BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejarah
adalah suatu peristiwa yang sangat bermakna sebab dilihat dari makna sejarah
itu sendiri ialah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa
penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan
akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir
secara historis. Orang yang mengkhususkan diri mempelajari sejarah atau ahli
sejarah disebut sejarawan. Pendidikan Islam di Indonesia telah
berlangsung sejak masuknya islam ke Indonesia. Menurut catatan sejarah masuknya
islam ke Indonesia dengan damai berbeda dengan daerah-daerah lain kedatangan
islam di lalui lewat peperangan, seperti Mesir, Irak Parsi dan beberapa daerah
lainnya. Peranan para pedagang dan mubalig sangat besar sekali andilnya dalam
proses Islamisasi di Indonesia. Salah satu jalur proses Islamisasi itu adalah
pendidikan. Hakikat pendidikan itu adalah pembentukan manusia ke arah yang di
cita-citakan. Dengan demikian pendidikan Islam adalah proses pembentukan
manusia kearah yang di cita-citakan Islam. Para pedagang atau mubalig adalah
orang yang melakukan aktivitas pendidikan. Esensi dari pendidikan itu adalah
dengan melihat unsur dasar pendidikan. Melihat kepada pendidikan Islam di
Indonesia, maka dapat dilihat bahwa pendidikan islam tersebut telah banyak
memainkan peranannya dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.[1]
B.
Rumusan
masalah
1. Bagaimana
konsep otonomi pendidikan dalam sejarah?
2. Bagaimana
konsep otonomi & aplikasinya pada masyarakat?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Otonomi Pendidikan dalam Sejarah
Otonomi
atau autonomy berasal dari bahasa Yunani
autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti Hukum atau aturan . Dalam konteks etimologis ini ada beberapa pengertian tentang otonomi. Otonomi
diartikan sebagai ‘perundangan sendiri’,‘mengatur atau memerintah sendiri’
menurut perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti
juga mengandung pengertian ‘pemerintahan’. Secara konseptual banyak konsep
tentang otonomi di antaranya otonomi sebagai hak mengatur dan memerintah daerah
sendiri, hak mana diperoleh dari pemerintah pusat selain itu otonomi daerah
adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan khusus da erah,
dengan keuangan sendiri, menentukan hukum sendiri, dan pemerintahan sendiri. Otonomi
juga diartikan sebagai hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga daerah. Otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian.[2] Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Menurut
Horton dan Hunt, lembaga pendidikan berkaitan dengan fungsi yang nyata
(manifes) berikut:
1) Mempersiapkan anggota masyarakat
untuk mencari nafkah.
2)
Mengembangkan
bakat perseorangan demi kepuasan pribadi dan bagi kepentingan masyarakat.
3)
Melestarikan
kebudayaan.
4)
Menanamkan
keterampilan yang perlu bagi partisipasi dalam demokrasi.
Fungsi
laten lembaga pendidikan adalah sebagai berikut.
1) Mengurangi pengendalian orang tua.
Melalui pendidikan, sekolah orang tua melimpahkan tugas dan wewenangnya dalam
mendidik anak kepada sekolah.
2) Menyediakan sarana untuk
pembangkangan. Sekolah memiliki potensi untuk menanamkan nilai pembangkangan di
masyarakat. Hal ini tercermin dengan adanya perbedaan pandangan antara sekolah
dan masyarakat tentang sesuatu hal, misalnya pendidikan seks dan sikap terbuka.
3) Mempertahankan sistem kelas sosial.
Pendidikan sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan kepada para anak didiknya
untuk menerima perbedaan dan status yang ada dalam masyarakat. Sekolah juga
diharapkan menjadi saluran mobilitas siswa ke status sosial yang lebih tinggi
atau paling tidak sesuai dengan status orang tuanya.
Dalam konteks otonomi pendidikan,
secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya
bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah,
sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam
mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. [3]Namun
sejak dilaksanakannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum
berjalan sebagaimana diharapkan, justru pemberlakuan otonomi membuat banyak
masalah yaitu mahalnya biaya pendidikan.
Sedangkan, pengertian otonomi
pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya
pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat
diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai
dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Pengertian otonomi dalam konteks
desentralisasi pendidikan, menurut Tilaar mencakup enam aspek, yakni:
(1) Pengaturan perimbangan
kewenangan pusat dan daerah,
(2) Manajemen partisipasi masyarakat
dalam pendidikan,
(3) Penguatan kapasitas manajemen
pemerintah daerah,
(4) Pemberdayaan bersama sumber daya
pendidikan,
(5) Hubungan kemitraan
“stakeholders” pendidikan.
(6) Pengembangan infrastruktur
sosial
Otonomi pendidikan menurut
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap
pada bab Hak dan Kewajiban Warga Negara orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada
bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan ; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber
daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan
Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan
Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas
tahun”.[4]
Khusus ketentuan bagi Perguruan Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan
Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada
masyarakat”.
