Bab I
Pendahuluan
a. Latar belakang
Tidak
semua hadis itu bersifat terpuji perawinya dan tidak semua hadis-hadis itu
bersifat dhaif perawinya, oleh karena itu para periwayat mulai dari generasi
sahabat sampai dengan generasi mukhrajul hadis tidak bisa kita jumpai secara
fisik karena mereka telah meninggal dunia. Untuk mengenali keadaan mereka, baik
kelebihan maupun kekurangan mereka dalam periwayatan, maka diperlikannlah
informasi dari berbagai kitab yang di tulis oleh ulama ahli kritik para
periwayat hadis.
Kritikan
para periwayat hadis itu tidak hanya berkenaan dengan hal-hal yang terpuji saja
tetapi juga mengenai hal-hal yang tercela. Hal-hal dapat dikemukakan untuk
dijadikan pertimbangan dalam hubungannya denagn dapat atau tidak diterimanya
riwayat hadis yang mereka riwayatkan. Untuk itulah lebih jelasnnya disini
pemakalah akan membahas “Ilmu Jarh Wa
Ta’dil.”
b. Rumusan Masalah
a. Apakah yang dimaksud dengan Ilmu
Al-Jarh wa At-Ta’dil?
b. Apakah kegunaan dari Ilmu Jarh
wa At Ta’dil?
c.
Apa yang melatarbelakangi muncul ilmu
Jarh wa At Ta’dil?
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian Al-Jarh
Wat-Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim
mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat
menggugurkan ke‘adalahan seseorang (Lisaanul-Arab; kosa kata “Jaraha”).
·
Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya
sifat pada seorang perawi yang dapat menjatuhkan ke‘adalahannya, dan
merusak hafalan dan ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau
melemahkannya hingga kemudian ditolak.
·
At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada
seorang perawi dengan sifat yang menyebabkan pendla’ifan riwayatnya, atau tidak
diterima riwayatnya.
·
Al-‘Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus
dalam jiwa; lawan dari durhaka. Dan seorang yang ‘adil artinya kesaksiannya
diterima; dan At-Ta’dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
·
Al-‘Adlu menurut istilah adalah orang yang
tidak nampak padanya apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab
itu diterima beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat
menyampaikan hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).
·
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan
sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke‘adalahannya, dan
diterima beritanya.[1]
Dan atas dasar ini, maka ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil adalah ilmu
yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan
tentang penta’dilannya (memandang lurus perangai para perawi) dengan memakai
kata-kata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat mereka.
[Ushulul-Hadiits halaman 260; dan Muqaddimah Kitab Al-Jarh wat-Ta'dil 3/1
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta’dil, dan tidak menganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya berdasarkan dalil-dalil berikut :
- Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :
“(Dan) itu seburuk-buruk saudara di
tengah-tengah keluarganya”.
(HR. Bukhari).
- Sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada Fathimah binti Qais yang
menanyakan tentang Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang tengah
melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat dari
pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu’awiyyah seorang yang miskin tidak
mempunyai harta” (HR. Muslim).Dua hadits di atas merupakan dalil
Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan kemaslahatan. Adapun At-Ta’dil, salah
satunya berdasarkan hadits :
- Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah
adalah Khalid bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah”
(HR. Ahmad dan Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu).
Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta’dil
untuk menjaga syari’at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana
dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan;
bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama
daripada masalah hak dan harta.
B. Perkembangan Ilmu Al-Jarh wa
At-Ta’dil
Ilmu ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhhnya
periwayatan dalam Islam, karena untuk mengetahui hadis-hadis yang shahi perlu
mengetahui keadaan rawinya, secara yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan
kbenaran rawi atau kedustaanya hingga dapatlah
membedakan antara yang diterima dengan yang ditolak.
Awal mula pertumbuhan ilmu ini adalah seperti yang dinukil
oleh nabi shallaulahu Alaihi wa Sallam sebagamana yang telah disebutkan tadi.
