Makalah
“Hadist tentang
Batas Ketaatan Kepada Pemimpin dan Larangan Menyuap”
Disusun
guna memenuhi tugas mata kuliah
Hadits
Disusun oleh:
Yanti Hasan
Nim :
09.2.3.116
Tarbiyah
/ PAI 2
Semester
IV
Dosen:
Drs. Moh. S. Rahman. M.Pd.I
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada suatu masyarakat, kepemipinan (khalifah atau imam) merupakan
sebuah kepercayaan satu individu atau lebih kepada individu lainnya.
Dengandemikian perlakuan hidup yang diberikan seorang yang dipercaya diharapkan
tidak merugikan individu yang memberi kepercayaan. Manusia dalam bermasyarakat
dapat meniptakan suatu kepemimpinan yang bisa memberikan keadilan bagi manusia
dan tidak mempercepat kehancuran bagi makhluk lainnya maka kepemimpinan dapat
dipertahankan. Tetapi tidak ada pemimpin yang secara ideal mampuh menciptakan
kepemimpinan yang adil. Selama pemimpin tersebut memberikan keadilan bagi
rakyatnya dan tidak meniptakan kehancuran maka kepemimpinan seperti itu mampuh
meniptakan keadilan yang ideal pula selain kerasulan yang diturunkan oleh Allah
SWT. Suatu kepemimpinan dapat berubah sepanjang waktu sesuai dengan kesepakatan
sesama manusia yang menjalankannya. Pimpinan dapat berubah untuk perbaikan
seara terus menerus mengakibatkan sesama manusia tidak boleh menghambat proses
perbaikan tersebut. Oleh sebab itu islam memandang bahwa kepemimpinan bukanlah
untuk diperebutkan tetapi merupakan alat bagi manusia untuk membangun tatanan
masyarakat yang diridhai Allah SWT.
B.
Rumusan
Masalah
dari uraian latar belakang di atas penulis menyimpulkan beberapa
pokok permasalahan yang akan dibahas nantinya dalam makalah ini, yaitu:
1.
Bagaimana hadist tentang batas ketaatan kepada
pemimpin?
2.
Bagaimana hadist tentang larangan menyuap?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadist tentang batasan kepada pemimpin
عن عبدالله بن عمرعن النبى صلي لله عليه وسلم قال׃السمع والطاعةعلى المرءالمسلم فيماأحب وكره مالم يؤمربمعصية ، فإ ذ ا أ مر بمعصية فلا سمع ولاطاعة ﴿رواهالبخارى﴾
Artinya:
“Dari Abdullah bin Amer dari Nabi Saw. beliau bersabda:
“mengindahkan dan btaat adalah (wajib) atas orang Islam baik dia senang atau
tidak, selagi tidak diperintahkan
berbuat durhaka. jika diperintah kepada yang durhaka, maka tidak harus
mengindahkan dan taat ”
(H.R Bukhari)
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ÍöDF{$# óOä3ZÏB (
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (Q.S An- Nisa: 59)[1]
Allah
telah menyuruh hamba-Nya yang beriman, agar taat kepada-Nya. Kepada Rasul-Nya
dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu, yakni pemerintah.
Diterangkan
dalam hadist tersebut di atas, kita tidak harus taat kepada siapa saja yang
menyuruh kita durhaka kepada Allah, sebab jika dia menyuruh kepada durhaka lalu
kita mentaatinya, berarti kita tidak
taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ayat Qur’an tersebut sebagai bukti
kebenaran hadist tersebut di atas, bahwa taat kepada penguasa-penguasa harus
kita laksanakan, sepanjang tidak mengarah kepada kedurhakaan; durhaka kapada
Allah dan Rasul-Nya.[2]
“Ulul
Amri” ialah mereka yang diserahi mengurusi persoalan-persoalan umur (jiwa)
dan berbagai maslahat penting. Maka termasuk mereka ialah setiap orang yang
menguasai dan diserahi urusan kaum muslimin; Rasulullah Saw. telah
memerintahkan setiap umat muslim agar mengindahkan semua perintah mereka dan segera
melaksanaknnya, baik perintah itu menyenangkan atau tidak. ingat firman Allah:
#Ó|¤tãur br& (#qèdtõ3s? $\«øx© uqèdur ×öyz öNà6©9 (
Artinya:
“boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,”
(Al-Baqarah: 216)[3]
Apabila
mereka menyuruh kita, untuk Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar buat menegakkan agama Allah, maka kita
sambut dan kita laksanakan; apabila mereka menarik pajak yang ditentukan, maka kita bayar; apabila kita diminta
pertolongan untuk membantu kebakaran, musibah bencana alam, atau
musibah-musibah lainnya, maka wajib kita penuhi dan kita laksanakan, selama
perintah itu untuk kemaslahatan umum dan tidak bertenyangan dengan Syara’.
