Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Inklusif

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah proses transformasi pengetahuan menuju ke arah perbaikan, penguatan dan penyempurnaan semua potensi manusia. Oleh karena itu, pendidikan tidak mengenal ruang dan waktu, ia tidak dibatasi oleh tebalnya tembok sekolah dan juga sempitnya waktu belajar di kelas. Pendidikan berlangsung sepanjang hayat dan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja manusia dan mampu melakukan proses kependidikan[1]
Pendidikan inklusif juga mempunyai tujuan yang sama dengan pendidikan umum. Akan tetapi cara penerapannya agak berbeda dengan pendidikan umum. Pendidikan inklusif adalah pendidikan terbuka, dimana semua anak didik yang berkeinginan sekolah bisa melanjutkan ke pendidikan inklusif. [2]
Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.
Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya.




B.     Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas amaka penulis dapat mengambil beberapa permasalahan tentang “Pendidikan Inklusif (Terbuka)” yaitu sebagai berikut:
1.      Apa Pengertian Pendidikan Inklusif ?
2.      Apa Pentingnya Pendidikan Inklusif ?
3.      Apa Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ?
4.      Bagaimana Tahapan Penerapan Pendidikan Inklusif ?
5.      Apa Kendala Pendidikan Inklusif ?
6.      Bagaimana Model Pembelajaran Pendidikan Inklusif ?
7.      Apa Kekuatan dan Kelemahan Pendidikan Inklusif ?
8.      Apa Tujuan Pendidikan Inklusif ?
BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Pendidikan Inklusif
Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu sama lai.[3]
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang dilaksanakan di sekolah / kelas reguler dengan melibatkan seluruh peserta didik tanpa kecuali, meliputi : anak yang memiliki perbedaan bahasa, beresiko putus sekolah karena sakit, kekurangan gizi, tidak berprestasi, anak yang berbeda agama, penyandang HIV/ AIDS, dan sebagainya. Mereka dididik dan diberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan cara yang ramah dan penuh kasih sayang tanpa diskriminasi.[4]
Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu. Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu.
Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.[5]
Pendidikan inklusif ini, adalah sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh, yang kelak diharapkan bisa memberi jaminan bahwa strategi nasional tentang “Pendidikan Untuk Semua” benar-benar dimiliki semua kalangan, tidak membeda-bedakan apakah mereka tergolong anak-anak berkelainan atau tidak. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1). Namun sayangnya sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama, etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik fisik maupun mental yang dimiliki oleh siswa. Jelas segmentasi lembaga pendidikan ini telah menghambat para siswa untuk dapat belajar menghormati realitas keberagaman dalam masyarakat.
Selama ini anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak – anak yang berkebutuhan khusus.
MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat.[6]
 Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak – anak difabel dengan anak - anak non-difabel. Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat.
Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusif di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru. Kesimpulannya Pendidikan Inklusif adalah sebuah pendekatan yang saat sedang berkembang yang ditujukan untuk memenui kebutuhan kebutuhan belajar pada siswa, dalam hal ini adalah anak-anak berkebutuhan khusus.[7]
Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi perbedaan.
Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik. [8]
Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah.[9]
Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.
Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya (impairment).[10]
Sekolah tinggi agama Islam (STAIN) Manado ini bisa dikatakan pendidikan Inklusif, akan tetapi hanya dalam kategori agama. Maksudnya, di STAIN, tidak diperbolehkan agama lain bersekolah. Karena STAIN lebig khusus ke pendidikan agama Islam. pendidkan inklusif ada karena kebutuhan. Manusia hidup dengan mempunyai kemampuan dan kondisi yang berbeda. Ada yang berkebutuhan normal da nada yang berkebutuhan khusus. Jadi, dengan adanya pendidikan inklusif inisemua anak-anak bisa mengenyam pendidikan.

2.      Pentingnya Pendidikan Inklusif
1.      Mutu pendidikan masih belum memuaskan (belum: cageur, bageur, bener, tur singer vs kecerdasan intelektual, sosial, emosional, spiritual, fisikal).
2.      Masih banyak anak usia sekolah belum mendapat layanan pendidikan yang baik.
3.      Pendidikan masih diskriminatif.
4.      Pembelajaran masih teacher centre.
5.      Proses Belajar Mengajar (PBM) belum mengakomodasi kebutuhan siswa.
6.      Lingkungan pendidikan masih belum ramah anak.
7.      Pembelajaran masih belum berbasis learning style siswa.
8.      PBM belum dilaksanakan dengan aktif, kreatif, dan menyenangkan.
9.      Pembelajaran belum menghargai keberagaman.
Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut.[11]

3.      Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a.      Landasan Filosofis
            Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)      Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2)      Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur’an sebagai berikut:










Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengena”.(Q.S. Al-Hujurat: 13).[12]
3)      Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, dan hak pekerjaan.

b.      Landasan Yuridis
                        Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:
1). UUD 1945.
2). UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat.
3). UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
4). UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
5). UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
6). Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
7). Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.
8). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Akan tetapi ada yang berbeda yaitu khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu: Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.
c.       Landasan Empiris
Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:
1).   Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights).
2).   Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children).
3).  Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All).
4)   Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities).
5).  Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca Statement on Inclusive Education).
6).  Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All).
7).  Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif”.
8).  Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan ramah.