Lalu menjadi banyak dari para sahabat, tabi’in, dan orang setalah mereka,
karena takut terjadi seperti apa yang diperingatkan oleh Rasulullah.
Al-Jarh dan At-Ta’dil dalam ilmu hadits menjadi berkembang
di kalangan shahabat, tabi’in, dan para ulama setelahnya hingga saat ini karena
takut pada apa yang diperingatkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Akan ada pada umatku yang terakhir
nanti orang-orang yang menceritakan hadits kepada kalian apa yang belum pernah
kalian dan juga bapak-bapak kalian mendengar sebelumnya. Maka waspadalah
terhadap mereka dan waspadailah mereka” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Yahya bin Sa’idAl-Qaththan dia berkata,”Aku telah
bertanya kepada Sufyan Ats-Tsaury, Syu’bah, dan Malik, serta Sufyan bin
‘Uyainah tentang seseorang yang tidak teguh dalam hadits. Lalu seseorang datang
kepadaku dan bertanya tentang dia, mereka berkata,”Kabarkanlah tentang
dirinya bahwa haditsnya tidaklah kuat” (Muqaddimah Shahih Muslim).
Dari Abu Ishaq Al-Fazary dia berkata,”Tulislah dari Baqiyyah
apa yang telah ia riwayatkan dari orang-orang yang dikenal, dan jangan engkau
tulis darinya apa yang telah dia riwayatkan dari orang-orang yang tidak
dikenal, dan janganlah kamu menulis dari Isma’il bin ‘Iyasy apa yang telah ia
riwayatkan dari orang-orang yang dikenal maupun dari selain mereka” (- Baqiyyah
bin Al-Walid banyak melakukan tadlis dari para dlu’afaa).[2]
Diketahuinya hadits-hadits yang shahih dan yang lemah
hanyalah dengan penelitian para ulama’ yang berpengalaman yang dikaruniai oleh
Allah kemampuan untuk mengenali keadaan para perawi. Dikatakan kepada
Ibnul-Mubarak : “(Bagaimana dengan) hadits-hadits yang dipalsukan ini?”.
Dia berkata,“Para ulama yang berpengalaman yang akan menghadapinya”.
Maka penyampaian hadits dan periwayatannya itu adalah sama
dengan penyampaian untuk agama. Oleh karenannya kewajiban syar’i menuntut akan
pentingnya meneliti keadaan para perawi dan keadilan mereka, yaitu seorang yang
amanah, alim terhadap agama, bertaqwa, hafal dan teliti pada hadits, tidak
sering lalai dan tidak peragu. Melalaikan itu semua (Al-Jarh wat-Ta’dil) akan
menyebabkan kedustaan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.[3]
Dikatakan kepada Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,“Apakah kamu
tidak takut terhadap orang-orang yang kamu tinggalkan haditsnya akan menjadi
musuh-musuhmu di hadapan Allah?”. Dia berkata:
“Mereka menjadi musuh-musuhku lebih
baik bagiku daripada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang menjadi
musuhku. Beliau akan berkata : mengapa kamu mengambil hadits atas namaku
padahal kamu tahu itu adalah kedustaan?” (Al-Kifaayah halaman 144).
C. Al Jarh wa At Ta'dil dalam
tinjauan Al Qur'an
يآ أَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِنْ جآءَكُمْ فاَسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوْا أَنْ تُصِيْبُوْا قَوْماً بِجَهاَلَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلَى ماَ فَعَلْتُمْ ناَدِمِيْنَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal dengan perbuatan itu.”
(Al-Hujurat: 6)
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah
berkata: “(Ayat ini) termasuk adab yang sepantasnya diamalkan bagi orang yang
berakal. Yakni apabila ada seorang yang fasiq mengabarkan suatu berita agar
mengecek (kebenaran) beritanya (terlebih dahulu), jangan begitu saja
mengambilnya. Sebab yang demikian ini bisa menyebabkan bahaya besar dan
menjatuhkan ke dalam dosa. Karena apabila beritanya disejajarkan dengan
kedudukan berita seorang yang adil dan jujur, lalu menghukuminya berdasarkan
konsekuensi (riwayat seorang adil), maka akan terjadi kerugian jiwa dan harta
tanpa hak dengan sebab berita tersebut sehingga menyebabkan penyesalan. Yang
wajib dalam menyikapi berita seorang yang fasiq adalah meneliti dan mencari
kejelasan.
