. Liberasionisme pendidikan menurut penulis buku ini (William F. O’Neil) adalah ideologi pendidikan yang beranggapan bahwa sasaran puncak pendidikan haruslah berupa pelaksanaan pembangunan kembali masyarakat yang mengikuti jalur-jalur yang sungguh-sungguh berkemanusiaan (humanis), yang menekankan perkembangan sepenuhnya potensi-potensi setiap orang sebagai makhluk manusia.
Sebaliknya, pembelajaran yang bersifat dehumanisasi, berdampak terhadap perkembangan kematangan psikologi pesrta didik. Menurut Rogers, pembelajaran yang cenderung bersifat dehumanisasi maka akan menghasilkan peserta didik yang menghambat kebebasan berpikir dan menentukan pilihan-pilihan, menciptakan kebosanan, perasaan frustrasi, marah dan bahkan putus asa terhadap peserta didik (Nemirof, 1992: 37).
Pembelajaran yang humanis hanya dapat berlangsung di dalam kerangka kerja sebuah sistem sosial yang berkomitmen terhadap pengungkapan maksimum kebebasan kewarganegaraan individual dengan sebuah proses demokratis yang stabil dan tahan lama.
Dalam pendidikan liberasionis sekolah harus menyediakan informasi serta keterampilan bagi siswa agar mereka dapat belajar secara efektif bagi dirinya sendiri. Disamping itu, sekolah harus rnengajarkan bagaimana caranya menyelesaikan persoalan-¬persoalan praktis, melalui penerapan teknik-teknik pemecahan masalah secara individual maupun kelompok, yang didasarkan pada pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional. Sekolah juga harus membantu siswa untuk mengenali dan menanggapi kebutuhan bagi pembaharuan/perombakan apapun yang tampaknya merupakan tuntutan zaman.
3.      Landasan Sosial Kedirian (selfhood)[18]
Ciri pemikiran kaum liberasionis ialah mendahulukan hal-hal yang mengarah kepada masalah sosial dari individual. Kaitan dengan hal tersebut, maka terdapat dua hal yang sangat penting diuraikan, yakni:
Pertama, pengalaman personal selalu dialami di dalam dan melalui kerangka kerja budaya tertentu. Orang yang belajar pada intinya bersifat sosial, dan ia selalu bergerak melalui dan digerakkan oleh sebuah ‘jiwa tersosialkan’ (sosialized psyche)-berdasarkan pada serangkaian batasan budaya tertentu. Manusia yang beradab pada intinya adalah sebentuk fenomena sosial. Kebudayaanlah yang menjadi agen fundamental untuk mengindoktrinasi individu dalam hal bagaimana menghadapi dan mengalami kehidupan di dunia. Apakah individualisme akan ada ataukah tidak, dan bagaimana ‘individualisme’ semacam itu akan diungkapkan, akan ditentukan oleh hakikat serta dinamika budaya tertentu pada suatu waktu tertentu dalam masyarakatnya.
Kedua, masih berkaitan dengan pertama, yakni apakah ilmu pengetahuan akan digunakan sebagai sebuah pendekatan yang hidup terhadap pemikiran dan kegiatan belajar, atau hanya diterapkan pada penyelesaian problem-problem personal dan sosial yang relatif kabur? Penulis buku ini tampaknya lebih menyakini pada preposisional pertama, yakni empasis pada orientasi budaya.
Ia menegaskan pula bahwa budaya-budaya yang tertutup dan bersifat otoritarian (dalam dunia pendidikan) sulit menerima perbaikan, khususnya yang berkaitan dengan pendekatan¬-pendekatan demokratis yang terbuka terhadap proses berpikir dan belajar. Karena sistem-sistem semacam itu (yang tertutup dan otoritarian) menolak pendekatan-pendekatan yang demokratis. Sebuah sistem pendidikan terbuka memerlukan suatu pendekatan yang terbuka dan bersifat eksperimental terhadap ‘belajar’.
