Senin, 06 Oktober 2014

Tokoh filsafat pendidikan islam "John Dewey"

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah kondisi kehidupan manusia, kadang tidak selamanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Dan mungkin kita tidak tahu alasan mengapa kita berbuat sesuatu. Kalau kita mau bercermin pada pendapat Paulo Freire, maka kita dapat membaca jalan pikiran seseorang. Apakah ia termasuk pada kategori orang yamg berkesadaran magic, naif, atau kritis.

Adanya wacana tentang tingkatan kesadaran tersebut, mau tidak mau guru atau dosen sebagai penanggung jawab akan perubahan pada peserta didik harus memformat pola pendidikan untuk membawa kesadaran manusia pada tingkatan yang lebih tinggi.

Pendidikan dalam perjalanannya selalu berusaha mencari format untuk dapat mencapai tujuan pendidikan tersebut, yaitu memanusiakan manusia. Banyak tokoh pendidikan berusaha menawarkan format pendidikan menurut pemahaman dia mengenai pendidikan itu sendiri, tujuan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan.

John Dewey sebagai salah seorang tokoh pendidikan berkebangsaan Amerika menawarkan tentang pola pendidikan partisipatif. Yang bertujuan untuk lebih memberdayakan peserta didik dalam jalannya proses pendidikan. [1]

Pendidikan partisipatif membawa peserta didik untuk mampu berhadapan secara langsung dengan realitas yang ada dilingkungannya. Sehingga, peserta didik dapat mengintegrasikan antara materi yang ia pelajari di kelas dengan realitas yang ada.



Konsep pendidikan  John Dewey, tidak bisa serta merta diterapkan di bumi Indonesia. Sebab, secara psikologis dan sosiologis negara kita berbeda dengan Amerika. Oleh karena itulah maka saat kita akan menerapkan konsep tersebut maka   dasar psikologis dan sosiologis pun perlu kita perhatikan.
  
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka pemakalah menarik beberapa rumusan masalah sebagai barikut:
1. Bagaimanakah Riwayat Hidup John Dewey?
2. Seperti apakah  Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey?
3. Bagaimanakah Relevansi John Dewey pada pendidikan di Indonesia? 




















BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup John Dewey     
Ia dilahirkan di Burlington Amerika pada tanggal 20 Oktober tahun 1859 M, dan meninggal 1 Juni 1952 M, di New York. Sesudah mendapat diploma ujian kandidat, ia pada tahun 1879 menjadi guru. Tiga tahun kemudian ia menjadi mahasiswa lagi dan mendapat gelar doctor dalam filsafat (1884). Ia diangkat menjadi dosen lalu asisten professor dan kemudian professor di Michingan.

Sebagai professor dalam filsafat di Chicago, ia memimpin juga  dibidang Pedagogik dan mendirikan suatu sekolah percobaan untuk menguji dan mempraktekkan teorinya. Sepuluh tahun ia bekerja keras pada universitas ini dan mengumpulkan serta mendidik orang-orang yang akan meneruskan cita-citanya.Pada tahun 1904 sampai 1931 ia bekerja pada Universitas Columbia di New York, disamping memberikan kuliah filsafat ia juga sering di undang oleh berbagai negara untuk memberikan kuliah, seperti : Jepang, China, Turki, Mexico, Rusia, dan Inggris. Dan pada usianya yang ke-93 ia meninggal dunia pada tahun 1952.

B.  Ajaran John Dewey
John Dewey adalah sorang pragmatis. Menurut dia, tugas filsafat ialah memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif-kritis. Dengan demikian filsafat akan dapat menyusun suatu system norma-norma dan nilai.

Menurut Dewey, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju ke pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera ketika dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan dalam dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam diri kita sendiri.[2]
 Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang mengandung di dalamnya pemisahan antara subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sasarannya. Di dalam pengalaman langsung itu keduanya bukanlah dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai suatu hal yang penting atau yang berarti. Jikalau terdapat pemisahan antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran itulah[3] yang menyusun sasaran pengetahuan.