Apabila ada penguat yang menunjukkan
kebenarannya, maka diamalkan dan dibenarkan. Dan apabila (ada penguat) yang
menunjukkan kedustaan, maka didustakan dan tidak diamalkan. Maka di dalamnya
terdapat dalil tentang diterimanya berita seorang yang jujur dan berita
pendusta adalah tertolak, sedangkan berita seorang yang fasiq disikapi tawaqquf
(abstain) sebagaimana yang telah kita jelaskan. Oleh karenanya, para ulama
salaf menerima banyak riwayat dari Khawarij yang dikenal kejujurannya, walaupun
mereka termasuk orang-orang yang fasiq.” [4]
[5]Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil. Al-jarh (الْجَرْحُ) artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut. Sedangkan at-ta’dil (التَّعْدِيْلُ) artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.
[5]Penjelasan Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah tersebut di atas menerangkan bahwa ayat yang mulia ini merupakan salah satu hujjah disyariatkannya ilmu al-jarh wat-ta’dil. Al-jarh (الْجَرْحُ) artinya mencela/mencacat, yaitu mencela seorang perawi/ pembawa berita dikarenakan adanya salah satu faktor yang menyebabkan tertolaknya suatu riwayat pada diri perawi tersebut. Sedangkan at-ta’dil (التَّعْدِيْلُ) artinya memuji atau menyatakan keadilan seorang perawi karena adanya faktor-faktor yang menunjukkan keadilannya dan tidak terdapatnya sesuatu yang menjadikan dia layak dicela.
Oleh karenanya, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Yahya
Al-Mu’allimi menjadikan ayat ini sebagai dalil bahwa yang pertama kali
berbicara tentang al-jarh wat-ta’dil adalah Al Qur‘an Al-Karim. Ibnu Katsir
rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan untuk tatsabbut
(mengecek) atas berita seorang yang fasiq agar berhati-hati, sehingga dia tidak
memberi hukum berdasarkan perkataannya.
Sehingga di saat itu dia (si fasiq) berdusta ataukah keliru,
maka seorang hakim pun berpegang dengan ucapannya dan mengikuti jejaknya.
Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang dari mengikuti jalan orang-orang
yang merusak.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/209)
Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah: “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta).
Demikian pula yang dijelaskan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah: “Ketahuilah, semoga Allah memberi taufik kepadamu, bahwa sesungguhnya wajib bagi setiap orang untuk mengetahui (perbedaan) antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang berpenyakit, antara perawi yang dipercaya penukilannya dengan perawi yang tertuduh (berdusta).
Jangan pula dia meriwayatkan kecuali yang dia ketahui
keshahihan makhraj (tempat keluar haditsnya) dan terjaga penukilannya. Dan dia
berhati-hati terhadap riwayat yang dinukil dari orang yang teertuduh dan
penentang dari kalangan ahli bid’ah. Lalu beliau menyebutkan dalil atas apa
yang beliau sebutkan, diantaranya ayat menjadi pembahasan, dan diantaranya pula
firmanNya dalam QS. Al-Baqarah: 282
Juga
dalam firmanya QS. At-Thalaq: 2
“dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi yang adil diantara kamu.”
Lalu
beliau berkata: “Maka ayat-ayat ini
menunjukkan apa yang kami sebutkan bahwa kabar seorang yang fasiq gugur dan
tidak diterima, dan tertolaknya persaksian orang yang tidak adil.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكاَذِبِيْنَ
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.”
