BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia adalah manusia dengan segala potensialitasnya. Ia
dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan kemudian
menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana seperti
yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu memiliki beberapa redaksi
antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya jiwa social.
Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama lain.
Manusia diciptakan dengan bentuk yang paling
sempurna dibandingkan makhluk Allah yang lainnya, karena ia dikaruniai akal dan
bentuk yang sempurna yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Ia dapat
menggunakan akalnya untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Ia juga dapat
membedakan antara baik dan buruk. Hanya saja, manusia juga diberi nafsu oleh
Allah sehingga terkadang nafsunya mengalahkan akalnya.
Manusia dikaruniai oleh Allah berbagai
kelebihan, disamping memilki banyak kekurangan juga. Dalam hal ini, Allah
membebaskan manusia untuk beraktivitas dan berusaha sesuai dengan kemampuan dan
keahliannya. ia diperintah untuk melakukan apapun yang ia bisa untuk mencari
karunia Allah.
Sebagai khalifah fil ardl manusia
diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi Allah sebagai tempat tinggal. Baik
buruknya bumi dipercayakan kepada manusia. Oleh karena itu, jika saat ini bumi
semakin tidak bersahabat maka sebenarnya keadaan itu adalah ulah tangan-tangan
usil manusia sendiri. Al-Qur’an telah menjelaskan sifat-sifat baik maupun buruk
manusia dalam ayat-ayatnya dengan berbagai redaksi, diantaranya adalah dengan
kata al-nas. Dalam makalah ini
juga akan dijelaskan beberapa hal yang terkait dengan manusia dalam Al-qur’an
dengan redaksi al-nas.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa hakikat manusia !
2.
Bagaimana definisi manusia menurut al-Qur’an !
3. Unsur-unsur
dalam diri manusia !
4. Teori
evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an !
5.
Apa Definisi Al-Nas !
6.
Bagaimana Pengunaan Kata Al-Nas dalam Al-Qur’an
!
7.
Bagaimana Makna Al-Nas dalam Al-Qur’an !
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Manusia adalah makhluk Allah yang paling
sempurnah dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal fikiran. Dalam
hal ini Ibn ‘Arabi[1]
misalnya melukiskan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa “taka ada makhluk
Allah yang lebih bagus dari pada manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui,
berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir dan memutuskan. Manusia
adalah makhluk kosmis yang sangat penting karena dilengkapi dengan semua
pembawaan dan syarat-ayarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya
sebagai makhluk Allah dimuka bumi.
Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah
memakmurkan bumi dengan cara memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya.
Dengan kata lain manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan menurut perintah dan petunjuknya.[2]
Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan
perasaan manusia, mengajarkan tauhid kepada manusia, menyucikan manusia dengan
berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan
serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial manusia, membimbing
manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadian
manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani.
Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[3]
Al-Qur’an juga mendorong manusia
untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban penciptaannya, serta keakuratan
pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat
mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah
at-Taariq [86] ayat 5-7.
ÌÝàYuù=sù ß`»|¡RM}$# §NÏB t,Î=äz ÇÎÈ t,Î=äz `ÏB &ä!$¨B 9,Ïù#y ÇÏÈ ßlãøs .`ÏB Èû÷üt/ É=ù=Á9$# É=ͬ!#u©I9$#ur ÇÐÈ
Artinya:
“Maka, hendaklah manusia
merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar,
yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada”. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)[4]
Berkaitan dengan hal ini, terdapat
sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya,
niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga
memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang
berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia,
motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang
mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya
kesehatan jiwa manusia.
Dalam tulisan ini, penulis akan
mencoba melihat sejauh mana hakikat manusia menurut perspektif Al-Qur’an. Di
awal pembahasan, penulis akan memaparkan secara sekilas definisi manusia dan
asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah inspirasi
untuk memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.
B. Definisi Manusia Menurut Al-Qur’an
Adanya
manusia menurut al-Qur’an adalah karena sepasang manusia pertama yaitu Bapak
Adam dan Ibu Hawa. Disebutkan bahwa, dua insan ini pada awalnya hidup di surga.
