BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan sudah sejak jaman dahulu kala menjadi salah satu bentuk usaha
manusia dalam rangka mempertahankan keberlangsungan eksistensi kehidupan maupun
budaya manusia itu sendiri. Dengan kata lain, pendidikan merupakan salah satu
strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan keberlangsungan
eksistensinya. Dari waktu ke waktu maupun dari tempat ke tempat yang lain, atau
dari teori ke teori yang lain, mengandung banyak gagasan, visi dan ideologi.
Pendidikan muncul dalam berbagai bentuk dan paham. Pendidikan banyak
dipahami sebagai sebagai wahana untuk menyalurkan ilmu pengetahuan, alat
pembentukan watak, alat pelatihan keterampilan, alat mengasah otak, serta media
untuk meningkatkan keterampilan kerja. Sementara bagi paham lain, pendidikan
lebih diyakini sebagai suatu media atau wahana untuk menanamkan nilai-nilai
moral dan ajaran keagamaan, alat pembentukan kesadaran bangsa, alat
meningkatkan taraf ekonomi, alat mengurangi kemiskinan, alat mengangkat status
sosial, alat menguasai teknologi, serta media untuk menguak alam raya.Tidak
sedikit pula, praktisi mapun pemikir pendidikan justru sebagai wahana untuk
memanusiakan manusia, serta wahana untuk pembebasan manusia.
Berbagai kebudayaaan dan keyakinan umat manusia, sesungguhnya terus menerus
berusaha untuk menjaga dan mempertahankan penyelenggaraan pendidikan secara
turun temurun. Penyelenggaraan pendidikan selanjutnya menjadi kewajiban
kemanusiaan maupun sebagai strategi budaya dalam rangka mempertahankan
kehidupannya. Melihat begitu pentingnya pendidikan bagi umat manusia, banyak
peradaban manusia yang “mewajibkan” masyarakatnya untuk tetap menjaga
keberlangsungan pendidikan. Misalnya saja, bagi kalangan muslim ada tradisi
keyakinan beragama yang berbunyi “ menuntut ilmu itu merupakan kewajiban
bagi kaum muslim lelaki maupun perempuan”, “ tuntutlah ilmu sampai ke
negeri China”, serta banyak anjuran lainnya tentang pentingnya pendidikan,
baik yang bersumber dari Al-Qur’an maupun Al-Hadist.
Banyak tradisi dan keyakinan manusia menekankan akan pentingnya pendidikan
dan mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Semua anjuran tersebut semata
didasarkan karena keyakinan umat manusia akan terancam jika pendidikan
diabaikan.
Dalam perjalanan peradaban manusia selanjutnya, mereka senantiasa manjaga
dan melanjutkan tradisi pendidikan melalui berbagai bentuk dan institusi
pendidikan. Masing-masing model dan bentuk pendidikan saling berlomba untuk
mendidik manusia. Berbagai usaha yang dilakukan manusia untuk melakukan
pendidikan tersebut lambat laun memunculkan berbagai model dan institusi
pendidikan yang tercatat dalam sejarah pendidikan, sebagian besar bentuk dan
institusi tersebut telah punah, namun beberapa masih tetap bertahan. Institusi
pendidikan itu misalnya saja Academia di Yunani, Padepokan dan
Pesantren di Jawa, Monastery di kalangan gereja, Madrasah di
kangan masyarakat Muslim atau pun Santiniketan di India, dan masih
banyak lagi. Salah satu institusi pendidikan yang sekarang menjadi model yang
dominan adalah dikenal dengan isitilah “Sekolah” atau pun “Universitas”.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan pendidikan karakter?
2.
Bagaiamana
Penerapan Pendidikan Karakter?
3.
Apa
urgensi dari Pendidikan karakter?
.BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan Karakter
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan
berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.[1]
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Terlepas dari berbagai kekurangan dalam praktik pendidikan di Indonesia,
apabila dilihat dari standar nasional pendidikan yang menjadi acuan
pengembangan kurikulum (KTSP), dan implementasi pembelajaran dan penilaian di
sekolah, tujuan pendidikan di SMP sebenarnya dapat dicapai dengan baik.
Pembinaan karakter juga termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai
serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan
internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand
design menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan,
pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan.
Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan
sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and
emotional development), Olah Pikir (intellectual development), Olah
Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan
dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand
design tersebut.
Menurut UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal
13 Ayat 1 menyebutkan bahwa Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal,
nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Pendidikan
informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal
sesungguhnya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam keberhasilan
pendidikan. Peserta didik mengikuti pendidikan di sekolah hanya sekitar 7 jam
per hari, atau kurang dari 30%. Selebihnya (70%), peserta didik berada dalam
keluarga dan lingkungan sekitarnya. Jika dilihat dari aspek kuantitas waktu,
pendidikan di sekolah berkontribusi hanya sebesar 30% terhadap hasil pendidikan
peserta didik.[2]
Selama ini, pendidikan informal terutama dalam lingkungan keluarga belum
memberikan kontribusi berarti dalam mendukung pencapaian kompetensi dan
pembentukan karakter peserta didik. Kesibukan dan aktivitas kerja orang tua
yang relatif tinggi, kurangnya pemahaman orang tua dalam mendidik anak di
lingkungan keluarga, pengaruh pergaulan di lingkungan sekitar, dan pengaruh
media elektronik ditengarai bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan dan
pencapaian hasil belajar peserta didik. Salah satu alternatif untuk mengatasi
permasalahan tersebut adalah melalui pendidikan karakter terpadu, yaitu
memadukan dan mengoptimalkan kegiatan pendidikan informal lingkungan keluarga dengan
pendidikan formal di sekolah. Dalam hal ini, waktu belajar peserta didik di
sekolah perlu dioptimalkan agar peningkatan mutu hasil belajar dapat dicapai,
terutama dalam pembentukan karakter peserta didik .
