Bab
I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Terjadinya proses sosialisasi gender
hingga melembaga di dalam masyarakat, telah melalui proses rentang waktu
perjalanan yang sangat panjang serta melewati berbagai macam faktor dan kondisi
alam di mana paham gender itu berkembang. Masyarakat perkotaan yang hidup
secara plural, berbaur dengan berbagai ragam ras, suku bahkan bahasa akan
melahirkan social system khusus. Pada masyarakat yang hidup di daerah
dengan masyarakat yang boleh dikatakan homogen dan tingkat populasi pertumbuhan
penduduk yang tidak dratis akan melahirkan tatanan sosial yang lain pula.
Penentuan peran gender dalam berbagai
sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjaun biologis atau jenis
kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi species antara
laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat
berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan
cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu
memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan
lebih obyektif. Fakta–fakta biologis yang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan
menimbulkan berbagai macam pengaruh baik secara psikologis maupun sosiologis
yang berimplikasi pada unequal gender bias (bias ketidakadilan
gender), terutama di bidang pendidikan sebagai faktor penentu dalam kerangka
berpikir masyarakat. [1]
Perbedaan gender tidaklah menjadi sebuah
masalah yang krusial seandainya perbedaan itu tidak menimbulkan ketidakadilan.
Namun, justru sebaliknya, melahirkan suatu struktur masyarakat yang merasa
dikorbankan akibat adanya perbedaan gender yang beraliansi pada konstruksi
sosial. Konstruksi sosial akibat minnunderstanding gender menyebabkan
masalah-masalah unequal dan unbalance opportunity terhadap
perempuan.
Dalam
proses pendidikan di Indonesia secara umum, masih terdapat bias atau
ketimpangan gender. Gender adalah sebuah konsep yang dijadikan parameter dalam
pengidentifikasian peran laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada pengaruh
sosial budaya masyarakat (social
contruction) dengan tidak melihat jenis biologis secara equality dan
menjadikannya sebagai alat pendiskriminasian salah satu pihak karena
pertimbangan yang sifatnya biologis.
Kaum
laki-laki lebih dominan dalam jurusan dan mempelajari kemampuan atau
keterampilan pada bidang kejuruan teknologi dan industri dan seolah-olah secara
khusus kaum laki-laki dipersiapkan untuk menjadi pemain utama dalam dunia
produksi. Sementara itu, perempuan lebih dipersiapkan untuk melaksanakan peran
pambantu, misalnya ketatausahaan dan teknologi kerumahtanggaan. Perbaikan dalam
sistem kurikulum yang menjamin terwujudnya content pendidikan yang
berperspektif gender, menghilangkan sekat-sekat bias gender dalam pendidikan
terutama dalam mengkombinasikan antara hak dan kewajiban laki-laki dan
perempuan.
B. Rumusan Masalah
Dari
latar belakang diatas maka pemakalah mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah
yang dimaksud dengan gender?
2. Bagaimanakah
pendidikan gender tersebut?
3. Bagaimana
Islam menyikapi adanya pendidikan gender tersebut?
Bab
II
Pembahasan
Pembahasan
PENDIDIKAN
GENDER DALAM SEJARAH
a.
Pengertian
Gender
Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. [2]
Kata gender jika ditinjau secara terminologis merupakan kata
serapan yang diambil dari bahasa Inggris. Kata gender ini jika dilihat
posisinya dari segi struktur bahasa (gramatikal)
adalah bentuk nomina (noun) yang menunjuk kepada arti
jenis kelamin, sex atau disebut dengan al-jins dalam bahasa Arab. Sehingga
jika seseorang menyebut atau bertanya tentang gender maka yang dimaksud adalah
jenis kelamin––dengan menggunakan pendekatan bahasa. Kata ini masih terbilang kosa
kata baru yang masuk ke dalam khazanah perbendaharaan kata bahasa Indonesia,
Istilah ini menjadi sangat lazim digunakan dalam beberapa dekade terakhir.
