BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masyarakat
madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society
yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada
simposium Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26
September 1995 di Jakarta. Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak
menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal adalah kelompok masyarakat yang
memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur yang
diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish
Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat yang
menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang
dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah
(al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum
Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan amar ma’ruf
sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000, vol.2:
185).
Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf
nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata
yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.
B.
PERMASALAHAN
Dari latar belakang di atas dapat di ambil beberapa
permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini dengan rumusan sebagai
berikut:
- Apa
pengertian pendidikan?
- Bagaimana
konsep masyarakat madani ?
- Apa
pengertian masyarakat madani?
- Seperti
Apa Karakteristik Masyarakat Madani?
- Bagaimana
konsep pendidikan islam dalam masyarakat madani ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Pendidikan
Dalam arti sederhana pendidikan
sering diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan. Dalam perkembangannya,
istilah pendidikan atau paedagogie berarti bimbingan atau pertolongan yang
diberikan dengan sengaja oleh orag dewasa agar ia menjadi dewasa. Dewasa disini
dmaksudkan adalah dapat bertanggungjawab terhadap diri sendiri secara biologis,
psikologis, paedagogis dan sosiologis.[1]
Selanjutnya, pendidikan diartikan
sebagai usaha yang di jalankan oleh seseorang atau kelompok orang lain agar
menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan yang lebih tingi
dalam arti mental[2]
Kenyataannya pengertian pendidikan
selalu mengalami perkembangan, meskipun secara essensial tidak jauh berbeda.
Berikut ini akan dikemukakan sejumlah pengertian pendidikan yang diberikan oleh
para ahli (pendidikan), yaitu:
1.
Langeveld;
Pendidikan
ialah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada
anak tertuju kepada pendewasaan anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar
lebih cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari
orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti sekolah, buku,
putaran hidup sehari-hari dan sebagainya) dan ditujukan kepada orangyang belum
dewasa[3]
2.
John
Dewey;
Pendidikan
adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual
dan emosional kea rah alam dan sesame manusia.
3.
Driyarkara;
Pendidikan
ialah pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf insane.[4]
4.
Ahmad
D. Marimba;
Pendidikan
adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap
perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian
yang utama.
Unsur-unsur
yang terdapat dalam pendidikan dalam hal ini adalah:
a. Usaha (kegiatan), usaha itu bersifat
bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar.
b. Ada pendidik atau pembimbing atau
penolong.
c. Ada yang dididik atau si terdidik.
d. Bimbingan itu mempunyai dasar dan
tujuan
e. Dalam usaha itu tentu ada alat-alat
yang dipergunakan.[5]
5.
Ki
Hajar Dewantara
Pendidikan
yaitu tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan
yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.[6]
B.
Konsep Masyarakat Madani
Konsep
“masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah
Anwar Ibrahim dan dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk
masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap
sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam
masyarakat muslim modern.
Antara
Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk
menerjemahkan konsep di luar menjadi “Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah
yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil
society di masyarakat Muslim modern
akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah
dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan.
Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan
Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan asuhan petunjuk
Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah
masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai
etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah.[7]
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia
berasal dari kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah
kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut Blakeley dan Suggate (1997),
masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market.” Merujuk pada Bahmueller (1997).
C.
Pengertian masyarakat madani
Masyarakat
madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Allah SWT
memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’
ayat 15:[8]
ôs)s9 tb%x. :*t7|¡Ï9 Îû öNÎgÏYs3ó¡tB ×pt#uä ( Èb$tG¨Yy_ `tã &ûüÏJt 5A$yJÏ©ur ( (#qè=ä. `ÏB É-øÍh öNä3În/u (#rãä3ô©$#ur ¼çms9 4 ×ot$ù#t/ ×pt6ÍhsÛ ;>uur Öqàÿxî ÇÊÎÈ
Artinya:
“Sesungguhnya
bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua
buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan):
“Makanlah olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu
kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang
Maha Pengampun”.
Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh
Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi
mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap
(masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation,
dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu
masyarakat yang menjunjung peradaban.
Hal di atas bukan berarti antara civil society dan
masyarkat madani memiliki makna yang sama karena civil society merupakan erkembangan pemikiran yang ada di dunia
Barat, yang tentu berbeda dengan budaya sosial masyarakat Islam. Dalam
perspektif Islam social society lebih mengacu kepada penciptaan peradaban.
