BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak lahirnya agama islam, lahirlah pendidikan dan
pengajaran islam, pendidikan dan pengajaran islam itu terus tumbuh dan
berkembang pada masa khulafaurasyidin dan masa bani Umayyah. Pada permulaan
masa Abbasiyah pendidikan dan pengajaran berkembang dengan sangat hebatnya di
seluruh negara islam. Sehingga lahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung
banyaknya, tersebar di kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda
berlomba-lomba untuk menuntut ilmu pengetahuan, pergi kepusat-pusat pendidika,
meninggalkan kampung halamannya karena cinta akan ilmu pengetahuan. Kerajaan
islam di Timur yang berpusat di Bagdad dan Cordova telah menunjukan dalam
segala cabang ilmu pengetahuan sehingga kalau kita buka lembaran sejarah dunia
pada masa keemasan, yang bermula dengan berdirinya kerajaan Abbasiyah di
Bagdad, pada tahun 750 M dan berakhir dengan kerajaan Abbasiyah pada tahun 1258
Masehi.
B. Permasalahan
Dari
uraian di atas pemakalah dapat menarik beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu:
1. Sejarah
Lahirnya Dinasti Abbasiyah
2. Pertumbuhan dan
Perkembangan Pendidikan Islam
3. Pendidikan Islam dan Segala Aspeknya
4. Lembaga-lembaga Pendidikan
5. Kehidupan guru
6. Pola interaksi guru dan siswa pada
pendidikan islam klasik
7. Kurikulum pendidikan islam
8. Perkembangan Ilmu Keislaman
9. Perkembangan Ilmu-ilmu Non Keislaman
(Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain), Para Ilmuan Muslim dan
Kepakarannya
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Lahirnya Dinasti Bani Abbasiyah
Pada periode pertama, pemerintah bani
abbas mencapai keemasannya. Secara politis, para Khalifah
betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agam
sekaligus. Disisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tinggi. Periode
ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Namun, stelah periode iniberakhir pemerintah bani
Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu
pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu Al Abbas, pendiri
dinsti ini, sangat singkat, yaitu dari tahu 750 M sampai 754 M. Kjarena itu,
pembinaan sebesarnya dari daulah Abbasiyah adalah Abu ja’far al Mansyur
(754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannyadari Bani Umaiyah,
khawarij dan juga syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk
mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin jadi saingan bagi
satu-persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamanya sendiri yang ditunjuk sebagi gubernur oleh khalifah sebelumnyadi
Syiria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunih oleh Abu Muslim Al
khursani atas perintah Abu ja’far. Abu Muslim sendiri karena di hawatirkan
akanmenjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.[1]
B.
Pertumbuhan dan
Perkembangan Pendidikan Islam
Pada masa bani Abbasiyah, kebudayaan
dan peradaban sudah lebih maju biladibandingkan dengan bani Umaiyah. Pendidikan
baik ilmu naqli (agama) seperti munculnya ilmu tauhid, hadis,dan ilmu-ilmu
agama lainnya. Demikian pula pengetahuan umum (ilmu naqli) berkembang pula
dengan pesatnya seperti filsafat yunani telah diterima oleh umat. Pada permulan
bani Abbasiyah ilmu pengetahuan dan pendidikan berkembang dengan sangat pesat,
sehingga terlahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya. Tersebar dari
kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut
ilmu pengetahuan, melawat kepusat pendidikan, meniggalkan kampung halamanya
karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Pada masa nabi Muhammad, masa
Khulafaurrasyidin, dan bani Umaiyah tujuan pendidikan hanya satu saja,
keagamaan semata. Mengjar dan belajar krena Allah dan mengharapkan keridhoanya.
Sedangkan pada masa bani Abbasiyah itu telah bermacam-macam karena pengaruh
masyarakat pada masa itu. Tujuan itu dapat disimpulkan sebagai berikut;
1. Tujuan
Keagamaan dan Akhlak
2. Tujuan
Kemasyarkatan
3. Tujuan
Pendidikan
C.
Pendidikan Islam dan Segala Aspeknya
Kekuasaan dinasti bani abbas, sebagaimana disebutkan
melanjutkan kekuasaan dinasti bani Umayyah.Dinamakan khilafah Abbasiyah karena
para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi
Muhammad Saw, dinasti didirikan oleh Abdullah Alsaffah Ibnu Muhammad Ibn Ali
Ibn Abdullah Ibn Al- Abbas.[3]
Dinasti Abbasiyah merupakan dinasti islam yang sempat
membawa kejayaan umat islam pada masanya. Zaman keemasan islam dicapai pada
masa dinasti-dinasti ini berkuasa. Pada masa ini pula umat islam banyak
melakukan kajian kritis terhadap ilmu pengetahuan. Akibatnya pada masa ini
banyak para ilmuan dan cendikiawan bermunculan sehinnnngga membuat ilmu
pengetahuan menjadi maju pesat. Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya
di zaman khalifah Harun Al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya Al-Ma’mum (813-833
M). Kekayaan yang dimanfaatkan Harun Arrasyid untuk keperluan sosial, rumah
sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan farmasi didirikan, pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekittar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun.Tingkat kemakmuran yang paling tinggi
terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan,
ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman
keemasannya.pada masa inilah Negara islam menempatkan dirinya sebagai Negara
terkuat dan tak tertandingi.
Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah
yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mengkaji
penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang
ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi
perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak
terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari
datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan
sinar kebudayaan dan peradaban islam keberbagai penjuru dunia.
Diantara bangunan-bangunan atau sarana untuk pendidikan pada
masa Abbasiyah yaitu:
•
Madrasah
yang terkenal ketika itu adalah madrasah Annidzamiyah, yang didirikan oleh
seorang perdana menteri bernama Nidzamul Muluk (456-486 M). Bangunan madrasah
tersebut tersebar luas di kota Bagdad, Balkan, Muro, Tabaristan, Naisabur dan
lain-lain.
•
Kuttab,
yakni tempat belajar bagi para siswa sekolah dasar dan menengah.
•
Majlis
Munadharah, tempat pertemuan para pujangga, ilmuan, para ulama, cendikiawan dan
para filosof dalam menyeminarkan dan mengkaji ilmu yang mereka geluti.
•
Darul
Hikmah, gedung perpustakaan pusat.[4]
D.
Lembaga-lembaga Pendidikan
a. Lembaga-lembaga pendidikan sebelum
madrasah
Adapun lembaga-lembaga pendidikan islam yang sebelum
kebangkitan madrasah pada masa klasik, adalah[5]:
1) Suffah
Pada masa Rasulullah SAW, suffah
adalah suatu tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan biasanya tempat ini
menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin
disini para siswa diajari membaca dan menghafal al-qur’an secara benar dan
hukum islam dibawah bimbingan langsung dari Nabi, dalam perkembangan
berikutnya, sekolah shuffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar menghitung,
kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu filsafat.
2) Kuttab atau maktab.
Kuttab atau maktab berasal dari kata dasar yang sama, yaitu
kataba yang artinya menulis. Sedangkan kuttab atau maktab berarti tempat untuk
menulis atau tempat dimana dilangsungkan kegiatan tulis menulis.
Philip K. Hitti mengatakan bahwa kurikulum pendidikan
dikuttab ini berorientasi kepada al-qur’an sebagai suatu tex book, hal ini
mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa arab.
Sejarah Nabi hadits, khususnya yang berkaitan dengan Nabi SAW.Bahkan dalam
perkembangan kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu kuttab yang mengajarkan
pengetahuan non agama (secular learning) dan kuttab yang mengajarkan ilmu agama
(religius learning).Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan
bahwa kuttab pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup
dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban helenisme menjadi lembaga
pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.[6]
3) Halaqah.
Halaqah artinya lingkaran. Artinya proses belajar mengajar
disini dilaksanakan dimana murid dan meringkari gurunya. Seorang guru biasanya
duduk dilantai menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar
atas karya pemikiran orang lain. Kegiatan di halaqah ini tidak khusus untuk
megajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum,
termasuk filsafat.
4) Majlis.
Istilah majlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad
pertama islam, mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanakan belajar
mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan islam mengalami
zaman keemasan, majlis berarti sesi dimana aktivitas pengajaran atau
berlangsung.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam islam, majlis
digunakan sebagai kegiatan transfer ilmu pengetahuan sebagai majlis banyak
ragamnya, menurut Muniruddin Ahmad ada 7 (tujuh) macam majlis, sebagai berikut:
a) Majlis al-hadits
b) Majlis al-tadris
c) Majlis al-manazharah
d) Majlis muzakarah
e) Majlis al-syu’ara
f) Majlis al-adab
g) Majlis al-fatwa dan al-nazar
5) Masjid
Semenjak berdirinya di zaman Nabi SAW, masjid telah menjadi
pusat kegiatan dan informasi berbagai masalah kaum muslimin, baik yang
menyangkut pendidikan maupun sosial ekonomi.Namun, yang lebih penting adalah
sebagai lembaga pendidikan.
Perkembangan masjid sangat signifikan dengan perkembangan
yang terjadi di masyarakat, terlebih lagi pada saat masyarakat islam mengalami
kemajuan. Urgensi masyarakat terhadap masjid menjadi semakin kompleks, hal ini
menyebabkan karakteristik masjid berkembang menjadi dua bentuk yaitu mesjid
sebagai tempat sholat jum’at atau jami dan masjis biasa. Kurikulum pendidikan
dimasjid biasanya merupakan tumpuan pemerintah untuk memperoleh
pejabat-penjabat pemerintah, seperti, qodhi, khotib dan iman masjid.
6) Khan.
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang-barang
dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko,
seperti, khan al narsi yang berlokasi di alun-alun karkh di bagdad.