Lalu beliau pun berdalil dengan hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda: مَنْ حَدَّثَ عَنِّيْ بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكاَذِبِيْنَ
“Barangsiapa memberitakan dariku satu hadits, dan dia menyangka bahwa itu dusta, maka dia termasuk salah satu dari para pendusta.”
Manhaj Salaf dalam Al-Jarh wa Ta’dil di
zaman para sahabat Nabi SAW, zaman terbaik umat ini, tidak dikenal seseorang
yang berani mendustakan suatu hadits kemudian mengatasnamakan Rasulullah. [6]Hal
ini karena mereka adalah orang –orang yang dikenal akan keadilannya dan
kejujuran dalam periwayatannya. Ketika seorang shahabat Nabi memberitakan
hadits kepada shahabat yang lainnya, mereka langsung menerimanya tanpa ragu,
sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Bara’ bin Azib ra:
ماَ
كُلُّ ماَ نُحَدِّثُكُمْ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
سَمِعْناَهُ، مِنْهُ ماَ سَمِعْناَهُ مِنْهُ، وَمِنْهُ ماَ حَدَّثَناَ
أَصْحاَبُناَ، وَنَحْنُ لاَ نَكْذِبُ
“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami dengarkan langsung, diantaranya ada yang kami dengarkan langsung dan diantaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.”
“Tidak semua apa yang kami beritakan kepada kalian dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kami dengarkan langsung, diantaranya ada yang kami dengarkan langsung dan diantaranya ada yang diberitakan oleh para shahabat kami, dan kami tidaklah berdusta.”
(HR. Ibnu Adi)
Oleh karenanya terkadang kita mendapati seorang shahabat
memberitakan suatu hadits atau suatu kisah yang beliau tidak hadir secara
langsung dalam kisah tersebut. Ini disebabkan mereka meriwayatkannya secara
mursal, yang dikenal dengan istilah mursal shahabi, dan para ulama bersepakat
tentang kehujjahannya. Dalam meneliti keadaan para perawi hadits tersebut,
mereka mempunyai berbagai cara dalam mengetahui ke-tsiqah-an atau kelemahan
seorang rawi, yang secara garis besar terbagi menjadi dua bagian yaitu:[7]
1)
Mereka
semasa dengan para perawi tersebut, sehingga memungkinkan bagi mereka untuk
melakukan pengetesan (ikhtibar) terhadap para perawi tersebut. Diantara cara
ikhtibar tersebut adalah: pertama, Memperhatikan keadaan perawi, istiqamahnya dalam ketakwaan,
menjauhi kemaksiatan, serta bertanya kepada orang-orang yang mengenalnya dengan
baik. Hasan bin Shalih berkata: “Adalah
kami apabila hendak menulis hadits dari seorang perawi, kami pun bertanya
(kepada yang mengenalnya) tentangnya, sehingga dikatakan kepada kami: Apakah
kalian hendak menikahkannya?”(Al-Kifayah, 93)
kedua, Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.”
ketiga, Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu Syaikh tersebut? Dimana engkau menemuinya?”
kedua, Apabila seorang perawi meriwayatkan hadits dari seorang syaikh yang masih hidup, maka ditanyakan kepada syaikh yang masih hidup tersebut. Seperti apa yang diriwayatkan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa dia berkata: Al-Hasan bin Umarah berkata: Al-Hakam telah memberitakan kepadaku dari Yahya bin Al-Jazzar dari ‘Ali sebanyak tujuh hadits.” Lalu aku (Syu’bah) bertanya langsung kepada Al-Hakam tentang riwayat itu, beliau menjawab: Aku tidak pernah mendengarnya sedikitpun.”
ketiga, Apabila seorang perawi memberitakan hadits dari seorang syaikh yang telah meninggal, maka perawi tersebut ditanya: “Kapan engkau lahir? Kapan engkau bertemu Syaikh tersebut? Dimana engkau menemuinya?”
2)
Apabila
mereka tidak semasa dengan perawi yang ingin diketahui keadaan riwayatnya, maka
dengan cara sabrul ahaadiits (pengecekan satu persatu riwayat perawi tersebut).
