BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
mengkaji pendidikan agama Islam yang dapat meningkatkan kecerdasan kognitif, afektif
dan psikomotorik peserta belajar, tidak dapat dilepaskan dengan unsur-unsur
seperti: guru, siswa, kurikulum, lingkungan, serta model pembelajaran yang
dipilih oleh guru. Aspek-aspek tersebut akan sangat menentukan hasil belajar
yang diharapkan baik yang berupa dampak pengajaranmaupundampakpenggiringnya.
Model
pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memperhatikan pola
pembelajaran tertentu. Model-model pembelajaran berkembang sesuai dengan
perkembangan kebutuhan peserta didik. Guru yang profesional dituntut mampu
pengembangkan model perbelajaran, baik teoritik maupun praktek, yang meliputi
aspek-aspek, konsep, prinsip, dan teknik. Memilih model yang tepat merupakan
persyaratan untuk membantu siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Model
pembelajaran berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan belajar siswa.
Jika tenaga pengajar menggunakan model pembelajaran sebagai suatu strategi
mengajar dalam pembelajaran, hendaknya memperhatikan lima aspek kunci dari
pembelajaran yang efektif, yaitu:
(1) Kejelasan,
(2) Variasi,
(3) Orientasi
tugas,
(4) Keterlibatan
siswa dalam belajar, dan
(5) Pencapaian
kesuksesan yang tinggi[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Model Pembelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam)
2.
Aspek-aspek yang terlibat dalam pembelajaran bidang studi PAI
untuk meningkatkan kecerdesan peserta
didik
3.
Model-Model
Pembelajaran yang dapat Meningkatkan Kecerdasan Kognitif, Afektif dan
Psikomotorik
4.
Contextual
Teaching and Learning (CTL)
5.
Kecakapan
Hidup (Life Skill)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Model Pembelajaran PAI (Pendidikan Agama
Islam)
Era globalisasi mambawa dampak yang signifikan terhadap
perubahan-perubahan tata nilai kehidupan masyarakat. Salah satu bentuk
perubahan tata nilai tersebut seperti diungkapkan Naisbitt dan Aburdene dalam
Megatrends 2000 adalah “lemahnya keyakinan keagamaan, sikap individualistis,
materialistis dan hedonistis” (Rahmat, 1991: 71). Keadaaan ini berlawanan
dengan ajaran Islam sekaligus tidak mendukung pencapaian tujuan pendidikan
nasional.[2]
Kondisi objektif terlihat pada berbagai data hasil penelitian,
seperti yang kemukakan oleh (Muhaimin 2002, Nurdin, 2002, Salamah, 2004)
terungkap bahwa proses belajar mengajar PAI khususnya sekolah-sekolah menengah
(SMA) belum dilaksanakan secara optimal, sehingga perannya sebagai mata
pelajaran yang berorientasi pada pembentukan nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT serta akhlak mulia belum dapat dicapai secara efektif.
Beberapa hal yang menyebabkan rendahnya peranan dan efektifitas pendidikan
agama Islam dalam membentuk peserta didik yang beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT serta berakhlak mulia adalah:
1.
Pendidikan agama Islam
selama ini dilaksanakan menggunakan pendekatan pembelajaran yang kurang sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai.
2.
Materi pembelajaran PAI yang lebih banyak
bersifat teori, terpisah-pisah, terisolasi atau kurang terkait dengan mata
pelajaran lain dan bahkan antar sub mata pelajaran PAI itu sendiri, yakni
antara unsur Alquran, Keimanan, Akhlak, Fiqih dan Sejarah Islam (Tarikh) yang
disajikan sendiri-sendiri.
3.
Model pembelajarannya
bersifat konvensional yakni lebih menekankan pada pengayaan pengetahuan
(kognitif pada tingkat yang rendah) dari pada pembentukan sikap (afektif) serta
pembiasaan (psiko-motorik). Sehingga pendidikan agama Islam yang bertujuan
untuk membentuk siswa yang memiliki pengetahuan tentang ajaran agama Islam
serta mampu mengaplikasikan dalam bentuk akhlak mulia belum dapat digapai.
(Salamah: Hasil Penelitian Tesis 2004).[3]
B. Aspek-aspek yang terlibat dalam pembelajaran
bidang studi PAI untuk meningkatkan kecerdesan peserta didik
Upaya untuk mengkaji kembali pelaksanaan pembelajaran PAI di
lembaga pendidikan formal terutama, semakin mendesak apabila dikaitkan dengan
kenyataan di lapangan yakni seperti;
(1)
adanya berbagai krisis
kepercayaan, yang ditandai munculnya ketegangan, konflik di beberapa daerah.
(2)
Krisis akhlak yang
tandai dengan semakin banyaknya kejahatan, baik berupa tindak kekerasan
seperti; tawuran, penyalahgunaan narkona dan lain-lain yang selalu meningkat
setiap tahun.
Melalui pendidikan
agama Islam yang diselenggarakan di sekolah dengan baik, diharapkan para siswa
akan dapat menghindari sifat-sifat tercela tersebut. Peran pendidikan agama
Islam diharapkan dapat mengatasi dampak negatif tersebut dengan menggunakan
berbagai model dan strategi yang dapat menjawab tantangan tersebut. Dalam
mengkaji pendidikan agama Islam yang dapat meningkatkan kecerdasan kognitif,
afektif dan psikomotorik peserta belajar tidak dapat dilepaskan dengan
unsur-unsur seperti: guru, siswa, kurikulum, lingkungan, serta model
pembelajaran yang dipilih oleh guru. Aspek-aspek tersebut akan sangat
menentukan hasil belajar yang diharapkan baik yang berupa dampak pengajaran
maupun dampak penggiringnya. Aspek-aspek tersebut dapat dipetakan dalam bentuk
bagan berikut ini:
Bagan 1. Aspek-aspek yang terlibat dalam pembelajaran bidang studi PAI untuk meningkatkan kecerdesan peserta didik.
Upaya untuk mengoptimalkan aspek-aspek yang berpengaruh dalam
pembela-jaran tersebut, salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah
misalnya dengan melaksanalan pembaharuan kurikulukum, yang dikenal dengan
kurikulum berbasis kompetensi. Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas tahun 2002
mengungkapkan bahwa ciri-ciri kurikulum berbasis kompetensi adalah:[4]
(1)
Menekankan pada
ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal;
(2)
berorientasi pada
hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman;
(3)
Penyampaian dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi;
(4)
Sumber belajar bukan
hanya guru, tetapi apa saja yang memenuhi unsur edukatif;
(5)
Penilaian yang menekankan pada proses dan
hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. (Pusat
Kurikulum Balitbang Depdiknas. (Penge-mbangan Kompetensi Lintas Kurikulum.
[Online] Tersedia: http://www.puskur.or.id/ kurikulum.shtml 2002).
Kebijakan tersebut
memberikan peluang dan sekaligus tantangang bagi guru-guru PAI untuk lebih
memutakhirkan pembelajarannya sesuai dengan tuntutan perkembangan. Pemikiran
untuk mengembangkan dan menyegarkan model-model pembelajaran PAI yang tepat
merupakan hal yang sangat urgen. Tulisan sederhana ini mencoba mengajukan
beberapa model pembelajaran yang dapat dipertimbangkan untuk diujicobakan dan
dikembangkan terutama pada lembaga-lembaga pendidikan formal.[5]
C.
Model-Model
Pembelajaran yang dapat Meningkatkan Kecerdasan Kognitif, Afektif dan
Psikomotorik
1.
Pengertian
Model Pembelajaran\
Model
pembelajaran merupakan suatu rencana mengajar yang memper-hatikan pola
pembelajaran tertentu, hal ini sesuai dengan pendapat Briggs (1978:23) yang
menjelaskan model adalah "seperangkat prosedur dan berurutan untuk
mewujudkan suatu proses" dengan demikian model pembelajaran adalah
seperangkat prosedur yang berurutan untuk melaksanakan proses pembelajaran.[6]
Sedangkan
yang dimaksud dengan pembelajaran pada hakekatnya merupakan proses komunikasi
transaksional yang bersifat timbal balik, baik antara guru dengan siswa, siswa
dengan siswa untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Komunikasi transaksional
adalah bentuk komunikasi yang dapat diterima, dipahami dan disepakati oleh
pihak-pihak yang terkait dalam proses pembelajaran sehingga menunjukkan adanya
perolehan, penguasaan, hasil, proses atau fungsi belajar bagi si peserta
belajar.[7]
2.
Jenis-Jenis
Model Pembelajaran
Joyce
(2000) mengemukakan ada empat rumpun model pembelajaran yakni;
(1) rumpun
model interaksi sosial, yang lebih berorientasi pada kemampuan memecahkan
berbagai persoalan sosial kemasyarakat.
