Senin, 06 Oktober 2014

Konep Fitrah Manusia dalam Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja teratur, rapi, dan serasi. Manusia adalah makhluk yang sangat menarik.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT., yang termulia diantara sekian banyak makhluk ciptaan-Nya, merupakan makhluk yang memiliki multi dimensi yang membawa berbagai potensi yang bersifat jasmani dan rohani.
Oleh karena itu manusia telah menjadi sasaran studi sejak dahulu, kini, dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat dan lingkungan hidupnya.[1]
Potensi-potensi yang diberikan manusia tersebut merupakan keunggulan yang mempunyai nilai yang sangat berharga terutama bagi manusia itu sendiri dalam menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di bumi ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS al-Baqarah(2) : 31
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ  
31. dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

Manusia tidak sekadar memiliki semua unsur yang ada pada makhluk lainnya, namun juga memiliki kualitas yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk manapun.
Potensi-potensi yang dimiliki manusia berupa akal, indra, hati, nurani, kemauan serta naluri, tidak jarang diperselisihkan dalam berbagai penafsiran. Dalam ajaran Islam ataupun dalam pandangan pendidikan Islam potensi-potensi manusia sebagaimana yang dikemukakan tersebut sering diistilahkan “Fitrah” dan beberapa pakar menafsirkannya dengan pengertian potensi-potensi yang bersifat psikis dan fisik yang dimiliki oleh setiap anak yang dilahirkan. Ada pula ahli mengartikan sebagai agama atau kesucian. Sedangkan para ahli pendidikan meninjau perkembangan kejiwaannya berkaitan dengan psikologi pendidikan sering menggunkan istilah potensi atau bakat dan pembawaan, sehingga dalam psikologi perkembangan dikenal ada tiga aliran yang membicarakan tentang potensi yang dimiliki anak, yaitu aliran nativisme, empirisme, dan konvergensi.
Dari ketiga aliran tersebut masing-masing mengemukakan argumentasinya dalam mempertahankan teorinya. Salah satu dari ketiga aliran dalam psikologi pendidikan di atas adalah aliran konvergensi yang memadukan dua pendapat yang saling bertolak belakang. Agaknya aliran ini mendekati pemahaman tentang “Fitrah” dalam konsepsi pendidikan Islam. Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan Islam. Namun hal ini masih belum dapat diterima sepenuhnya dengan berbagai alasan yang didasari oleh sumber yang menjadi landasan pendidikan Islam, yakni al-Quran dan hadis Nabi Muhammad  SAW. Oleh sebab itu kajiaan dan telaah yang bertujuan untuk memahami tentang pengertian fitrah dalam pandangan Islam dan fitrah atau potensi dalam istilah yang dipergunakan para ahli pendidikan dan psikologi, sangat perlu dilakukan.


B.     Rumusan Masalah
            Berangkat dari latar belakang inilah penulis membagi permasalahan mengenai makalah kami dalam beberapa hal untuk dibahas, agar tidak terjadi distorsi pemahaman bagi pembaca sekalian. Adapun  rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1.        Bagaimana proses dan tujuan penciptaan manusia?
2.        Apakah pengertian fitrah?
3.        Bagaimana fungsi fitrah dalam pengembangan kepribadian manusia?























