HUBUNGAN
FILSAFAT ISLAM DENGAN
FILSAFAT
LAINNYA
A. Latar
Belakang Masalah
Pembicaraan mengenai sejarah pemikiran Islam tidak akan lepas dari membahas
seputar perkembangan Islam, mulai dari pokok-pokok ajaran Islam, sistem ajaran
Islam, pemikiran politik, dan hukum Islam pada masa Nabi saw, masa Khulafa
ar-Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah. Kemudian pemikiran Islam
semakin mengalami perkembangan dengan munculnya pemikiran teologi yang
pertumbuhannya semakin berkembang, diikuti dengan munculnya sufisme dan tarekat
sampai lahirnya filsafat Islam.[1]
Pada perkembangannya Islam memiliki banyak persoalan-persoalan yang
memerlukan pemikiran untuk dapat menyelesaikannya. Tentu saja dalam memecahkan
persoalan memerlukan peran akal yang optimal, sehingga muncullah filsafat
Islam. Sejalan dengan itu filsafat Islam sendiri memiliki sisi historis yang
cukup panjang, karena ketika berbicara tentang filsafat Islam tentu saja tidak
akan terlepas dari filsafat Yunani (Barat). Hal ini karena filsafat Yunani mempunyai
pengaruh dan kontribusi yang cukup besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan
filsafat Islam. Dan tidak menutup kemungkinan ada juga pengaruh dari
filsafat-filsafat lain yang berkembang saat itu, semisal filsafat dari Persia,
India, dan China (Timur).[2]
Sebelum filsafat itu sendiri dikenal luas dikalangan umat Islam, mereka
terlebih dahulu mengenal ilmu kalam. Ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan
dan berbagai cabangnya, termasuk didalamnya tentang kenabian dan hari akhir.
Sampai akhirnya persentuhan atau hubungan filsafat Islam dengan filsafat Yunani
bermula sebagai akibat perluasan hegemoni politik kaum muslimin ke daerah yang
dahulu dikuasai oleh Alexander the Great pada awal abad VII Masehi, diantaranya
Mesir, Syiria, Mesopotamia, dan Persia. Sejak itulah mulai terjadi asimilasi
integrasi antara budaya Islam dan budaya Yunani (Helenisme) yang dibawa
Alexander the Great hingga lahirlah filsafat Islam.[3]
Melihat kuatnya hubungan antara filsafat Islam dengan filsafat Yunani
(Barat) disamping hubungan dengan filsafat lainnya, maka penulis mencoba
mengkaji hubungan filsafat Islam dengan filsafat lainnya secara mendalam dan
komprehensif. Oleh karena itu diantara pembahasan dalam makalah ini, meliputi:
(1) Pertumbuhan dan perkembangan filsafat Islam; (2) Hubungan filsafat islam
dengan ilmu-ilmu Islam lainnya; dan (3) Hubungan filsafat Islam dengan filsafat
lainnya.
B.
Pertumbuhan dan Perkembangan Filsafat Islam
Secara umum atau eksternal, pertumbuhan filsafat Islam adalah karena adanya
usaha penerjemahan buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa arab yang tersimpan
di perpustakaan kuno daerah-daerah yang telah dikuasai umat Islam, seperti
Alexanderia, Antioch, Edessa, Harran, dan Judinsapur. Kota-kota tersebut
notabene dulunya adalah pusat ilmu pengetahuan berbasis filsafat Yunani
(helenisme).[4]
Secara khusus atau internal, sebelum filsafat dikenal oleh kaum muslimin.
Mereka terlebih dahulu mempelajari ilmu kalam yaitu ilmu tentang ketuhanan dan
berbagai cabangnya. Hal ini diawali dengan timbulnya perpecahan di antara umat
Islam antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah yang akhirnya memunculkan
aliran-aliran teologi dalam Islam, semisal syiah, murjiah, dan khawarij,
kemudian aliran-aliran tersebut terpecah lagi menjadi beberapa aliran
masing-masing, diantaranya mutazilah pada masa Abbasiyah yang banyak meminjam
konsep-konsep filsafat Yunani dalam hal logika sebagai dasar kebebasan berpikir
dan kebebasan berkehendak dalam teologinya. Mereka menggunakan alat yang
bernama logika formal yang biasa digunakan oleh filsafat dalam mencari hakikat
kebenaran. Dan disinilah benih filsafat Yunani ditanamkan dalam Islam sehingga
lahir filsafat Islam.[5]
Usaha transliterasi buku-buku filsafat Yunani kedalam bahasa Arab sejatinya
sudah dimulai pada masa Umayyah yang dipelopori oleh Khalifah Khalid bin Yazid,
Marwan bin Hakam, dan Umar bin Abdul Aziz, lalu hasil karya terjemahan disimpan
diperpustakaan negara. Filsafat Yunani baru mendapat perhatian besar pada masa
Abbasiyah saat Khalifah Makmun berkuasa, karena pada masa itu aliran mutazilah
yang mengadopsi filsafat Yunani menjadi mazhab teologi resmi negara. Buku-buku
filsafat yang diterjemahnyapun bukan hanya filsafat dari Yunani, tetapi juga diseantero negeri seperti
buku-buku filsafat dari Persia, India, dan China.[6]
Usaha penerjemahan buku-buku filsafat baik dari Barat maupun Timur pada
masa Abbasiyah berjalan melalui tiga tahap periode, yaitu:[7]
1.