4.      Tahapan Penerapan Pendidikan Inklusif

1.      Sebelum menerapkan inklusi ,sebaiknya sekolah sudah penerapan terlebih dahulu prisip-prisip MBS dengan tiga pilar utama: menagemen sekolah yg tranparan, akuntable dan demokarif; PAKEM dan optimalisasi peran serta masyarakat.
2.      Kepala sekolah, guru, komite, dan orangtua mendapatkan pemahaman apa, bagaimana, mengapa konsep inklusi perlu di terapkan.
3.      Kepala sekolah dan guru (yang nantinya akan menjadi GPK=GURU pembibing Khusus) harus mendapatkan pelatihan bagaimana menjalankan sekolah inklusi.
4.      GPK mendapatkan pelatihan teknis memfasilitasi anak ABK.
5.      Asesmen di sekolah dilakukan untuk mengatahui anak ABK.
6.       Sekolah melakukan motivasi dan penjaringan di masyarakat agar anak ABK yang belum masik sekolah mendapatkan pendidikan secara seimbang dengan memasukannnya ke sekolah inklusi.
7.      Pengadaan aksesiblilitas ( sarana dan prasarana bagi ABK)sesuai kemampuan sekolah.
8.      Menyelenggarakan pembelajaraan inklusi.
9.      Mengadakan Bimbingsn khusus atas kesepahaman dan kesepatandengan orangtua ABK.