Menurut Dewey pendidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tak menentu menjadi suatu keadaan yang tertentu. Pendidikan berkaitan dengan penyusunan kembali pengalaman yang dilakukan dengan sengaja. Oleh karena itu pendidikan dengan penilaiannya adalah suatu alat (instrumen).

Jadi yang dimaksud dengan instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam itu, dengan cara pertama-tama meyelidiki bagaimana pikiran berfungsi  dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.

Sekolah sebagai lembaga penyelengara pendidikan menurut John Dewey mempunyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal kepada pengalaman-pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah.

Oleh karena itu sekolah harus memberikan sebagai “bahan pelajaran” pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan mengatur pengalaman-pengalaman tadi. Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik.

 Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis.

Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme. Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing.

John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.

C.  Analisis terhadap Pragmatisme John Dewey

Secara etimologi pragmatisme berasal dari bahasa Yunani, pragma yang berarti guna, sesuatu yang dilakukan, tindakan kerja. Adapun secara terminologi pragmatisme dapat diartikan sebagai aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibat-akibat (konsekuensi) yang bermanfaat secara praktis.

Sehingga disini benar atau tidaknya suatu teori tergantung pada bermanfaat atau tidaknya teori itu bagi kehidupan manusia; dan ukuran untuk segala perbuatan tergantung pada manfaatnya dalam praktek. Aliran Pragmatisme ini dikembangkan oleh orang-orang Amerika. Dengan dipelopori oleh Pierce, William James dan John Dewey. Sehingga orang-orang Amerika yang pada saat itu sedang sibuk mempelajari filsafat dari luar mulai sadar bahwa sebenarnya  dinegara mereka  terdapat filsafat yang telah digali dan digarap di tanah airnya sendiri.[4]
Untuk menganalisis teori kebenaran bagi Dewey, saya sedikit mengutip dari penjelasan Dewey dalam bukunya Harun Hadiwijono:
“Kebenaran sama sekali bukan hal yang sekali ditentukan dan tidak boleh diganggu gugat, sebab dalam prakteknya kebenaran memiliki nilai fungsional yang tetap. Segala pernyataan yang kita anggap benar pada dasarnya dapat berubah”. [5]

Dari sedikit penyataan itu setidaknya bisa dipahami bahwa menurut Dewey kebenaran itu selalu berubah-ubah, progresif, dan bukan final. Jika memang demikian maksud Dewey alangkah sulitnya untuk mengatur kehidupan di dunia ini. Bisa dibayangkan apabila semua kebenaran yang ada sekarang hanya bersifat sementara, dan tidak ada kebenaran tetap.

Kita akan hidup pada pegangan hidup yang tidak kuat  dan serba bimbang. Memang banyak kebenaran yang sifatnya sementara, sedang menjadi, belum final, tetapi apakah itu berlaku pada semuanya. Lalu bagaimana misalnya dengan pernyataan-pernyataan sederhana berikut ini ;
“Gajah adalah hewan yang lebih besar dari semut”, Membunuh orang yang tidak bersalah adalah perbuatan salah”, “Memberi maaf pada seseorang adalah lebih baik dari pada membenci seseorang” Bagaiman Dewey memberikan penjelasan terhadap pernyataan tersebut.

 Sesuai dengan filsafat pragmatismenya, menurut pandangan Dewey tidak menghendaki adanya norma atau kaidah yang tetap dan yang terlebih dulu ditentukan oleh sejarah atau agama, karena ia tidak turut campur tangan pada waktu membuatnya. Norma harus timbul dari masyarakat sendiri yang selalu berubah, berganti sesuai dengan keadaan masyarakat yang senantiasa mengalami proses dan pergantian, dari suatu zaman ke zaman yang lain.