Berkaitan mengenai makna At Tamaddun yang berarti peradapan dengan Al-Madinah
yang berati kota, maka civil of society
diterjemahkan sebagai masyarakat madani yang mengandung tiga hal yaitu: agama
yang merupakan sumbernya dan peradapan adalah prosesnya serta masyarakat kota
adalah hasilnya.
Yang
dimaksud dengan masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluas – luasnya
dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama dalam satu komunitas.
Masyarakat
dalam pengertian umum dapat dianalogikan sebagai komunitas yang hidup dalam
suatu negara, daerah atau lingkungan tertentu yang mempunyai common dalam mengakui adanya kebhinekaan
dalam ideologi kultur, ras, agama dan lainnya.
Sedangkan Madani Berarti beradab (civeleze), demokratis, baik, bermoral.
Yang dimaksud adalah masyarakat yang beradab yang diwujudkan dengan berbudi
pekerti yang luhur, mempunyai nilai yang luhur dan mempunyai nilai – nilai
moral yang tinggi.[9]
Tidak dapat dielakkan bahwa masyarakat
yang berperadaban (civil society)
akan tercapai lewat proses pendidikan, yang berarti pendidikan menjadi kunci
bagi terciptanya individu yang berbudi pekerti luhur, beretika sosial yang baik
kesemuannya mendorong terciptanya masyarakat berperadaban (madani). Di sinilah
kuncinya bagaimana Pendidikan Islam dengan “roh” nya Al Qur’an dan Hadits dapat
menciptakan dinamika sosial lewat pembentukan individu – individu yang “baik”
sehingga nantinya dapat menciptakan masyarakat beradab.[10]
Dengan demikian yang penulis maksud
dengan judul di atas adalah bagaimana nilai – nilai pendidikan Islam secara
langsung bisa menciptakan sebuah masyarakat madani (civil society), karena ada keterkaitan secara hakekat antara
pendidikan Islam dengan masyarakat madani (civil
society). Pendidikan Islam adalah pendidikan yang falsafah, dasar,
tujuannya berdasarkan Al Qur’an dan Hadits, yang ajaran – ajarannya mengandung
prinsip moralitas, etika dan nilai – nilai universalisme yang juga merupakan
hakekat masyarakat madani (civil society)
itu sendiri. Pembahasan yang akan dilakukan penulis pertama adalah
menjelaskan Pendidikan Islam dilihat dari nilai – nilainya, sebagai dasar bagi
penjelasan identitas yang ada pada masyarakat madani (civil society), kemudian menjelaskan masyarakat madani (civil society), di mana batasan yang penulis lakukan pada
konteks Indonesia, walaupun sebelumnya mencoba melakukan pembedahan dalam aspek
historis. Akhirnya melakukan penyelerasan bagaimana konsep implementasi nilai –
nilai Pendidikan Islam dalam menciptakan masyarakat madani (civil society). Implementasi yang
dimaksud penulis menekankan pada implementasi nilai bukan implementasi praktis.
Kemajemukan masyarakat Madinah mengakibatkan munculnya
permasalahan sosial yang harus diantisipasi dengan baik pada saat itu .
Oleh karena Nabi Muhammad bersama penduduk Madinah meletakkan dasar
masyarakat Madinah dengan menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu
dokumen yang dikenal dengan piagam Madinah. Hal tersebut diangap sebagai
konstitusi tertulis yang pertama dalam sejarah manusia.
Istitusi piagam Madinah yang berjumlah 47 pasal secara
formal mengatur hubungan sosial antara komponen masyarakat dari sesama muslim
dan antar komunitas muslim dengan non muslim. Di dalamnya juga terdapat nilai
dasar yang tertuang sebagai fundamental dalam mendirikan dan membangun negara
Madinah yaitu prinsip kesederajatan dan keadilan. Hal ini mencakup semua aspek
baik politik, ekonomi, maupun hukum. Dan yang kedua adalah insklusivisme
(keterbukaan) konsekwensi dari kemanusiaan yang merupakan suatu pandangan
secara positif dan optimis dalam memandang manusia yang pada dasarnya baik.
Kedua prinsip ini menjadi landasan ideal dan operasional dalam menjalin
hubungan masyarakat yang mencakup semua aspek kehidupan.[11]
Masyarakat madani, jika
dielaborasi terdiri dari dua kata “Masyarakat” yang artinya sekumpulan orang,
dan “Madani” yang berarti peradaban, sehingga Masyarakat madani adalah
sekumpulan orang (masyarakat) yang beradab. Tetapi pemaknaan secara etimologis
(bahasa) seperti itu menurut penulis sangat tidak fair dan terlalu
apologis karena secara tidak langsung hanya melakukan penyederhaan dan transfer
bahasa dari kata civil atau civilized (beradab) dan society (masyarakat
/ sosial).