Periode
pertama, masa Khalifah Manshur al-Rasyid sampai Harun al-Rasyid pada abad ke-8
Masehi. Pada masa ini dibentuk suatu tim penerjemah yang bertugas mengumpulkan
dan menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab.
2.
Periode
kedua, masa Khalifah Makmun al-Rasyid pada abad ke-9 Masehi. Dalam periode ini
Khalifah Makmun mendirikan Bait al-Hikmah di Baghdad sebagai suatu
institusi pusat penerjemahan dan pengembangan filsafat dan sains. Bukan hanya
di Baghdad, Bait al-Hikmah juga didirikan di daerah-daerah kekuasaan
Abbasiyah seperti di kota Marwa (Persia Tengah) khusus untuk menerjemahkan buku
dalam bidang matematika dan astronomi, di kota Judinsapur khusus untuk
menerjemahkan buku yang menyangkut obat-obatan dan kedokteran, dan di kota
Harran khusus untuk menerjemahkan buku filsafat dan kedokteran. Bait
al-Hikmah sendiri didirikan Khalifah Makmun al-Rasyid dengan mengangkat
seorang nasrani ahli bahasa Yunani yaitu Hunain bin Ishaq sebagai pemimpinnya.
Dan pada masa ini pula lahir dalam Islam seorang filosof muslim yang terkenal
yaitu al-Kindi.
3.
Periode
ketiga, terjadi sekitar abad ke-10 Masehi. Periode ini merupakan periode
terakhir zaman penerjemahan secara besar-besaran buku-buku filsafat lain ke
dalam dunia Islam. Dipelopori oleh Abu Bisr Matta bin Yunus al-Qannai (940 M),
Yahya bin Adi al-Mantiqy (974 M), dan Ishaq bin Ishaq bin Zara (1008 M), mereka
melanjutkan dan mengembangkan usaha-usaha penerjemahan periode kedua dengan
memberikan komentar dan penjelasan (syarah) buku-buku filsafat
Aristoteles.
Meskipun filsafat Yunani memberikan kontribusi dan pengaruh besar terhadap
filsafat islam, tapi perlu digarisbawahi bahwa bukan berarti para filosof Islam
menerima mentah-mentah segala pemikiran filosof Yunani. Filsafat Yunani dapat
dikatakan sebagai sumber rujukan yang dipelajari para filosof Islam karena
terbukti mereka memiliki pandangan dan teori filsafat sendiri dengan corak
Islam. Artinya filsafat Islam bukan merupakan pengekor, tetapi sebagai pelopor
pengembangan filsafat Yunani. Dan dari upaya penerjemahan yang dilakukan maka
pada saat itu umat Islam mencapai puncak kejayaan peradaban (Golden Age) karena
mereka mampu menguasai tiga warisan jenis kebudayaan filsafat Yunani, filsafat
Persia, dan filsafat India. Tapi sayangnya, kejayaan ilmu ini hanya dapat
bertahan sampai abad ke-13 Masehi, kemudian pusat ilmu tersebut diambil alih
oleh orang-orang Barat (Eropa).[8]
Sedangkan untuk perkembangan filsafat Islan itu sendiri dapat dibagi
menjadi beberapa periode, antara lain:[9]
1.
Periode
mutakallimin, merupakan masa pendekatan filsafat yang mulai membicarakan
mengenai segala masalah mengenai keagamaan Islam. Tapi banyak yang berargumen
bahwa masa ini filsafat Islam belum muncul melainkan teologi Islam, hal ini
terbukti dengan munculnya aliran-aliran teologi seperti khawarij, murjiah,
syiah, mutazilah, asyariyah, jabariyah, dan lainnya.
2.
Periode
sistematik awal di timur, masa ini ditandai dengan munculnya pemikiran dari
al-Kindi yang hidup pada masa Abbasiyah. Disusul dengan kemunculan para filosof
Islam besar lainnya semisal al-Farabi, Ibnu Sina, dan lainnya.
3.
Periode
sistematik di barat, berpusat di Cordoba, Andalusia (Spanyol) pada masa Umayyah
II. Pada masa ini banyak melahirkan filosof besar Islam semisal Ibnu Rusyd,
Ibnu Khaldun, Ibnu Thufail, dan lain-lain.
4.
Periode
mistik atau filsafat iluminasi, yang melahirkan para filosof Islam seperti
Suhrawadi, Mulla Sudra, Ibnu Arabi, dan lainnya.
5.
Periode
modern atau pembaharu, yang melahirkan para filosof Muslim seperti Muhammad
Abduh, Muhammad Iqbal, Jamaluddin al-Afghani, dan lain-lain.
