BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Mafhum atau
konsep tentang manusia selalu dikaji dan digali sejak kemunculan manusia itu
sendiri hingga kini. Artinya pengkajian dan penggalian terus berlanjut meski
belum menemukan kata pasti, atau masih misteri, menurut istilah Alexis Carrel,
karena beragam pemikiran dan pandangan subyektivitas yang tak terhindarkan.
Alquran yang tema sentralnya manusia mungkin belum banyak diungkap. Gambaran
Alquran yang beraneka ragam yang merujuk kepada pandangan tentang manusia antara
lain al-Basyar yang lazim diartikan manusia sebagai makhluk biologis, namun
tetap dituntut dan dituntun mengikuti norma dan nilai-nilai etis. Tulisan ini
diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam upaya manusia menemukan
hakekat dan jati dirinya dari sudut pandangan Alquran. Upaya pencarian jatidiri
bagi manusia adalah sebuah persoalan yang tetap aktual sepanjang masa kehidupannya
dan tak pernah usai.[1]
Pencarian
hakekat manusia yang hanya bertumpu pada pandangan yang subjektif, yang
meletakkan pandangan manusia sebagai satu-satunya cara untuk menentu-kan
pamahaman terhadap hakekatnya sendiri terasa belum sepenuhnya memadai. Hal ini
karena persoalan hakekat manusia hanyalah semata-mata dilihat dari sudut
pan-dangan manusia sendiri sebagai obyek studi yang terlepas dari Penciptanya,
sehingga mengabaikan sudut pandangan penciptanya. Padahal sudut pandangan
Penciptanya tentang penciptaannya merupakan hal yang sangat fundamental untuk
memahami sebuah penciptaan (Asy’ari, 1992: 11).
Meskipun
Alquran menggambarkan manusia dengan berbagai istilah, Namun dalam tulisan ini
penulis hanya akan mencoba mendeskripsikan mengenai pengertian dan konsepsi
al-Basyar dalam Alquran dengan bahan referensi yang sangat terbatas.
B. Rumusan Masalah
Sesuai
dengan apa yang menjadi latar belakang dalam pembahasan kami maka kami sebagai
penaji makalah ini memberikan batasan permasalahan agar supaya tidak melebar
dan menjadi panjang pembahasannya berhubung terbatasnya waktu dalam pembahasan
ini. Adpaun yang kami ankat dalam makalah ini adalah bagaimana konsep Basyar
dalam pendidikan dan sejarah Islam ?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat manusia
Masalah
manusia adalah terpenting dari semua
masalah. Peradaban hari ini didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta
pemujaan terhadap manusia. Ada pendapat bahwa agama telah menghancurkan
kepribadian manusia serta telah memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama
telah memamaksa ketika berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak
berkuasa.[2]
Bagi Iqbal
ego adalah bersifat bebas unifed dan immoratal dengan dapat diketahui secara
pasti tidak sekedar pengandaian logis. Pendapat tersebut adalah membantah tesis
yang dikemukanakn oleh Kant yang mengatakan bahwa diri bebas dan immortal tidak
ditemukan dalam pengalaman konkit namun secara logis harus dapat dijatikan
postulas bagi kepentingan moral. Hal ini dikarenakan moral manusia tidak masuk
akal bila kehidupan manusia yang tidak bebas dan tidak kelanjutan kehidupannya
setelah mati. Iqbal memaparkan pemikiran ego terbagi menjadi tiga macam
pantheisme, empirisme dan rasionalisme.
Pantheisme
memandang ego manusia sebagai non eksistensi dimana eksistensi sebenarnya
adalah ego absolut. Tetapi bagi Iqabal bahwa ego manusia adalah nyata, hal
tersebut dikarenakan manusia berfikir dan manusia bertindak membuktikan bahwa
aku ada.[3]
Empirisme memandang ego sebagai poros pengalaman-pengalaman yang silih berganti
dan sekedar penanaman yang real adalah pengalaman. Benak manusia dalam
pandangan ini adalah bagaikan pangging teater bagai pengalaman yang silih
berganti. Iqbal menolak empirisme orang yang tidak dapat menyangkal tentang
yang menyatukan pengalaman. Iqbal juga menolak rasionalisme ego yang diperoleh
memlalui penalaran dubium methodicum (semuanya bisa diragukan kecuali aku
sedang ragu-ragu karena meragukan berarti mempertegas keberadaannya). Ego yang
bebas, terpusat juga dapat diketahui dengan menggunakan intuisi. Menurut Iqbal
aktivitas ego pada dasarnya adalah berupa aktivitas kehendak. Baginya hidup adalah
kehendak kreatif yang bertujuan yang bergearak pada satu arah. Kehendak itu
harus memiliki tujuan agar dapat makan kehendak tidak sirna. Tujuan tersebut
tidak ditetapakan oleh hukum-hukum sejarah dan takdir dikarenakan manusia
kehendak bebas dan berkreatif.[4]
Hakekat
manusia harus dilihat pada tahapannya nafs, keakuan, diri, ego dimana pada
tahap ini semua unsur membentuk keatuan diri yang aktual, kekinian dan dinamik,
dan aktualisasi kekinian yang dinamik yang bearada dalam perbuatan dan amalnya.
Secara subtansial dan moral manusia lebih jelek dari pada iblis, tetapi secara
konseptual manusia lebih baik karena manusia memiliki kemampuan kreatif.
Tahapan nafs hakekat manusia ditentukan oleh amal, karya dan perbuatannya,
sedangkan pada kotauhid hakekat manusai dan fungsinya manusia sebagai ‘adb dan
khalifah dan kekasatuan aktualisasi sebagai kesatuan jasad dan ruh yang
membentuk pada tahapan nafs secara aktual
Bagi Freire
dalam memahami hakekat manusia dan kesadarannya tidak dapat dilepaskan dengan
dunianya. Hubungan manusia harus dan selalu dikaitkan dengan dunia dimana ia
berada. Dunia bagi manusia adalah bersifat tersendiri, dikarenakan manusia
dapat mempersepsinya kenyataan diluar dirinya sekaligus mempersepsikan
keberadaan didalam dirinya sendiri. Manusia dalam kehadirannya tidak pernah
terpisah dari dunidan hungungganya dengan dunia manusia bersifat unik. Status
unik manusia dengan dunia dikarenakan manusia dalam kapasistasnya dapat
mengetahui, mengetahui merupakan tindakan yang mencerminkan orientasi manusia
terhdap dunia. Dari sini memunculkan kesadaran atau tindakan otentik,
dikarenakan kesadaran merupakan penjelasnan eksistensi penjelasan manusia
didunia.
Orientasi
dunia yang terpuasat oleh releksi kritiuas serta kemapuan pemikiran adalah
proses mengetahui dan memahami. Dari sini manusia sebagaiu suatu proses dan ia
adalah mahluk sejarah yang terikat dalam ruang dan waktu. Manusia memiliki
kemapuan dan harus bangkit dan terlibat dalam proses sejarah dengan cara untuk
menjadi lebih. Manusia dalam konsep al Quran mengunakan kensep filosofis,
seperti halnya dalam proses kejadian adam mengunakan bahasa metaforis filosofis
yang penuh makna dan simbol.
Ruh Tuhan
dan lempung busuk merupakan dua simbol individu. Secara aktual manusia tidak
diciptakan dari lempung busuk (huma’in masnun) ataupun ruh Tuhan. Karena kedua
istilah itu harus dikasih makna simbolis. “Lempung busuk” merupakan simbol
kerendahan stagnasi dan pasifitas mutlak. Ruh Tuhan merupakan simbol dari gerak
tanpa henti kearah kesempurnaan dan kemuliaan yang tak terbatas.[5]
Pernyataan al Quran manusia merupakan gabungan ruh Tuhan dan lempung busuk.