Jika perawi tersebut banyak meriwayatkan hadits dan jarang terjadi kesalahan
dalam riwayatnya, maka dia disifati sebagai seorang hafidz. Jika memiliki
sedikit kesalahan dibanding sekian banyak riwayatnya, maka haditsnya berada
diantara tingkatan shahih hingga hasan. Jika banyak terjadi kesalahan pada
riwayatnya dan fatal kesalahannya, hanya saja tidak sampai kepada tingkat
ditinggalkan haditsnya, maka yang demikian derajatnya dha’if atau lemah. Dan
apabila kesalahan lebih mendominasi haditsnya, maka orang yang demikian
ditinggalkan haditsnya.
D. Tinkatan-tingkatan Al-Jarh Wat-ta’dil
Para perawi yang meriwayatkan hadits bukanlah semuanya dalam
satu derajat dari segi keadilannya, kedlabithannya, dan hafalan mereka. Di
antara mereka ada yang hafalannya sempurna, ada yang kurang dalam hafalan dan
ketepatan, dan ada pula yang sering lupa dan salah padahal mereka orang yang
‘adil dan amanah; serta ada juga yang berdusta dalam hadits. Maka Allah
menyingkap perbuatannya ini melalui tangan para ulama’ yang sempurna
pengetahuan mereka. Oleh karena itu, para ulama’ menetapkan tingkatan Jarh dan
Ta’dil, dan lafadh-lafadh yang menunjukkan pada setiap tingaktan. Tingkatan
Ta’dil ada enam tingkatan, begitu pula dengan Jarh (ada enam tingkatan).[8]
Ø Tingkatan At-Ta’dil
Tingkatan Pertama, Yang menggunakan bentuk superlatif
dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan
dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya”
atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”. Tingkatan
Kedua, Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-annya,
ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan
makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah
dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafizh. Tingkatan
Ketiga, Yang menunjukan adanya pentsiqahan tanpa adanaya penguatan atas hal
itu, seperti: tsiqah, tsabat, atau hafizh. Tingkatan Keempat, Yang
menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan
kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun
(dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa
ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa
ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits
yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah
cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut). Tingkatan Kelima, Yang tidak
menunjukkan adanya pentsiqahan ataupun celaan; seperti : Fulan Syaikh
(fulan seorang syaikh), ruwiya ‘anhul-hadiits (diriwayatkan darinya
hadits), atau hasanul-hadiits (yang baik haditsnya). Tingkatan Keenam, Isyarat yang
mendekati celaan (jarh), seperti : Shalihul-Hadiits (haditsnya lumayan),
atau yuktabu hadiitsuhu (ditulis haditsnya.)
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
- Untuk
tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka
lebih kuat dari sebagian yang lain.
- Adapun
tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits
mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan
hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai
dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai,
maka ditolak.[9]
- Sedangkan
untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka
ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dlabith.
Ø Tingkatan Al-Jarh
Tingkatan Pertama, Yang menunjukkan adanya kelemahan,
dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-hadiits
(lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi
dla’fun (padanya ada kelemahan). Tingkatan Kedua, Yang menunjukkan
adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah;
seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia
mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui
identitas/kondisinya). Tingkatan Ketiga, Yang menunjukkan
lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if
jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal
periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-apanya).
(Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in
sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit).
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits). Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Tingkatan Keempat, Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). Tingkatan Kelima, Yang menunjukkan sifat dusta atau pemalsu dan semacamnya; seperti : kadzdzab (tukang dusta), atau dajjal, atau wadldla’ (pemalsu hadits), atau yakdzib (dia berbohong), atau yadla’ (dia memalsikan hadits). Tingkatan Keenam, Yang menunjukkan adanya dusta yang berlebihan, dan ini seburuk-buruk tingkatan; seperti : “Fulan orang yang paling pembohong”, atau “ia adalah puncak dalam kedustaan”, atau “dia rukun kedustaan”.
