BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring
pergantian zaman, paham-paham yang berkembang didunia mengalami berbagai
perubahan. Hal ini dipengaruhi oleh pola pikir yang berkembang pada zaman
tertentu. Ada pertentangan-pertentangan yang senantiasa bertarung dan secara
silih berganti mendominasi pola pemikiran masyarakat. Misalnya pertarungan
antara agama dan sains. Pada zaman pertengahan agama mendominasi, dan sains
termarjinalkan. Selanjutnya pada zaman renaissance hingga sekarang, sains
mendominasi dan menjadi alat ukur kebenaran sedangkan agama lebih cenderung
dimarjinalkan.
Dalam tataran ideologi, pertarungan antara
kapitalisme dan sosialisme mewarnai ideologi masyarakat dunia. Kapitalisme yang
dimotori oleh Amerika berpegang pada kebebasan individu secara mutlak,
sedangkan sosialisme yang dimotori oleh Rusia berpegang pada pembatasan
terhadap kebebasan individu, dan semuanya diatur oleh Negara untuk kepentingan
bersama. Pertarungan ini akhirnya dimenangkan oleh Amerika sebagai pembawa
bendera kapitalis yang akhirnya berdampak pada berbagai sector kehidupan
masyarakat, salah satunya pada sector pendidikan. Pendidikan memiliki peranan
penting dalam pengembangan kemampuan seseorang. Pendidikan merupakan salah satu
sarana untuk mendapatkan pengetahuan yang nantinya menjadi bekal dalam
kehidupan ditengah masyarakat. Isu tentang pendidikan menarik dan senantiasa
actual pendidikan tidak pernah lekang oleh zaman, mulai dari zaman Adam,
Hermes, sampai zaman kita sekarang bahkan juga pada zaman-zaman berikutnya.
Pendidikan
juga tidak bisa lepas dari ideologi yang berkembang ditengah masyarakat.
Ideologi ini turut mewarnai pendidikan sehingga pendidikan yang dilakukan
ditengah masyarakat memiliki karakteristik tertentu yang identik dengan
ideologi tertentu pula. Setidaknya ada tiga ideologi yang berkembang dalam
dunia pendidikan, yaitu konservatif, liberal dan kapitalis. Perbedaan dari
ketiga ideologi tersebut terkait dengan bagaimana pandangan manusia terkait
dengan apa yang menimpanya. Hal ini akan berdampak pada metode dan cara
pembelajaran yang diberikan oleh pendidikan dengan ideologi tertentu.
Kapitalisme global berimplikasi pada pengakuan terhadap hak individu. Hal ini
menimbulkan paham liberalisme yang menekankan kebebasan pada masing-masing
individu dalam segala hal. Dalam menghadapi hal tersebut, pendidikan dituntut
untuk mempersiapkan generasi-generasi yang mampu berinteraksi dengankeadaaan
yang terjadi sekarang. Untuk itu kemudian ideologi pendidikan liberal muncul.
Selanjutnya tulisan ini akan membahas tentang ideologi pendidikan liberal saat
ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan ideologi pendidikan liberal?
2.
Apa saja corak-corak liberalisme pendidikan?
3.
Apa saja ciri-ciri umum liberalisme pendidikan?
4. Apa
landasan pendidikan liberal?
5. Apa
saja dalil-dalil pokok liberalisme pendidikan?
6.
BAB
II
B. Pengertian Pendidikan
Liberal
Kata liberal secara harfiah artinya
"bebas" (free), artinya "bebas dari berbagai
batasan" (free from restraint).[1] Liberalisme
adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat dan tradisi politik yang didasarkan
pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum,
liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, digambarkan dengan
kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya
pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya
pertukaran gagasan yang bebas, begitu juga dengan ekonomi pasar yang mendukung
usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu system pemerintahan
yang transparan, menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh
karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya
kapitalisme. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
system demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan
mayoritas.
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah yang sangat panjang dalam
sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama
Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar
Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu
kejahatan.[2] Menurut
Abdulah Nashih Ulwan, pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan
Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi
milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan."
(Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar
Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk
melindungi agama Nasrani. Selanjutnya, pada tahun 392 keluar Edict of
Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara
(state-religion) bagi Imperium Romawi.[3] Pada
tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan
(Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages).[4] Sejak
itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem
kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber
kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam
seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.[5]
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan
penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/ kaisar, seperti kemandegan ilmu
pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun
meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi
Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly
(w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya
para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael
Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki
disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menurut kebebasan. Dalam sejarah
Kristen Eropa, kata secular danliberal dimaknai
sebagai pembebasan masyarakat dari cengkeraman kekuasaan Gereja yang sangat
kuat dan hegemonik pada zaman pertengahan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII,
seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan
tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak
penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara
total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik.[6]
Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh
konsep ideologi dan peradaban Barat.
Tujuan
jangka panjang pendidikan menurut Liberalisme Pendidikan adalah untuk
melestarikan dan meningkatkan mutu ketahanan sosial yang ada sekarang dengan
cara mengajar setiap anak bagaimana cara mengatasi masalah-masalah kehidupannya
sendiri secara efektif. Dalam arti yang lebih rinci, seorang pendidik liberalis
menganggap bahwa sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang khususnya berupaya
untuk : (1) Menyediakan informasi dan keterampilan yang diperlukan siswa untuk
belajar sendiri secara efektif, (2) Mengajar para siswa bagaimana cara
memecahkan persoalan-persoalan praktis melalui penerapan proses-proses
penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok, dengan berdasar kepada
tata cara ilmiah-rasional bagi pengujian dari pembuktian gagasan.[7]
Perbedaan
antara berbagai idiologi liberal adalah terutama pada bagaimana menghadapi
keterkaitan antara sekolah dengan masyarakat. Tafsiran tentang konsep
relatifisme budaya dan demokrasi sosial, ketika persoalannya sampai pada
hubungan antara sekolah dengan masyarakat, kaum liberal mengambil pendekatan
psikologis (personalistis), di mana individu didahulukan ketimbang
tuntutan-tuntutan masyarakat. Ada dua alasan mengapa liberalis pendidikan
mengambil sikap seperti itu.
Pertama, kaum
liberal yakin bahwa yang psikologis itu tetap menjadi landasan puncak bagi
pembuktian kebenaran atau kekeliruan/kesalahan klaim manapun terhadap
pengetahuan. Belajar adalah sesuatu yang bersifat personal dalam arti yang
lebih mendasar jika dibandingkan dengan belajar sebagai kegiatan yang berpusat
pada kelompok.Kedua, tidak ada budaya yang benar-benar terbuka dan kritis, dan
akan menjadi model yang sahih bagi pencarian kecerdasan praktis yang terlatih,
yang dipandang sebagai sebuah sasaran secara kolektif. Sekolah dipandang
sebagai lembaga yang lebih terbuka, lebih kritis, dan lebih bertanggungjawab
dibandingkan dengan sistem politis.[9]
Bagi kaum
liberal, pendidikan yang terbaik adalah yang ada untuk melatih anak agar
berfikir secara kritis dan objektif, mengikuti bentuk dasar proses ilmiah, dan
melatih anak meyakini hal-hal tersebut sebagai hal-hal yang paling baik
berdasarkan pengetahuan ilmiah.