Dari penjelasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas,
mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan
itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan
misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang
mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk
memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang
sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang
Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020. Kemandirian daerah itu harus
diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal
daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat
disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat
harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi
melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.[5]
B.
Permasalahan dalam otonomi
pendidikan
Pelaksanaan desentralisasi
pendidikan atau disebut Otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan
sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial,
politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum,
efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.
Ada 6 faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum jalan, yaitu
:
1) Belum jelas aturan permainan tentang peran
dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota.
2) Pengelolaan sektor publik
termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara
otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai.
3) Dana pendidikan dan APBD belum
memadai.
4) Kurangnya perhatian
pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan pendidikan.
5) Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati,
Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan
sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan
belum menjadi prioritas utama.
(6) kondisi dan setiap daerah tidak
memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan
perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki. Hal ini mengakibatkan akan
terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan
dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi
perkembangan kemandirian masing-masing daerah.[6]
Pendidikan telah sekian lama sebagai
budak ideologi dan politik diluncurkan untuk mengabdi kepentingan kelompok dan
pribadi. Akibatnya proses pendidikan tidak mencerdaskan dan mendewasakan anak
didik, tetapi membodohi dan menciptakan sistem penindasan dari suatu generasi
ke generasi berikutnya. Implikasinya, pendidikan tidak berpihak pada pencerahan
moral, tetapi lebih memainkan kekuasaan. Salah satu langkah reformasi internal
di bidang pendidikan yang harus dilakukan segera adalah mengembalikkan otonomi
pendidikan kepada sekolah dan guru. Selain itu, sekolah dan guru perlu diberi
peranan lebih besar untuk ikut menyusun program belajar dan agenda evaluasi.
Selama hal tersebut tidak dilakukan perubahan, maka selama itu pula sekolah
serta guru tidak akan dapat melaksanakan tugasnya mendidik secara benar. Selama
itu pula kita takkan dapat memperbaikki kesalahan-kesalahan fundamental yang
terjadi di sekolah-sekolah.
C.
Konsep
otonomi dan aplikasinya dalam masyarakat
Otonomi
merupakan hak dan wewenang untuk melaksanakan kegiatan secara memadai sepanjang
tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku. Otonomi bukanlah fungsi
penugasan saja. Otonomi memiliki makna bertindak atas namanya sendiri. Jadi
terjadi keseimbangan antara tugas dan wewenang dan tanggung jawab.
Dalam
melaksanakan fungsinya pendidikan tinggi di berikan otonomi-otonomi berhubungan
dengan kemandirian, akuntabilitas, dan jaminan mutu. Otonomi yang dimaksud
dalam hal keilmuan dan pengelolaan, sepanjang tidak bertentangan dengan
peraturan perundangan yang berlaku. Pendidikan juga memiliki akuntabilitas.
Artinya pendidikan harus bertanggung jawab bukan saja kepada pemerintah, tetapi
juga kepada masyarakat (publik pemakai) dan profesi. Masyarakat dalam arti
individual maupun kelembagaan, termasuk lembaga pemerintah maupun non
pemerintah. Pendidikan, termasuk pendidikan tinggi dalam era otonomi dan
desentralisasi pemerintahan tidak dapat bertindak secara sektoral. Mereka
membutuhkan bantuan masyarakat di luar perguruan tinggi. Oleh karena itu misi
perguruan tinggi harus dapat menyerap kebutuhan riil masyarakat dan daerah
dimana perguruan tinggi tersebut berada. Perlu adanya transparansi yaitu suatu
keniscayaan bagi pengembangan pendidikan, karena dengan transparansi akan
tumbuh kepercayaan masyarakat yang pada akhirnya akan membangkitkan peran serta
masyarakat untuk memikirkan, merencanakan, melaksanakan, mengontrol, mengevaluasi,
dan mengembangkan pendidikan.[7]
Keberhasilan pendidikan perlu dilakukan evaluasi. Otonomi pendidikan
dimaksudkan untuk menjawab tantangan pendidikan di era global dan otonomi
daerah, tantangan tersebut menyangkut:
1. Peningkatan nilai tambah;
2. Pengkajian komprehensip terhadap
proses perubahan struktur masyarakat;
3.
Peningkatan daya saing peneliti dan pengabdi dalam
menghasilkan karya yang bermutu;
4.
Mengatasi permasalahan kemiskinan struktural;
5.
Mengatasi
angka putus sekolah;
6.
Menempatkan posisi pendidikan tinggi secara tepat
dalam era globalisasi;
7.
Tuntutan kualitas;
D.
Pelaksanaan
otonomi daerah dalam dunia pendidikan
Otonomi pendidikan yang benar adalah pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang. Berangkat dan ide otonomi pendidikan muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaan otonomi pendidikan yaitu:
1) Meningkatkan
Manajemen Pendidikan Sekolah
Menurut Wardiman Djajonegoro (1995)
bahwa kualitas pendidikan dapat ditinjau dan segi proses dan produk. Pendidikan
disebut berkualitas dan segi proses jika proses belajar mengajar berlangsung
secara efektif, dan peserta didik mengalami pembelajaran yang bermakna.
