BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi
pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan dan penyempurnaan semua potensi
manusia. Oleh karena itu, pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu, ia tidak
dibatasi oleh tebalnya tembok sekolah dan juga sempitnya waktu belajar di
kelas. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan bisa dilakukan dimana saja
dan kapan saja manusia dan mampu melakukan proses kependidikan[1]
Pendidikan
inklusif juga mempunyai tujuan yang sama dengan pendidikan umum. Akan tetapi
cara penerapannya agak berbeda dengan pendidikan umum. Pendidikan inklusif
adalah pendidikan terbuka, dimana semua anak didik yang berkeinginan sekolah
bisa melanjutkan ke pendidikan inklusif. [2]
Reid ingin menyatakan bahwa istilah
inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas
prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah pendidikan, istilah
inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu
berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu
pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif
didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.
Penyesuaian pendidikan
(adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan
pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam
meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya.
B.
Rumusan
Masalah
Dari
uraian latar belakang diatas amaka penulis dapat mengambil beberapa
permasalahan tentang “Pendidikan Inklusif (Terbuka)” yaitu sebagai berikut:
1. Apa
Pengertian Pendidikan Inklusif ?
2. Apa
Pentingnya Pendidikan Inklusif ?
3. Apa
Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ?
4. Bagaimana
Tahapan Penerapan Pendidikan Inklusif ?
5. Apa
Kendala Pendidikan Inklusif ?
6. Bagaimana
Model Pembelajaran Pendidikan Inklusif ?
7. Apa
Kekuatan dan Kelemahan Pendidikan Inklusif ?
8. Apa
Tujuan Pendidikan Inklusif ?
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Pendidikan Inklusif
Istilah
inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan
persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti
politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari
aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu
sama lai.[3]
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah / kelas
reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, meliputi : anak
yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan
gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, dan
sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan
cara yang ramah dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi.[4]
Reid ingin
menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia
yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah
pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak
membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki
individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas,
pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak
individu.
Istilah
pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak
berkelainan (penyandang hambatan/cacat)
ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai
pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,
lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.[5]
Pendidikan
inklusif ini, adalah sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah
secara menyeluruh, yang kelak diharapkan bisa memberi jaminan bahwa strategi
nasional tentang “Pendidikan Untuk Semua” benar-benar dimiliki semua kalangan,
tidak membeda-bedakan apakah mereka tergolong anak-anak berkelainan atau tidak.
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Karena itu
negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu
kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan
dalam kemampuan (difabel) seperti
yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di
Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya
segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan
bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa.
Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat
belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini
anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas
pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut
dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB
telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus.
MIF.
Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak
setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa
harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi
tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan
perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki
ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus
mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat.[6]
Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak
disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel
dengan anak - anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat
kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat.
Masyarakat
menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok
difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari
kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan
inklusif di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak
pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru. Kesimpulannya
Pendidikan Inklusif adalah sebuah pendekatan yang saat sedang berkembang yang
ditujukan untuk memenui kebutuhan kebutuhan belajar pada siswa, dalam hal ini
adalah anak-anak berkebutuhan khusus.[7]
Baihaqi
dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa
dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan
yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan
mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan
individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam
pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Daniel P.
Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang
menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler
sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab
penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini
memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan
khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab
penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru
harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. [8]
Dalam
ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan
khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan
inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan
inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan
peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat
belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah.[9]
Pengertian-pengertian
yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai
pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan
disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang
normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka
memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.
Mereka
yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling)
sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah
lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya
kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang
“lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment).[10]
Sekolah tinggi agama Islam (STAIN) Manado ini bisa
dikatakan pendidikan Inklusif, akan tetapi hanya dalam kategori agama.
Maksudnya, di STAIN, tidak diperbolehkan agama lain bersekolah. Karena STAIN
lebig khusus ke pendidikan agama Islam. pendidkan inklusif ada karena
kebutuhan. Manusia hidup dengan mempunyai kemampuan dan kondisi yang berbeda.