Manusia adalah suatu kehendak bebas dan bertanggungjawab menempati suatu
stasiun antara dua kutub yang berlawanan yakni Allah dan Syaitan. Gabungan tersebut
menjadikan mansuia bersifat dialektis. Hal ini yang menjadikan manusia sebagai
realitas dialektis. Dari dialektika tersebut menjadikan manusia berkehendak
bebas mampu menentukan nasibnya sendiri dan bertanggung jawab. Manusia yang
ideal menurut ‘Ali Syariati adalah manusia yang telah mendialektikakan ruh
tuhan dengan lempung dan yang dominant dalam dirinya adalah ruh Tuhan.
Manusia
merupakan mahluk yang unik yang menjadi salah satu kajian filsafat, bahkan
dengan mengkaji manusia yang merupakan mikro kosmos. Dalam filsafat pembagian
dalam melihat sesuatu materi yang terbagi menjadi dua macam esensi dan
eksistensi. Begitu pula manusia dilihat sebagai materi yang memiliki dua macam
bagian esensi dan eksistensi. Manusia dalam hadir dalam dunia merupakan bagian
yang berada dalam diri manusia esensi dan eksistensi.[6]
Esensi dan eksistensi manusia ini yang menjadikan manusia ada dalam muka bumi.
Esensi dan eksistensi bersifat berjalan secara bersamaan dan dalam perjalananya
dalam diri manusia ada yang mendahulukan esensi dan juga eksistensi. Manusia
yang menjalankan esensi menjadikan ia bersifat tidak bergerak dan menunjau
lebih dalam saja tanpa melakukan aktualisasi.
Begitu pula
manusia yang menjalankan eksistensi tanpa melihat esensi maka yang terjadi ia
hanya ada tetapi tidak dapat mengada. Seperti yang telah dikekmukakan oleh ‘Ali
Syariati bahwa esensi manusia merupakan dialektika antara ruh Tuhan dengan
lempung dari dialektika tersebut menjadikan manusia ada dalam mengada. Proses
mengadanya manusia merupakan refleksi kritis terhadap manusia dan realitas
sekitar. Sebagaimana perkataan bijak yang dilontarkan oleh socrates bahwa hidup
yang tak direfleksikan tak pantas untuk dijalanani. Refleksi tersebut
menjadikan manusia dapat memahami diri sendiri, realitas alam dan Tuhan.
Manusia yang memahami tentang dirinya sendiri ma ia akan memahami Penciptanya.[7]
Proses pemahaman diri dengan pencipta menjadikan manusia berproses menuju
kesempurnaan yang berada dalam diri manusia. Proses pemahaman diri dengan
refleksi kristis diri, agama dan realitas, hal tersebut menjadikan diri manusia
menjadi insan kamil atau manusia sempurna
Bagan Esensi dan Eksistensi Manusia
No
|
Eksistensi manusia
|
Esensi Kesadaran Fitrah (Basic Human Drives)
|
Basic Human Values (Basic Islamic Values)
|
Kebutuhan Dasar (Basic Human Needs)
|
|
1
|
Al Insan
|
Rasa ingin
tahu
|
Intelektual
|
Intelektual
|
|
2
|
Al Basyar
|
Rasa
lapar, haus, dingin
|
Biologis
|
Biologis
|
|
3
|
Abdullah
|
Sara ingin
berterimakasih dan bersykur kepada tuhan
|
Spiritual
|
Spiritual
|
|
4
|
An-Nas
|
Rasa tahan
sendiri dan menderita dalam kesepian
|
Sosial
|
Sosial
|
|
5
|
Khalifah
fil ardli
|
Butuh
keamanan, ketertiban, kedamaian, kemakmuran, keadilan dan keindahan
lingkungan
|
Estetika
|
Estetika
|
|
Manusia yang
melakukan refleksi menyadari bahwa ia mahluk yang berdimensional dan bersifat
unik. Manusia menjadikan ia yang bertanggungjawab pada eksistensinya yang
berbagai macam dimensi tersebut. Manusia dalam eksistensinya sebagai al insan,
al basyar, ‘abdullah, annas, dan khalifah. Manusia dalam eksistensi tersebut
dikarenakan potensi yang berada dalam diri manusia seperti intelektual,
bilogis, spiritual, sosial dan estetika. Sifat dari manusia tersebut adalah
mahluk yang bebas berkreatif dan mahluk bersejarah dengan diliputi oleh
nilai-nilai trasendensi yang selalu menuju kesempurnaan.[8]
Hal tersebut menjadikan manusia yang memiliki sifat dan karaktersistik
profetik. Pembebasan yang dilakukan oleh manusia adalah pembebasan manusia dari
korban penindasan sosialnya dan pembebasan dari alienasi antara eksistensi dan
esensinya sehingga manusia menjadi diri sendiri, tidak menjadi budak orang
lain. Manusia yang bereksistensi dalam kelima tersebut menjadikan ia sebagai
mahluk pengganti Tuhan dan menjalankan tugas Tuhan dalam memakmurkan bumi.
B.
Kedudukan dan peran manusia
Manusia sebagai
mahluk yang berdimensional memiliki peran dan kedudukan yang sangat mulia.
Tetapi sebelum membahas tentang peran dan kedudukan, pengulangan kembali
tentang esensi dan eksistensi manusia. Manusia yang memiliki eksistensi dalam
hidupnya sebagai abdullah, an-nas, al insan, al basyar dan khalifah. Kedudukan
dan peran manusia adalah memerankan ia dalam kelima eksistensi tersebut.
Misalkan sebagai khalifah dimuka bumi sebagai pengganti Tuhan manusia disini
harus bersentuha dengan sejarah dan membuat sejarah dengan mengembangkan esensi
ingin tahu menjadikan ia bersifat kreatif dan dengan di semangati nilai-nilai
trasendensi.
Manusia dengan Tuhan
memiliki kedudukan sebagai hamba, yang memiliki inspirasi nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang tertanam sebagai penganti Tuhan dalam muka bumi. Manusia
dengan manusia yang lain memiliki korelasi yang seimbang dan saling
berkerjasama dala rangka memakmurkan bumi.[9]
Manusia dengan alam sekitar merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan
rasa syukur kita terhadap Tuhan dan bertugas menjadikan alam sebagai subjek
dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Setiap apa yang dilakukan oleh
manusia dalam pelaksana pengganti Tuhan sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
Maqasid asy-syari’ah merupakan tujuan utama diciptanya sebuah hukum atau
mungkin nilai-esensi dari hukum, dimana harus menjaga agama, jiwa, keturunan,
harta, akal dan, ekologi. Manusia yang memegang amanah sebagai khalifah dalam
melakukan keputusan dan tindakannya sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.[10]
C.
Tujuan hidup manusia
Pada
hakikatnya tujuan manusia dalam menjalankan kehidupannya mencapai perjumpaan
kembali dengan Penciptanya. Perjumpaan kembali tersebut seperti kembalinya air
hujan kelaut. Kembalinya manusia sesuai dengan asalnya sebagaimana dalam
dimensi manusia yang berasal dari Pencipta maka ia kembali kepada Tuhan sesuai
dengan bentuknya misalkan dalam bentuk imateri maka kembali kepada pencinta
dalam bentuk imateri sedangkan unsur mteri yang berada dalam diri manusia akan
kembali kepada materi yang membentuk jasad manusia. Perjumpaan manusi dengan
Tuhan dalam tahapan nafs, yang spiritual dikarenakan nafs spiritual yang sangat
indah dan Tuhan akan memanggilnya kembali nafs tersebut bersamanya.