(2) Model
pemorosesan informasi, yakni rumpun pembelajaran yang lebih berorientasi pada
pengusaan disiiplin ilmu.
(3) Model
pengembangan pribadi, rumpun model ini lebih berorientasi pada pengembangan
kepribadian peserta belajar. Selanjutnya model[8]
(4) behaviorism
Joyce (2000) yakni model yang berorientasi pada perubahan prilaku. Berdasarkan
kajian yang penulis lakukan terhadap beberapa model pembelajaran yang dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil pembelajaran pendidikan agama Islam,
diantaranya adalah: model classroom meeting, cooperative learning, integrated
learning, constructive learning, inquiry learning, dan quantum learning.
Pembahasan lebih lanjut terhadap model-model tersebut, disajikan pada bagian
berikut ini.[9]
a.
Model Clasroom Meeting
Ahli
yang menyusun model ini adalah William Glasser. Menurut Glasser dalam Moejiono
(1991/1992: 155) sekolah umumnya berhasil membina prilaku ilmiah, meskipun
demikian adakalanya sekolah gagal membina kehangatan hubungan antar pribadi.
Kehangatan hubungan pribadi bermanfaat bagi keberhasilan belajar, agar sekolah
dapat membina kehangatan hubungan antar pribadi, maka dipersyaratkan;
(a) Guru
memiliki rasa keterlibatan yang mendalam,
(b) Guru
dan siswa harus berani menghadapi realitas, dan berani menolak prilaku yang
tidak bertanggung jawab, dan
(c) Siswa
mau belajar cara-cara berprilaku yang lebih baik. Agar siswa dapat membina
kehangatan hubungan antara pribadi, guru perlu menggunakan strategi mengajar
yang khusus. Karakteristik PAI salah satunya adalah untuk menghantarkan peserta
didik agar memiliki kepribadian yang hangat, tegas dan santun. Model
pembelajaran ini dapat dipertimbangkan.[10]
Model pertemuan tatap muka adalah
pola belajar mengajar yang dirancang untuk mengembangkan,
(1)
pemahaman diri sendiri, dan
(2) rasa
tanggung jawab pada diri sendiri dan kelompok. Strategi mengajar model ini
mendorong siswa belajar secara aktif. Kelemahan model ini terletak pada
kedalaman dan keluasan pembahasan materi, karena lebih berorientasi pada
proses, sedangkan PAI di samping menekankan pada proses tetapi juga menekankan
pada penguasan materi, sehingga materi perlu dikaji secara mendalam agar dapat
dipahami dan dihayati serta diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. [11]
b.
Model
Cooperative Learning
global bukan
hanya menuntut kualitas kemampuan memecahkan masalah, tetapi juga menuntut
kemampuan untuk bekerja sama. Untuk mengem-bangkan kemapuan bekerja sama dan
memecahkan masalah dapat menggunakan model cooperative learning.
Model ini
dikembangakan salah satunya oleh Robert E. Slavin (Johnson, 1990). Model ini
membagi siswa dalam kelompok-kelompok diskusi, di mana satu kelompok terdiri
dari 4 atau 5 orang, masing-masing kelompok bertugas menyelesaikan/memecahkan
suatu permasalahan.
Beberapa
karakteristik pendekatan cooperative learning, antara lain:
1) Individual
Accountability, yaitu; bahwa setiap individu di dalam kelompok mempunyai
tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh kelompok,
sehingga keberhasilan kelompok sangat ditentu-kan oleh tanggung jawab setiap
anggota.
2) Social
Skills, meliputi seluruh hidup
sosial, kepekaan sosial dan mendidik siswa untuk menumbuhkan pengekangan diri
dan pengarahan diri demi kepentingan kelompok. Keterampilan ini mengajarkan
siswa untuk belajar memberi dan menerima, mengambil dan menerima tanggung
jawab, menghor-mati hak orang lain dan membentuk kesadaran sosial.
3) Positive
Interdependence, adalah sifat yang
menunjukkan saling keter-gantungan satu terhadap yang lain di dalam kelompok
secara positif. Keberhasilan kelompok sangat ditentukan oleh peran serta
anggota kelompok, karena siswa berkolaborasi bukan berkompetensi.
4) Group
Processing, proses perolehan jawaban
permasalahan dikerjakan oleh kelompok secara bersama-sama.[12]
Langkah-langkahnya:
a) Guru
merancang pembelajaran, mempertimbangkan dan menetapkan target pembelajaran
yang ingin dicapai dalam pembelajaran. Guru juga menetapkan sikap dan
keterampilan-keterampilan sosial yang diharapkan dapat dikembangkan dan
diperlihatkan oleh siswa selama berlangsungnya pembelajaran. Guru dalam
merancang materi tugas-tugas yang dikerjakan bersama-sama dalam dimensi kerja
kelompok.
b) Dalam
aplikasi pembelajaran di kelas, guru merancang lembar observasi kegiatan
dalam belajar secara bersama-sama
dalam kelompok kecil. Dalam menyampaikan materi, pemahaman dan pendalamannya
akan dilakukan siswa ketika belajar secara bersama-sama dalam kelompok.
Pemahaman dan konsepsi guru terhadap siswa secara individu sangat menentukan
kebersamaan dari kelompok yang terbentuk.
c) Dalam
melakukan observasi kegiatan siswa, guru mengarahkan dan membimbing siswa baik
secara individual maupun kelompok, dalam pemahaman materi maupun mengenai sikap
dan perilaku siswa selama kegiatan belajar.
d) Guru
memberi kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan hasil kerjanya. Guru
juga memberikan beberapa penekanan terhadap nilai, sikap, dan perilaku sosial
yang harus dikembangkan dan dilatihkan kepada para siswa.[13]
c.
Model
Integrated Learning
Hakikat model
pembelajaran terpadu merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan
siswa, baik secara individual maupun kelompok untuk aktif mencari, menggali dan
menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik.
Pembelajaran
terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi
topik/tema menjadi pengendali di dalam kegiatan belajar sekaligus proses dan
isi berbagai disiplin ilmu/mata pelajaran/pokok bahasan secara serempak
dibahas. Konsep tersebut sesuai dengan beberapa tokoh yang mengemukakan tentang
model pembelajaran terpadu seperti berikut ini:
Rancangan
pembelajaran terpadu secara eksplisit merumuskan tujuan pembelajaran. Dampak
dari tujuan pengajaran dan pengiringnya secara langsung dapat terlihat dalam
rumusan tujuan tersebut. Pada dampak penggiring umumnya, akan membuahkan
perubahan dalam perkembangan sikap dan kemampuan berfikir logis, kreatif,
prediktif, imajinatif. (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996/1997: )[14]
Pembelajaran
terpadu salah satu diantara maksudnya juga adalah memadukan pokok bahasan atau
sub pokok bahasan antar bidang studi, atau yang disebut juga lintas kurikulum,
atau lintas bidang studi (Maryanto, 1994:3), atau interdiciplinerary programe
(Curriculum Services Branch Tasmania, 1994:2). Tyler (Oliva, 1992:517)
mengemukakan “…integration as the horizontal relationship of curriculum
experiences” dan manfaat keterpaduan menurut Taba (Oliva, 1992: 517) “…learning
is more effective when facts and principles from one field can related to
another, especially when applying this knowledge…”. Pembelajaran akan lebih
efektif apabila guru dapat menghubungkan atau mengintegrasikan antara
pelaksanaan pembelajaran di sekolah dengan temuan di lapangan. Oleh karena itu
tugas guru menurut Oliva (1992:517) adalah “Curriculum
workers should concern themselves with the problem of integrating subject
matter”.
Ciri-ciri
pembelajaran terpadu:
1) Holistik,
suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam dalam pembelajaran terpadu
dikaji dari beberapa bidang studi/pokok bahasan sekaligus untuk memahami
fenomena dari segala sisi.
2) Bermakna,
keterkaitan antara konsep-konsep lain akan menambah kebermaknaan konsep yang
dipelajari dan diharapkan siswa mampu menerapkan perolehan belajarnya untuk
memecahkan masalah-masalah yang nyata di dalam kehidupannya.
3) Aktif,
pembelajaran terpadu dikembangkan melalui pendekatan diskoveri inkuiri. Siswa
terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran, yang tidak secara langsung
dapat memotivasi siswa untuk belajar.
Prinsip
untuk menggali tema:
1) Tema
hendaknya tidak terlalu luas, namun dengan mudah dapat digunakan untuk
memadukan banyak bidang studi/pokok bahasan.