B. Kemenduaan
Liberalisme Pendidikan
Liberalisme
pendidikan pada intinya merupakan sebuah cabang pertumbuhan dari sudut pandang
empirisme dan eksperimentalisme, yang menaati gagasan bahwa nilai tertinggi
‘kebahagiaan’, perwujudan diri atau apapun juga secara fundamental merupakan
keluaran sampingan dari kecerdasan praktis. Di sisi lain,
generalisasi-generalisasi tersebut memerlukan tiga batasan sebagai berikut :
1. Fenomenologi
dan Behaviorisme
Ketika sampai
pada persoalan hakikat puncak pengalaman personal, kaum empiris cenderung
tergelincir ke arah satu dari dua kubu yang saling bertentangan yaitu kaum
fenomenologis dan behavioris.
Kaum
fenomenologis memegang keyakinan bahwa segala hal yang mungkin bisa diketahui
seseorang, adalah proses kesadarannya sendiri atau subjektivitasnya sendiri.
Tokoh utama fenomenologi yakni Edmund Husserl.
Kaum behavioris
berpendapat bahwa makna yang tersimpul dalam pengalaman personal mengisyaratkan
bahwa seluruh pengalaman selaras dengan keadaan-keadaan yang mendahului dan menentukan
sifat-sifat hakiki serta pola pengalaman itu sendiri. Tokoh pemikir kaum
behavior yakni B.F Skinner.
2. Eksperimentalisme
dan behaviorisme
Eksperimentalisme
pada intinya merupakan perkawinan antara behaviorisme filosofis denga
pragmatisme. Behaviorisme filosofis menganggap bahwa pengalaman personal
merupakan keluaran dari perilaku antara makhluk hidup dengan lingkungan fisik
dan lingkungan sosialnya. Tokoh filosofi eksperimental adalah adalah John
Dewey.
Pragmatisme memiliki sikap yang menganggap bahwa sebuah gagasan adalah benar jika menuntun ke arah konsekuensi-konsekuensi efektif bilamana diterapkan ke pemecahan masalah nyata ( praktis).[10]
Pragmatisme memiliki sikap yang menganggap bahwa sebuah gagasan adalah benar jika menuntun ke arah konsekuensi-konsekuensi efektif bilamana diterapkan ke pemecahan masalah nyata ( praktis).[10]
3. Eksperimentalisme
dan ideology
Eksperimentalisme sebagai aliran
utama yang bergerak dalam apa yang biasanya dipandang sebagai liberalisme
pendidikan.
1. Eksperimentalisme
Aliran Utama (Mainstream)
Pemikiran eksperimentalisme
aliran utama ini mengambil sikap bahwa semua komitmen terhadap penyelidikan
yang terbuka dan kritis pastilah menyiratkan adanya komitmen yang selaras,
terhadap sebuah masyarakat yang terbuka dan kritis.
2. Eksperimentalisme
Egalitarian
Mengisyaratkan sebuah masyarakat
kritis sejati hanya bias mengakar di mana sudah ada sebuah pembagian kembali
sumberdaya-sumberdaya dan kekuasaan-kekuasaan efektif yang menyediakan
kondisi-kondisi sosial dan ekonomi praktis yang diperlukan untuk membuat
pilihan personal menjadi pilihan yang sungguh-sungguh bermakna.
3. Eksperimentalisme
Teknokratis
Yaitu para eksperimentalis yang
mewakili sebuah jenis sudut pandang teknokratis, cenderung memandang pemikiran
kritis sebagai sesuatu yang secara fundamental bergantung kepada sebuah
masyarakat objektif (ilmiah), dimana pengetahuan ilmiah adalah prasyarat bagi
keadilan sosial serta dalam jangka waktu yang panjang menjadi prasyarat bagi
perwujudan diri individual.
D. Eksistensialisme
dan Liberalisme Pendidikan
Filosofi
ekstensialisme dipandang sebagai penuntun ke arah sebuah corak liberalisme
pendidikan.
a) Eksistensialisme
dan Persoalan Pilihan Bebas
Seluruh
ekstensialisme pada prinsipnya adalah empirisme radikal, yang mengikuti gagasan
bahwa keberadaan (eksistensi; pengalaman personal) mendahului dan menentukan
intisari (esensi; kebenaran, pengetahuan, makna). Seorang eksistensialis
memiliki pendirian yang merupakan pendirian realism klasik, yakni prinsip
kemandirian (independensi).
Eksistensialisme mengambil sikap yang menyatakan bahwa adalah mungkin untuk membuat pilihan bebas untuk menolak sifat-sifat hakiki yang pasti bersifat subjektif (personal) dari seluruh makna dengan cara memilih untuk meyakini yang bukan itu.
Eksistensialisme mengambil sikap yang menyatakan bahwa adalah mungkin untuk membuat pilihan bebas untuk menolak sifat-sifat hakiki yang pasti bersifat subjektif (personal) dari seluruh makna dengan cara memilih untuk meyakini yang bukan itu.
b) Teologi
Eksistensial dan Eksistensialisme Teologis
Kaum
eksistensialis yang mendasarkan pendirian teistik mereka pada pilihan
eksistensial mengambil sikap bahwa keberadaan Tuhan tak bisa dibuktikan tetapi
hanya bias muncul dari komitmen personal.
Seorang teolog
eksistensialis bisa dipaparkan sebagai seorang yang berpendapat bahwa dirinya
sudah membuat pilihan eksistensial atau sebuah sikap yang bukan eksistensial
(metafisis). Seorang eksistensial teologis berpendapat bahwa adalah mungkin
untuk menjadi seorang teis (percaya pada keberadaan Tuhan yang personal) dalam
konteks kesangsian eksistensial.
c) Eksistensialisme
Pendidikan
Eksistensialisme
sering dipakai secara berbeda dalam psikologi khususnya dalam psikoterapi
(terapi kejiwaan). Sebagai sebuah filosofi, eksistensialisme tidak meresepkan
kebebasan sebagai obat bagi penyakit-penyakit sosial maupun personal. Kaum
eksistensialis tidak menentang pemecahan masalah secara eksperimentalis sebagai
pendekatan mendasar terhadap pendidikan.
Pada dasarnya
ada tiga pengamatan secara umum yang bisa dilakukan terhadap landasan filosofis
dalam liberalisme pendidikan.
I.
Pengetahuan harus dibuktikan dengan cara menerapkan
gagasan-gagasan pada pemecahan masalah praktis yang ada di dalam dunia nyata;
untuk melakukan itu orang harus berusaha untuk menjadi seilmiah mungkin dalam
hal bagaimana ia berfikir serta dalam hal apa yang ia yakini kemudian.
II.
Tidak semua eksperimentalis (seseorang yang memecahkan
masalah dengan cara ilmiah) merupakan kaum liberalis pendidikan. Sebagian (kaum
rekonstruksionis) melampaui liberalisme, membela liberasionisme sebagai
satu-satunya cara efektif untuk melembagakan kondisi-kondisi sosial yang
diperlukan bagi demokrasi sosial.
III.
Kaum eksistensialis jarang menjadi liberalis
pendidikan. Penekanan mereka pada intelektualisme, bersimpati kepada banyak hal
yang diajukan oleh kaum intelektualis.