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Proses dan Tujuan Penciptaan Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi (substansi = unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam. Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh SWT.[2]
Dibawah ini dikutipkan sebuah ayat suci al-Quran yang menguraikan tentang proses kejadian manusia. Dalam hal ini Allah SWT.berfirman dalam surat al-Mukminun : 12-14 :
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ   §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ   ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sƒø:$# ÇÊÍÈ  
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Proses penciptaan manusia, sebagaimana ayat tersebut, diawali dari saripati tanah (saripati makanan yang dimakan manusia ) kemudian berproses menjadi air mani atau  spermatozoa (nuthfah)  yang bercampur dengan ovum atau gen sel reproduksi wanita yang tersimpan dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan sel dalam yang kemudian berproses menjadi segumpal darah, kemudian berproses menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakan-Nya tulang belulang yang dibalut dengan daging, kemudian diciptakan-Nya ruh dalam tubuh ciptaan-Nya serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal, dan celaka-bahagia bagi manusia. Peristiwa tersebut, diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim berproses selama 40 hari pada setiap fase.[3]
Dari penjelasan di atas, tergambar bahwa penciptaan manusia dalam proses alami (sunnatullah) terdiri dari 2 aspek pokok, yaitu
Ø  Aspek material adalah jasmaniah (jasad), yaitu jisim manusia; tubuh, badan. Abu Ishak menjelaskan bahwa jasmaniah ialah sesuatu yang tidak bisa berpikir dan tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai, dalam kehidupan sehari-hari jasad manusia dipandang sebagai suatu yang tidak menentukan baik atau buruknya manusia. Realitas jasad adalah manusia pokok, tanpa adanya jasad tidak dapat dipahami adanya manusia, karena dengan jasadnya realitas manusia dapat dilihat pada aktivitas dalam ruang dan waktu tertentu.[4]
Ø  Aspek immaterial adalah rohaniah. Aspek rohaniah, tidak sama seperti aspek jasmaniah. Aspek rohaniah sifatnya abstrak dan tidak dapat di realitaskan.
Pada saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, dan hikmah yang hebat dan unik, baik lahir maupun batin; bahkan pada setiap anggota tubuhnya, yang dapat dikembangkan menuju peradaban manusia. Pendidikan dalam Islam, antara lain diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta pengembangan fitrah manusia secara terpadu.[5]
Menurut Abdul Fattah Jalal manusia memiliki alat-alat potensial yang di anugerahkan oleh Allah untuk meraih ilmu pengetahuan. Diantaranya :
o                   Al-lams dan al- Syum(alat peraba dan alat penciuman) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 7 dan QS, Yusuf ayat 94                       $£Js9ur ÏMn=|Ásù 玍Ïèø9$# š^$s% öNèdqç/r& ÎoTÎ) ßÅ_V{ yxƒÍ y#ßqム( Iwöqs9 br& ÈbrßÏiZxÿè? ÇÒÍÈ  
94. tatkala kafilah itu telah ke luar (dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf, Sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan aku)".
o   Al- sam’u (alat pendengaran) sebagaimana frman Allah dalam QS. Al- Isra’ ayat 36
o       Ÿwr ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ  
36. dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
o   Al-Abshar (penglihatan) sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus ayat 101
È@è% (#rãÝàR$# #sŒ$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tƒFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% žw tbqãZÏB÷sムÇÊÉÊÈ  
101. Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".
o   Al-‘Aql (akal) sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
o   Al-Qalbu (hati) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj ayat 46
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
46. Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.

