Senin, 06 Oktober 2014

Konsep Pendidikan Transformatif

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang

Kehidupan manusia dalam abad ke 21 mengalami perubahan dahsyat seperti yang dialami masyarakat dan budaya manusia dalam revolusi industri abad ke 18. Pada abad ke 21 revolusi yang terjadi terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi serta kemajuan teknologi informasi yang telah mengubah dimensi waktu dan tempat kehidupan manusia. Bukan saja dimensi-dimensi itu berubah, tetapi juga tata cara kehidupan manusia seperti dalam hubungan negara-negara ikut berubah. Manusia dewasa ini hidup di dalam dunia tanpa batas, menghilangnya kebiwaan negara tradisional, terbukanya dunia untuk perdagangan bebas dengan mengalirnya dana secara internasional ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat cepat, menghasilkan apa yang disebut arus globalisasi yang menerjang kehidupan umat manusia tanpa ampun.
Pendidikan Transformatif memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris yang belum sepenuhnya familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta perkembangannya. Tugas pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat, khususnya dalam “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati diri sebagai bangsa. Pendidikan diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern yang sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan kepribadian yang unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.Proses tersebut sudah barang tentu perlu ditunjang oleh investasi berupa pernyataan teknologi dengan modul ke dalam sistem sosial masyarakat. Sementara itu, masyarakat yang secara bertahap berubah menjadi berperadaban modern (sarat IPTEK, etika, estetika, dan kepribadian yang unggul) dapat menjadi umpan balik bagi pengembangan sistem pendidikan nasional yang bermutu.
Dalam penulisan makalah ini, banyak teori-teori yang berorientasi pada model mengembangkan pendidikan. Sehingga makalah ini di tulis dengan menggunakan referensi yang terkait dan di susun dengan metode sederhana dengan memaparkan berbagai macam perubahan yang terjadi pada wilayah pendidikan yang di sebut, pendidikan transformatif.

B.     Rumusan Masalah
Dari urayan di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
a.       Apa yang di maksud pendidikan Transformatif?
b.      Bagaimana upaya menerapkan pendidikan transformatif dalam lembaga      pendidikan?
c.       Apa saja paradigma pendidikan transformatif?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.       Pendidikan Transformatif

Dalam kehidupan Manusia masalah pendidikan sangat vital dan urgen untuk sebuah perdaban. Jadi pendidikan harus dinamis dan transformatif dalam rangka  menuju masa depan kehidupan manusia yang lebih baik. Pendidikan transformatif adalah sebuah pendidikan yang tardisional menuju pendidikan yang moderen. Jadi pendidikan seperti ini akan selalu efektif dalam keadaan apapun.
Pendidikan transformatif sangat penting karna dilihat dari hegemoni dunia yang makin keras maka upaya pendidikan ini semestinya diimplementasikan disetiap lembaga pendidikan yang ada. Maka pendidikan akan sangat efektif dan outputpun akan cukup berkualitas untuk menjalankan peran kehidupan di masa mendatang. Namun salah satu conto di indonesia saat ini kita dapat melihat perubahn signifikan pada segi pendidikan tapi belum sepenuhnya dapat di katakan transformatif. Karna ada hal-hal yang belum dapat diselesaikan contoh, yaitu fasilitas yang belum memadai seperti yanga ada di negara-negara lain. Ini hanya sebagian saja atau bisa di katakan pelayan masyarakat yang belum merata.
Selanjutnya dari Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional (2004).[1] dirumuskan tentang tujuan pendidikan transformatif yaitu melahirkan insan cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif yaitu :
Cerdas Spiritual (Olah Hati) : beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Cerdas Emosional (Olah Rasa) : beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
Cerdas Sosial : beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
a.             Membina dan memupuk hubungan timbal balik Demokratis.
b.            Empatik dan simpatikmenjunjung tinggi hak asasi manusia ceria dan percaya dirimenghargai kebhinekaan dalam bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan hak dan kewajiban warga negara.
Cerdas Intelektual (Olah Pikir) : Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.[2]
Cerdas Kinestetis (Olah Raga): Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas; aktualisasi insan adiraga.
Kompetitif yaitu memiliki :
v    Berkepribadian unggul dan gandrung akan keunggulan
v    Bersemangat juang tinggi
v    Mandiri
v     Pantang menyerah
v    Pembangun dan pembina jejaring
v    Bersahabat dengan perubahan
v     Inovatif dan menjadi agen perubahan
v     Produktif
v    Sadar mutu
v     Berorientasi global
v     Pembelajar sepanjang hayat