F. Corak-Corak
Liberalisme Pendidikan
Ada tiga corak
utama liberalisme pendidikan :[13]
1.Liberalisme Metodis
Mereka yang
mengambil sikap bahwa selagi metoda-metoda pengajaran harus disesuaikan dengan
zaman supaya mencakup renungan-renungan psikologis baru dalam hakikat belajar
oleh manusia, namun sasaran-sasaran atau tujuan pendidikan, termasuk isi
tradisionalnya secara fundamental sudah baik dan tidak memerlukan penyesuaian
yang penting.
2.Liberalisme Direktif
Pada dasarnya
liberalisme direktif menginginkan pembaharuan mendasar dalam hal tujuan
sekaligus dalam hal cara kerja sekolah. Mereka menganggap bahwa wajib belajar
adalah perlu dan memilih untuk mempertahankan beberapa keperluan mendasar
tertentu serta mengajukan penetapan lebih dulu tentang isi pelajaran-pelajaran
yang akan diberikan pada siswa. John Dewey dapat dikatakan berada pada aliran
ini.
3.Liberalisme Non-direktif
Kaum
liberalisme non-direktif sepakat dengan pandangan bahwa tujuan dan cara-cara
pelaksanaan pendidikan perlu diarahkan kembali secara radikal dari orientasi
otoritariannya yang tradisional kea rah sasaran pendidikan yang mengajar siswa
untuk memecahkan masalahnya sendiri secara efektif.
Tetapi mereka
ingin mengurangi seluruh batasan di dalam situasi persekolahan konvensional,
dengan cara melenyapkan hal-hal seperti wajib belajar, dan pengajaran mata
pelajaran wajib. Tokoh liberalisme non-direktif diwakili oleh A.S Neill dan
Carl Rogers.
Landasan pendidikan liberal atau
dalil-dalil pokok liberalisme pendidikan yaitu sebagai berikut:
a) Seluruh
kegiatan hasil belajar adalah pengetahuan personal melalui pengalaman personal.
b) Seluruh
hasil kegiatan belajar bersifat subjektif dan selektif.
c) Seluruh
kegiatan belajar berakar pada keterlibatan pengertian indrawi.
d) Seluruh hasil kegiatan belajar didasari proses
pemecahan masalah secara aktif dalam pola “coba-dan-salah” (trial and error)
e) Cara
belajar terbaik diatur oleh penyelidikan kritis yang diarahkan oleh
perintah-perintah eksperimental yang mencirikan metoda ilmiah, dan pengetahuan
terbaik adalah yang paling selaras dengan pembuktian ilmiah yang sudah dianggap
sahih sebelumnya.
f) Pengalaman
yang paling dini adalah yang paling berpengaruh terhadap perkembangan
selanjutnya dank arena itu juga paling penting artinya.
g) Kegiatan
belajar diarahkan dan dikendalikan oleh konsekuensi-konsekuensi emosional dari
perilaku.
h) Sifat-sifat
hakiki dan pengalaman sosial mengarahkan dan mengendalikan sifat-sifat hakiki
pengalaman personal.
i)
Penyelidikan kritis dari jenis yang punya arti penting
hanya bias berlangsung dalam masyarakat yang terbuka dan demokratis yang
memiliki komitmen terhadap ungkapan umum pemikiran dan perasaan individual.
1. Tujuan
pendidikan secara keseluruhan
2. Tujuan
utama pendidikan adalah untuk mempromosikan perilaku personal yang efektif.
Sasaran-sasaran Sekolah Keberadaan
sekolah didasari oleh dua alasan mendasar :
1) Untuk
menyediakan informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan oleh siswa
untuk belajar secara efektif bagi dirinya sendiri
2) Untuk
mengajar para siswa bagaimana cara memecahkan masalah praktis lewat penerapan
tatacara-tatacara penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok yang
didasarkan pada metoda-metoda ilmiah-rasional.
3) Ciri-ciri
umum liberalisme pendidikan
a) Menganggap
pengetahuan berfungsi sebagai sebuah alat untuk digunakan dalam pemecahan
masalah secara praktis, bahwa pengetahuan adalah sebuah jalan kea rah tujuan
berupa perilaku efektif dalam menangani situasi-situasi sehari-hari
b) Menekankan
kepribadian unik dalam diri tiap individu.
c) Menekankan
pemikiran efektif (kecerdasan praktis), mengarahkan perhatuan utamanya kepada
kemampuan sikap individu untuk menyelesaikan persoalan-persoalan personalnya
sendiri secara efektif.
d) Memandang
pendidikan sebagai perkembangan dari keefektifan personal.
e) Memusatkan
perhatian kepada tatacara-tatacara pemecahan masalah secara individual maupun
kelompok.
f) Menekankan
perubahan sosial secara tak langsung, melalui perkembangan kemampuan tiap orang
berperilaku praktis dan efektif.
g) Didirikan
di atas tatacara-tatacara pembuktian secara ilmiah-rasional.
4) Anak
sebagai pelajar
Seorang anak
pada umumnya cenderung untuk menjadi baik berdasarkan konsekuensi-konsekuensi
alamiah dari perilakunya sendiri yang terus berkelanjutan.
Perbedaa-perbedaan
individual lebih penting ketimbang persamaan-persamaannya, dan
perbedaan-perbedaan itu sangat menentukan (determinatif) dalam penetapan
program-program pendidikan.
5) Administrasi dan pengendalian pendidikan
5) Administrasi dan pengendalian pendidikan
Wewenang
pendidikan harus ditanamkan di tangan para pendidik yang telah memperoleh
latihan tingkat tinggi, yang memiliki komitmen terhadap proses penyelidikan
kritis dan yang mampu membuat perubahan-perubahan yang diperlukan sehubungan
dengan informasi baru dan relevan.
Wewenang guru
harus didasarkan terutama pada keterampilan-keterampilan yang dimilikinya dalam
bidang pendidikan.
6) Sifat-sifat hakiki kurikulum
1) Sekolah
harus menekankan keefektifan personal, melatih anak untuk menyesuaikan diri
secara efektif sesuai dengan tuntutan-tuntutan situasinya sendiri sebagaimana
ia memahami situasi tersebut.
2) Sekolah harus menekankan pemecahan masalah
secara praktis, dan penekanan pada tata cara.
3) Pelajaran
ditentukan lebih dulu, baik yang wajib maupun pilihan yang seimbang.
4) Penekanan
pada hal-hal yang yang bersifat intelektual dan praktis.
5) Sekolah
harus menekankan pada penjelajahan yang terbuka dan kritis pada masalah dan
isu-isu kontemporer selama hal itu dianggap penting bagi siswa.
6) Pemecahan
masalah hendaknya dilakukan secara kelompok dan dengan pendekatan antar disiplin
(keilmuan).
7) Metode-metode
Pengajaran dan Penilain Hasil Belajar
8) Kendali
Ruang Kelas
a. Para
siswa harus dianggap bertanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri.
b.
Guru harus bersifat demokratis dan obyektif dalam
menentukan tolok ukur tingkah laku dan ia juga harus meminta persetujuan dari
siswa tentang aturan-aturan yang akan dibuat.
B. LIBERASIONISME PENDIDIKAN[16]
Menguraikan
liberasionisme pendidikan, terasa tidak lengkap jika tidak dijelaskan siapa itu
Paulo Freire. Hal ini penting mengingat Dia adalah tokoh penting disamping Ivan
Illich dalam mengusung ideologi pendidikan liberasion di Amerika Latin dan
kemudian memengaruhi beberapa negara ketiga lainnya.
1.