Pada diri manusia terdapat al-Nafs (jiwa) yang tak mampu merelitaskannya. Dalam hal ini Ibn Sina membagi al-Nafs pada tiga bagian, yaitu
v  Al-Nafs al-nabatiyyat (jiwa vegetatif), yang memiliki tiga daya yaitu : daya makan, daya tumbuh, daya berkembangbiak.
v  Al-nafs al-hayawiyyat, memiliki dua daya, yaitu : daya gerak, daya mencerap atau menangkap,
v  Al-nafs al-insaniyyat atau al nathiqat, yang memiliki dua daya yaitu : daya praktis yang berhubungan dengan jasmani manusia dan daya teoritis yang berhubungan dengan hal-hal abstrak.[6]
Dimensi manusia ini memiliki potensi sesuai dengan naturnya masing-masing. Dimensi jasmaniah, secara umum memiliki kesamaan antara manusia dengan makhluk lainnya, yaitu sama-sama memiliki daya al-hayat (berkembang) secara alami, meskipun tanpa adanya sentuhan dimensi rohaniah. Hal ini dapat terlihat dari proses pembuahan manusia di alam rahim, namun demikian, ditinjau dari dimensi rohaniah (dengan berbagai muatan potensinya)kemudian menjadi sarana bagi manusia untuk mampu melakukan berbagai aktivitasnya, sekaligus menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk Allah SWT lainnya. Hanya saja manusia bisa terjerumus pada kenistaan, apabila manusia tidak mampu mempergunakan dimensi ini sesuai dengan ajaran yang telah digariskan Allah SWT.
Dalam konteks ini, al-nafs memberikan pancaran kehidupan, sehingga manusia dapat melakukan sejumlah aktivitas, maka Allah SWT memberikan kepadanya potensi al-‘aql yang mampu memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk. Eksistensi al-‘aql sebagai suatu potensi yang dimiliki manusia, merupakan daya yang sanggup menerima pengertian, baik secara teoritis maupun praktis. Hal ini disebabkan, karena ia memiliki daya kreativitas berfikir.[7]
Meskipun dengan kemampuan akalnya manusia mampu mengenal dan menganalisa sesuatu, secara langsung hanya terbatas pada realitas arti material. Sedangkan untuk memahami arti immaterial, kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal memerlukan bantuan al-qalbu. Sebab melalui potensi al-qalbu, manusia dapat merasakan eksistensi arti immaterial dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.[8] Dengan persinggungan kedua kekuatan ini,  akhirnya manusia mampu mengenal Tuhannya dan meyakini akan ajaran Tuhannya. Dengan berpegang pada ketentuan etika religius yang diyakini itu, membuat manusia dapat menjalani kehidupannya secara baik dan serasi.
Perpaduan kedua aspek (jasmaniah dan rohaniah) tersebut menjadikan manusia sebagai makhluk dinamis, mampu mengenal alam sekaligus memanfaatkannya secara optimal bagi kemaslahatan umat manusia, serta mengenal sejarah masa lalu dan berupaya memikirkan kehidupan masa depan yang lebih proporsional. Oleh karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk sejarah dan sekaligus ikut dipengaruhi dan mempengaruhi sejarah hidupnya atau sesamanya. Eksistensinya tidak hanya berada di dunia (bumi), akan tetapi secara aktif ikut “berdialog” dengan alam semesta,[9] sesuai dengan perkembangan yang dinamis.
Tujuan Penciptaan Manusia
Ketika Allah menciptakan manusia, Dia mengumumkan bahawa Dia menciptakannya untuk menjadi mulia dan memberinya nikmat , bukan untuk menghinanya dan menyegerakannya.Dia suka hambaNya bersusah payah dalam beribadat dan ta'at kepadaNya.Tapi Dia tidak suka mrelihat hambaNya membebani dirinya luar dari kemampuanya. Dia membimbingnya agar bersikap sederhana dan tenang serta menerangkan kepadanya bahawa mendekatkan diri kepadaNya bukanlah dengan cara mengharamkan diri daripada kesenangan dan realiti hidup.
1.      Manusia sebagai Abd Allah (hamba Allah)
Manusia dalam kehidupannya di muka bumi ini tidak bisa terlepas dari kekuasaan yang transendental (Allah). Hal ini disebabkan, karena manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan agama animisme dan dinamisme. Namun bagaimanapun juga dengan keterbatasan yang di miliki manusia membuktikan bahwa ia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Ar-Ruum : 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Berdasarkan ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun primitifnya suatu suku bangsa manusia, mereka tetap mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Kepercayaan ini diaplikasikan dengan penyembahan meskipun  sebatas yang cukup sederhana. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Az-Zariyat : 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur žwÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ  
56. dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
2.      Manusia sebagai Khalifah Fi al- Ardl
Manusia sebagai makhluk yang mulia, menempati posisi yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi. Hal ini karena manusia diciptakan dalam “citra Allah”,sehingga selayaknya manusia disebut sebagai “mahkota ciptaan-Nya” atau sebagai “khalifah Allah di bumi” yang mewakili Pencipta dalam ciptaan-Nya.[10] Kedudukan manusia dimuka bumi ini disinyalir Allah SWT. Dalam QS. Al-Baqarah : 30
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ  
30. ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Bila ayat tersebut di analisa lebih mendalam, maka akan terlihat bahwa manusia bukan sekedar hiasan, akan tetapi, jauh dari itu manusia diberikan tugas untuk memelihara ciptaan-Nya ini. Manusia diberi  kedudukan dan tanggungjawab. Konsekuensi dari kedudukan dan tanggungjawab tersebut, maka manusia akan diminta pertanggungjawaban atas segala aktivitas dilakukan dimuka bumi sebagai khalifah fi al-ardl.
B.     Pengertian Fitrah
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan manusia disbanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum dalam fitrah. Secara bahasa fitrah berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta/menjadikan[11] sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang perlu penyempurnaan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa fitrah adalah naluri beragama yang diberikan Allah pada manusia sejak berada dalam alam rahim, sesuai dengan firman Allah pada surat Al-A’raf ayat 172:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡ‌ۖ قَالُواْ بَلَىٰ‌ۛ شَهِدۡنَآ‌ۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ ۞
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Para pemikir muslim lainnya, mencoba untuk mencari defenisi lain kata fitrah yang lebih representative sesuai dengan kemampuan, fungsi, dan kedudukannya sebagai makhluk Allah yang paling sempurna kejadiannya. Hasan Langgulung mengartikan fitrah tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi tersebut merupakan sesuatu keterpaduan yang tersimpul dalam al- asma’ al-husna Allah.[12] Pendapat tersebut berarti bahwa apabila Allah memiliki sifat al-Bashar (maha melihat) maka manusia pun juga memiliki potensi melihat. Namun potensi tersebut tidak bisa disetarakan, karena manusia memiliki keterbatasan (melihat), sedangkan Allah tidak memiliki keterbatasan, bisa melihat yang tampak hingga yang tersembunyi sekalipun. Sedangkan manusia hanya bisa melihat sejauh kemampuan inderanya. Begitu juga dengan potensi-potensi yang lain.[13]
Untuk mengaktifkan potensi tersebut, maka Allah menjadikan alam dan seluruh isinya - termasuk diri manusia sendiri - sebagai ayat-ayat Allah (ayat kauniyah) yang luas untuk dibaca dan dianalisa maknanya Dengan pemaknaan tersebut, manusia mampu menempatkan dirinya pada posisi yang hakiki, baik secara individual-vertikan sebagai ‘abd Allah maupun individual –horizontal sebagai kholifah fi al-ardh. Untuk mengaktualkan potensi-potensi tersebut, Allah telah melengkapi pada diri manusia dengan roh-Nya berbagai alat, baik jasmani maupun rohani, yang menunjang perkembangan potensi-potensi yang dimilikinya secara maksimal. Potensi-potensi tersebut diberikan pada manusia agar manusia bisa hidup dengan harmonis dan dapat mempertanggungjawabkan atas segala potensi-potensi yang telah mereka gunakan, sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌ‌ۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡـُٔولاً۬۞
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan di minta pertanggung jawabnya“.(QS. Al-Isra’: 36).
Oleh karena itu, Allah menganugerahkan potensi-potensi yang dapat membawa mereka menjadi kholifah fi al-ardh yang baik dan bertanggung jawab, yang juga dapat memakmurkannya.

