Senin, 06 Oktober 2014

Pembagian Hukum Syara'

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sebagaimana telah disepakati oleh ulama, meskipun mereka berlainan mazhab, bahwa segala ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik berupa ibadah, muamalah, pidana, perdata, atau berbagai macam perjanjian, atau pembelanjaan, maka semua itu mempunyai hukum di dalam syariat Islam. Hukum-hukum ini sebagian telah dijelaskan oleh berbagai nash yang ada di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan sebagian lagi belum dijelaskan oleh nash dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, akan tetapi syariat telah menegakkan dalil dan mendirikan tanda-tanda dari bagi hukum itu, di mana dengan perantaraan dalil dan tanda itu seorang mujtahid mampu mencapai hukum itu dan menjelaskannya.

Dari kumpulan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan ucapan dan perbuatan yang timbul dari manusia, baik yang diambil dari nash dalam berbagai kasus yang ada nashnya, maupun yang diistinbatkan dari berbagai dalil syar’I lainnya dalam kasus-kasus yang tidak ada nashnya, terbentuklah fiqh.


A.  Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan Hukum Syara?
2.      Mengapa hukum syara sampai terbagi ke dalam beberapa bentuk?
3.      Apakah yang dimaksud dengan hokum taklifi dan wadh’i?





BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dan Pembagian Hukum Syara
a)      Pengertian hukum syara’
            Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat dikatakan  bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk seluruh anggotanya.
           Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah : seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui & diyakini  berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
           Terdapat juga perbedaan Hukum Syara menurut ahli Ushul Fiqh & Ahli Fiqh dalam memberikan definisi terhadap hukum syara. Hukum Syara menurut ahli ushul fiqh yaitu : Khitab (Titah) Allah yang menyangkut tindak-tanduk mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat / tidak, atau dalam bentuk ketentuan-ketentuan. Ahli Ushul memandang pengatahuan tentang  titah Allah yang menyangkut tindak-tanduk manusia itulah yang disebut Hukum Syara.
           Seperti titah Allah : Kerjakanlah Sholat, atau larangannya: Janganlah kamu memakan harta orang lain secara bathil. Sedangkan Ahli Fiqh memberikan definisi Hukum Syara sebagai berikut: Sifat yang merupakan pengaruh / akibat yang timbul dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu. [1]

HUKUM (al-hukm) secara bahasa (etimologi) berarti mencegah, memutuskan. Menurut terminologi ushul fiqh, hukum syar’i adalah khitab (kalam) Allah Swt yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf , baik berupa iqtidha` (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/m ā ni’).
b)     Penjelasan definisi hukum Syara’
Yang dimaksud Khithabullah adalah semua bentuk dalil-dalil hukum, baik Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’ dan Qiyas. Namun Abdul Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, adapun ijma’ dan qiyas sebagai metode menyingkapkan hukum dari Qur’an dan sunnah. Al-Quran dianggap sebagai kalam Allah secara langsung, dan sunnah sebagai kalam Allah secara tidak langsung karena Rasulullah Saw tidak mengucapkan sesuatu dibidang hukum kecuali berdasarkan wahyu, sesuai firman Allah:
وما ينطق عن الهوى ان هو الا وحي يوحى ( النجم : 2 - 3)
Demikian pula dengan ijma’ harus mempunyai sandaran kepada al-Quran dan sunnah. Yang dimaksud perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa, berakal sehat, termasuk perbuatan hati (seperti niat), dan perbuatan ucapan (seperti ghibah).
C. Pembagian Hukum Syara’ [2]
  1. Hukum Taklifi dan Wadh’i
a)    HUKUM TAKLIFI
adalah hukum yang mengandung perintah, larangan, atau memberi pilihan terhadap seorang mukallaf untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat. ما اقتضى طلب فعل من المكلف او كفه عن فعل او تخييره بين الفعل والكف عنه .
Misalnya, hukum taklifi menjelaskan bahwa shalat 5 waktu wajib, khamar haram, riba haram, makan-minum mubah.  وأقيموا الصلاة وآتوا الزكاة ... /// وكلوا واشربو ...
Bentuk-bentuk Hukum Taklifi menurut Jumhur Fiqih:
Ø  WAJIB
            Secara etimologi berarti tetap atau pasti. Secara terminologi, sesuatu yang diperintahkan Allah dan RasulNya untuk dilaksanakan oleh mukallaf, jika dilaksanakan mendapat pahala, sebaliknya jika tidak dilaksanakan diancam dengan dosa. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56

yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
Ø MANDUB
          secara bahasa berarti sesuatu yang dianjurkan. Secara istilah, suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan RasulNya dimana akan diberi pahala orang yang melaksanakannya, namun tidak dicela orang yang tidak melaksanakannya. Mandub atau nadb disebut juga sunnah, nafilah, mustahab, tathawwu’, ihsan, dan fadhilah. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282
                                                   
yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…..”
Ø HARAM
          Secara bahasa berarti sesuatu yang dilarang mengerjakannya. Secara istilah, sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasulnya, dimana orang yang melanggarnya diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannyakarena menaati Allah akan diberi pahala. Misal: larangan zina.