6.
Periode
kontemporer, melahirkan filosof Islam seperti Faziur rahman, Murtadha
Muthahari, dan lain-lain.
Menurut Jalaludin dan Usman Said dalam Milawati, bahwa perkembangan
filsafat Islam secara ringkas dibagi menjadi tiga tahap atau periode, yaitu:[10]
1.
Periode awal
perkembangan Islam, merupakan pemikiran yang bersumber dari al-Quran dan hadis
yang tentu sudah dimulai sejak masa Nabi Muhammad saw yang kemudian menjadi
teladan bagi manusia.
2.
Periode
klasik, mulai ditandai pada masa pasca pemerintahan Khulafa Rasyidin sampai
masa imperialis Barat dengan rentang waktunya pada masa awal Umayyah zaman
keemasan Islam dan kemunduran kekuasaan Islam secara politis hingga awal abad
ke-19 Masehi.
3.
Periode
modern, masa ini ditandai dengan dikuasainya daerah-daerah kekuasaan Umayyah
dan juga Abbasiyah oleh imperialis Barat.
C. Hubungan
Filsafat Islam dengan Ilmu-Ilmu Islam Lainnya
Filsafat berasal dari bahasa Yunani philosopy, terdiri dari philo
artinya cinta dalam arti yang luas, yakni keinginan dan sophia artinya
hikmah, kebijaksanaan, atau kebenaran. Jadi secara etimologis filsafat adalah
cinta kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom).[11]
Dalam bahasa Arab filsafat diartikan dengan falsafah artinya pengetahuan
tentang asas-asas pikiran dan perilaku, sedangkan filosof adalah orang-orang
yang ahli ilmu filsafat.[12] Secara
terminologis menurut Burhanuddin Salam, bahwa filsafat adalah kegiatan berpikir
manusia yang berusaha untuk mencari kebijakan atau kearifan dengan budi murni.[13]
Sedangkan kata Islam secara semantik berasal dari kata salima
artinya menyerah, tunduk, dan keselamatan. Secara istilah Islam artinya
menyerahkan diri kepada Allah swt dan dengan menyerahkan diri kepada-Nya dalam
bentuk ketaatan maka ia memperoleh keselamatan dan kedamaian.[14]
Jadi filsafat Islam dapat diartikan sebagai kegiatan berpikir yang bebas,
radikal, dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak, dan karakter
yang menyelamatkan dan memberikan kedamaian hati.[15]
Jelasnya Sidi Gazalba memberikan konsep bingkai filsafat Islam sebagai
berikut, “Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu
atau sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan, dan apabila
pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal menjadilah ia filsafat Islam”.
Wahyu dan sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan
kebenarannya dengan riset, maka tugas filsafat Islamlah yang memberikan
keterangan, ulasan, dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan
pemikiran budi yang bersistem, radikal, dan umum.[16]
Dalam tradisi intelektual Islam, istilah filsafat dibedakan menjadi tiga
istilah umum, antara lain:[17]
1.
Hikmah,
istilah hikmah diadopsi dari al-Quran yaitu tentang kisah Luqman Hakim
seseorang yang bukan Nabi maupun Rasul namun mendapatkan hikmah (kebijaksanaan)
dari Allah swt. Allah swt berfirman dalam al-Quran:
وَلَقَدۡ
ءَاتَيۡنَا لُقۡمَٰنَ ٱلۡحِكۡمَةَ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِلَّهِۚ وَمَن يَشۡكُرۡ
فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٞ
١٢
Terjemahnya:
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman,
yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa
yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji". (QS Luqman [31]: 12)[18]
2.
Falsafah, istilah yang
diserap kedalam kosakata Arab melalui terjemahan karya-karya Yunani Kuno.
Al-Kindi mendefinisikan falsafah sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu
kemampuan manusia. Falsafah menurutnya adalah “Al-falsafah awwaluha
mahabbatul ulum, wa akhiruha al-qaul wa al-amal bi ma yuwafiq al-ilm”.
3.
Ulum al-awal, istilah yang artinya ilmu-ilmu orang zaman dulu, yaitu
ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban kuno pra-Islam seperti India, Persia,
Yunani, dan Romawi. Termasuk didalamnya adalah ilmu logika, matematika,
astronomi, fisika, biologi, kedokteran, dan sebagainya.
Secara umum objek bahasan
filsafat Islam sama dengan filsafat Barat (Yunani) yaitu menelaah hakikat
tentang Tuhan, tentang manusia, dan tentang segala realitas yang nampak di
hadapan manusia (alam), dengan tiga pokok bahasan meliputi: (1) Ontologi atau al-wujud
yakni pembahasan mencakup hakikat segala sesuatu yang ada (al-manjudad);
(2) Epistimologi atau al-marifat yakni membahas hakikat pengetahuan dan
cara bagaimana atau dengan sarana apa pengetahuan dapat diperoleh; dan (3)
Aksiologi atau al-qayyim yakni pembahasan tentang hakikat nilai.[19]
Berdasar objek kajian
filsafat Islam di atas maka dapat digambarkan hubungan filsafat Islam dengan
ilmu-ilmu Islam lainnya, terutama ilmu kalam, ilmu tasawuf, dan ilmu fikih,
antara lain sebagai berikut:
1.