Nafs yang
dimiliki oleh manusia merupakan nafs yang terbatas akan kembali bersama nafs
yang mutlak dan tak terbatas, dan kembalinya nafs manusia melalui ketauhidan
antara iman dan amal sholeh. Pertemuan nafs manusia dengan nafs Tuhan merupakan
perjumpaan dinamis yang sarat muatan kreatifitas dalam dimensi spiritualitas
yang bercahaya. Kerjasama kreatifitas Tuhan dengan manusia dan melalui
keratifitasnya manusia menaiki tangga mi’raj memasuki cahaya-Nya yang merupakan
cahaya kreatifitas abadi
Proses bertemunya
nafs manusia dengan Tuhan dalam kondisi spiritual tercapai jika manusai
berusaha membersihkan diri dari sifat yang buruk yang ada padanya. Perjumpaan
nafs tersebut dapat dilihat pada sufi yang memenculkan berbagai macam ekspresi
dalam perjumpaannya. Sebagaimana yang terjadi pada al Halaj, Yazid al Bustami
Rabiah al Adawiyah dan yang lain mereka memiliki ekspreasi dan kelakuan yang
berbeda ketika meresakan berteumnya dengan Pencipta. Tetapi dari sini manusai
mendaki tangga mi’raj menuju nafs Tuhan dengan cinta dan karena cinta pula terbentuknya
alam serta manusia.[11]
Setelah
menyatunya manusia dalam dimensi spiritual dengan Pencipta, lantas tak
memperdulikan dengan yang lain dengan menyatu terus dengan pencipta. Tetapi
manusia setalah menyatu, memahami cinta pada Pencita itu dimanifestasikan cinta
tersebut untuk sesama manusia dan alam. Proses penebaran cinta tersebut
menjadikan manusia dapat bermanfaat pada yang lain menjadika diri sebagai
cerminan Tuhan dalam muka bumi.[12]
Pencitraan Tuhan dalam diri manusia menjadikan ia sebagai insan kamil dan dalam
ajaran agama dapat menjadi rahmat bagi yang lain baik sesama manusia ataupun
alam
D. Pengertian al-Basyar
Kata
al-basyar dipakai untuk menyebut semua makhluk manusia baik laki-laki maupun
perempuan, satu maupun banyak. Kata basyar adalah jamak dari kata basyarah yang
berarti permukaan kulit muka, wajah dan tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya
rambut. Ibn Barjah mengartikannya sebagai kulit luar. al-Laits mengartikannya
sebagai permukaan kulit pada wajah dan tubuh manusia, karena itu kata
mubasyarah diartikan mulamasah yang berarti persentuhan antara kulit laki-laki
dan kulit perempuan, disamping itu kata mubasyarah diartikan sebagai al-wath’
atau al-jima` yang berarti persetubuha.
Pemakaian
kata basyar di beberapa tempat dalam Alquran memberikan pengertian bahwa yang
dimaksud adalah anak adam yang biasa makan dan berjalan di pasar-pasar, dan di
dalam pasar itu mereka saling bertemu atas dasar persamaan.[13]
Jadi basyar
untuk menyebut pada semua makhluk, mempunyai pengertian adanya persamaan umum
yang selalu menjadi ciri pokok. Ciri pokok itu adalah kenyataan lahiriah yang
menempati ruang dan waktu, serta terikat oleh hukum-hukum alamiahnya. Manusia
dalam pengertian basyar mempunyai bangunan tubuh yang sama, makan dan minum
dari bahan yang sama yang ada dalam alam ini, dan oleh bertambahnya usia,
kondisi tubuhnya akan menurun, menjadi tua dan akhirnya ajal pun menjemputnya.
Oleh karena itu, manusia dalam pengertian basyar tergantung sepenuhnya kepada
alam, pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan
dan diminumnya.
Dengan
demikian, pemakaian basyar untuk merujuk dimensi alamiahnya yang menjadi ciri
pokok manusia pada umumnya, makan, minum dan meninggal dunia.
E. Konsep
al-Basyar
Dengan memahami
konsep manusia dari sudut pandang Penciptanya, diharapkan dapat diambil manfaat
yaitu munculnya kesadaran terhadap kebenaran firman-firman Tuhan, yang pada
gilirannya membentuk pandangan teosentris.
Dalam
Alquran, kata basyar (tanpa menggunakan alif-lam) sebanyak 31 kali, al-basyar
(dengan menggunakan alif-lam) sebanyak 5 kali dan basyarain (tanpa alif-lam
dalam bentuk dual) sebanyak 1 kali (al-Hasani, t.t.: 52-53). Dari semua ayat
tersebut, khususnya basyar dan al-basyar dapat diklasifikasikan menjadi 6
bagian[14],
yaitu:
1.
Menggambarkan dimensi fisik manusia
Ada satu
ayat yang menyebutkan basyar dalam pengertian kulit manusia, yaitu (Neraka
Saqar) akan membakar kulit manusia/lawwahah li al-basyar (lihat Alquran Surat
74: 27-29)
2.
Menyatakan Seorang Nabi adalah Basyar
Ada 23 ayat
yang menyatakan bahwa kata basyar dipakai oleh Alquran yang berhubungan dengan
dengan Nabi dan kenabian, dan 12 diantaranya menyatakan bahwa seorang nabi
adalah basyar, yaitu secara lahiriah mempunyai ciri yang sama yaitu makan dan
minum dari bahan yang sama. Antara lain dinyatakan, bahwa para pemuka
orang-orang yang kafir dan mendustakan akan menemui hari akhirat: Orang ini
tidak lain hanyalah manusia seperti kamu/basyar mitslukum Lihat Alquran Surat
23: 33-34. Lihat juga 14: 10-11, 18: 110, 21: 3, 23: 24, 26: 154 & 186, 36:
15, 41: 6 dan 11: 27
Basyar
mitslukum di atas ditafsirkan oleh al-Naisaburi sebagai Adami atau anak
keturunan Adam yang tidak punya kelebihan apapun atas anak Adam (manusia)
lainnya. Namun ayat ini jelas hanyalah klaim orang-orang kafir.
3.
Menyatakan tentang kenabian
Ayat yang
menyatakan kata basyar dipakai oleh Alquran dalam kaitannya dengan kenabian
sebanyak 11 buah, antara lain: Tidak wajar bagi seorang manusia (basyar) yang
Allah berikan kepadanya al-Kitab, hikmah dan kenabian, lalu ia berkata kepada
manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah”
(Alquran Surat 3: 79. Lihat juga 6: 91, 42: 51, 74: 31, 12: 31, 17: 93-94, 23:
34, dan 54: 24). al-Thabathaba’i (1972: 275) menafsirkan, tidak patut bagi
seorang manusia (dalam hal ini Nabi) yang diberikan Tuhan karunia yang
berlimpah, lalu memproklamirkan dirinya agar disembah, hanya karena ia
diberikan al-Kitab, hikmah dan kenabian.
4.