2) Tema
harus sesuai dengan tingkat perkembangan psikologi pembelajar
3) Tema
dipilih juga mempertimbangkan ketersediaan sumber belajar
4) Tema
harus bermakna artinya yang dipilih untuk dikaji harus memberikan bekal bagi
siswa untuk belajar selanjutnya.
Evaluasi yang
menggunakan tes bentuk formal dimaksudkan untuk menentukan sejauhman siswa
telah menghafal suatu fakta. Pembelajaran yang efektif sebaiknya menekankan
pemhaman konsep dan kemampuan di bidang kognitif, keterampilan, sosial dan
afektif. Beberapa alternatif evaluasi pembelajaran terpadu antara lain:
1) Sebaiknya
berbasis unjuk kerja sehingga selain memanfaatkan penilaian produk, penilaian
terhadap proses, perlu mendapat perhatian yang lebih besar.
2) Setiap
langkah evaluasi hendaknya siswa dilibatkan
3) Eavaluasi
dilakukan secara terus menerus, oleh karena itu hendaknya dimanfaatkan
portofolio assessment.
4) Penilaian
pembelajaran terpadu hendaknya memandang siswa sebagai satu kesatuan yang utuh.
5) valuasi
hendaknya bersifat komprehensif dan sistematis.
d.
Model
Constructivist Learning
Model
konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang
menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan
terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui
pengetahuan diri (self-regulation). Dan akhirnya proses belajar, pengetahuan
akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi
dengan lingkungannya.
Konflik kognitif
tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa
dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan
perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mecapai kesimbangan. Peristiwa ini
akan terjadi secara berkelanjutan selama siswa menerima pengetahuan baru.
Perolehan
pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal yang baru sebagai hasil
interaksi dengan lingkungannya. Kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan
konsepsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak
sesuai dengan konsep awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang
mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Melalui
proses akomodasi dalam kegiatan pembelajaran, siswa dapat memodifikasi struktur
kognisinya menuju kesimbangan sehingga terjadi asimilasi. Namun tidak menutup
kemungkinan siswa mengalami "jalan buntu" (tidak mengerti) karena
ketidak- mampuan berakomodasi. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi
lain.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan
guru dalam merancang model pembelajaran konstruktivisme adalah:
1) Mengakui
adanya konsep awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
2) Menekankan
pada kemampuan minds-on dan hands-on
3) Mengakui
bahwa dalam proses pembelajaran terjadi perubahan konsep-tual
4) Mengakui
bahwa pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif
5) Mengutamakan
terjadikan interaksi social
Tahap pertama,
siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep yang akan
dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan
problematik tentang fenomena yang seri ditemui sehari-hari dengan mengkaitkan
konsep yang akan dibahas. Siswa diberi kesempatan untuk mengkomunikasikan,
mengilustrasikan pema-hamannya tentang konsep itu.
Tahap kedua,
siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemu-kan konsep melalui
pengumpulan, pengorganisasian, dan penginter-pretasian data dalam suatu kegiatan
yang telah dirancang guru. Secara berke-lompok didiskusikan dengan kelompok
lain. Secara keseluruhan, tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa
tentang fenomena alam disekelilingnya.
Tahap ketiga,
siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya
ditambah dengan penguatan guru, maka siswa membangun pemahaman baru tentang
konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi
tentang konsepnya.
Tahap keempat,
guru berusaha menciptakan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik melalui kegiatan atau pemunculan
dan pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan isu-isu di lingkungannya.
e.
Model
Inquiry Learning
Model inkuiri
dapat dilakukan melalui tujuh langkah yaitu:
(a) Merumuskan
masalah,
(b) Merumuskan
hipotesis,
(c) Mendefinisikan
istilah (konseptualisasi),
(d) Mengumpulkan
data,
(e) Penyajian
dan analisis data,
(f) Menguji
hipotesis,
(g) Memulai
inkuiri baru.
Selain
dari pendapat para ahli di atas mengenai langkah-langkah model inkuiri social,
Joyce mengemukakan bahwa langkah-langkah penerapan inkuiri pada pokoknya adalah
(a) Orientasi,
(b) Hipotesis,
(c) Definisi,
(d) Eksplorasi,
(e) Pembuktian,
(f) generalisasi.
Mengenai
langkah-langkah inkuiri sosial tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama:
Menetapkan
masalah sebagai pokok bahasan yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau
pertanyaan dan dibatasi dalam ruang lingkup yang tidak luas
Tahap
kedua:
Mencari beberapa
hipotesis dan merumuskan hipotesis yang diajukan sebagai acuan dalam inkuiri,
serta yang dapat diujikan
Tahap ketiga:
Definisi Ekspremen,
Menjelaskan dan menguraikan istilah-istilah yang ada dalam rumusan hipotesis
Tahap keempat Eksplorasi:
Menguji
hipotisis dengan logika deduksi,yaitu
menghubungkan hipotesis
menghubungkan hipotesis
Tahap ke lima: Pembuktian
Membuktikan
hipotesis dengan fakta-fakta
Tahap keenam:
Generalisasi
Menyatakan pemecahan yang dapat digunakan
f.
Model Quantum Learning
Quantum
Learning merupakan pengubahan
berbagai interaksi yang ada pada momen belajar. Interaksi-interaksi ini
mencakup unsur-unsur belajar yang efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa.
(De Potter, 1999:5) Dari kutipan tersebut diperoleh pengertian bahwa
pembelajaran quantum merupakan upaya pengorgani-sasian bermacam-macam interaksi
yang ada di sekitar momen belajar.[15]
Pembelajaran
dikiaskan sebagai suatu simfoni yang terdiri dari berbagai alat musik sebagai
unsurnya dan guru merupakan kunduktor sebuah simfoni. Guru berusaha mengubah
semua unsur itu menjadi simfoni yang indah bagi semua orang di kelasnya.
Asas utama
Pembelajaran Quantum adalah “Bawalah Dunia Mereka ke Dunia Kita, Antarkan Dunia
Kita ke Dunia Mereka”. Dari asas tersebut tersirat bahwa untuk melaksanakan
suatu pembelajaran diperlukan pemahaman yang cukup tentang audience kita.
Dengan begitu akan memudahkan semua proses pembelajaran itu sendiri. Pemahaman
itu amat penting karena setiap manusia memiliki dinamikanya sendiri. Dan siswa
sebagai manusia telah dibakali dengan berbagai potensi untuk berkembang.
Prinsip-Prinsip pembelajaran
Quantum:
1) Segalanya
berbicara. Segala seuatu yang ada di lingkungan kelas sampai body language
dapat digunakan untuk pembelajaran. Mulai dari kertas yang dibagikan kepada
siswa hingga rancangan pelajaran dapat digunakan untuk mengirim pesan belajar.
2) Segalanya
bertujuan. Semua yang terjadi di kelas atau dalam proses pengubahan, memiliki
tujuan.
3) Pengalaman
sebelum pemberian nama. Otak manusia berkembang karena adanya rangsangan yang
kompleks, yang mendorong rasa ingin tahu. Pembelajaran yang baik adalah yang
diawali rasa ingin tahu, dimana anak memperoleh informasi tentang sesuatu
sebelum mengetahui namanya.
4) Akui
setiap saat. Pembelajaran merupakan proses yang mengandung resiko karena
mempelajari seuatu yang baru, biasanya tidak nyaman dan ketika mereka mulai
langkah untuk belajar, mereka harus dihargai.
5) Jika
layak dipelajari, maka layak pula dirayakan (diselenggarakan). Perayaan adalah
sarapan pelajar juara. Dari prinsip ini tersirat bahwa kecerian para siswa
sejak awal masuk kelas dapat mendorong kemajuan dan meningkatkan asosiasi emosi
positif dengan belajar.
Sebagai
sebuah simfoni, pembelajaran quantum memiliki banyak unsur yang menjadi faktor
pengalaman belajar. Unsur itu dibagi menjadi dua kategori yaitu Konteks dan
Isi.
Konteks
merupakan latar untuk pengalaman diantaranya lingkungan yang berisi keakraban,
suasana yang mencerminkan semangat guru dan murid, Landasan yaitu keseimbangan
kerjasama antara alat pelajaran dan siswa, Rancangan yaitu interpretasi guru
terhadap pelajaran.
Bagian
Isi merupakan bagian yang tak kalah penting dengan bagian konteks. Pada bagian
Isi ini materi pelajaran merupakan not-not lagu yang harus dimainkan. Salah
satu unsur dalam bagian isi ini adalah bagaimana tiap tahap musik itu dimainkan
atau bagaimana pelajaran disajikan (penyajian). Isi juga meliputi keterampilan
guru sebagai sang maestro untuk memfasilitasi pembelajaran dengan memanfaatkan
bakat dan potensi setiap siswa. Keajaiban pengalaman akan terbuka bila
konteksnya tepat.