Hubungan filsafat islam
dengan ilmu kalam, dapat dijelaskan dibawah ini:[20]
a.
Filsafat Islam
mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya Allah, alam, dan manusia tanpa
terikat dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya
berfungsi sebagai sebatas masukan dan relatif). Nash-nash agama hanya sebagai
bukti untuk membenarkan hasil temuan akal.
b.
Ilmu kalam mengambil dalil
akidah sebagai tertera dalam wahyu yang mutlak kebenarannya untuk menguji
objeknya Allah dan sifat-sifat-Nya, serta hubungan Allah dengan alam dan
manusia sebagai tertuang dalam kitab suci, menjadikan filsafat sebagai alat
untuk membenarkan nash agama.
Artinya walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda
tetapi tetap saling melengkapi dan memahami Islam dan pembentukan akidah
muslim.
2.
Hubungan filsafat Islam
dengan ilmu tasawuf; Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan jalan
bagaimana seorang muslim berada sedekat mungkin dengan Allah swt dapat
dibedakan menjadi tasawuf amali (akhlaqi) dan tasawuf falsafi. Objek filsafat
membahas segala sesuatu yang ada, baik fisika maupun metafisika yang dikaji
dengan mempergunakan argumentasi akal dan logika. Sedang objek tasawuf pada
dasarnya mengenal Allah swt baik dengan jalan ibadah, riyadhoh, maupun
ilham dan intuisi.[21]
3.
Hubungan filsafat islam
dengan ilmu fikih; Dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang
berkenaan dengan hukum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan menggunakan
akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari
sumbernya. Mengingat pentingnya ijtihad ini para pakar hukum Islam
menganggapnya sebagai sumber hukum ketiga setelah al-Quran dan hadis, termasuk
dalam ijtihad tersebut adalah qiyas, yaitu menyamakan hukum sesuatu yang tidak
ada nash hukumnya dengan sesuatu yang lain yang ada nash hukumnya atas dasar
persamaan illat (sebab), dan dalam menentukan persamaan diperlukan
pemikiran mendalam (filsafat). Sehingga tanpa filsafat, maka ilmu fikih akan
kehilangan semangat untuk perubahan dan fikih menjadi beku atau statis dalam
menghadapi problematika umat yang semakin berkembang. Hal ini bisa saja terjadi
karena tanpa filsafat maka ijtihad menjadi terbelenggu.[22]
Dalam konteks problematika
manusia modern, filsafat Islam berperan urgen sebagai landasan adanya integrasi
berbagai disiplin ilmu dengan pendekatan multidicipline approach, karena
dalam bangunan epistimologi Islam mau tidak mau filsafat Islam dengan metode
rasional transidentalnya (intgerasi akal dan wahyu) dapat menjadi dasar sebagai
solusi terhadap problematika dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum dewasa
ini.[23]
D. Hubungan Filsafat Islam
dengan Filsafat Lainnya
Proses sejarah masa lalu
tidak dapat dielakkan begitu saja, bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh
oleh filsafat Yunani, meskipun filsafat Islam memiliki karakter tersendiri.
Realitanya para filosof Islam banyak mengambil pemikiran Aristoteles dan mereka
banyak tertarik pada pemikiran-pemikiran Platinus, akibatnya banyak teori-teori
filsafat Yunani diambil oleh filosof Islam.[24]
Hal itulah yang
menyebabkan para orientalis menuduh bahwa filsafat Islam hanya plagiasi dan
duplikasi terhadap filsafat Yunani yang lebih orisinil. Selanjutnya, secara
garis besar perspektif kaum orientalis terhadap hubungan filsafat Islam dengan
filsafat Yunani berkenaan dengan kelahirannya dibagi menjadi tiga perspektif,
diantaranya:[25]
1.
Perspektif pertama,
dipegang oleh mayoritas orientalis yang mengatakan, “it is Greek philosophy
in Arabic garb”, bahwa filsafat Islam adalah kelanjutan dari filsafat
Yunani klasik. Mereka beranggapan bahwa filsafat merupakan produk murni Yunani,
sedang filsafat Islam hanya sebagai pengekor saja.
2.
Perspektif kedua,
menganggap bahwa filsafat Islam itu merupakan reaksi terhadap doktrin-doktrin
agama lain yang telah berkembang pada masa lalu. Para pemikir muslim dituduh
telah mencomot dan terpengaruh oleh tradisi Yunani-Kristen. Pendapat ini
diwakili oleh Rahib Maimonides yang mengatakan, “Ketahuilah olehmu bahwa semua
yang dilontarkan oleh orang Islam dari golongan Mutazilah dan Asyariyah
mengenai masalah-masalah ini berasas pada sejumlah proposisi-proposisi yang
diambil dari buku-buku orang-orang Yunani dan Syiria yang ditulis untuk
menyanggah para filosof dan mematahkan argumen-argumen mereka.