7) Ribarth
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin
menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk
semata- mata ibadah.
8) Rumah – Ulama
Rumah sebenarnya bukan temapat yang
nyaman untuk kegiatan belajar mengajar, namun para ulama dizaman klasik banyak
yang mempergunakan rumahnya secara ikhlas untuk kegiatan belajar mengajar dan
pengembangan ilmu pengetahuan.[7]
9) Toko-toko buku dan perpustakaan.
Toko-toko buku memiliki peranan penting dalam kegiatan
keilmuan islam, pada awalnya memang hanya manjual buku-buku, tetapi berikutnya
menjadi sarana untuk berdiskusi dan berdebat, bahkan pertemuan rutin sering
dirancang dan dilaksanakan disitu.
Disamping tokobuku, perpustakan juga memilki peranan penting dalam
kegiatan transfer keilmuan islam.
10) Rumah sakit.
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai
tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik
tenaga-tenaga yang berhungan dengan perawatan dan pengobatan.Pada masa itu,
percabaan dalam bidang kedokteran dan obat-oibatan dilaksanakan sehingga ilmu
kedoteran dan obat-obatan cukup pesat. Rumah sakit juga merupan tempat
praktikum sekolah kedoteran yang didirikan diluar rumah sakit, rumah sakit juga
berfungsi sebagai lembaga pendidikan .
11) Badiah (padang pasir, dusun tempat
tinggal badui)
Badiah merupakan sumber bahasa arab yang asli dan murni, dan
mereka tetap mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa arab. Oleh karena itu
badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa arab yang asli dan murni.
Sehingga banyak anak-anak khulifah, ulama-ulama dan para ahli ilmu pengetahuan
pergi kebadiah-badiah dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusastraan arab.
Dengan begitu badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.
b. Madrasah
1. Sejarah dan motivasi pendirian
madrasah
Beberapa paradigma dapat digunakan dalam memandang sejarah
dan motivasi pendirian madrasah. Paling tidak ada 3 teori tentang timbulnya
madrasah:
a. Madrasah selalu dikaitkan dengan
nama nidzam al-mulk (W. 485 H/1092 M), salah seorang wajir dinasti saljuk sejak
456 H/1068 M sampai dengan wafatnya, dengan usahanya membangun madrasah
nizhamiyah diberbagai kota utama daerah kekuasaan saljuk begituh dominannya
peran nidzam al-mulk adalah orang pertama yang membangun madrasah.
b. Menurut al-makrizi, ia berasumsi
bahwa madrasah pertama adalah madrasah nizhamiyah yang didirikan tahun 457 H.
c. Madrasah sudah eksis semenjak awal
islam seperti bait al-hikmah yang didirikan Al-Makmun di Bagdad abad ke-3 H.[8]
Dari informasi diterima diatas dapat diketahui bahwa
madrasah yang pertama di Nisyapur.Namun demikian, madrasah itu kurang dikenal
mengingat motivasi pendirian madrasah itu sendiri pada waktu itu masih bersifat
ahliyah (keluarga) berdasarkan wakaf keluarga dan sejarah baru mencatat sesuatu
bila telah menjadi fenomena yang meluas. Lahirnya lembaga pendidikan formal
dalam bentuk madrasah merupakan pengembangan dari sistem pengajaran dan
pendidikan yang pada awalnya berlangsung di mesjid-mesjid. Disisi lain, syalabi
mengemukakan bahwa perkembangan dari masjid ke madrasah terjadi secara tidak
langsung, menurutnya madrasah sebagai konsekuensi logis dari semakin ramainya
pengajian di masjid yang fungsi utamanya adalah ibadah. Agar tidak kegiatan
ibadah, dibuatlah tempat khusus untuk belajar yang dikenal madrasah.
Dengan berdirinya madrasah, maka pendidikan islam mesasuki
periode baru. Yaitu pendidikan menjadi fungsi bagi negara dan madrasah-
madrasah dilembagakan untuk tujuan pendidikan sektarian dan indoktrinasi
politik. Meskipun madrasah sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran didunia
islam baru timbul sekitara abad ke-14 H, ini bukan berarti bahwa sejak awal
perkembangannya islam tidak mempunyai lembaga pendidikan dan pengajaran. Pada
awal telah berdiri madrasah yang menjadi cikal bakal munculnya madrasah
nizamiyah, madrasah tyersebut berada diwilayah Persia, tepatnya di daerah
Nisyapur, misalnya madrasah al- baihaqiyah, madrasah sa’idiyah dan madrasah
yang terdapat di Khusan.