Kerangka Rancangan Pembelajaran
Quantum
Dengan
dasar prinsip-prinsip di atas maka dapatlah disusun kerangka rancangan
Pembelajaran Quantum sebagai berikut:
1) Tumbuhkan
minat dengan selalu mengarahkan siswa terhadap pemahaman tentang apa manfaat
setiap pelajaran bagi diri siswa dan Manfaatkan kehidupan siswa, atau “Apakah
manfaatnya Bagiku” (AMBAK).
2) Alami:
Buatlah pengalaman umum yang dapat di mengerti oleh semua siswa.
3) Namai:
Guru harus menyediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebagai
masukan.
4) Demonstrasikan:
Sebaiknya guru menyediakan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan apa yang
mereka sudah ketahui.
5) Ulangi:
Guru harus menunjukkan cara mengulangi materi dan menegas-kan ”Aku Tahu Bahwa
Aku Memang Tahu”.
6) Rayakan:
Guru harus memberikan pengakuan terhadap setiap penyele-saian, partisipasi dan
pemerolehan keterampilan dan pengetahuan siswa.[16]
Landasan Psikologis Pembelajaran
Quantum.
Pembelajaran
Quantum merupakan pembelajaran yang berfokus kepada siswa (student centre). Hal
ini terlihat dari prinsip utamanya dan prinsip lainnya yang berdasar kepada
landasan–landasan psikologis dan sistem kerja otak seperti dijelaskan oleh
Meisenzahl (2003): “Quantum learning is a teaching methodology based on 20
years of research about how the brain works”. Landasan psikologis yang
melatarbelakangi pembelajaran quantum adalah sebagai berikut:
1) Metode
Sugestiologi
Quantum
Teaching pada dasarnya bertumpu
kepada Quantum Learning yang dikembangkan dari pemikiran “suggetiology” yang
dikemukakan oleh Lozanov dalam De Potter dan Hernacky (1999:14) berprinsip
bahwa: “Sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap
detail apapun dapat memberikan sugesti positif atau negatif”. Metode
sugestiologi yang dikenal sebagai “accelerated learning” menunjukan bahwa
pengaruh guru sangat besar dan jelas terhadap keberhasilan siswa. Sugesti
memiliki kekuatan yang sangat besar dan mendalam. Sugesti sering digunakan
dalam periklanan dengan bahasa verbal dan tubuh. Meskipun tidak secara sadar
kita mengingat sugesti, otak akan berperan sebagai sponsor yang menyerap
informasi lebih cepat dari yang kita bayangkan. Berdasarkan pemikiran tersebut
hampir dapat dipastikan bahwa setiap detail belajar sangat berarti, mulai dari
nada suara, penggunaan musik, pengaturan kursi sampai lingkungan belajar.
2) Psikologi
daya
De
Potter dalam Nggermantos (2001) berpendapat “Setiap orang memiliki potensi otak
yang sama besar dengan Einstain, tinggal bagaima-na kita mengolahnya”.
Selanjutnya bila seseorang dapat mengenali tipe belajarnya yang sesuai maka
belajar akan terasa sangat menyenangkan dan memberikan hasil yang optimal.
Lebih jauh Diamon dalam De Potter (1999) mempertegas pendapat tersebut, dengan
menyimpulkan bahwa “Pada umur berapapun sejak lahir sampai mati ada kemungkinan
dapat meningkatkan kemampuan mental melalui rangsangan lingkungan”.
Berbagai
penjelasan di atas dapat diketahui betapa pentingnya lingkungan belajar sebagai
pemberi stimulus. Lingkungan memberikan konstribusi sangat besar terhadap hasil
belajar setiap orang di setiap usia. Stimulus yang diberikan lingkungan sangat
menentukan perkembangan dan kemajuan yang dicapai. Besarnya pengaruh stimulus
terhadap perkembangan seseorang, didukung Pendapat Pulos yang menyatakan:
“Certain types of stimulations not only change the chemistry of brain but can
actually increase brain cells and brain size and dramatically boost
intelligence”. Dari pendapat itu jelas bahwa semakin banyak rangsangan terhadap
otak dengan aktifitas yang sesuai semakin banyak jaringan sel yang tersambung
dan potensi atau kemampuan seseorang akan semakin berkembang.
Perkembangan
dapat terjadi karena otak kita berbicara dalam 4 bahasa elektrik yang
menggambarkan tingkat kesadaran, metoda mem-proses dan mempelajari informasi
baru. Menurut Pulos empat jenis bahasa elektrik tersebut adalah gelombang Beta
yang bergerak dengan kecepatan 13-100 Hz pada saat terjaga dan konsentrasi,
gelombang Alpa 8-12 Hz dalam keadaan pasif atau tenang secara pisik, gelombang
Theta 4-8 Hz pada saat mimpi yang tak diharapkan atau bayangan masa kecil, gelombang
Delta 0,5 - 4 Hz dalam keadaan tidur yang merupakan dasar paling dalam
kesadaran.
Aktifitas
yang paling cepat dari gelombang otak adalah pada saat gelombang Beta bergerak
ketika mata berinteraksi dengan dunia luar, dalam keadaan waspada dan
berkonsentrasi. Hal tersebut sangat diperlukan demi efektifitas belajar.
Perkembangan potensi manusia Menurut Zohar dalam Vella (2003) dapat terjadi
karena didalam otak terdapat energy (quanta) yang dapat digunakan untuk
berpikir dengan mengaktifkan semua bagian otak. “We can do quantum thinking by
using a neural network of networks, the whole brain, creatively projecting,
predicting, describing, envisioning, inventing”. Dengan mengaktifkan semua
bagian jaringan saraf pada semua bagian otak, berpikir quantum dapat dilakukan.
Aktifitas berpikir quantum seperti proyeksi kreatif, menebak, menjelaskan,
membayangkan, menemukan dapat menjadi alat pemicu perkembangan kemampuan dan
potensi setiap orang.
3) Modalitas
belajar
Otak manusia
terdiri dari tiga bagian yang merupakan modalitas untuk memproses rangsangan
yang datang dari luar. Modalitas tersebut adalah visual, auditorial, kinestic
yang merupakan saluran komunikasi yang membantu memahami dunia luar.
Menghadirkan kegiatan yang co-cok dengan modalitas akan memperkuat penerimaan
siswa. Lebih jauh menurut Pulos dengan mengaktifkan semua bagian otak melalui
pende-katan Stimulation Multysensory pada proses belajar, siswa akan lebih
terfokus dan berhasil dibanding dengan pendekatan Passive-Receptive pada
setting kelas pada umumnya.
Penjelasan di
atas menunjukkan betapa pentingnya mengenali per-bedaan gaya belajar siswa dan
menyesuaikan pembelajaran dengan mo-dalitas siswa meskipun cukup sulit untuk
melakukannya. Hal penting yang dapat dijadikan pegangan dalam menyesuaikan
pembelajaran dengan per-bedaan modalitas siswa adalah bahwa setiap orang
berkemampuan untuk belajar dan mereka belajar dengan cara yang berbeda.
4) Multi
Intelegence
Mitos
bahwa intelegensi manusia tidak berubah ternyata dibuktikan salah oleh Gardner
dari Harvard setelah melakukan riset tentang kecer-dasan manusia. Ia menyatakan
bahwa IQ hanyalah salah satu kecerdasan manusia karena manusia memiliki multi
intelegensi sebagai potensi yang sangat besar. Potensi itu terdiri dari
kecerdasan logis-matematis, kecerda-san linguistik, verbal, kecerdasan
kinestik, kecerdasan emosional (inter-personal dan intrapersonal), kecerdasan
naturalist, kecerdasan intuisi, kecerdasan moral, kecerdasan eksistensial,
kecerdasan spiritual. Dapat dibayangkan begitu banyaknya potensi yang terkandung
pada diri siswa namun betapa tidak mudahnya untuk mengenalinya, apalagi
mengguna-kannya untuk mengakses keberhasilan mereka di dalam kelas. Namun dalam
pendekatan quantum semua potensi itu harus digunakan seperti menurut Zohar
dalam Vella (2003): “Quantum learning is that which uses all of the neural
networks in the brain, putting things together in idiosyncratic and personal
ways to make significant meaning”. Dalam upaya menggunakan semua potensi itu
haruslah berpegang kepada prinsip seperti menurut Meisenzahl (2003) sebagai
berikut:
-
Setiap orang berkemampuan untuk belajar.