1.      Hambatan-hambatan indonesia menuju pendidikan transformatif
Untuk mewujudkan Manusia yang Cerdas Komprehensif dan Kompetitif tentu tidaklah mudah karena :
Keterbatasan : secara internal Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan dalam penyelenggaraan pendidikan yang unggul dalam hal :
Man (manusia) : sumber daya manusia pengelola pendidikan yang kualitasnya masih belum memuaskan.
Money (uang) : keuangan yang masih terbatas dan belum dapat memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan yang unggul dan bermutu.
Method (metode) : metode pendidikan yang belum beragam dan kurang kreatif sehingga proses pendidikan kurang efektif.
Machines (alat) : peralatan pendukung pendidikan yang masih terbatas sehingga hanya menggunakan apa yang ada.
Materials siswa yang menjadi input pendidikan juga memiliki banyak keterbatasan karena kondisi pribadi, keluarga dan masyarakat yang banyak problematika.
Tantangan : secara eksternal Indonesia juga menghadapi tantangan dunia dan era global yang merugikan (selain peluang yang menguntungkan) yaitu :
Penyalahgunan teknologi ke hal-hal yang negatif seperti pornografi, game kekerasan dan lainnya. budaya hidup global yang hedonistis dan materialistis sehingga masyarakat hanya mementingkan diri sendiri demi menikmati kehidupan dunia dengan ukuran materi dan harta.persaingan yang semakin ketat dan membuat kehidupan masyarakat bergerak sangat cepat dan tertekan sehingga gampang untuk stress. ketidakadilan kondisi dunia terutama negara-negara besar sepeti Amerika Serikat yang menetapkan standar ganda dalam kebijakan globalnya.
Keserakahan negara-negara kapitalis yang menjadikan negara-negara berkembang dan lemah semakin miskin dan terbelakang dengan sumber daya yang terus dieksploitasi Ketidaksesuaian terjadi krisis keteladanan dengan adanya paradoks antara teori dengan praktek, antara idealita dengan realita kehidupan yang sangat mengganggu proses pendidikan. Ini dapat dilihat di tingkat :
Pendidikan keluarga : orang tua yang belum dapat menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari dan hanya menuntut dan meminta anak-anaknya berbuat tanpa memberi ketauladanan.[3]
Pendidikan formal sekolah : apa yang diajarkan oleh guru dengan yang terlihat di kehidupan sekolah sering berbeda seperti ajaran kejujuran dan keadilan, namun sekolah mengambil jalan pintas demi mencapai prestasi dan prestise. Kasus Ujian Nasional dapat dijadikan contoh di mana beberapa sekolah membocorkan kunci jawaban demi menjadikan kelulusan mendekati 100 %.[4]
Pendidikan masyarakat : kehidupan masyarakat juga berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Tingkat korupsi yang tinggi, tingkat kejahatan, pelanggaran hukum yang tidak diberi tindakan yang tegas. Jika bangsa Indonesia ingin menjadi bangsa yang maju dan bermartabat maka kunci utamanya adalah SDM yang unggul. Untuk itu dibutuhkan pendidikan dalam Perspektif Terpadu  meliputi :
a.             Keterpaduan manusia seutuhnya : proses pendidikan yang memandang manusia secara utuh yaitu spiritual, emosional, sosial, intelektual, kinestetis. Juga keterpaduan iman, ilmu dan amal sehingga lahir manusia sempurna (insan kamil) yang takwa dan cendekia yang bahagia di dunia dan akhirat.
b.            Keterpaduan pengelolaan : proses pengelolaan yang tuntas mulai dari perencanaan (plan), pelaksanaan (action), monitoring dan evaluasi (check) dan perbaikan (improve) program sehingga secara terus-menerus terjadi peningkatan mutu pendidikan.
c.             Keterpaduan sumber daya : pengelolaan sumber daya pendidikan meliputi man (manusia), money (uang), method (metode), machines (alat), materialsinput yang unggul, cukup, tepat, efisien dan saling mendukung dalam proses pendidikan.
d.            Keterpaduan partisipasi : antara pemerintah dan masyarakat terjadi sinergi dan saling menjalankan peran dengan sebaik-baiknya sehingga pelaksanaan pendidikan dalam proses dan pembiayaan dapat efektif dan efisien.
e.             Keterpaduan proses : antara pendidikan di sekolah, rumah dan masyarakat terjadi keterpaduan sinergi sehingga apa yang diajarkan di sekolah, dikuatkan di rumah dan didukung oleh masyarakat.
f.             Keterpaduan antara teori dengan praktek : adanya keteladanan dari para pendidik (orang tua, guru, pengelola sekolah, penyelenggara negara dan tokoh masyarakat) sehingga nilai-nilai yang diajarkan dapat terlihat wujudnya dalam kehidupan sehingga membekas dan membentuk karakter.
Keterpaduan nasional, regional dan global : adanya kerja sama terpadu antara seluruh komponen bangsa (nasional). Kemudian dalam lingkup regional seperti Asia Tenggara terjalin kerja sama untuk kemajuan pendidikan dan kerja sama global untuk kemajuan kehidupan manusia yang semakin adil, aman, sejahtera dan bahagia. [5]