Ada yang berkebutuhan normal da nada yang berkebutuhan khusus. Jadi, dengan
adanya pendidikan inklusif inisemua anak-anak bisa mengenyam pendidikan.
2.
Pentingnya
Pendidikan Inklusif
1. Mutu pendidikan masih belum
memuaskan (belum: cageur, bageur, bener, tur singer vs kecerdasan
intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisikal).
2.
Masih
banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
3.
Pendidikan
masih diskriminatif.
4.
Pembelajaran
masih teacher centre.
5.
Proses
Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa.
6.
Lingkungan
pendidikan masih belum ramah anak.
7.
Pembelajaran
masih belum berbasis learning style siswa.
8.
PBM
belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
9.
Pembelajaran
belum menghargai keberagaman.
Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi
bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya
penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses
pembelajaran. Penyesuaian pendidikan
(adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan
pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam
meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan
dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk
merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan
kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut.[11]
3.
Landasan
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Landasan yang digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis,
landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Landasan Filosofis
Secara filosofis, penyelenggaraan
pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang
berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal
Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan
budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan
kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan
bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di
sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai
berikut:
“Hai
manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu
disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengena”.(Q.S.
Al-Hujurat: 13).[12]
3) Pandangan universal hak asasi
manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak
pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.
b. Landasan
Yuridis
Secara yuridis,
pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:
1).
UUD 1945.
2).
UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
3).
UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
4).
UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
5).
UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
7). Surat Edaran Dirjen Dikdasmen
No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif:
Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya
4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
8). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan
Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi
Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Akan tetapi ada yang berbeda yaitu khusus
untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur Nomor
116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
c. Landasan
Empiris
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan
inklusif yaitu:
1).
Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights).
2).
Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children).
3). Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk
Semua 1990 (World Conference on Education for All).
4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang
Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the
equalization of opportunitites for person with dissabilities).
5). Pernyataan
Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on Inclusive
Education).
6). Komitmen Dakar
mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for
All).
7). Deklarasi Bandung
2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”.
8). Rekomendasi
Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah.
4.
Tahapan
Penerapan Pendidikan Inklusif
1. Sebelum menerapkan inklusi ,sebaiknya sekolah sudah penerapan terlebih
dahulu prisip-prisip MBS dengan tiga pilar utama: menagemen sekolah yg
tranparan, akuntable dan demokarif; PAKEM dan optimalisasi peran serta
masyarakat.
2. Kepala sekolah, guru, komite, dan orangtua mendapatkan pemahaman apa,
bagaimana, mengapa konsep inklusi perlu di terapkan.
3. Kepala sekolah dan guru (yang
nantinya akan menjadi GPK=GURU pembibing Khusus) harus mendapatkan
pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
4. GPK mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK.
5. Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengatahui anak ABK.
6. Sekolah melakukan motivasi dan
penjaringan di masyarakat agar anak ABK yang belum masik sekolah mendapatkan
pendidikan secara seimbang dengan memasukannnya ke sekolah inklusi.
7. Pengadaan aksesiblilitas ( sarana dan
prasarana bagi ABK)sesuai kemampuan sekolah.
8. Menyelenggarakan pembelajaraan inklusi.
9. Mengadakan Bimbingsn khusus atas kesepahaman dan kesepatandengan orangtua
ABK.
5.
Kendala
Pendidikan Inklusif
Undang –
undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan
inklusifnya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang
adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem
pendidikan inklusif bagi kelompok difabel.
Beberapa
kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusif,
terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah
inklusif menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusif belum benar – benar
dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada
sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki
perbedaan kemampuan (difabel).
Sehingga sepertinya program pendidikan inklusif hanya terkesan program
eksperimental.
Kondisi
ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan
langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus
berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh
siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang
cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih –
alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang
inklusif, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam
lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru
yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.[13]
6.