Juga tujuan hidup yang erat hubungannya dengan kaidah itu wajib pula selalu berubah dan berganti menurut masanya. “Tak ada sesuatu yang tetap” Disamping itu juga, istilah bahwa segala sesuatu itu baik “apabila berguna” juga perlu di kritisi.
 Apabila itu dipergunakan secara umum dapat membahayakan. Karena nanti orang boleh berkata, “pergaulan bebas, kumpul kebo, atas dasar suka sama suka, adalah baik”, karena berguna, minuman keras boleh, karena “berguna”. Belum lagi ini berguna bagi siapa? bagi saya, bagi kamu. Dewey menolak ‘yang umum’; ia menerima yang khusus. Sehingga bisa dibayangkan hal itu akan menimbulkan kekacauan nilai, akan mengancam manusianya itu juga. 

 D. Relevansi pemikiran John Dewey pada pendidikan di Indoensia

Menurut John Dewey pendidikan di Indonesia menganut paham pendidikan partisipatif, yaitu pendidikan yang dalam prosesnya menekankan pada keterlibatan peserta didik dalam pendidikan. Pola pendidikan partisipatif menuntut para peserta didik agar dapat melakukan pendidikan secara aktif. Bukan hanya pasif, mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontoh guru. Tanpa mengetahui apakah yang diikutinya baik atau buruk.

Dalam pendidikan partisipatif seorang pendidik lebih berperan sebagai tenaga fasilitator, sedangkan keaktivan lebih dibebankan kepada peserta didik. Pendidikan partisipatif dapat diterapkan dengan cara mengaktifkan peserta didik pada proses pembelajaran yang berlangsung. Siswa dituntut untuk dapat mengembangkan kecerdasan emosional, keterampilan, kreatifitas.[6]

Dengan cara melibatkan siswa secara langsung ke dalam proses belajar. Sehingga nantinya peserta didik dapat secara mandiri mencari problem solving dari masalah yang ia hadapi.Model pendidikan partisipatif bertumpu pada nilai-nilai demokratis, pluralisme, dan kemerdekaan peserta didik. Dengan landasan nilai-nilai tersebut fungsi pendidik lebih sebagai falisitator yang memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk berekspresi, berdialog, dan berdiskusi.

Kalau kita membandingkan antara konsep pendidikan John Dewey dengan kurikulum yang sekarang dialami, maka kita akan menemukan kesamaan, yaitu adanya kebebasan kepada para pendidik untuk membuat kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ada. Tidak lagi tersentral separti pemerintahan Soeharto.

Sekolah yang akan dihasilkan adalah sekolah yang sedikit mata pelajaran. Namun, itu berguna bagi masyarakat. Sebab, kadang pelajaran yang ada tidak sesuai dengan kebutuhan masrakat yang ada. Sebenarnya di Indonesia sudah banyak sekolah seperti tersebut. Diantaranya; SMK dan STM.Dari segi gurunya, dengan menggunakan pendidikan partisipatif, maka guru bukan lagi sebagai sentral pengajaran.

 Akan tetapi fungsi guru lebih sebagai fasilitator, sehingga setiap siswa turut berpartisipaif dalam proses belajar. Dengan demikian maka seorang guru akan dapat membawa siswa menuju apa yang dicita-citakannya.

Menurut John Dewey, sekolah adalah lembaga penyelenggara pendidikan yang mempumyai maksud dan tujuan untuk membangkitkan sikap hidup demokratis dan untuk memperkembangkannya. Hal ini harus dilakukan dengan berpangkal pada pengalaman –pengalaman anak. Harus diakui bahwa tidak semua pengalaman berfaedah, oleh karena itu sekolah harus memberikan “bahan pelajaran” sebagai pengalaman-pengalaman yang bermanfaat bagi masa depan anak sekaligus juga anak dapat mengalaminya sendiri. Sehingga anak didik dapat menyelidiki, menyaring, dan pengatur pengalaman tadi.