Menunjukkan Persentuhan Laki-laki dan Perempuan
Ada 2 ayat
yang menyebutkan kata basyar dalam kaitannya dengan per-sentuhan antara
laki-laki dan perempuan. Maryam berkata: “Bagaimana mung-kin akan ada bagiku
seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia (wa lam yamsasni
basyar) pun menyentuhku, dan akan bukan pula seorang pezina” (lihat Alquran Surat
19: 20, lihat juga 3: 47) Lam yamsasni basyar, ditafsirkan oleh al-Naisaburi
dengan tidak pernah seorang suami pun mendekatiku, wa lam aku baghiyya, bukan
pula seorang lacur (mendekatiku), dan aku sendiri bukan seorang pezina. Seorang
anak tidak mungkin ada kecuali dari (hubungan) suami isteri atau berzina.[15]
5.
Menggambarkan Manusia pada umumnya
Alquran yang
menggunakan kata basyar dalam pengertian manusia pada umumnya sebanyak 5 ayat,
antara lain: “Ini tidak lain hanyalah perkataan manusia” (In hadza illa qawl
al-basyar (Alquran Surat 74: 25, lihat juga 19: 17, 74: 36, 19: 26).
Kebanyakan
mufassir tidak mengomentari lagi ayat ini karena sudah sangat jelas
kandungannya, namun al-Sayuthi dan al-Mahalli sedikit memberikan penjelasan
bahwa ini merupakan rekaman perkataan orang-orang kafir dimana mereka
mengatakan sesungguhnya Alquran itu hanya ajaran yang disampaikan oleh manusia biasa menambahkan, bahwa orang-orang kafir
mengatakan Alquran itu hanya dikutip dari perkataan orang lain (ma-nusia biasa)
saja, bukan kalam Allah sebagaimana dakwaannya (Muhammad).[16]
6.
Menyatakan proses penciptaan dari tanah
Yang
menyatakan arti basyar sebagai proses penciptaan manusia dari tanah ada 4 ayat,
antara lain: Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkem-bang biak/basyar
tantasyirun (Alquran Surat 30: 29. Lihat juga 38: 71, dan 15: 28).
Dia
menciptakan kamu dari tanah, dimaksud adalah basyar (manusia), kemudian menjadi
manusia yang terdiri dari daging dan darah yaitu keturunannya yang tersebar di
permukaan bumi (al-Naisaburi, 1994: 431) Menunjukkan manusia akan menemui
kematian
Alquran yang
menerangkan kata basyar dalam pengertian semua manusia akan menemui kematian
hanya 1 ayat, yaitu: Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun
sebelum kamu (wa ma ja’alna li basyar min qablik al-khuld), maka jikalau kamu
(Muhammad) mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati … (Alquran Surat 21: 34-35)
Hawwa menafsirkan ayat ini, Kami tidak menjadikan
hidup abadi bagi seorang manusia pun, yaitu kekal di dunia selama-lamanya
sebelum kamu (Muhammad), maka jika kamu mati apakah mereka akan kekal? Mereka
berangan-angan mati lalu hidup lagi setelah itu. Maka Allah menyangkal anggapan
itu dengan ungkapan ini dan menjelaskan mereka pun menuju kehancuran, artinya
Ia telah menetapkan tidak akan kekal (hidup) seorang manusia pun di dunia ini.
Itulah bukti keperkasaan Allah Swt.[17]
Bila dilihat
secara keseluruhan ayat-ayat Alquran yang mengungkapkan tentang kata basyar,
semuanya menunjukkan pada gejala umum yang nampak pada fisiknya, atau
lahiriahnya, yang secara umum antara satu dengan yang lainnya mempunyai
persamaan, terutama anatomi-anatomi yang tampak kelihatan oleh yang lain.
Meskipun ada perbedaan, tetapi perbedaan itu tidak menyangkut hal-hal yang
substansial, namun hanya menyangkut masalah-masalah kecil yang tidak banyak
mempengaruhi terhadap fungsi dan eksistensinya selaku manusia.
Dengan
melihat pada konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran tersebut, maka dapat
ditarik pengertian bahwa kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam
kaitannya yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang bergerak dan
berjalan-jalan. Manusia secara fisik tubuh kuat karena makan dan minum dari apa
yang ada di bumi ini, sehingga memungkinkan manusia mempunyai kekuatan untuk
mewujudkan gagasan-gagasannya dalam ruang dan waktu tertentu.
Pengertian
basyar, tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari, yang
berhubungan dengan aktivitas lahiriah, yang tentunya dipengaruhi dan mendapatkan
dorongan kodrat alamiahnnya, seperti makanan, minuman, bersetubuh dan akhirnya
mati mengakhiri kegiatannya. Aktivitas-aktivitas tersebut merupakan sesuatu
yang berhubungan dengan lahiriah, dimana kegunaannya untuk melanggengkan
eksistensi tubuh/diri manusia itu sendiri.[18]
Oleh
karenanya, melalui aktivitas basyariahnya, yaitu aktivitas tubuhnya, maka
gagasan dan pemikiran manusia dapat diwujudkan dalam bentuk konkrit, yaitu
bentuk-bentuk sebagai hasil karya dan cipta manusia, yang menempati ruang
tertentu, dapat diraba dan difoto, seperti lukisan, tari-tarian dan kegiatan
mengolah besi pada industri logam maupun menggali pertambangan atau membuat
bangunan.
Kalau
dihubungkan dengan pemakaian kata insan, maka basyar jelas menunjukkan konteks
yang berbeda, meskipun sama-sama menunjukkan pengertian manusia. Manusia dalam
konteks insan, adalah manusia yang berakal yang memerankan diri sebagai subyek
kebudayaan dalam pengertian ideal, sementara kata basyar menun-jukkan manusia
sebagai subyek kebudayaan dalam pengertian material seperti yang tampak pada
aktivitas fisiknya (Asy’ari, 1992: 34)
Kata insan
dan basyar yang dipakai dalam Alquran untuk sebutan manusia, bukan berarti
menunjukkan adanya dua jenis manusia, akan tetapi kata insan dan ba-syar pada
dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal dengan bi-dimensionalnya (dua
dimensi), dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada
ka-pasitas tindakannya.
Oleh
karenanya, dalam kehidupan sehari-hari, kedua sisi gagasan – pemikiran dan
kesadaran – dan tindakan hampir tidak bisa dipisahkan, dan jika karena sesuatu
hal gagasan dan tindakan itu dipisahkan, maka terlihat manusia berada dalam
konflik kepribadian. Kepribadian yang berada dalam konflik tersebut, seringkali
disebut pribadi yang tak seimbang atau berkepribadian ganda, sehingga
menimbulkan tindakan yang tidak bertanggung jawab dan sia-sia.
Dalam
lapangan etika, makna sebuah tindakan ditentukan oleh kesatuannya dengan akal,
karena tindakan yang lahir dari gagasan akal adalah tindakan yang sudah
diperhitungkan akibat-akibatnya dan dengan sendirinya juga kesediaan memikul
tanggungjawab dan menerima sanksi etika bahkan hukum.[19]
Sebaliknya,
tindakan yang terlepas dari gagasan akalnya, seperti gerak reflektif, menggaruk
karena gatal atau tindakan yang muncul karena pikirannya tidak bekerja seperti
orang gila atau tidak sadar, maka tindakannya tidak bisa dinilai dari sudut
etika.[20]
BAB II
A.
KONSEP-KONSEP
ANTROPOLOGIS
Al-Qur'an adalah kitab manusia. Karena
al-Qur'an seluruhnya
berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
Dr. Yusuf Qardhawi
berbicara untuk manusia atau berbicara tentang manusia.