Walaupun dalam arkeologi istilah
ilmiah, terjemahan civil society untuk masyarakat madani, adalah
kebetulan dan tepat. Tetapi yang jelas ada dua kutub yang berbeda dalam segi
bahasa antara Masyarakat madani dan civil society. Masyarakat madani
merupakan konstruksi bahasa yang “Islami” yang mengacu pada kata al din, yang
umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau
peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang artinya
kota. Dengan demikian, maka terjemahan masyarakat madani mengandung tiga hal,
yakni agama, peradaban dan perkotaan. Di sini agama merupakan sumber, peradaban
adalah prosesnya, dan masyarakat kota adalah hasilnya.[12]
Sedangkan civil society
secara harfiah adalah terjemahan dari istilah Latin, Civilis Societas.
Menurut Cicero (106 – 43 SM)
Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (Political
Society) yang memiliki kode hukum sebagai pengaturan hidup. [13]
Jadi, secara semantik, istilah
masyarakat madani agak kurang tepat disepadankan dengan istilah civil
society. Meski kedua istilah tersebut secara parsial substantif
memiliki kesamaan. Dan keduanya sangat relevan sebagai bahan kajian dalam upaya
mencari paradigma masyarakat baru. Namun bila ditilik dari locus sejarah
berkembangnya, kedua istilah tersebut secara pragmatik, berbeda.[14]
Jadi, akan lebih baik jika
masyarakat madani dan civil society lebih banyak ditinjau dari pemaknaan
secara filosofis karena akan lebih komprehensif, sekaligus untuk menghindari
perdebatan maka kita perlu memberika wish bahwa dalam persoalan
pengertian antara Masyarakat madani dan civil society “kira – kira”
adalah sama.
Kajian ini, saya mulai dari
pendapat Salvador Gilner dalam bukunya “Civil Society and Its Future”
seperti dikutip A. Qodry Azizy menyatakan bahwa:[15]
Civil
Society is a historically evolved sphere of individual rights, freedom and
voluntary associations whose politically undisturbed competition with each
other in the pursuit of their respective private concerns, interests,
preferences and intentions is guaranted by public institutions, called the
state. Any nature civil society exhibits least five prominent dimensions
individualism, privacy, market, pluralism and class.
Arti bebasnya kurang lebih,
masyarakat sipil (masyarakat madani) adalah sejarah pengembangan kebebasan hak
– hak individu, kemerdekaan dan berbagai macam organisasi sukarela yang
memiliki persaingan sehat dalam pengejaran mengenai pribadi mereka, perhatian,
pilihan dan mengenai kehendak, adalah jaminan oleh lembaga masyarakat yang
bernama negara. Masyarakat sipil secara alami menunjukkan lima bentuk
kesanggupan pribadi, pasar, pluralitas, dan kelas.
Kita juga bisa melihat bahwa bahwa
masyarakat madani yang dianalogikan dengan civil society adalah suatu
kondisi masyarakat yang dilandasi oleh civileze society, karena civileze
society menjadi prasyarat terwujudnya masyarakat madani itu sendiri,[16] yang
tentunya harus ditegakkan atas landasan nilai – nilai etik-moral
transendental (adat dan agama) yang bersumber dari doktrin langit.[17]
Gagasan perlunya masyarakat madani
(civil society) adalah mengandaikan semua elemen masyarakat
memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara akumulatif bisa meredam
terjadinya proleferasi kekuasaan alamiah (Natural Society) di satu fihak
dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di fihak lain.
Untuk itulah mengapa masyarakat
madani (civil society) dalam pandangan M. Dawam Rahardjo haruslah
masyarakat yang mengacu kepada nilai – nilai kebajikan umum, yang disebut al
khair. Masyarakat seperti itu harus dipertahankan dengan membentuk
persekutuan – persekutuan, perkumpulan atau asosiasi yang memiliki visi dan
pedoman perilaku.[18]
Sedikit menambahi Nurcholish
Madjid menyatakan, bahwa masyarakat madani (civil society) lebih
dari sekedar campuran berbagai bentuk asosiasi. Pengertian masyarakat madani (civil
society) mengacu kepada kualitas civility, keberadaban;
tanpa itu, lingkungan hidup masyarakat hanya akan terdiri faksi –
faksi, klik – klik dan bahkan serikat – serikat rahasia yang
saling menyerang. Civility mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi
– pribadi untuk menerima berbagai macam pandangan politik yang berbeda; juga
kesediaan untuk menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak ada jawaban
yang paling benar terhadap suatu masalah.[19]
Sedangkan Muhamad Atho’ilah
Shohibul Hikam, berpendapat bahwa civil society adalah wilayah kehidupan
sosial politik yang menjamin berlangsungnya tindakan dan refleksi mandiri,
tidak terkungkung oleh kondisi material, tidak terserap dalam jaringan
kelembagaan politik resmi, serta wilayah yang mengandung transaksi komunikasi
yang bebas oleh warga negara.