Pendidikan disebut berkualitas dan segi produk jika mempunyai salah satu
ciri-ciri sebagai berikut :
a) peserta didik menunjukkan penguasaan yang
tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning
task) yang harus dikuasai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, diantaranya
hasil belajar akademik yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas
internal);
b) hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik dalam kehidupan sehingga dengan belajar peserta didik bukan hanya
mengetahui sesuatu, tetapi dapat melakukan sesuatu yang fungsional dalam
kehidupannya (learning and learning),
c) hasil pendidikan sesuai atau relevan
dengan tuntutan lingkungan khususnya dunia kerja.
Menghadapi kondisi ini maka
dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru
dan kesejahteraannya. Menurut Penelitian bahwa ada tiga faktor untuk meningkatkan
mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta
pekerjaan rumah. [8]Dari
hasil penelitian ini tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan
mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan
di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor
internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan
pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan
semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada
demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan
otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan
Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen
dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan
mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan secara
bersama-sama; salah satu tujuan UU No.20 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan masyarakat,
menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat,
termasuk dalam meningkatkan sumber dana dalam penyelenggaraan pendidikan.[9]
2) Reformasi
Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3) Kemauan Pemerintah Daerah
Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan
sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah
memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada
peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya,
kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat
dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju
pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum
yang baik untuk berkembang. Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD,
karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka
otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat
dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu,
badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi
mitra yang baik. Kepala pemerintahan daerah, kota diberikan masukan
secara sistematis dan membangun daerah.
4). Membangun Pendidikan Berbasis
Masyarakat
Kondisi
Sumber Daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia.
Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan,
pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah Kota sebagai Brain
Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai
pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan
juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan
tentang tanggung jawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang di hadapi
masyarakat.
5). Pengaturan kebijakan Pendidikan antara Pusat dan
Daerah.[10]
Pemerintah
Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah
Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan
kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan.
Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya
berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator. Otonomi
pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah
harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif
dan efisien. [11]
Pada
kelompok bidang pendidikan dan kebudayaan disebutkan bahwa kewenangan
pemerintah meliputi hal-hal sebagai berikut:
1)
Penetapan
standar kompetensi siswa dan warga belajar, serta pengaturan kurikulum nasional
dan penilaian hasil belajar secara nasional, serta pedoman pelaksanaannya.
2)
Penetapan
standar materi pelajaran pokok.
3)
Penetapan
persyaratan perolehan dan penggunaan gelar akademik.
4)
Pencatatan
pedoman pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
5)
Penetapan
persyaratan penerimaan, perpindahan, sertifikasi siswa, warga belajar dan
mahasiswa.
6)
Penetapan
persyaratan peningkatan/zoning, pencarian, pemanfataan, pemindahan,
penggandaan, sistem pengamanan dan kepemilikan benda cagar
budaya serta persyaratan penelitian
arkeologi.
7)
Pemanfaatan
hasil penelitian arkeologi nasional serta pengelolaan museum nasional, galeri
nasional, pemanfaatan naskah sumber arsip, clan monumen yang
diakui secara internasional.
8)
Penetapan
kalender pendidikan dan jumlah jam belajar efektif setiap tahun bagi
Pendidikan dasar, menengah, dan luar
sekolah.
9)
Pengaturan
dan pengembangan pendidikap tinggi, pendidikan jarak jauh, serta
Pengaturan sekolah internasional.
10)
Pembinaan
dan pengembangan bahasa dalam sastra Indonesia.
Sementara
itu, kewenangan pemerintah provinsi meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa calon mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/tidak mampu.
1. Penetapan kebijakan tentang penerimaan siswa calon mahasiswa dari masyarakat minoritas, terbelakang, dan/tidak mampu.
2.
Penyediaan
bantuan pengadaan buku pelajaran pokok/ modul pendidikan untuk taman
kanak-kanak, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan luar
sekolah.
3. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi,dan pengangkatan tenaga akademis.
3. Mendukung/membantu penyelenggaraan pendidikan tinggi selain pengaturan kurikulum, akreditasi,dan pengangkatan tenaga akademis.
4
Pertimbangan
dan penutupan perguruan tinggi.
5
Penyelenggaraan
sekolah luar biasa dan balai pelatihan clan/ atau penataran guru;
6
Penyelenggaraan
museum provinsi, suaka peninggalan sejarah, kepurbakalaan, kajian sejarah clan
nilai tradisional, serta pengembangan bahasa dan budaya daerah.