Ø Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
- Untuk
dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits
mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya
orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan
pertama.
- Sedangkan
empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh
ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.
(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; dan Taisir Musthalah Al-Hadits halaman 152-154).
E. Kegunaan Ilmu Al-Jarh wa Ta’dil
[10]Ilmu jarh wa ta’dil sangat berguna
karena untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad
terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah Ilmu Jarh wa Ta’dil yang telah
banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima,
cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi,
jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kaidah jarh dan ta’dil,
maksud dan derajat tingkatan ini istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini.
Jelannya ilmu ini untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa
diterima atau harus ditolak sama sekali.
F. Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah
berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang
berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah
dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada
Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan
secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-karya yang mencakup perkataan
para generasi awal tersebut.[11]
Sebagian besar metode yang dipakai oleh para pengarang
adalah mengurutkan nama para perawi sesuai dengan huruf kamus (mu’jam).
Dan berikut ini karya-karya mereka yang sampai kepada mereka :
- Kitab
Ma’rifatur-Rijaal,
karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya
berupa manuskrip.
·
Kitab
Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir
dan Adl-Dlu’afaa’ush-Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il
Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh
Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-Shaghiir].
- Kitab
Ats-Tsiqaat,
karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261
H), manuskrip.
Bab III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Maka
ilmu Al-Jarh wa At-Ta’dil adalah ilmu yang meneranglan tentang cacat-cacat yang
dihadapkan kepada para perawi dan tentang penta’dilannya (memandang lurus para
perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus dan untukmenerima atau menolak
riwayat mereka.
Ilmu
ini tumbuh bersama-sama dengan tumbuhnya periwayatan dalam Islam, karena untuk
mengetahui hadis-hadis yang shahih perlu mengetahui keadaan rawinya, secara
yang memungkinkan ahli ilmu menetapkan kebenaran rawi atau kedustaanya hingga
dapatlah merasa antara yang diterima dengan yang ditolak.
Karena
itu para ulama menanyakan keadaan para perawi, meneliti kehidupan ilmiyah
mereka, agar mengetahui siapa yang lebih hafal dan kuat ingatannya.
Adapun
kegunaan dari Ilmu Al Jarh wa Ta’dil untuk menentukan kualitas perawi dan nilai
hadisnya. Menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau
ditolak sama sekali.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qathan, Syaikh
Manna’, Pengantar Studi lmu Hadits, Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005.
Shiddieqy Ash Hasbi
Teungku Muhammad, Sejarah dan pengantar
Ilmu Hadits, Semarang: PT. Pustaka riski Putra, 1997.
Suprata Munzier, Ilmu Hadits, Jakarta: PT. Raja grafindo
persada, 2002.
Fathur Rahman, Ikhtisar Muushthalah Hadis, Bandung:
PT.Ma’arif percetakan offset, 2003.
TM. Hasbi Ash Shidieqy,
Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis,
Jakarta: Bulan bintang, 2000.
Iman an Nawawi, Dasar-dasar Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1998.
[1] Syaikh Manna
Al-Qathan’, Pengantar Studi lmu Hadits, (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2005) h. 78
[2] Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan
pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: PT. Pustaka riski Putra, 1997) h. 98
[3] An Nawawi Iman, “ dasar-dasar Ilmu Hadis”, ( Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1998) h.40
[6] As shiddiqey hasbbi, “Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadis”, jild.
II, ( Jakarta: Bulan bintang, 2002) h. 204
[7] Munzir Suprata, Op, Cit, h. 130
[8] Rahman Fathur, “Ikhtisar Muushthalah Hadis”, (Bandung: PT. Ma’arif
percetakan Offset, 2003) h. 268
[9] Rahman fathur, Op, Cit, h. 268
[10] At-Thahan Mahmud, “Metode Takhrij & penelitian Sanad
Hadis”, (Surabaya: PT.Bima ilmu, 1995 )h. 100
[11] At-thanhan Mahmud, op. cit,
h.153-154
EmoticonEmoticon