Senin, 06 Oktober 2014

Aliran Murji'ah

Bab I
Pendahuluan
a. Latar Belakang

Persoalan teologi dimulai pada masa pemerintahan Usman dan Ali, yaitu disaat terjadinya pergolakan-pergolakan politik dikalangan umat Islam. Perjuangan politik untuk merebut kekuasaan selalu dibingkai dengan ajaran agama, sebagai payung pelindung. Baik bagi kelompok yang menang demi untuk mempertahankan kekuasaannya, maupun kelompok yang kalah untuk menyerang lawan-lawan politiknya. Dari sini dapat dikatakan mazhab-mazhab fikih dan aliran-lairan teologi dalam Islam lahir dari konflik politik yang terjadi di kalangan umat Islam sendiri, untuk kepentingan dan mendukung politik masing- masing kelompok, ulama dari kedua kelompokpun memproduksi hadits-hadits palsu dan menyampaikan fatwa-fatwa keberpihakan.
Adanya keterpihakan kelompok pada pertentangan tentang Ali bin Abi Thalib, memunculkan kelompok lainnya yang menentang dan beroposisi terhadapnya. Begitu pula terdapat orang-orang yang netral, baik karena mereka mengganggap perang saudara ini sebagai seuatu fitnah (bencana) lalu mereka berdiam diri, atau mereka bimbang untuk menetapkan hak dan kebenaran pada kelompok yang ini atau itu. Salah satu dari beberapa kelompok itu adalah kalompok Murji’ah

b. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan Aliran Murji’ah?
2. Apa yang melatarbelakangi sehingga munculnya golongan murji’ah?
3. Apa sajakah yang menjadi ciri-ciri paham murji’ah?                               







Bab II
Pembahasan
ALIRAN MURJI'AH

A. Pengertian Aliran Murji’ah
Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.
Aliran ini disebut Murji’ah karena dalam prinsipnya mereka menunda penyelesaian persoalan konflik politik antara Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Khawarij ke hari perhitungan di akhirat nanti. Karena itu mereka tidak ingin mengeluarkan pendapat tentang siapa yang benar dan siapa yang dianggap kafir diantara ketiga golongan yang tengah bertikai tersebut. Menurut pendapat lain, mereka disebut Murji’ah karena mereka menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan rasul-Nya. Adapun dosa besar orang tersebut ditunda penyelesaiannya di akhirat. Maksudnya, kelak di akhirat baru ditentukan hukuman baginya.[1]
Persoalan yang memicu Murji’ah untuk menjadi golongan teologi tersendiri berkaitan dengan penilaian mereka terhadap pelaku dosa besar. Menurut penganut paham Murji’ah, manusia tidak berhak dan tidak berwenang untuk menghakimi seorang mukmin yang melakukan dosa besar, apakah mereka akan masuk neraka atau masuk surga. Masalah ini mereka serahkan kepada keadilan Tuhan kelak. Dengan kata lain mereka menunda penilaian itu sampai hari pembalasan tiba.