2. Madrasah Nizhamiyah.
Madrasah nizhamiyah merupakan pertotipe awal bagi lembaga
pendidikan tinggi, ia juga dianggap sebagai tonggak baru dalam penyelenggaraan
pendidikan islam, dan merupakan karakteristik tradisi pendidikan islam sebagai
suatu lembaga pendidikan resmi dengan sistem asrama. Pemerintah atau penguasa
ikut terlibat didalam menentukan tujuan, kurikulum, tenaga pengajar, pendanaan,
sarana fisik dan lain-lain. Kendati madrasah nizhamiyah mampu melestarikan
tradisi keilmuan dan menyebarkan ajaran islam dalam persi tertentu. Tetapi
keterkaitan dengan standarisasi dan pelestarian ajaran kurang mampu menunjang
pengembangan ilmu dan penelitian yang inofatif.
3. Madrasah di Mekah dan Madinah.
Informasi tentang madrasah mendapat dukungan banyak dari berbagai
leteratur.Namun sayang para sejarawan tidak cukup tertarik berbicara madrasan
di Mekah dan Madinah.Hal ini mengakibatkan pelacakan informasi tentang permasalahan
tersebut kurang lengkap.Lebih lanjut secara kuantitatif madrasah di Mekah lebih
banyak dibandingkan di Madinah. Diantara madrasah Abu Hanifah, Maliki, madrasah
ursufiyah, madrasah muzhafariah, sedangkan madrasah megah yang dijumpai di
Mekah adalah madrasah qoi’it bey, didirikan oleh Sultan Mamluk di Mesir.
E.
Kehidupan guru
a. Guru dalam pendidikan muslim.[9]
Tinggi rendahnya penghormatan terhadap guru pada awal
abad-abad pendidikan muslim tergantung atas dua faktor, yaitu:
a)
Tempat
dimana dia mengajar, di Persia: penghormatan kepada guru merupakan suatu
tradisi lama dalam pendidikan zoroastrian, tradisi ini dilanjutkan kedalam
periode islam.
b)
Tingkatan
dimana ia belajar. Biasanya, penghormatan kepada guru semakin tinggi terhadap
guru sekolah menengah dan pendidikan tinggi. Guru-guru sekolah dasar kurang
dihargai karena pengetahuannya yang amat sederhana dan karena tingkat pendidikan
tampaknya sudah menjadi daya tarik.
b. Tipe-tipe guru.
Ada enam tipe guru yaitu muallim, mu’addib, mudarris,
syaikh, ustad, imam, belum lagi termasukguru pribadi dan para muaiyyid atau
asisten (guru- guru yunior).Muallim biasanya julukan bagi guru sekolah dasar,
mu’addib, arti harfiyahnya orang yang beradab atau guru adab, adalah julukan
untuk guru-guru sekolah dasar dan menengah, mudarris adalah satu julukan
propesional untuk seorang murid atau pembantu.Ia sama dengan asisten profesor
dan membantu mahasiswa menjelaskan hal-hal yang sulit mengenai kuliah yang
diberikan profesornya, syaikh atau guru besar adalah julukan khusus yang
menggambarkan keunggulan akademis atau teologis, imam adalah guru agama
tertinggi.
c. Pakaian guru
Selama pemerintahan abbasiyah para guru mengikuti gaya
Persia, mengenakan tutup kepala Persia, celana lebar, rok, rompi, dan jaket.
Semuanya ditutup dengan jubah atau aba mantel luar dan taylasan diatas surban.
d. Organisasi guru[10]
Keberadaan guru mempunyai pengaruh yang penting dalam suatu
pemerintahan, bahkan kekuasaannya mempunyai andil yang besar dalam kekuasaan
kholifah, karena guru terhimpun dalam suatu organisasi yang mempunyai fower
yang dapat mengendalikan kepentingan kholifah, khususnya dalam hal pengangkatan
dan pemberian izin untuk menjadi pengajar di masjid.
F.
Pola interaksi guru dan siswa pada
pendidikan islam klasik
a. Pola sikap guru terhadap siswa dalam
interaksi edukatif pada pendidikan islam klasik.
Bentuk pola sikap guru pada pendidikan islam klasik
berdasarkan pada nilai- nilai hubungan yang ada pada pola bentuk sikap
Rasulullah dan Sahabat dalam mendakwahkan islam, yaitu pola keikhlasan, pola
kekeluargaan, pola kesederajatan dan pola uswatun hasanah.
ü Pola keikhlasan
Pola keikhlasan mengandung makna bahwa interaksi yang
berlangsung bertujuan agar siswa dapat menguasai ilmu pengetahuan yang
diajarkan tanpa mengharap ganjaran materi dari interaksi tersebut, dan
menganggap interaksi itu berlangsung sesuai dengan panggilan jiwa dan untuk
mengabdikan diri kepada Allah SWT.
ü Pola kekeluargaan
Pada masa ini guru memposisikan dirinya dan siswa seperti
orang tua dan anak, artinya mereka mempunyai tanggung jawab yang penuh dalam
pendidikan tersebut, dan mencurahkan kasih sayang seperti menyayangi anak
sendiri.
Pada
pola ini guru senantiasa bersikap:
•
Lemah
lembut dalam proses belajar mengajar.
•
Bijaksana
dalam memberikan pujian atau hadiah dan hukuman pada anak.
•
Guru
tidak bersikap pilih kasih.