Adapun
perintahnya untuk durhaka, seperti menuduh jahat kepada orang yang sebenarnya
baik, atau menahannya, atau menyakitinya, atau mengeluarkan serta mengambil
harta kekayaan dengan aniaya dan paksa, atau mereka menghendaki menyeleweng
dari yang hak yang benar dan berhukum dengan yang bathil, atau mereka
menghendaki harta benda kita dan orang-orang yang kita untuk membantu musuh
kita, atau menyuruh menulis atau menandatangani perjanjian perbudakan terhadap
kita, anak-anak kita dan cucu-cucu kita, atau mereka meminta agar kita memberi
kesempatan kepada wanita-wanita yang mau menjual kehormatannya atau melacur,
atau kepada mereka yang memperdagangkan arak, narkoba dan minuman keras
lainnya, atau membuka tempat berjudi: Jika pemerintah kita melaksanakan salah
satu hal tersebut, maka kita harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak
usah melaksanakaannya mentaati mereka,
karena taat dalam hal ini haram hukumnya. sungguh telah banyak hadis yang
menyuruh taat kepada penguasa, bersikap sabar jika kebetulan belum tepat untuk
menentang mereka, sebagaimana Rasulullah bersabda:
اسمعواوأطيعواوإنستعمل عليكم
عبدحبشى كان رأسه
زبيبة.﴿رواه
البخارى ﴾
Artinya:
“Dengarlah
olehmu dan taatilah olehmu (akan pimpinanmu) walupun yang diangkat menjadi
pimpinanmu itu adalah budak Habasyi, seolah-olah kepadanya, kepada Zabiba (buah
anggur yang hitam).” (H.R Bukhari)
Adapun
perintah terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan di dalam Hadist Ibnu Abas
adalah sesuatu yang berat bagi kita dan bukan perbuatan durhaka kepada Allah
dan kepada Rasul-Nya. Jika diklasifikasikan perbuatan durhaka, maka larangan
yang munkar adalah wajib, akan tetapi dengan kebijaksanaan dan nasehat yang
baik.[4]
Dalam
pada itu hendaklah kita mempergunakan kebijaksanaan dalam mengingkari perbuatan
mereka. Jangan pula sampai menimbulkan fitnah dan membawa rakyat kepada
berpecah belah, atau membawa kepada permusuhan.
Taat
yang wajib dan terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist ialah ketaatan
kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mu’minin) atau yang mewakilinya.
bukan ketaatan kepada segolongan manusia atau salah satu kelompok dari
jama’ah-jama’ah yang ada. Walaupun demikian tidak mungkin diisyaratkan dengan
kata-kata, tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan
lebih-lebih dengan taat yang sempurna yang semestinya hanya diberikan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan dalam agama ini
ialah bahwa taat hendak pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standartnya
pun tepat.[5]
ini
ialah merupakan pelajaran bagi orang yang bertanggung jawab dipusat
kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat kepada pemerintah
keuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh dengan manhaj (ahlu sunah wal-jama’ah). Merupakan pelajaran pula bagi orang-orang
awam agar semua indera selalu waspada dan hendak dia pun memiliki ilmu yang
sempurna tentang manhaj, serta tidak ada kewajiban baginya untuk taat kecuali
pada hal-hal yang ma’ruf. Permasalahan sekarang bukan karena berprasangka,
menuduh, atau mengada-ngada, tetapi merupakan yang nyata dan bisa dirasakan,
yaitu pada saat dua orang yang berbeda kelompok saling berjumpa kemudian saling
mengemukakan pandangan-pandangan pasti akan timbul perselisihan. sebab ruh
hujbiah dan tashub bisa memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu. Sehingga
dia tidak melihat keadaan sekitar sesuai dengan warnannya.
Pada
giliran dia tidak melihat ada kemungkinan salah padanya, disertai perasaan
benar terhadap yang dia bawa. Bahkan merasa kebenaran mutlak ada dan kesalahan
mutlak ada pada orang lain. pertemuan semaam ini mustahil dapat terjadi, karena
seorang pasti bersikukuh memegangi pendapat (walaupun terbatas), serta
bersikeras untuk mengamalkan
pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang bersifat interen selalu
melakukan pengkhususan dan pendalam terhadap pendapat-pendapat tersebut,
membela dan berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang menyelisihinya. karena
akal pikiran seseorang dibentuk untuk mempunyai satu pendangan saja bukan
karakter akal yang berkesinambungan.[6]
B. Hadist
tentang Larangan Menyuap
عن ابى هريرةرضى الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعنةالله علىا لراشى والمرتشى۰﴿رواهالخمسةالاالنساأى﴾
Artinya:
“Dari
Abi Hurairah r.a dia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Kutukan Allah bagi
orang-orang yang menyuap dan orang yang disuap.” (H.R. oleh lima perawi
kecuali Nasa’i)
semua
bangsa dicoba dengan berbagai ujian hidup, kurang harta kekayaan, anak-anaknya
dalam keadaan leman sebab sering sakit yang menjadikan lemah keadaannya,
situasi tidak teratur, ketenangannya menjadi kurang demikian pula keamanannya.