Model
Pembelajaran Pendidikan Inklusif
Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas
inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika
diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang
disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Untuk
mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrining
atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas,
bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk
intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud
yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta
didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui
pengamatan yang sensitive.[14]
Seorang pendidik hendaknya
mengetahui program pembelajaran yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola
pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa
disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program
Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak
berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus.
Sebelum Program Pembelajaran
Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus melakukan
identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar
diperoleh informasi yang akurat mengenai kebutuhan pembelajaran anak
berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau assesment
dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi, maka Program
Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas reguler. Program
Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak diperlukan bagi anak
berkebutuhan khusus dalam pembelajaran model inklusif di kelas reguler. Pada
praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak memerlukan Program
Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler
dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan. Program Pembelajaran Individual
meliputi enam komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering
behavior, terminal objective, dan enroute. Secara terperinci, keenam
komponen tersebut yaitu:
a. Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang
dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku.
b. Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik
terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan.
c. Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang
muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang
dianggap baik.
d. Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran.
e. Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu
tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan.
Model pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus.
Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan
sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip
memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus
belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler
maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama.
Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik
berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik
berkebutuhan .khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui Program
Pembelajaran Individual (IEP).[16]
7.
Kelebihan
dan Kelemahan Pendidikan inklusi
·
Kelebihannya
Pendidikan
Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah
menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.
Dengan
diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar
Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan
penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium
sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.
Munculnya
sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1)
keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan
mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada
orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya;
4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan
juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat
diikuti anak cacat ada kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat
menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan
diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji
dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.
Penyelenggaraan
tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik
dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai
dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya,
social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas
sekalipun cacat. Sungguh merupakan harapan kita semua Program
Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar
kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama.
·
Kelemahannya
Kelemahan
dari pendidikan inklusif sebagai berikut:
1.
jumlah
ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
Menurut data UNESCO tahun 2009,
ranking Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak
berkebutuhan khusus atau ABK terus mengalami kemerosotan. Pada 2007, ranking
Indonesia berada di urutan ke-58 dari 130 negara, sedangkan pada 2008 turun ke
ranking ke-63 dari 130 negara. Pada 2009, ranking Indonesia bahkan kian merosot
hingga di peringkat ke-71 dari 129 negara. Semua hal di atas dikarenakan jumlah
ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
2. Kurikulum yang tersusun kaku dan
kurang tanggap terhadap kebutuhan anak yang berbeda.
Banyak negara mendorong kebutuhan
pendidikan dasar tanpa memerhatikan isu pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Namun, pendidikan inklusi tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah
karena itu justru akan menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus
masuk dalam kurikulum arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru dan
sekolah, serta masyarakat masih parsial terhadap penyelenggaraan pendidikan
inklusi, sehingga akses Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengenyam pendidikan
masih begitu sempit.
3.
kebijakan
yang kurang mendukung
kebijakan pemerintah tidak
memisahkan komponen pendidikan khusus ini, harusnya tidak lagi dibedakan.
Pendidikan inklusi sudah bukan lagi tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan
umum.
4.
kurangnya
ketersediaan anggaran
Minimnya anggaran yang disediakan
pemerintah adalah sisi lain akibat tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah. [17]
5.
Dukungan
Sumber Daya Manusia (SDM)
6.
Paradigma/
Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
8.
Tujuan
Pendidikan Inklusif
Pendidikan
merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan
hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk
memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa
terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD
1945 pasal 31 (1).
Selama ini
anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan
derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB).
Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok
eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme
tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal
antara anak-anak difabel dengan ana- anak non-difabel.
Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat
kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di
masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel.
Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian
yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring
dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak-haknya,
maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusif.
Salah satu
kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi
adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional
Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini
disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem
pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya
adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan
masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih
menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi
pendidikan, dalam hal ini para guru. Dan selain diuaraikan tujuan
pendidikannya, tujuan pembelajaran anak
berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi dan misi pembelajaran yang sudah
ditetapkan. komponen-komponen dasar model pembelajaran anak berkebutuhan khusus
dapat dikelompokkan menjadi:
1.
masukan yang berupa
masukan mentah yang terdiri dari elicitors, behaviors dan reinforces,
masukan instrumen yang terdiri dari program, guru kelas, tahapan dan sarana
serta masukan lingkungan yang berupa norma, tujuan dan tuntutan.