Tujuan pokok sekolah menurut aliran liberasionisme adalah menciptakan kondisi-kondisi politis dan ekonomis yang perlu untuk mengenalkan dan melestarikan jenis masyarakat yang membuat pendidikan bersifat sungguh-sungguh liberal serta ‘membebaskan’ (liberasion) dari jenis yang terbuka dan eksperimental. Diperlukan komitmen kolektif dari masyarakat yang belajar sebagai perwujudan diri individual untuk sebuah cita-cita sosial.[19]
4.      Corak Liberasionisme Pendidikan
Dalam liberasionisme pendidikan, terdapat tiga corak, yakni: liberasionis reformis, liberasionis radikal; dan liberasionis evolusioner.
a.       Liberalisionisme Reformis (pembaharu). Liberasionisme reformis beranggapan bahwa sangat perlu meluruskan dan mengoreksi serta membetulkan ketidakadilan sosial secara mendasar yang ada di dalam sistem pendidikan maupun masyarakatnya secara keseluruhan. Beberapa contoh misalnya, penyatuan kembali sekolah-sekolah yang semula berdasarkan ras, layanan bus secara umum tanpa ada pembedaan, dan sebagainya.
Karena itu, menurut O’Neil sangat penting dilakukan penyebarluasan informasi mengenai ketidakadilan sosial. Dan sebaliknya, mendidik anak-anak tentang perlunya aksi sosial. Ringkasnya, sekolah harus aktif ‘mendakwahkan’ penanaman dan prinsip-prinsip demokratis di dalam sistem yang sudah ada.
Ciri-ciri liberasionisme reformis yakni, kebanyakan gerakan pembaharuan yang panting, seperti gerakan pembela hak-hak kewarganegaraan masyarakat Afro Amerika pada awal tahun 1960-an yang telah cenderung untuk menjadi radikal melalui bentrokan. Dalam kasus gerakan Kulit Hitam, apa yang tadinya adalah perjuangan terutama untuk menuntut hak-hak setara di dalam sistem selama hari-hari awal bentrokan hak-hak warganegara di bawah kepemimpinan kaum moderat seperti Martin King, secara bertahap makin menjadi seruan radikal bagi pemisahan diri (separatisme).[20]
Beberapa gerakan revolusioner di Amerika muncul dengan landasan marxis atau semu marxis, yang menyerukan perumusan kembali secara radikal atas lembaga-lembaga sosial mendasar, seperti: organisasi Black Panther, dan yang lebih baru adalah Weather Underground dan World Liberation front, bahkan yang disebutkan terakhir ini terlibat menentang tindakan-tindakan revolusioner langsung menentang sistem yang mapan di Amerika Serikat.
b.      Liberasionisme radikal. Kaum liberasionisme radikal menggunakan sekolah-sekolah untuk mengkritik dan membangun kembali dasar-dasar kebudayaan. Mereka berpendapat bahwa, perlu dipikirkan kembali dan memperbaiki secara radikal lembaga-lembaga tertentu yang paling fundamental yang menyokong tegaknya masyarakat.
Jika ‘rekonstruksionisme’ tradisional dari pemikiran John Dewey , George Counts, dan Theodore Brameld secara tradisional bisa dianggap sebagai sebuah corak liberasionisme radikal pra-revolusioner, yang mengait pada pembetulan/pengoreksian sebagian kesalahan atau noda-¬noda dalam sistem kapitalis, maka juga terdapat sejumlah kepustakaan karya-karya para pendidik komunis pasca revolusi dari Cina dan Uni Soviet, hingga ke berbagai tulisan yang telah dibuat mengenai lembaga-lembaga radikal seperti misalnya kibbutz sekular Israel, terutama menyangkut persoalan bagaimana sekolah bisa ‘membelajarkan kembali kesadaran’ dalam kerangka kerja tatanan sosialis yang baru.[21]
c.       Liberasionisme Revolusioner. Kaum liberasionis revolusioner menganggap bahwa -karena sekolah-sekolah adalah lembaga-lembaga yang melayani kepentingan-kepentingan budaya pada umumnya, dan karena budaya itu sendiri adalah kekuatan pendidikan utama dalam kehidupan anak-anak, maka sekolah¬-sekolah itu sendiri tidak bisa berharap secara realistis untuk membangun kembali masyarakat lewat kritik internal apapun juga terhadap praktik¬-praktik yang ada.