Pengertian gender secara terminologis cukup banyak dikemukakan
oleh para feminis dan pemerhati perempuan. Julia Cleves Musse dalam bukunya Half
the World, Half a Chance mendefinisikan gender sebagai sebuah peringkat
peran yang bisa diibaratkan dengan kostum dan topeng pada sebuah acara
pertunjukan agar orang lain bisa mengidentifikasi bahwa kita adalah feminim
atau maskulin. Suke Silverius memberi pengertian tentang gender sebagai pola
relasi hubungan antara laki-laki dan wanita yang dipakai untuk menunjukkan
perangkat sosial dalam rangka validitasi.
b.
Gender dalam pendidikan
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (iptek) begitu pesat. Namun sayangnya, perkembangan itu tidak
diimbangi dengan perkembangan di sektor kebudayaan masyarakat. Teknologi pun
yang semula diciptakan untuk melepaskan belenggu dalam manusia, tapi justru
malah menjadi belenggu. Manusia telah diperbudak oleh teknologi. Bagaimana tidak,
lihatlah betapa canggihnya teknologi mengalahkan dan menguasai manusia untuk
menuruti keinginannya. Ini menyebabkan manusia hanya menjadi seonggok barang,
karena harga kemanusiaaan mengalami pergeseran menuju titik terendah.[3]
Hal ini memunculkan pertanyaan dalam
diri kita masing-masing. Bagaimana seharusnya manusia menyikapi perkembangan
iptek? Bagaimana memposisikan peran manusia dalam proses perkembangan iptek
tersebut? Perkembangan memunculkan berbagai perubahan, ini merupakan tugas
manusia itu sendiri untuk memikirkan bagaimana supaya perubahan itu tidak
mereduksi keadilan dan kesetaraan serta menjamin kedamaian. Bukan lagi
perempuan atau laki-laki, tetapi manusia. Manusia itu sendiri yang harus
dimenangkan.
Semua itu hanya rangkaian pertanyaan
yang melahirkan pernyataan bahwa semua masalah dapat terselesaikan jika manusia
mampu menggunakan iptek sesuai dengan takaran yang sewajarnya. Namun, bukankah
iptek semata-mata hanya untuk meningkatkan kekuasaan manusia terhadap
lingkungan alamnya? Pada posisi ini seharusnya manusialah yang menguasai iptek.
Tetapi iptek, khususnya teknologi, mempunyai tuntutan-tuntutan tertentu yang
membuat manusia sulit untuk menguasai seluruhnya. Inti permasalahannya,
kenyataan yang menunjukan kemajuan teknologi tidak disertai dengan kebudayaan.
Sehingga yang terjadi makin banyaknya ketimpangan dalam masyarakat.
Salah satu ketimpangan itu terjadi
dalam dunia pendidikan yang memiliki hubungan erat dengan iptek. Laki–laki lah
yang mengurusi dunia publik, sedangkan perempuan hanya mengurusi persoalan
domestik. Mainstream yang muncul kemudian bahwa perempuan tidak harus
berpendidikan tinggi. “Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, jika pada akhirnya
hanya berkecimpung dalam urusan domestik (kasur, dapur, sumur),” itulah
ungkapan yang sering kita dengar, ketika seorang anak perempuan meminta kepada
orang tuanya untuk melanjutkan sekolah. Tak heran jika banyak anak perempuan
tidak melanjutkan sekolah karena harus menikah diusia muda.
Ketimpangan atau bias gender yang
sesungguhnya merugikan baik bagi perempuan maupun laki-laki. Membicarakan
gender bukan berarti hanya membicarkan perempuan saja. Bias gender ini tidak
hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui proses serta sistem pendidikan
normal, tetapi juga dalam lingkungan pendidikan informal. Dalam dunia
pendidikan, masih kental praktek pembedaan antara perempuan dan laki-laki.
Tingkat kualitas pendidikan juga menunjukan adanya ketimpangan perempuan dan
laki-laki. Kaum perempuan masih tertinggal dibanding laki-laki. Kondisi ini disebabkan
pandangan masyarakat yang mendahulukan dan mengutamakan laki-laki untuk
mendapatkan pendidikan daripada perempuan.[4]
Entah mengapa ketimpangan itu masih
terjadi sampai saat ini. Padahal jika melihat sejarah perjuangan kaum perempuan
untuk mencapai kesetetaraan dalam dunia pendidikan tidak bisa dianggap enteng.