3.
Perspektif ketiga,
merupakan kaum revisionis yang memandang filsafat Islam itu lahir dari kegiatan
intelektual selama berabad-abad semenjak kurun pertama Islam. Ditandai dengan
perdebatan mengenai masalah kemahakuasaan dan keadilan Tuhan, tentang hakikat
kebebasan dan tanggung jawab manusia yang dianggap sebagai cikal bakal
tumbuhnya filsafat. Munculnya kelompok-kelompok teologi (kalam) seperti
khawarij, syiah, mutazilah, dan lain-lain yang melontarkan pelbagai argumen
rasional disamping merujuk kepada ayat-ayat al-Quran merupakan sinyal kuat
mendorong berkembangnya pemikiran filsafat dalam Islam. Pandangan kaum
revisionis ini menganggap bahwa filsafat Islam adalah suatu nama generik
keseluruhan pemikiran yang lahir dan berkembang dalam lingkungan peradaban
Islam, terlepas ia berbangsa Arab maupun Ajam, dari sejak zaman dahulu hingga
sekarang. Artinya filsafat Islam itu luas dan kaya, ia tidak bermula dari
al-Kindi dan berhenti dengan kematian Ibnu Rusyd. Diantara tokoh yang mewakili
kaum revisionis ini adalah Oliver Leaman yang mengatakan, “Framed within the
language of Islam, within the culural context of Islamic society”.
Menurut Abu Ahmadi
sebagaimana dikutip Syamsuddin dalam websitenya, bahwa hubungan filsafat Islam
dengan filsafat lainnya meliputi filsafat Barat (Yunani) maupun filsafat Timur
(Persia dan India) ditinjau dari perspektif historis adalah sebagai berikut:[26]
1.
Filsafat Islam dimulai
dengan bahan-bahan dari Yunani kemudian dimasak dengan pokok-pokok pelajaran
Islam, sehingga pendapat yang mengatakan filsafat Islam merupakan kelanjutan
dari filsafat Yunani adalah pendapat yang keliru. Hal ini karena filsafat
Yunani merupakan hasil revolusi fikiran terhadap apa yang dinamakan dogmatic
dicta sebagai solusi atas berkembangnya paham mitologis Yunani, sedangkan
filsafat Islam dilahirkan untuk memperkuat kedudukan faham Islam. Bahkan dalam
Islam, ijtihad yang notabene sebagai alat pemikiran mendalam dan rasional yang
bersumber dari metode berfilsafat dijadikan hukum Islam ketiga setelah al-Quran
dan Hadis.
2.
Sebelum Islam lahir, di
seluruh Asia Tengah termasuk negeri Arab telah tumbuh dan berkembangnya
berbagai alam fikiran dan filsafat, misalnya faham Mesir kuno, Babilonia,
Assyria, Iran, India, China, dan filsafat atau pikiran Yunani. Sedangkan di
Yunani sendiri kegiatan filsafat muncul sebagai reaksi koretif terhadap
kehidupan masyarakat yang penuh dengan ajaran tahayul dan mythologis yang tidak
amsuk akal (rasional), hal ini karena filsafat memperoleh kebenaran dengan
perjalanan fikiran, sedang agama mendapatkannya secara dogmatis. Oleh karena
itu pengaruh filsafat atau pikiran filosof
Yunani diadopsi oleh para filosof Islam dalam rangka mengokohkan
kedudukan ajaran Islam. Sebuah ungkapan mengatakan, “Filsafat tanpa agama
sesat,s edang agama tanpa filsafat dangkal”.
3.
Dalam rekaman sejarah,
cara terjadinya kontak antara umat Islam dan filsafat Yunani melalui daerah
Syiria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir. Filsafat Yunani datang ke daerah-daerah
ini saat penaklukan Alexander the Great ke Timur pada abad Yunani dan persia
dalam satu negara, dengan cara alkulturasi budaya Yunani-Persia melalui jalan
perkawinan, persaudaraan, kesenian, dan lainnya.
4.
Di sisi lain pada tahun
529 Masehi di Bizantium terjadi pelenyapan semua akademisi filsafat Yunani dan
pengusiran para filosofnya oleh Kaisar Justinianus, karena menurutnya ajaran
filsafat bertentangan dengan agama Masehi. Para filosof yang terusir kemudian
menyebar di sekitar negeri Bizantium yang kelak dikuasai oleh umat Islam.
Adanya hubungan filsafat
Islam dengan filsafat Barat (Yunani) dan filsafat Timur (Persia, India, dan
China) menyebabkan para filosof Islam tidak hanya menguasai filsafat dan sains,
tetapi mereka juga mampu mengembangkan dan menambahkan hasil observasi mereka
ke dalam bahasa sains dan hasil pemikiran mereka ke dalam lapangan filsafat.[27]
Berdasar hubungan filsafat
Islam dengan filsafat lainnya ditinjau dari perspektif historis di atas, maka
dapat ditarik suatu konteks korelasi antara filsafat Islam dengan filsafat
lainnya. Oleh karena itu menurut Zaimul Am, bahwa konteks korelasi antara
filsafat Islam dengan filsafat lainnya dapat dibagi menjadi tiga ranah
korelasi, antara lain:[28]
1.