Dari sinilah pada dasarnya civil
society adalah otonom. Artinya, dia memiliki kemandirian terhadap negara.
Tetapi diantara keduanya, sekaligus terdapat hubungan timbal balik. Selain itu,
civil society adalah arena sosial yang mengandung berbagai kemungkinan
pula terjadi negosiasi terus menerus secara bebas.[20]
Dari beberapa pendapat di atas,
benang merah yang kita dapatkan dari pengertian masyarakat madani atau civil
society adalah suatu masyarakat yang beradab yang didasarkan pada asas –
asas etika (moral) transendental (adat dan agama). Selain itu masyarakat madani
atau civil society tersebut bisa diwujudkan dalam bentuk lembaga
kemasyarakatan apapun, dengan syarat “dibungkus” nilai – nilai toleransi
sebagai koridornya. Di sisi lain komunikasi antara negara (state) dan
masyarakat harus tetap dilangsungkan sebagai garansi bahwa negara (state)
juga menjamin adanya masyarakat yang beradab.[21]
Ada dua
masyarakat madani dalam sejarah yang terdokumentasi sebagai masyarakat madani,
yaitu:
1) Masyarakat
Saba’, yaitu masyarakat di masa Nabi Sulaiman.
2) Masyarakat
Madinah setelah terjadi traktat, perjanjjian Madinah antara Rasullullah SAW
beserta umat Islam dengan penduduk Madinah yang beragama Yahudi dan beragama
Watsani dari kaum Aus dan Khazraj. Perjanjian Madinah berisi kesepakatan ketiga
unsur masyarakat untuk saling menolong, menciptakan kedamaian dalam kehidupan
sosial, menjadikan Al-Qur’an sebagai konstitusi, menjadikan Rasullullah SAW
sebagai pemimpin dengan ketaatan penuh terhadap keputusan-keputusannya, dan
memberikan kebebasan bagi penduduknya untuk memeluk agama serta beribadah
sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya.
D.
Karakteristik Masyarakat Madani
Ada beberapa
karakteristik masyarakat madani, diantaranya:[22]
1. Terintegrasinya
individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam masyarakat melalui
kontrak sosial dan aliansi sosial.
2. Menyebarnya
kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam masyarakat
dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.
3. Dilengkapinya
program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan program-program
pembangunan yang berbasis masyarakat.
4. Terjembataninya
kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan
organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap
keputusan-keputusan pemerintah.
5. Tumbuhkembangnya
kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim totaliter.
6. Meluasnya
kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu mengakui
keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.
7. Adanya
pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan berbagai
ragam perspektif.
8. Bertuhan,
artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang
mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang
mengatur kehidupan sosial.
9. Damai, artinya
masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun secara kelompok menghormati
pihak lain secara adil.
10. Tolong menolong
tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat mengurangi
kebebasannya.
11. Toleran,
artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh
Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak
lain yang berbeda tersebut.
12. Keseimbangan
antara hak dan kewajiban sosial.
13. Berperadaban
tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap ilmu
pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat manusia.
14. Berakhlak
mulia.
Dari beberapa
ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan
kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya; dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat
madani adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan
perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju
yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka ada beberapa
prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani, yakni adanya
democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa
secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung
nilai-nilai civil security; civil responsibility dan civil resilience).[23]
Apabila diurai,
dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sbb:
1. Terpenuhinya
kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.
2. Berkembangnya
modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang kondusif
bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan terjalinya
kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.
3. Tidak adanya
diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain terbukanya
akses terhadap berbagai pelayanan sosial.
4. Adanya hak,
kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga swadayauntuk
terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama dan kebijakan
publik dapat dikembangkan.
5. Adanya
kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling
menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.
6. Terselenggaranya
sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga ekonomi, hukum, dan
sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.
7. Adanya jaminan,
kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan yang
memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara teratur,
terbuka dan terpercaya.