Munculnya berbagai gerakan perempuan di era Kartini merupakan salah satu bentuk
konkrit perjuangan perempuan. Walaupun setelah itu lahir perempuan-perempuan
yang nasibnya lebih baik karena memiliki kedudukan dan nama dalam masyarakat
yang diperoleh melalui pendidikan yang mereka tempuh. Namun tetap saja keadaan
perempuan Indonesia tidak pernah mencapai posisi yang dianggap baik oleh
beberapa orang, baik laki-laki maupun kaumnya sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebab
bias gender dalam bidang kurangnya kontrol
kebijakan pendidikan adalah:[5]
a)
Faktor kesenjangan antar
gender dalam bidang pendidikan jauh lebih dominan laki-laki.Khususnya dalam
lembaga birokrasi di lingkungan pendidikan sebagai pemegang kekuasaan atau kebijaksanaan,
maupun dalam jabatan-jabatan akademis kependidikan sebagai pemegang kendali pemikiran
yang banyak mempengaruhi kebijakan pendidikan. Keadaan ini akan semakin bertambah
parah jika para pemikir atau pemegang kebijaksanaan pendidikan tersebut tidak memiliki
sensitivitas gender.
b)
Khusus pada kebijaksanaan
pendidikan, khususnya menyangkut sistem seleksi dalam pendidikan. Kontrol dalam
penerimaan karyawan terutama di sektor swasta sangat dirasakan bias gender. Kenyataan
menunjukkan bahwa jika suami istri berada dalam salah satu perusahaan, misalnya
Bank, baik milik pemerintah maupun swasta, maka salah satunya harus memilih
untuk keluar, dan biasanya perempuanlah yang memilih keluar dari pekerjaan. Ini
bagian dari faktor-faktor bias gender dalam bidang pendidikan.
c)
Faktor struktural, yakni
yang menyangkut nilai, sikap, pandangan, dan perilaku masyarakat yang secara
dominan mempengaruhi keputusan keluarga untuk memilih jurusan-jurusan yang
lebih dianggap cocok untuk perempuan, seperti pekerjaan perawat, kesehatan,
teknologi kerumahtanggaan, psikologi, guru sekolah dan sejenisnya. Hal ini
terjadi karena perempuan dianggap hanya memilih fungsi-fungsi produksi (reproductive
function). Laki-laki dianggap lebih berperan sebagai fungsi penopang
ekonomi keluarga (productive function) sehingga harus lebih banyak memilih
keahlian-keahlian ilmu teknologi dan industri.
d) Pendidikan Islam yang konstruktif merupakan salah satu pendekatan
pendidikan melalui pembelajaran induktif, yang berarti mengangkat nilai-nilai
faktual empirik. Pendidikan reseptif yang hanya memperkuat hapalan, apabila
hapalan itu hilang maka subyek didik tidak akan punya apa-apa lagi, maka
diperlukan pendidikan yang demokratis yaitu peserta didik diberikan kesempatan
untuk mengeluarkan pendapat, menyampaikan opini, dan mengeskpresikan kemampuan
nalar, maka akan melahirkan komunitas intelektual yang cendekiawan.
Faktor lain yang turut mempengaruhi bias
gender dalam pendidikan adalah muncul persaingan dengan teknologi, yang
menggantikan peranan pekerja perempuan dengan mesin. Dampaknya, lagi-lagi
perempuan menjadi korban teknologi khususnya perempuan yang memiliki tingkat
pendidikan rendah ditambah pula dengan kemampuan ekonomi yang masih lemah. Penyempurnaan
bahan-bahan pendidikan harus diusahakan dengan jalan menggunakan perspektif
keadilan dan kesetaraan gender. Dengan melakukan revisi terhadap buku-buku
pelajaran dan bahan materi lainnya yang isinya masih sangat bias nilai-nilai
patriaki dan sangat bias gender,
Di kalangan bawah (perempuan yang tidak bernasib baik),
perempuan barjuang di bidang ekonomi. Fakta sejarah menyatakan bahwa di sektor
produksi, pertanian, peternakan, dan pasar dikuasai oleh kaum perempuan. mereka
tidak mendapatkan pendidikan dari lingkungan sekolah formal, melainkan dari
lingkungan kesehariannya.