Dr. Yusuf Qardhawi
Masyarakat Islam dibentuk karena
ideologinya, yaitu Islam, Ideologi adalah Weltanchauung, yang
menjelaskan realitas dalam perspektif tertentu. Ideologi adalah
cara memandang realitas. Di antara realitas penting yang
diulas ideologi adalah manusia. Toute ideologie precise
d'emblee, tacitement on explicitement, la nature de l'individu et
la place qui lui est assignee daus la groupe, en fonction de
l'objektif social poursuiri. Pour
une religion eschatologique comme
l'Islam, dieu sera la
reference primordial et unique puisqu'll est, a la fois, I origine et
le fin de la destine e humaine, tulis Marcel A.
ketika mengantarkan tulisannya tentang pandangan Qur'ani mengenai manusia dalam
bab Les Fils d'Adam.[21]
Agak mengherankan, walaupun Boisard
mengakui pentingnya filsafat antropologis dalam Islam,
ia kemudian menyebutkan bahwa al-Qur'an diwahyukan untuk memperkenalkan
Tuhan kepada manusia; bukan untuk menjelaskan manusia -non pour
expliquer l'humain. Karena itu dalam
seluruh bukunya, Boisard hampir tidak pernah
membahas karakteristik manusia menurut al-Qur'an, seperti lazimnya
filsafat manusia (philosophic de l'homme). [1]
Dirk Bakker (1965) dalam bukunya Man in
the Qur'an, mengulas manusia dari segi penciptaannya,
hubungannya dengan dunia, sesama manusia, Tuhan, dan fungsi manusia
sebagai hamba Tuhan, tapi tidak membahas principe d'entre manusia. Adalah
Rahman (1980), yang secara khusus menjelaskan principe
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaanmanusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya,
d'entre manusia ini. Agak terperinci, ia menjelaskan perbedaanmanusia dengan makhluk lain. Semuanya dapat disimpulkan dalam kalimatnya,
The only different is that while every other
creature follows its nature automatically, man
ought to follow his nature; this tranformation of
the is into ought is both fhe unique
privelege and the unique risk of man.[22]
Rahman mengulas manusia dengan mengulas
pandangan al-Qur'an tentang kedudukan
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat. Ia
tidak memulai dari konsep dasar yang digunakan al-Qur'an
untuk mengabsorbsikan manusia. Dalam
tulisan tersebut, juga dalam tulisan lain
--yang membahas amanah sebagai inti kodrat manusia-- uraian
Rahman tidak berbeda dengan pembahasan al-Ghazali yang lebih klasik
(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun) dan beberapa tulisan lainnya membahas karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali, juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep konsep dasar manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan istilah istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan dalam al-Qur'an.[23]
(Lihat Othman, 1960). Mungkin tulisan Mutahhari (tanpa tahun) dan beberapa tulisan lainnya membahas karakteristik khas manusia yang lebih "maju" dari al-Ghazali, juga walaupun pendek tulisan al-Faruqi (1404: 332). Sayangnya, seperti Fazlur Rahman, mereka meneliti ayat-ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan manusia, lalu menyimpulkan secara induktif. Yang kita perlukan di sini, sebetulnya menemukan bagaimana al-Qur'an memberi makna tentang konsep konsep dasar manusia. Dengan kata lain, kita mengidentifikasikan istilah istilah al-Qur'an tentang manusia, kemudian mengenal bidang semantik setiap istilah itu, sebagaimana digunakan dalam al-Qur'an.[23]
Saya sangat terkesan dengan Izutsu
yang memperkenalkan metodologi semantik dalam memahami
konsep konsep dasar al-Qur'an. Tidak mungkin dalam
makalah ini, saya menguraikannya secara terperinci.
Izutsu sendiri berkata, Unfortunately, what is called semantics today
is so bewilderingly complicated. It is extremely difficult,
if not absolutely impossible, for an outsider even to get a general
idea of what it is. Malangnya di samping makalah
ini tidak dimaksudkan untuk itu, penulis makalah
ini juga outsider. Jadi, dengan resiko salah beberapa langkah[24].
Pertama, kita memilih
istilah-istilah kunci (key-terms) dari vocabulary
al-Qur'an, yang kita anggap merupakan
unsur konseptual dasar dari Weltanschauung Qur'ani ini. Kedua,
kita menentukan makna pokok (basic meaning)
dan makna nasabi(relational meaning).
Makna pokok yang berkenaan dengan constant
semantic element which remains attached to the word whereever
it goes and however it is used (Izutsu, 1964: 19). Makna
nasabi adalah makna tambahan yang terjadi karena istilah itu dihubungkan dengan
konteks di mana istilah itu berada. Ketiga,
kita menyimpulkan
Weltanschauung yang
menyajikan konsep-konsep itu dalam satu kesatuan.
Ketika Izutsu membahas kosep
Tuhan dan manusia dalam al-Qur'an,
ia menyebut pembahasannya sebagai semantics of the Koranic
weltanschauung. Ia mengambil konsep Allah
sebagai istilah kunci dan menjelaskan
hubungan konsep itu dengan manusia. Ia menyebutkan
tiga hubungan ontologis, hubungan komunikasi
nonlinguistik, dan hubungan komunikasi linguistik.
Ia sama sekali tidak menyebut berbagai konsep
yang digunakan al-Qur'an untuk merujuk manusia. Tulisan ini
mengambil jalan lain. Pertama, akan dibahas istilah-istilah kunci
manusia dan bidang semantiknya. Kedua, akan dibahas
implikasi dari bidang semantik tersebut
untuk memperoleh gambaran tentang Weltanschauung
Qur'ani.[25]
F.
BASYAR, INSAN, DAN
AL-NAS
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah
kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia: basyar,
insan, dan al-Nas. Ada konsep-konsep
lain yang jarang dipergunakan dalam al-Qur'an dan dapat dilacak
pada salah satu di antara tiga istilah kunci di atas, unas,
anasiy, insiy, ins. Unas disebut lima kali
dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka. Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy (Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29; 46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
dalam al-Qur'an (2:60; 7:82; 70:160; 17:71; 27:56) dan menunjukkan kelompok atau golongan manusia. Dalam QS. 2:60, misalnya, unas digunakan untuk menunjukkan 12 golongan dalam Bani Israil. Surat 17:21 dengan jelas menunjukkan makna ini pada hari kami memanggil setiap unas dengan imam mereka. Anasiy hanya disebut satu kali (25:49). Anasiy dalam bentuk jamak dari insan, dengan mengganti nun atau ya atau boleh juga bentuk jamak dari insiy, seperti kursiy, menjadi karasiy (Lihat al-Thabrasi, 1937), yang merupakan bentuk lain dari insan. Ins disebut 18 kali dalam al-Qur'an, dan selalu
dihubungkan dengan jinn sebagai pasangan makhluk manusia yang mukallaf (6:112, 128, 130; 7:38, 179; 17:88; 27:17; 41:25, 29; 46:18; 51:56; 55:33, 39, 56, 74; 72:5, 6).