5.      Kendala Pendidikan Inklusif
Undang – undang tentang pendidikan inklusi dan bahkan uji coba pelaksanaan pendidikan inklusifnya pun konon telah dilakukan. Namun yang menjadi pertanyaan sekarang adalah sejauh mana keseriusan pemerintah untuk mendorong terlaksananya sistem pendidikan inklusif bagi kelompok difabel.
Beberapa kasus muncul misalnya minimnya sarana penunjang sistem pendidikan inklusif, terbatasnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimiliki oleh para guru sekolah inklusif menunjukkan betapa sistem pendidikan inklusif belum benar – benar dipersiapkan dengan baik. Apalagi sistem kurikulum pendidikan umum yang ada sekarang memang belum mengakomodasi keberadaan anak – anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel). Sehingga sepertinya program pendidikan inklusif hanya terkesan program eksperimental.
Kondisi ini jelas menambah beban tugas yang harus diemban para guru yang berhadapan langsung dengan persoalan teknis di lapangan. Di satu sisi para guru harus berjuang keras memenuhi tuntutan hati nuraninya untuk mencerdaskan seluruh siswanya, sementara di sisi lain para guru tidak memiliki ketrampilan yang cukup untuk menyampaikan materi pelajaran kepada siswa yang difabel. Alih – alih situasi kelas yang seperti ini bukannya menciptakan sistem belajar yang inklusif, justeru menciptakan kondisi eksklusifisme bagi siswa difabel dalam lingkungan kelas reguler. Jelas ini menjadi dilema tersendiri bagi para guru yang di dalam kelasnya ada siswa difabel.[13]
6.      Model Pembelajaran Pendidikan Inklusif
            Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus. Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus diperlukan proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitive.[14]
            Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus memiliki kemampuan khusus.
            Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat mengenai kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi, maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran model inklusif di kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak memerlukan Program Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan. Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors, behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Secara terperinci, keenam komponen tersebut yaitu:
a.      Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau menyebabkan perilaku.
b.      Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia lakukan.
c.       Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik.
d.      Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran.
e.       Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan pembelajaran yang bersifat tahunan.
f.        Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective.[15]
            Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan .khusus membutuhkan pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran Individual (IEP).[16]
7.      Kelebihan dan Kelemahan Pendidikan inklusi
·            Kelebihannya
Pendidikan Inklusi dalam penyelenggaraannya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan pendidikan terpadu atau pendidikan khusus (segregasi) sehingga sangat tepat apabila pemerintah menyelenggarakan dan mengembangkan program ini.
Dengan diselenggarakannya pendidikan Inklusi bukan berarti SLB (Sekolah Luar Biasa), sekolah terpadu dan SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) ditutup, akan tetapi dijadikan mitra kerja yang baik dengan penyelenggaraan Sekolah Inklusi , bahkan kalau perlu dijadikan laboratorium sekolah dan nara sumber bagi guru0guru khusus yang mengajar di sekolah inklusi.
Munculnya sekolah inklusi karena memiliki beberapa keistimewaan antara lain : 1) keberadaan anak cacat diakui sejajar dengan anak normal; 2) lingkungan mengajarkan kebersamaan dan menghilangkan diskriminasi; 3) memberi kesan pada orang tua dan masyarakat bahwa anak cacat pun mampu seperti anak pada umumnya; 4) anak yang berkelainan akan belajar meerima dirinya sebagaimana adanya dan juga tidak menkadi asing lagi di lingkungannya; 5) aktivitas yang mungkin dapat diikuti anak cacat ada  kesempatan untk berpartisipasi sehingga dapat menunjukkan kemampuannya di lingkungan anak normal; dan 6) membutuhkan pegangan diri yaitu dnegan belajar secara kompetitif, eksistensi anak caat akan teruji dalam persaingan secara sehat dengan anak pada umumnya.
Penyelenggaraan tersebut pada hakekatnya memebrikan kesempatan yang sama setiap peserta didik dalam mengikuti pendidikan denganSistem Persekolahan Reguler sesuai dengankebutuhan individunya tanpa membedakanlatar belakang agama, budaya, social, sekonomi maupun suku. Namun menngharap anak manusia yang berkualitas sekalipun  cacat. Sungguh merupakan harapan kita semua Program Penyelenggaraan Sekolah Inklusi ini dapat terlaksana dengan baik atas dasar kepedulian Pemerintah dan kepedulian kita bersama.
·            Kelemahannya
Kelemahan dari pendidikan inklusif sebagai berikut:
1.      jumlah ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
Menurut data UNESCO tahun 2009, ranking Indonesia dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus atau ABK terus mengalami kemerosotan. Pada 2007, ranking Indonesia berada di urutan ke-58 dari 130 negara, sedangkan pada 2008 turun ke ranking ke-63 dari 130 negara. Pada 2009, ranking Indonesia bahkan kian merosot hingga di peringkat ke-71 dari 129 negara. Semua hal di atas dikarenakan jumlah ABK di Indonesia masih sedikit yang terdaftar di sekolah.
2.      Kurikulum yang tersusun kaku dan kurang tanggap terhadap kebutuhan anak yang berbeda.
Banyak negara mendorong kebutuhan pendidikan dasar tanpa memerhatikan isu pendidikan anak berkebutuhan khusus. Namun, pendidikan inklusi tidak kemudian mensyaratkan kurikulum yang terpisah karena itu justru akan menciptakan segregasi.Kurikulum pendidikan inklusi harus masuk dalam kurikulum arus utama. Inisiatif para stakeholders, guru dan sekolah, serta masyarakat masih parsial terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusi, sehingga akses Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mengenyam pendidikan masih begitu sempit.
3.      kebijakan yang kurang mendukung
kebijakan pemerintah tidak memisahkan komponen pendidikan khusus ini, harusnya tidak lagi dibedakan. Pendidikan inklusi sudah bukan lagi tambahan, tetapi masuk dalam pengaturan umum.
4.      kurangnya ketersediaan anggaran
Minimnya anggaran yang disediakan pemerintah adalah sisi lain akibat tidak adanya dukungan kebijakan pemerintah. [17]
5.      Dukungan Sumber Daya Manusia (SDM)
6.      Paradigma/ Pandangan Masyarakat Terhadap Pendidikan Inklusi
Pendidikan inklusi memang tidak popular dalam masyarakat. Masyarakat hanya disibukan dengan urusan meningkatkan kualitas pendidikan secara horizontal maupun vertical. Sehingga anak bangsa yang memiliki kebutuhan yang terbatas ini sering termarginalkan (kaum yang tersisih). Pelayanan pendidikan ini memang memerlukan sarana dan prasarana yang cukup besar tapi bukan berarti harus ditinggalkan karena mereka mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan.
8.      Tujuan Pendidikan Inklusif
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Karena itu negara memiliki kewajiban untuk memberikan pelayanan pendidikan yang bermutu kepada setiap warganya tanpa terkecuali termasuk mereka yang memiliki perbedaan dalam kemampuan (difabel) seperti yang tertuang pada UUD 1945 pasal 31 (1).
Selama ini anak-anak yang memiliki perbedaan kemampuan (difabel) disediakan fasilitas pendidikan khusus disesuaikan dengan derajat dan jenis difabelnya yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). Secara tidak disadari sistem pendidikan SLB telah membangun tembok eksklusifisme bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tembok eksklusifisme tersebut selama ini tidak disadari telah menghambat proses saling mengenal antara anak-anak difabel dengan ana- anak non-difabel.
 Akibatnya dalam interaksi sosial di masyarakat kelompok difabel menjadi komunitas yang teralienasi dari dinamika sosial di masyarakat. Masyarakat menjadi tidak akrab dengan kehidupan kelompok difabel. Sementara kelompok difabel sendiri merasa keberadaannya bukan menjadi bagian yang integral dari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Seiring dengan berkembangnya tuntutan kelompok difabel dalam menyuarakan hak-haknya, maka kemudian muncul konsep pendidikan inklusif.
Salah satu kesepakatan Internasional yang mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusi adalah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang disahkan pada Maret 2007. Pada pasal 24 dalam Konvensi ini disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusi di setiap tingkatan pendidikan. Adapun salah satu tujuannya adalah untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun dalam prakteknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan persoalan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru. Dan selain diuaraikan tujuan pendidikannya, tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan. komponen-komponen dasar model pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan menjadi:
1.      masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitors, behaviors dan reinforces, masukan instrumen yang terdiri dari program, guru kelas, tahapan dan sarana serta masukan lingkungan yang berupa norma, tujuan dan tuntutan.
2.      Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual, pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran.
3.      Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri.[18]