Pandangan progresivisme mengenai konsep belajar bertumpu pada anak didik. Disini anak didik dipandang sebagai makhluk yang mempunyai kelebihan, dibandingkan makhluk lain, yaitu akal dan kecerdasan. Dan dalam proses pendidikanlah peserta didik dibina untuk meningkatkan keduanya.[7]





Menurut progresivisme, proses pendidikan mempunyai dua segi, yaitu psikologis dan sosiologis. Dari segi sosiologis, pendidik harus dapat mengetahui tenaga-tenaga atau daya-daya yang ada pada anak didik yang akan dikembangkan. Psikologinya seperti yang berpengaruh di Amerika, yaitu pikologi dari aliran behaviorisme dan pragmatisme.

Dari segi sosiologis, pendidik harus mengetahui ke mana tenaga-tenaga itu harus dibimbing. John Dewey mengatakan bahwa tenaga-tenaga pendidikan itu harus diabdikan pada kehidupan sosial; jadi mempunyai tujuan sosial. Maka pendidikan adalah proses sosial dan sekolah adalah suatu lembaga sosial.





















BAB III
KESIMPULAN

Pandangan-pandangan yang berasal dari pragmatisme John Dewey banyak mempengaruhi alam bawah sadar dan berdampak pada kehidupan masyarakat Amerika, misalnya saja pandangan bahwa tidak ada hukum moral umum, tidak ada kebenaran umum, semua kebenaran belum final. Ini berakibat munculnya sikap subjektifisme, individualisme, dan dua sikap ini saja cukup untuk mengguncangkan kehidupan, mengancam kemanusiaan, bahkan manusianya itu sendiri.

 Oleh karena itulah saat akan diterapkan di Indonesia maka perlu dirancang agar sesuai dengan kondisi sosio masyakat Indonesia.Untuk dapat mencapai pendidikan yang diidealkan maka, kita perlu melakukan pembenahan di segala bidang. Bukan hanya menyangkut kurikulum yang ada. Tetapi tenaga pendidik pun menjadi faktor penentu akan berhasilnya tujuan pendidikan yang ada.

Sekolah sebagai lembaga pendidikan bukan hanya melaksanakan rutinitas pembelajaran di kelas. Akan tetapi fungsi sekolah harus lebih menekankan akan bagaimana siswa mampu mencari problem solving bagi masyarakatnya. Sehingga, lulusan yang dihasilkan tidak menjadi masalah baru bagi masyarakat.Disinilah peran pendidikan akan dipertanyakan saat pendidikan tidak mampu memberikan jalan keluar bagi masalah yang berkembang dimasyarakat.

Apalagi kalau pendidikan tidak bisa mengantarkan peserta didik kepada tujuan yang ingin ia capai.Namun, tetap semuanya tidak ada yang sempurna. Konsep pendidikan yang berlandaskan filasafat pragmatisme nantinya yang menjadi ukuran keberhasilan adalah bisa tidaknya sesuatu tersebut digunakan untuk kepentingan hidup. Yang nantinya akan melahirkan pola hidup yang hedonis dan mekanis. 







Daftar Pustaka

Ø  Hadwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta : Kanisius, 2004.
Ø  Dewey John, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan,  Jakarta: Saksana, 1955.
Ø  Soejono Ag, Aliran Baru dalam Pendidikan, Bandung : CV. Ilmu, 1980.
Ø  Suparlan Y. B, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Andi Offset, 1984I.
Ø  Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Prndidikan, Bandung: CV. Ilmu, 1974.
Ø  Muis Sad Iman, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004.
                                                   



[1] John Dewey, Perihal Kemerdekaan dan Kebudayaan,  (Jakarta: Saksana, 1955), hal. 5.

[2] I. Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Prndidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 0974), 88-90.

[3] Y. B. Suparlan, Aliran-aliran Baru Dalam Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984), hal. 82-84

[4] Muis Sad Iman, Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme (Yogyakarta: Safiria Insani Press & MSI UII, 2004.) hal 76.

[5] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, (Yogyakarta : Kanisius, 2004), hal. 133.

[6] Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan, (Bandung : CV. Ilmu, 1980), hal. 126.

[7] Asmoro Ahmadi, Filsafat Umum, ( Jakarta  : Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 118.
                                                                                                                           


EmoticonEmoticon