Desentralisasi pendidikan merupakan sebuah sistem manajemen untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang menekankan pada kebhinekaan. ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu (1) pola dan pelaksanaan manajemen harus demokratis; (2) pemberdayaan masyarakat harus menjadi tujuan utama; (3) peranserta masyarakat bukan hanya pada staheholders, tetapi harus menjadi bagian mutlak dari sistem pengelolaan; (4) pelayanan harus lebih cepat, efisien, efektif, melebihi pelayanan era sentralisasi demi kepentingan peserta didik dan rakyat banyak; clan (5) keanekaragaman aspirasi clan nilai serta norma lokal harus dihargai dalam kerangka clan demi penguatan system Pendidikan nasional.[12] Dalam praktiknya, desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi bidang pemerintahan lainnya, kalau desentralisasi bidang-bidang pemerintahan lain berada pada pemerintahan di tingkat kabupaten/kota, maka desentralisasi di bidang pendidikan tidak berhenti pada tingkat kabupaten/kota, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan. Dalam praktik desentralisasi pendidikan itulah maka dikembangkanlah yang dinamakan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS).[13]
Desentralisasi penyelenggaraan
pendidikan dan manajemen berbasis sekolah, sebenarnya merupakan kecenderungan
internasional yang dipraktikkan di banyak negara, untuk Indonesia merupakan
salah satu upaya untuk memperbaiki mutu pendidikan dan sumber daya manusia yang
helakangan ini dirisaukan banyak pihak, terutama bila dilihat dari beberapa
laporan hasil survei dari lembaga-lembaga independen dunia, menempatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia pada urutan bawah, jauh di bawah
negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan bahkan
Phillifina. Dalam konteks desentralisasi ini, peran serta masyarakat sangat
diperlukan. Aparatur pendidikan baik di pusat tnaupun di daerah, berperan
penting dalam peningkatan peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat
untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Salah satu sasaran
pembangunan adalah mewujudkan desentralisasi daerah yang nyata, dinamis, dan
bertanggung jawab. Titik berat desentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota.
Oleh karena itu, peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah amatlah
mendasar pcranannya, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang
mendapat pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mcndorong
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pcndidikan. Sebagaimana
dikemukakan terdahulu, bahwa desentralisasi di bidang pendidikan berbeda dengan
desentralisasi bidang pemerintahan lainnya yang berhenti pada tingkat kabupaten/kota.
Di bidang pendidikan justru sampai pada pelaksana teknis atau ujung tombak
pendidikan, yaitu sekolah-sekolah.Pemberlakuan sistem desentralisasi akibat
pemberlakuan Undang-Undang No.22 Tahun 1999 tentang otonomi pemerintahan
daerah, memberi dampak terhadap pelaksanaan pada manajemen pendidikan yaitu
manajemen yang memberi ruang gerak yang lebih luas kepada pengelolaan
pendidikan untuk menemukan strategi berkompetisi dalam era kompetitif mencapai
output pendidikan yang berkualitas dan mandiri. Kebijakan desentralisasi akan
berpengaruh secara signifikan dengan pembangunan pendidikan. Setidaknya ada 4
dampak positif untuk mendukung kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu :
1) Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan
yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan
potensi sumber daya yang dimiliki;
2) Efisiensi Keuangan hal ini dapat
dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya
operasional;
3) Efisiensi Administrasi, dengan
memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang
bertingkat-tingkat;
4) Perluasan dan pemerataan, membuka
peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi
perluasan dan pemerataan pendidikan.[14]
Pemberlakuan desentralisasi
pendidikan mengharuskan diperkuatnya landasan dasar pendidikan yang
demokratis, transparan, efisien dan melibatkan partisipasi masyarakat daerah. Pendidikan
juga merupakan faktor penentu keberhasilan pembangunan manusia, karena
pendidikan berfungsi sebagai pengembang pengetahuan, keterampilan, nilai dan
kebudayaan. Desentralisasi pendidikan dapat terjadi dalam tiga tingkatan, yaitu
Dekonstrasi, Dekonstrasi adalah proses pelimpahan sebagian kewenangan kepada
pemerintahan atau lembaga yang lebih rendah dengan supervisi dan pusat.
Sementara Delegasi mengandung makna terjadinya penyerahan kekuasaan yang penuh
sehingga tidak lagi memerlukan supervisi dan pemerintah pusat. Pada Tingkat
Devolusi di bidang pendidikan terjadi apabila memenuhi 4 ciri, yaitu:
(1) terpisahnya peraturan perundangan yang
mengatur pendidikan di daerah dan di pusat;
2) kebebasan lembaga daerah dalam
mengelola pendidikan;
3) lepas dari supervisi hirarkhis
dan pusat dan
4) kewenangan lembaga daerah diatur
dengan peraturan perundangan. Berdasarkan ciri-ciri tersebut, proses
desentralisasi pendidikan di Indonesia berdasarkan UU No.22 tahun 1999 lebih
menjurus kepada Devolusi, yang pertaruran pelaksanaannya tertuang pada
Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, seluruh urusan pendidkan dengan jelas
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, kecuali Pendidikan Tinggi.