Sedangkan perempuan kelas atas,
mereka memiliki anggapan bahwa keterbelakangan perempuan disebabkan karena
tidak mempunyai kesempatan untuk memperoleh pendidikan formal. Oleh karena itu,
perempuan kalangan atas berjuang di bidang pendidikan.
Status kaum perempuan dalam
kehidupan sosial dalam banyak hal masih mengalami diskriminasi haruslah diakui.
Kondisi ini terkait erat dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional terutama
di pedesaan, dimana perempuan kurang memperoleh akses terhadap pekerjaan,
pendidikan, pengambilan keputusan dan aspek-aspek lainnya. Kondisi ini
menimbulkan permasalahan tersendiri dalam upaya pemberdayaan perempuan,
diharapkan perempuan memiliki peranan yang tidak lembek dalam proses
pembangunan. Karena, jika keikutsertaan perempuan dalam memberikan kontribusi
terhadap program pembangunan tidak maksimal maka akan menyebabkan kesenjangan
ini terus terjadi.[6]
Permasalahan ini tidak akan pernah
terselesaikan selama perempuan yang masih tertindas (tidak bernasib baik) dan
perempuan yang bernasib baik masih memiliki tingkat kesadaran yang rendah.
Apakah perempuan yang bernasib baik tersebut, peduli terhadap kaumnya sendiri
yang tidak senasib dengannya? Apakah mereka mau berjuang untuk mewujudkan
keadilan bagi kaumnya? Sebab bagaimanapun juga, perempuan yang bernasib baik
tersebut lebih memiliki peluang untuk melakukan sesuatu bagi kaumnya sendiri.
Melalui pendidikan yang membebaskan,
Paulo Freire mengatakan bahwa manusia dapat merasa sebagai pemimpin bagi
pikirannya sendiri. Ia akan mampu berdiskusi mengenai pikiran dan pandangannya
tentang hidup secara jelas dengan sesamanya. Ia mempunyai pendapat yang bebas
dan mampu memberi tanggapan secara kritis. Kesadaran potensial akan lebih
mendorong seseorang untuk bebas. Sebaliknya, tingkat kesadaran rendah membuat
lembeknya suatu perjuangan keadilan. Pembebasan manusia (human liberation)
merupakan jalan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga mampu
melakukan kewajiban kontrol sosial.[7]
Masyarakat Indonesia, sebenarnya
sudah sampai pada kesadaran nyata. Kesadaran ini hanya membutuhkan peneguhan.
Setiap manusia memililiki power to (merupakan kekuatan yang ada dalam
diri manusia), jika mereka bersatu maka akan melahirkan power with
(merupakan kekuaatan kolektif). Kemudian kekuatan itu akan mendorong lahirnya power
within, yaitu kekuatan batin, spirit yang akan membuat manusia bersemangat
untuk mencari kebebasan.
Kesadaran yang terbentuk sesuai
dengan konsep pendidikan yang membebaskan menurut Paulo Freire setidaknya mampu
membentuk pola pikir perempuan untuk bangkit. Tidak hanya meratapi kesusahan
yang menimpa, tetapi berusaha untuk bangkit dari kesusahan tersebut. Perlu
disadari, pendidikan merupakan pondasi untuk mencapai pembebasan.
Perempuan sebagai “empu” memiliki kewajiban untuk berbuat
sesuatu yang lebih demi kesejahteraan bangsa, terutama bagi perempuan yang
bernasib lebih baik, karena mereka lebih memiliki banyak kesempatan. Lebih dari
lainnya, karena ia akan manjadi inspirasi penting bagi tumbuhnya transformasi
sosial masyarakat secara labih berbudaya dan manusiawi. Apalagi untuk
permasalahan yang mandasar dan menyangkut kaum perempuan itu sendiri.