Paham kaum Murji’ah mengenai dosa besar berimplikasi pada masalah keimanan seseorang. Bagi kalangan Murji’ah, orang beriman yang melakukan dosa besar tetap dapat disebut orang mukmin, dan perbuatan dosa besar tidak mempengaruhi kadar keimanan. Alasannya, keimanan merupakan keyakinan hati seseorang dan tidak berkaitan dengan perkataan ataupun perbuatan.
Selama seseorang masih memiliki keimanan didalam hatinya, apapun perbuatan atau perkataannya, maka ia tetap dapat disebut seorang mukmin, bukan kafir. Murji’ah mengacu kepada segolongan sahabat Nabi SAW, antara lain Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqas, dan Imran bin Husin yang tidak mau melibatkan diri dalam pertentangan politik antara Usman bin Affan (khalifah ke-3; w. 656) dan Ali bin Abi Thalib (khalifah ke-4; w. 661).
                   B.Awal Munculnya Golongan Murji'ah
Golongan Murji’ah pertama kali muncul di Damaskus pada penghujung abad pertama hijriyah. Murji’ah pernah mengalami kejayaan yang cukup signifikan pada masa Daulah Ummayah, namun setelah runtuhnya Daulah Ummayah tersebut, golongan Murji’ah ikut redup dan barangsur – angsur hilang ditelan zaman, hingga kini aliran tersebut sudah tidak terdengar lagi, namun sebagian fahamnya masih ada yang di ikuti oleh sebagian orang, sekalipun bertentangan dengan Al-qur’an dan Sunnah.[2]
Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij).
Ketika berhasil mengungguli dua kelompok lainnya, yaitu Syiah dan Khawarij, dalam merebut kekuasaan, kelompok Mu’awiyah lalu membentuk Dinasti Umayyah. Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.
Dalam perkembanganya, golongan ini ternyata tidak dapat melepaskan diri dari persoalan teologis yang muncul di zamannya. Waktu itu terjadi perdebatan mengenai hukum orang yang berdosa besar. Kaum Murji’ah menyatakan bahwa orang yang berdosa besar tidak dapat dikatakan sebagai kafir selama ia tetap mengakui Allah SWT sebagai Tuhannya dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya. Pendapat ini merupakan lawan dari pendapat kaum Khawarij yang mengatakan bahwa orang Islam yang berdosa besar hukumnya adalah kafir.
Golongan Murji’ah berpendapat bahwa yang terpenting dalam kehidupan beragama adalah aspek iman dan kemudian amal. Jika seseorang masih beriman berarti dia tetap mukmin, bukan kafir, kendatipun ia melakukan dosa besar. Adapun hukuman bagi dosa besar itu terserah kepada Tuhan, akan ia ampuni atau tidak. Pendapat ini menjadi doktrin ajaran Murji’ah.[3]
C. Ciri-ciri faham Murji'ah
Ciri-ciri paham Murji’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
  1. Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
  2. Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
  3. Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman. Dalam artian bahwa dosa sebesar apapun tidak dapat mempengaruhi keimanan seseorang dan keimanan tidak dapat pula mempengaruhi dosa. Dosa ya dosa, iman ya iman.
  4. Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir. Artinya perbuatan tersebut tidak dapat menghapuskan kekafirannya dan bila telah muslim tidak juga bermanfaat, karena melakukannya sebelum masuk Islam.
Golongan murji’ah tidak mau mengkafirkan orang yang telah masuk Islam, sekalipun orang tersebut dzalim, berbuat maksiat dll, sebab mereka mempunyai keyakinan bahwa perbuatan dosa sebesar apapun tidak mempengaruhi keimanan seseorang selama orang tersebut masih muslim, kecuali bila orang tesebut telah keluar dari Islam (Murtad) maka telah berhukum kafir.
 Aliran Murji’ah juga menganggap bahwa orang yang lahirnya terlihat atau menampakkan kekufuran, namun bila batinnya tidak, maka orang tersebut tidak dapat dihukum kafir, sebab penilaian kafir atau tidaknya seseorang itu tidak dilihat dari segi lahirnya, namun bergantung pada batinnya. Sebab ketentuan ada pada I’tiqad seseorang dan bukan segi lahiriyahnya.

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran khawarij . Kaum Murji’ah muncul adanya pertentangan politik dalam Islam. Dalam suasana demikian, kaum Murji’ah muncul dengan gaya dan corak tersendiri. Mereka bersikap netral, tidak berkomentar dalam praktek kafir atau tidak bagi golongan yang bertentangan. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang–orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu dihadapan Tuhan, karena halnya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. [4]

Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap mukmin dihadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kali masyahadat yang menjadi dasar utama dari iman.

 Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Alasan Murji’ah menganggapnya tetap mukmin, sebab orang Islam yang berbuat dosa besar tetap mengakui bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulnya.

Dalam bidang aliran teologi mengenai dosa besar, kaum Murji’ah ini mempunyai pendapat tentang aqidah yang semacam umum dapat digolongkan kedalam pendapat yang moderat dan ektrim.

1. Golongan yang Ekstrim
Golongan ini dipimpin Al-Jahamiyah (pengikut paham ibn Safwan) pahamnya berpendapat, bahwa orang Islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah kafir. Dengan alasan, iman dan kafir bertempat dihati lebih lanjut umpamanya ia menyembah salib, percaya pada trinitas dan kemudian meninggal, orang ini tetap mukmin, tidak menjadi kafir. Dan orang tersebut tetap memiliki iman yang sempurna.