Basyar. Marilah kita
kembali kepada ketiga istilah kunci tadi. Basyar disebut
27 kali. [3] Dalam seluruh ayat tersebut, Basyar
memberikan referensi pada manusia sebagai makhluk
biologis. Lihatlah bagaimana Maryam
berkata, Tuhanku, bagaimana mungkin aku
mempunyai anak, padahal aku tidak disentuh Basyar
(3:47); atau bagaimana kaum yang diseru para nabi menolak ajarannya, karena
nabi hanyalah Basyar --manusia biasa yang
"seperti kita," bukan superman. Kata Basyar
dihubungkan dengan mitslukum (tujuh kali) dan mitsluna (enam kali)
diantara ayat-ayat tersebut di muka. Nabi Muhammad saw, disuruh Allah
menegaskan bahwa secara biologis, ia seperti manusia
yang lain, Katakanlah, aku ini manusia biasa (Basyar) seperti kamu,
hanya saja aku diberi wahyu bahwa Tuhanmu ialah Tuhan yang satu (18:110;
41:6). Tentang para Nabi, orang-orang kafir selalu berkata, Bukankah
ia Basyar seperti kamu, ia makan
apa yang kamu makan, dan ia minum apa yang kamu minum (33:33). Ayat
ini ditegaskan dalam QS. 25: 7, Mereka berkata, Bukankah
Rasul itu memakan makanan dan berjalan-jalan di pasar;
dan QS. 25: 20, Dan tidak Kami utus sebelummu
para utusan kecuali mereka itu memakan makanan dan berjalan-jalan di
pasar. Ketika wanita-wanita Mesir takjub melihat ketampanan Yusuf
as., mereka berkata, Ya Allah, ini bukan Basyar, tapi ini
tidak lain kecuali malaikat yang mulia (12:31).[26]
Secara singkat konsep Basyar
selalu dihubungkan dengan sifat-sifat biologis
manusia: makan, minum, seks, berjalan di pasar. Dari segi inilah, kita tidak
tepat menafsirkan Basyarun mitslukum sebagai manusia seperti kita
dalam hal berbuat dosa.
Kecenderungan para Rasul untuk tidak
patuh pada dosa dan
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat menafsirkan ayat ini
kesalahan bukan sifat-sifat biologis, tapi sifat-sifat psikologis (atau spiritual). Sama tidak tepatnya untuk tidak menafsirkan Sesungguhnya telah kami jadikan insan dalam bentuk yang sebaik-baiknya (95: 4) dengan menunjukkan karakteristik fisiologi manusia. Yusuf Ali (1977: 1759) dengan tepat menafsirkan ayat ini
to man God gave the purest and the best nature, and man's duty is to preserve the pattern on which God
has made him (QS
30:30).
Al-Syaukani
(1964, 5: 465) menyebutkan umumnya
para mufasir mengartikan ayat ini untuk menunjukkan kelebihan
manusia secara fisiologis: berjalan tegak, dan
makan dengan menggunakan tangan. Tapi Ibn 'Arabi berkata, Tak ada
makhluk Allah yang lebih bagus daripada manusia.
Allah membuatnya hidup, mengetahui,
berkuasa, berkehendak, berbicara, mendengar, melihat, dan
memutuskan, dan ini adalah sifat-sifat rabbaniyah.[27]
Insan.
Sekali lagi, kekeliruan penafsiran, umumnya para
mufassir bermula dari salah paham tentang
semantic field istilah insan, yang berbeda dengan Basyar.
Insan disebut 65 kali dalam al-Qur'an. [4] Kita dapat
mengelompokkan konteks insan dalam tiga kategori. Pertama,
Insan dihubungkan dengan keistimewaannya sebagai khalifah atau pemikul
amanah. kedua, Insan dihubungkan dengan
predisposisi negatif diri manusia.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Dan ketiga Insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali kategori ketiga yang akan kita jelaskan kemudian, semua konteks insan menunjuk pada sifat-sifat psikologis atau spiritual.
Pada kategori pertama,
kita melihat keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda
dengan hewani. Menurut al-Qur'an, manusia adalah makhluk yang
diberi ilmu, Yang mengajar dengan pena, mengajar insan apa yang tidak
diketahuinya. [5] (96: 4, 5), "Ia mengajarkan
(insan) al-bayan" [6] (55: 3). Manusia diberi kemampuan
mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena itu juga,
kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar.
Insan disuruh menazhar (merenungkan, memikirkan,
menganalisis, mengamati) perbuatannya
(79: 35), proses terbentuknya makanan
dari siraman air hujan hingga terbentuknya
buah-buahan (80: 24-36), dan penciptaannya (86:
5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu al-Haq (41: 53).
5). Dalam hubungan inilah, setelah Allah menjelaskan sifat insan yang tidak labil, Allah berfirman, Akan Kami perlihatkan kepada mereka (insan) tanda-tanda Kami di alam semesta ini dan pada diri mereka sendiri sehingga jelas baginya bahwa ia itu al-Haq (41: 53).
Kedua, manusia adalah
makhluk yang memikul amanah (33: 72). amanah adalah menemukan hukum alam,
menguasainya atau dalam istilah al-Qur'an "mengetahui
nama-nama semuanya" dan kemudian
menggunakannya[28],
dengan inisiatif moral insani, untuk menciptakan tatanan
dunia yang baik. (Al-Thabathabai, tt, 351-352) mengutip berbagai pendapat
para mufassir tentang makna amanah dan memilih makna amanah sebagai
predisposisi (isti'dad) untuk beriman dan mentaati Allah.
Di dalamnya terkandung makna khilafah, manusia sebagai pemikul al
wilayah al-ilahiyyah. Amanah inilah yang dalam ayat-ayat
lain disebutkan sebagai perjanjian (ahd,
mitsaq,'isr). [7] Predisposisi untuk beriman inilah yang digambarkan
secara metaforis [8] dalam surat 7:172.
Ketiga, karena
manusia memikul amanah, maka insan dalam al-Qur'an
juga dihubungkan dengan konsep tanggung jawab (75: 36; 75:3; 50:16). Ia
diwasiatkan untuk berbuat baik (29:8; 31:14;
46:15); amalnya dicatat dengan cermat untuk diberi balasan
sesuai dengan apa yang dikerjakannya (53: 39). Karena itu,
insanlah yang dimusuhi setan (17:53;
59:16) dan
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35; 80:17; 89:23).
ditentukan nasibnya di hari Qiyamat (75:10, 13, 14; 79:35; 80:17; 89:23).
Keempat, dalam
menyembah Allah, insan sangat dipengaruhi lingkungannya.
Bila ia ditimpa musibah, ia cenderung menyembah Allah dengan ikhlas;
bila ia mendapat keberuntungan, ia cenderung sombong,
takabur, dan bahkan musyrik (10:12; 11:9; 17:67; 17:83; 39:8, 49;
41:49, 51; 42:48; 89:15).
Pada kategori kedua,
kata insan dihubungkan dengan predisposisi
negatif pada diri manusia. Menurut al-Qur'an, manusia
itu cenderung zalim dan kafir (14:34; 22:66; 43:15), tergesa-gesa (17:11;
21:37), bakhil (17:100), bodoh (33:72), banyak
membantah atau mendebat (18:54; 16:4; 36:77), resah, gelisah, dan
segan membantu (70:19; 20,21), ditakdirkan untuk bersusah
payah dan menderita (84:6; 90:4), tidak berterima kasih
(100:6), berbuat dosa (96:6; 75:5), meragukan
hari akhirat (19:66).[29]
Bila dihubungkan dengan sifat-sifat
manusia pada kategori pertama, insan menjadi makhluk
paradoksal, yang berjuang mengatasi konflik dua
kekuatan yang saling bertentangan: kekuatan mengikuti fitrah
(memikul amanat Allah) dan kekuatan mengikuti predisposisi negatif. Kedua
kekuatan ini digambarkan dengan kategori ayat-ayat ketiga.[30]
Secara menarik proses penciptaan manusia
atau asal kejadian manusia dinisbahkan pada
konsep insan dan Basyar sekaligus. Sebagai insan manusia
diciptakan dari tanah liat, saripati tanah, tanah
(15:26; 55:14; 23:12; 32:7). Demikian pula Basyar berasal dari tanah
liat, tanah (15:28; 38:71; 30:20) dan air (25:54). Ini
mendorong saya untuk menyimpulkan bahwa proses penciptaan manusia
menggambarkan secara simbolis karakteristik Basyari dan karakteristik
insani. Menurut Qardhawi (1973: 76), manusia adalah gabungan kekuatan
tanah dan hembusan Ilahi (bain qabdhat al-thin wa nafkhat
al-ruh). Yang pertama, unsur material dan yang kedua unsur
ruhani. Yang pertama unsur Basyari,
yang kedua unsur insani. Keduanya harus tergabung dalam
keseimbangan. "Tidak boleh (seorang mukmin) mengurangi hak-hak
tubuh untuk memenuhi hak ruh, dan tidak boleh ia mengurangi
hak-hak ruh untuk memenuhi hak tubuh," kata Abbas Mahmud
al-'Aqqad (1974, 7:381).