Tanpa prasyarat
tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon. Masyarakat
madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak
ubahnya dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak
azasi manusia. Dengan kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai
dalam proses mewujudkan masyarakat madani (lihat DuBois dan Milley, 1992).[24]
Rambu-rambu
tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah
entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa:
1. Sentralisme
versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe
pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi kemudian
malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-mitos
kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan keadilan
sosial.
2. Pluralisme
versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara berbagai
kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas terhadap minoritas
dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan kebudayaan mereka
tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk mengeliminasi karakter
etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara integritas budaya.
Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata Kleden (2000:5),
“…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan terhadap bakat
dan terhadap potensi manusia.” Sebaliknya,
rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu kelompok ras
tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi legitimasi oleh suatu
klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya lebih inferior dari
ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan: individual,
organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras
berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi
ras terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya
menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat
dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan
larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.
3. Elitisme dan communalisme.
Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan terhadap strata atau kelas
sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise. Seseorang atau sekelompok
orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian dianggap berhak menentukan
potensi-potensi orang lain dalam menjangkau sumber-sumber atau mencapai
kesempatan-kesempatan yang ada dalam masyarakat.[25]
Konsep
Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk
meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang
berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan
implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar
Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini,
masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa
pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis
kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar
lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat
Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari
bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan
salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society),
yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil
merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil
menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan
maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang
menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari
negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang
politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan
instumental (lih. Gellner:1996).[26]
Seperti
Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia
melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai
landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika
menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat
komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam
konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan
sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya
sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan
di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi
jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan
hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu
sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat
komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang
digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan
musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu
Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi
kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di
dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi
sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi
dunianya, masyarakat sipil.[27]
Pada
kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani
sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah
secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi
masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan
mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat
sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada
sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat
sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang
sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para
sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan
faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan
sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama
kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih.
Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani
tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan
Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di
Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan
syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Masyarakat
madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam
setiap ruang dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat
madani adalah Al-Qur’an.
Meski Al-Qur’an tidak
menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat yang ideal namun tetap memberikan
arahan atau petunjuk mengenai prinsip-prinsip dasar dan pilar-pilar yang
terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik. Secara faktual, sebagai cerminan
masyarakat yang ideal kita dapat meneladani perjuangan rasulullah mendirikan
dan menumbuhkembangkan konsep masyarakat madani di Madinah. [28]
Prinsip
terciptanya masyarakat madani bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw.
beserta para pengikutnya dari Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari
tujuan hijrah sebagai sebuah refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah
sikap optimisme dalam mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua
tahun pascahijrah atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari
karakteristik dan struktur masyarakat di Madinah yang cukup plural, beliau
kemudian melakukan beberapa perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah
mengikat perjanjian solidaritas untuk membangun dan mempertahankan sistem
sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian antara berbagai suku, ras, dan etnis
seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani al-Najjar dan lainnya yang beragam saat
itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Dalam pandangan
saya, setidaknya ada tiga karakteristik dasar dalam masyarakat madani. Pertama,
diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau, pluralitas telah
menjadi suatu kaidah yang abadi dalam pandangan Al-Qur’an. Pluralitas
juga pada dasarnya merupakan ketentuan Allah SWT (sunnatullah), sebagaimana
tertuang dalam Q.S Al-Hujurat
(49): 13.[29]
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
Dengan kata
lain, pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati (given) dalam kehidupan.
Dalam ajaran Islam, pluralisme merupakan karunia Allah yang bertujuan
mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis. Ia (pluralitas)
juga merupakan sumber dan motivator terwujudnya vividitas kreativitas
(penggambaran yang hidup) yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat
perbedaan (Muhammad Imarah:1999).
Satu hal yang
menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan
tercipta manakala umat Islam memiliki sikap inklusif dan mempunyai kemampuan (ability)
menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan identitas
sejati atas parameter-parameter autentik agama tetap terjaga.
Kedua, adalah
tingginya sikap toleransi (tasamuh). Baik terhadap saudara sesama Muslim
maupun terhadap saudara non-Muslim. Secara sederhana toleransi dapat diartikan
sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain.