Ranah akulturasi, yakni
ketika dua budaya yang berbeda saling berhadapan. Hal ini dimulai dari
aktivitas penerjemahan karya-karya filsafat Yunani klasik ke dalam bahasa Arab
sehingga terjadi proses asimilasi oleh Islam (sebagai pusat baru kehidupan
spiritual umat manusia) terhadap semua kontribusi budaya yang sudah ada
sebelumnya, baik di Timur (Persia dan India), maupun di Barat (Yunani).
2.
Ranah integrasi, yakni
ketika muncul pengakuan terhadap kebermaknaan suatu budaya oleh budaya lain,
lalu aspek-aspek perbedaan antara keduanya coba dihilangkan. Hal ini dimulai
ketika filosof muslim al-Kindi berusaha memadukan antara agama dan filsafat,
antara wahyu dan akal, karena menurutnya antara akal dan wahyu adalah sama
pentingnya dan keduanya merupakan sumber paling berharga bagi pengetahuan
sebagai alat untuk mengetahui hakikat tertinggi.
3.
Ranah pelestarian, yakni
ketika unsur tertentu dalam budaya asing bukan hanya diserap namun juga
dikekalkan melalui pembentukan teori baru. Sebagai contoh usaha filosof Islam
melanggengkan pengaruh filsafat Yunani dalam konstalasi pemikiran Islam dapat
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a.
Bagian pertama, filsafat ketuhanan yang mencerminkan tekad
para filosof Muslim untuk mensintesiskan ajaran Islam dengan teori-teori
ketuhanan Yunani. Tujuan utama metode ini adalah untuk meneguhkan keyakinan
atas keberadaan Tuhan melalui dalil akal (aqli) atau meningkatkan
rasionalitas keimanan terhadap eksistensi Tuhan.
b.
Bagian kedua, teori
emanasi yang bersumber dari Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan tidak
menciptakan alam, sebab pada kata penciptaan tersirat adanya pemikiran dan
kehendak yang merupakan sifat makhluk daripada sifat Khlaik sang Maha Mutlak.
Oleh karenanya al-Kindi, Farabi, dan Ibnu Sina beranggapan bahwa alam semesta
tidtak diciptakan Tuhan, melainkan memancar dari Tuhan, yaitu sebuah pancaran
yang tak terhindarkan dari wujud-Nya yang tak terbatas atau hasil niscaya dari
kreativitas-Nya. Artinya, alam memancar dari Tuhan seperti cahaya memancar dari
matahari.
c.
Bagian ketiga, mengenai
epistimologi atau filsafat pengetahuan. Bagi al-Kindi pengetahuan identik
dengan persepsi, baik persepsi melalui indera yang melahirkan konsepsi (tashawwur),
maupun persepsi melalui akal yang menghasilkan putusan (tashdiq).
d.
Bagian keempat, mengenai
filsafat etika. Pada bagian ini pengaruh filsafat Yunani terhadap para filosof
Muslim dapat dibuktikan melalui adanya dua corak pemikiran etika dalam Islam.
Pertama, sistem etika esketik yang diwarnai oleh ajaran-ajaran
Phitagorean-Platonik. Kedua, corak Aristotolian yang lebih dekat kepada
semangat ajaran Islam yakni bahwa kebaikan berada pada titik tengah di antara
dua ujung ekstrem.
Di lihat dari hubungan
filsafat Islam dan filsafat lainnya khususnya dengan filsafat Yunani di atas, menurut
Sirajuddin Zar terdapat karakteristik mendasar dari filsafat Islam yang
membedakan filsafat Islam dengan filsafat lain, yaitu:[29]
1.
Filsafat Islam membahas
masalah yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya, seperti masalah
ketuhanan, alam, dan ruh. Akan tetapi selain penyelesaian dalam filsafat Islam
berbeda dengan filsafat lain, para filosof Muslim juga menambahkan dan
mengembangkan kedalam hasil pemiliran mereka sendiri.
2.
Filsafat Islam membahas
masalah yang belum pernah dibahas sebelumnya, seperti filsafat kenabian (al-nazariyat
al-nubuwah).
3.
Filsafat Islam terdapat
perpaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, dan antara wahyu
dan akal.
Secara rinci perbandingan
antara filsafat Islam dengan filsafat lainnya, baik filsafat Barat maupun
filsafat Timur dapat ditinjau dari sisi persamaaan dan perbedaan keduanya. Oleh
karena itu diantara persamaan filsafat Islam dengan filsafat lain, adalah sebagai
berikut:[30]
1.
Keduanya sama-sama
menggunakan filsafat sebagai sarana untuk pengembangan pemikiran rasional.
2.