Al-Nas. Konsep kunci ketiga
ialah al-Nas yang mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial.
Inilah manusia yang palingbanyak disebut
al-Qur'an (240 kali,
lihat 'Abd al-Baqi, al-Mu'jam; pada kata
al-Nas). Tak mungkin dalam makalah singkat ini,
kita menjelaskan seluruh bidang semantik istilah
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.[31]
al-Nas. Cukuplah di sini ditunjukkan beberapa hal yang memperkuat pertanyaan pada awal paragraf ini --yakni, al-Nas menunjuk pada manusia sebagai makhluk sosial.[31]
Pertama, Banyak ayat yang
menunjukkan kelompok-kelompok sosial dengan karakteristiknya. Ayat-ayat itu
lazimnya dikenal dengan ungkapan wa min al-Nas (dan diantara sebagian
manusia). Dengan memperhatikan ungkapan ini, kita menemukan
kelompok manusia yang menyatakan beriman, tapi sebetulnya tidak beriman
(2:8), yang mengambil sekutu terhadap Allah
(2:165), yang hanya memikirkan kehidupan dunia (2:200), yang
mempesonakan orang dalam pembicaraan tentang kehidupan
dunia, tetapi memusuhi kebenaran (2:204), yang berdebat
dengan Allah tanpa ilmu, petunjuk, dan al-Kitab
(22:3,8; 31:20), yang menyembah Allah dengan iman yang
lemah (22:11; 29:10), yang
menjual pembicaraan yang menyesatkan (31:6); di samping ada
sebagian orang yang rela mengorbankan dirinya untuk mencari
kerelaan Allah.
Kedua, dengan
memperhatikan ungkapan aktsar al-Nas, kita dapat menyimpulkan,
sebagian besar manusia mempunyai kwalitas rendah,
baik dari segi ilmu maupun dari segi iman. Menurut al-Qur'an
sebagian manusia itu tidak berilmu (7:187; 12:21; 28,68;
30:6, 30; 45:26; 34:28,36; 40:57), tidak bersyukur (40:61;
2:243; 12:38), tidak beriman (11:17; 12:103; 13:1), fasiq
(5:49), melalaikan ayat-ayat Allah (10:92),
kafir (17:89; 25:50), dan kebanyakan harus menanggung azab (22:18). Ayat-ayat
ini dipertegas dengan ayat-ayat yang menunjukkan sedikitnya
kelompok manusia yang beriman (4:66; 38:24; 2:88; 4:46;
4:155), yang berilmu atau dapat mengambil pelajaran (18:22;
7:3; 27:62; 40:58; 69:42), yang bersyukur (34:13;
7:10; 23:78; 67:23; 32:9), yang selamat
dari azab Allah (11:116), yang tidak diperdayakan syetan
(4:83). Surat 6116 menyimpulkan bukti kedua ini, Jika kamu
ikuti kebanyakan yang ada di bumi, mereka akan menyesatkanmu dari jolan Allah.[32]
Ketiga, al-Qur'an
menegaskan bahwa petunjuk al-Qur'an bukanlah hanya dimaksudkan
pada manusia secara individual, tapi juga manusia secara sosial. Al-Nas
sering dihubungkan al-Qur'an dengan petunjuk atau
al-Kitab (57:25; 4:170; 14:1; 24:35; 39:27; dan sebagainya).
G. QUR'ANI TENTANG MANUSIA
Dari uraian di muka tampak al-Qur'an memandang manusia
sebagai
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
makhluk biologis, psikologis dan sosial. Sebagaimana ada hukum-hukum yang berkenaan dengan karakteristik biologis manusia, maka ada juga hukum-hukum yang mengendalikan manusia sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial.
Manusia sebagai Basyar berkaitan dengan
unsur material, yang dilambangkan manusia dengan
unsur tanah. Pada keadaan itu, manusia secara otomatis tunduk kepada
takdir Allah di alam semesta,
sama taatnya seperti matahari,
hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia dengan sendirinya musayyar.
Namun manusia sebagai insan dan al-Nas
bertalian dengan unsur hembusan
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar, kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab. Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu[33].
Ilahi. Kepadanya dikenakan aturan-aturan, tapi ia diberikan kekuatan untuk tunduk atau melepaskan diri daripadanya. Ia menjadi mahkluk yang mukhayyar. Ia menyerap sifat-sifat rabbaniah menurut ungkapan Ibn Arabi, seperti sama', bashar, kalam, qadar. Ia mengemban wilayah Ilahiyah, seperti kata al-Thabathabai. Karena itu, ia dituntut untuk bertanggung jawab. Karena pada manusia ada predisposisi negatif dan positif sekaligus, menurut al-Qur'an, kewajiban manusia ialah memenangkan predisposisi positif. Ini terjadi bila manusia tetap setia pada amanah yang dipikulnya. Secara konkrit kesetiaan ini diungkapkan dengan kepatuhan pada syari'at Islam yang dirancang sesuai amanah. Al-Qur'an tak lain merupakan rangkaian ayat yang mengingatkan manusia untuk memenuhi janjinya itu[33].
Ada dua komponen esensial yang membentuk hakikat
manusia yang membedakannya dari binatang, yaitu potensi mengembangkan
iman dan ilmu. Usaha untuk mengembangkan keduanya
disebut 'amal shalih. "Karenanya, kita menyimpulkannya bahwa ilmu
dan iman adalah dasar yang membedakan manusia
dari makhluk lainnya. Inilah hakikat kemanusiaannya. Keduanya harus
dikembangkan secara seimbang.
Dalam pandangan al-Qur'an, sedikit
sekali orang yang dapat mengembangkan ilmu dan iman ini sekaligus. Sedikit
orang yang beriman, sedikit orang yang berilmu, dan
lebih sedikit lagi orang yang beriman dan berilmu. Kelompok terakhir
inilah yang disebut al-Qur'an, "Allah mengangkat derajat
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi
ilmu" (QS. 58:11). Makna hidup manusia
diukur sejauh mana ia berhasil beramal sebaik-baiknya, yakni sejauh
mana ia mengembangkan iman dan ilmunya. Ia
lah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kamu
siapa diantara kamu yang paling baik amalnya
(QS. 67:2). Sesungguhnya kami jadikan apa yang ada dipermukaan bumi
sebagai perhiasan untuk menguji mereka,[34]
siapa diantara mereka yang paling baik amalannya
(18:7). Bila Sartre mengatakan hidup ini absurd, al-Qur'an menyatakan hidup ini
medan untuk membuktikan 'amal shalih.