-
Setiap orang belajar dengan cara yang
berbeda.
-
Keyakinan sangat penting bagi
keberhasilan seseorang.
-
Penghargaan dan perhatian bagi tiap
individu adalah penting.
-
Belajar akan lebih effektif bila
disajikan dalam keceriaan dan ling-kungan yang menantang.
-
Rasa aman dan percaya antara guru dan
siswa merupakan bagian proses belajar yang penting.
-
Guru harus menunjukan semagat dan
antusiasme untuk belajar.
Quantum
Learning dimulai dari Super Camp, sebuah program akselerasi belajar yang
memperkenalkan tiga keterampilan dasar, yakni keterampilan akademis, prestasi
fisik, dan keterampilan hidup. Menurut penlitian, hasilnya demikian impresif.
Setelah mengikuti kegiatan ini, motivasi belajar siswa meningkat, dan
keterampilan belajar pun berkembang.[17]
D.
Aspek-aspek
kunci dari Model Pembelajaran yang Efektif
Implementasi
dari berbagai model yang dikemukkan di atas, setpdaknya harus memperhatikan
minimal lima aspek dari pembelajaran yang secara konsisten didukung riset, baik
dalam penelitian-penelitian langsung maupun hasil-hasil penelitian yang
direviu, sebagai indikator pembelajaran yang efektif. Kelima aspek tersebut
adalah kejelasan, variasi, orientasi tugas, keterlibatan siswa dalam belajar,
dan pencapaian kesuksesan yang tinggi. Penjelasan singkat akan disajikan pada
tiap indikator pembelajaran efektivitas untuk membantu guru/tenaga kependidikan
mengetahui bagaimana melaksanakannya ke dalam pembelajaran di kelas.[18]
1. Kejelasan
(Clarity).
Seorang guru
yang ingin menyajikan informasinya secara jelas berarti dia harus menyajikan
informasi tersebut dengan cara-cara yang dapat membuat siswa mudah memahaminya.
Dalam literatur riset ada dua pendekatan berbeda yang dapat digunakan untuk
mengkaji kejelasan guru. Pendekatan yang pertama menguraikan kejelasan dalam
kaitan dengan penyajian informasi oleh guru bahwa apa yang dilakukan guru dapat
mempermudah pemahaman siswa. Pendekatan ini sering mengacu pada kejelasan
kognitif, dan agar jelas secara kognitif, anda harus:
1.
Menjelaskan kepada siswa apa yang mereka
mau pelajari atau lakukan
2.
Menyajikan isi pelajaran dalam suatu
urutan logis
3.
Menyajikan isi pelajaran ke suatu
langkah yang pantas
4.
Memberi penjelasan yang dapat dipahami
siswa
5.
Menggunakan contoh yang sesuai ketika
menjelaskan
6.
Menekankan poin-poin penting
7.
Menjelaskan kembali berbagai hal jika
para siswa masih mengalami ke-bingungan
8.
Menjelaskan makna dari kata-kata baru
9.
Memberikan waktu kepada siswa untuk
memikirkan informasi baru
10. Menjawab
pertanyaan siswa dengan memuaskan
11. Bertanya
ke siswa untuk memeriksa pemahamannya
Pendekatan
kedua menguraikan kejelasan dalam kaitan dengan berbagai hal yang dikatakan
guru kepada siswanya. Umumnya riset memusatkan pada berbagai hal di mana pesan
yang disampaikan guru belum jelas (seperti penggunaan ungkapan samar-samar
seperti "banyak", atau menggunakan kalimat tidak sempurna). Tidaklah
mengejutkan, aspek kejelasan ini sering dipacu sebagai kejelasan verbal atau
samar-samar.
Walaupun
Land, 1987 (dalam Killen, 1998) [20]mempertimbangkan
kedua-duanya: ketidakjelasan dan kejelasan: menjadi aspek variabel umum yang
sama. Cruickshank dan Kennedy, 1986 (dalam Killen, 1998) [21]menyatakan
bahwa kedua hal itu adalah gejala yang sungguh beda. Mungkin ada baiknya kalau
pembicaraan yang jelas dan samar-samar menjadi bagian penting dari perilaku
guru, diacu sebagai kejelasan kognitif. Ini bisa dipertimbangkan bahwa jika
anda memberi siswa penjelasan yang jelas mengenai sesuatu, anda perlu
menggunakan pola bahasa dan ungkapan yang tidak membingungkan mereka. Ada
sejumlah usul dalam literatur riset bahwa hubungan antara kejelasan kognitif
dan prestasi siswa adalah lebih kuat ketimbang hubungan antara kejelasan verbal
dengan prestasi siswa (Hines, 1981; dalam Killen, 1998). Bagaimanapun, sumber
pustaka riset belum menyediakan, dan kejelasan kognitif, meskipun ada riset
terbaru di area inii sebenarnya telah cukup memberikan cukup bukti.
Kejelasan
presentasi telah ditunjukkan untuk secara positif mempengaruhi prestasi siswa
(Land, 1981; Hines, Cruickshank& Kennedy, 1985; dalam Killen, 1998) dan
kepuasan siswa atas pembelajaran mereka. Kejelasan presentasi itu merupakan
suatu aspek dari pembelajaran yang dapat diperbaiki dengan cara yang relatif
mudah dan merupakan salah satu cara di mana umpan balik dari para siswa dapat
diperoleh dengan mudah.[22]
2. Variasi
(Variety).
Variasi
guru, atau variabilitas, merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan
perubahan–perubahan yang sengaja dibuat guru saat menyajikan materi pelajaran.
Variasi guru meliputi hal-hal seperti:
1.
Merencanakan berbagai variasi metode
mengajar
2.
Menggunakan berbagai strategi bertanya
3.
Memberikan reinforcement dengan berbagai
cara
4.
Membawa aktivitas belajar siswa
5.
Menggunakan berbagai tipe media
pembelajaran.
3. Orientasi
Tugas (Task Orientation).
Karakteristik
utama dari pembelajaran langsung adalah pengorganisasian dan penstrukturan
lingkungan belajar secara baik di dalam aktivitas guru dan siswa untuk mencapai
tujuan pembelajaran, di mana guru dan siswa bekerja dalam bingkai yang
sistematik. Orientasi tugas yang dilakukan guru terkait dengan:
1. Membantu
siswa untuk mencapai hasil belajar yang spesifik.
2. Memungkinkan
siswa untuk belajar mengenal informasi yang relevan
3. Mengajukan
pertanyaan untuk membuka pemikiran siswa
4. mendorong
siswa untuk berpikir dengan bebas, dan
5. keberhasilan
tujuan kognitif siswa.
Dalam keadaan
ini, interaksi kelas cenderung berfokus pada isi yang bersifat intelektual dan
tujuan yang sudah dikenalkan – merupakan faktor yang Rosenshine, 1983, dan
Spady, 1994 (dalam Killen, 1998) sebut pemberian peluang kepada siswa untuk
berhasil.[23]
Orientasi
keberhasilan tugas pada dasarnya persoalan manajemen kelas. Orientasi
keberhasilan tugas ini menghendaki guru memonitor aktivitas para siswa secara
terus menerus, dan mendorong siswa untuk terlibat secara konstruktif dalam
perumusan tujuan pembelajaran. Orintasi tugas dapat dipandang sebagai gambaran
kunci dari pembelajaran langsung (Powell, 1978, dalam Killen, 1998) karena
orientasi tugas menekanan pada penentuan sasaran belajar yang jelas,
pem-belajaran aktif, menutup monitoring kemajuan siswa, dan tanggung jawab guru
terhadap belajar siswa.[24]
Walaupun
orientasi tugas di mana guru memberikan kesempatan kepada para siswa untuk
belajar, tidak menjamin bahwa siswa akan benar-benar disibukkan dengan
pelajaran selama pelajaran berlangsung. Baik Berliner, 1979 dan Fisheret al..,
1980 (dalam Killen, 1998) melaporkan bahwa ketiadaan keterlibatan siswa dengan
pelajaran (atau pelepasan dari ikatan pelajaran selama pelajaran berlangsung)
dapat menjadi hasil yang emosional atau gangguan mental dari suatu pelajaran,
dan mungkin atau tidak mungkin menjadi jelas bagi guru.[25]
4. Keterlibatan
siswa dalam Pembelajaran (Engagement in
learning).
Pentingnya
keterlibatan siswa dalam belajar diilustrasikan secara baik dalam reviu yang
dilakukan Brophy dan Good (1986, dalam Killen, 1998). Mereka mengusulkan untuk
menolak semua temuan-temuan dalam reviu riset mereka mengenai perilaku guru dan
prestasi siswa yang ada di mana keberhasilan belajar dipengaruhi oleh sejumlah
waktu yang dihabiskan siswa untuk mengerjakan tugas akademik yang sesuai.