Pendidikan karakter dapat diintegrasikan
dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang
berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran
kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan
salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu
akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan
di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan
kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus
diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan
dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan
prestasi peserta didik.
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau
pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan
karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan
pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain
meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran,
penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya.
Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif
dalam pendidikan karakter di sekolah.
Menurut Mochtar Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara
afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan
karakter yang selama ini ada di SMP perlu segera dikaji, dan dicari
altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkannya secara lebih
operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter
dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan.[3] Melalui
pendidikan karakter diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri
meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi
serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud
dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada
pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi,
kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga
sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas,
karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
B. Sasaran Pendidikan
Karakter
Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Sekolah Menengah Pertama (SMP)
di Indonesia negeri maupun swasta. Semua warga sekolah, meliputi para
peserta didik, guru, karyawan administrasi, dan pimpinan sekolah menjadi
sasaran program ini. Sekolah-sekolah yang selama ini telah berhasil
melaksanakan pendidikan karakter dengan baik dijadikan sebagai best
practices, yang menjadi contoh untuk disebarluaskan ke sekolah-sekolah
lainnya.
Melalui program ini diharapkan lulusan SMP memiliki keimanan dan ketaqwaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi
akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai
norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan
karakter nantinya diharapkan menjadi budaya sekolah.[4]
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian
indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi
Lulusan SMP, yang antara lain meliputi sebagai berikut:
- Mengamalkan ajaran
agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan remaja;
- Memahami
kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
- Menunjukkan sikap
percaya diri;
- Mematuhi
aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
- Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
- Mencari dan
menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
- Menunjukkan
kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
- Menunjukkan
kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya;
- Menunjukkan
kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
- Mendeskripsikan
gejala alam dan sosial;
- Memanfaatkan
lingkungan secara bertanggung jawab;
- Menerapkan
nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan Republik
Indonesia;
- Menghargai karya
seni dan budaya nasional;
- Menghargai tugas
pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
- Menerapkan hidup
bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
- Berkomunikasi dan berinteraksi
secara efektif dan santun;
- Memahami hak dan
kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai
adanya perbedaan pendapat;
- Menunjukkan
kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana;
- Menunjukkan
keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris sederhana;
- Menguasai
pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah;
- Memiliki jiwa
kewirausahaan.
Pada tataran sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah
terbentuknya budaya sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat
sekitar sekolah harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.
C. Urgensi Pendidikan
Karakter
Dengan pendidikan
karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan
menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam
mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah
dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan
untuk berhasil secara akademis.
Terdapat
sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu:
pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab;
ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima,
dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya
diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan
rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Dasar
pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang
biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia
ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang
dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya
terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari
dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter
anak.[5]
Namun bagi
sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di
atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada
rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu
diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play
group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa
disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di
kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Dampak
Pendidikan Karakter, Apa dampak pendidikan karakter terhadap keberhasilan
akademik? Beberapa penelitian bermunculan untuk menjawab pertanyaan ini.
Ringkasan dari beberapa penemuan penting mengenai hal ini diterbitkan oleh
sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education
Partnership.
Dalam buletin
tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of
Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih
prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter.
Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter
menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik.
Sebuah buku
yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001)
mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan
emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet
faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko
yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada
karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul,
kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.
Hal itu
sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di
masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20
persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah
dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak
dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat
sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia
dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari
masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran,
narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Beberapa
negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di
antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di
negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang
tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.
Seiring
sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat
tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa
yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan karakter adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri,
sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter
dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai
standar kompetensi lulusan.
Dengan
pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal
penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan
lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk
tantangan untuk berhasil secara akademis.
B. Saran
Tidak dapat dipungkiri manusia merupakan
makhluk Allah SWT. Yang tiadak luput dari kesalahan dan khilaf. Maka besar kemungkinan dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam segi
penulisan kata ataupun kurangnya referensi
yang dimiliki oleh penulis. Maka dari itu saran ataupun kritik sangatlah
diperlukan untuk dapat membangaun kreatifitas dalam penulisan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, S. Hamid, Pendekatan Multikultural untuk Penyempurnaan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)
Joni, T. Raka, Pembelajaran Terpadu. (Jakarta: Dirjen Dikti Bagian Proyek PPGSD, 1996)
Mulyana, Kurikulum Berbasis Kompetensi. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003)
Trianto, Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik, (Jakarta, Prestasi Pustaka Publisher,2009)
EmoticonEmoticon