BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebelum Allah menciptakan Adam sebagai manusia
pertama, alam semesta telah diciptakan-Nya dengan tatanan kerja teratur, rapi,
dan serasi. Manusia adalah makhluk yang sangat menarik.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT.,
yang termulia diantara sekian banyak makhluk ciptaan-Nya, merupakan makhluk yang
memiliki multi dimensi yang membawa berbagai potensi yang bersifat jasmani dan
rohani.
Oleh karena itu manusia telah menjadi sasaran
studi sejak dahulu, kini, dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan
tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri,
masyarakat dan lingkungan hidupnya.[1]
Potensi-potensi yang diberikan manusia tersebut
merupakan keunggulan yang mempunyai nilai yang sangat berharga terutama bagi
manusia itu sendiri dalam menjalankan fungsi dan tugas kekhalifahannya di bumi
ini. Hal ini dapat dibuktikan dalam QS al-Baqarah(2) : 31
zN¯=tæur tPy#uä uä!$oÿôF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJór'Î/ ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%Ï»|¹ ÇÌÊÈ
31. dan Dia mengajarkan kepada Adam
Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para
Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Manusia tidak sekadar memiliki semua unsur yang
ada pada makhluk lainnya, namun juga memiliki kualitas yang lebih tinggi dari
makhluk-makhluk manapun.
Potensi-potensi yang dimiliki manusia berupa
akal, indra, hati, nurani, kemauan serta naluri, tidak jarang diperselisihkan dalam
berbagai penafsiran. Dalam ajaran Islam ataupun dalam pandangan pendidikan
Islam potensi-potensi manusia sebagaimana yang dikemukakan tersebut sering
diistilahkan “Fitrah” dan beberapa pakar menafsirkannya dengan pengertian
potensi-potensi yang bersifat psikis dan fisik yang dimiliki oleh setiap anak
yang dilahirkan. Ada pula ahli mengartikan sebagai agama atau kesucian.
Sedangkan para ahli pendidikan meninjau perkembangan kejiwaannya berkaitan
dengan psikologi pendidikan sering menggunkan istilah potensi atau bakat dan
pembawaan, sehingga dalam psikologi perkembangan dikenal ada tiga aliran yang
membicarakan tentang potensi yang dimiliki anak, yaitu aliran nativisme,
empirisme, dan konvergensi.
Dari ketiga aliran tersebut masing-masing
mengemukakan argumentasinya dalam mempertahankan teorinya. Salah satu dari
ketiga aliran dalam psikologi pendidikan di atas adalah aliran konvergensi yang
memadukan dua pendapat yang saling bertolak belakang. Agaknya aliran ini
mendekati pemahaman tentang “Fitrah” dalam konsepsi pendidikan Islam. Pada
hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan
diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan
ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada
kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama yang benar. Inilah fitrah
manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan Islam. Namun hal ini masih
belum dapat diterima sepenuhnya dengan berbagai alasan yang didasari oleh
sumber yang menjadi landasan pendidikan Islam, yakni al-Quran dan hadis Nabi
Muhammad SAW. Oleh sebab itu kajiaan dan
telaah yang bertujuan untuk memahami tentang pengertian fitrah dalam pandangan
Islam dan fitrah atau potensi dalam istilah yang dipergunakan para ahli
pendidikan dan psikologi, sangat perlu dilakukan.
B.
Rumusan Masalah
Berangkat
dari latar belakang inilah penulis membagi permasalahan mengenai makalah kami
dalam beberapa hal untuk dibahas, agar tidak terjadi distorsi pemahaman bagi
pembaca sekalian. Adapun rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana proses dan
tujuan penciptaan manusia?
2.
Apakah pengertian
fitrah?
3.
Bagaimana fungsi
fitrah dalam pengembangan kepribadian manusia?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Proses dan Tujuan Penciptaan
Manusia
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia
ialah manusia itu merupakan perkaitan antara badan dan ruh. Badan dan ruh
masing-masing merupakan substansi yang berdiri sendiri, yang tidak tergantung
adanya oleh yang lain. Islam secara tegas mengatakan bahwa kedua substansi
(substansi = unsur asal sesuatu yang ada) dua-duanya adalah substansi alam.
Sedang alam adalah makhluk. Maka keduanya juga makhluk yang diciptakan oleh
SWT.[2]
Dibawah ini dikutipkan sebuah ayat suci
al-Quran yang menguraikan tentang proses kejadian manusia. Dalam hal ini Allah
SWT.berfirman dalam surat al-Mukminun : 12-14 :
ôs)s9ur $oYø)n=yz z`»|¡SM}$# `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ûüÏÛ ÇÊËÈ §NèO çm»oYù=yèy_ ZpxÿôÜçR Îû 9#ts% &ûüÅ3¨B ÇÊÌÈ ¢OèO $uZø)n=yz spxÿôÜZ9$# Zps)n=tæ $uZø)n=ysù sps)n=yèø9$# ZptóôÒãB $uZø)n=ysù sptóôÒßJø9$# $VJ»sàÏã $tRöq|¡s3sù zO»sàÏèø9$# $VJøtm: ¢OèO çm»tRù't±Sr& $¸)ù=yz tyz#uä 4 x8u$t7tFsù ª!$# ß`|¡ômr& tûüÉ)Î=»sø:$# ÇÊÍÈ
12. dan Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu
saripati (berasal) dari tanah.
13. kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang
disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).
14. kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah,
lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. kemudian Kami jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
sucilah Allah, Pencipta yang paling baik.
