Minggu, 07 September 2014

Makalah
“Hadist tentang Batas Ketaatan Kepada Pemimpin dan Larangan Menyuap”
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Hadits
Disusun oleh:
Yanti Hasan
Nim   : 09.2.3.116
Tarbiyah / PAI 2
Semester IV
Dosen:
Drs. Moh. S. Rahman. M.Pd.I

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) MANADO
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Pada suatu masyarakat, kepemipinan (khalifah atau imam) merupakan sebuah kepercayaan satu individu atau lebih kepada individu lainnya. Dengandemikian perlakuan hidup yang diberikan seorang yang dipercaya diharapkan tidak merugikan individu yang memberi kepercayaan. Manusia dalam bermasyarakat dapat meniptakan suatu kepemimpinan yang bisa memberikan keadilan bagi manusia dan tidak mempercepat kehancuran bagi makhluk lainnya maka kepemimpinan dapat dipertahankan. Tetapi tidak ada pemimpin yang secara ideal mampuh menciptakan kepemimpinan yang adil. Selama pemimpin tersebut memberikan keadilan bagi rakyatnya dan tidak meniptakan kehancuran maka kepemimpinan seperti itu mampuh meniptakan keadilan yang ideal pula selain kerasulan yang diturunkan oleh Allah SWT. Suatu kepemimpinan dapat berubah sepanjang waktu sesuai dengan kesepakatan sesama manusia yang menjalankannya. Pimpinan dapat berubah untuk perbaikan seara terus menerus mengakibatkan sesama manusia tidak boleh menghambat proses perbaikan tersebut. Oleh sebab itu islam memandang bahwa kepemimpinan bukanlah untuk diperebutkan tetapi merupakan alat bagi manusia untuk membangun tatanan masyarakat yang diridhai Allah SWT.