Keduanya mengembangkan
sejumlah peradabannya melalui pengembangan sejumlah perpustakaan-perpustakaan.
3.
Keduanya menggunakan para
ilmuwan spesialis sebagai pelaksana pengembangan keilmuannya.
4.
Keduanya mengembangkan
progesif peradabannya melalui kegiatan kajian-kajian ilmiah di perguruan tinggi
yang terkonsentrasi secara sistematis dan terencana.
5.
Keduanya mengalami
kemajuan ketika keduanya sangat menghargai karya-karya ilmuwan mereka sehingga
para ilmuwan dengan tekunnya menggeluti keahliannya masing-masing. Akan tetapi,
keduanya mengalami kemerosotan setelah keduanya tidak memperhatikan
kesejahteraan para ilmuwan sehingga para ilmuwan meninggalkan negeri keduanya.
Sedangkan perbedaan antara
filsafat Islam dengan filsafat lainnya antara lain dapat dilihat sebagai
berikut:[31]
1.
Filsafat merupakan sumber
pemikiran ilmiah Yunani yang didasarkan pada hipotesa-hipotes dan
proposisi-proposisi, sedangkan ilmu-ilmu Islam mendasarkan penyelidikan mereka
atas dasar pengamatan dan percobaan.
2.
Orang-orang Yunani
beranggapan bahwa pengetahuan inderawi lebih rendah daripada pengetahuan rasio.
Jadi, pengetahuan inderawi kurang dapat diandalkan, efeknya mereka tidak
mendirikan laboratorium-laboratorium untuk penelitian. Sedang ilmuwan-ilmuwan
Islam tetap mengandalkan pemikiran rasional, namun mereka melakukan pembuktian
melalui pengamatan dan percobaan melalui fasilitas-fasilitas laboratorium.
3.
Orang-orang Yunani hanya
berpikir secara deduktif, sedang kaum muslimin diajari oleh al-Quran supaya
berpikir induktif dengan cara perintah untuk memperhatikan alam sekitarnya,
sebagaimana kaidah tafakkaru fii khalqillah wala tafakkaru fii dzatillah”.
4.
Ilmu-ilmu Yunani hanya
sekedar sekumpulan informasi, namun ilmu-ilmu kaum Muslimin merupakan
keseluruhan pengetahuan yang berdasarkan hukum dan teori.
5.
Yunani dalam jangka waktu
12 abad hanya melahirkan beberapa gelintir ilmuwan saja, sedangkan Islam dalam
jangka 6-7 abad telah melahirkan ribuan ilmuwan besar dan menjadi peletak dasar
ilmu-ilmu modern.
6.
Yunani hanya meninggalkan
beberapa buah buku bernilai, sedangkan Islam telah meninggalkan beberapa ribuan
karya tulis besar yang menjadi standar kajian ilmuwan Eropa di
universitas-universitas mereka sampai kini.
E. Kesimpulan
Dari berbagai uraian
pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu
ilmu yang didalamnya terdapat ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran
segala sesuatu. Filsafat Islam adalah filsafat yang diterapkan berdasarkan pada
hukum Islam. Adapun hubungan filsafat Islam dengan filsafat lainnya terutama
filsafat Yunani adalah sebagai pengembang, penerus sekaligus pelopor filsafat
yang bercorak Islam.
Filsafat Islam mempunyai
orisinilitas dan otentisitas tersendiri yang berbeda dengan filsafat lainnya,
meskipun dalam bebrapa hal filsafat Islam ada yang terpengaruh dari pemikiran
filosof Yunani dan peradaban lainnya. Namun itu tidak menghilangkan ciri
keislamannya, yaitu berupa pandangan hidup yang bersumber dari al-Quran dan
Hadis. Hal ini karena al-Quran telah berbicara mengenai Tuhan, manusia, alam
semesta, dan moralitas yang sama sekali berbeda dengan apa yang pernah
difikirkan para filosof lainnya.