Kewenangan Pemerintah Pusat hanya menetapkan standar minimal, baik dalam
persyaratan calon peserta didik, kompetensi peserta didik, kurikulum nasional,
penilaian hasil belajar, materi pelajaran pokok, pedoman pembiayaan
pendidikan dan melaksanakan fasilitas (Pasal 2 butir II).
E. Sejarah
Pendidikan Islam
Islam,
dari awal, menempatkan premi yang tinggi pada pendidikan dan telah menikmati
tradisi intelektual panjang dan kaya. Pengetahuan ('ilm) menempati posisi yang
signifikan dalam Islam, sebagaimana dibuktikan oleh lebih dari 800 referensi
untuk itu dalam buku Islam yang paling dihormati, maka Al-Qur'an . Pentingnya pendidikan berulang kali ditekankan dalam Al-Qur'an
dengan perintah sering, seperti yang termaktub dalam QS. Al-Mujadillah: 11.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) @Ï% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿt ª!$# öNä3s9 ( #sÎ)ur @Ï% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùöt ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uy 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ×Î7yz ÇÊÊÈ
11. Hai orang-orang beriman apabila kamu
dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan
meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. [15]
Ayat-ayat
tersebut memberikan stimulus kuat bagi masyarakat Islam untuk berjuang untuk
pendidikan dan pembelajaran. Munculnya Quran pada abad ketujuh cukup
revolusioner untuk masyarakat Arab yang didominasi buta huruf. Para mulai dari
pendidikan Islam adalah Al-Quran Zikir , dan kata pertama adalah "Iqra" yang berarti
"membaca". Arab masyarakat telah menikmati tradisi lisan kaya, tetapi
Quran dianggap firman Allah dan harus organik berinteraksi dengan dengan cara
membaca dan melafalkan kata-katanya. Oleh karena itu, membaca dan menulis untuk
tujuan mengakses berkat-berkat penuh dari Quran adalah sebuah aspirasi untuk
sebagian besar Muslim. Dengan demikian, pendidikan dalam Islam tegas berasal
berasal dari hubungan simbioisis dengan pelajaran agama.
Jadi,
dengan cara ini, pendidikan Islam dimulai. Muslim yang saleh dan terpelajar (mu
'allim atau mudarris), yang didedikasikan untuk membuat ajaran Quran lebih
mudah diakses oleh masyarakat Islam melalui sekolah Islam , mengajarkan umat beriman dalam apa yang kemudian dikenal sebagai
kuttab (jamak, katātīb). Kuttab ini bisa ditemukan di berbagai tempat: masjid,
rumah-rumah pribadi, toko, tenda, atau bahkan di tempat terbuka. Para sejarawan
tidak yakin untuk ketika katātīb itu pertama kali didirikan, tetapi dengan
keinginan luas umat beriman untuk mempelajari Quran, katātīb dapat ditemukan di
hampir setiap bagian dari kerajaan Islam pada pertengahan abad kedelapan.
Kuttab ini melayani fungsi sosial yang vital tidak hanya sebagai kendaraan
untuk instruksi publik formal untuk anak usia SD dan terus begitu sampai model
pendidikan Barat diperkenalkan pada periode modern. Bahkan saat ini, telah
dipamerkan daya tahan luar biasa dan terus menjadi sarana dengan penting
pendidikan agama di banyak Negara Islam. [16]
Selama
zaman keemasan kerajaan Islam (biasanya didefinisikan sebagai periode antara
abad kesepuluh dan ketigabelas), ketika Eropa Barat secara intelektual mundur
dan stagnan, pengetahuan Islam berkembang dengan keterbukaan mengesankan untuk
ilmu-ilmu rasional, seni, dan bahkan sastra. Ia selama periode ini bahwa dunia
Islam membuat sebagian besar kontribusinya terhadap dunia ilmiah dan artistik.
Ironisnya, para ulama Islam diawetkan banyak pengetahuan dari Yunani yang telah
dilarang oleh dunia Kristen. Kontribusi luar biasa lainnya dibuat di bidang
kimia, botani, fisika, mineralogi, matematika, dan astronomi, sebagai pemikir
Muslim dianggap kebenaran ilmiah sebagai alat untuk mengakses kebenaran agama.
Bahasa
Arab memiliki tiga istilah untuk pendidikan, mewakili berbagai dimensi proses
pendidikan seperti yang dirasakan oleh Islam. Kata yang paling banyak digunakan
untuk pendidikan dalam arti formal adalah ta'lim, dari akar 'alima (mengetahui,
menyadari, untuk memahami, untuk belajar), yang digunakan untuk menunjukkan
pengetahuan yang dicari atau diberikan melalui instruksi dan pengajaran .
Tarbiyah, dari akar raba (untuk meningkatkan, tumbuh, untuk belakang),
menyiratkan keadaan memelihara spiritual dan etis sesuai dengan kehendak Allah.
Ta'dīb, dari aduba root (untuk menjadi berbudaya, halus, sopan), menunjukkan
perkembangan seseorang dari perilaku sosial yang sehat. Yang dimaksud dengan
suara memerlukan pemahaman yang lebih dalam konsepsi Islam tentang manusia.