Namun, karena melanggar perintah Allah maka mereka diturunkan ke bumi. Setelah
diturunkan ke bumi, sepasang manusia ini kemudian beranak-pinak, menjaga dan
menjadi wakil-Nya di dunia baru itu. Tugas yang amat berat untuk menjadi
penjaga bumi. Karena beratnya tugas yang akan diemban manusia, maka Allah memberikan
pengetahuan tentang segala sesuatu pada manusia.[5]
Satu nilai
lebih pada diri manusia, yaitu dianugerahi pengetahuan. Manusia dengan segala
kelebihannya kemudian ditetapkan menjadi khalifah dibumi ini. Satu kebijakan
Allah yang sempat ditentang oleh Iblis dan dipertanyakan oleh para malaikat.
Dan Allah berfirman: “....Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama
mereka...” (al-Baqarah ayat 33). Setelah Adam menyebutkan nama-nama itu pada
malaikat, akhirya
Malaikatpun
tahu bahwa manusia pada hakikatnya mampu menjaga dunia. Dari uraian ini dapat
dipahami bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Allah
SWT. Dengan segala pengetahuan yang diberikan Allah manusia memperoleh
kedudukannya yang paling tinggi dibandingkan dengan makhluk lainnya. Inipun
dijelaskan dalam firman Allah SWT: “.....kemudian kami katakan kepada para
Malaikat: Bersujudlah kamu kepada Adam”; maka merekapun bersujud kecuali Iblis,
dia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir”
(al-Baqarah ayat 34).
Ini
menunjukkan bahwa manusia memiliki keistimewaan dibanding makhluk Allah yang
lainnya, bahkan Malaikat sekalipun. Menjadi menarik dari sini jika legitimasi
kesempurnaan ini diterapkan pada model manusia saat ini, atau manusia-manusia
pada umumnya selain mereka para Nabi dan orang-orang maksum. Para nabi dan
orang-orang maksum menjadi pengecualian karena sudah jelas dalam diri mereka
terdapat kesempurnaan diri, dan kebaikan diri selalu menyertai mereka.
Lalu,
kenapa pembahasan ini menjadi menarik ketika ditarik dalam bahasan manusia pada
umumnya. Pertama, manusia umumnya nampak lebih sering melanggar perintah Allah
dan senang sekali melakukan dosa. Kedua, jika demikian maka manusia semacam ini
jauh di bawah standar malaikat yang selalu beribadah dan menjalankan perintah
Allah SWT, padahal dijelaskan dalam al-Qur’an Malaikatpun sujud pada manusia.
Kemudian, ketiga, bagaimanakah mempertanggungjawabkan firman Allah di atas,
yang menyebutkan bahwa manusia adalah sebaik-baiknya makhluk Allah. Tiga hal
inilah yang menjadi inti pembahasan ini.
Dalam
al-Qur’an dijelaskan bahwa manusia memang memiliki kecenderungan untuk
melanggar perintah Allah, padahal Allah telah menjanjikannya kedudukan yang
tinggi. Allah berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki sesungguhnya Kami
tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia
dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah.............” (al-A’raaf, ayat 176).
Dari ayat ini dapat dilihat bahwa sejak awal Allah menghendaki manusia untuk menjadi
hamba-Nya yang paling baik, tetapi karena sifat dasar alamiahnya, manusia
mengabaikan itu.[6]
Ini
memperlihatkan bahwa pada diri manusia itu terdapat potensi-potensi baik, namun
karena potensi itu tidak didaya gunakan maka manusia terjerebab dalam lembah
kenistaan, bahkan terkadang jatuh pada tingkatan di bawah hewan. Satu hal yang
tergambar dari uraian di atas adalah untuk mewujudkan potensi-potensi itu,
manusia harus benar-benar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Dan
tentu manusia mampu untuk menjalani ini. Sesuai dengan firman-Nya: “Allah tidak
akan membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikannya) dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an
menggunakan tiga istilah pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri
atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins,
naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga,
menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.[7]
Menurut M. Quraish Shihab[8],
kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu
dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah
yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36
kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk
menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia
seluruhnya.
Dengan demikian, kata basyar
dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan, minum,
tidur, dan jalan-jalan.[9]
Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain
yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir
makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai
tahap kedewasaan.
Sementara itu, kata insan
terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.
Musa Asy’arie[10]
menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang
berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa;
dan al-uns yang berarti jinak.
Menurut M. Quraish Shihab[11],
makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada
pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya
(lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang).
Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut
sebanyak 65 kali.
Kata insaan digunakan Al-Qur’an
untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi[12]’
menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai
pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima
beban takliif dan amanat kekuasaan.