Hubungan Fitrah dan Pendidikan Islam
Allah telah memberikan fitrah pada manusia saat manusia belum terlahir di alam dunia ini, sehinnga manusia membawa fitrahnya saat ia dilahirkan di dunia. Fitrah yang dibawanya bersamaan dengan terlahirnya manusia tersebut belum sepenuhnya teraktualisasi, hingga alam sekitar mempengaruhi fitrah manusia tersebut.
Faktor yang pertama kali berpengaruh pada manusia yang baru terlahir ke dunia adalah  faktor lingkungan, terutama lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan hadits:
كلّ مولود يولد على الفترة ، فأبواه يهود نه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه الأسود بن شريع)
Artinya: “setiap anak (manusia) itu terlahir dalam fitrahnya. Kedua orangtuanya lah yang akan mewarnai (anak) nya, apakah menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi". (HR. Aswad bin Sari’).
Berdasarkan hadits di atas bisa kita katakan bahwa yang namanya fitrah sebenarnya baik, tapi ada pengaruh setelah ia trelahir ke dunia, hinga fitrah tersebut tergantung pada baik buruknya pengaruh dari orang tuanya..
Ada pula segolongan ahli fikir berpendapat berpendapat bahwa kanak-kanak dilahirkan seperti kertas putih, atau tabula rasa, tak punya potensi-potensi, ia akan berkembang dengan pengaruh alam sekitar, termasuk ibu bapak, guru-guru, institusi pendidikan dan lain-lain, alam sekitarnyalah yang berkuasa membentuknya sekehendaknya, adapun si anak tidak punya daya apa-apa.
Antara hadits dan pendapat di atas sama-sama berpendapat bahwa lingkungan dapat mempengaruhi fitrah manusia. Pertama anak mendapat pengaruh dari keluarganya (Orang tua), lalu teman sebayanya, lingkungan masyarakat, lalu ia akan mendapat pengaruh juga dari lingkungan pendidikannya.[14]
Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S. Praja, pada diri manusia terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu :
1.      Daya intelektual yaitu potensi dasar yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk.
2.      Daya ofensif yaitu potensi dasar yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara serasi dan seimbang.
3.      Daya defensif  yaitu potensi dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan dirinya.[15]
Secara lebih komprehensif, Muhammad bin Asyur, sebagaimana disitir M.Quraish Shihab mendefenisikan fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.[16] Daya Intelektual (al-‘aql) memiliki posisi paling penting di antara ketiga posisi tersebut di atas, karena akal menjadi pemegang kendali atas kedua potensi yang lain.
Inilah fungsi pendidikan Islam bagi manusia. Apabila manusia tidak terdidik, maka ia akan salah arah dalam mengendalikan fitrah atau potensi-potensi yang dimilikinya. Karena ia belum mengetahui mana yang benar dan yang salah. Namun setelah manusia tersebut mendapatkan pendidikan, terutama Pendidikan Islam, maka ia tidak akan keliru dalam memegang kendali utamanya (quwwat al-‘aql), sehingga ia juga dapat menentukan arah potensi-potensi yang lain menuju arah yang baik dan manusia tersebut dapat benar-benar menjadi khalifah fi al-ardh yang dapat mengembangkan dan menjadikan bumi ini lebih baik.
C.     Fungsi Fitrah dalam Pengembangan Kepribadian Manusia
1.      Konsep kepribadian Manusia
Menurut asal katanya, kepribadian atau personality berasal dari bahasa Latin “personare” yang berarti mengeluarkan suara. Sedangkan menurut istilah digunakan untuk menunjukkan suara dari percakapan seorang pemain sandiwara di mana suara pemain sandiwara itu diproyeksikan, kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri.
Namun demikian menurut sejarah bahwa kata persona yang pertama kali berarti topeng, kemudian diartikan pemainnya itu sendiri yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng tersebut. Akhir kata persona itu menunjukkan pengertian tentang kualitas dari watak atau karakter yang dimainkan di dalam sandiwara itu. Kini kata personalia oleh para ahli psikologi dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat dipercaya tentang individu, untuk manggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya individu itu.
Sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh ahli psikologi Sartain mengenai kepribadian:
Istilah “personality” ialah menunjukkan suatu organisasi/susunan dari  pada sifat-sifat dan aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalam individu.[17]
Dari sifat dan aspek ini bersifat psiko-fisik yang menyebabkan individu berbuat dan bertindak seperti apa yang dilakukan, dan menunjukkan adanya cirri-ciri khas yang membedakan individu itu dengan individu yang lain, termasuk didalamnya sikapnya, kepercayaannya, nilai-nilai dan cita-citanya, pengetahuan dan keterampilannya, macam-macam cara gerak tubuhnya, dan sebagainya.
Dalam pergaulan dan percakapan sehari-hari tidak jarang kita mendengar dan bahkan menggunakan kata pribadi atau kepribadian itu, tanpa memikirkan lebih lanjut apa arti sesungguhnya dari kata tersebut. Kata pribadi sering diartikan sebagai individu, seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain. Biasanya pula dapat diartikan sebagai pola-pola tingkah laku manusia yang berhubungan dengan norma-norma tentang baik dan buruk atau dengan kata lain, kata pribadi atau kepribadian itu dipakai untuk menunjukkan adanya cirri-ciri khas yang ada pada seseorang. Sejalan dengan hal tersebut Bogolousky dalam bukunya Ideal School  yang dikutip oleh Imam Bernadib menegaskan bahwa : kepribadian yakni bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam arti riil yang tidak bertentangan dengan keprbadian yang ideal. Diusahakan agar faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional, dan intelektual sebagai keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis sesuai dengan kemanusiaan yang ideal tersebut.[18]
Sejalan dengan itu pula menurut Crow sebagaimana yang dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto yang menunjukkan bagaimana ahli-ahli psikologi itu membuat rumusan menurut caranya masing-masing, seperti terlihat pada ungkapan “bahwa kepribadian atau personality itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara kesanggupan-kesanggupan bahwa bawaan yang ada pada individu dengan lingkungannya. Ia bersifat psikofisik, yang berarti baik factor jasmani maupun rohani individu itu bersama-sama memegang peranan kepribadian ia juga bersifat unik, artinya kepribadian seseorang sifatnya khas, mempunyai cirri-ciri tertentu yang membedakan dari individu yang lain”.[19]
Menurut pandangan yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba: kepribadian adalah lebih luas artinya meliputi kualitas keseluruhan dari seseorang. Kualitas itu akan tampak dalam cara-caranya berbuat, berpikir, mengeluarkan pendapat, sikapnya, misalnya filsafat hidupnya serta kepercayaannya.[20]
Dengan demikian dapat dipahami bahwa betapa luas pengertian dari kepribadian itu, namun demikian ada beberapa aspek yang dapat dilihat dalam memahami sifat-sifat dan unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian kepribadian tersebut yang dapat diuraikan lebih lanjut.
a.    Sifat
Kata “Sifat” Traits, dalam istilah psikologi, memiliki arti sebagai ciri-ciri tingkah laku yang tetap atau hampir tetap pada setiap individu, seperti: pemarah, pembohong dan lain-lain, yang semuanya itu sering muncul sehingga menjadi semacam suatu ciri khas dari tingkah laku seseorang.
Dari sekian perbuatan yang lahir dari seseorang tersebut maka dapatlah diketahui tentang sifat-sifat orang tersebut. Osmar Muhammad al-Toumy As-Syaibany, mengulas sifat manusia ini: proses membentuk identitas sifat dan watak atau mengubah dan memupuk serta memajukan cirri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau proses “pemasyarakatan”. Mudah  atau susahnya proses ini bergantung pada usia dan cara yang digunakan untuk sampai kepada tujuan.[21]  
b.    Sikap
Penggunaan kata “sikap” secara sembarangan saja seperti orang berkata kurang ajar, sikapnya lemah, sikap badannya kurang tegar dapat mengaburkan arti yang sebenarnya dari kata itu. Sikap atau yang dalam bahasa inggris disebut “attitude” adalah suatu cara bereaksi dengan cara tertentu terhadap suatu perangsang.
Suatu kecendrungan untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang ataupun situasi yang dihadapi. Hal ini dapat dilihat dari reaksi seseorang jika ia terkena sesuatu rangsangan baik mengenai orang, benda-benda ataupun situasi yang mengenai dirinya. Jadi sikap adalah suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai reaksi atau respons terhadap sesuatu rangsangan atau stimulus yang disertai dengan pendirian dan atau perasaan orang itu.
Ellis mengemukakan mengenai sikap sebagaimana dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto bahwa: yang sangat memegang peranan penting didalam sikap ialah faktor perasaan atau emosi dan faktor kedua adalah reaksi/respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia. Sebagai reaksi maka sikap selalu melaksanakannya atau menjauhi/menghindari sesuatu.[22]