Satu-satunya cara supaya sekolah-sekolah dapat menandingi secara efektif sebuah sistem sosial yang tidak memanusiakan manusia (dehumanisasi), adalah dengan cara menghapuskan segala kepura-puraan dalam ‘mendidik’ anak-anak. Selanjutnya, menurut O’Neil perlu diciptakan sistem-sistem atau kekuatan-kekuatan sosial baru yang lebih mampu menopang berupa prinsip-prinsip yang benar-benar manusiawi dan rasional. Pada persoalan ini, si penulis menegaskan bahwa idelogi pendidikan yang berkembang selama ini di Amerika Serikat (dan juga mungkin negara-negara yang berkiblat ke Amerika) lebih cenderung ke arah konservatif dengan dengan warna-warna liberalisme tertentu.
Hanya masyarakat jenis baru yang telah mengubah dirinya yang pada puncaknya akan memungkinkan penetapan sekolah-sekolah yang nyata, ketimbang agen-agen pendidikan-palsu dalam penindasan sosial yang selama ini ada. Dengan kata lain, kaum liberasionis revolusioner yakin bahwa sekolah multi menjadi agen dasar bagi penyebarluasan revolusi sosial. Pendekatan ini, yang barangkali paling terwakili oleh ‘Pengawal Merah’ Republik Rakyat Cina di akhir 1960-an di mana para siswa diaktifkan sebagai kekuatan tandingan untuk memerangi ancaman-¬ancaman reaksioner terhadap kekuasaan Ketua Mao.[22]

5.      Liberasionisme dalam Pendidikan Sebuah Rangkuman
Jika sementara kita kesampingkan perbedaan antara sudut pandang religius dan sekular di dalam tradisi liberasionisme pendidikan, maka ideologi ini dasarnya adalah sebagai berikut:[23]
a.       Tujuan Pendidikan secara Menyeluruh
Tujuan utama pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan¬pembaharuan sosial yang perlu, dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta dengan cara membela kondisi-kondisi yang lebih manusiawi dan memanusiakan di dalam masyarakat secara urnum.
b.       Sasaran-Sasaran Sekolah
Sekolah ada lantaran tiga alasan utama: (1) untuk membantu para siswa mengenali dan menanggapi kebutuhan akan pernbaharuan/perombakan sosial; (2) untuk menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan siswa supaya bisa belajar secara efektif bagi dirinya sendiri; (3) untuk mengajar para siswa tentang bagaimana caranya memecahkan masalah-masalah praktis melalui penerapan teknik-teknik penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok yang didasari oleh metode-metoda ilmiah-rasional.
Pada ranah ini, oleh James A. Bank (1977) menegaskan bahwa dalam sosial studies diperlukan metode-metode ilmiah rasional dalam mengembangkan pembelajaran IPS, khususnya pada sekolah menengah. Metode ilmiah itu disebutnya dengan metode inquiry, dengan langkah-langkah: identifikasi masalah-masalah sosial, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dan mengevaluasi data. Tujuan metode ini adalah agar pendidikan IPS dapat menghasilkan peserta didik yang rasional, memiliki keterampilan sosial dan tepat mengambil keputusan (decision making) dalam kehidupan pribadi dan sosialnya.[24]


c.       Ciri-ciri Umum Liberasionisme Pendidikan
Ada sembilan ciri-ciri umum liberasionisme pendidikan, yaitu:
·         Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang diperlukan untuk melakukan pembaharuan/perombakan social.