Pengikut Abu Al-Hasan Al-Salihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan dan kafir adalah tidak tahu pada Tuhan. Masalah sembahyang tidak merupakan ibadah kepada Allah. Ibadah adalah iman kepadanya, artinya mengetahui Tuhan.

Al-Baghdadi menerangkan pendapat Al-Salihiyah bahwa sembahyang , zakat, puasa, dan haji hanya menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah. Kesimpulanya ibadah hanyalah iman.

Al-Yunusiyah berkesimpulan atas pendapat kaum Murji’ah yang disebut iman adalah mengetahui Tuhan, bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.Atas pandangan diatas .Al-Ubaidiyah berpendapat bahwa jika seseorang mati dalam iman , dosa dan perbuatan jahat yang dikerjakannya tidak akan merugikan yang bersangkutan.
Adapun Muqatil ibn Sulaiman mengatakan, perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman seseorang, dan sebaliknya perbuatan baik tidak akan mengubah kedudukan orang musyrik.[5]

           2. Golongan Murji'ah Moderat
Golongan ini berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Ia mendapat hukuman dalam neraka sesuai dengan besarnya dosa yang dilakukannya. Kemungkinana Tuhan akan memberikan ampunan terhadap dosanya. Oleh sebab itu, golongan ini meyakini bahwa orang tersebut tidak akan masuk neraka selamanya.

Berbeda dengan golongan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar kekal dineraka memberi nama Murji’ah kepada semua orang yang tidak berpendapat seperti itu,yaitu selama mereka berpendapat bahwa pendosa tadi tidak kekal dineraka, walaupun mereka mengatakan bahwa pendosa itu akan disiksa dengan ukuran tertentu dan mungkin kemudian Allah memaafkannya dan menaunginya dengan rahmat-Nya. Itulah sebabnya golongan Mu’tazilah menerapkan sifat Murji’ah kepada beberapa imam mazhab dalam bidang fiqh damn hadist.

Tokoh dari golongan ini antara lain : Al-Hasan ibn Muhammad ibn Ali ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadis. Kemudian Abu Hanifah mendefinisikan iman adalah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, Tentang rasul – rasulnya. Dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan
Ada gambaran definisi iman menurut Abu Hanifah, yaitu iman bagi semua orang Islam adalah sama. Tidak ada perbedaan antara iman orang Islam yang berdosa besar dan orang Islam yang patuh menjalan kan perintah – perintah Allah. Dengan demikian, Abu Hanifah berpendapat bahwa perbuatan tidak penting, tidak dapat diterima.

Ajaran kaum Murji’ah moderat diatas dapat diterima oleh golongan Ahli sunah wal jamaah dalam Islam. Asy’ari berpendapat, iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke Esaan Tuhan dan tentang kebenaran Rasul – rasulnya serta apa yang mereka bawa. Sebagai cabang dari iman adalah mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun – rukun Islam. Bagi orang yang melakukan dosa besar, apabila meninggal tanpa obat, nasibnya terletak ditangan Tuhan.
Kemungkinan Tuhan tidak membari ampun atas dosa – dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa – dosa yang dibuatnya. Kemudian dia dimasukkan kedalam surga, karena ia tidak akan mungkin kekal tinggal dalam neraka.