C.
Unsur-unsur
dalam diri manusia
Membahas sifat-sifat manusia
tidaklah lengkap jika hanya menjelaskan bagaimana sifat manusia itu, tanpa
melihat gerangan apa di balik sifat-sifat itu. Murtadha Muthahari di dalam
bukunya Manusia dan Alam Semesta sedikit menyinggung hal ini. Menurutnya
fisik manusia terdiri dari unsur mineral, tumbuhan, dan hewan[13].
Dan hal ini juga dijelaskan di dalam
firman Allah : Yang membuat segala
sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan memulai penciptaan manusia dai
tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (air
mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya roh
(ciptaan)Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati;
(tapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (as-Sajdah ayat 7-9).
Sejalan dengan Muthahari dan
ayat-ayat ini, maka manusia memiliki unsur paling lengkap dibanding dengan
makhluk Allah yang lain. Selain unsur mineral, tumbuhan, dan hewan (fisis),
ternyata manusia memiliki jiwa atau ruh. Kombinasi inilah yang menjadikan
manusia sebagai makhluk penuh potensial.
Jika unsur-unsur ditarik garis lurus
maka, ketika manusia didominasi oleh unsur fisisnya maka dapat dikatakan bahwa
ia semakin menjauhi kehakikiannya. Dan implikasinya, manusia semakin menjauhi
Allah SWT. Tipe manusia inilah yang dalam al-Qur’an di sebut sebagai al-Basyar,
manusia jasadiyyah. Dan demikianpun sebaliknya, semakin manusia
mengarahkan keinginannya agar sejalan dengan jiwanya, maka ia akan memperoleh
tingkatan semakin tinggi. Bahkan dikatakan oleh para sufi-sufi besar, manusia
sebenarnya mampu melampaui malaikat, bahkan mampu menyatu kembali dengan sang
Khalik. Manusia seperti inilah yang disebut sebagai al-insaniyyah[14].
Luar biasanya manusia jika ia mampu
mengelola potensinya dengan baik. Di dalam dirinya ada bagian-bagian yang tak
dimiliki malaikat, hewan, tumbuhan, dan mineral—satu persatu. Itu karena di
dalam diri manusia unsur-unsur makhluk Allah yang lain ada. Tidak salah bila
dikatakan bahwa alam semesta ini makrokosmos dan manusia adalah mikrokosmosnya.
D.
Teori
evolusi Darwin dan konsep manusia dalam al-Qur’an
Bila dilihat secara kasar, maka
jelas dua konsep ini akan saling bertolak belakang bahkan cenderung saling
mempersoalkan. Jika Darwin mengatakan bahwa manusia itu ada karena evolusi
makhluk hidup lainnya yang lebih rendah. Maka al-Qur’an dengan jelas menyatakan
bahwa manusia adalah keturunan Adam dan Hawa yang diusir dari surga.
Tentu ini menjadi perdebatan menarik
hingga saat ini. Sebagian mengatakan bahwa Darwin yang benar, teori Darwinlah
yang masuk akal. Dan sebagian yang lain menjawabnya dengan mengatakan bahwa
“al-Qur’an-lah yang benar, karena ini titah Tuhan, Tuhan Maha Besar dan Maha
Kuasa, sehingga apa saja bisa dilakukan-Nya, tak terkecuali menciptakan Adam
dari tanah liat dan Siti Hawa dari tulang rusuk kiri Adam. Sedangkan, teori
evolusi gagal total ketika dibenturkan dengan kenyataan bahwa saat inipun
makhluk-makhluk purba (semisal komodo, buaya, kura-kura) masih berkeliaran di
muka bumi, bukankah jika merunut pada teori evolusi makhluk-makhluk ini
harusnya sudah punah?”
Yang mempertahankan teori evolusi
pun balik menyerang[15],
“ jika Adam manusia pertama, kenapa kami menemukan makhluk yang mirip manusia
hidup kira-kira jauh sebelum adanya Adam. Bagaimana ini dijelaskan?”
Demikianlah seterusnya. Debat semacam ini tak henti-henti
dilakukan. Padahal keduanya sama-sama tak dapat menyimpulkan secara pasti kapan
manusia pertama itu ada, tetapi klaim kebenaran sudah menyebar ke mana-mana.
E. Definisi Al-Nas
Kata al-nas (الناس) berasal dari kata الاناس (al-unas) yang dihapus hamzahnya, sedangkan huruf alifnya asli[16].