ü Pola kesederajatan
Guru dalam interaksinya senantiasa memunculkan sikap tawadhu
terhadap siswanya, pola interaksi seperti ini membuat guru menghargai potensi
yang dimiliki anak. Dengan demikian pola yang dimunculkan bernuansa demokratis,
guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menyampaikan sesuatu yang belum
dimengerti.
ü Pola al uswah al hasanah
Pada pendidikan islam klasik, interaksi yang terjadi antara
guru dan siswa tidak hanya terjadi pada proses belajar mengajar, tetapi
berlangsung juga di tengah masyarakat, dimana guru menjadi agen moral sekaligus
model dari moral yang diajarkan.[11]
b. Pola sikap siswa terhadap guru dalam
interaksi edukatif
ü Pola ketaatan
Ketaatan seorang siswa terhadap gurunya membawa barokah
dalam proses pencarian ilmu. Untuk itu, maka siswa dalam interaksi dengan guru
merupakan upaya mencari ridhonya (kerelaan hatinya). Gambaran ketaatan siswa dalam interaksinya
dengan guru dibagi 2 (dua), yaitu:
a) Ketaatan terhadap guru secara
langsung, yaitu jangan berjalan didepan guru, jika bertamu kerumah guru
hendaknya tidak mengetuk pintu, tetapi cukup menunggu diluar, dan lain-lain.
b) Ketaatan terhadap keluarga guru,
menghormati guru dan semua orang yang mempunyai
ikatan keluarga dengan guru
ü Pola kasih sayang
Menurut ibn naiskawaih, kewajiban antara siswa terhadap guru
berada diantara cinta terhadap Allah dan cinta kepada orang tua, karena menurut
Ibnu Miskawaih, guru merupakan penyebab eksistensi hakiki kita dan penyebab
kita memperoleh kebahagiaan sempurna.
ü Pola komunikasi guru dan siswa dalam
proses belajar mengejar pada pendidikan islam klasik. Pendidikan islam pada
masa ini sudah mengenal beberapa bentuk komunikasi dalam proses belajar
mengajar, yaitu:
Ø Pola satu arah
Pada pola komunikasi terjadi hanya satu arah, seorang guru
bertindak sebagai instruktur dan senantiasa mendorong siswa untuk lebih
menghapal.
Ø Pola banyak arah
Pola ini komunikasi terjadi tidak hanya antara guru dan
siswa, tetapi siswa dan guru, siswa dan siswa.Ini berlangsung dalam diskusi dan
perdebatan masalah-masalah ilmiah.[12]
G.
Kurikulum pendidikan islam
a. Kurikulum pendidikan rendah
Sebelum berdirinya madrasah, tidak ada tingkatan dalam
pendidikan islam, tetapi hanya satu tingkat yang bermula dikuttab dan berakhir
didiskusi halaqah. Tidak ada kurikulum khusus yang diikuti oleh seluruh umat
islam, dilembaga kuttab biasanya diajarkan membaca dan menulis disamping al- qur’an,
kadang diajarkan bahasa nahwu dan arudh.
Sedangkan kurikulum yang ditawarkan oleh Ibnu Sina untuk
tingkat ini adalah mengajari al-qur’an, karena anak-anak dari segi fisik dan
mental telah siap menerima pendiktean.Namun demikian, ada perbedaan antara
kuttab-kuttab yang diperuntukanbagi masyarakat umum yang ada diistana.Di istana
orang tua (para pembesar istana) adalah yang membuat rencana pelajaran tersebut
sesuai dengan anaknya dan tujuan yang dikehendaki. Rencana pelajaran untuk
pendidikan istana ialah pidato, sejarah, peperangan- peperangan, cara bergaul
dengan masyarakat disamping pengetahuan pokok, seperti al-qur’an, syair dan
bahasa.
Kurikulum pada tingkat ini bervariasi tergantung pada
tingkat kebutuhan masyarakat, karena sebuah kurikulum dibuat tidak akan pernah
lepas dari faktor sosiologis, politis, ekonomis masyarakat yang melingkupinya. [13]
b. Kurikulum pendidikan tinggi.
Kurikulum pendidikan tinggi, berpariasi tergantung pada
syaikh yang mau mengajar para mahasiswa tidak terikat untuk mempelajari mata
pelajaran tertentu, demikian juga guru tidak mewajibkan kepada mahasiswa untuk
mengikuti kurikulum tertentu.Kurikulum pendidikan tingkat ini dibagi kepada dua
jurusan, jurusan ilmu-ilmu agama dan jurusan ilmu pengetahuan.
Al-Khuwarazmi (Yusuf al-kutub, tahun 976) meringkas
kurikulum agama sebagai berikut: Ilmu Fiqih, ilmu nahwu, ilmu kalam, ilmu
kitabah (sekretaris), ilmu arudh, dan lain-lain.