F.
Konsep Pendidikan
Tarbiyah
dapat dipahami sebagai jenis pendidikan yang membahas hati, tubuh, pikiran dan
jiwa individu. Tarbiyah menempatkan Allah di pusat pengalaman individu belajar.
Tujuan utama dari tarbiyah dapat disimpulkan sebagai menyediakan Muslim dengan
panduan positif sesuai dengan tradisi Islam yang akan menyebabkan mereka
berkembang menjadi 'orang dewasa baik' yang menjalani kehidupan yang bermanfaat
di dunia dan akhirat. Halstead menjelaskan bahwa 'orang dewasa baik' dalam
pemahaman Islam berarti orang dewasa yang menerima kewajiban ilahi dan 'mencari
untuk mengambil sifat-sifat Allah seperti Hikmah (kebijaksanaan) dan' adl
(keadilan). " [17]
Istilah
'pendidikan' dalam Islam dipahami dan dipahami dengan cara yang sama sekali
berbeda dengan apa yang dipahami dalam masyarakat Barat. Setelah kami teliti,
pemahaman umum dari seorang individu terdidik dalam masyarakat Barat adalah
seseorang yang memiliki kemampuan kritis dan dianggap sebagai otonom dengan
kepekaan estetika. Dari perspektif Islam individu berpendidikan mungkin
memiliki atribut yang sama, namun komponen yang diperlukan yang diperlukan
adalah keyakinan dan pengetahuan tentang bagaimana menyembah Tuhan dan
bagaimana menjalani hidup sesuai dengan hukum Islam. Tidak ada satu kata yang
menggambarkan 'pendidikan' dalam bahasa Arab, namun para sarjana umumnya
cenderung untuk menggunakan tiga kata yang berbeda Tarbiyah berasal dari
akar kata raba (tumbuh, meningkat, ke belakang, memelihara rohani), yang
berarti negara. dari memelihara etika dan spiritual dalam mengembangkan potensi
individu dan bimbingan anak untuk negara kematangan lengkap. Ta'dib
berasal dari akar kata aduba (menjadi halus, disiplin, berbudaya,
santun), yang menunjukkan aspek-aspek sosial dari Ta'lim manusia
termasuk proses pengembangan karakter dan perilaku sosial yang baik. berasal
dari akar kata 'alima (untuk tahu, untuk mengetahuinya, untuk melihat,
belajar, untuk membedakan), ini mengacu pada pengetahuan, menyampaikan dan
penerimaan melalui instruksi dan pengajaran.
Ketiga
hal itu menunjukkan analisis yang mungkin dalam tiga bidang pendidikan Islam;.
(I) membantu pengembangan individu, (ii) meningkatkan pemahaman masyarakat dan
aturan sosial dan moral dan (iii) transmisi pengetahuan ' . Ini dapat dikatakan bahwa ketiga dimensi
menawarkan tujuan dasar pendidikan Islam. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih
baik ketiga bidang perlu dieksplorasi lebih lanjut.[18]
Tarbiyah (pengembangan individu)
Pentingnya
pengembangan individu
"...
Sangat penting, karena memang semua dien (agama) didasarkan pada
tarbiyah. Ini dimulai pertama-tama dengan pendidikan dan pelatihan diri kita
sendiri, kemudian keluarga kita, dan kemudian dari masyarakat luas. Tapi ini
tarbiyah yang paling penting sehubungan dengan anak-anak kita ... "
Tarbiyah
dapat dipahami sebagai jenis pendidikan yang membahas hati, tubuh, pikiran dan
jiwa individu. Tarbiyah menempatkan Allah di pusat pengalaman individu belajar.
Tujuan utama dari tarbiyah dapat disimpulkan sebagai menyediakan Muslim dengan
panduan positif sesuai dengan tradisi Islam yang akan menyebabkan mereka
berkembang menjadi 'orang dewasa baik' yang menjalani kehidupan yang bermanfaat
di dunia dan akhirat. Halstead menjelaskan bahwa 'orang dewasa baik' dalam
pemahaman Islam berarti orang dewasa yang menerima kewajiban ilahi dan 'mencari
untuk mengambil sifat-sifat Allah seperti Hikmah (kebijaksanaan) dan' adl
(keadilan). Mereka berusaha untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang dalam hal
terdiri dari roh 'kepribadian terintegrasi' mereka, hati dan pikiran, mereka
berusaha untuk menjadi insan kamil (manusia sempurna) dan menjalani
kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dari prinsip-prinsip Islam. [19]
Ta'dib (pendidikan sosial dan moral)
Sebuah
komponen fundamental dari iman Islam adalah konsep umat (keluarga di
seluruh dunia dari sesama orang percaya) yang mengikat orang percaya dengan
melampaui batas-batas kebangsaan, latar belakang etnis, status sosial ekonomi,
bahasa, dan varians budaya. Mengingat hal ini pendidikan pikiran Islam tidak
pernah bisa menjadi urusan individu karena Islam milik keluarga di seluruh
dunia dimana ta'dib memastikan bahwa mereka dapat hidup bersama dalam keadaan
damai dan kebahagiaan dengan nilai-nilai moral dan etika yang tinggi ditentukan
oleh hukum (Syariah ilahi ). Pendidikan oleh karena itu, dapat
dikatakan, digunakan sebagai sarana untuk mengirimkan dan mempertahankan
komunitas atau warisan budaya masyarakat dan nilai-nilai tradisional. " .