·         Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran budaya;, budaya merupakan penentu-sosial kedirian;
·         Menekankan analisis obyektif (ilmiah-rasional) serta evaluasi/penilaian terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik sosial yang ada;
·         Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang paling utuh dari potensi-potensi khas tiap orang sebagai mahluk manusia;
·         Memusatkan perhatian kepada kondisi-kondisi sosial yangmenghalang-halangi perujudan paling penuh dari potensi-potensi individu, menekankan masa depan (yakni, perubahan-perubahan dalam sistem yang ada sekarang, yang perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih memanusiakan manusia);
·         Menekankan perubahan-perubahan ruang lingkup besar yang segera harus dilakukan di dalam masyarakat yang ada sekarang, menekankan perubahan-perubahan penting yang akan mempengaruhi sifat-sifat hakiki dan pelaksanaan sistem sosial yang mapan;
·          Didasarkan pada sistem penyelidikan eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional) dan/atau prakiraan-¬prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam itu;
·         Didirikan di atas landasan prakiraan-prakiraan Manos atau Marxis baru (neo-Marxis) tentang seluruh kesadaran personal yang ditentukan oleh faktor sosio-ekonomis;
·          Menganggap bahwa wewenang intelektual tertinggi ada di tangan mereka yang memahami konsekuensi-konsekuensi patologis (bersifat merusak/berpenyakit) dari kapitalisme kontemporer dan segenap sikap sosial yang dihubungkan dengannya.
d.      Anak-anak sebagai Pelajar[25]
Anak-anak condong untuk menjadi baik (yakni, ke arah tindakan yang efektif dan tercerahkan) jika diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni bersifat rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan individual lebih penting ketimbang kesamaan-kesamaan individual, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat menentukan dalam penetapan program-program pendidikan. Anak-anak secara moral setara dan mereka musti mendapatkan kesempatan yang setara untuk berjuang demi ganjaran¬-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih luas, lebih mudah diakses, dan dibagikan secara lebih adil/merata. Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan dari yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi penentuan ‘diri’ lanjutan; anak hanya bebas di dalam konteks determinisme sosial dan psikologis.[26]
e.        Administrasi dan Pengendalian
Wewenang pendidikan musti ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri atas para intelektual yang bertanggung-jawab, yang sepenuhnya sadar akan kebutuhan objektif bagi perubahan¬-perubahan sosial yang konstruktif, dan yang mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu melalui sekolah-sekolah.
Upaya meningkatkan kompetensi pendidik oleh berbagai bangsa telah dilakukan dengan berbagai macam metode dan strategi. Di Indonesia misalnya, melalui amandemen Undang-Undang, khususnya UU Sisdiknas, telah dihasilkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Permendiknas tersebut dikatakan bahwa setiap guru minimal memiliki empat kompetensi dasar, yakni: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi profesional; (c) kompetensi kepribadian, dan (d) kompetensi sosial (UU Sisdiknas, Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 3).
Sebagaimana yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa diperlukan pendidik yang mampu membawa perubahan (sosial) bagi peserta didik, adalah sejalan dengan upaya Indonesia melalui UU Sisdiknas, khususnya mengenai kompetensi guru yang saat ini telah (mulai) dijalankan.[27]
f.       Sifat-sifat Hakiki Kurikulum
Sifat hakiki kurikulum tergambar sebagai berikut, (1) Sekolah harus menekankan pembaharuan/perombakan sosio-ekonomis; (2) Sekolah musti memusatkan perhatian pada pemahaman diri serta tindakan sosial sekaligus; (3) Penekanan harus diletakkan pada tindakan yang cerdas dalam mengejar keadilan sosial; (4) Mata pelajaran harus bersifat pilihan dalam batas-batas penentuan yang umum; (5) Penekanan harus diletakkan pada penerapan praktis dari yang sifatnya intelektual (praksis) melebihi apa yang secara sempit bersifat praktis ataupun akademis; (6) Sekolah musti menekankan problema-problema sosial yang kontroversial, menekankan pengenalan dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-prakiraan dasar yang menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan kepedulian khusus terhadap penerapan apa yang dipelajari di dalam ruang kelas kepada kegiatan-kegiatan yang punya arti penting secara sosial di luar sekolah; sekolah musti secara tipikal menampilkan pendekatan¬pendekatan antar-disiplin keilmuan yang berpusat pada problema, yang meliputi wilayah kajian seperti filosofi, psikologi, kesusasteraan konternporer, sejarah, dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.