Ujian
dan percobaan yang paling jelek dan paling berbahaya ialah berlakunya perbuatan
suap menyuap dikalngan mereka, uluran tangan para pemimpin dan orang-orang yang
diberi kekuasaan selalu mengambil harta yang bukan haknya. Maka kita bisa
melihat orang yang mempunyai hak memiliki tidak bisa memiliki hak miliknya
kecuali lebih dahulu memberikan hadiah kepada orang yang berwenang untuk
memperoleh hak miliknya.
Adapun
orang yang terkena aniaya atau fitnah berusaha menghindarkan dari padanya harus
memberikan suap kepada orang yang berwenang mampu mnghindarkannya.
Kadang-kadang orang yang akan menyuap sampai juga tawar menawar dengan orang
yang akan disuap dengan apa atau seberapa, bahkan dengan terang-terangan tanpa
segan-segan dan tanpa malu.
Kadang-kadang
suap menggunakan istilah lain atau
memakai motif lain, akan tetapi hakekatnya adalah suap, walaupun bentuknya
berupa hadiah atau dengan cara pinjam dahulu atau jual beli atau titipan. semua
bentuk suap walaupun caranya bermacam-macam, namun dapat merusak kehormatan
pribadi seorang pemimpin atau pejabat.
Karena itulah orang yang menyuap dan yang disuap kedua-duanya dikutuk
Allah dan dibenci manusia. sebab orang yang menyuap membantu orang yang
menerima suap, memudahkan baginya makan harta orang lain dengan jalan Bathil,
menyuburkan perangai jahat, memberikan peluang orang berbuat tidak adi dan
berarti dia menganggap baik tempat atau sarana kejahatan.[7]
Suap
itu adalah uang atau barang yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang hak
atau membenarkan yang bathil. Dengan pengertian ini hukumnya haram bagi kedua
belah pihak (pemberi dan penerimanya). perbuatan seperti itu sangat dilarang di
dalam islam dan disepakati para ulama sebagai perbutan yang haram. harta yang
diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh
dengan jalan bathil.
Suap
menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai
tatanan atas sistem yang ada dalam masyarakat, dan menyebabkan terjadinya
kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dipermainkan
dengan uang. Dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman
berat, justru mendapat hukuman ringan bahkan lolos dari jeratan hukum.
sebaliknya banyak pelanggar hukum kecil yang dilakukan oleh orang kecil
mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para
hakim. tak heran jika seorang pujangga sebagaimana dikutip oelh Yusuf Qardhawy
menyindir tentang suap-menyuap dengan kata-katanya:
“Jika
anda tidak dapat mendapat sesuatu
yang anda butuhkan
sedangkan anda sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
dan jangan pesan apa-apa
juru damai itu adalah uang”[8]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Taat
yang wajib dan terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist ialah ketaatan
kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mu’minin) atau yang mewakilinya.
bukan ketaatan kepada segolongan manusia atau salah satu kelompok dari
jama’ah-jama’ah yang ada. Walaupun demikian tidak mungkin diisyaratkan dengan
kata-kata, tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan
lebih-lebih dengan taat yang sempurna yang semestinya hanya diberikan kepada
Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan dalam agama ini
ialah bahwa taat hendak pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standartnya
pun tepat.
Suap
itu adalah uang atau barang yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang hak
atau membenarkan yang bathil. Dengan pengertian ini hukumnya haram bagi kedua
belah pihak (pemberi dan penerimanya). perbuatan seperti itu sangat dilarang di
dalam islam dan disepakati para ulama sebagai perbutan yang haram. harta yang
diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh
dengan jalan bathil.
DAFTAR
PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001
Hamid
Rizal, Buku Pintar Hadist, Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2005
Nawawi,
Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta: Gadja Mada University Press,
1993
Sulaiman
H.M. Noor, Hadis-Hadis Pilihan, Cet.
I; Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010
Rachmat,
Al-Hadist, sosial dan hukum, Bandung: Pustaka Setia
[1] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro,
2001), h. 115
[2] H.M. Noor Sulaiman PL, Hadis-Hadis Pilihan, (Cet. I; Jakarta:
Gaung Persada Pers, 2010), h.125-126.
[3] Departemen Agama Republik Indonesia, op.cit, h. 10
[4] H.M. Noor Sulaiman PL, op.cit, h. 126-129.
[5] Rachmat, Al-Hadist,
sosial dan hukum, (Bandung: Pustaka Setia), h. 312-314.
[6] Rizal Hamid, Buku
Pintar Hadist, (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2005), h. 56-58
[7] H.M. Noor Sulaiman PL, op.cit, h. 130-131
EmoticonEmoticon