Senada dengan
hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan Islam tidak semata-mata
mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama. Namun juga mengakui
eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan seiring dan
saling menghormati satu sama lain. Sebagaimana hal itu pernah dicontohkan
Rasulullah Saw. di Madinah. Setidaknya landasan normatif dari sikap toleransi
dapat kita tilik dalam firman Allah yang termaktub dalam Q.S Al-An’am: 108.[30]
wur (#q7Ý¡n@ úïÏ%©!$# tbqããôt `ÏB Èbrß «!$# (#q7Ý¡usù ©!$# #Jrôtã ÎötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºxx. $¨Yy Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4n<Î) NÍkÍh5u óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ãsù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷èt ÇÊÉÑÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu memaki
sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan
Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan.”
Ketiga, adalah
tegaknya prinsip demokrasi atau dalam dunia Islam lebih dikenal dengan istilah
musyawarah. Terlepas dari perdebatan mengenai perbedaan konsep demokrasi
dengan musyawarah, saya memandang dalam arti membatasi hanya pada wilayah
terminologi saja, tidak lebih. Mengingat di dalam Alquran juga terdapat nilai-nilai
demokrasi.
tûïÏ%©!$#ur (#qç/$yftGó$# öNÍkÍh5tÏ9 (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# öNèdãøBr&ur 3uqä© öNæhuZ÷t/ $£JÏBur öNßg»uZø%yu tbqà)ÏÿZã ÇÌÑÈ
Artinya:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi)
seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami
berikan kepada mereka.” (Q.S As-Syuura:
38)[31]
Ketiga prinsip
dasar setidaknya menjadi refleksi bagi kita yang menginginkan terwujudnya
sebuah tatanan sosial masyarakat madani dalam konteks hari ini. Paling tidak
hal tersebut menjadi modal dasar untuk mewujudkan masyarakat yang
dicita-citakan.
E.
Pembaharuan Paradigma Pendidikan
Islam.
Perubahan paradigma pendidikan Islam dari peradigma yang
berorientasi pada pendidikan masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang
berorientasi ke masa depan. Seperti paradigma dualisme pendidikan Islam yaitu
adanya dikotomi ilmu yang menjadi bidang garapan pendidikan Islam yakni ilmu
agama dan ilmu umum. Paradigma yang mengawetkan kemajuan ke paradigma yang
merintis kemajuan, paradigma yang sentralistik ke paradigma yang desenralistik,
proses pendidikan yang berorientasi teacher center ke student center,
pendidikan yang selama ini difokiskan dengan pengajaran (teaching) harus
difokuskan ke pendidikan(learning).
Dengan adanya perubahan paradigma di atas diharapkan dapat
memberikan rekonstruksi terhadap asas yang mendasar atau arah pendidikan di
dalam usaha meletakkan dasar yang paling rasional untuk mengubah praksis
pendidikan di dalam rangka membangun masyarkat yang demokratis, religius dan
tangguh menghadapi tantangan internal maupun global menuju masyarakat madani.
F.
Konsep Pendidikan Islam dalam
Membangun Masyarakat Madani.
Konsep pendidikan adalah sebuah pemikiran yang akan menjadi
dasar pengaplikasian kegiatan pendidikan atau model desain suatu lembaga
pendidikan (Purtanto,1994:30). Sebagai konsep pendidikan Islam yang telah
ditawarkan oleh hasyim Amir yang dikutip oleh A.Malik Fajar,untuk menghadapi
perubahan pendidikan dalam masyarakat madani adalah pendidikan yang
idealistik yaitu suatu konsep pendidikan yang integralistik, humanistik,
pragmatik yang berdasarkan pada budaya yang kuat.[32]
a.
Konsep
Pendidikan Integralistik
Yaitu pendidikan yag diorientasikan
pada komponen kehidupan meliputi orientasi Robbaniyyah (ketuhanan), insaniyya (kemanusiaan)
dan alamiyah. Sebagai sesuatu yag integralistik bagi perwujudan kehidupan yang
baik serta pendidikan yang menganggap manusia sebagai pribadi jasmani, rohani,
intelektual, perasaan, dan individu sosial yang akan menghasilkn manusia yang
memiliki integritas yang tinggi.
b.
Konsep
Pendidikan Humanistik.
Pendidikan yagn berorientasi dengan
memandang manusia sebagai manusia yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya,
manusia makhluk hidup yang harus mampu melangsungkan dan mempertahankan
hidupnya. Posisi pendidikan dapat menghasilkan manusia yang manusiawi,
mengembangkan dan membentuk manusia yang berfikir, berasa dan berkemauan untuk
bertindak sesuai dengan nilai luhur kemanusiaan.
c.
Konsep
Pendidikan Pragmatik
Pendidikan yang memandang manusia
sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan
dan mengembangkan hidupnya baik bersifat maupun rohani. Dengan demikian, model
pendidikan ini diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan
kebutuhan hidupnya dan peka terhadap masalah sosial kemanusiaan.
d.