Kesimpulan ini mendukung temuan Stallings dan Mohlman 1981 (dalam Killen, 1998)
di mana guru yang efektif menggunakan waktu mereka dengan cara yang berbeda
dari guru yang tidak efektip. Dalam studi itu, guru efektif menghabiskan kurang
dari 15% lebih waktu di dalam interaksi pembelajaran dan 35% lebih sedikit
waktu yang dihabiskan untuk memonitoring kegiatan-kegiatan siswa dibanding guru
yang tidak efektip. Salah satu dari kesimpulan yang dapat ditarik melalui
Stallings dan Mohlman adalah bahwa penggunaan waktu yang sesuai oleh guru dapat
memaksimalkan waktu siswa untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan
pembelajaran dan, oleh karena itu, berkontribusi pada keberhasilan siswa.[26]
Sejumlah teknik
untuk meminimalkan keterlibatan siswa juga memiliki dukungan riset. Sebagai
contoh, Brophy Dan Evertson, 1974 (dalam Killen, 1998) menunjukkan bahwa
mengajar merupakan sistem kelas yang aturannya memun-gkinkan para siswa untuk
mengindahkan berbagai hal mengenai persoalan pribadi dan prosedural tanpa butuh
izin guru, untuk selanjutnya mendorong siswa tetap terlibat semaksimal mungkin dalam
menggunakan waktu belajarnya.[27]
Senada dengan itu, Soar & Soar, 1973 (dalam Killen, 1998) menyatakan bahwa
para guru semestinya menggunakan teknik seperti penulisan rencana kerja
sehari-hari pada papan tulis, agar para siswa tahu mengenai apa yang harus
diperbuat tanpa arahan lisan secara reguler dari guru. Untuk memelihara
keterlibatan,[28]
adalah penting bagi guru untuk memonitor tempat duduk siswa agar bekerja dengan
bebas, dan untuk mengkomunikasikan kepada siswa akan kemajuan mereka (Mcdonald
et al..., 1975, dalam Killen, 1998). Tentu saja, ada ketentuan dasar sederhana:
jika guru mau siswanya memperhatikan dan terlibat dalam pelajaran, guru harus
menjelaskan kepada mereka apa yang guru harapkan dari mereka untuk dilakukan
dan guru harus membuatnya mudah dan menarik bagi siswanya untuk melakukannya.
Jika para siswa tahu apa yang menjadi tujuannya, dan jika mereka tahu bahwa
tujuan itu bermanfaat serta dapat dicapai, maka mereka akan terlibat dalam
pelajaran.[29]
Jika siswa
terlibat dalam tugas-tugas pembelajaran, seperti pemecahan masalah, maka dapat
menyelesaikan tugas-tugas tersebut. Beberapa penelitian (seperti yang dilakukan
Fisher, et al..., 1980, dalam Killen, 1998) menunjukkan bahwa teknik
pembelajaran yang memungkinkan siswa mengalami aktivitas kelas yang tinggi
menghasilkan keberhasilan kategori sedang dan tinggi (seperti pemecahan
masalah) dalam test berikutnya dibanding dengan pembelajaran dengan aktivitas
yang rendah.
5. Pencapaian
Kesuksesan Siswa yang Tinggi (Student
Success Rates).
Pembelajaran yang
sukses menghasilkan prestasi siswa, adalah hal yang penting karena bisa menjadi
kekuatan pendorong (Ausubel, 1968) dan dapat mendorong kearah kekaguman diri
yang tinggi dan sikap pada sekolah yang positif (Bennett, Desforges,
Cockbum& Wilkinson, 1981; Wyne& Stuck, 1982, dalam Killen, 1998).
Seperti halnya penguasaan isi pelajaran, laju pencapaian hasil belajar darii
yang sedang ke tinggi berdasarkan tugas-tugas belajar memungkinkan para siswa
menerapkan pengetahuan yang dipelajarinya dalam aktivitas kelas, seperti
menjawab pertanyaan dan memecahkan permasalahan. Dalam hal ini, kesuksesan
mendorong keterlibatan lebih lanjut dalam belajar.[30]
Mutu pembelajaran sering tertuju
pada mutu lulusan, tetapi merupakan kemustahilan sekolah menghasilkan lulusan
yang bermutu, kalau tidak melalui proses pembelajaran yang bermutu pula. Lebih
lanjut juga merupakan kemus-tahilan, terjadi proses pembelajaran yang bermutu
kalau tidak didukung oleh personalia (pimpinan/manajer, adminitrastor, dan
guru) yang bermutu (profesional), sarana-prasarana pendidikan, fasilitas,
media, dan sumber belajar yang memadai (baik kualitan maupun kuantitasnya),
biaya yang mencukupi, manejemen yang tepat serta lingkungan yang mendukung[31]
E.
Contextual Teaching and Learning (CTL)
Untuk
meningkatkan kemampuan anak didik terhadap fenomena lingkungannya, dibutuhkan
sebuah strategi pengajaran yang dapat memaksimalkan pemahaman anak dengan
lingkungannya tersebut. Karena itu, pembelajaran yang bersikap alamiah
merupakan strategi penting agar anak didik lebih “mengalami” dari pada
“mengetahui”. Pentingnya mengalami dari pada mengetahui tentu saja memiliki
perbedaan, mengalami merupakan proses alamiah yang dirasakan dan dilakukan oleh
anak didik sehingga ia dapat memaknai sebuah peristiwa secara empiris, sedangkan
mengetahui cenderung diperoleh karena adanya transfer informasi dari seseorang
(guru) kepada dirinya.[32]
Salah
satu strategi yang dianggap kontekstual dengan mendekatkan anak didik kepada
proses alamiah pembelajaran, disebut dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning-CTL).
Pendekatan CTL menurut Direktorat Jendral Pendidikan dasar dan menengah,
Direktorat Pendidikan lanjutan pertama Depdiknas, disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan contextual teaching and learning merupakan konsep belajar yang
membantu guru mengingatkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia
nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang
dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga
dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung alamiah dalm
bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari
guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil.[33]
Berikut
ini dikemukakan berbagai alasan pendekatan kontekstual menjadi pilihan:
1. Sejauh
ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dijafal. Kelas masih berfokus pada guru
sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama
strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang
lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan
siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa
mengkonstruksikan pengetahuan dibenak mereka sendiri.
2. Melalui
landasan filosofi konstruktivisme, CTL “dipromosikan” menjadi alternatif
strategi baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui
“mengalami” bukan “menghafal”.
3.
Knowledge
is constructed by humans.
4. Knowledge is konjectural and
fallible.
Berbagai alasan
mengapa pendekatan kontekstual menjadi pilihan seperti yang dikemukakan diatas,
menjadi pendekatan kontekstual dianggap relevan dan faktual sebagai tuntutan
proses pembelajaran peserta didik. Peserta didik menuntut agar mereka
memperoleh yang terbaik dari proses penyelenggaraan pendidikan secara
ins-titusional. Tuntutan tersebut pada dasarnya tidak hanya bersifat normatif
semata, tetapi cenderung kepada hak dasar setiap peserta didik untuk memperoleh
sesuatu yang baru dan kebaruan tersebut akan memberikan nilai tambah yang
tinggi bagi dirinya.
Pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual dilaksanakan secara tepat dan benar, akan
menghasilkan peserta didik yang mampu memahami dan memaknai sebuah peristiwa.
Bagaimana pun tujuan pembelajaran pada saat ini adalah menuntut agar peserta
didik setiap saat dapat memahami lingkungannya dengan terlebih dahulu memahami
diri dan memiliki kesadaran diri. Dimensi sosiologi pendidikan dalam
kontekstual akan menjamin kemampuan anak didik untuk lebih terampil dan siap
menghadapi berbagai tantangan dan masalah yang akan dihadapi, dan pada sisi
yang lain diharapkan anak didik mampu mencari pemecahannya melalui alternatif
solusi sebagai buah dari proses berfikirnya[34]
F.
Liff
Skill (Kecakapan Hidup)
Secara umum
pendidikan yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan memfungsikan
pendidikaan sesuai dengan fitrahnya, yaitu mengembangkan potensi manusiawi
peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa yang datang. Secaraa khusus pendidikan
yang berorientasi pada kecakapan hidup bertujuan untuk:
1. Mengaktualisasikan
potensi peserta didik sehingga dapat digunakan untuk memecahkan problema yang
dihadapi.
