Senin, 06 Oktober 2014

Ilmu Al-Jarh Wa At-Ta’dil

Bab I
Pendahuluan
a. Latar belakang
Tidak semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi sahabat sampai dengan generasi mukhrajul hadis tidak bisa kita jumpai secara fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlikannlah informasi dari berbagai kitab yang di tulis oleh ulama ahli kritik para periwayat hadis.
Kritikan para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk dijadikan pertimbangan dalam hubungannya denagn dapat atau tidak diterimanya riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnnya disini pemakalah akan membahas “Ilmu Jarh Wa Ta’dil.”

b. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil?
b. Apakah kegunaan dari Ilmu Jarh wa At Ta’dil?
c. Apa yang melatarbelakangi  muncul ilmu Jarh wa At Ta’dil?




Bab II
Pembahasan
A.  Pengertian Al-Jarh Wat-Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
·         Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke‘adalahannya, dan merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya hingga kemudian ditolak.
·         At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.
·         Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
·         Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
·         At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke‘adalahannya, dan diterima beritanya.[1]
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka. [Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta'dil 3/1
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
  • Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
“(Dan) itu seburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).
  • Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah satunya berdasarkan hadits :
  • Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan; bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama daripada masalah hak dan harta.
B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil     
            Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahi perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kbenaran rawi atau kedustaanya hingga dapatlah  membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil oleh nabi shallaulahu Alaihi wa Sallam sebagamana yang telah disebutkan tadi. Lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan orang setalah mereka, karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Akan ada pada umatku yang terakhir nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin ‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).[2]
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”. Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.[3]
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah kamu tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata:
“Mereka menjadi musuh-musuhku lebih baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
C. Al Jarh wa At Ta'dil dalam tinjauan Al Qur'an

يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.”
(Al-Hujurat: 6)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari kejelasan.

Apabila ada penguat yang menunjukkan kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf (abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” [4]
           [5]Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil. Al-jarh (الْجَرْحُ) artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut. Sedangkan at-ta’dil (التَّعْدِيْلُ) artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.
Oleh karenanya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al-Mu’allimi menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa yang pertama kali berbicara tentang al-jarh wat-ta’dil adalah Al Qur‘an Al-Karim. Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk tatsabbut (mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak memberi hukum berdasarkan perkataannya.
Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru, maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dari mengikuti jalan orang-orang yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah: “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta).
Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia berhati-hati terhadap riwayat yang dinukil dari orang yang teertuduh dan penentang dari kalangan ahli bid’ah. Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa yang beliau sebutkan, diantaranya ayat menjadi pembahasan, dan diantaranya pula firmanNya dalam QS. Al-Baqarah: 282


Juga dalam firmanya QS. At-Thalaq: 2

“dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu.”
Lalu beliau berkata: “Maka ayat-ayat ini menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:  مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكاَذِبِيْنَ
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.”
        Manhaj Salaf dalam Al-Jarh wa Ta’dil di zaman para sahabat Nabi SAW, zaman terbaik umat ini, tidak dikenal seseorang yang berani mendustakan suatu hadits kemudian mengatasnamakan Rasulullah. [6]Hal ini karena mereka adalah orang –orang yang dikenal akan keadilannya dan kejujuran dalam periwayatannya. Ketika seorang shahabat Nabi memberitakan hadits kepada shahabat yang lainnya, mereka langsung menerimanya tanpa ragu, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bara’ bin Azib ra:


ماَ كُلُّ ماَ نُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْناَهُ، مِنْهُ ماَ سَمِعْناَهُ مِنْهُ، وَمِنْهُ ماَ حَدَّثَناَ أَصْحاَبُناَ، وَنَحْنُ لاَ نَكْذِبُ
“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami dengarkan langsung, diantaranya ada yang kami dengarkan langsung dan diantaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.”
                                                                                                                                  (HR. Ibnu Adi)
Oleh karenanya terkadang kita mendapati seorang shahabat memberitakan suatu hadits atau suatu kisah yang beliau tidak hadir secara langsung dalam kisah tersebut. Ini disebabkan mereka meriwayatkannya secara mursal, yang dikenal dengan istilah mursal shahabi, dan para ulama bersepakat tentang kehujjahannya. Dalam meneliti keadaan para perawi hadits tersebut, mereka mempunyai berbagai cara dalam mengetahui ke-tsiqah-an atau kelemahan seorang rawi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian yaitu:[7]
1)      Mereka semasa dengan para perawi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk melakukan pengetesan (ikhtibar) terhadap para perawi tersebut. Diantara cara ikhtibar tersebut adalah: pertama, Memperhatikan keadaan perawi, istiqamahnya dalam ketakwaan, menjauhi kemaksiatan, serta bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan baik. Hasan bin Shalih berkata: “Adalah kami apabila hendak menulis hadits dari seorang perawi, kami pun bertanya (kepada yang mengenalnya) tentangnya, sehingga dikatakan kepada kami: Apakah kalian hendak menikahkannya?”(Al-Kifayah, 93)
kedua, Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.”
ketiga, Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu Syaikh tersebut? Dimana engkau menemuinya?”