Mengenal Paulo Freire
Freire lahir
tanggal 19 September 1921 di Recife, sebuah daerah miskin di timur laut Brazil
(Yamin, 2009: 139). Freire kuliah di University of Recife untuk dididik menjadi
pengacara. Nilai-nilai kekristenan relatif kental dalam benak Freire seiring
dengan keikutsertaannya dalam gerakan aksi Katolik yang kemudian nantinya
meletakkan dasar gerakan teologi pembebasan.
Beberapa karya
yang memengaruhi ideologi Freire, seperti “The Wretched of the Earth” karya
Frantz Fanon, khususnya ketika akan menyelesaikan “Pedagogy of the Oppressed”,
kemudian juga terpengaruh Albert Memi dengan bukunya “Colonizer and the
Colonized”, setelah itu oleh Lev Vygotsky melalui bukunya “Thought and
Language”, dan juga Gramsci. Selain itu, gagasan pemikiran pendidikan Freire
dipengaruhi oleh gagasan teologi pembebasan Katolik dan pemikiran-pemikiran
“Marxian”.
Freire memulai
aktivitas sosialnya pada tahun 1946 pada bagian pelayanan sosial di Pernambuco,
ia mendapat tanggung jawab pada program pendidikan untuk masyarakat miskin kota
dan pekerja industri, termasuk di daerah Recife, tempat kelahirannya sendiri.
Di situlah ia kali pertama tertarik pada masalah pendidikan literasi orang
dewasa dan pendidikan rakyat, di situ pula ia mulai membaca dan mengembangkan
gagasan pendidikannya.
Pada 1954 ia
keluar dan mulai mengajar sejarah dan filsafat pendidikan di University of
Recife. Kemudian pada pemilihan politik tahun 1959, Freire diberi kepercayaan
untuk mengurus program pendidikan orang dewasa (Movimento de Cultura Popular)
oleh walikota Recife terpilih yang dikenal progresif. Pada waktu yang sama ia
mendapatkan gelar doktornya dari University of Recife, dalam karya doktoralnya
ia menggambarkan perkembangan gagasan pendidikan orang dewasa yang ia
formulasikan.
Lingkup gerakan
pendidikannya makin meluas ketika ia diangkat menjadi kepala dari program
literasi nasional Brazil yang baru, melalui program itulah tahun 1964 metode
pendidikan literasinya disebarkan sangat luas menjangkau lima juta orang yang
buta huruf di seluruh Brazil. Sayangnya di tahun itu juga karena kudeta
politik, maka ia sebagai bagian dari pemerintahan diusir dari Brazil. Ia
kemudian ke Cili, seteah itu berangkat ke Harvard untuk mengajar dan sekaligus
menulis di situ.
Pada tahun 1970
ia bergabung dengan The World Council of Churches, di Jenewa, setelah itu ia
hampir selalu bepergian ke banyak bagian negara di dunia untuk melihat dan
mendampingi pengembangan program literasi yang ia gagas, dan ia pun tetap
menulis, sampai pada tahun 1980 dia boleh kembali ke Brazil.
Beberapa karya
Freire, yakni: (1) Pedagogy of the Oppressed; (2) Pedagogy of The City (1993);
Pedagogy of the Hope (1995); Pedagogy of the Heart (1997); Pedagogy of the
Freedom (1998); Pedagogy of the Indignation (2004) (Freire, 2008: xvi).
Tepat tanggal 2
Mei 1997, Paulo Freire meninggal dunia du Rumah Sakit Albert Enstein, Sao
Paulo. Dia wafat dalam usia 75 tahun akibat serangan jantung. Di samping
berbagai karya yang telah dihasilkan, ia juga mewariskan keteladanan hidup
sebagai pribadi yang terbuka, jujur, lugas, kreatif, dan penuh perjuangan. Dan
yang lebih penting, Dia selalu berusaha sungguh-sungguh agar tindakannya
mencerminkan kata-katanya (Freire, 2008: xvii).[17]
2.
Liberasion: Pengertian dan Hal-Hal yang Mencirikannya
Secara
etimologis liberasion berasal dari bahasa Portugis, yakni dari kata liberacion
yang artinya pembebasan. Pendidikan liberasion mendorong pembaharuan sosial
dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta
mengkondisikan pendidikan dengan kondisi yang manusiawi. Liberasionisme
pendidikan menurut penulis buku ini (William F. O’Neil) adalah ideologi
pendidikan yang beranggapan bahwa sasaran puncak pendidikan haruslah berupa
pelaksanaan pembangunan kembali masyarakat yang mengikuti jalur-jalur yang
sungguh-sungguh berkemanusiaan (humanis), yang menekankan perkembangan
sepenuhnya potensi-potensi setiap orang sebagai makhluk manusia.
Sebaliknya,
pembelajaran yang bersifat dehumanisasi, berdampak terhadap perkembangan
kematangan psikologi pesrta didik. Menurut Rogers, pembelajaran yang cenderung
bersifat dehumanisasi maka akan menghasilkan peserta didik yang menghambat
kebebasan berpikir dan menentukan pilihan-pilihan, menciptakan kebosanan,
perasaan frustrasi, marah dan bahkan putus asa terhadap peserta didik (Nemirof,
1992: 37).
Pembelajaran
yang humanis hanya dapat berlangsung di dalam kerangka kerja sebuah sistem
sosial yang berkomitmen terhadap pengungkapan maksimum kebebasan
kewarganegaraan individual dengan sebuah proses demokratis yang stabil dan
tahan lama.
Dalam pendidikan liberasionis sekolah harus menyediakan informasi serta keterampilan bagi siswa agar mereka dapat belajar secara efektif bagi dirinya sendiri. Disamping itu, sekolah harus rnengajarkan bagaimana caranya menyelesaikan persoalan-¬persoalan praktis, melalui penerapan teknik-teknik pemecahan masalah secara individual maupun kelompok, yang didasarkan pada pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional. Sekolah juga harus membantu siswa untuk mengenali dan menanggapi kebutuhan bagi pembaharuan/perombakan apapun yang tampaknya merupakan tuntutan zaman.
Dalam pendidikan liberasionis sekolah harus menyediakan informasi serta keterampilan bagi siswa agar mereka dapat belajar secara efektif bagi dirinya sendiri. Disamping itu, sekolah harus rnengajarkan bagaimana caranya menyelesaikan persoalan-¬persoalan praktis, melalui penerapan teknik-teknik pemecahan masalah secara individual maupun kelompok, yang didasarkan pada pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional. Sekolah juga harus membantu siswa untuk mengenali dan menanggapi kebutuhan bagi pembaharuan/perombakan apapun yang tampaknya merupakan tuntutan zaman.
Ciri pemikiran
kaum liberasionis ialah mendahulukan hal-hal yang mengarah kepada masalah
sosial dari individual. Kaitan dengan hal tersebut, maka terdapat dua hal yang sangat
penting diuraikan, yakni:
Pertama,
pengalaman personal selalu dialami di dalam dan melalui kerangka kerja budaya
tertentu. Orang yang belajar pada intinya bersifat sosial, dan ia selalu
bergerak melalui dan digerakkan oleh sebuah ‘jiwa tersosialkan’ (sosialized
psyche)-berdasarkan pada serangkaian batasan budaya tertentu. Manusia yang
beradab pada intinya adalah sebentuk fenomena sosial. Kebudayaanlah yang
menjadi agen fundamental untuk mengindoktrinasi individu dalam hal bagaimana
menghadapi dan mengalami kehidupan di dunia. Apakah individualisme akan ada
ataukah tidak, dan bagaimana ‘individualisme’ semacam itu akan diungkapkan,
akan ditentukan oleh hakikat serta dinamika budaya tertentu pada suatu waktu
tertentu dalam masyarakatnya.