2. Memberikan
kesempatan kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel,
sesuai dengan prinsip pendidikan yang berbasis luas, dan
3. Mengoptimalisasikan
pemanfaatan sumber daya dilingkungan sekolah, dengan memberi peluang
pemanfaatan sumber daya yang ada di masyarakat, sesuai dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah (Dirdikmenus Depdiknas, 2002:7).[35]
Menyimak tujuan
pendidikan yang berorientasi kecakapan hidup tersebut, secara tersirat
menjelaskan kepada kita bahwa lembaga pendidikan persekolahan diharuskan
memberikan peluang yang luas dan besar kepada peserta didikuntuk mendapatkan
pendidikan tambahan yang berdimensi kecakapan kepada peserta diddik. Berbagai
uraian berikut ini akan mencoba mengelaborasi konsep-konsep yang ada didalam
konsep dasar pendidikan berorientasi kecakapan hidup melalui pendidikan
berbasis luas yang diterbitkan oleh Direktorat pendidikan menengah umum
Departemen pendidikan Nasional Tahun 2002.[36]
Pengertian
kecakapan hidup, lebih luas dari keterampilan untuk bekerja. Orang yang sedang
menempuh pendidikan memerlukan kecakapan hidup, karena mereka tentu juga memiliki
permasalahan. Bukankah dalam hidup ini, di mana pun dan kapan pun, orang
menemui masalah yang memerluka pemecahan?
Kecakapan hidup
dapat dipilah menjadi empat yaitu:
1. Kecakapan
personal (personal skill), yaang
mencakup kecakapan mengenal diri (stelf
awareness), dan kecakapan berfikir rasional (thinking skill). Kecakapan mengenal diri itu pada dasarnya
merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang maha Esa, anggota
masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki. Kecakapan berfikir rasional mencakup antara lain kecakapan
menggali dan menemukan informasi (information
searching), kecakapan mengelolah informasi dan mengambil keputusan (information processing and descion making
skills), serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif (creative problem solving skill).
2. Kecakapan
sosial (social skill) atau kecakapan
antar-personal (inter-personal skill)
mencakup antar lain kecakapan komunikasi empati (communication skill), dan kecakapan kerjasama (collaboration skill). Empati penuh pengertian dan seni komunikasi
dan arah.
3. Kecakapan
Akademik (academic skill/AS) yang
sering kali juga disebut kemampuan berfikir ilmiah pada dasarnya merupakan
pengembangan dari kecakapan berfikir rasional pada GLS (general life skill). Jika kecakapan berfikir rasional bersifat
umum, kecakapan akademik sudah lebih mengarah pada kegiatan yang bersifat
akademik/keilmuan.
4. Kecakapan
vokasional (vocational skill/VS),
sering kali juga disebut pula dengan “kecakapan kejujuran”, artinya kecakapan
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
Perlu disadari bahwa di alam kehidupan nyata, antara GLS (general life skill) dan SLS (specific
life skill) yaitu antara kecakapan mengenal diri, kecakapan berfikir
rasional, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik, serta kecakapan vokasional
tidak berfungsi secara terpisah-pisah atau tidak terpisah secara ekslusif. Hal
yang terjadi adalah peleburan kecakapan-kecakapan tersebut, sehingga menyatu
menjadi sebuah tindakan individu yang melibatkan aspek fisik, mental,
emosional, dan intelektual.[37]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kemampuan
memilih model pembelajaran yang tepat bagi siswanya merupakan salah satu tugas
dan tanggungjawab guru profesional. Guru profesional akan selalu tanggap
terhadap tuntutan dan kebutuhan belajar siswanya. Tuntutan dan kebutuhan
belajar siswa dewasa ini, minimal dapat mengembangkan kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional dan kecerdasan spritual.
Belajar yang
memperkenalkan tiga keterampilan dasar, yakni keterampilan akademis,
keterampilan fisik, dan keterampilan hidup. Hasilnya menurut beberapa
penelitian demikian impresif. Siswa setelah mengikuti kegiatan model-model
pembelajaran tersebut, menunjukkan motivasi belajarnya meningkat, dan
keterampilan belajar pun berkembang. Memilih model yang tepat merupakan
persyaratan untuk membantu siswa dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Para
guru dan tenaga pengajar lain perlu menguasai macam-macam model perbelajaran,
baik teoritik maupun praktek, yang meliputi aspek-aspek, konsep, prinsip, dan
teknik.
Model
pembelajaran berpengaruh secara langsung terhadap keberhasilan belajar siswa.
Jika tenaga pengajar menggunakan model pembelajaran sebagai suatu strategi
mengajar dalam pembelajaran, hendaknya memperhatikan lima aspek kunci dari
pembelajaran yang efektif, yaitu:
(1) Kejelasan,
(2) Variasi,
(3) Orientasi
tugas,
(4) Keterlibatan
siswa dalam belajar, dan
(5)
pencapaian kesuksesan yang tinggi.
Demikian
sekedar bahan untuk didiskusi tentang beberapa model pembelajaran yang dapat
dipertimbangkan untuk digunakan pada Pendidikan Islam yang dapat mengembangkan
kecerdesan peserta belajar. Dengan catatan tidak ada model pembelajaran yang
terbaik untuk dilaksanakan, namun yang ada adalah pilihlah model pembelajaran
yang paling tepat dengan tujuan dan karakteristik materi yang akan disampaikan
serta karakteristik tuntutan peserta belajar yang menjadi subjek pembelajaran.
Kecakapan
hidup (Life Skill) dapat dipilah menjadi empat yaitu:
1. Kecakapan
personal (personal skill), yaang
mencakup kecakapan mengenal diri (stelf
awareness), dan kecakapan berfikir rasional (thinking skill).
2. Kecakapan
sosial (social skill) atau kecakapan
antar-personal (inter-personal skill)
mencakup antar lain kecakapan komunikasi empati (communication skill), dan kecakapan kerjasama (collaboration skill). Empati penuh pengertian dan seni komunikasi
dan arah.
3. Kecakapan
Akademik (academic skill/AS) yang
sering kali juga disebut kemampuan berfikir ilmiah pada dasarnya merupakan
pengembangan dari kecakapan berfikir rasional.
4. Kecakapan
vokasional (vocational skill/VS),
sering kali juga disebut pula dengan “kecakapan kejujuran”, artinya kecakapan
yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di masyarakat.
Berikut ini yang
menjadi pilihan dalam Contekstual Teaching Learning (CTL):
1. Sejauh
ini pendidikan kita masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai
perangkat fakta-fakta yang harus dijafal. Kelas masih berfokus pada guru
sebagai sumber utama pengetahuan, kemudian ceramah menjadi pilihan utama
strategi belajar. Untuk itu, diperlukan sebuah strategi belajar “baru” yang
lebih memberdayakan siswa. Sebuah strategi belajar yang tidak mengharuskan
siswa menghafal fakta-fakta, tetapi sebuah strategi yang mendorong siswa mengkonstruksikan
pengetahuan dibenak mereka sendiri
2. Melalui
landasan filosofi konstruktivisme, CTL “dipromosikan” menjadi alternatif
strategi baru. Melalui strategi CTL, siswa diharapkan belajar melalui
“mengalami” bukan “menghafal”.
3. Knowledge is constructed by humans.
4. Knowledge is konjectural and
fallible.
B.
Saran
Dengan
mengucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan selesainya makalah
ini dan saya meminta kepada teman-teman agar memberikan masukan dan kritikan
dalam makalah ini agar menambah wawasan saya sebagai pemakalah
DAFTAR PUSTAKA
Beane, A. J. (1995). Integrated Curriculum in
the Middle School. ERIC Digest. [Oline]. Tersedia: http://www.ericfacility.net/ericdigests/ed351095.html.
30 juni 2003
Pusat
Kurikulum, Balitbang Depdiknas tahun 2002 mengungkapkan bahwa ciri-ciri
kurikulum berbasis kompetensi.
Zohar dalam Vella (2003): “Quantum learning is
that which uses all of the neural networks in the brain, putting things
together in idiosyncratic and personal ways to make significant meaning”.
William
Glasser, dalam Moejiono (1991/1992: 155).
Robert
E. Slavin (Johnson, 1990). Model
Cooperative learning.
Brophy
Dan Evertson, 1974 (dalam Killen, 1998)
Soar
& Soar, 1973 (dalam Killen, 1998).
(Mcdonald et al..., 1975, dalam Killen, 1998).
(Powell,
1978, dalam Killen, 1998).
Baik
Berliner, 1979 dan Fisheret al.., 1980 (dalam Killen, 1998).
Brophy
dan Good (1986, dalam Killen, 1998).