9.       
BAB III
 PENUTUP
A.       Kesimpulan
        Berdasarkan uraian diatas, penulis mengambil kesimpulan dari pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut:
1.         Pendidikan inklusif ini, adalah sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh, yang kelak diharapkan bisa memberi jaminan bahwa strategi nasional tentang “Pendidikan Untuk Semua” benar-benar dimiliki semua kalangan, tidak membeda-bedakan apakah mereka tergolong anak-anak berkelainan atau tidak. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin.
2.         Pentingnya pendidikan inklusif karena pendidikan sekarang ini belum memuaskan dan tidak semua pendidikan yang bisa menerima dan mendidik anak dari kalangan yang bebeda-beda. Maka dari itu pendidikan inklusif sangat penting untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
3.         Pendidikan inklusif mempunyai tiga landasan yaitu: landasan filosofis, yuridis, dan empiris.
4.         Pendidikan inklusif juga mempunyai tahapan dan kendala yang memang tidak luput dari kelebihan dan kekurangan pendidikan itu sendiri.






B.        Saran
Dalam pembuatan makalah ini kiranya dapat menambah wawasan tentang an sama dan mempperbedaan pendidikan umum dan pendidikan inklusif. Karena banyak orang beranggapan bahwa semua pendidikan sama dan mempunyai tujuan yang sama. Maka dari itu penulis menghimbau agar kita sebagai mahasiswa harus bisa membedakan. Saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini terutama kepada dosen pembimbing bpk. Dr. Muhammad Idris yang selalu memberikan ilmu dan nasehat yang membangun motivasi saya dalam segala hal.



DAFTAR PUSTAKA


Baihaq MIF. i dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
Delphie Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005
Delphie Bandi, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusif, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006
Daniel, P Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, Boston: Pearson Education Inc., 2009
Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 31/03/2012,19.00.
http://www. Mukhlisfahrudin. Web. Id/hub-pendidik-dan-metode-pengajaran. Html/30/03/2012. 19.00

Mudyahardjo Redja,  Pengantar Pendidikan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002

Reid, Gavin Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005

Roqib, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam, Yogyakarta : PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009
Smith. David, J Inklusif, Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa, 2006
Stephens, M Thomas, dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John Wiley & Sons, 1982
Suharto Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006
Santrock, W John., Educational Psychology, New York: The McGraw Hill Inc., 2004




                [1] Dr. Moh.Roqib, M.Ag, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta : PT. Lkis Printing Cemerlang, 2009),  hal. 1.
[2] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2006), h. 5.                           
[3] Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88.
[5] J. David Smith, Inklusif, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45
[6] MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 75-76.
[7] https://keluargasehat.wordpress.com/2011/01/19/pendidikan-inklusif,31/03/2012,19.00.
[8] Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53.
[9] Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 31/03/2012,19.00.
[10]Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1.

                [11] Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley & Sons, 1982), hal. 27.
[12] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,(Bandung: CV. Penerbit J-Art, 2005), h. 517
[13] https://keluargasehat.
[14] Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusif, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1

[15] Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 150-151.

[16] Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154.
[17]Anonim. 2009. Pendidikan Inklusi Masih Banyak Kendala, (Online), (http://www.ykai.net/index.php?option=com_content&view=article&id=499:pendidikan-inklusi-masih-banyak-kendala&catid=117:terkini&Itemid=136, diakses 20 Desember 2009).

         [18] John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004), hal. 175.


EmoticonEmoticon