Adapun upaya untuk mengatasi gender dalam pendidikan Islam melalui
upaya sebagai
berikut :[8]
1.
Reinterpretasi ayat-ayat
al-Qur’an dan hadis yang bias gender, dilakukan secara kontinu agar ajaran
agama tidak dijadikan justifikasi sebagai kambing hitam untuk memenuhi
keinginan segelintir orang.
2.
Muatan kurikulum nasional
yang menghilangkan dikhotomis antara laki-laki dan perempuan, demikian pula
kurikulum lokal dengan berbasis kesetaraan, keadilan, dan keseimbangan. Kurikulum
disusun sesuai dengan kebutuhan dan tipologi daerah, yang di mulai dari tingkat
pendidikan taman kanak-kanak sampai ke tingkat perguruan tinggi.
3.
Pemberdayaan kaum perempuan
di sektor pendidikan informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di
tingkat kelurahan sampai kepada tingkat kabupaten/kota dan disesuaikan dengan kebutuhan
daerah.
4.
Pemberdayaan di sektor
ekonomi untuk meningkatkan pendapatan keluarga terutama dalam kegiatan industri
rumah tangga (home industri) dengan demikian perlahan-lahan akan menghilangkan
ketergantungan ekonomi kepada laki-laki. Karena salah satu terjadinya marginalisasi
pada perempuan adalah ketergantungan ekonomi keluarga kepada laki-laki.
5.
Pendidikan politik bagi
perempuan agar dilakukan secara intensif untuk menghilang melek politik bagi
kaum perempuan. Karena masih ada anggapan bahwa politik itu hanya milik
laki-laki, dan politik itu adalah kekerasan, padahal sebaliknya politik adala
seni untuk mencapai kekuasaan. Dengan demikian kuota 30% sesuai dengan amanah
Undang-Undang segara terpenuhi, mengingat pemilih terbanyak adalah perempuan.
6.
Pemberdayaan di sektor
ketrampilan (skill) baik ketrampilan untuk kebutuhan rumah tangga, maupun
yang memiliki nilai jual di tingkatkan terutama kaum perempuan di pedesaan agar
terjadi keseimbangan antara perempuan yang tinggal di perkotaan dengan pedesaan
sama-sama memiliki ketrampilan yang relatif bagus.
7.
Sosialisasi Undang-Undang
Anti Kekerasan dalam Rumah tangga lebih intens dilakukan agar kaum perempuan
mengetahui hak dan kewajiban yang harus dilakukan sesuai dengan amanah dari UU
KDRT.
c.
Sejarah Teori Gender
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas
milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 fperkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan
Belanda.[9]
Kata
feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier
pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini berpindah ke Amerika dan
berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, "Perempuan sebagai Subyek" ( The Subjection of Women) pada tahun (1869). Perjuangan mereka
menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama.
Pada
awalnya gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap
kebebasan perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan
oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam
bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya - terutama dalam
masyarakat yang bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang
berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar
rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami
perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi
Perancis di abad ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah
yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta
perempuan, dan beberapa jabatan "tua"
hanya dapat dijabat oleh pria.
Pergerakan
di Eropa untuk "menaikkan derajat kaum perempuan" disusul oleh
Amerika Serikat saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary
Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul "Mempertahankan
Hak-hak Wanita" (Vindication of
the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang
digunakan dikemudian hari.
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam
kerja dan gaji perempuan , diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak
pilih.
Menjelang
abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian dari
para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara penjajah Eropa
memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan (perempuan) universal (universal
sisterhood).
Pada
tahun 1960 munculnya negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Gelombang kedua ini
dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Aljazair yang
kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan
dengan kelahiran dekonstruksionis.[10]
Derrida, Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous
mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai
maskulin.Banyak feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua,
mengarahkan obyek penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti
Afrika, Asia dan Amerika Selatan.