Kedua, masih berkaitan
dengan pertama, yakni apakah ilmu pengetahuan akan digunakan sebagai sebuah
pendekatan yang hidup terhadap pemikiran dan kegiatan belajar, atau hanya
diterapkan pada penyelesaian problem-problem personal dan sosial yang relatif
kabur? Penulis buku ini tampaknya lebih menyakini pada preposisional pertama,
yakni empasis pada orientasi budaya.
Ia menegaskan
pula bahwa budaya-budaya yang tertutup dan bersifat otoritarian (dalam dunia
pendidikan) sulit menerima perbaikan, khususnya yang berkaitan dengan pendekatan¬-pendekatan
demokratis yang terbuka terhadap proses berpikir dan belajar. Karena
sistem-sistem semacam itu (yang tertutup dan otoritarian) menolak
pendekatan-pendekatan yang demokratis. Sebuah sistem pendidikan terbuka
memerlukan suatu pendekatan yang terbuka dan bersifat eksperimental terhadap
‘belajar’.
Tujuan pokok
sekolah menurut aliran liberasionisme adalah menciptakan kondisi-kondisi
politis dan ekonomis yang perlu untuk mengenalkan dan melestarikan jenis
masyarakat yang membuat pendidikan bersifat sungguh-sungguh liberal serta
‘membebaskan’ (liberasion) dari jenis yang terbuka dan eksperimental.
Diperlukan komitmen kolektif dari masyarakat yang belajar sebagai perwujudan
diri individual untuk sebuah cita-cita sosial.[19]
4.
Corak
Liberasionisme Pendidikan
Dalam
liberasionisme pendidikan, terdapat tiga corak, yakni: liberasionis reformis,
liberasionis radikal; dan liberasionis evolusioner.
a. Liberalisionisme
Reformis (pembaharu). Liberasionisme reformis beranggapan bahwa sangat perlu
meluruskan dan mengoreksi serta membetulkan ketidakadilan sosial secara mendasar
yang ada di dalam sistem pendidikan maupun masyarakatnya secara keseluruhan.
Beberapa contoh misalnya, penyatuan kembali sekolah-sekolah yang semula
berdasarkan ras, layanan bus secara umum tanpa ada pembedaan, dan sebagainya.
Karena itu,
menurut O’Neil sangat penting dilakukan penyebarluasan informasi mengenai
ketidakadilan sosial. Dan sebaliknya, mendidik anak-anak tentang perlunya aksi
sosial. Ringkasnya, sekolah harus aktif ‘mendakwahkan’ penanaman dan
prinsip-prinsip demokratis di dalam sistem yang sudah ada.
Ciri-ciri
liberasionisme reformis yakni, kebanyakan gerakan pembaharuan yang panting,
seperti gerakan pembela hak-hak kewarganegaraan masyarakat Afro Amerika pada
awal tahun 1960-an yang telah cenderung untuk menjadi radikal melalui
bentrokan. Dalam kasus gerakan Kulit Hitam, apa yang tadinya adalah perjuangan
terutama untuk menuntut hak-hak setara di dalam sistem selama hari-hari awal
bentrokan hak-hak warganegara di bawah kepemimpinan kaum moderat seperti Martin
King, secara bertahap makin menjadi seruan radikal bagi pemisahan diri
(separatisme).[20]
Beberapa
gerakan revolusioner di Amerika muncul dengan landasan marxis atau semu marxis,
yang menyerukan perumusan kembali secara radikal atas lembaga-lembaga sosial
mendasar, seperti: organisasi Black Panther, dan yang lebih baru adalah Weather
Underground dan World Liberation front, bahkan yang disebutkan terakhir ini
terlibat menentang tindakan-tindakan revolusioner langsung menentang sistem
yang mapan di Amerika Serikat.
b. Liberasionisme
radikal. Kaum liberasionisme radikal menggunakan sekolah-sekolah untuk
mengkritik dan membangun kembali dasar-dasar kebudayaan. Mereka berpendapat
bahwa, perlu dipikirkan kembali dan memperbaiki secara radikal lembaga-lembaga
tertentu yang paling fundamental yang menyokong tegaknya masyarakat.
Jika
‘rekonstruksionisme’ tradisional dari pemikiran John Dewey , George Counts, dan
Theodore Brameld secara tradisional bisa dianggap sebagai sebuah corak
liberasionisme radikal pra-revolusioner, yang mengait pada pembetulan/pengoreksian
sebagian kesalahan atau noda-¬noda dalam sistem kapitalis, maka juga terdapat
sejumlah kepustakaan karya-karya para pendidik komunis pasca revolusi dari Cina
dan Uni Soviet, hingga ke berbagai tulisan yang telah dibuat mengenai
lembaga-lembaga radikal seperti misalnya kibbutz sekular Israel, terutama
menyangkut persoalan bagaimana sekolah bisa ‘membelajarkan kembali kesadaran’
dalam kerangka kerja tatanan sosialis yang baru.[21]
c. Liberasionisme
Revolusioner. Kaum liberasionis revolusioner menganggap bahwa -karena
sekolah-sekolah adalah lembaga-lembaga yang melayani kepentingan-kepentingan
budaya pada umumnya, dan karena budaya itu sendiri adalah kekuatan pendidikan
utama dalam kehidupan anak-anak, maka sekolah¬-sekolah itu sendiri tidak bisa
berharap secara realistis untuk membangun kembali masyarakat lewat kritik
internal apapun juga terhadap praktik¬-praktik yang ada.
Satu-satunya cara supaya
sekolah-sekolah dapat menandingi secara efektif sebuah sistem sosial yang tidak
memanusiakan manusia (dehumanisasi), adalah dengan cara menghapuskan segala
kepura-puraan dalam ‘mendidik’ anak-anak. Selanjutnya, menurut O’Neil perlu
diciptakan sistem-sistem atau kekuatan-kekuatan sosial baru yang lebih mampu
menopang berupa prinsip-prinsip yang benar-benar manusiawi dan rasional. Pada
persoalan ini, si penulis menegaskan bahwa idelogi pendidikan yang berkembang
selama ini di Amerika Serikat (dan juga mungkin negara-negara yang berkiblat ke
Amerika) lebih cenderung ke arah konservatif dengan dengan warna-warna liberalisme
tertentu.
Hanya
masyarakat jenis baru yang telah mengubah dirinya yang pada puncaknya akan
memungkinkan penetapan sekolah-sekolah yang nyata, ketimbang agen-agen
pendidikan-palsu dalam penindasan sosial yang selama ini ada. Dengan kata lain,
kaum liberasionis revolusioner yakin bahwa sekolah multi menjadi agen dasar
bagi penyebarluasan revolusi sosial. Pendekatan ini, yang barangkali paling
terwakili oleh ‘Pengawal Merah’ Republik Rakyat Cina di akhir 1960-an di mana
para siswa diaktifkan sebagai kekuatan tandingan untuk memerangi
ancaman-¬ancaman reaksioner terhadap kekuasaan Ketua Mao.[22]
5.