1.      Transformatif dan Perubahannya
Kenichi Ohmae (2005), seorang ahli fisika tamatan Masschussetts Institute of Technology yang menjadi ekonom melihat perubahan global tersebut menuntut dalam tiga hal yang diperlukan terutama segi ekonomi global. Ketiga hal itu sebagai berikut.
·            Perubahan teknologi,
·            Perubahan pribadi dalam menghadapi perubahan teknologi tersebut,
·            Perubahan di dalam organisasi.

Pedagogik sebagai suatu bidang ilmu sosial tentunya tidak dapat menutup mata terhadap perubahan global yang terjadi. Oleh karena pendidikan merupakan aspek kebudayaan dan kebudayaan mengalami perubahan di dalam era globalisasi. Maka proses pendidikan tidak luput dari perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Bahkan pendidikan yang berkenan dengan pembinaan pribadi manusia seharusnya berfungsi sebagai agen perubahan itu sendiri.
Artinya masyarakat modern yang refleksif yang akan dibangun hendaknya dipersiapkan melalui proses pendidikan. Seperti yang ditunjukkan postmo dan studi kultural, modernisasi yang diinginkan dalam era globalisasi bukannya menerima segala sesuatu yang datangnya dari luar tetapi merupakan suatu modernisasi reflektif hasil kajian dari pribadi-pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan serta dapat memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral.[6]
Arus globalisasi membawa banyak unsur, baik positif maupun yang negatif. Oleh sebab itu, seorang pribadi harus mengadakan pilihan yang intelegen. Dasar dari proses pemilihan tersebut yaitu pengetahuan, tindakan, kebiasaan yang diperoleh dari habitus seseorang dimana ia dibesarkan. Unsur penting dari suatu habitus ialah kebudayaan yang dimiliki seseorang sejak lahirnya.
Arus globalisasi jangan menyebabkan seseorang hanyut di dalam perubahan tanpa arah, tetapi dapat memilih mana yang terbaik sesuai dengan habitus seseorang. Ini artinya seseorang harus membuka diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.
Proses pemilihan arah merupakan hasil tempaan dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, proses belajar mengajar tidak terbatas kepada hasil akhir tetapi terutama kepada proses dalam mencapai hasil tersebut. Pedagogik transformatif merupakan suatu proses yang mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Inilah yang disebut visi pendidikan pedagogik transformatif.
Pedagogik transformatif bukan hanya terfokus kepada peserta didik an sich tetapi kepada peserta didik dalam habitus budayanya yang “terus menerus menjadi”. Peserta didik dan budayanya akan berkembang dan terarah pada kehidupan bersama yang penuh tantangan karena terus-menerusberubah dengan cepat. Pedagogik tradisional seperti di dalam gerakan pendidikan progresif di arahkan kepada kebutuhan peserta didik (child centered education), dapat pula berupa society centered education. Kedua approach tersebut tidak memadai di dalam pedagogik transformatif. child centered educationmengasingkan peserta didik dari masyarakat dan kebudayaannya, sedangkan society centered education mengabaikan kemerdekaan peserta didik karena tunduk kepada kebutuhan masyarakat yang didominasi oleh struktur kekuasaan tertentu. Hal ini menghilangkan hakikat manusia yang paling asasi ialah kemerdekaannya. Demikianlah pedagogik transformatif yang dinamis yang terus menerus mengantisipasi perubahan yang akan datang.