Lafaz
al-nas memiliki dua bentuk, yaitu:
Ø Merupakan bentuk jamak dari lafaz
“insan ( muzakkar) atau insaniyyah ( muannas)” .
Ø berasal dari
kata al-nas kemudian dihapus hamzah pada lafaz tersebut dan ditambah dengan
alif lam sebagai tanda ma’rifahnya.
Akan
tetapi ada sebagian yang berpendapat bahwa lafaz al-nas tidak berasal dari kata
“اناس”. Mereka berpendapat bahwa orang Arab
memberikan bentuk tashghir untuk lafaz “الناس”
dengan ungkapan “نويس”, maka seandainya “الناس” itu berasal dari kata “اناس” tentulah lafaz tashghirnya itu bukan “نويس”, tetapi “ انيس ”.[17]
F. Penggunaan Kata Al-Nas Dalam
Al-Qur’an
Kata al-nas di dalam Al-Qur’an
disebutkan sebanyak 241 kali dengan ragam penjelasan yang bermacam-macam
seperti:
Ø Kata al-nas
dikaitkan dengan kata iman dan turunannya (bentuk kata lainnya dari akar kata
yang sama) seperti , QS. An-nisa’: 1
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# (#qà)®?$# ãNä3/u Ï%©!$# /ä3s)n=s{ `ÏiB <§øÿ¯R ;oyÏnºur t,n=yzur $pk÷]ÏB $ygy_÷ry £]t/ur $uKåk÷]ÏB Zw%y`Í #ZÏWx. [ä!$|¡ÎSur 4
(#qà)¨?$#ur ©!$# Ï%©!$# tbqä9uä!$|¡s? ¾ÏmÎ/ tP%tnöF{$#ur 4
¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3øn=tæ $Y6Ï%u ÇÊÈ
Artinya:
“Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari
seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada
keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan
bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu’’.[18]
Ø Kata al-nas
juga sering dikaitkan dengan kata kafir.
Q.S. Al-Baqarah: 161-162
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qè?$tBur öNèdur î$¤ÿä. y7Í´¯»s9'ré& öNÍkön=tæ èpuZ÷ès9 «!$# Ïps3Í´¯»n=yJø9$#ur Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèyJô_r& ÇÊÏÊÈ tûïÏ$Î#»yz $pkÏù (
w ß#¤ÿsä ãNåk÷]tã Ü>#xyèø9$# wur öLèe crãsàZã ÇÊÏËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan mereka mati
dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat la'nat Allah, para malaikat dan
manusia seluruhnya.Mereka kekal di dalam la'nat itu; tidak akan diringankan
siksa dari mereka dan tidak (pula) mereka diberi tangguh”.[19]
Ø Kata al-nas
juga dikaitkan bahwa sebagian besar manusia tidak mengerti
Seperti:
QS. Yusuf: 68
$£Js9ur (#qè=yzy ô`ÏB ß]øym öNèdttBr& Nèdqç/r& $¨B c%2 ÓÍ_øóã Oßg÷Ztã z`ÏiB «!$# `ÏB >äóÓx« wÎ) Zpy_%tn Îû ħøÿtR z>qà)÷èt $yg9Òs% 4
¼çm¯RÎ)ur rä%s! 5Où=Ïæ $yJÏj9 çm»oYôJ¯=tæ £`Å3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w cqßJn=ôèt ÇÏÑÈ
Artinya:
“Dan
tatkala mereka masuk menurut yang diperintahkan ayah mereka, maka (cara yang
mereka lakukan itu) tiadalah melepaskan mereka sedikitpun dari takdir Allah,
akan tetapi itu Hanya suatu keinginan pada diri Ya'qub yang Telah
ditetapkannya. dan Sesungguhnya dia mempunyai pengetahuan, Karena kami Telah
mengajarkan kepadanya. akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui’’.
Ø Kata al-nas
dikaitkan bahwa sebagian manusiaitu tidak beriman,
Seperti:
Q.S. Yusuf: 103
!$tBur çsYò2r& Ĩ$¨Y9$# öqs9ur |Mô¹tym tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÊÉÌÈ
Artinya:
“Dan
sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat
menginginkannya”[20].
Ø Kata al-nas
ketika berserikat dengan kebaikan dan mengutuk kekafiran disebut bersamaan
dengan kata al-malaikah.