Ø MAKRUH
          Secara bahasa berarti sesuatu yang dibenci. Secara istilah, sesuatu yang dianjurkan syariat untuk meninggalkannya, dimana jika ditinggalkan akan mendapat pujian dan pahala, dan jika dilanggar tidak berdosa. Misal, dalam mazhab Hanbali makruh berkumur-kumur dan memasukkan air ke hidung ( المضمضة والإستنشاق ) secara berlebihan ketika wudhu di siang hari Ramadhan. [3]
Ø MUBAH
          Secara bahasa berarti sesuatu yang dibolehkan atau diizinkan. Secara istilah, sesuatu yang diberi pilihan oleh syariat kepada mukallaf untuk melakukan atau tidak, dan tidak ada hubungannya dengan dosa serta pahala. Misal: jika terjadi puncak cekcok suami-istri, maka boleh (mubah) bagi istri membayar sejumlah uang kepada suami dan meminta suami menceraikannya (QS. Al-Baqarah: 229).
Pembagian WAJIB (1) Dari segi Orang Yang dibebani kewajiban WAJIB ‘AINI Kewajiban yg dibebankan kepada setiap mukallaf (sudah baligh dan berakal), tanpa terkecuali. Misal: shalat wajib. WAJIB KIFYĀ `I Kewajiban yg dibebankan kepada seluruh mukallaf, namun jika telah dilaksanakan oleh sebagian umat Islam, maka kewajiban itu sudah dianggap terpenuhi (Shalat jenazah). Pembagian WAJIB (2) Dari segi Kandungan Perintah WAJIB MU’AYYAN Kewajiban dimana yg menjadi objeknya adalah tertentu tanpa ada pilihan. Misal: kewajiban puasa di bulan Ramadhan. WAJIB MUKHAYYAR Kewajiban dimana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. (kaffarat sumpah) فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم او كسوتهم اوتحرير رقبة فمن لم يجد فصيام ثلاثة ايام . Pembagian WAJIB (3) Dari segi Waktu Pelaksanaannya WAJIB MUTHLAQ Kewajiban yg pelaksanaannya tidak dibatasi dg waktu tertentu. Misal: kewajiban membayar puasa Ramadhan yg tertinggal. WAJIB MUAQQAT Kewajiban yg pelaksanaannya dibatasi dengan waktu tertentu. MUWASSA’ . Waktu yg tersedia lebih lapang daripada waktu pelaksanaan kewajiban itu sendiri. Misal: Shalat 5 waktu. MUDHAYYAQ . Waktu yg tersedia hanya mencukupi untuk melaksanakan kewajiban itu. Misal: Puasa bulan Ramadhan, haji.
Pembagian MANDUB MANDUB / NADB / SUNNAH MUAKKADAH Sunnah sangat dianjurkan, dibiasakan oleh Rasul Saw dan jarang ditinggalkannya. Misal: Shalat sunnah 2 rakaat sebelum fajar. GHAIR MUAKKADAH Sunnah biasa, sesuatu yg dilakukan Rasul, namun bukan menjadi kebiasaannya. (Shalat sunnah 2x dua rakaat sebelum shalat zuhur). ZAW Ā ID Sunnah mengikuti kebiasaan sehari-hari Rasulullah Saw sebagai manusia. Misal: cara makan rasul, tidur, dll.
Pembagian HARAM, HARAM AL-MUHARRAM LI DZATIHI Diharamkan krn esensinya mengandung kemudharatan bagi kehidupan manusia. Misal: Larangan zina, makan bangkai, darah, babi. AL-MUHARRAM LI GHAIRIHI Dilarang bukan krn esensinya, tapi pada kondisi tertentu dilarang krn ada pertimbangan eksternal. Misal: larangan jual beli saat azan jumat. [4]
Pembagian MAKRUH TAHRIM Dilarang oleh syari’at, tapi dalilnya bersifat dhanni al-wurud (dugaan keras, seperti hadis ahad yg diriwayatkan perorangan). Misal: Larangan meminang wanita yg sedang dalam pinangan orang lain. MAKRUH TANZIH Dianjurkan oleh syariat untuk meninggalkannya. Misal: memakan daging kuda pada waktu sangat butuh di waktu perang, menurut sebagian Hanafiah.
Pembagian MUBAH Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitab Muwafaqat membagi mubah menjadi 3 macam: a) Mubah yg berfungsi untuk mengantarkan seseorang kepada sesuatu hal yg wajib dilakukan. Misal: makan dan minum adalah sesuatu yg mubah, namun berfungsi untuk menggerakkan seseorang mengerjakan kewajiban shalat dsb. b) Sesuatu dianggap mubah hukumnya jika dilakukan sekali-sekali, tetapi haram hukumnya jika dilakukan setiap waktu. Misal: bermain dan mendengar musik, jika menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan bermusik maka menjadi haram. c) Sesuatu yg mubah yg berfungsi sebagai sarana mencapai sesuatu yg mubah pula. Misal: membeli perabot rumah untuk kepentingan kesenangan.
Pembagian SEBAB a) Sebab yg bukan merupakan perbuatan mukallaf, dan berada di luar kemampuannya. Namun, sebab itu mempunyai hubungan dengan hukum taklifi, karena syariat telah menjadikannya sebagai alasan bagi adanya suatu kewajiban yg harus dilaksanakan oleh mukallaf. Misal, tergelincir matahari menjadi sebab (alasan) bagi datangnya waktu shalat dhuhur, masuknya awal bulan ramadhan menjadi sebab bagi kewajiban puasa ramadhan. b) Sebab yg merupakan perbuatan mukallaf dan dalam batasan kemampuannya. Misal: perjalanan (safar) menjadi sebab bagi bolehnya berbuka puasa di siang ramadhan, akad jual beli menjadi sebab bagi perpindahan hak milik dari penjual kepada pembeli.
b)      WADH’I,  HUKUM WADH’I adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur tentang sebab, syarat, dan māni’ (sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum taklifi). ما اقتضى وضع شيء سببا لشيئ او شرطا له او مانعا منه.
Misalnya, hukum wadh’i menjelaskan bahwa waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab tanda bagi wajibnya mukallaf menunaikan shalat zuhur. Wudhu’ menjadi syarat sahnya shalat. Atau, kedatangan haid menjadi penghalang/ māni’ seorang wanita melakukan kewajiban shalat dan puasa. [5]
Hukum Wadh’I bukanlah dalam bentuk tuntutan, tetapi dalam bentuk ketentuan yang ditetapkan pembuat hukum sebagai sesuatu yang berkaitan dengan hukum taklifi / merupakan akibat dari pelaksanaan hukum taklifi itu. 
Ø  SEBAB
            Secara bahasa berarti sesuatu yg bisa menyampaikan seseorang kepada sesuatu yg lain. Secara istilah, sebab yaitu sesuatu yg dijadikan oleh syariat sebagai tanda bagi adanya hukum, dan tidak adanya sebab sebagai tanda bagi tidak adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir” Pada ayat tersebut, tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.