Proses penciptaan manusia, sebagaimana ayat
tersebut, diawali dari saripati tanah (saripati makanan yang dimakan manusia )
kemudian berproses menjadi air mani atau
spermatozoa (nuthfah) yang bercampur dengan ovum atau gen sel
reproduksi wanita yang tersimpan dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan sel
dalam yang kemudian berproses menjadi segumpal darah, kemudian berproses
menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakan-Nya tulang belulang yang
dibalut dengan daging, kemudian diciptakan-Nya ruh dalam tubuh ciptaan-Nya
serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal, dan celaka-bahagia bagi manusia. Peristiwa
tersebut, diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim berproses selama 40 hari pada
setiap fase.[3]
Dari penjelasan di atas, tergambar bahwa
penciptaan manusia dalam proses alami (sunnatullah) terdiri dari 2 aspek pokok,
yaitu
Ø Aspek material adalah jasmaniah (jasad), yaitu jisim manusia; tubuh,
badan. Abu Ishak menjelaskan bahwa jasmaniah ialah sesuatu yang tidak bisa
berpikir dan tidak dapat dilepaskan dari pengertian bangkai, dalam kehidupan
sehari-hari jasad manusia dipandang sebagai suatu yang tidak menentukan baik
atau buruknya manusia. Realitas jasad adalah manusia pokok, tanpa adanya jasad
tidak dapat dipahami adanya manusia, karena dengan jasadnya realitas manusia
dapat dilihat pada aktivitas dalam ruang dan waktu tertentu.[4]
Ø Aspek immaterial adalah rohaniah. Aspek rohaniah, tidak sama seperti
aspek jasmaniah. Aspek rohaniah sifatnya abstrak dan tidak dapat di
realitaskan.
Pada
saat itu manusia memiliki berbagai potensi, fitrah, dan hikmah yang hebat dan
unik, baik lahir maupun batin; bahkan pada setiap anggota tubuhnya, yang dapat
dikembangkan menuju peradaban manusia. Pendidikan dalam Islam, antara lain
diarahkan kepada pengembangan jasmani dan rohani manusia secara harmonis, serta
pengembangan fitrah manusia secara terpadu.[5]
Menurut
Abdul Fattah Jalal manusia memiliki alat-alat potensial yang di anugerahkan
oleh Allah untuk meraih ilmu pengetahuan. Diantaranya :
o
Al-lams dan al- Syum(alat peraba dan
alat penciuman) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-An’am ayat 7 dan QS,
Yusuf ayat 94 $£Js9ur ÏMn=|Ásù
çÏèø9$# ^$s%
öNèdqç/r& ÎoTÎ) ßÅ_V{ yxÍ
y#ßqã (
Iwöqs9 br& ÈbrßÏiZxÿè? ÇÒÍÈ
94. tatkala kafilah itu telah ke luar
(dari negeri Mesir) berkata ayah mereka: "Sesungguhnya aku mencium bau
Yusuf, Sekiranya kamu tidak menuduhku lemah akal (tentu kamu membenarkan
aku)".
o Al- sam’u (alat
pendengaran) sebagaimana frman Allah dalam QS. Al- Isra’ ayat 36
o wr ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
36. dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
o Al-Abshar
(penglihatan) sebagaimana firman Allah dalam QS. Yunus ayat 101
È@è% (#rãÝàR$# #s$tB Îû ÅVºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 $tBur ÓÍ_øóè? àM»tFy$# âäY9$#ur `tã 7Qöqs% w tbqãZÏB÷sã ÇÊÉÊÈ
101.
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. tidaklah
bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi
orang-orang yang tidak beriman".
o Al-‘Aql (akal)
sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
191.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
o
Al-Qalbu (hati) sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj
ayat 46
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
46. Maka
Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang
dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka
dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang
buta, ialah hati yang di dalam dada.
Pada
diri manusia terdapat al-Nafs (jiwa) yang tak mampu merelitaskannya. Dalam hal
ini Ibn Sina membagi al-Nafs pada tiga bagian, yaitu
v Al-Nafs al-nabatiyyat
(jiwa vegetatif), yang memiliki tiga daya yaitu : daya makan, daya tumbuh, daya
berkembangbiak.
v Al-nafs
al-hayawiyyat, memiliki dua daya, yaitu : daya gerak, daya mencerap atau
menangkap,
v Al-nafs al-insaniyyat
atau al nathiqat, yang memiliki dua daya yaitu : daya praktis yang berhubungan
dengan jasmani manusia dan daya teoritis yang berhubungan dengan hal-hal
abstrak.[6]
Dimensi
manusia ini memiliki potensi sesuai dengan naturnya masing-masing. Dimensi
jasmaniah, secara umum memiliki kesamaan antara manusia dengan makhluk lainnya,
yaitu sama-sama memiliki daya al-hayat (berkembang) secara alami, meskipun
tanpa adanya sentuhan dimensi rohaniah. Hal ini dapat terlihat dari proses
pembuahan manusia di alam rahim, namun demikian, ditinjau dari dimensi rohaniah
(dengan berbagai muatan potensinya)kemudian menjadi sarana bagi manusia untuk
mampu melakukan berbagai aktivitasnya, sekaligus menjadi pembeda antara manusia
dengan makhluk Allah SWT lainnya. Hanya saja manusia bisa terjerumus pada
kenistaan, apabila manusia tidak mampu mempergunakan dimensi ini sesuai dengan
ajaran yang telah digariskan Allah SWT.
Dalam
konteks ini, al-nafs memberikan pancaran kehidupan, sehingga manusia dapat
melakukan sejumlah aktivitas, maka Allah SWT memberikan kepadanya potensi
al-‘aql yang mampu memilah dan memilih mana yang baik dan yang buruk.