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di
tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan
membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian
merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty
Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum
perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama
dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) dimana
kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa
sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat
budaya patrikal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis.[11]
Gerakan
perempuan atau feminisme berjalan terus, sekalipun sudah ada
perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan ini terlihat banyak
mengalami halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society
(SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di
Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan
membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan
"Women´s Lib".
Women´s
Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih
seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara
terbuka memprotes diadakannya "Miss
America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai
"pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan".
Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di
seluruh dunia..
Pada
1975, "Gender, development, dan
equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama
di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka
wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, arus
pengutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia.
Memasuki
era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah
satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran
perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik
patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum
feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan.
Kaum
feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar
ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains
modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi
terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah,
pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern
merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang
cenderung eksploitatif dan destruktif.[12]
Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller,
Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya
genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan
bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).
a)
Berbagai aliran-aliran feminisme
(Gender)
1.
Feminisme liberal
Apa
yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada
perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena
disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan
diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka "persaingan
bebas" dan punya kedudukan setara dengan lelaki.[13]
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat
didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya,
negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali
atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung
berada “didalam” negara hanya sebatas
warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada
ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara.
Dalam
perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki
pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan
untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”. Tokoh
aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "Feminisme
Kekuatan" yang merupakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan
dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut
persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak tanpa
tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.[14]
2.
Feminisme radikal
Trend
ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi "perjuangan separatisme perempuan". Pada sejarahnya, aliran
ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar
jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual
dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan
adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini
adalah sesuai namanya yang "radikal".
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang terlefleksikan
menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”,
tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh
kepentiangan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan
dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut.
Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam”
negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga
dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun
dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai
“kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan
“pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti
membuat kebijakan di sebuah negara”.
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. "The personal is political"
menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan sampai ranah
privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan.
Informasi atau pandangan buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
3.
Feminisme post modern
Ide
Posmo - menurut anggapan mereka - ialah ide yang anti absolut dan anti
otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena
sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan
sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur
sosial.
4.
Feminisme anarkis
Feminisme
Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan
masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki
adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
5.
Feminisme Marxis
Aliran
ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya
sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi.
Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini—status
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange).
Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan
terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme
tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap
perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
6.
Feminisme sosialis
Sebuah
faham yang berpendapat "Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak
Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme". Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide
Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme
sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan
bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah
jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. [15]
Kapitalisme
dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan
oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan
ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja
adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak
adalah peran feminin.
Agenda
perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem
patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat
problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
7.
Feminisme postkolonial
Dasar
pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama. [16]
Dimensi
kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya
menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang,
maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative
Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class
menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin,
dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan
pendidikan.”
8.
Feminisme Nordic
Kaum
Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan
Feminis Marxis maupun Radikal.Nordic yang lebih menganalisis Feminisme
bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini
menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan
atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh
kebijakan sosial negara.
b)
TOKOH DALAM FEMINISME (GENDER)
a. Foucault
Meskipun
ia adalah tokoh yang terkenal dalam feminism, namun Foucault tidak pernah
membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah
bahwa ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki
kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh
kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal
tersebut mendukung bagi perkembangan feminism.[17]
b. Naffine
(1997:69)
Kita
dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa atau power Kuasa bergerak
dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan oleh orang yang dipaksa
meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan melalui ditentukannya
pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa individu merupakan efek
dari kuasa.
c. Derrida
(Derridean)
Mempertajam
fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir
kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu
berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog
sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk
megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap
dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam
bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak
dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
Gender
Menurut Islam Dalam Perspektif Klasik dan Modern
Islam
adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas
kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai
Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan
Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai
khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan
memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan
peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang
konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah
yang sama dengan laki-laki.[18]
Berangkat
dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam
mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana yang
telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup di
zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya
dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada
diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek
kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan
tataran kehidupan mereka.
Kesadaran
para shahabiyat untuk berperan aktif dalam dinamika kehidupan masyarakat
terbangun dari pemahaman mereka tentang syumuliyyatul islam, sebagai buah dari
proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang mereka pahami dalam
dimensinya yang utuh sebagai way of life,
membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai
sokoguru perdaban dunia.