Ø  SYARAT
            Secara bahasa berarti sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yg lain, atau sebagai tanda. Secara istilah, syarat yaitu sesuatu yg tergantung kepadanya ada sesuatu yg lain, dan berada di luar hakikat sesuatu itu. Misalnya firman Allah dalam surat an-Nisa: 6

yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
            Ayat tersebut menunjukan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.
Ø  M Ā NI’
Secara bahasa berarti penghalang dari sesuatu. Secara istilah, maksudnya adalah sesuatu yg ditetapkan syariat sebagai penghalang bagi adanya hukum, atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi: “ pembunuh tidak mendapat waris.” Hadits tersebut menunjukan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.








BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum Syari’ (hukum syara) adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum” dan kata Syara. Kata hukum berasal dari bahasa Arab “ Hukum” yang secara etimologi berarti memutuskan, menetapkan & menyelesaikan. Kata hukum sudah menjadi bahasa baku dalam bahasa indonesia. Dalam pengertian secara definisi kata “hukum” itu terdapat perbedaan rumusan yang begitu luas. Meskipun demikian dalam arti yang sederhana dapat dikatakan  bahwa hukum adalah : “seperangkat peralatan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan & di akui oleh satu negara / kelompok masyarakat, berlaku & mengikat untuk seluruh anggotanya.
Kata Syara secara etimologis berarti : Jalan, jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Jadi Hukum Syara adalah : seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui & diyakini berlaku serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
B.Saran
    Kami sebagai penulis menyadari masih banyak kekurangan yang terdapat di dalam makalah ini. Oleh sebab itu harapan kami dari teman-teman sekalian serta bapak ibu dosen pembimbing dapat memberikan masukan-masukan kepada kami selaku penulis untuk perbaikan makalah ini kearah yang lebih baik kedepannya.  





Daftar Pustaka
Khllaf Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Pustaka, 1994)
Zahra Abu Muhammad, Ushul Fiqh, (Pajaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999)
Al-Bardisi, Ushil Fiqh, (Mesir Dar al Nahda, 1969)
Harun Nasrun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta:  Logos Publishing House, 1996)
                                                        



[1] Harun Nasrun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta:  Logos Publishing House, 1996) h. 207-211
              [2] Abdul Khllaf Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Pustaka, 1994) h.78

                [3] Muhammad Abu  Zahra, Ushul Fiqh, (Pajaten Barat: Pustaka Firdaus, 1999) h. 112

               [4] Al-Bardisi, Ushil Fiqh, (Mesir Dar al Nahda, 1969) h. 93
             [5] Nasrun Harun, “ Ushul Fiqih” (Jakarta:  Logos Publishing House, 1996) h. 65    


EmoticonEmoticon