B.       Rumusan Masalah
dari uraian latar belakang di atas penulis menyimpulkan beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas nantinya dalam makalah ini, yaitu:
1.         Bagaimana hadist tentang batas ketaatan kepada pemimpin?
2.         Bagaimana hadist tentang larangan menyuap?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Hadist tentang batasan kepada pemimpin
عن عبدالله  بن عمرعن النبى صلي لله عليه وسلم قال׃السمع والطاعةعلى المرءالمسلم فيماأحب وكره مالم يؤمربمعصية ، فإ ذ ا أ مر بمعصية فلا سمع ولاطاعة ﴿رواهالبخارى﴾
Artinya:
“Dari Abdullah bin Amer dari Nabi Saw. beliau bersabda: “mengindahkan dan btaat adalah (wajib) atas orang Islam baik dia senang atau tidak, selagi  tidak diperintahkan berbuat durhaka. jika diperintah kepada yang durhaka, maka tidak harus mengindahkan dan taat ” (H.R Bukhari)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qãèÏÛr& ©!$# (#qãèÏÛr&ur tAqߧ9$# Í<'ré&ur ͐öDF{$# óOä3ZÏB (
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu.” (Q.S An- Nisa: 59)[1]
Allah telah menyuruh hamba-Nya yang beriman, agar taat kepada-Nya. Kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu, yakni pemerintah.
Diterangkan dalam hadist tersebut di atas, kita tidak harus taat kepada siapa saja yang menyuruh kita durhaka kepada Allah, sebab jika dia menyuruh kepada durhaka lalu kita mentaatinya, berarti kita tidak  taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka ayat Qur’an tersebut sebagai bukti kebenaran hadist tersebut di atas, bahwa taat kepada penguasa-penguasa harus kita laksanakan, sepanjang tidak mengarah kepada kedurhakaan; durhaka kapada Allah dan Rasul-Nya.[2]
Ulul Amri” ialah mereka yang diserahi mengurusi persoalan-persoalan umur (jiwa) dan berbagai maslahat penting. Maka termasuk mereka ialah setiap orang yang menguasai dan diserahi urusan kaum muslimin; Rasulullah Saw. telah memerintahkan setiap umat muslim agar mengindahkan semua perintah mereka dan segera melaksanaknnya, baik perintah itu menyenangkan atau tidak. ingat firman Allah:
#Ó|¤tãur br& (#qèdtõ3s? $\«øx© uqèdur ׎öyz öNà6©9 (
Artinya:
“boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,” (Al-Baqarah: 216)[3]
Apabila mereka menyuruh kita, untuk Amar Ma’ruf dan Nahi  Munkar buat menegakkan agama Allah, maka kita sambut dan kita laksanakan; apabila mereka menarik pajak yang ditentukan,  maka kita bayar; apabila kita diminta pertolongan untuk membantu kebakaran, musibah bencana alam, atau musibah-musibah lainnya, maka wajib kita penuhi dan kita laksanakan, selama perintah itu untuk kemaslahatan umum dan tidak bertenyangan dengan Syara’.
Adapun perintahnya untuk durhaka, seperti menuduh jahat kepada orang yang sebenarnya baik, atau menahannya, atau menyakitinya, atau mengeluarkan serta mengambil harta kekayaan dengan aniaya dan paksa, atau mereka menghendaki menyeleweng dari yang hak yang benar dan berhukum dengan yang bathil, atau mereka menghendaki harta benda kita dan orang-orang yang kita untuk membantu musuh kita, atau menyuruh menulis atau menandatangani perjanjian perbudakan terhadap kita, anak-anak kita dan cucu-cucu kita, atau mereka meminta agar kita memberi kesempatan kepada wanita-wanita yang mau menjual kehormatannya atau melacur, atau kepada mereka yang memperdagangkan arak, narkoba dan minuman keras lainnya, atau membuka tempat berjudi: Jika pemerintah kita melaksanakan salah satu hal tersebut, maka kita harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan tidak usah  melaksanakaannya mentaati mereka, karena taat dalam hal ini haram hukumnya. sungguh telah banyak hadis yang menyuruh taat kepada penguasa, bersikap sabar jika kebetulan belum tepat untuk menentang mereka, sebagaimana Rasulullah bersabda:
اسمعواوأطيعواوإنستعمل عليكم عبدحبشى كان رأسه زبيبة.﴿رواه البخارى
Artinya:
Dengarlah olehmu dan taatilah olehmu (akan pimpinanmu) walupun yang diangkat menjadi pimpinanmu itu adalah budak Habasyi, seolah-olah kepadanya, kepada Zabiba (buah anggur yang hitam).” (H.R Bukhari)
Adapun perintah terhadap sesuatu yang tidak menyenangkan di dalam Hadist Ibnu Abas adalah sesuatu yang berat bagi kita dan bukan perbuatan durhaka kepada Allah dan kepada Rasul-Nya. Jika diklasifikasikan perbuatan durhaka, maka larangan yang munkar adalah wajib, akan tetapi dengan kebijaksanaan dan nasehat yang baik.[4]
Dalam pada itu hendaklah kita mempergunakan kebijaksanaan dalam mengingkari perbuatan mereka. Jangan pula sampai menimbulkan fitnah dan membawa rakyat kepada berpecah belah, atau membawa kepada permusuhan.
Taat yang wajib dan terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist ialah ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mu’minin) atau yang mewakilinya. bukan ketaatan kepada segolongan manusia atau salah satu kelompok dari jama’ah-jama’ah yang ada. Walaupun demikian tidak mungkin diisyaratkan dengan kata-kata, tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan lebih-lebih dengan taat yang sempurna yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan dalam agama ini ialah bahwa taat hendak pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standartnya pun tepat.[5]
ini ialah merupakan pelajaran bagi orang yang bertanggung jawab dipusat kepemimpinan dan pemerintah, yaitu tidak mewajibkan untuk taat kepada pemerintah keuali jika dia mentaati perintah-perintah Allah dan berpegang teguh  dengan manhaj (ahlu sunah wal-jama’ah).  Merupakan pelajaran pula bagi orang-orang awam agar semua indera selalu waspada dan hendak dia pun memiliki ilmu yang sempurna tentang manhaj, serta tidak ada kewajiban baginya untuk taat kecuali pada hal-hal yang ma’ruf. Permasalahan sekarang bukan karena berprasangka, menuduh, atau mengada-ngada, tetapi merupakan yang nyata dan bisa dirasakan, yaitu pada saat dua orang yang berbeda kelompok saling berjumpa kemudian saling mengemukakan pandangan-pandangan pasti akan timbul perselisihan. sebab ruh hujbiah dan tashub bisa memunculkan suasana yang aneh tatkala bertemu. Sehingga dia tidak melihat keadaan sekitar sesuai dengan warnannya.
Pada giliran dia tidak melihat ada kemungkinan salah padanya, disertai perasaan benar terhadap yang dia bawa. Bahkan merasa kebenaran mutlak ada dan kesalahan mutlak ada pada orang lain. pertemuan semaam ini mustahil dapat terjadi, karena seorang pasti bersikukuh memegangi pendapat (walaupun terbatas), serta bersikeras untuk  mengamalkan pendapatnya. Mengingat kelompok-kelompok kajian yang bersifat interen selalu melakukan pengkhususan dan pendalam terhadap pendapat-pendapat tersebut, membela dan berusaha untuk melumpuhkan pendapat yang menyelisihinya. karena akal pikiran seseorang dibentuk untuk mempunyai satu pendangan saja bukan karakter akal yang berkesinambungan.[6]
B.   Hadist tentang Larangan Menyuap
عن ابى هريرةرضى الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعنةالله علىا لراشى والمرتشى۰﴿رواهالخمسةالاالنساأى﴾
Artinya:
Dari Abi Hurairah r.a dia berkata: “Rasulullah Saw bersabda: “Kutukan Allah bagi orang-orang yang menyuap dan orang yang disuap.” (H.R. oleh lima perawi kecuali Nasa’i)
semua bangsa dicoba dengan berbagai ujian hidup, kurang harta kekayaan, anak-anaknya dalam keadaan leman sebab sering sakit yang menjadikan lemah keadaannya, situasi tidak teratur, ketenangannya menjadi kurang demikian pula keamanannya.
Ujian dan percobaan yang paling jelek dan paling berbahaya ialah berlakunya perbuatan suap menyuap dikalngan mereka, uluran tangan para pemimpin dan orang-orang yang diberi kekuasaan selalu mengambil harta yang bukan haknya. Maka kita bisa melihat orang yang mempunyai hak memiliki tidak bisa memiliki hak miliknya kecuali lebih dahulu memberikan hadiah kepada orang yang berwenang untuk memperoleh hak miliknya.
Adapun orang yang terkena aniaya atau fitnah berusaha menghindarkan dari padanya harus memberikan suap kepada orang yang berwenang mampu mnghindarkannya. Kadang-kadang orang yang akan menyuap sampai juga tawar menawar dengan orang yang akan disuap dengan apa atau seberapa, bahkan dengan terang-terangan tanpa segan-segan dan tanpa malu.
Kadang-kadang suap menggunakan istilah lain  atau memakai motif lain, akan tetapi hakekatnya adalah suap, walaupun bentuknya berupa hadiah atau dengan cara pinjam dahulu atau jual beli atau titipan. semua bentuk suap walaupun caranya bermacam-macam, namun dapat merusak kehormatan pribadi seorang pemimpin atau pejabat.  Karena itulah orang yang menyuap dan yang disuap kedua-duanya dikutuk Allah dan dibenci manusia. sebab orang yang menyuap membantu orang yang menerima suap, memudahkan baginya makan harta orang lain dengan jalan Bathil, menyuburkan perangai jahat, memberikan peluang orang berbuat tidak adi dan berarti dia menganggap baik tempat atau sarana kejahatan.[7]
Suap itu adalah uang atau barang yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang hak atau membenarkan yang bathil. Dengan pengertian ini hukumnya haram bagi kedua belah pihak (pemberi dan penerimanya). perbuatan seperti itu sangat dilarang di dalam islam dan disepakati para ulama sebagai perbutan yang haram. harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh dengan jalan bathil.
Suap menyuap sangat berbahaya bagi kehidupan masyarakat karena akan merusak berbagai tatanan atas sistem yang ada dalam masyarakat, dan menyebabkan terjadinya kecerobohan dan kesalahan dalam menetapkan hukum sehingga hukum dipermainkan dengan uang. Dengan suap, banyak para pelanggar yang seharusnya diberi hukuman berat, justru mendapat hukuman ringan bahkan lolos dari jeratan hukum. sebaliknya banyak pelanggar hukum kecil yang dilakukan oleh orang kecil mendapat hukuman sangat berat karena tidak memiliki uang untuk menyuap para hakim. tak heran jika seorang pujangga sebagaimana dikutip oelh Yusuf Qardhawy menyindir tentang suap-menyuap dengan kata-katanya:
Jika anda tidak dapat mendapat sesuatu
yang anda butuhkan
sedangkan anda sangat menginginkan
Maka kirimlah juru damai
dan jangan pesan apa-apa
juru damai itu adalah uang[8]



BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Taat yang wajib dan terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadist ialah ketaatan kepada para pemimpin kaum muslimin (amirul mu’minin) atau yang mewakilinya. bukan ketaatan kepada segolongan manusia atau salah satu kelompok dari jama’ah-jama’ah yang ada. Walaupun demikian tidak mungkin diisyaratkan dengan kata-kata, tidak boleh membantah dan ragu serta tidak boleh beralasan lebih-lebih dengan taat yang sempurna yang semestinya hanya diberikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena termasuk dari ketentuan-ketentuan dalam agama ini ialah bahwa taat hendak pada hal-hal yang sudah jelas dan ukuran standartnya pun tepat.
Suap itu adalah uang atau barang yang diberikan untuk membatalkan sesuatu yang hak atau membenarkan yang bathil. Dengan pengertian ini hukumnya haram bagi kedua belah pihak (pemberi dan penerimanya). perbuatan seperti itu sangat dilarang di dalam islam dan disepakati para ulama sebagai perbutan yang haram. harta yang diterima dari hasil menyuap tersebut tergolong dalam harta yang diperoleh dengan jalan bathil.



DAFTAR PUSTAKA
Departemen  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001
Hamid Rizal, Buku Pintar Hadist, Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2005
Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1993
Sulaiman H.M. Noor, Hadis-Hadis Pilihan, Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010
Rachmat, Al-Hadist, sosial dan hukum, Bandung: Pustaka Setia




[1] Departemen  Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Cet. X., Bandung: PT. Diponegoro, 2001), h. 115

[2] H.M. Noor Sulaiman PL, Hadis-Hadis Pilihan, (Cet. I; Jakarta: Gaung Persada Pers, 2010), h.125-126.

[3] Departemen  Agama Republik Indonesia, op.cit, h. 10

[4] H.M. Noor Sulaiman PL, op.cit, h. 126-129.
[5] Rachmat, Al-Hadist, sosial dan hukum, (Bandung: Pustaka Setia), h. 312-314.
[6] Rizal Hamid, Buku Pintar Hadist, (Jakarta: PT. Buana Ilmu Populer, 2005), h. 56-58
[7] H.M. Noor Sulaiman PL, op.cit, h. 130-131
[8] Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadja Mada University Press, 1993), h. 76


EmoticonEmoticon