Eksistensi al-‘aql sebagai suatu potensi yang dimiliki manusia, merupakan daya
yang sanggup menerima pengertian, baik secara teoritis maupun praktis. Hal ini
disebabkan, karena ia memiliki daya kreativitas berfikir.[7]
Meskipun
dengan kemampuan akalnya manusia mampu mengenal dan menganalisa sesuatu, secara
langsung hanya terbatas pada realitas arti material. Sedangkan untuk memahami
arti immaterial, kemampuan akal cukup terbatas. Pada dimensi ini, akal
memerlukan bantuan al-qalbu. Sebab melalui potensi al-qalbu, manusia dapat
merasakan eksistensi arti immaterial dan kemudian menganalisanya lebih lanjut.[8]
Dengan persinggungan kedua kekuatan ini,
akhirnya manusia mampu mengenal Tuhannya dan meyakini akan ajaran
Tuhannya. Dengan berpegang pada ketentuan etika religius yang diyakini itu,
membuat manusia dapat menjalani kehidupannya secara baik dan serasi.
Perpaduan kedua aspek (jasmaniah dan rohaniah) tersebut
menjadikan manusia sebagai makhluk dinamis, mampu mengenal alam sekaligus
memanfaatkannya secara optimal bagi kemaslahatan umat manusia, serta mengenal
sejarah masa lalu dan berupaya memikirkan kehidupan masa depan yang lebih
proporsional. Oleh karena itu manusia juga disebut sebagai makhluk sejarah dan
sekaligus ikut dipengaruhi dan mempengaruhi sejarah hidupnya atau sesamanya.
Eksistensinya tidak hanya berada di dunia (bumi), akan tetapi secara aktif ikut
“berdialog” dengan alam semesta,[9]
sesuai dengan perkembangan yang dinamis.
Tujuan Penciptaan Manusia
Ketika Allah
menciptakan manusia, Dia mengumumkan bahawa Dia menciptakannya untuk menjadi
mulia dan memberinya nikmat , bukan untuk menghinanya dan menyegerakannya.Dia
suka hambaNya bersusah payah dalam beribadat dan ta'at kepadaNya.Tapi Dia tidak
suka mrelihat hambaNya membebani dirinya luar dari kemampuanya. Dia
membimbingnya agar bersikap sederhana dan tenang serta menerangkan kepadanya
bahawa mendekatkan diri kepadaNya bukanlah dengan cara mengharamkan diri
daripada kesenangan dan realiti hidup.
1.
Manusia sebagai Abd Allah (hamba
Allah)
Manusia dalam kehidupannya di muka bumi ini tidak bisa
terlepas dari kekuasaan yang transendental (Allah). Hal ini disebabkan, karena
manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan
fitrahnya. Pada masa purba, manusia mengasumsikannya lewat mitos yang
melahirkan agama animisme dan dinamisme. Namun bagaimanapun juga dengan
keterbatasan yang di miliki manusia membuktikan bahwa ia adalah makhluk yang
memiliki potensi untuk beragama. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Ar-Ruum : 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
30. Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus
kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya ciptaan
Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid.
kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka
tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Berdasarkan
ayat diatas, jelaslah bahwa bagaimanapun primitifnya suatu suku bangsa manusia,
mereka tetap mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya. Kepercayaan ini
diaplikasikan dengan penyembahan meskipun
sebatas yang cukup sederhana. Allah SWT. Berfirman dalam QS. Az-Zariyat
: 56
$tBur àMø)n=yz £`Ågø:$# }§RM}$#ur wÎ) Èbrßç7÷èuÏ9 ÇÎÏÈ
56. dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.
2.
Manusia sebagai Khalifah Fi al- Ardl
Manusia sebagai makhluk yang mulia, menempati posisi
yang istimewa yang diberikan Allah di muka bumi. Hal ini karena manusia
diciptakan dalam “citra Allah”,sehingga selayaknya manusia disebut sebagai
“mahkota ciptaan-Nya” atau sebagai “khalifah Allah di bumi” yang mewakili
Pencipta dalam ciptaan-Nya.[10]
Kedudukan manusia dimuka bumi ini disinyalir Allah SWT. Dalam QS. Al-Baqarah :
30
øÎ)ur tA$s% /u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù `tB ßÅ¡øÿã $pkÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
30.
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Bila
ayat tersebut di analisa lebih mendalam, maka akan terlihat bahwa manusia bukan
sekedar hiasan, akan tetapi, jauh dari itu manusia diberikan tugas untuk
memelihara ciptaan-Nya ini. Manusia diberi
kedudukan dan tanggungjawab. Konsekuensi dari kedudukan dan
tanggungjawab tersebut, maka manusia akan diminta pertanggungjawaban atas
segala aktivitas dilakukan dimuka bumi sebagai khalifah fi al-ardl.
B.
Pengertian Fitrah
Dalam dimensi pendidikan, keutamaan dan keunggulan
manusia disbanding dengan makhluk Allah lainnya, terangkum dalam fitrah. Secara bahasa fitrah berasal dari kata fathara
yang sepadan dengan kata khalaqa dan digunakan dalam Al-Qur’an untuk
menunjukkan pengertian mencipta/menjadikan[11] sesuatu yang
sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar (blue print) yang
perlu penyempurnaan.
Sebagian pendapat mengatakan bahwa
fitrah adalah naluri beragama yang diberikan Allah pada manusia sejak berada
dalam alam rahim, sesuai dengan firman Allah pada surat Al-A’raf ayat
172:
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ
مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَہُمۡ وَأَشۡہَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِہِمۡ أَلَسۡتُ
بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰۛ شَهِدۡنَآۛ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ
ٱلۡقِيَـٰمَةِ إِنَّا ڪُنَّا عَنۡ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ ۞
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini
Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi
saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Para
pemikir muslim lainnya, mencoba untuk mencari defenisi lain kata fitrah yang
lebih representative sesuai dengan kemampuan, fungsi, dan kedudukannya sebagai
makhluk Allah yang paling sempurna kejadiannya. Hasan Langgulung mengartikan fitrah
tersebut sebagai potensi-potensi yang dimiliki manusia. Potensi-potensi
tersebut merupakan sesuatu keterpaduan yang tersimpul dalam al- asma’ al-husna Allah.[12] Pendapat tersebut berarti bahwa
apabila Allah memiliki sifat al-Bashar (maha melihat) maka
manusia pun juga memiliki potensi melihat. Namun potensi tersebut tidak bisa disetarakan,
karena manusia memiliki keterbatasan (melihat), sedangkan Allah tidak memiliki
keterbatasan, bisa melihat yang tampak hingga yang tersembunyi sekalipun.
