BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa
yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat
sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat
membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg
berkesadaran magic, naif, atau kritis.
Adanya
wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen
sebagai penanggung jawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola
pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.
Pendidikan
dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan
pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan
berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan
itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.
John
Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan
tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan
peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. [1]
Pendidikan
partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung
dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan
antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.
Konsep
pendidikan John Dewey, tidak bisa serta
merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis
negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan
menerapkan konsep tersebut maka dasar
psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan.
B.
Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas maka pemakalah menarik beberapa rumusan masalah sebagai
barikut:
1.
Bagaimanakah Riwayat Hidup John Dewey?
2.
Seperti apakah Analisis terhadap
Pragmatisme John Dewey?
3.
Bagaimanakah Relevansi John Dewey pada pendidikan di Indonesia?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup
John Dewey
Ia
dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan
meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat,
ia pada tahun 1879 menjadi guru. Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi
dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu
asisten professor dan kemudian professor di Michingan.
Sebagai
professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu
sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sepuluh tahun ia
bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang
yang akan meneruskan cita-citanya.Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada
Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga
sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti :
Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93
ia meninggal dunia pada tahun 1952.
B. Ajaran John Dewey
John
Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan
garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu
filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya.
Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience)
dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan
demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.
Menurut
Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak
kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika
dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia
sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar
atau dalam diri kita sendiri.[2]
Pengalaman yang langsung bukanlah soal
pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek,
pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu
keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak
dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang
berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan
pengalaman melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah[3]
yang menyusun sasaran pengetahuan.
Menurut
Dewey pendidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu
keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Pendidikan
berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja.
Oleh karena itu pendidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen).
Jadi
yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu
teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara
pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan
pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.
Sekolah
sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan
tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk
memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada
pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman
berfaedah.
Oleh
karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran”
pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak
dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring,
dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai
konsep belajar bertumpu pada anak didik.
Disini anak didik dipandang sebagai makhluk
yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan
kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk
meningkatkan keduanya.Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua
segi, yaitu psikologis dan sosiologis.
Dari
segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya
yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang
berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan
pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana
tenaga-tenaga itu harus dibimbing.
John
Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada
kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses
sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
C. Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey
Secara
etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja.
Adapun secara terminologi pragmatisme dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa
yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan
akibat-akibat (konsekuensi) yang
bermanfaat secara praktis.
Sehingga
disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada bermanfaat atau tidaknya
teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala perbuatan tergantung
pada manfaatnya dalam praktek. Aliran Pragmatisme ini dikembangkan oleh
orang-orang Amerika. Dengan dipelopori oleh Pierce, William James dan John
Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk
mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya dinegara mereka terdapat filsafat yang telah digali dan
digarap di tanah airnya sendiri.[4]
Untuk
menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan
Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono:
“Kebenaran sama sekali bukan hal
yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya
kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita
anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. [5]
Dari
sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran
itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian
maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa
dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara,
dan tidak ada kebenaran tetap.
Kita
akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat
dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara,
sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya. Lalu
bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;
“Gajah adalah hewan yang lebih
besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”,
“Memberi maaf pada seseorang adalah lebih
baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan
terhadap pernyataan tersebut.
Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut
pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang
terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur
tangan pada waktu membuatnya. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang
selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa
mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain.
Juga
tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah
dan berganti menurut masanya. “Tak ada
sesuatu yang tetap” Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu
baik “apabila berguna” juga perlu di
kritisi.
Apabila itu dipergunakan secara umum dapat
membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”,
karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”.
Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang
umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan
menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga.
D. Relevansi pemikiran John Dewey pada
pendidikan di Indoensia
Menurut
John Dewey pendidikan di Indonesia menganut paham pendidikan partisipatif,
yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta
didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta
didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif,
mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah
yang diikutinya baik atau buruk.
Dalam
pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator,
sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan
partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada
proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan
kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas.[6]
Dengan
cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga
nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari
masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai
demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan landasan
nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan
ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan
berdiskusi.
Kalau
kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang
sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan
kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti pemerintahan Soeharto.
Sekolah
yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran. Namun, itu
berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan
kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah
seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan
menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral
pengajaran.
Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai
fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar.
Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang
dicita-citakannya.
Menurut
John Dewey, sekolah adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang mempumyai
maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk
memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal pada pengalaman
–pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah, oleh
karena itu sekolah harus memberikan “bahan pelajaran” sebagai
pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak
dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring,
dan pengatur pengalaman tadi.
Pandangan
progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak
didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan, dibandingkan makhluk
lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik
dibina untuk meningkatkan keduanya.[7]
Menurut
progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan
sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga
atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya
seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme
dan pragmatisme.
Dari
segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus
dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus
diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan
adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.
BAB
III
KESIMPULAN
Pandangan-pandangan
yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar
dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja pandangan bahwa
tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final.
Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini
saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan
manusianya itu sendiri.
Oleh karena itulah saat akan diterapkan di
Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat
Indonesia.Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu
melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang
ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan
pendidikan yang ada.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di
kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa
mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang
dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.Disinilah peran
pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan
keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat.
Apalagi
kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin
ia capai.Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang
berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan
adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang
nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis.
Daftar
Pustaka
Ø Hadwijono
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II,
Yogyakarta : Kanisius, 2004.
Ø Dewey
John, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan,
Jakarta: Saksana, 1955.
Ø Soejono
Ag, Aliran Baru dalam Pendidikan, Bandung
: CV. Ilmu, 1980.
Ø Suparlan
Y. B, Aliran-aliran Baru Dalam
Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1984I.
Ø Djumhur
dan H. Danasuparta, Sejarah Prndidikan,
Bandung: CV. Ilmu, 1974.
Ø Muis
Sad Iman, Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresivisme Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004.
[1]
John
Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan, (Jakarta: Saksana, 1955), hal. 5.
[3]
Y.
B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam
Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hal. 82-84
[4]
Muis
Sad Iman, Menimbang Konsep Fitrah dan
Progresivisme (Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004.) hal
76.
EmoticonEmoticon