g.      Metode-metode Pengajaran serta Penilaian Hasil Belajar
Harus ada penekanan yang kurang-Iebih seimbang atau setara pada pemahaman problema (pengenalan dan analisis terhadap Problema-problema secara tepat) serta pemecahan masalah.[28]
Disiplin dan hapalan mungkin kadang-kadang perlu supaya bisa menguasai sebuah keterampilan yartg akan diperlukan demi menangani problema-problema personal atau sosial yang penting secara efektif, namun kegiatan belajar pada dasarnya adalah kegiatan sampingan dan kegiatan yang bermakna, dan hapalan harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin.
Kegiatan belajar-mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam kerangka kerja kurikulum yang ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah lebih tinggi/lebih balk daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru. Sang guru harus dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan sosialnya. Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa dilatih/dipersiapkan lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan¬-persoalan sosial yang penting adalah lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai berdasarkan tes-tes biasa di ruang kelas.[29]
Persaingan antarpribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional harus diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin, sebab hal-hal semacam itu menuntun siswa pada sikap-sikap buruk dan motivasi did yang merosot.
Bimbingan dan penyuluhan personal, serta terapi kejiwaan, sebagaimana ada di luar sekolah di saat ini, umumnya berfungsi sebagai bentuk tersembunyi dari kontrol sosial dan pelatihan penyesuaian diri anak, yang menghalangi kesadaran anak akan kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya, yang melahirkan problema-problema kejiwaan individual.
h.      Kendali di Ruang Kelas
Para siswa musti dianggap bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri dalam arti seketika, namun musti diakui bahwa pertanggungjawaban siswa pada puncaknya tidak bisa dituntut dalam arti menurut konsep ‘kehendak bebas’ tradisional.
Para guru harus bersifat demokratis dan obyektif dalam menentukan tolok ukur perilaku. Tolok ukur itu harus ditentukan bersama-sama dengan siswa sebagai cara mengembangkan tanggung jawab moral mereka.
Lantaran tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling cerdas, dalam situasi apapun, maka peningkatan kecerdasan paktis adalah corak pendidikan moral yang paling efektif. Di sisi lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah cita-cita atau corak ideal secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya masyarakat yang cerdas (yang obyektif) dimana setiap orang diberi kesempatan yang setara untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan kesempatan-kesempatan pendidikan yang setara.



BAB III
PENUTUP

Untuk memperjelas pemahaman kita tentang pendidikan liberal dan pendidikan liberasionisme, maka pada bagian penutup ini akan diuraikan sekilas perbandingan beberapa hal kedua ideologi tersebut. Penegasan tentang kemuculan ideologi pendidikan liberasion dan kuga tentang pendidikan anarkhis akan diurai secara ringkas sebagai bagian dari pendidikan liberal.\
A.    Pendidikan Liberal: Muncul sebagai Antitesis terhadap Praktik Liberalisme dan Kapitalisme Pendidikan
Pada dasarnya dalam buku Wiliam F. O’neil ini memaparkan tentang berbagai macam ideologi pendidikan yang menjadi dasar pelakasanaannya sehingga pendidikan tidak terkesan hanya sebuah rutinitas tanpa tujuan yang jelas. Karena itulah ia memaparkan dengan jelas beberapa ideologi pendidikan baik itu ideologi konservatif, yang terdiri dari (a) fundamentalisme pendidikan; (b) intelektual pendidikan; dan (c) konservatisme pendidikan, ideologi pendidikan liberal, ideologi pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkhis.
Makalah ini membahas dua ideologi penting dalam sejarah pendidikan liberal, yakni idelogi pendidikan liberal dan ideologi pendidikan liberalisionisme. Menurut kelompok kami, latar belakang munculnya ideologi liberasionis adalah dampak dari kegagalan pendidikan liberal.