Sedangkan manusia hanya bisa melihat sejauh kemampuan inderanya. Begitu juga
dengan potensi-potensi yang lain.[13]
Untuk
mengaktifkan potensi tersebut, maka Allah menjadikan alam dan seluruh isinya -
termasuk diri manusia sendiri - sebagai ayat-ayat Allah (ayat kauniyah)
yang luas untuk dibaca dan dianalisa maknanya Dengan pemaknaan tersebut, manusia
mampu menempatkan dirinya pada posisi yang hakiki, baik secara
individual-vertikan sebagai ‘abd Allah maupun individual
–horizontal sebagai kholifah fi al-ardh. Untuk mengaktualkan
potensi-potensi tersebut, Allah telah melengkapi pada diri manusia dengan
roh-Nya berbagai alat, baik jasmani maupun rohani, yang menunjang perkembangan
potensi-potensi yang dimilikinya secara maksimal. Potensi-potensi
tersebut diberikan pada manusia agar manusia bisa hidup dengan harmonis dan
dapat mempertanggungjawabkan atas segala potensi-potensi yang telah mereka
gunakan, sebagaimana firman Allah :
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ
ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـٰٓٮِٕكَ كَانَ عَنۡهُ
مَسۡـُٔولاً۬۞
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan, dan hati, semua itu akan di minta pertanggung jawabnya“.(QS.
Al-Isra’: 36).
Oleh karena itu, Allah
menganugerahkan potensi-potensi yang dapat membawa mereka menjadi kholifah
fi al-ardh yang baik dan bertanggung jawab, yang juga dapat memakmurkannya.
Hubungan Fitrah dan Pendidikan Islam
Allah telah memberikan fitrah pada
manusia saat manusia belum terlahir di alam dunia ini, sehinnga manusia membawa
fitrahnya saat ia dilahirkan di dunia. Fitrah yang dibawanya bersamaan dengan
terlahirnya manusia tersebut belum sepenuhnya teraktualisasi, hingga alam
sekitar mempengaruhi fitrah manusia tersebut.
Faktor yang pertama kali berpengaruh
pada manusia yang baru terlahir ke dunia adalah faktor lingkungan,
terutama lingkungan keluarga. Hal ini sesuai dengan hadits:
كلّ مولود يولد على الفترة ، فأبواه يهود نه أو ينصرانه
أو يمجسانه (رواه الأسود بن شريع)
Artinya: “setiap anak (manusia)
itu terlahir dalam fitrahnya. Kedua orangtuanya lah yang akan mewarnai (anak)
nya, apakah menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi". (HR.
Aswad bin Sari’).
Berdasarkan hadits di atas bisa kita katakan bahwa
yang namanya fitrah sebenarnya baik, tapi ada pengaruh setelah ia trelahir ke
dunia, hinga fitrah tersebut tergantung pada baik buruknya pengaruh dari orang
tuanya..
Ada pula segolongan ahli fikir
berpendapat berpendapat bahwa kanak-kanak dilahirkan seperti kertas putih, atau
tabula rasa, tak punya potensi-potensi, ia akan berkembang dengan pengaruh alam
sekitar, termasuk ibu bapak, guru-guru, institusi pendidikan dan lain-lain,
alam sekitarnyalah yang berkuasa membentuknya sekehendaknya, adapun si anak
tidak punya daya apa-apa.
Antara hadits dan pendapat di atas
sama-sama berpendapat bahwa lingkungan dapat mempengaruhi fitrah
manusia. Pertama anak mendapat pengaruh dari keluarganya (Orang tua), lalu
teman sebayanya, lingkungan masyarakat, lalu ia akan mendapat pengaruh juga
dari lingkungan pendidikannya.[14]
Menurut Ibn Taimiyah sebagaimana disitir Juhaja S.
Praja, pada diri manusia terdapat tiga potensi (fitrah), yaitu :
1.
Daya intelektual yaitu potensi dasar
yang memungkinkan manusia dapat membedakan nilai baik dan buruk.
2.
Daya ofensif yaitu potensi dasar
yang dimiliki manusia yang mampu menginduksi obyek-obyek yang menyenangkan dan
bermanfaat bagi kehidupannya, baik secara jasmaniah maupun rohaniah secara
serasi dan seimbang.
3.
Daya defensif yaitu potensi
dasar yang dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan yang membahayakan
dirinya.[15]
Secara lebih komprehensif, Muhammad
bin Asyur, sebagaimana disitir M.Quraish Shihab mendefenisikan fitrah adalah
bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah
yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia
yang berkaitan dengan kemampuan jasmani dan akalnya.[16] Daya
Intelektual (al-‘aql) memiliki posisi paling penting di antara ketiga
posisi tersebut di atas, karena akal menjadi pemegang kendali atas kedua
potensi yang lain.
Inilah fungsi pendidikan Islam bagi
manusia. Apabila manusia tidak terdidik, maka ia akan salah arah dalam
mengendalikan fitrah atau potensi-potensi yang dimilikinya. Karena ia belum
mengetahui mana yang benar dan yang salah. Namun setelah manusia tersebut
mendapatkan pendidikan, terutama Pendidikan Islam, maka ia tidak akan
keliru dalam memegang kendali utamanya (quwwat al-‘aql), sehingga ia
juga dapat menentukan arah potensi-potensi yang lain menuju arah yang baik dan
manusia tersebut dapat benar-benar menjadi khalifah fi al-ardh yang
dapat mengembangkan dan menjadikan bumi ini lebih baik.
C.