Rosenshine,
1983, dan Spady, 1994 (dalam Killen, 1998)
Land,
1987 (dalam Killen, 1998)
Cruickshank
dan Kennedy, 1986 (dalam Killen, 1998)
(Land,
1981; Hines, Cruickshank& Kennedy, 1985; dalam Killen, 1998)
Depdiknas.
(2002). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
De
Potter, B. (1998). Quantum Learning. Boston: Allyn & Baccon
De
Potter, B, Mark R & Sarah S. N. (1990). Quantum Teaching: Orchestrating
Student Success. Boston: Allyn & Baccon.
Departemen
Agama RI, (1995), Pola Pembinaan Agama Islam Terpadu, Jakarta: Direktorat
Jenderal Pembinaan Agama Islam.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, (1996/1997). Tim Pengembang PGSD Pembelajaran
Terpadu D.II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar. Jakarta:
Gabel,
D.L.(editor). (1999). Handbook of Research on Science Teaching and Learning.
Gage,
N.L. (1964), Handbook of Research on Teaching. Chicago: Rand McNally
(Ausubel,
1968) dan dapat mendorong kearah kekaguman diri yang tinggi dan sikap pada
sekolah yang positif (Bennett, Desforges, Cockbum& Wilkinson, 1981;
Wyne& Stuck, 1982, dalam Killen, 1998).
Hadi,
T. & Herawati, I., S. (1990) Modul Pembelajaran Terpadu, Jakarta:
Universitas Terbuka
Joni,
R. (1996) Pembelajaran Terpadu Naskah: Untuk Pelatihan Guru Pamong, Dirjen
Dikti 2-13 Maret 1996
Joyce,
B., Weill, M. (2000) Models of Teaching. Boston: Allyn and Bacon
Kohelberg, L., (1976), The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Berkly: Cutchan Publ. Co.
Kohelberg, L., (1976), The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Berkly: Cutchan Publ. Co.
pendapat
Briggs (1978:23) yang menjelaskan model adalah "seperangkat prosedur dan
berurutan untuk mewujudkan suatu proses"
Joyce
(2000) mengemukakan ada empat rumpun model pembelajaran.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002), Pengembangan Kompetensi Lintas Kurikulum. [Online] Tersedia: http://www.puskur.or.id/kurikulum.shtml
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002), Pengembangan Kompetensi Lintas Kurikulum. [Online] Tersedia: http://www.puskur.or.id/kurikulum.shtml
Moedjiono.
(1991/1992). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
Rahmat, J. (1991) Islam Aktual, Bandung: Mizan.
Rahmat, J. (1991) Islam Aktual, Bandung: Mizan.
Salamah.
(2004) Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Bidang Studi Pendidikan Agama
Islam Untuk Meningkatkan Akhlak Siswa pada SMU di Banjarmasin (Tesis: Pasca
Sarjana UPI Bandung: Tidak Diterbitkan)
Yager,
R.E., (1992) The Constructivist Learning Model: A must for STS Classroom the
Sattus of Science Technology Socity. Reform efforts around the world. IOWA
University.
Departemen
Pendidikan Nasional, Konsep dasar
pendidikan berorientasi kecakapan hidup (life skill), (Jakarta: Melalui
Pendidikan berbasis Luas, 2002),
Pendidikan
berbasis luas yang diterbitkan oleh Direktorat pendidikan menengah umum
Departemen pendidikan Nasional Tahun 2002.
Prinsip
manajemen berbasis sekolah (Dirdikmenus Depdiknas, 2002:7).
Departemen
Pendidikan Nasional, Pendekatan
Kontekstual (Contextual Teaching and Learning-CTL), Jakarta: Melalui
Pendidikan Berbasis Luas, 2002
Depdiknas.
(2002). Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
[1]Beane, A. J. (1995).
Integrated Curriculum in the Middle School. ERIC Digest. [Oline]. Tersedia: http://www.ericfacility.net/ericdigests/ed351095.html. 30
juni 2003
[3] Salamah. (2004) Pengembangan Model Pembelajaran Terpadu Bidang
Studi Pendidikan Agama Islam Untuk Meningkatkan Akhlak Siswa pada SMU di
Banjarmasin (Tesis: Pasca Sarjana UPI Bandung: Tidak Diterbitkan)
[4] Pusat Kurikulum,
Balitbang Depdiknas tahun 2002 mengungkapkan bahwa ciri-ciri kurikulum berbasis
kompetensi.
[5] (Pusat Kurikulum
Balitbang Depdiknas. (Penge-mbangan Kompetensi Lintas Kurikulum. [Online]
Tersedia: http://www.puskur.or.id/ kurikulum.shtml 2002).
6 Yager, R.E., (1992) The Constructivist Learning Model: A must for STS Classroom the Sattus of Science Technology Socity. Reform efforts around the world. IOWA University.
6 Yager, R.E., (1992) The Constructivist Learning Model: A must for STS Classroom the Sattus of Science Technology Socity. Reform efforts around the world. IOWA University.
[7] pendapat Briggs (1978:23) yang
menjelaskan model adalah "seperangkat prosedur dan berurutan untuk
mewujudkan suatu proses"
[8] Joyce, B., Weill, M. (2000) Models of Teaching. Boston: Allyn
and Bacon
Kohelberg, L., (1976), The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Berkly: Cutchan Publ. Co.
Kohelberg, L., (1976), The Cognitive Developmental Approach to Moral Education. Berkly: Cutchan Publ. Co.
[9] Joyce (2000) mengemukakan ada
empat rumpun model pembelajaran.
[10]Departemen Agama RI,
(1995), Pola Pembinaan Agama Islam Terpadu, Jakarta: Direktorat Jenderal
Pembinaan Agama Islam.
[11] William Glasser, dalam Moejiono
(1991/1992: 155)
[12] Yager, R.E., (1992)
The Constructivist Learning Model: A must for STS Classroom the Sattus of
Science Technology Socity. Reform efforts around the world. IOWA University.
[13] Robert E. Slavin (Johnson,
1990). Model Cooperative learning
[14] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (1996/1997). Tim
Pengembang PGSD Pembelajaran Terpadu D.II PGSD dan S-2 Pendidikan Dasar.
Jakarta:
[16] De Potter, B, Mark R & Sarah S. N. (1990). Quantum Teaching:
Orchestrating Student Success. Boston: Allyn & Baccon.
[17] Zohar dalam Vella (2003):
“Quantum learning is that which uses all of the neural networks in the brain,
putting things together in idiosyncratic and personal ways to make significant
meaning”.
[18]Moedjiono.
(1991/1992). Strategi Belajar Mengajar, Jakarta: Depdikbud Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Proyek Pembinaan Tenaga Kependidikan.
[20] Land, 1987 (dalam Killen, 1998)
[21] Cruickshank dan Kennedy, 1986
(dalam Killen, 1998)
[22] (Land, 1981; Hines,
Cruickshank& Kennedy, 1985; dalam Killen, 1998)
[23] Rosenshine, 1983, dan Spady,
1994 (dalam Killen, 1998)
[24] (Powell, 1978, dalam Killen,
1998)
[25] Baik Berliner, 1979 dan Fisheret
al.., 1980 (dalam Killen, 1998)
[26] Brophy dan Good (1986, dalam
Killen, 1998).
[27]
Brophy Dan Evertson, 1974 (dalam Killen, 1998)
[28] Soar & Soar, 1973 (dalam
Killen, 1998)
[29] (Mcdonald et al..., 1975, dalam
Killen, 1998).
[30] (Ausubel, 1968) dan dapat
mendorong kearah kekaguman diri yang tinggi dan sikap pada sekolah yang positif
(Bennett, Desforges, Cockbum& Wilkinson, 1981; Wyne& Stuck, 1982, dalam
Killen, 1998).
33Depdiknas. (2002). Pendekatan Kontekstual
dalam Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
[34] Departemen Pendidikan Nasional, Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching
and Learning-CTL), Jakarta: Melalui Pendidikan Berbasis Luas, 2002
[35] prinsip
manajemen berbasis sekolah (Dirdikmenus Depdiknas, 2002:7).
[36] pendidikan berbasis luas yang
diterbitkan oleh Direktorat pendidikan menengah umum Departemen pendidikan
Nasional Tahun 2002.
[37] Departemen Pendidikan Nasional, Konsep dasar pendidikan berorientasi
kecakapan hidup (life skill), (Jakarta: Melalui Pendidikan berbasis Luas,
2002), hlm. 96
1 komentar so far
https://wsdsite.wordpress.com/2017/11/19/tinggalkan-madura-united-odemwingie-masih-tertarik-di-indonesia-2/
EmoticonEmoticon