2.      Fitrah Menuntun Proses Kepribadian Manusia
            Agar dapat memahami tentang fungsi dan peranan Fitrah dalam menuntun proses perkembangan kepribadian manusia, lebih awal dibutuhkan pengetahuan tentang pengertian manusia itu sendiri kaitannya dengan upaya pengembangan dimaksudkan, melalui pengertian-pengertiannya akan dapat dipahami sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat mengena pada sasaran akahir serta aspek-aspek apa yang menjadi garapan dalam proses pengembangan kepribadian manusia. Untuk itu melalui uraian di bawah  ini kedua ini kedua hal tersebut akan diuraikan secara terpisah di mana untuk uraian mengenai fitahal tersebut akan diuraikan secara terpisah di mana untuk uraian mengenai fitrah itu sendiri dalam pembahasan ini hrah itu sendiri dalam pembahasan ini hanya merupakan penekanan kembali berkaitan dengan hubungannya dengan pentingnya factor fitrah dalam memberikan tuntunan terhadap proses perkembangan kepribadian.
            Dalam kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan di mana saja bila ditanyakan kepada seseorang perihal pengertian manusia akan ditemukan jawaban yang ada itu bila disimpulkan, maka manusia itu adalah makhluk hidup sebagaimana dengan makhluk ciptaan Allah SWT.  Yang lain, namun diberikan akal sebagai pembeda dari makhluk lainnya.
            Menurut I. Sugriwa, manusia itu terdiri dari dua suku kata, yaitu: “Manus dan Ia. Manus artinya roh/jiwa dan artinya tubuh kasar.”[23] Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah sosok makhluk yang terdiri dari dua jenis unsur tubuh yaitu tubuh kasar adalah jasadnya; daging dan tulang belulang dan tubuh halus adalah jiwa atau nyawa. Sehingga dengan demikian pula dapat di manapun berada sebelum meninggal, kedua unsur tersebut senantiasa tak terpisahkan antara satu dengan lainnya.
            Adi Negoro menghimpun dari berbagai pakar yang menghimpun dari berbagai pakar yang menyimpulkan tentang pengertian manusia sebagaimana yang dikutip oleh Syahminan Zaini menguraikan:
1.      Homo Sapiens, kata Linnaeus, artinya makhluk yang mempunyai budi(akal).
2.      Homo Loquen, kata Revasz dalam Das Problem des Ursprugs der sprache, yaitu makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun.
3.      Homo Religious, yaitu manusia dasarnya beragama.
4.      Homo Divinan, yaitu manusia itu khalifah Tuhan.
5.      Homo Delegaus,yaitu manusia adalah makhluk yang bisa menyerahkan kerja dan kekuasaannya pada orang lain dia bisa berwakil, berwali.[24]