Keidentikan pendapat yang berasal dari kaum Murji’ah antara lain :
Ø  Pendapat Al-Baghdadi[6]
Beliau berpendapat bahwa iman ada dua macam yaitu :
  1. Iman yang membuat orang keluar dari golongan kafir dan tidak kekal dalam neraka, yaitu mengakui Tuhan, kitab, rasul, qadar, sifat Tuhan, dan segala keyakinan lain yang diakui dalam syari’at.
  2. Iman yang mewajibkan adanya keadilan dan melenyapkan nama fasik dari seorang serta melepaskanya dari neraka, yaitu mengerjakan segala yang wajib dan menjauhi segala dosa besar.
Secara garis besar, ajaran-ajaran pokok Murji'ah adalah:
  1. Pengakuan iman cukup hanya dalam hati. Jadi pengikut golongan ini tak dituntut membuktikan keimanan dalam perbuatan sehari-hari. Ini merupakan sesuatu yang janggal dan sulit diterima kalangan Murjites sendiri, karena iman dan amal perbuatan dalam Islam merupakan satu kesatuan.
  2. Selama meyakini 2 kalimah syahadat, seorang Muslim yang berdosa besar tak dihukum kafir. Hukuman terhadap perbuatan manusia ditangguhkan, artinya hanya Allah yang berhak menjatuhkannya di akhirat.
Tokoh utama aliran ini ialah Hasan bin Bilal Muzni, Abu Sallat Samman, dan Diror bin 'Umar. Dalam perkembangan selanjutnya, aliran ini terbagi menjadi kelompok moderat (dipelopori Hasan bin Muhammad bin 'Ali bin Abi Tholib) dan kelompok ekstrem (dipelopori Jaham bin Shofwan).
Bab III
Penutup
A. Kesimpulan
             Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a, yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Salah satu aliran teologi Islam yang muncul pada abad pertama Hijriyah. Pendirinya tidak diketahui dengan pasti, tetapi Syahristani menyebutkan dalam bukunya Al-Milal wa an-Nihal (buku tentang perbandingan agama serta sekte-sekte keagamaan dan filsafat) bahwa orang pertama yang membawa paham Murji’ah adalah Gailan ad-Dimasyqi.

             Munculnya aliran ini di latar belakangi oleh persoalan politik, yaitu persoalan khilafah (kekhalifahan). Setelah terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan, umat Islam terpecah kedalam dua kelompok besar, yaitu kelompok Ali dan Mu’awiyah. Kelompok Ali lalu terpecah pula kedalam dua golongan, yaitu golongan yang setia membela Ali (disebut Syiah) dan golongan yang keluar dari barisan Ali (disebut Khawarij).

              Syi’ah dan Khawarij bersama-sama menentang kekuasaannya. Syi’ah menentang Mu’awiyah karena menuduh Mu’awiyah merebut kekuasaan yang seharusnya milik Ali dan keturunannya. Sementara itu Khawarij tidak mendukung Mu’awiyah karena ia dinilai menyimpang dari ajaran Islam. Dalam pertikaian antara ketiga golongan tersebut terjadi saling mengafirkan. Di tengah-tengah suasana pertikaian ini muncul sekelompok orang yang menyatakan diri tidak ingin terlibat dalam pertentangan politik yang terjadi. Kelompok inilah yang kemudian berkembang menjadi golongan Murji’ah.

Ciri-ciri paham Murji’ah diantaranya adalah sebagai berikut:
a)      Rukun iman ada dua yaitu : iman kepada Allah dan Iman kepada utusan Allah.
b)      Orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan berdosa tersebut ketentuan tergantung Allah di akhirat kelak.
c)       Perbuatan kemaksiatan tidak berdampak apapun terhadap seseorang bila telah beriman.
d)     Perbuatan kebajikan tidak berarti apapun bila dilakukan disaat kafir.
Daftar Pustaka

Muhammad Abdullah Sufyan Raji, Mengenal Aliran Islam, Jakarta: Pustaka al-Riyadi, 2003.
Muhammad Amad, Tauhid Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 1998.    
Abu Muhammad Zahra Imam, Aliran Politik dan Akidah, Jakarta Selatan: Logos, 1996     
Abudin Nata, Ilmu Kalam, Filsafat Tasawuf, Jakarta Utara: Raja Wali Pers, 1993
Al-Maududi Abu A’la, Khilafah dan Kerajaan, Bandung: Penerbit Kharisma, 2007.
Harun Nasution  Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-Press, 1986 .




[1] Abul A’la Al-Maududi,  Khilafah dan Kerajaan, (Bandung: Penerbit Kharisma,  2007)  H.  253

[2] Sufyan Raji Abdullah Muhammad, mengenal aliran Islam,  (Jakarta: Pustaka al-Riyadl,  2003) hal. 78
[3] Harun Nasution  Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986) H.22

[4] Ahmad Muhammad, Tauhid Ilmu Kalam. (Bandung: Pustaka Setia, 1998) hal. 127
       [5] Zahra Imam Muhammad Abu, Aliran Politik dan Akidah . (Jakarta Selatan: Logos, 1996) hal 98.
                                           
                    [6] Nata Abudin, Ilmu Kalam, Filsafat, Tasawuf, (Jakarta Utara: Raja wali pers, 1993) hal. 145
                                                  


EmoticonEmoticon