Ikhwan
Al-Ahafa mengklasifikasikan ilmu-ilmu umum kepada:
1) Disiplin-disiplin umum: tulis baca,
arti baca gramatika, ilmu hitung, satra, ilmu tentang tanda dan isyarat, ilmu
sihir, jimat, kimia, sulap, dagang, dan sebagainya.
2) Ilmu-ilmu filosofis: matematika,
logika, ilmu angka- angka, geometri, astronomi, musik, aritmatika dan
hukum-hukum geometri, dan sebagainya.
1. Kurikulum setelah berdirinya madrasah.
Pada zaman keemasan islam, aktivitas-aktivitas kebudayaan
pendidikan islam tidak mengizinkan teologi dan dugma membatasi ilmu pengetahuan
mereka, mereka meyelidiki setip cabang ilmu pengetahuan manusia, baik
psikologi, sejarah, historiografi, hukum, sosiologi, kesustraan, etika,
filsafat, teologi, kedokteran, matematika, logika, seni, arsitektur.
Sejalan dengan perkembangan zaman dan tingkat kebutuhan,
mendirikan madrasah dianggap krusial. Pendirian lembaga pendidikan tinggi islam
ini terjadi di bawah patronase wazir Nizam Al-Mulk (1064 M). Biasanya sebuah
madrasah dibangun untuk seorang ahli fiqih yang termasyhur dalam suatu mazhab
yang empat. Umpamanya Nuruddin Mahmud bin Zanki telah mendirikan di Damaskus
dan Halab beberapa madrasah untuk mazhab Hanafi dan Syafi’i dan telah dibangun
juga sebuah madrasah untuk mazhab ini di kota Mesir. Berdirinya madrasah, pada
satu sisi, merupakan sumbangan islam bagi peradaban sesudahnya, tapi pada sisi
lain membawa dampak yang buruk bagi dunia pendidikan setelah hegomoni negara
terlalu kuat terhadap madrasah ini. Akibatnya kurikulum madrasah ini dibatasi
hanya pada wilayah hukum (fiqih) dan teologi.”pemakruhan” penggunaan nalar
setelah runtuhnya Mu’tazilah, ilmu- ilmu profan yang sangat dicurigai dihapus
dari kurikulum madrasah, mereka yang punya minat besar terhadap ilmu-ilmu ini
terpaksa belajar sendiri-sendiri.Karenanya ilmu-ilmu profan banyak berkembang
di lembaga nonformal.
H.
Perkembangan Ilmu Keislaman
Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju, terutama
melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan dibidang ilmu
pengetahuan umum.Tetapi juga ilmu pengetahuan agama.Dalam bidang tafsir, sejak
awal sudah dikenal dua metode penafsiran, pertama, tafsir bi al-ma’tsur yaitu,
interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi SAW dan para
sahabatnya.Kedua, tafsir bi al-ra’yi yaitu metode rasional yang lebih banyak
bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat.
Kedua metode ini memang berkembang pada masa pemerintahan Abbasiyah, akan
tetapi jelas sekali bahwa tafsir dengan metode bi al ra’yi (tafsir rasional),
sangat dipengaruhi oleh perkembangan pemikiranfilsafat dan ilmu pengetahuan,
hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fiqh, dan terutama dalam ilmu teologi perkembangan
logika dikalangan umat islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu
tersebut.[14]
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya di pengaruhi ole perkembangan yang terjadi di
Kuffah, kota yang berada ditengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi, karena itu
mazhab ini lebih banyak menggunakan pemikiran rasional dari pada hadis.
Muridnya dan sekaligus pelanjutnya, Abu Yusuf, menjadi Qodhi Al-Qudhal dizaman
Harun Al-Rasyid.
Berbeda dengan Abu Hanifah, imam Malik (713-795 M) banyak
menggunakan hadis dan tradisi masyarakat madmah. Pendapat dua tokoh mazhab
hukum ditengahi oleh imam Syafi’i (767-820 M) dan imam Ahmad ibn Hambal (780-
855 M).Disamping empat pendiri mazhab besar tersebut, pada masa pemerintahan
bani Abbas banyak mujtahid mutlak lain yang mengeluarkan pendapatnya secara
bebas dan mendirikan mazhabnya pula, akan tetapi karena pengikutnya tidak
berkembang pemikiran dan mazhab itu hilang bersama berlalunya zaman.
Aliran teologi sudah ada sejak masa bani Umayah, seperti
khawarij, murji’ah, dan mu’tazilah, akan tetapi perkembangan pemikirannya masih
terbatas. Teologi rasional mu’tazilah muncul diujung pemerintahan bani
Umayah.Namun pemikirannya yang sudah kompleks dan sempurna baru dirumuskanpada
masa pemerintahan bani Abbas periode pertama.Selain itu dalam bidang sastra,
penulisan hadis juga berkembang pesat pada masa bani Abbas.Hal itu mungkin
terutama disebabkan oleh tersedianya pasilitas dan transportasi, sehingga
memudahkan para pencari dan penulis hadis bekerja, dan hadis merupakan sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an.