Dalam
perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak
pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait
masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan keabsahan
normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat ini secara
umum dari Al Qur’an dan Sunnah.
Disamping
itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan
berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya
secara teoritis maupun praktis – tanpa ummat ini memiliki kemampuan yang
memadai untuk mengantisipasi sehingga sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan
wanita yang berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung
diterima bulat-bulat olehkalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang
hakekat dan implikasinya.
Ø Paradigma
Islam dan Feminisme
Apakah
Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini
adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan
kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini –
dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para
muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam
koridor konsepsi Islam yang utuh.
- Metodologi
Feminisme (Gender)
Kelemahan
paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada
filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang
realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek,
dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas,
dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya
adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain).[19]
Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi
atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari
dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas
menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian
didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme.
Post–strukturalisme membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran
subyek tertentu. Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam
dikotomi yang demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan
kesejajaran kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri.
Kelemahan
lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan
imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama
subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam
keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan
materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini
pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau
menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan
empirisme.
- Metodologi
Islam
Jika
feminisme mendasarkan teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi
atas realitas seksual (patriarkal),
sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan sosialis atas
realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas realitas bukan
semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post– strukturalisme), sehingga
setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran sendiri. Di dalam Islam, nilai
kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme adalah nilai kebenaran relatif,
sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga andaipun ada dikotomi atas
subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta yang memiliki nilai
kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk seluruhnya yang hanya dapat
mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang dimiliki-Nya.[20]
Dengan
demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan
manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan
manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya
untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan
khalifatullah (khusus manusia QS 2:30).
Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual)
menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek
makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja
menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan
menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Realitas
kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh kelebihan satu obyek atas
obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau bangsa tertentu. Perubahan
kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi tertentu yang disebut dengan
taqwa (QS 49:13). Dengan demikian,
dikotomi subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme
modern, yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang
terikat pada subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi
batas jenis kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan
demikian kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam
tidak berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang
melibatkan dimensi lain yaitu wahyu.[21]
Secara
normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan
dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas
perempuan dieksplisitkan Al Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34).
Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam
kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap
ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami
lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun
nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut terformulasi dalam bahasa
hukum (syari’at).
Syari’at
adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh
kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif)
dengan masyarakat (konteks) selalu ada
hubungan dinamis sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak
mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap.
Dengan proses yang demikian idealitas Islam adalah idealitas yang realistis
bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.[22]
Dari
kedua metodologi diatas, jelas bagi kita bahwa feminisme dengan konsep
gendernya tidak ada dalam Islam. Namun kita dituntut untuk mampu menjelaskan
peran muslimah itu sendiri dengan paradigma Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
Bab
III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas maka pemakalah menarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Ø Kata Gender berasal dari bahasa Inggris berarti “jenis kelamin”. World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki
dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Di dalam Women’s
Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural
yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang
berkembang dalam masyarakat.
Ø Kesadaran yang terbentuk sesuai
dengan konsep pendidikan yang membebaskan menurut Paulo Freire setidaknya mampu
membentuk pola pikir perempuan untuk bangkit. Tidak hanya meratapi kesusahan
yang menimpa, tetapi berusaha untuk bangkit dari kesusahan tersebut. Perlu
disadari, pendidikan merupakan pondasi untuk mencapai pembebasan. Perempuan
sebagai “empu” memiliki kewajiban untuk berbuat sesuatu yang lebih demi
kesejahteraan bangsa, terutama bagi perempuan yang bernasib lebih baik, karena
mereka lebih memiliki banyak kesempatan. Lebih dari lainnya, karena ia akan
manjadi inspirasi penting bagi tumbuhnya transformasi sosial masyarakat secara
labih berbudaya dan manusiawi.
Ø Dengan
demikian dalam Islam, hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan
manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan
manusia dari makhluk lainnya maka ini adalah kelebihan yang potensial saja
sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan
khalifatullah (khusus manusia QS 2:30).
Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual)
menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek
makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja
menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan
menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).
Daftar
Pustaka
Lindsey, L., Gender Roles a Sociological Perspective. New Jersey: Prentice Hall, 1990.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan., “Pengantar Teknik Analisa Jender”. Buku III. 1992.
Mosse, Cleves. 1996. Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul “Gender dan Pembangunan”. Cet. I Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Mulia, Siti Musda., Muslimah
Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan. Cet. I. Bandung: Mizan, 2004.
Murata, Sachiko. The Tao of Islam: Kitab Rujukan tentang Relasi
Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam. Cet. VI. Diterjemahkah oleh
Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah. Bandung: Mizan., 1998.
Neufeldt, Victoria (ed). , Webster’s New World Dictionary. New York: Webster’s New World Clevenlan,
1984.
Subhan, Zaitunah. Gender
dalam Perspektif Islam, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2,
Maret, 2003
Suryadi, Ace & Ecep Idris., Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan.,
Cet. I. Bandung: Genesindo., 2004.
Tholkhah, Imam dkk., Membuka Jendela Pendidikan.
Jakarta: Raja Grafindo
Persada., 2004.
http://.www.gender.or.id.
http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=179, diakses 8 mei 2012.
http://www.cbe.or.id/comments.php?id=70_0_1_0_C
diakses 8 mei 2012.
http://www.duniaesai.com/gender/gender9.htm
diakses 29 mei 2012.
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=kesetaraan&dat=7,
diakses 9 juni 2012.
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=menegpp&dat=92,
diakses 9 juni
2012
[1]
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan., “Pengantar Teknik Analisa Jender”. Buku III. 1992
[3]
Suryadi, Ace & Ecep Idris., “Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan”.
(Cet. I. Bandung: Genesindo.
Desember 2004), H. 89.
[4]
Suryadi, Ace & Ecep Idris., “Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan”.
(Cet. I. Bandung: Genesindo.
Desember
2004), H. 99.
[5]
http://www.menegpp.go.id/menegpp.php?cat=detail&id=kesetaraan&dat=7,
diakses 9 juni
2012.
[6]
Mosse, Cleves., “Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul “Gender dan Pembangunan”. (
Cet. I Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). H.79
[8]
Mosse, Cleves., “Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul “Gender dan Pembangunan”. (
Cet. I Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). H.59
[9]
Mosse, Cleves., “Half the World, Half a Chance: an
Introduction to Gender and Development, terjemahan Hartian Silawati dengan
judul “Gender dan Pembangunan”. (
Cet. I Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996). H.109
[10]
http://.www.gender.or.id.
[11]
Neufeldt, Victoria (ed). , “Webster’s New World Dictionary”. ( New York: Webster’s New
World Clevenlan, 1984) H.69
[12]
Neufeldt, Victoria (ed). , “Webster’s New World Dictionary”. ( New York: Webster’s New
World Clevenlan, 1984) H.63
[13]
Neufeldt, Victoria (ed). , “Webster’s New World Dictionary”. ( New York: Webster’s New
World Clevenlan, 1984) H.89
[14]
Hartian Silawati dengan judul “Gender dan Pembangunan”. ( Cet. I Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996). H.70
[15] http://www.icrp-online.org/wmview.php?ArtID=179, diakses 8 mei
2012
[16]
Hartian Silawati dengan judul “Gender dan Pembangunan”. ( Cet. I Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996). H.88
[17]
Hartian Silawati dengan judul “Gender dan Pembangunan”. ( Cet. I Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996). H.109
[18]
Subhan, Zaitunah. “Gender
dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2,
Maret, h. 128.
[19]
Subhan, Zaitunah. “Gender
dalam Perspektif Islam”, dalam jurnal Akademika, vol. 06, No. 2,
Maret, h. 118.
[20]
Suryadi, Ace & Ecep Idris., “Kesetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan”.
(Cet. I. Bandung: Genesindo.
Desember 2004), H. 99.
[21]
http://www.cbe.or.id/comments.php?id=70_0_1_0_C
diakses 8 mei 2012.
EmoticonEmoticon