Liberasionisme
dalam Pendidikan Sebuah Rangkuman
Jika sementara
kita kesampingkan perbedaan antara sudut pandang religius dan sekular di dalam
tradisi liberasionisme pendidikan, maka ideologi ini dasarnya adalah sebagai
berikut:[23]
a. Tujuan
Pendidikan secara Menyeluruh
Tujuan utama
pendidikan adalah untuk mendorong pembaharuan¬pembaharuan sosial yang perlu,
dengan cara memaksimalkan kemerdekaan personal di dalam sekolah, serta dengan
cara membela kondisi-kondisi yang lebih manusiawi dan memanusiakan di dalam
masyarakat secara urnum.
b. Sasaran-Sasaran Sekolah
Sekolah ada
lantaran tiga alasan utama: (1) untuk membantu para siswa mengenali dan
menanggapi kebutuhan akan pernbaharuan/perombakan sosial; (2) untuk menyediakan
informasi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan siswa supaya bisa
belajar secara efektif bagi dirinya sendiri; (3) untuk mengajar para siswa
tentang bagaimana caranya memecahkan masalah-masalah praktis melalui penerapan
teknik-teknik penyelesaian masalah secara individual maupun kelompok yang
didasari oleh metode-metoda ilmiah-rasional.
Pada ranah ini,
oleh James A. Bank (1977) menegaskan bahwa dalam sosial studies diperlukan
metode-metode ilmiah rasional dalam mengembangkan pembelajaran IPS, khususnya
pada sekolah menengah. Metode ilmiah itu disebutnya dengan metode inquiry,
dengan langkah-langkah: identifikasi masalah-masalah sosial, merumuskan
hipotesis, mengumpulkan data dan mengevaluasi data. Tujuan metode ini adalah
agar pendidikan IPS dapat menghasilkan peserta didik yang rasional, memiliki
keterampilan sosial dan tepat mengambil keputusan (decision making) dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya.[24]
c. Ciri-ciri
Umum Liberasionisme Pendidikan
Ada sembilan ciri-ciri umum liberasionisme
pendidikan, yaitu:
·
Menganggap bahwa pengetahuan adalah alat yang
diperlukan untuk melakukan pembaharuan/perombakan social.
·
Menekankan manusia sebagai sebentuk keluaran
budaya;, budaya merupakan penentu-sosial kedirian;
·
Menekankan analisis obyektif (ilmiah-rasional)
serta evaluasi/penilaian terhadap kebijakan-kebijakan dan praktik-praktik
sosial yang ada;
·
Menganggap pendidikan sebagai perujudan yang
paling utuh dari potensi-potensi khas tiap orang sebagai mahluk manusia;
·
Memusatkan perhatian kepada kondisi-kondisi
sosial yangmenghalang-halangi perujudan paling penuh dari potensi-potensi
individu, menekankan masa depan (yakni, perubahan-perubahan dalam sistem yang
ada sekarang, yang perlu untuk mendirikan masyarakat yang lebih memanusiakan
manusia);
·
Menekankan perubahan-perubahan ruang lingkup
besar yang segera harus dilakukan di dalam masyarakat yang ada sekarang,
menekankan perubahan-perubahan penting yang akan mempengaruhi sifat-sifat
hakiki dan pelaksanaan sistem sosial yang mapan;
·
Didasarkan pada sistem penyelidikan
eksperimental yang terbuka (pembuktian pengetahuan secara ilmiah-rasional)
dan/atau prakiraan-¬prakiraan yang sesuai dengan sistem penyelidikan semacam
itu;
·
Didirikan di atas landasan prakiraan-prakiraan
Manos atau Marxis baru (neo-Marxis) tentang seluruh kesadaran personal yang
ditentukan oleh faktor sosio-ekonomis;
·
Menganggap bahwa wewenang intelektual
tertinggi ada di tangan mereka yang memahami konsekuensi-konsekuensi patologis
(bersifat merusak/berpenyakit) dari kapitalisme kontemporer dan segenap sikap
sosial yang dihubungkan dengannya.
Anak-anak
condong untuk menjadi baik (yakni, ke arah tindakan yang efektif dan
tercerahkan) jika diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni bersifat
rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan individual lebih penting
ketimbang kesamaan-kesamaan individual, dan perbedaan-perbedaan itu bersifat
menentukan dalam penetapan program-program pendidikan. Anak-anak secara moral
setara dan mereka musti mendapatkan kesempatan yang setara untuk berjuang demi
ganjaran¬-ganjaran sosial dan intelektual yang lebih luas, lebih mudah diakses,
dan dibagikan secara lebih adil/merata. Kedirian (kepribadian) tumbuh dari
pengkondisian sosial, dan dari yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi
penentuan ‘diri’ lanjutan; anak hanya bebas di dalam konteks determinisme
sosial dan psikologis.[26]
e. Administrasi dan Pengendalian
Wewenang
pendidikan musti ditanamkan di tangan minoritas yang tercerahkan, yang terdiri
atas para intelektual yang bertanggung-jawab, yang sepenuhnya sadar akan
kebutuhan objektif bagi perubahan¬-perubahan sosial yang konstruktif, dan yang
mampu menanamkan perubahan-perubahan semacam itu melalui sekolah-sekolah.
Upaya
meningkatkan kompetensi pendidik oleh berbagai bangsa telah dilakukan dengan
berbagai macam metode dan strategi. Di Indonesia misalnya, melalui amandemen
Undang-Undang, khususnya UU Sisdiknas, telah dihasilkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional tentang Standar Nasional Pendidikan. Dalam Permendiknas
tersebut dikatakan bahwa setiap guru minimal memiliki empat kompetensi dasar,
yakni: (a) kompetensi pedagogik; (b) kompetensi profesional; (c) kompetensi
kepribadian, dan (d) kompetensi sosial (UU Sisdiknas, Peraturan Menteri Nomor
19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 3).
Sebagaimana
yang telah disebutkan pada paragraf sebelumnya bahwa diperlukan pendidik yang
mampu membawa perubahan (sosial) bagi peserta didik, adalah sejalan dengan
upaya Indonesia melalui UU Sisdiknas, khususnya mengenai kompetensi guru yang
saat ini telah (mulai) dijalankan.[27]
f. Sifat-sifat
Hakiki Kurikulum
Sifat hakiki
kurikulum tergambar sebagai berikut, (1) Sekolah harus menekankan pembaharuan/perombakan
sosio-ekonomis; (2) Sekolah musti memusatkan perhatian pada pemahaman diri
serta tindakan sosial sekaligus; (3) Penekanan harus diletakkan pada tindakan
yang cerdas dalam mengejar keadilan sosial; (4) Mata pelajaran harus bersifat
pilihan dalam batas-batas penentuan yang umum; (5) Penekanan harus diletakkan
pada penerapan praktis dari yang sifatnya intelektual (praksis) melebihi apa
yang secara sempit bersifat praktis ataupun akademis; (6) Sekolah musti
menekankan problema-problema sosial yang kontroversial, menekankan pengenalan
dan analisis terhadap nilai-nilai dan prakiraan-prakiraan dasar yang
menggarisbawahi isu-isu sosial, dan memperagakan kepedulian khusus terhadap
penerapan apa yang dipelajari di dalam ruang kelas kepada kegiatan-kegiatan
yang punya arti penting secara sosial di luar sekolah; sekolah musti secara
tipikal menampilkan pendekatan¬pendekatan antar-disiplin keilmuan yang berpusat
pada problema, yang meliputi wilayah kajian seperti filosofi, psikologi,
kesusasteraan konternporer, sejarah, dan ilmu-ilmu behavioral dan sosial.
g. Metode-metode
Pengajaran serta Penilaian Hasil Belajar
Harus ada
penekanan yang kurang-Iebih seimbang atau setara pada pemahaman problema
(pengenalan dan analisis terhadap Problema-problema secara tepat) serta
pemecahan masalah.[28]
Disiplin dan
hapalan mungkin kadang-kadang perlu supaya bisa menguasai sebuah keterampilan
yartg akan diperlukan demi menangani problema-problema personal atau sosial
yang penting secara efektif, namun kegiatan belajar pada dasarnya adalah
kegiatan sampingan dan kegiatan yang bermakna, dan hapalan harus diminimalisir
dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin.