2.
Proses yang terdiri
dari atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, dan refleksi
hasil pembelajaran.
3.
Keluaran berupa
perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau
hambatan perkembangan diri.[18]
9.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian diatas, penulis mengambil kesimpulan dari pendidikan inklusif yaitu
sebagai berikut:
1.
Pendidikan
inklusif ini, adalah sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah
secara menyeluruh, yang kelak diharapkan bisa memberi jaminan bahwa strategi nasional
tentang “Pendidikan Untuk Semua”
benar-benar dimiliki semua kalangan, tidak membeda-bedakan apakah mereka
tergolong anak-anak berkelainan atau tidak. Pendidikan merupakan kebutuhan
dasar setiap manusia untuk menjamin.
2.
Pentingnya
pendidikan inklusif karena pendidikan sekarang ini belum memuaskan dan tidak
semua pendidikan yang bisa menerima dan mendidik anak dari kalangan yang
bebeda-beda. Maka dari itu pendidikan inklusif sangat penting untuk kemajuan
pendidikan di Indonesia.
3.
Pendidikan
inklusif mempunyai tiga landasan yaitu: landasan filosofis, yuridis, dan
empiris.
4.
Pendidikan inklusif juga mempunyai
tahapan dan kendala yang memang tidak luput dari kelebihan dan kekurangan
pendidikan itu sendiri.
B.
Saran
Dalam
pembuatan makalah ini kiranya dapat menambah wawasan tentang an sama dan
mempperbedaan pendidikan umum dan pendidikan inklusif. Karena banyak orang
beranggapan bahwa semua pendidikan sama dan mempunyai tujuan yang sama. Maka
dari itu penulis menghimbau agar kita sebagai mahasiswa harus bisa membedakan.
Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini terutama kepada dosen pembimbing bpk. Dr. Muhammad Idris yang
selalu memberikan ilmu dan nasehat yang membangun motivasi saya dalam segala hal.
DAFTAR
PUSTAKA
Baihaq
MIF. i dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: PT.
Refika Aditama, 2006
Delphie Bandi, Pembelajaran Anak
Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2006
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005
Delphie Bandi, Pembelajaran Anak
Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusif, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2006
Daniel, P Hallahan dkk., Exceptional
Learners: An Introduction to Special Education, Boston: Pearson Education
Inc., 2009
Ensiklopedi
Online Wikipedia “Inclusion” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 31/03/2012,19.00.
http://dedekusn.com/pendidikan/pentingnya-pendidikan-inklusif/, 03/04/2012, 17.35.
http://www.
Mukhlisfahrudin. Web. Id/hub-pendidik-dan-metode-pengajaran. Html/30/03/2012.
19.00
Mudyahardjo
Redja, Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002
Reid,
Gavin Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching
and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005
Roqib, Muhammad. Ilmu Pendidikan
Islam, Yogyakarta : PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009
Smith. David, J Inklusif, Sekolah
Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006
Stephens, M Thomas, dkk., Teaching Mainstreamed
Students, Canada: John Wiley & Sons, 1982
Suharto
Toto, Filsafat Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
Santrock, W
John., Educational Psychology, New York: The McGraw Hill Inc.,
2004
[2] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2006), h. 5.
[3]
Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches
for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher,
2005), h. 88.
[6]
MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak
ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76.
[8] Daniel P.
Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston:
Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53.
[9]
Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29,
31/03/2012,19.00.
[10]Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu
Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h.
1.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,(Bandung: CV. Penerbit
J-Art, 2005), h. 517
[14] Bandi
Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan
Inklusif, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1
[17]Anonim. 2009. Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala,
(Online), (http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=499:pendidikan-inklusi-masih-banyak-kendala&catid=117:terkini&Itemid=136, diakses 20 Desember 2009).
EmoticonEmoticon