Dan pada zaman bani Abbasiyah juga ilmu tasawuf dan ilmu
bahasa mengalami kemajuan, ilmu tasawuf adalah ilmu syari’at.Inti ajarannya
adalah tekun beribadah dengan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah dan
meninggalkan kesenangan perhiasan dunia dan bersembunyi diri beribadah.dalam
ilmu bahasa ini didalamnya mencakup ilmu nahwu, shorof, ma’any, bayan, badi’,
arudl, dan lain-lain. Ilmu bahasa pada daulah bani Abbasiyah berkembang dengan
pesat, karena bahasa arab semakin berkembang memerlukan ilmu bahsa yang
menyeluruh.[15]
I.
Perkembangan Ilmu-ilmu Non Keislaman
(Kedokteran, Filsafat, Astronomi, dan lain-lain), Para Ilmuan Muslim dan
Kepakarannya
a. Kedokteran
Seiring dengan ilmu-ilmu lain, ilmu kedokteran juga sempat
mencapai masa keemasannya, daulah Abbasiyah telah melahirkan banyak dokter
ternama. Sekolah-sekolah tinggi kedokteran banyak didirikan diberbagai tempat,
begitulah rumah-rumah sakit besar yang berfungsiselain sebagai perawatan para
pasien,juga sebagai ajang peraktek para dokter dan calon dokter. Diantaranya
sekolah tinggi kedokteran yang terkenal:
·
Sekolah
tinggi kedokteran di Yunde Shafur (Iran)
·
Sekolah
tinggi kedokteran di Harran (Syria)
·
Sekolah
tinggi kedokteran di Bagdad.
Adapun para dokter yang populer pada masa itu antara lain:
·
Abu
Zakaria Yuhana bin Miskawaih, seorang ahli formasi di rumah sakit Yunde Shafur.
·
Sabur
bin sahal, direktur rumah sakit Yunde Shafur.
·
Hunain
bin Ishak (194-264 H/ 810-878 M) seoranng ahli penyakit mata ternama.
·
Abu
Zakaria Ar-Razy kepala rumah sakit di Bagdad dan seorang dokter ahli penyakit
campak dan cacar, dan dia juga orang pertam yang menyusun buku mengenai
kedokteran anak.
·
Ibnu
Sina (370-428 H/ 980-1037 M). Ia seorang ilmuan yang multi dimensi, yakni
selain mengasai ilmu kedokteran, juga ilmu-ilmu lai, seperti filsafat dan
sosiologi. Ibnu Sina berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia
diantara karyanya adalah Al- Qur’an fi al rhibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran paling besar dalam sejarah.[16]
b. Filsafat
Melalui proses penerjemahan buku-buku filsafat yang
berbahasa Yunani para ulama muslim banyak mendalami dan mengkaji filsafat serta
mengadakan perubahan serta perbaikan sesuai dengan ajaran islam. Sebab itulah
lahirla filsafat islam yang akhirnya menjadi bintangnya dunia filsafat diantara
para ahli filsafat yang terkenal pada waktu itu adalah:
·
Abu
Ishak Al-Kindi (1994-260 H/809-873 M). ia adalah satu-satunya filosof
berkebangsaan asli arab, yakni dari suku kindah, karya-karyanya tidak kurang
dari 236 buah buku.
·
Abu
Nasr Al-Faraby (390 H/961 M), Al Farabi banyak menulis buku tentang filsafat,
logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles
dan karyanya tak kurang dari 12 buah buku.
·
Al-Ghazali
(450-505 H/1058-1101 M), beliau dijuluki sebagai hujjatul islam, karyanya tidak
kurang dari 70 buah diantaranya:
a)
Al
Munqidz Minadlalal
b)
Tahafutul
Falasifah
c)
Mizanul
Amal
d)
Ihyaulumuddin
e)
Mahkun
Nazar
f)
Miyazul
Ilmi, dan
g)
Maqashidul
Falasifah
·
Ibnu
Rusyd di barat lebih dikenal dengan nama Averoes, banyak berpengaruh di barat
dalam bidang filsafat, sehingga disana terdapat aliran yang disebut averroisme.[17]
c. Ilmu Astronomi
Ilmu astronomi atau perbintangan berkembang dengan baik,
bahkan sampai mencapai puncaknya, kaum muslimin pada masa bani Abbasiyah
mempunyai modal yang terbesar dalam mengembanngkan ilmu perhitungan.Mereka
menggodok dan mempersatukan aliran-aliran ilmu bintang yang berasal atau dianut
oleh Yunani, Persia, India, Kaldan. Dan ilmu falak arab jahiliyah. Ilmu bintang
memegang peranan penting dalam menentukan garis politik para khalifah dan amir.
Diantara para ahli ilmu astronomi pada masa ini adalah:
·
Al-battani
atau Albatagnius, seorang ahli astronomi yang terkenal dimasanya.