Kegiatan
belajar-mengajar yang diarahkan oleh siswa dalam kerangka kerja kurikulum yang
ditentukan berdasarkan relevansi sosialnya adalah lebih tinggi/lebih balk
daripada belajar dengan ditentukan dan diarahkan oleh guru. Sang guru harus
dipandang sebagai panutan dalam hal komitmen intelektual serta keterlibatan
sosialnya. Ujian yang didasarkan kepada perilaku para siswa yang tanpa
dilatih/dipersiapkan lebih dulu sebagai tanggapan atas persoalan¬-persoalan
sosial yang penting adalah lebih disukai ketimbang ujian yang dinilai
berdasarkan tes-tes biasa di ruang kelas.[29]
Persaingan
antarpribadi dan penyusunan peringkat nilai siswa secara tradisional harus
diminimalisir dan/atau dihapus sama sekali jika mungkin, sebab hal-hal semacam
itu menuntun siswa pada sikap-sikap buruk dan motivasi did yang merosot.
Bimbingan dan
penyuluhan personal, serta terapi kejiwaan, sebagaimana ada di luar sekolah di
saat ini, umumnya berfungsi sebagai bentuk tersembunyi dari kontrol sosial dan
pelatihan penyesuaian diri anak, yang menghalangi kesadaran anak akan
kondisi-kondisi sosial yang melatarbelakanginya, yang melahirkan
problema-problema kejiwaan individual.
h. Kendali
di Ruang Kelas
Para siswa
musti dianggap bertanggung-jawab atas tindakan-tindakan mereka sendiri dalam
arti seketika, namun musti diakui bahwa pertanggungjawaban siswa pada puncaknya
tidak bisa dituntut dalam arti menurut konsep ‘kehendak bebas’ tradisional.
Para guru harus
bersifat demokratis dan obyektif dalam menentukan tolok ukur perilaku. Tolok
ukur itu harus ditentukan bersama-sama dengan siswa sebagai cara mengembangkan
tanggung jawab moral mereka.
Lantaran
tindakan yang bermoral adalah tindakan yang paling cerdas, dalam situasi
apapun, maka peningkatan kecerdasan paktis adalah corak pendidikan moral yang
paling efektif. Di sisi lain, tindakan yang cerdas, sebagai sebuah cita-cita
atau corak ideal secara sosial yang dianjurkan, memerlukan adanya masyarakat
yang cerdas (yang obyektif) dimana setiap orang diberi kesempatan yang setara
untuk membuat pilihan-pilihan tercerahkan berdasarkan kesempatan-kesempatan
pendidikan yang setara.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Untuk
memperjelas pemahaman kita tentang pendidikan liberal dan pendidikan
liberasionisme, maka pada bagian penutup ini akan diuraikan sekilas
perbandingan beberapa hal kedua ideologi tersebut. Penegasan tentang kemuculan
ideologi pendidikan liberasion dan kuga tentang pendidikan anarkhis akan diurai
secara ringkas sebagai bagian dari pendidikan liberal.\
A. Pendidikan
Liberal: Muncul sebagai Antitesis terhadap Praktik Liberalisme dan Kapitalisme
Pendidikan
Pada dasarnya
dalam buku Wiliam F. O’neil ini memaparkan tentang berbagai macam ideologi
pendidikan yang menjadi dasar pelakasanaannya sehingga pendidikan tidak
terkesan hanya sebuah rutinitas tanpa tujuan yang jelas. Karena itulah ia
memaparkan dengan jelas beberapa ideologi pendidikan baik itu ideologi
konservatif, yang terdiri dari (a) fundamentalisme pendidikan; (b) intelektual
pendidikan; dan (c) konservatisme pendidikan, ideologi pendidikan liberal,
ideologi pendidikan liberasionisme, dan ideologi pendidikan anarkhis.
Makalah ini
membahas dua ideologi penting dalam sejarah pendidikan liberal, yakni idelogi
pendidikan liberal dan ideologi pendidikan liberalisionisme. Menurut kelompok
kami, latar belakang munculnya ideologi liberasionis adalah dampak dari
kegagalan pendidikan liberal.
Dasar pemikiran
ini adalah berdasarkan kenyataan bahwa pendidikan liberal telah gagal
memanusiakan manusia dalam sebuah proses pendidikan. Ia juga gagal membangun
peserta didik yang dapat bersikap dan berfikir kritis terhadap segala kondisi
sosial ekonomi dan politik yang terjadi.
Hal ini dapat
dilihat uraian Freire tentang ‘pendidikan sistem bank’. Maksudnya adalah bahwa
seorang peserta didik hanya menerima saja segala apa yang dituangkan dan
diberikan oleh guru. Hal ini mempertegas bahwa, pendidikan liberal tidak
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya. Walau
beberapa praktik pendidikan liberal telah memberikan hal itu, namun masih
sedikit secara kuantitas.
Perhatian
Freire terhadap pendidikan kaum miskin adalah hal yang paling utama.
Sebaliknya, kebenciannya terhadap ‘penguasa’ pengusung liberalisme dan
kapitalisme memuncak ketika pendidikan tidak menjadi harapan semua orang.
Pendidikan seakan hanya untuk orang yang berpunya, sebaliknya kaum miskin tetap
meratapi dirinya akibat kekejaman sistem liberalisme dan kapitalisme yang di
dukung oleh Amerika Serikat dan sekutunya.
Uraian di atas
dipertegas oleh Freire dkk. melalui kritikna beberapa hal, yakni: (a) memaksa
anak untuk “memanjat tangga” pendidikan yang tak berujung, yang hasilnya tak
dapat meningkatkan mutu dan justru hanya menguntungkan individu-individu yang
sudah mengawali pemanjatan itu sejak dini, yang lebih sehat, atau lebih siap.
Sisanya hampir gagal. (b) pengajaran ‘wajib’ hanya membunuh kehendak banyak
orang untuk belajar secara mandiri; (c) pengetahuan diperlakukan ibarat
komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, dan selalu langka di pasaran. (d)
mendukung penghapusan sekolah (universal) dan mengganti berbagai sistem baru
yang dianggap lebih tangkas menyiapkan orang untuk hidup dalam masyarakat
modern (bahkan postmodern –dari pemakalah)(Illich, 2009: 518).
Kondisi ini
membuat Freire dan juga Illich melakukan resistensi dengan mengembangkan
pendidikan penyadaran yang kemudian lebih dikenal dengan pendidikan liberasion
dan anarkhisme pendidikan.