Pengertian di atas pada dasarnya melihat manusia dari berbagai aspeknya; baik social, pribadi, beragama, berkuasa maupun manusia sebagai makhluk yang dapat dipimpin dan diarahkan oleh manusia lainnya.
Sedangkan dari konsep Islam, perkataan manusia berasal dari kata “al-insan” sedangkan kata ”basyar” ini sebagaimana penjelasan yang dikemukakan oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA sebagai berikut: kata “al-insan” yang diterjemahkan dengan manusia terambil dari akar “uns” yang berarti senang, jinak dan harmonis, atau terambil daripada akar “nasiya” yang berarti lupa, ada juga pendapat yang mengembalikan akar katanya kepada “naunus” yang berarti pergerakan atau dinamis. Makna-makna tersebut paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni: bahwa manusia memiliki potensi untuk lupa, atau memiliki kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme atau makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan kebahagiaan kepada pihak-pihak lain…hal mana berbeda dengan manusia  dari segi fisik serta nalurinya yang tidak berbeda antara seorang dengan orang lain selama mereka semua adalah manusia.[25]
Dari keseluruhan pengertian tentang manusia yang telah dikemukakan dalam uraian di atas dapatlah diketahui dan dipahami bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan karunia akal, di samping pula bahwa manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan karunia akal, di samping pula bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari unsur rohani dan jasmani. Hal demikian seperti terdapat dalam QS. Shad : 71-72
øŒÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #ZŽ|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ   #sŒÎ*sù ¼çmçG÷ƒ§qy àM÷xÿtRur ÏmŠÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ  
71. (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah".
72. Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".