Seperti QS. Al-Baqarah 161:
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. (#qè?$tBur öNèdur î$¤ÿä. y7Í´¯»s9'ré& öNÍkön=tæ èpuZ÷ès9 «!$# Ïps3Í´¯»n=yJø9$#ur Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèyJô_r& ÇÊÏÊÈ
Artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat
la'nat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya”.
Ø Kata Al-nas
berserikat dengan kejelekan, kejahatan dan kekafiran yang kemudian masuk neraka
Jahannam , maka kawan berserikatnya adalah dari golongan Jin, aljinnah.[21]
Seperti dalam QS. Hud: 119
wÎ) `tB zMÏm§ y7/u 4
y7Ï9ºs%Î!ur óOßgs)n=yz 3
ôM£Js?ur èpyJÎ=x. y7În/u ¨bV|øBV{ zO¨Yygy_ z`ÏB Ïp¨YÉfø9$# Ĩ$¨Z9$#ur tûüÏèuHødr& ÇÊÊÒÈ
Artinya:
“Kecuali
orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Allah menciptakan
mereka. kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) Telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan
memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”.
G. Makna
“al-Nas“ di dalam AlQuran
a)
Surat
Al-Baqarah : 8
z`ÏBur Ĩ$¨Y9$# `tB ãAqà)t $¨YtB#uä «!$$Î/ ÏQöquø9$$Î/ur ÌÅzFy$# $tBur Nèd tûüÏYÏB÷sßJÎ/ ÇÑÈ
Artinya:
“Di antara manusia ada yang mengatakan: "Kami beriman kepada Allah
dan hari kemudian[22]," pada hal mereka itu Sesungguhnya bukan orang-orang
yang beriman”.
Kata al-nas dalam QS.Albaqarah ayat 8 di atas
ditafsirkan dalam Fathul Qadir sebagai bentuk jamak dari kata إنسان atau
إنسانية dan
dengan diikuti huruf من sebelumnya menandakan sebagian manusia,
karena huruf tersebut faidahnya untuk تبعيض.[22]
Sehingga, maknanya dalam ayat ini adalah hanya sebagian manusia saja yang
mengatakan beriman kepada Allah dan hari akhir akan tetapi sebenarnya mereka
mengingkari. Jadi bukan semua manusia.
b)
Surat
Al-Baqarah: 13
#sÎ)ur @Ï% öNßgs9 (#qãYÏB#uä !$yJx. z`tB#uä â¨$¨Z9$# (#þqä9$s% ß`ÏB÷sçRr& !$yJx. z`tB#uä âä!$ygxÿ¡9$# 3
Iwr& öNßg¯RÎ) ãNèd âä!$ygxÿ¡9$# `Å3»s9ur w tbqßJn=ôèt ÇÊÌÈ
Artinya:
“Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana
orang-orang lain telah beriman." Mereka menjawab: "Akan berimankah
kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah,
sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh; tetapi mereka tidak tahu”.
Kata “al-nas” dalam surat al-Baqarah: 13 di
atas ditujukan kepada orang-orang yang beriman terhadap kerasulan Muhammad dan
wahyu yang diturunkan kepadanya. Jadi, ayat ini memerintahkan orang-orang
munafik untuk beriman dan membenarkan kerasulan Muhammad sebagaimana yang
dilakukan oleh orang-orang yang beriman sebelumnya.
Alif Lam yang terdapat pada kata “al-nas” di
atas bukanlah berarti alif lam yang menunjukkan bahwa semua manusia termasuk ke
dalam golongan manusia yang diperintahkan oleh Allah untuk dicontoh
keimanannya. Allah hanyalah memaksudkan sebagian golongan saja di antara
mereka.
Ar-Razi[23]
menjelaskan makna kata “al-nas” di dalam surat Al-baqarah:13 di atas
dengan menguraikan makna yang terdapat pada alif lam yang mengikuti kata
tersebut. Ar-Razi menyatakan bahwa alif lam dalam kata “al-nas” memiliki dua
kemungkinan makna yaitu pertama, jika Alif lam ‘ahdiyyah maka kata
al-nas di sana sudah ditentukan orangnya yakni Abdullah bin Salam dan
keluarganya karena mereka merupakan golongan yang pertama mengimani Rasulullah
Saw. Kedua, jika alif lam jinsiyyah, bisa mengandung dua
kemungkinan juga, yaitu orang-orang Aus-Khazraj, dan orang-orang mukmin.
c)
Surat An-Nisa’: 54
ôQr& tbrßÝ¡øts }¨$¨Z9$# 4n?tã !$tB ÞOßg9s?#uä ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù (
ôs)sù !$oY÷s?#uä tA#uä tLìÏdºtö/Î) |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur Mßg»oY÷s?#uäur %¸3ù=B $VJÏàtã ÇÎÍÈ
Artinya:
”Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran
karunia yang Allah telah berikan kepadanya? Sesungguhnya kami telah
memberikan Kitab dan hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan kami Telah memberikan
kepadanya kerajaan yang besar”.