Fungsi Fitrah dalam Pengembangan Kepribadian Manusia
1.
Konsep kepribadian Manusia
Menurut asal katanya, kepribadian atau
personality berasal dari bahasa Latin “personare” yang berarti mengeluarkan
suara. Sedangkan menurut istilah digunakan untuk menunjukkan suara dari
percakapan seorang pemain sandiwara di mana suara pemain sandiwara itu
diproyeksikan, kemudian kata persona itu berarti pemain sandiwara itu sendiri.
Namun demikian menurut
sejarah bahwa kata persona yang pertama kali berarti topeng, kemudian diartikan
pemainnya itu sendiri yang memainkan peranan seperti digambarkan dalam topeng
tersebut. Akhir kata persona itu menunjukkan pengertian tentang kualitas dari
watak atau karakter yang dimainkan di dalam sandiwara itu. Kini kata personalia
oleh para ahli psikologi dipakai untuk menunjukkan sesuatu yang nyata dan dapat
dipercaya tentang individu, untuk manggambarkan bagaimana dan apa sebenarnya
individu itu.
Sesuai dengan apa yang
dimaksudkan oleh ahli psikologi Sartain mengenai kepribadian:
Istilah “personality” ialah menunjukkan suatu
organisasi/susunan dari pada sifat-sifat
dan aspek tingkah laku lainnya yang saling berhubungan di dalam individu.[17]
Dari sifat dan aspek
ini bersifat psiko-fisik yang menyebabkan individu berbuat dan bertindak
seperti apa yang dilakukan, dan menunjukkan adanya cirri-ciri khas yang
membedakan individu itu dengan individu yang lain, termasuk didalamnya
sikapnya, kepercayaannya, nilai-nilai dan cita-citanya, pengetahuan dan
keterampilannya, macam-macam cara gerak tubuhnya, dan sebagainya.
Dalam pergaulan dan
percakapan sehari-hari tidak jarang kita mendengar dan bahkan menggunakan kata
pribadi atau kepribadian itu, tanpa memikirkan lebih lanjut apa arti
sesungguhnya dari kata tersebut. Kata pribadi sering diartikan sebagai
individu, seseorang yang berdiri sendiri terlepas dari individu yang lain.
Biasanya pula dapat diartikan sebagai pola-pola tingkah laku manusia yang
berhubungan dengan norma-norma tentang baik dan buruk atau dengan kata lain,
kata pribadi atau kepribadian itu dipakai untuk menunjukkan adanya cirri-ciri
khas yang ada pada seseorang. Sejalan dengan hal tersebut Bogolousky dalam
bukunya Ideal School yang dikutip oleh Imam Bernadib menegaskan
bahwa : kepribadian yakni bagian yang bertujuan pembentukan kepribadian dalam
arti riil yang tidak bertentangan dengan keprbadian yang ideal. Diusahakan agar
faktor-faktor fisik, fisiologis, emosional, dan intelektual sebagai
keseluruhan, dapat berkembang harmonis dan organis sesuai dengan kemanusiaan
yang ideal tersebut.[18]
Sejalan dengan itu
pula menurut Crow sebagaimana yang dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto yang
menunjukkan bagaimana ahli-ahli psikologi itu membuat rumusan menurut caranya
masing-masing, seperti terlihat pada ungkapan “bahwa kepribadian atau
personality itu dinamis, tidak statis atau tetap saja tanpa perubahan. Ia
menunjukkan tingkah laku yang terintegrasi dan merupakan interaksi antara
kesanggupan-kesanggupan bahwa bawaan yang ada pada individu dengan
lingkungannya. Ia bersifat psikofisik, yang berarti baik factor jasmani maupun
rohani individu itu bersama-sama memegang peranan kepribadian ia juga bersifat
unik, artinya kepribadian seseorang sifatnya khas, mempunyai cirri-ciri tertentu
yang membedakan dari individu yang lain”.[19]
Menurut pandangan yang
dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba: kepribadian adalah lebih luas artinya
meliputi kualitas keseluruhan dari seseorang. Kualitas itu akan tampak dalam
cara-caranya berbuat, berpikir, mengeluarkan pendapat, sikapnya, misalnya
filsafat hidupnya serta kepercayaannya.[20]
Dengan demikian dapat
dipahami bahwa betapa luas pengertian dari kepribadian itu, namun demikian ada
beberapa aspek yang dapat dilihat dalam memahami sifat-sifat dan unsur-unsur
yang terdapat dalam pengertian kepribadian tersebut yang dapat diuraikan lebih
lanjut.
a. Sifat
Kata “Sifat” Traits,
dalam istilah psikologi, memiliki arti sebagai ciri-ciri tingkah laku yang
tetap atau hampir tetap pada setiap individu, seperti: pemarah, pembohong dan
lain-lain, yang semuanya itu sering muncul sehingga menjadi semacam suatu ciri
khas dari tingkah laku seseorang.
Dari sekian perbuatan
yang lahir dari seseorang tersebut maka dapatlah diketahui tentang sifat-sifat
orang tersebut. Osmar Muhammad al-Toumy As-Syaibany, mengulas sifat manusia
ini: proses membentuk identitas sifat dan watak atau mengubah dan memupuk serta
memajukan cirri-cirinya yang unik dinamakan sosialisasi, atau proses
“pemasyarakatan”. Mudah atau susahnya
proses ini bergantung pada usia dan cara yang digunakan untuk sampai kepada
tujuan.[21]
b. Sikap
Penggunaan kata
“sikap” secara sembarangan saja seperti orang berkata kurang ajar, sikapnya
lemah, sikap badannya kurang tegar dapat mengaburkan arti yang sebenarnya dari
kata itu. Sikap atau yang dalam bahasa inggris disebut “attitude” adalah suatu cara bereaksi dengan cara tertentu terhadap
suatu perangsang.