Dengan demikian adanya unsur-unsur jasmani dan rohani serta akal yang diberikan Allah SWT. Kepada manusia, menandakan manusia adalah sosok makhluk yang mulia di antara jenis makhluk lainnya. Namun demikian bila unsur-unsur yang dikaruniakan tersebut tidak dikembangkan ke arah yang lebih baik dari keadaannya semula boleh jadi manusia akan menempati suatu posisi atau derajat yang lebih rendah lagi daripada makhluk lainnya. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. At-Tin: 4-5:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ   ¢OèO çm»tR÷ŠyŠu Ÿ@xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ  
4. Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),

3.      Pengaktualisasian Fitrah melalui Proses Pendidikan
            Konsep pendidikan Islam yang bersumber dari ajaran al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Yang memandang fitrah sangat berbeda dengan konsep teori lain, yang menganggap manusia dilahirkan dalam keadaan netral sebagaimana yang dapat dipahami dari teori “Tabularasa” yang dikemukakan oleh John Lock yang dikutip oleh Prof. Dr. Singgih Gunarsah bahwa: pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan factor yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Isi jiwa anak ketika dilahirkan adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, artinya bagaimana nanti bentuk dan corak kertas  tersebut bergantung pada cara kertas tersebut ditulis. Lock mengemukakan istilah tabulrasa untuk mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap perkembangan anak.[26]
            Dalam pandangan yang dikemukakan tersebut, tersirat bahwa konsepsi tentang hakikat anak yang baru lahir, sesungguhnya tidak membawa sesuatu pun ia hanya diibaratkan sebagai kertas kosong atau sebuah kaset kosong yang masih harus diisi  atau ditulis sesuai dengan keinginan orang tua atau pendidik. Dengan demikian menurut pandangan ini corak kepribadian anak sangat ditentukan oleh bagaimana upaya dan keinginan pendidik dan pengaruh lingkungan terhadap anak. Sebagai kelanjutan penegasan pandangan di atas, Skiner menjelaskan: lingkungan menentukan individu, bahkan meski dia mengubah lingkungan. Manusia tidak membawa apa-apa saat lahirnya. Agama, sebagaimana halnya dengan aspek-aspek behavorial, kata mereka, dapat diterangkan dalam terma-terma factor lingkungan. Kenyataan banyak anak-anak muslim setelah dewasa menjadi manusia Kristen, diambil Skiner sebagai ilustrasi teorinya.[27]
            Konsep fitrah menurut pendidikan Islam bertujuan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Demikian pula pendidikan yang dilakukan oleh sekolah tidak boleh menjauhi atau bertentangan dangan konsep tersebut. Dalam hubungan ini Prof. Dr. Oemar Muhammad Al-Toumy al-Syaibany menegaskan:
            Bahwa perhatian utama pendidikan berpusat pada wujud insani; baik sebagai individu atau kumpulan sosial baik menyentuh aspek materialnya, pemikiran, kerohanian, kemasyarakatan, ekonomi, politik maupun seluruh persekitarannya yang ikut memberi kesan. Wujud insani inilah yang sebenarnya yang dipentingkan oleh pendidikan untuk menghasilkan perubahan yang dikehendaki.[28]
           
              Wujud upaya mengaktualisasikan fitrah dari dan melalui proses pendidikan menghendaki upaya tersebut secara kesinambungan antara pengaktualisasian unsure jasmani dan rohani. Sebab jika unsur yang satu dikembangkan sebagai upaya pengaktualisasian unsur-unsur tersebut sementara unsure lainnya tidak diperhatikan atau diabaikan akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang atau tidak utuh.
              Dengan demikian pendidikan (Islam) harus mampu menciptakan keseimbangan dan keserasian antara pengembangan unsure jasmani dan rohani manusia sesuai dengan fitrah kejadiannya.






