B. Anarkhisme
Pendidikan: Melanjutkan Ideologi Liberasion
Anarkisme
Pendidikan adalah cara pandang yang membela pemusnahan seluruh kekangan
kelembagaan terhadap kebebasan manusia, sebagai jalan untuk mewujudkan potensi
manusia seutuhnya. Menurut aliran ini, pendidikan bertujuan untuk membawa
perombakan berskala besar dan segera dalam masyarakat dengan cara menghilangkan
persekolahan wajib.
Sistem sekolah
formal yang ada sekarang harus dihapuskan, lalu diganti dengan pola belajar
sukarela dan mengarahkan diri sendiri. Artinya, akses yang bebas dan universal
untuk memperoleh bahan atau materi pendidikan harus tersedia. Selain itu,
kesempatan belajar mandiri harus tercipta bagi siapa saja, tanpa sistem
pengajaran wajib. Tampak jelas bahwa, anarkisme menekankan pilihan bebas dan
penentuan nasib sendiri, dalam sebuah latar belakang sosial yang sehat dan
humanis.
Siswa berhak
menentukan sendiri metode belajar yang sesuai dengan tujuan dan rancangan
pembelajarannya, yang meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Pencetus
pemikiran pendidikan anarkhis adalah Ivan Illich, dalam bukunya: “Deschooling
Society”. Inti buku ini ada beberapa hal penting, yakni: (1) Mengkritisi
praktek kemapanan pendidikan; (2) Sekolah adalah lembaga pendidikan yang
membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang sangat tidak egaliter lagi
diskriminatif; (3) Sekolah dianggap sebagai lembaga pendidikan dalam era
industri yang telah menjadi sedemikian mekanistik namun memperkurus kemanusiaan
(dehumanisasi – meminjam istilah Freire).
Walaupun Ivan Illich sangat menentang lembaga persekolahan, namun ia pun memberikan saran dan kritik terhadap lembaga pendidikan formal yang ada saat ini. Ia berpendapat bahwa, sekolah harus menyediakan akses sumberdaya bagi semua pelajar yang ingin belajar setiap saat dalam kehidupan mereka, dan memungkinkan bagi semua orang yang yang belajar untuk saling berbagi pengetahuan[30]).
Walaupun Ivan Illich sangat menentang lembaga persekolahan, namun ia pun memberikan saran dan kritik terhadap lembaga pendidikan formal yang ada saat ini. Ia berpendapat bahwa, sekolah harus menyediakan akses sumberdaya bagi semua pelajar yang ingin belajar setiap saat dalam kehidupan mereka, dan memungkinkan bagi semua orang yang yang belajar untuk saling berbagi pengetahuan[30]).
Pernyataan itu
dapat dipahami bahwa pendidikan saat ini yang cenderung mendehumanisasikan
peserta didik, sudah seharusnya diakhiri melalui pemberian kebebasan kepada
mereka untuk memperoleh ilmu pengetahuan kapan dan dari mana saja. Karena itu,
jika sekolah menjadi pembatas untuk memeroleh pengetahuan, maka menghapus
sekolah (deschooling society) mungkin merupakan sebuah jawaban.
DAFTAR PUSTAKA
Bank, James
A. 1977. Teaching Strategies for Sosial
Studies: Inquary, Valuing, and Decision Making. Addison-Wesley Publishing
Company.
Freire,
Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan.
(terj.) Yogyakarta: Kanisius.
Freire,
Paulo.2008. Pendidikan Kaum Tertindas. (terj.).Yogyakarta: LP3ES.
Freire,Paulo,
Ivan Illych, dan Erich Fromm. Menggugat
Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009/.
George, R.
Knight. 2007. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Gama Media.
Iksan,
Rumtini. 2011. “Pemikiran Pendidikan John
Dewey” (1859-1952), Jurnal Pendidikan
dan Kebudayaan Balitbang Depdiknas, No. 046, tahun ke-10, Januari 2001.
(online). http://journal.uii.ac.id/index.php/JPI/article/view/191, diakses
tanggal 3 November 2011.
“Ivan
Illich: Deschooling, Conviviality And The
Possibilities For Informal Education And Lifelong Learning” (online),
http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm, diakses tanggal 3 November 2011.
Nemiroff,
Greta Hofmann. 1992. Reconstructing
education : toward a pedagogy of critical humanism. New York, NY 10010, An
imprint of Greenwood Publishing Group, Inc.
O’Neil,
William F. 2008. Ideologi-Ideologi
Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna
Syifa’a Rachmahana. 2011. “Psikologi
Humanistik dan Aplikasinya dalam Pendidikan”, (online). Jurnal Pendidikan Islam
“el Tarbawi”, NO. 1. VOL. I. 2008. Diakses tanggal 3 November 2011.
Tilaar,
H.A.R. dan Riant Nugroho. 2009. Kebijakan
Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan dan Kebijakan
Pendidikan sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
UU
Sisdiknas, Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 28 Ayat 3.
Yamin, Moh.
2009. Menggugat Pendidikan Indonesia:
Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Yogyakarta: Ar Ruz Media.
Pengantar
Pendidikan [http:// Lena Unindrabiozal.Blogspot.com,03,2008]
Ideologi Pendidikan Sebuah Pengantar.
[http://.Al-Fauzi. Blogspot.com,02,2008
Pendidikan Liberal,[http://
Aristhu. 03.files wordpress.com,10,2006]]
Ahmad Idris. Sejarah
Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim
Basyarahil. Jakarta : Gema
Insani Press. 1991. h. 74.
Adian Husaini. Wajah
Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal, Jakarta
: Gema Insani Press. 2005. h. 31.
Ahmad Al-Qashash, Usus
Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995, h. 30.
[2]
Ahmad Idris. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah),
Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta : Gema Insani Press. 1991. h. 74.
[3] Adian
Husaini. Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, Jakarta : Gema Insani Press. 2005. h. 31.
[4] Adian
Husaini. Mengapa Barat Menjadi Sekuler Liberal?. Ponorogo : CIOS.
2007. h. 4.
[5] Ahmad
Idris. Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah),
Penerjemah H. Salim Basyarahil. Jakarta : Gema Insani Press. 1991. h.
75-80.
[6] Ahmad
Al-Qashash, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah),
1995, h. 30.
[7] Bank,
James A. 1977. Teaching Strategies for
Sosial Studies: Inquary, Valuing, and Decision
[8] Freire,
Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h.
57.
[9] Freire,
Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h.
56
[10] Freire,
Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas.
h. 67.
[11] O’Neil,
William F. 2008. Ideologi-Ideologi
Pendidikan h. 136.
[12] O’Neil,
William F. 2008. Ideologi-Ideologi
Pendidikan. Hal 67.
[14] Freire,
Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h.
47.
[15] Freire,
Paulo. 2001. Pedagogi Pengharapan h.
79
[16] Freire,
Poulo. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas.
h. 16.
[17] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan
Kaum Tertindas. h. 87.
[18] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan
Kaum Tertindas. h. 67.
[19] Freire, Poulo. 2008. Pendidikan
Kaum Tertindas. Hal 87.
[20] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis.
h. 87.
[21] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis.
h. 75.
[22] Freire, Paulo, Ivan Illich, dan Erich Fromm. Menggugat Pendidikan: Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis.
h. 70.
[23] Iksan, Rumtini. 2011.
“Pemikiran Pendidikan John Dewey” h. 89.
EmoticonEmoticon