·
Al-Fazzari,
seorang pencipta atrolobe, yakni alat pengukur tinggi dan jarak bintang.
·
Abul
Wafak, seorang menemukan jalan ketiga dari bulan, jalan kesatu dan kedua telah
ditemukan oleh ilmuan yang berkebangsaan Yunani.
·
Rahyan
Al Bairuny, seorang astronomi.
·
Abu
Mansyur Al Falaky, seorang ahli ilmu falaq.
Untuk mendukung perkembangan ilmu ini, para khalifah telah
banyak membangun observatorium diberbagai kota, disamping observatorium milik
pribadi ilmuan.
d. Ilmu Matematika
Bidang ilmu matematika juga mengalami kemajuan pesat,
diantara para tokohnya yaitu:
·
Umar
Al Farukhan, seorang insinyur dan arsitek kota Bagdad.
·
Al-Khawarizmi,
seorang pakar matematika muslim yang mengarang buku Al- Gebra (Al-jabar). Dan
dia juga yang menemukan angka nol.
e. Ilmu Farmasi dan Kimia
Pakar ilmu farmasi dan kimia pada masa dinasti Abbasiyah
sebenarnya sangat banyak, tetapi yang paling terkenal adalah ibnu Baithar.Ia
adalah seorang ilmuan farmasi yang produktif menulis, karyanya adalah Almughni
(memuat tentang obat-obatan) dan lain-lain.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Masa pemerintahan Abu Al Abbas, pendiri
dinsti ini, sangat singkat, yaitu dari tahu 750 M sampai 754 M. Kjarena itu,
pembinaan sebesarnya dari daulah Abbasiyah adalah Abu ja’far al Mansyur
(754-775 M). Dia dengan keras menghadapi lawan-lawannyadari Bani Umaiyah,
khawarij dan juga syi’ah yang merasa dikucilkan dari kekuasaan. Untuk
mengamankan kekuasaannya, tokoh-tokoh besar yang mungkin jadi saingan bagi
satu-persatu disingkirkannya. Abdullah bin Ali dan Shalih bin Ali, keduanya
adalah pamanya sendiri yang ditunjuk sebagi gubernur oleh khalifah sebelumnyadi
Syiria dan Mesir, karena tidak bersedia membaiatnya, dibunih oleh Abu Muslim Al
khursani atas perintah Abu ja’far. Abu Muslim sendiri karena di hawatirkan
akanmenjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M. Pada masa bani
Abbasiyah, kebudayaan dan peradaban sudah lebih maju biladibandingkan dengan bani
Umaiyah. Pendidikan baik ilmu naqli (agama) seperti munculnya ilmu tauhid,
hadis,dan ilmu-ilmu agama lainnya. Demikian pula pengetahuan umum (ilmu naqli)
berkembang pula dengan pesatnya seperti filsafat yunani telah diterima oleh
umat. Pada permulan
bani Abbasiyah ilmu pengetahuan dan pendidikan berkembang dengan sangat pesat,
sehingga terlahir sekolah-sekolah yang tidak terhitung banyaknya. Tersebar dari
kota sampai ke desa-desa. Anak-anak dan pemuda-pemuda berlomba-lomba menuntut
ilmu pengetahuan, melawat kepusat pendidikan, meniggalkan kampung halamanya
karena cinta akan ilmu pengetahuan.
Al- Ma’mun pengganti Al- Rasyid, dikenal sebagai khalifah
yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan
buku-buku asing digalakan, untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia mengkaji
penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut golongan lain yang
ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait Al- Hikmah, pusat penerjemah yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar dan menjadi
perpustakaan umum dan diberi nama ”Darul Ilmi” yang berisi buku-buku yang tidak
terdapat di perpustakaan lainnya. Pada masa Al-Ma’mun inilah Bagdad mulai
menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, kekota inilah para pencari
datang berduyun-duyun, dan pada masa ini pula kota Bagdad dapat memancarkan
sinar kebudayaan dan peradaban islam keberbagai penjuru dunia.
f.
DAFTAR PUSTAKA
Djazimi,
dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Serang: IAIN ”SMH” Banten, 2001
Langgulung
Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Alhusna Zikra, 2000
Mahrus
As’ad, Sejarah Kebudayaan Islam, Bandung: Amico, 1994
Nakosteen
Mehdi, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, Surabaya: Risalah Gusti,
2003Nata Abuddin, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Raja Grafika Persada,
2004
Tafsir Ahmad,
Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
Yatim, Badri
Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002
http://www.scribd.com/doc/17392541/Pendidikan-Islam-Pada-Zaman-Bani-Abbasiyah
[5]Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Raja
Grafika Persada, 2004), h. 32-42
[10]Mehdi
Nakosteen, Kontribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat, (Surabaya: Risalah
Gusti, 2003), h. 76-77
[16]Mahrus As’ad, Op.cit, h. 26
[17]Ibid, h. 26-27
1 komentar so far
numpang share.... semoga bermanfaat.
EmoticonEmoticon