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Proses penciptaan manusia, diawali dari saripati tanah (saripati makanan yang dimakan manusia ) kemudian berproses menjadi air mani atau  spermatozoa (nuthfah)  yang bercampur dengan ovum atau gen sel reproduksi wanita yang tersimpan dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan sel dalam yang kemudian berproses menjadi segumpal darah, kemudian berproses menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakan-Nya tulang belulang yang dibalut dengan daging, kemudian diciptakan-Nya ruh dalam tubuh ciptaan-Nya serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal, dan celaka-bahagia bagi manusia. Peristiwa tersebut, diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim berproses selama 40 hari pada setiap fase.Tujuan penciptaan manusia:
Ø  Manusia sebagai Abd Allah (hamba Allah)
Ø  Manusia sebagai Khalifah Fi al- Ardl
2.      Fitrah secara bahasa adalah suci, mencipta/menjadikan. fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.
3.      Fitrah dapat menuntun proses kepribadian manusia dan pengaktualisasian fitrah itu sendiri dapat diasah melalui proses pendidikan

B.   Saran
Apabila dalam pembuatan makalah kami ini terdapat kekeliruan maka kami mohon maaf, dan diharapkan kiranya para pembaca dapat memberikan usul dan masukan dalam rangka menyempurnakan tulisan kami. Terima kasih.


DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Al-Syaibani, Oemar Mohammad al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
al-Ishfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
Ali Daud, Mohammadi, Pemdidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
Al-Naisabury , Omar Muhammad al-Toumy,  Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
 Arifin, M,  Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Bernadib, Imam, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet. V, Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998.
Fattah Jalal, Abdul, Min al-Ushul al-Tarbawiyah al-Islamiyah, 1997.
Freire, Paulo, Action For Freedom, USA: Penguin Education, 1971.
Gunarsah, Singgih, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet. II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982.
Hasan, Langgulung, Manusia Dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984.
________________, Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio Psikologi, Jakarta: PT Maha Grafindo, 1985.
Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
Ishak, Abu, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet. VIII, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta: UI Press, II, 1986.
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. IV, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1998.
Sutadipura, R. Prayana, Alam Pikiran, Bandung: Sumur, 1960.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
_________________, Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka, 1992.
Usman, M Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung: Mawar, 1970.
Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, Surabaya: Bina Ilmu, 1980.
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004).




[1] Mohammad Daud Ali, Pemdidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 10
[2] Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.75
[3] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam,( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 55
[4] Abu Ishak, dalam Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), h. 62
[5] Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001),
[6] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, II, 1986), h. 9-10
[7] Harun Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta: UI Press, II, 1986), h.
[8] R. Prayana Sutadipura, Alam Pikiran, (Bandung: Sumur, 1960), h. 154.
[9] Paulo Freire, Action For Freedom, (USA: Penguin Education, 1971,) h. 76-77.
[10] Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993), h. 303.
[11] Al-Raghib al-Ishfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 396.
[12] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan,( Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984), h.262-263.
[13] Hasan Langgulung,  Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio Psikologi,( Jakarta: PT Maha Grafindo, 1985)

[14] M Arifin,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993)

[15] Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, (Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7)
[16] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 285.
[17] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1998), h. 47.
[18] Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), (Cet. V, Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998), h. 57.
[19] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1998), h 154.
[20] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,(Cet. VIII, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1989), h. 66-67.
[21] Omar Muhammad al-Toumy, al-Naisabury, Falsafah Pendidikan Islam,(Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 20.
[22] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV. Remaja Karya Offset, 1998), h. 136.
[23] M Ali Usman, Manusia Menurut Islam,( Bandung: Mawar, 1970), h. 57.
[24] Syahminan Zaini, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 5-6.
[25] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Amanah,( Jakarta: Pustaka, 1992), h. 19-20.
[26] Singgih Gunarsah, Dasar dan Teori Pengembangan Anak,( Cet. II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982), h. 15-16.
[27] Abdur-Rahman Shalih abdulah, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut Al-Quran Serta Implementasinya,( Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991), h. 82.
[28] Oemar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan Langgulung dengan judul Falsafah Pendidikan Islam,( Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 20.


EmoticonEmoticon