Dasar pemikiran ini adalah berdasarkan kenyataan bahwa pendidikan liberal telah gagal memanusiakan manusia dalam sebuah proses pendidikan. Ia juga gagal membangun peserta didik yang dapat bersikap dan berfikir kritis terhadap segala kondisi sosial ekonomi dan politik yang terjadi.
Hal ini dapat dilihat uraian Freire tentang ‘pendidikan sistem bank’. Maksudnya adalah bahwa seorang peserta didik hanya menerima saja segala apa yang dituangkan dan diberikan oleh guru. Hal ini mempertegas bahwa, pendidikan liberal tidak memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya. Walau beberapa praktik pendidikan liberal telah memberikan hal itu, namun masih sedikit secara kuantitas.
Perhatian Freire terhadap pendidikan kaum miskin adalah hal yang paling utama. Sebaliknya, kebenciannya terhadap ‘penguasa’ pengusung liberalisme dan kapitalisme memuncak ketika pendidikan tidak menjadi harapan semua orang. Pendidikan seakan hanya untuk orang yang berpunya, sebaliknya kaum miskin tetap meratapi dirinya akibat kekejaman sistem liberalisme dan kapitalisme yang di dukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Uraian di atas dipertegas oleh Freire dkk. melalui kritikna beberapa hal, yakni: (a) memaksa anak untuk “memanjat tangga” pendidikan yang tak berujung, yang hasilnya tak dapat meningkatkan mutu dan justru hanya menguntungkan individu-individu yang sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini, yang lebih sehat, atau lebih siap. Sisanya hampir gagal. (b) pengajaran ‘wajib’ hanya membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri; (c) pengetahuan diperlakukan ibarat komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, dan selalu langka di pasaran. (d) mendukung penghapusan sekolah (universal) dan mengganti berbagai sistem baru yang dianggap lebih tangkas menyiapkan orang untuk hidup dalam masyarakat modern (bahkan postmodern –dari pemakalah)(Illich, 2009: 518).
Kondisi ini membuat Freire dan juga Illich melakukan resistensi dengan mengembangkan pendidikan penyadaran yang kemudian lebih dikenal dengan pendidikan liberasion dan anarkhisme pendidikan.
B.     Anarkhisme Pendidikan: Melanjutkan Ideologi Liberasion
Anarkisme Pendidikan adalah cara pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mewujudkan potensi manusia seutuhnya. Menurut aliran ini, pendidikan bertujuan untuk membawa perombakan berskala besar dan segera dalam masyarakat dengan cara menghilangkan persekolahan wajib.
Sistem sekolah formal yang ada sekarang harus dihapuskan, lalu diganti dengan pola belajar sukarela dan mengarahkan diri sendiri. Artinya, akses yang bebas dan universal untuk memperoleh bahan atau materi pendidikan harus tersedia. Selain itu, kesempatan belajar mandiri harus tercipta bagi siapa saja, tanpa sistem pengajaran wajib. Tampak jelas bahwa, anarkisme menekankan pilihan bebas dan penentuan nasib sendiri, dalam sebuah latar belakang sosial yang sehat dan humanis.
Siswa berhak menentukan sendiri metode belajar yang sesuai dengan tujuan dan rancangan pembelajarannya, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pencetus pemikiran pendidikan anarkhis adalah Ivan Illich, dalam bukunya: “Deschooling Society”. Inti buku ini ada beberapa hal penting, yakni: (1) Mengkritisi praktek kemapanan pendidikan; (2) Sekolah adalah lembaga pendidikan yang membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi diskriminatif; (3) Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan (dehumanisasi – meminjam istilah Freire).
Walaupun Ivan Illich sangat menentang lembaga persekolahan, namun ia pun memberikan saran dan kritik terhadap lembaga pendidikan formal yang ada saat ini. Ia berpendapat bahwa, sekolah harus menyediakan akses sumberdaya bagi semua pelajar yang ingin belajar setiap saat dalam kehidupan mereka, dan memungkinkan bagi semua orang yang yang belajar untuk saling berbagi pengetahuan[30]).