Suatu kecendrungan
untuk bereaksi dengan cara tertentu terhadap sesuatu perangsang ataupun situasi
yang dihadapi. Hal ini dapat dilihat dari reaksi seseorang jika ia terkena
sesuatu rangsangan baik mengenai orang, benda-benda ataupun situasi yang
mengenai dirinya. Jadi sikap adalah suatu perbuatan atau tingkah laku sebagai
reaksi atau respons terhadap sesuatu rangsangan atau stimulus yang disertai
dengan pendirian dan atau perasaan orang itu.
Ellis mengemukakan
mengenai sikap sebagaimana dikutip oleh M. Ngalim Poerwanto bahwa: yang sangat
memegang peranan penting didalam sikap ialah faktor perasaan atau emosi dan
faktor kedua adalah reaksi/respon, atau kecenderungan untuk bereaksi. Dalam
beberapa hal, sikap merupakan penentu yang penting dalam tingkah laku manusia.
Sebagai reaksi maka sikap selalu melaksanakannya atau menjauhi/menghindari
sesuatu.[22]
2.
Fitrah Menuntun Proses Kepribadian Manusia
Agar dapat memahami tentang fungsi dan peranan
Fitrah dalam menuntun proses perkembangan kepribadian manusia, lebih awal
dibutuhkan pengetahuan tentang pengertian manusia itu sendiri kaitannya dengan
upaya pengembangan dimaksudkan, melalui pengertian-pengertiannya akan dapat
dipahami sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat mengena pada
sasaran akahir serta aspek-aspek apa yang menjadi garapan dalam proses
pengembangan kepribadian manusia. Untuk itu melalui uraian di bawah ini kedua ini kedua hal tersebut akan
diuraikan secara terpisah di mana untuk uraian mengenai fitahal tersebut akan
diuraikan secara terpisah di mana untuk uraian mengenai fitrah itu sendiri
dalam pembahasan ini hrah itu sendiri dalam pembahasan ini hanya merupakan
penekanan kembali berkaitan dengan hubungannya dengan pentingnya factor fitrah
dalam memberikan tuntunan terhadap proses perkembangan kepribadian.
Dalam kehidupan sehari-hari dalam
lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat dan di mana saja bila ditanyakan
kepada seseorang perihal pengertian manusia akan ditemukan jawaban yang ada itu
bila disimpulkan, maka manusia itu adalah makhluk hidup sebagaimana dengan
makhluk ciptaan Allah SWT. Yang lain,
namun diberikan akal sebagai pembeda dari makhluk lainnya.
Menurut I. Sugriwa, manusia itu
terdiri dari dua suku kata, yaitu: “Manus dan Ia. Manus artinya roh/jiwa dan
artinya tubuh kasar.”[23]
Dalam pengertian ini dapat dipahami bahwa manusia adalah sosok makhluk yang
terdiri dari dua jenis unsur tubuh yaitu tubuh kasar adalah jasadnya; daging
dan tulang belulang dan tubuh halus adalah jiwa atau nyawa. Sehingga dengan
demikian pula dapat di manapun berada sebelum meninggal, kedua unsur tersebut
senantiasa tak terpisahkan antara satu dengan lainnya.
Adi Negoro menghimpun dari berbagai
pakar yang menghimpun dari berbagai pakar yang menyimpulkan tentang pengertian
manusia sebagaimana yang dikutip oleh Syahminan Zaini menguraikan:
1. Homo Sapiens, kata Linnaeus, artinya makhluk
yang mempunyai budi(akal).
2. Homo Loquen, kata Revasz dalam Das Problem des Ursprugs der sprache, yaitu
makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan
dalam kata-kata yang tersusun.
3. Homo Religious, yaitu manusia dasarnya
beragama.
4. Homo Divinan, yaitu manusia itu khalifah Tuhan.
5. Homo Delegaus,yaitu manusia adalah makhluk yang
bisa menyerahkan kerja dan kekuasaannya pada orang lain dia bisa berwakil,
berwali.[24]
Pengertian di atas pada dasarnya melihat manusia dari berbagai aspeknya;
baik social, pribadi, beragama, berkuasa maupun manusia sebagai makhluk yang
dapat dipimpin dan diarahkan oleh manusia lainnya.
Sedangkan dari konsep Islam, perkataan manusia berasal dari kata “al-insan” sedangkan kata ”basyar” ini sebagaimana penjelasan
yang dikemukakan oleh Dr. M. Quraish Shihab, MA sebagai berikut: kata
“al-insan” yang diterjemahkan dengan manusia terambil dari akar “uns” yang berarti senang, jinak dan
harmonis, atau terambil daripada akar “nasiya”
yang berarti lupa, ada juga pendapat yang mengembalikan akar katanya kepada “naunus” yang berarti pergerakan atau
dinamis. Makna-makna tersebut paling tidak memberikan gambaran sepintas tentang
potensi atau sifat makhluk tersebut, yakni: bahwa manusia memiliki potensi
untuk lupa, atau memiliki kemampuan bergerak yang melahirkan dinamisme atau
makhluk yang selalu atau sewajarnya melahirkan rasa senang, harmonisme dan
kebahagiaan kepada pihak-pihak lain…hal mana berbeda dengan manusia dari segi fisik serta nalurinya yang tidak
berbeda antara seorang dengan orang lain selama mereka semua adalah manusia.[25]
Dari keseluruhan pengertian tentang manusia yang telah dikemukakan dalam
uraian di atas dapatlah diketahui dan dipahami bahwa manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT dengan karunia akal, di samping pula bahwa
manusia merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT dengan karunia akal,
di samping pula bahwa manusia merupakan makhluk yang terdiri dari unsur rohani
dan jasmani. Hal demikian seperti terdapat dalam QS. Shad : 71-72
øÎ) tA$s% y7/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) 7,Î=»yz #Z|³o0 `ÏiB &ûüÏÛ ÇÐÊÈ #sÎ*sù ¼çmçG÷§qy àM÷xÿtRur ÏmÏù `ÏB ÓÇrr (#qãès)sù ¼çms9 tûïÏÉf»y ÇÐËÈ
71.
(ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat: "Sesungguhnya aku
akan menciptakan manusia dari tanah".
72.
Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh
(ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadaNya".
Dengan demikian adanya unsur-unsur jasmani dan rohani serta akal yang
diberikan Allah SWT. Kepada manusia, menandakan manusia adalah sosok makhluk
yang mulia di antara jenis makhluk lainnya. Namun demikian bila unsur-unsur
yang dikaruniakan tersebut tidak dikembangkan ke arah yang lebih baik dari
keadaannya semula boleh jadi manusia akan menempati suatu posisi atau derajat
yang lebih rendah lagi daripada makhluk lainnya. Hal ini sebagaimana firman
Allah SWT dalam QS. At-Tin: 4-5:
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OÈqø)s? ÇÍÈ ¢OèO çm»tR÷yu @xÿór& tû,Î#Ïÿ»y ÇÎÈ
4.
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .
5.
kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka),
3.
Pengaktualisasian Fitrah melalui Proses
Pendidikan
Konsep pendidikan Islam yang
bersumber dari ajaran al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Yang memandang
fitrah sangat berbeda dengan konsep teori lain, yang menganggap manusia
dilahirkan dalam keadaan netral sebagaimana yang dapat dipahami dari teori
“Tabularasa” yang dikemukakan oleh John Lock yang dikutip oleh Prof. Dr.
Singgih Gunarsah bahwa: pengalaman dan pendidikan bagi anak merupakan factor
yang paling menentukan dalam perkembangan anak. Isi jiwa anak ketika dilahirkan
adalah ibarat secarik kertas yang masih kosong, artinya bagaimana nanti bentuk
dan corak kertas tersebut bergantung
pada cara kertas tersebut ditulis. Lock mengemukakan istilah tabulrasa untuk
mengungkapkan pentingnya pengaruh pengalaman dan lingkungan hidup terhadap
perkembangan anak.[26]
Dalam pandangan yang dikemukakan
tersebut, tersirat bahwa konsepsi tentang hakikat anak yang baru lahir,
sesungguhnya tidak membawa sesuatu pun ia hanya diibaratkan sebagai kertas
kosong atau sebuah kaset kosong yang masih harus diisi atau ditulis sesuai dengan keinginan orang
tua atau pendidik. Dengan demikian menurut pandangan ini corak kepribadian anak
sangat ditentukan oleh bagaimana upaya dan keinginan pendidik dan pengaruh
lingkungan terhadap anak. Sebagai kelanjutan penegasan pandangan di atas, Skiner
menjelaskan: lingkungan menentukan individu, bahkan meski dia mengubah
lingkungan. Manusia tidak membawa apa-apa saat lahirnya. Agama, sebagaimana
halnya dengan aspek-aspek behavorial, kata mereka, dapat diterangkan dalam
terma-terma factor lingkungan. Kenyataan banyak anak-anak muslim setelah dewasa
menjadi manusia Kristen, diambil Skiner sebagai ilustrasi teorinya.[27]
Konsep fitrah menurut pendidikan
Islam bertujuan memperkuat hubungan dengan Allah SWT. Demikian pula pendidikan
yang dilakukan oleh sekolah tidak boleh menjauhi atau bertentangan dangan
konsep tersebut. Dalam hubungan ini Prof. Dr. Oemar Muhammad Al-Toumy
al-Syaibany menegaskan:
Bahwa
perhatian utama pendidikan berpusat pada wujud insani; baik sebagai individu
atau kumpulan sosial baik menyentuh aspek materialnya, pemikiran, kerohanian,
kemasyarakatan, ekonomi, politik maupun seluruh persekitarannya yang ikut
memberi kesan. Wujud insani inilah yang sebenarnya yang dipentingkan oleh
pendidikan untuk menghasilkan perubahan yang dikehendaki.[28]
Wujud upaya
mengaktualisasikan fitrah dari dan melalui proses pendidikan menghendaki upaya
tersebut secara kesinambungan antara pengaktualisasian unsure jasmani dan
rohani. Sebab jika unsur yang satu dikembangkan sebagai upaya pengaktualisasian
unsur-unsur tersebut sementara unsure lainnya tidak diperhatikan atau diabaikan
akan melahirkan pribadi yang tidak seimbang atau tidak utuh.
Dengan demikian
pendidikan (Islam) harus mampu menciptakan keseimbangan dan keserasian antara
pengembangan unsure jasmani dan rohani manusia sesuai dengan fitrah
kejadiannya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Proses penciptaan manusia, diawali
dari saripati tanah (saripati makanan yang dimakan manusia ) kemudian berproses
menjadi air mani atau spermatozoa (nuthfah) yang bercampur dengan ovum atau gen sel
reproduksi wanita yang tersimpan dalam rahimnya, kemudian terjadi pembuahan sel
dalam yang kemudian berproses menjadi segumpal darah, kemudian berproses
menjadi segumpal daging untuk kemudian diciptakan-Nya tulang belulang yang
dibalut dengan daging, kemudian diciptakan-Nya ruh dalam tubuh ciptaan-Nya
serta menetapkan ilmu, rezeki, ajal, dan celaka-bahagia bagi manusia. Peristiwa
tersebut, diriwayatkan Imam Bukhori dan Muslim berproses selama 40 hari pada setiap
fase.Tujuan
penciptaan manusia:
Ø
Manusia sebagai Abd Allah (hamba
Allah)
Ø
Manusia sebagai Khalifah Fi al- Ardl
2. Fitrah secara
bahasa adalah suci, mencipta/menjadikan. fitrah adalah bentuk dan sistem yang
diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan
manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan
kemampuan jasmani dan akalnya.