F. Referensi
Al-Quran dan Terjemahnya
bi Rosm Usmaniy, Departemen Agama RI,
Madinah, al-Malik Fahd li Thibaat al-Mushaf asy-Syarif, 1418 H
Am, Zainul, “Konteks
Hubungan Filsafat Barat dan Filsafat Islam”, dalam http://
mytirai.blogspot.co.id/2014/11/konteks-hubungan-filsafat-barat-dan.html, di
akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Andre, “Perbedaan dan
Persamaan antara Filsafat Yunani dan Filsafat Islam” dalam http://andresangpengusaha.blogspot.co.id/2010/06/perbedaan-dan-persamaan-filsafat.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Asyarie, Musa, Filsafat
Islam Sunah Nabi dalam Berfikir, Yogyakarta, LESFI, 2002
Bakhtiar, Amsal, Filsafat
Agama, Cet. II, Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1999
Gazalba, Sidi, Ilmu,
Filsafat dan Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta, Bulan Bintang, 1978
Hanifah, Herni, “Filsafat
Barat dan Filsafat Islam”, dalam http://kesmasybk.blogspot.co.id/2013/05/filsafat-barat-dan-filsafat-islam.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Maulana, Riezky, “Hubungan
Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani dan Ilmu-Ilmu Lainnya” dalam http://azi3s-c0ol.blogspot.co.id/2009/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Milawati, “Pengaruh
Filsafat Yunani terhadap Pertumbuhan Filsafat dalam Islam”, dalam http://wawasansejarah.com/pengaruh-filsafat-yunani-terhadap-pertumbuhan-filsafat-dalam-islam.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Nasution, Harun, Islam
ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, Jakarta, UI Press, 1986
Nasution, Hasyimsah, Filsafat
Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2000
Rohayati, Elih, “Memahami
Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani”, dalam http://elihrohayati.blogspot.co.id/2014/10/memahami-hubungan-filsafat-islam-dengan.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Salam, Burhanuddin, Filsafat
Manusia: Anthropologi Manusia, Cet. II, Jakarta, Bina Aksara, 1988
Syamsuddin, Ichwan R.,
“Hubungan Filsafat Islam dengan Filsafat Yunani”, dalam http://ichwanparado.blogspot.co.id/2011/10/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA
Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta, Hidakarya Agung, 1989
Zar, Sirajuddin, Filsafat
Islam: Filosof dan Filsafatnya, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2012
[1]Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h. 2.
[2]Hasyimsah Nasuiton, Filsafat Islam, h. 2.
[3]Elih Rohayati, “Memahami Hubungan Filsafat Islam
dengan Filsafat Yunani”, dalam http:
elihrohayati.blogspot.co.id/2014/10/memahami-hubungan-filsafat-islam-dengan.html,
di akses Sabtu 19 November 2016, 08.00 WITA.
[4]Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, h. 10.
[5]Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai
Aspeknya Jilid II (Jakarta: UI Press, 1986), h. 43.
[6]Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, h.
11-13.
[7]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan
Filsafatnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 9-10.
[8]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., h. 11.
[9]Milawati, “Pengaruh Filsafat Yunani terhadap
Pertumbuhan Filsafat Islam”, dalam http:// wawasansejarah.com/pengaruh-filsafat-yunani-terhadap-pertumbuhan-filsafat-dalam-islam.html,
di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA.
[10]Milawati, http://wawasansejarah.com/pengaruh-filsafat-yunani-terhadap-pertumbuhan-filsafat-islam.html.
[11]Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, Cet II
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. xi.
[12]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia
(Jakarta: Hidakarya Agung, 1989), h. 323.
[13]Burhanuddin Salam, Filsafat Manusia:
Anthropologi Manusia, Cet. II (Jakarta: Bina Aksara, 1988), h. 5.
[14]Musa Asyarie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam
Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 2002), h. 1.
[15]Musa Asyarie, Filsafat Islam..., h. 1.
[16]Sidi Gazalba, Ilmu, Filsafat, dan Islam,
tentang Manusia dan Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 31.
[17]Herni Hanifah, “Filsafat Barat dan Filsafat
Islam”, dalam http:kesmasybk.blogspot.co.id/
2013/05/filsafat-barat-dan-filsafat-islam.html, di akses Sabtu, 19 November
2016, 08.00 WITA.
[18]Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya
bi Rosm Usmaniy (Madinah: Mujamma al-malik Fahd li Thibaat al-Mushaf
asy-Syarif, 1418 H), h. 654.
[19]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., h. 6-8.
[20]Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, h. 6.
[21]Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, h. 7.
[22]Musa Asyarie, Filsafat Islam..., h. 34.
[23]Musa Asyarie, Filsafat Islam..., h. 32-34.
[24]Riezky Maulana, “Hubungan Filsafat Islam dengan
Filsafat Yunani dan Ilmu-Ilmu Islam”, dalam http://azii3s-c0ol.blogspot.co.id/2009/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html, di akses Sabtu, 19
November 2016, 08.00 WITA.
[25]Herni Hanifah, http://kesmasybk.blogspot.co.id/2013/05/filsafat-barat-dan-filsafat-islam.html.
[26]Ichwan P. Syamsuddin, “Hubungan Filsafat Islam
dengan Filsafat Yunani”, dalam http://
ichwanparado.blogspot.co.id/2011/10/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html,
di akses Sabtu 19 November 2016, 08.00 WITA.
[27]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., h. 11.
[28]Zainul Am, “Konteks Hubungan Filsafat Barat dan
Filsafat Islam”, dalam http://mytirai.
blogspot.co.id/2014/11/konteks-hubungan-filsafat-barat-dan.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08.00 WITA.
[29]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam..., h. 12.
[30]Andre, “Perbedaan dan Persamaan antara Filsafat
Yunani dan Filsafat Islam”, dalam http://andresangpengusaha.blogspot.co.id/2010/06/perbedaan-dan-persamaan-filsafat.html, di akses Sabtu, 19 November 2016, 08 WITA.
1 komentar so far
https://wsdsite.wordpress.com/2017/11/19/lorenzo-tidak-jamin-bakal-jadi-juara-motogp-2018/
EmoticonEmoticon