Pendidikan
yang Berakar dari Budaya
Yaitu pendidikan yang tidak
meninggalkan akar sejarah baik secara kemanusiaan umumnya maupun sejarah
kebudayaan suatu bangsa. Pendidikan ini diharapkan dapat membentuk manusia yang
mempunyai kepribadian, harga diri dan percaya pada diri sendiri untuk membangun
peradaban berdasarkan budaya.
Dengan konsep pendidikan di atas akhirnya dapat dijadikan
desain model pendidikan Islam untuk membangun masyarakat madani. Dalam bentuk
operasionalnya sebagai berikut:[33]
1.
mendesain
model pendidikan umum Islami yang handal dan mampu bersaing dengan lembaga
pendidikan yang lain. Dengan demikian visi misi dan tujuan pendidikan,
kurikulum, materi pembelajaran, metode pembelajaran, manajemen pendidikan harus
disesuaikan dengan tuntutan zaman.
2.
model
pendidikan Islam yang tetap mengkhususkan pada desain pendidikan keagamaan,
yaitu benar-benar sesuai dengan konsep-konsep Islam.
3.
model
pendidikan agama Islam tidak hanya dilaksanakan di sekolah formal tetapi
juga di luar sekolah seperti di lingkungan keluarga masyarakat sehingga
pendidikan agama dapat ditanamkan dan disosialisasikan yang menjadi kebutuhan
peserta didik, akhirnya pendidikan agama Islam bukan lagi berupa pengetahuan
yang di hafal tetapi menjadi kebutuhan dan perilaku aktual.
4.
Desain
pendidikan diarahkan pada dua dimensi. Dimensi itu meliputi:
a.
dimensi
dialektika (horisontal) pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman
tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam/ lingkungan sosialnya,
akhirnya manusia mempu mengatasi tantangan dan kendala melalui pengembangan
iptek.
b.
dimensi
vertikal, hal ini pendidikan sebagai jembatan dalam memahami fenomena dan
misteri kehidupan yang abadi.
Keempat model pendidikan islam di atas perlu diupayakan
untuk membangun masyarakat madani. Dengan demikian apapun model pendidikan
Islam yang ditawarkan untuk membangun masyarakat madani pada dasarnya harus
berfungsi untuk memberi kaitan antara peserta didik dengan nilai-nilai
ilahiyah, pengetahuan, dan ketrampilan. Nilai-nilai demokrasi dan sosial
cultural harus berfungsi untuk memberi kaitan secara operasional antara peserta
didik dengan masyarkatnya.[34]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
pendidikan atau paedagogie berarti
bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orag dewasa agar
ia menjadi dewasa. Dewasa disini dmaksudkan adalah dapat bertanggungjawab
terhadap diri sendiri secara biologis, psikologis, paedagogis dan sosiologis.
Selanjutnya, pendidikan diartikan sebagai usaha yang di jalankan oleh seseorang
atau kelompok orang lain agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup atau penghidupan
yang lebih tingi dalam arti mental.
Terminologi masyarakat madani pertama kali dipopulerkan oleh
Mohammad An-Nuqaib Al-Attas, yaitu Mujtamak madani yang secara etimologi
mempunyai dua arti: pertama, masyarakat kota. Kedua masyarakat yang beradap
(masyarakat tamaddun). Dalam bahasa Inggris dikenal dengan civilty atau civilation,
dalam makna ini masyarakat madani dapat berarti dengan Civil Society yaitu
masyarakat yang menjunjung peradaban.
Berdasarkan gambaran masyarakat madani di atas, maka dapat
kita lihat beberapa karakteristik sebagai berikut:
a.
Masyarakat
kota yang berperadaban dan mampu menciptakan peradaban.
b.
Masyarakat
yang memiliki pola kehidupan yang benar.
c.
Masyarakat
yang terbuka, pluralistik menjamion kebebasan beragama, jujur,adil,
mandiri dan menghormati hak asasi manusia.
Perubahan paradigma pendidikan Islam dari peradigma yang
berorientasi pada pendidikan masa lalu (abad pertengahan) ke paradigma yang
berorientasi ke masa depan. Seperti paradigma dualisme pendidikan Islam yaitu
adanya dikotomi ilmu yang menjadi bidang garapan pendidikan Islam yakni ilmu
agama dan ilmu umum. Paradigma yang mengawetkan kemajuan ke paradigma yang
merintis kemajuan, paradigma yang sentralistik ke paradigma yang desenralistik,
proses pendidikan yang berorientasi teacher center ke student center,
pendidikan yang selama ini difokiskan dengan pengajaran (teaching) harus
difokuskan ke pendidikan(learning).