3. Fitrah dapat
menuntun proses kepribadian manusia dan pengaktualisasian fitrah itu sendiri
dapat diasah melalui proses pendidikan
B.
Saran
Apabila
dalam pembuatan makalah kami ini terdapat kekeliruan maka kami mohon maaf, dan
diharapkan kiranya para pembaca dapat memberikan usul dan masukan dalam rangka
menyempurnakan tulisan kami. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdur-Rahman Shalih, Landasan dan Tujuan Pendidikan Menurut
Al-Quran Serta Implementasinya, Cet. I, Bandung: CV. Diponegoro, 1991.
Al-Syaibani, Oemar Mohammad
al-Toumy, Falsafah Tarbiyah al-Islamiyah,
diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung dengan judul Falsafah
Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
al-Ishfahaniy, Al-Raghib, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, Beirut:
Dar al-Fikr, 1972.
Ali Daud, Mohammadi, Pemdidikan Agama Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998.
Al-Naisabury , Omar Muhammad
al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Arifin, M, Ilmu Pendidikan
Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Bernadib, Imam, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem dan Metode), Cet. V,
Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998.
Fattah
Jalal, Abdul, Min al-Ushul
al-Tarbawiyah al-Islamiyah, 1997.
Freire,
Paulo, Action For Freedom, USA:
Penguin Education, 1971.
Gunarsah, Singgih, Dasar dan Teori Pengembangan Anak, Cet.
II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982.
Hasan, Langgulung, Manusia Dan
Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1984.
________________, Pendidikan
dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio Psikologi, Jakarta: PT Maha
Grafindo, 1985.
Ibn Taimiyah, dalam Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn Taimiyyah, Jurnal
UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7
Ishak, Abu, dalam
Musa Asy’arie, Manusia Pembentuk
Kebudayaan dalam Al-Quran, Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992.
Marimba, Ahmad D, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Cet.
VIII, Bandung: PT.Al-Ma’arif, 1989.
Muhaimin, et.al, Paradigma
Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2001.
Nasution, Harun,
Akal dan Wahyu Dalam Islam, Jakarta:
UI Press, II, 1986.
Nizar, Samsul, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan
Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Purwanto, M. Ngalim, Psikologi Pendidikan, Cet. IV, Bandung:
CV. Remaja Karya Offset, 1998.
Sutadipura,
R. Prayana, Alam
Pikiran, Bandung: Sumur, 1960.
Schuman, Olaf, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, Jakarta: Gramedia Widiasarana,
1993.
Shihab, M.Quraish, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas
Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1996.
_________________,
Tafsir al-Amanah, Jakarta: Pustaka,
1992.
Usman, M
Ali, Manusia Menurut Islam, Bandung:
Mawar, 1970.
Zaini, Syahminan, Mengenal Manusia Lewat al-Quran, Surabaya:
Bina Ilmu, 1980.
Zuhairini,
dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Cet.
III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004).
[1]
Mohammad Daud Ali, Pemdidikan Agama
Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1998), h. 10
[2]
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan
Islam, (Cet. III, Jakarta: Bumi Aksara, 2004), h.75
[3]
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar
Pemikiran Pendidikan Islam,( Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001), h. 55
[4] Abu
Ishak, dalam Musa Asy’arie, Manusia
Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Quran, (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat
Islam, 1992), h. 62
[5]
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan
Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah,( Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001),
[6] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta:
UI Press, II, 1986), h. 9-10
[7] Harun
Nasution, Akal dan Wahyu Dalam Islam, (Jakarta:
UI Press, II, 1986), h.
[8] R.
Prayana Sutadipura, Alam Pikiran, (Bandung:
Sumur, 1960), h. 154.
[10] Olaf Schumann, Pemikiran Keagamaan dalam Tantangan, (Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1993), h. 303.
[11] Al-Raghib al-Ishfahaniy, Mu’jam Mufradat al-Fazh al-Quran, (Beirut: Dar al-Fikr, 1972), h. 396.
[13] Hasan Langgulung, Pendidikan dan Peradaban Islam
Suatu Analisa Sosio Psikologi,( Jakarta: PT Maha Grafindo, 1985)
[15] Ibn Taimiyah, dalam
Juhaja S. Praja, Epistemologi Ibn
Taimiyyah, (Jurnal UJurnal Ulumul Quran Vol. II, 1990/1411 H. No. 7)
[16] M.Quraish Shihab, Wawasan al-Quran; Tafsir Maudhu’I Atas
Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996), h. 285.
[17] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV.
Remaja Karya Offset, 1998), h. 47.
[18] Imam Bernadib, Filsafat Pendidikan, (Pengantar Sistem
dan Metode), (Cet.
V, Yogyakarta: PT. Andi Offset, 1998), h. 57.
[19] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV.
Remaja Karya Offset, 1998), h 154.
[20] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,(Cet. VIII, Bandung:
PT.Al-Ma’arif, 1989), h. 66-67.
[21] Omar Muhammad al-Toumy,
al-Naisabury, Falsafah Pendidikan Islam,(Cet. I, Jakarta: Bulan
Bintang, 1979),
h. 20.
[22] M. Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, (Cet. IV, Bandung: CV.
Remaja Karya Offset, 1998), h. 136.
[26] Singgih Gunarsah, Dasar dan Teori Pengembangan Anak,( Cet. II, Jakarta: Gunung Mulia, 1982), h. 15-16.
[27] Abdur-Rahman Shalih
abdulah, Landasan dan Tujuan Pendidikan
Menurut Al-Quran Serta Implementasinya,(
Cet. I, Bandung: CV.
Diponegoro, 1991), h. 82.
[28] Oemar Mohammad al-Toumy
al-Syaibani, Falsafah Tarbiyah
al-Islamiyah, diterjemahkan oleh Hasan
Langgulung dengan judul Falsafah
Pendidikan Islam,( Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 20.
EmoticonEmoticon