"Dalam
Islam, eksistensi sosial memiliki tujuan yang sama persis seperti keberadaan
individu:. Realisasi di bumi dari imperatif moral yang ilahi. Syariah ini
mengintegrasikan semua aspek kehidupan manusia seperti politik, sosial dan
ekonomi menjadi pandangan dunia tunggal dan dengan berbuat demikian
menghilangkan konsep pemisahan antara agama dan negara. dibandingkan dengan perspektif liberal, konsep
kehendak bebas dalam Islam dengan demikian merupakan salah satu yang tidak
canggih. ". ada pilihan sederhana dari apakah orang
menerima Islam atau benar-benar menolaknya. Sebuah konsep 'pick-dan-memilih'
tidak ada di mana satu dapat memutuskan untuk menerima bagian tertentu dari
keyakinan dan menolak bagian lain karena perubahan sosial atau alasan lainnya.
Ini adalah prinsip yang sangat penting karena jika salah satu menolak bagian mereka
sebenarnya menolak keseluruhan dan telah meruntuhkan kredibilitas itu.
Al-Qur'an membahas hal ini dengan nada tegas, "Lalu apakah Anda percaya
bagian dari Kitab Suci dan menolak sisanya? Lalu apa balasan dari mereka yang
berbuat demikian di antara kamu, kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia ini,
dan pada hari kiamat mereka akan terjebak di dalam siksaan yang paling pedih. [20]
Poin
penting dan relevan untuk disebutkan di sini dalam konteks Inggris adalah
berkaitan dengan pengajaran dan pembelajaran kewarganegaraan di sekolah. Muslim
percaya pendidikan agama datang sebelum setiap pengajaran kewarganegaraan;
pendekatan pendidikan sosial harus kompatibel dengan prinsip Islam. Al-Attas
menyatakan bahwa adalah lebih penting dalam Islam untuk menghasilkan 'orang
baik' dari 'warga yang baik', 'untuk orang yang baik akan menjadi warga yang
baik, tetapi warga negara yang baik belum tentu juga menjadi baik.
Ta'lim (Transmisi dan akuisisi
pengetahuan)
Perlu
menunjukkan bahwa tidak ada pengertian dalam Islam dari mengejar pengetahuan
untuk kepentingan diri sendiri, pengetahuan tidak dihargai dalam dirinya
sendiri tanpa kondisi terpasang terpenuhi. poin pada kenyataannya bahwa dalam bahasa Arab
'tahu' akhirnya berarti 'untuk diubah oleh proses yang sangat mengetahui
penawaran oleh seorang filsuf Islam yang terkenal Al-Ghazali tentang masalah
ini, Pastikan bahwa pengetahuan saja tidak ada dukungan Jika seorang pria
membaca seratus ribu mata pelajaran ilmiah dan belajar mereka tetapi tidak
bertindak atas mereka, pengetahuan tidak ada gunanya kepadanya, karena
manfaatnya hanya terletak pada yang digunakan. Pemahaman ini juga berlaku untuk
kekayaan di mana akumulasi dari itu untuk kepentingan diri sendiri tidak
diperbolehkan kecuali ada penyebab dimaksud dalam akumulasi. Pengetahuan dengan
cara yang sama harus diperoleh untuk mendapatkan keuntungan dari itu dan
kemudian menyebarkannya atau memanfaatkan itu dengan membantu orang lain dalam
mengakui Tuhan. Tujuan dari mencari ilmu harus memulai di pelajar kesadaran
spiritual dan moral yang mengarah pada peningkatan Imaan (iman) yang
memanifestasikan dirinya sebagai amal shalih (perbuatan bajik) yang
mengarah ke Yaqiin (kepastian) yang semuanya terus-menerus ditekankan
dalam Qur'an 'an. Bahkan Alquran menyatakan di banyak tempat yang kita harus
miliki Imaan ditambah dengan 'amal shalih[21].
Guru
pengetahuan memiliki peran yang mulia dalam masyarakat Islam karena mereka
bertanggung jawab untuk memelihara rohani dan moral dari generasi berikutnya.
Kehidupan pribadi mereka sama-sama pentingnya dengan profesi mereka. Ibnu
Khaldun, seorang filsuf muslim klasik dan sosiolog diakui bahwa anak-anak
Muslim belajar melalui imitasi dari seorang guru dan kontak pribadi dengan dia.