Mengenai ayat di atas ada dua pendapat terhadap kata
“al-nas”
Ø Ibnu Abbas dan mayoritas ulama berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan kata “al-nas” di sini adalah nabi Muhammad Saw.
meskipun kata “al-nas” itu pada dasarnya memiliki makna jama’.
Ø Makna “ al-nas” pada ayat di atas adalah
Rasulullah Saw dan orang-orang Mukmin yang membenarkan serta mengikuti risalah
dan ajaran serta mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari.
Golongan yang memegang pendapat ini berhujjah bahwa
kata “al-nas” merupakan bentuk jama’, maka membawanya dalam arti jama’
(Rasulullah dan orang-orang mukmin yang mengikutinya) lebih utama dari pada
membawanya kepada arti singular (Rasulullah Saw).
Pendapat ini pun kemudian dibantah oleh pemegang
pendapat pertama. Penyebutan kata “al-nas” itu bukan selalu menuntut
bentuk plural, adakalanya yang diinginkan dengan penyebutan lafaz “ al-nas”
itu adalah untuk kelompok tertentu dari manusia, bukan mereka secara
keseluruhan. Hal ini dapat kita lihat di dalam surat Az-zariyat: 56, berkaitan
dengan kewajiban manusia kepada Allah sebagai makhluk ciptaan-Nya:
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
Artinya:
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
Ayat di atas mengandung maksud bahwa seluruh
golongan Jin dan manusia memiliki kewajiban untuk menyembah Allah sebagai
khaliq yang telah menciptakan mereka. Namun, jika yang melaksanakan kewajiban
tersebut hanya sebagian kecil dari manusia seperti nabi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya saja, maka seolah-olah mereka itu menempati posisi seperti manusia
secara keseluruhannya.
At-Tabari menyatakan di dalam tafsirnya bahwa ahli
takwil berbeda pendapat di dalam memahami maksud lafaz “al-nas” pada
ayat di atas.
a. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan lafaz “al-nas” pada ayat di atas hanyalah nabi Muhammad Saw
saja.
b. Sebagian mereka berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan lafaz “ al-nas” di sini adalah nabi Muhammad dan orang-orang beriman
yang mengikuti risalah ada ajarannya[24].
Az-Zamakhsyari[25]
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafaz “al-nas” di sini adalah
Rasulullah Saw. dan orang-orang mukmin yang mengikuti jalan dan tuntunannya.
Jadi, ayat di atas menjelaskan tentang orang-orang
yang tidak memiliki kesucian batin yang dengki terhadap kerasulan dan
kemenangan yang diberikan Allah kepada nabi Muhammad. Hal serupa juga telah
diberikan Allah kepada nabi Ibrahim dan keluarganya. Allah memberi mereka
nikmat yang besar berupa hikmah, kitab dan kerajaan yang besar. Namun, mengapa
orang-orang yang dengki melihat kerasulan Muhammad dan kemenangannya tidak
kagum dan merasa dengki pula terhadap nikmat-nikmat yang diterima nabi Ibrahim
dan keluarganya tersebut.
d)
Surat
Al-hujurat: 13
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4
¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4
¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Az-zamakhsyari[26]
di dalam tafsirnya Al-Kasysyaf menjelaskan bahwa, di dalam ayat ini Allah
memberitahukan kepada manusia bahwa mereka diciptakan dari asal yang satu,
yaitu Adam dan Hawa. Semua mereka sama di mata Allah, maka tidak ada alasan
untuk berlaku sombong dan berbangga diri antara satu sama lainnya dalam nasab,
karena semuanya berasal dari satu keturunan. Maka, yang menjadi pembeda di
antara mereka adalah sebarapa besar tingkat ketaqwaan mereka kepada Allah Swt.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Manusia adalah manusia dengan segala
potensialitasnya. Ia dapat memilih hendak mendayagunakan potensialitas itu dan
kemudian menyempurnakan diri menjadi hamba Tuhan yang sebenarnya. Sebagaimana
seperti yang dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa manusia itu memiliki beberapa
redaksi antaranya ialah “al-Nas” yang artinya bahwa manusia itu mempunya jiwa
social. Dengan kata lain bahwa manusia itu saling membutuhkan antar satu sama
lain.