Konsep pendidikan adalah sebuah pemikiran yang akan menjadi
dasar pengaplikasian kegiatan pendidikan atau model desain suatu lembaga
pendidikan (Purtanto,1994:30). Sebagai konsep pendidikan Islam yang telah
ditawarkan oleh hasyim Amir yang dikutip oleh A.Malik Fajar,untuk menghadapi
perubahan pendidikan dalam masyarakat madani adalah pendidikan yang
idealistik yaitu suatu konsep pendidikan yang integralistik, humanistik,
pragmatik yang berdasarkan pada budaya yang kuat.
B.
Saran
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan oleh karena itu saran dan kritik
dari teman-teman pembaca sangat di harapkan demi perbaikan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
Azizy, A. Qodry, Masyarakat Madani, Antara Cita
dan Fakta, Kajian Historis – Normative, Semarang : Makalah
Seminar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 1999
Azra, Azyumardi, Menuju Masyarakat Madani,
Gagasan, Fakta, dan Tantangan, Cet. ke – 1., Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro, 2001
Djohar, “Pendidikan yang Membebaskan sebagai
Kontruksi Masyarakat Madani” dalam Membongkar ‘Mitos’ Masyarakat Madani, Cet.
ke – 1., Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000
Driyarka, Driyarka Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1950
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1999
Langeveld, (terj.), Paedagogiek teoritis/sistematis, Jakarta: FIP IKIP, 1971
Marimba, Ahmad D., Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987
Ma’arif, Ahmad Syafi’i, “Universalisme Nilai – Nilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam
Profetika Vol. 1. No. 2. Jakarta, 1999
Raharjo, M. Dawam, Sejarah Agama dan Masyarakat
Madani dalam Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, , 2001
Raharjo, M.
Dawam, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial,
Cet. ke – 1., Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999
Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1992
Suito, Deny, Membangun
Masyarakat Madani. Jakarta: Centre For
Moderate Muslim Indonesia,
2006
Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: PT. Aksara Baru, 1985
Wibowo, Indiwan
SW. “Peran Militer Dalam ‘Civil Society’ “, dalam Suara Merdeka,
Semarang, 8/ 01 / 2001.
[1] Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
1999), h.1
[2] Sudirman N., dkk., Ilmu Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosda
Karya, 1992), h. 4
[3] Langeveld, (terj.), Paedagogiek teoritis/sistematis, (Jakarta:
FIP IKIP, 1971), h. 5
[4] Driyarka, Driyarka Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1950),
h. 74
[5] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam,
(Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), h. 19
[6] Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: PT. Aksara Baru, 1985), h. 2
[7]
Deny Suito, Membangun
Masyarakat Madani. (Jakarta: Centre For
Moderate Muslim Indonesia,
2006), 48
[8] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung:
Diponegoro, 2001), h. 343
[9]
Dawam Rahardjo, Masyarakat madani : Kelas
Menengah dan Perubahan Sosial, (Cet. ke – 1, Jakarta: LP3ES, 1999), h. 146.
[12] M. Dawam Raharjo, Masyarakat Madani : Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial, (Cet. ke – 1., Jakarta: Pustaka LP3ES, 1999), h. 146.
[13] M. Dawam Raharjo, Sejarah Agama dan Masyarakat Madani dalam
Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, , 2001),
h. 18.
[15] A. Qodry Azizy, Masyarakat Madani, Antara Cita dan Fakta,
Kajian Historis – Normative, (Semarang : Makalah Seminar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo,
1999), h. 3.
[16]
Djohar,
“Pendidikan yang Membebaskan sebagai Kontruksi Masyarakat Madani” dalam Membongkar
‘Mitos’ Masyarakat Madani, (Cet.
ke – 1., Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2000), h. 301.
[17] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Universalisme
Nilai – Nilai Politik Islam Menuju Masyarakat Madani”, dalam Profetika Vol. 1.
No. 2. Jakarta, 1999, h. 170.
[19]
Azyumardi
Azra, Menuju Masyarakat Madani, Gagasan, Fakta, dan Tantangan, (Cet. ke – 1., Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999), h. X.
[20]
Indiwan SW
Wibowo. “Peran Militer Dalam ‘Civil Society’ “, dalam Suara Merdeka,
Semarang, 8/ 01 / 2001.
[29] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 412
[30] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 112
[31] Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 389
EmoticonEmoticon