2)      Apabila mereka tidak semasa dengan perawi yang ingin diketahui keadaan riwayatnya, maka dengan cara sabrul ahaadiits (pengecekan satu persatu riwayat perawi tersebut). Jika perawi tersebut banyak meriwayatkan hadits dan jarang terjadi kesalahan dalam riwayatnya, maka dia disifati sebagai seorang hafidz. Jika memiliki sedikit kesalahan dibanding sekian banyak riwayatnya, maka haditsnya berada diantara tingkatan shahih hingga hasan. Jika banyak terjadi kesalahan pada riwayatnya dan fatal kesalahannya, hanya saja tidak sampai kepada tingkat ditinggalkan haditsnya, maka yang demikian derajatnya dha’if atau lemah. Dan apabila kesalahan lebih mendominasi haditsnya, maka orang yang demikian ditinggalkan haditsnya.
D. Tinkatan-tingkatan Al-Jarh Wat-ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang ‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).[8]
Ø  Tingkatan At-Ta’dil               
Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”. Tingkatan Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafizh. Tingkatan Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh. Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut). Tingkatan Kelima, Yang tidak menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh (fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya). Tingkatan Keenam, Isyarat yang mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan), atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
  • Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain.
  • Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.[9]
  • Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Ø  Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan). Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya). Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits). Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Ø  Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
  • Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
  • Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
    (Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
E. Kegunaan Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil        
[10]Ilmu jarh wa ta’dil sangat berguna karena untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah Ilmu Jarh wa Ta’dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh dan ta’dil, maksud dan derajat tingkatan ini istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini. Jelannya ilmu ini untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
F. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.[11]
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam). Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
  • Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip.
·         Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
  • Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip.




Bab III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Maka ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang meneranglan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untukmenerima atau menolak riwayat mereka.
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaanya hingga dapatlah merasa antara yang diterima dengan yang ditolak.
Karena itu para ulama menanyakan keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiyah mereka, agar mengetahui siapa yang lebih hafal dan kuat ingatannya.
Adapun kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta’dil untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau ditolak sama sekali.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Syaikh Manna’, Pengantar Studi lmu Hadits, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Shiddieqy Ash Hasbi Teungku Muhammad, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka riski Putra, 1997.
Suprata Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2002.
Fathur Rahman, Ikhtisar Muushthalah Hadis, Bandung: PT.Ma’arif percetakan offset,  2003.
TM. Hasbi Ash Shidieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis, Jakarta: Bulan bintang, 2000.
Iman an Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998.









[1] Syaikh Manna Al-Qathan’, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005) h. 78

[2] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka riski Putra, 1997) h. 98

[3] An Nawawi Iman, “ dasar-dasar Ilmu Hadis”, ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 1998) h.40

[5] Munzier Suprata, Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja grafindo persada, 2002) h. 112

[6] As shiddiqey hasbbi, “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis”, jild. II, ( Jakarta: Bulan bintang, 2002) h. 204
[7] Munzir Suprata, Op, Cit, h. 130
[8] Rahman Fathur, “Ikhtisar  Muushthalah Hadis”, (Bandung: PT. Ma’arif percetakan Offset, 2003) h. 268
[9] Rahman fathur, Op, Cit, h. 268
[10] At-Thahan Mahmud, “Metode Takhrij & penelitian Sanad Hadis”, (Surabaya: PT.Bima ilmu, 1995 )h. 100
[11] At-thanhan Mahmud, op. cit, h.153-154


EmoticonEmoticon