Manusia Sebagai
khalifah fil ardl manusia diberikan kewenangan untuk memanfaatkan bumi
Allah sebagai tempat tinggal. Baik buruknya bumi dipercayakan kepada manusia.
Oleh karena itu, jika saat ini bumi semakin tidak bersahabat maka sebenarnya
keadaan itu adalah ulah tangan-tangan usil manusia sendiri.
Begitu
juga penggunaan kata al-Nas dalam al-Qur’an sebanyak 241 kali dalam ragam penyebutan maksud
yang bermacam-macam. Hal tersebut dapat ditunjukkan oleh suatu ayat dengan
melihat konteks kalimat tersebut atau melihat kolerasi (munasabahnya) dengan
ayat-ayat yang lain.
Dalam penunjukan maknanya, walaupun kata al-nas
merupakan bentuk plural, namun di dalam Al-qur’an ia tidak selalu menunjukkan
kepada makna plural. Adakalanya ia menunjukkan hanya kepada satu orang,
beberapa kelompok manusia dan adakalanya ia menunjukkan makna untuk manusia
secara keseluruhannya.
2. saran
Dengan adanya uraian makalah diatas penulis
mengharapkan agar dapat menambah wawasan dan pemahaman atas konsep manusia
dalam Islam (konsep An-Nas). Dan saaya mengucapkan trerima kasih kepada pihak
yang sudah membantu dalam proses penyusunan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abd
al-Baqi Muhammad Fuad ‘, al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz Al-Qur’an Al-Karim Beirut:
Dar al-Fikr, t.th.
Al-Faruqi
Ismail Raj’I, Islam dan kebudayaan, Bandung: Mizan, 1994
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Depag RI, 2000
Arrazi,
Fakhruddin. Mafatihul Ghaib, Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.
Asy’arie
Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an , Yogyakarta: LESFI,
1992
Asy-Syaukani,
Fathul Qadir, Maktabah Syamilah.Pustaka Ridwana, 2008.
At-Thabari
Abu Ja’far, jami’ul Bayan Fi Takwilil Quran. Maktabah Syamilah. Pustaka
Ridwana, 2008
Az-Zamakhsyari.
Al-Kasysyaf. Maktabah Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008.
Bintusy
Syathi’Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an,
terj. M. Adib al-Arief , Yogyakarta: LKPSM, 1997
http://www.shvoong.com/humanities/1707858-konsep-manusia-dalam-al-quran
Muthahari,
Murthada, Manusia dan Alam Semesta, Jakarta: Lentera, 2002
Najati
Muhammad Utsman, Psikologi dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan
Gangguan Kejiwaan, Bandung: Pustaka Setia, 2005
Shihab
M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 2007
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006
Yusron M.,dkk. Studi Kitab Tafsir
Kontemporer. Yogyakarta: TH Press, 2006
[2] Toto Suharto,
Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzzmedia, 2006) h.91
[3]
Muhammad Utsman Najati, Psikologi
dalam Al-Qur’an: Terapi Qur’ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan,
(Bandung: Pustaka Setia, 2005), h. 11.
[7]
Muhammad Fuad ‘Abd al-Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li
Alfaz Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 153
[8]
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas
Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2007), h. 367.
[9]
Aisyah Abdurrahman Bintusy Syathi’, Manusia Sensitivitas
Hermeneutika Al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief (Yogyakarta: LKPSM, 1997), h.
7.
[10]
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam
Al-Qur’an (Yogyakarta: LESFI, 1992), h. 19.
[15]
http://poetraboemi.wordpress.com/2008/02/20/konsep-manusia-dalam-al-quran/
[21] M. Yusron,dkk. Studi
Kitab Tafsir Kontemporer. (Yogyakarta: TH Press, 2006), h.31-32
[24]
Abu Ja’far at-Thabari, jami’ul Bayan Fi
Takwilil Quran. (Maktabah
Syamilah. Pustaka Ridwana, 2008)
EmoticonEmoticon