H. CATATAN
1.
Obyek formal dari filsafat manusia
ialah inti manusia, alam kodratnya strukturnya yang fundamental. "Apa yang
ingin ditelaah bukanlah suatu makhluk, sebuah benda, tapi suatu prinsip adanya
(principe d'etre). Sesuatu yang olehnya manusia menjadi apa yang terwujud, sesuatu
yang olehnya manusia mempunyai karakteristik yang khas, sesuatu yang olehnya ia
merupakan sebuah nilai yang unik." tulis Leahy (1985: 11)
2.
Metodologi semantik didefinisikan
sebagai an analytic study of the key-terms of language with a view to arriving eventually
at a conceptual grasp of the Weltanschauung or world-view of the people who use
that language as tool not only of speaking and thinking, but, more important
still, of conceptualizing and interpreting the world that surround them.
3.
Karena banyak, pembaca dianjurkan
melihat sendiri dalam Al-Baqi, Mu'jam.
4.
Dr Muhammad Mahmud Hijazi menjelaskan
ayat ini, "Allah telah memberi manusia gairah dan kemampuan untuK meneliti dan menyelidiki untuk mengadakan
percobaan sehingga sampai pada pengetahuan tentang rahasia alam semesta serta tabiat
segala hal. Lalu ia menundukkan semuanya untuk berbakti memenuhi kehendak
manusia."
5.
Al-Bayan ditafsirkan sebagai
kemampuan berbicara, pengetahuan tentang halal dan haram, kemampuan
mengembangkan ilmu.
6.
Abd al-Karim Biazar menulis tentang
the Covenant in the Qur'an sebagai kunci yang mempersatukan ayat-ayat dalam
setiap surat al-Qur'an. Surat-surat dalam al-Qur'an mengingatkan manusia pada
perjanjian Allah, yang terdiri dari pihak pertama (Allah) pihak kedua
(Manusia), nikmat Allah, daftaer kondisi yang harus dipenuhi pihak kedua, janji,
ancaman, saksi, sumpah dengan ayat-ayat Allah, tanda-tanda yang berjanji, dan pelajaran
dari masa lalu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata basyar
dipakai dalam Alquran sangat terbatas, antara lain untuk menunjukkan manusia
pada umumnya seperti yang tampak pada fisiknya yang bergantung sepenuhnya pada
makan dan minum dari apa yang ada di bumi (Alquran Surat 23: 33).
Dengan
melihat konteks penggunaan kata basyar dalam Alquran, maka dapat disimpulkan
bahwa sebetulnya kata basyar menunjukkan pengertian manusia dalam hubungannya
dengan perbuatan yang melibatkan tubuhnya, yang tampak pada luarnya, yang
bergerak dan berjalan-jalan
Manusia
secara fisik tumbuh kuat karena makan dan minum dari apa yang ada di bumi ini,
sehingga manusia mempunyai kekuatan untuk merealisasikan kehendak dan
keinginannya. Maka bila diteliti dari arah ini, sebetulnya manusia merupakan
bagian dari alam materi, dan oleh karena itu ia tunduk dan patuh pada kehendak
dan hukum-hukum alam atau sunnatullah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan
Pusat UII, Yogyakarta, 1984.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan
Pusat UII, Yogyakarta, 1984.
Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995.
Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, Perpustakaan
Pusat UII, Yogyakarta, 1984
Al-Syaibani,
Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah
Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah
Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
al-Ishfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972.
Ali Daud, Mohammadi, Pemdidikan Agama Islam, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 1998.
al-Naisabury , Omar Muhammad
al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Bernadib, Imam, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet. V,
Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998.
Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Fattah
Jalal, Abdul, Min al-Ushul al-Tarbawiyah al-Islamiyah, 1997.
Freire,
Paulo, Action For Freedom, USA:
Penguin Education, 1971.
Gunarsah, Singgih, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet.
II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982.
Hasan
Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Jakarta:
Pustaka al-Husna, 1984.
Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja,
Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal
UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
Ishak, Abu,
dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet.
VIII, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam
di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Muhammad Jamaluddin
Alqasimi Addimasyqi, Mau'izhatul Mukminin min Ihya' 'Ulumuddin" Imam
Alghazali", Al-Maktabah At-Tijjariyyah al-Kubro (tidak bertahun),
Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung, 1973
Nasution,
Harun, Akal dan Wahyu
Dalam Islam, Jakarta: UI Press, II, 1986.
Nizar, Samsul,
Pengantar Dasar-dasar Pemikiran
Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya MediamPratama,
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. IV, Bandung:
CV. Remaja Karya Offset, 1998.
Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah
Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember
1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996.
Sutadipura,
R. Prayana, Alam
Pikiran, Bandung: Sumur, 1960.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana,
1993.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
_________________,
Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka,
1992.
Usman,
M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung:
Mawar, 1970.
Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, Surabaya:
Bina Ilmu, 1980.
Zuhairini,
dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet.
III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004).
Biodata
Nama : Imam Tasmara
NIM : 09.2.3.045
Alamat : ma`had Putra Al-Jamiah Stain
Manado
Tempat : Kotamubagu
Tanggal
Lahir : 01-04-1990
Suku : Sunda
No
HP : 085256210674
Nama
Orang Tua
Ayah : Wawan Ridwan
Ibu : Emun Maemunah
Pekerjaan
Orang Tua
Ayah : Dagang
Ibu : Dagang
Pesan : Hargailah waktu yang kita
miliki
Kesan : ketika Pak Doktor memberikan motifasi yang tak bisa
saya dapatkan di luar kampus,
dan bisa mendatangkan inspirasi baru bagi saya.
[1] Muhaimin, et.al, Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2001, H. 59
[3] al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah
Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.,
h.48
[5] Ishak, Abu, dalam Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h. 27
[6] Muhammad Jamaluddin Alqasimi Addimasyqi, Mau'izhatul Mukminin
min Ihya' 'Ulumuddin" Imam Alghazali", Al-Maktabah At-Tijjariyyah
al-Kubro (tidak bertahun), Terjemahan Moh. Abdai Rathomy, Diponegoro, Bandung,
1973, h. 62
[7] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut
al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu,
tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 74
[8] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut
al-Qur'an, Makalah Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu,
tanggal, 14 Desember 1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 78
[9] Ibn Taimiyah, dalam
Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn
Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7, h. 78
[16] Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di
Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta Gema Insani Press, 1995, h. 152
[17] Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 271
[18] Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan
oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I,
Jakarta: Bulan Bintang, 1979, h. 274
[19] Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991, h. 139
[20] Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991, h. 128
[21] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal
UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. 7
[22] Rif'at Syauqi Nawawi, Konsep Manusia Menurut al-Qur'an, Makalah
Disampaikan Pada Simposium Psikologi Islami, Pada Sabtu, tanggal, 14 Desember
1996, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1996, h. 287
[23] Ishak, Abu, dalam Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h.58
[24] Ishak, Abu, dalam Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, h. 77
[25] Muhaimin,
et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001., h. 98
[26] Muhaimin,
et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya
Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2001, h.128
[28] al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah
Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.,
h. 38
[29] Schuman, Olaf, Pemikiran
Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993,
h. 283
[30]
Mutahhari, Murtadha, Tanpa tahun, Al-Insan wa 'l-Iman Teheran:Muassasah
al-Bi'tsah. Manusia dan Agama,
Bandung: Mizan. 1986., h. 129
[32] Ishak, Abu, dalam Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992., h.286
[33] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal
UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
[34] Ishak, Abu, dalam Musa
Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan
dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, h. 133
EmoticonEmoticon