Pernyataan itu dapat dipahami bahwa pendidikan saat ini yang cenderung mendehumanisasikan peserta didik, sudah seharusnya diakhiri melalui pemberian kebebasan kepada mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan kapan dan dari mana saja. Karena itu, jika sekolah menjadi pembatas untuk memeroleh pengetahuan, maka menghapus sekolah (deschooling society) mungkin merupakan sebuah jawaban.



DAFTAR PUSTAKA
Bank, James A. 1977. Teaching Strategies for Sosial Studies: Inquary, Valuing, and Decision Making. Addison-Wesley Publishing Company.
Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan. (terj.) Yogyakarta: Kanisius.
Freire, Paulo.2008. Pendidikan Kaum Tertindas. (terj.).Yogyakarta: LP3ES.
Freire,Paulo, Ivan Illych, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009/.
George, R. Knight. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Gama Media.
Iksan, Rumtini. 2011. “Pemikiran Pendidikan John Dewey” (1859-1952), Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan Balitbang Depdiknas, No. 046, tahun ke-10, Januari 2001. (online). http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/view/191, diakses tanggal 3 November 2011.
“Ivan Illich: Deschooling, Conviviality And The Possibilities For Informal Education And Lifelong Learning” (online), http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm, diakses tanggal 3 November 2011.
Nemiroff, Greta Hofmann. 1992. Reconstructing education : toward a pedagogy of critical humanism. New York, NY 10010, An imprint of Greenwood Publishing Group, Inc.
O’Neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna Syifa’a Rachmahana. 2011. “Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan”, (online). Jurnal Pendidikan Islam “el Tarbawi”, NO. 1. VOL. I. 2008. Diakses tanggal 3 November 2011.
Tilaar, H.A.R. dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
UU Sisdiknas, Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 3.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia: Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
            Pengantar Pendidikan [http:// Lena Unindrabiozal.Blogspot.com,03,2008]
 Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar. [http://.Al-Fauzi. Blogspot.com,02,2008
Pendidikan Liberal,[http:// Aristhu. 03.files wordpress.com,10,2006]]

Ahmad Idris.  Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta :    Gema Insani Press. 1991. h. 74.

Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press. 2005. h. 31.

Ahmad Al-Qashash, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995, h. 30.






[2] Ahmad Idris.  Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta :    Gema Insani Press. 1991. h. 74.
[3] Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press. 2005. h. 31.
[4] Adian Husaini.  Mengapa Barat Menjadi Sekuler Liberal?. Ponorogo : CIOS. 2007. h. 4.
[5] Ahmad Idris. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta : Gema Insani Press. 1991. h. 75-80.
[6] Ahmad Al-Qashash, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995, h. 30.
[7] Bank, James A. 1977. Teaching Strategies for Sosial Studies: Inquary, Valuing, and Decision
[8] Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h. 57.
[9] Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h. 56
[10] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. h. 67.
[11] O’Neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan h. 136.
[12] O’Neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Hal 67.
[13] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. h. 87.
[14] Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h. 47.
[15] Freire, Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h. 79
[16] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. h. 16.
[17] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. h. 87.
[18] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. h. 67.
[19] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas. Hal 87.
[20] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. h. 87.
[21] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. h. 75.
[22] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. h. 70.
[23] Iksan, Rumtini. 2011. “Pemikiran Pendidikan John Dewey” h. 89.
[24] Iksan, Rumtini. 2011. “Pemikiran Pendidikan John Dewey” h. 67.
[25] Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar. [http://.Al-Fauzi. Blogspot.com,02,2012.
[26] [26] Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar. [http://.Al-Fauzi. Blogspot.com,02,2012.
[27] Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar. [http://.Al-Fauzi. Blogspot.com,02,2012.


EmoticonEmoticon