Akan adil untuk mengatakan bahwa ada konsep serupa dalam masyarakat liberal di
mana orang tua umumnya lebih suka anak-anak mereka diajar oleh guru yang
memegang 'akhlak yang baik' dan sesuai dengan 'nilai-nilai etika. Namun pada
umumnya tidak ada definisi tetap 'akhlak yang baik' apa dan 'nilai-nilai etika'
adalah.
Semua
bentuk mencari pengetahuan dapat diambil sebagai ibadah asalkan dilakukan dalam
alam Syariah. Implikasi dari ini adalah jelas, bahwa agama adalah pusat dari
semua aspek pendidikan, 'bertindak sebagai lem yang memegang bersama seluruh
kurikulum. ini juga bisa dikenal sebagai kurikulum yang terintegrasi. Gagasan
liberal pendidikan akan punya masalah di sini, karena hal ini pendekatan
terpadu dengan agama di jantung itu akan merusak konsep otonomi karena akan
muncul untuk membatasi pemikiran individu sepanjang jalur tertentu. [22]
G. Konsep Pendidikan
dalam Islam
Sekularisasi ide yang menjalari sejarah
Pemikiran Barat sejak periode Yunani kuno dan Roma. Pemikir Muslim tidak
memahami apa yang dipahami sebagai rasio sebagai sesuatu yang terpisah
dari apa yang dipahami sebagai intellectus, mereka dikandung caql
( لقع ) Sebagai kesatuan organik dari kedua ratio dan intellectus.
Mengingat hal ini, umat Islam didefinisikan manusia sebagai al-ÌaywÂn
al-nÂtiq, dimana nÂtiq jangka menandakan 'Rasional'. Manusia
memiliki suatu fakultas batin yang merumuskan arti (yaitu dha nutq
قطوذ) dan ini formulasi makna, yang melibatkan penilaian dan diskriminasi dan
klarifikasi, yang apa yang merupakan 'rasionalitas' nya. Istilah nÂtiq
dan nutq adalah berasal dari akar yang menyampaikan arti dasar dari
'pidato',dalam arti ucapan manusia, sehingga mereka berdua menandakan tertentu daya
dan kapasitas manusia untuk mengartikulasikan kata-kata dalam pola
yang bermakna. Dia, sebagaimana adanya, sebuah 'bahasa hewan', dan
artikulasi simbol linguistik ke dalam pola yang bermakna tidak lain dari luar
ekspresi, terlihat dan terdengar dari dalam, bagian yang tak terlihat realitas
yang kita sebut caql. Para caql istilah itu sendiri pada dasarnya
menandakan semacam 'mengikat' atau 'pemotongan', sehingga saat ini caql
hormat menandakan properti bawaan yang mengikat dan menahan benda
pengetahuan melalui kata-kata.
BAB III
PENUTUP
I.
Kesimpulan
Otonomi
atau autonomy berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti Hokum atau aturan (Abdurrahman, 1987). Dalam konteks etimologis
ini, beberapa penulis memberikan pengertian tentang otonomi. Otonomi diartikan
sebagai ‘perundangan sendiri’ (Danuredjo, 1977), ‘perundangan sendiri’
(Koesoemahatmadja, 1979), ‘mengatur atau memerintah sendiri’ (Runt Nugroho,
2000). Koesoemahatmadja (1979), lebih lanjut mengemukakan bahwa menurut
perkembangan sejarahnya di Indonesia, otonomi selain mengandung arti juga
mengandung pengertian ‘pemerintahan’. Secara konseptual banyak konsep tentang
otonomi yang diberikan oleh para pakar dan penulis, di antaranya Syarif Saleh (1963) mengartikan otonomi
sebagai hak mengatur dan memerintah daerah sendiri, hak mana diperoleh dari
pemerintah pusat. pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna
demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi
sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan
bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan
bangsa.
II. Saran
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan untuk itu kritik dan saran sangat di
harapkan penulis dari para pembaca sekalian demi untuk perbaikan makalah ini ke
depan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, Edisi Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Mizan Pustaka,2009.
Daulay Haidar Putra, Pendidikan Islam, Jakarta Timur: PRENADA MEDIA, 2004.
Http//www/pengertianotonomi.com,
Sabtu 31.03.2012.
Hidayat
Kamaruddin, Masyarakat Agama dan Agenda
Masyarakat Madani. Jakarta, 1991.
Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan. Pustaka
Al-Husna, 1986.
Ibrahim, Inovasi Pendidikan. Jakarta: Direktokrat
Pendidikan Tinggi, 1988.
Mulyanto Sumardi, Sejarah Singkat Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Dharma
Bakti, 1978.
Noeng Muhadjir, Ilmu
Pendidikan dan Perubahan Sosial. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1987.
Undang-undang
Sisdiknas, UU No, 20 Jakarta: Departemen Agama RI, 2003.
Undang-undang RI Nomor
25 Tahun 2000, Tentang Peraturan
Pemerintah,
EmoticonEmoticon