2.    Strategi Pedagogik Transformatif menghadapi Perubahannya
Seperti yang di kemukakan Kenichi Ohmae (2005).[7] bahwa di dalam di dalam bidang ekonomi perlu disusun dan direncanakan secara strategis untuk menghadapi perubahan yang cepat tersebut. Dalam bidang pendidikan, strategi yang sama dapat dan perlu dikembangkan. Yaitu:

·      Revolusi Teknologi
Menghadapi perubahan yang besar yang diakibatkan oleh perkembangan yang sangat cepat dalam teknologi informasi, proses pendidikan perlu memanfaatkan kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh teknologi informasi di dalam pengembangan individu maupun organisasi pendidikan. Di dalam memanfaatkan revolusi teknologi informasi yang penting adalah kita perlu menjaga agar tidak jatuh kepada proses robotisasi pendidikan. Teknologi adalah sekedar alat untuk komunikasi bukan sebaliknya. Janganlah teknologi informasi dan komunikasi dijadikan dewa penyelamat untuk dapat mengatasi semua masalah pendidikan. Kita jangan melupakan bahwa manusia bukanlah robot karena manusia adalah makhluk yang dikaruniai Sang Pencipta dengan kemerdekaan dan daya ciptanya.
Hal ini berarti kreativitas tetap mengatasi kemampuan teknologi. Bukankah kemajuan teknologi itu sendiri merupakan buah karya cipta manusia? Jadi teknologi informasi menjadi sarana untuk manusia dalam mengembangkan dirinya untuk menghadapi perubahan-perubahan secara cepat. Bukan sebaliknya, manusia sebagai alat dari teknologi komunikasi sehingga manusia itu sekedar menjadi pelaksana dari teknologi itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka terjadilah proses dehumanisasi di dalam proses belajar dan proses pemanusiaan. Semuanya serba otomotis tanpa perasaan, tanpa kegalauan dan tanpa apresiasi keindahan.
Revolusi teknologi dengan demikian tidak membawa manusiahidup dalam suatu dunia yang digambarkan oleh George Orwell (1984)[8] dimana kebebasan individu menghilang di bawah kontrol “the big brother” yang memata-matai gerak-gerak manusia yang tidak mengenal lagi dunia privat.
Di dalam revolusi teknologi terjadi apa yang disebut kompresi waktu dan ruang. Hal ini berarti kehidupan berjalan serba cepat bahkan penuh persaingan. Freidmen mengatakan bahwa dunia tidak lagi bulat, tetapi dunia yang rata. Hal ini berarti segala sesuatu berjalan menjadi transparan, yang membuka kesempatan yang sama kepada semua orang.

·         Perubahan Pribadi
Apabila lingkungan kita berubah dengan cepat meminta yang sama dari sikap pribadi yang hidup dalam lingkungan tersebut. Kontradiksi sikap yang timbul akan mengantar manusia yang tidak kreatif dan kontrproduktif bisa berakhir perusakan likungan. Menghadapi perubahan lingkungan yang cepat diperlukan pribadi yang pro aktif.
Kemampuan adaptif berarti kemampuan memilih atau selektif terhadap hal yang positif maupun negatif pada habitat seseorang. Sikap adaptif yang selektif terhadap perubahan berarti pula kemampuan berpartisipasi di dalam perubahan yang terjadi. Manusia di era globalisasi bukanlah manusia yang bertindak kontemplatif tetapi “man of action”, manusia yang bertindak. Dengan demikian perubahan yang terjadi akan merupakan perubahan yang terarah oleh nilai-nilai kemanusiaan (human values).
Di dalam sikap partisipatif yang positif itu jelas proses pendidikan, bukanlah merupakan suatu proses pengisian botol kosong atau yang seperti dikemukakan oleh Paulo Freire sebagai proses seperti dalam sistem perbankan (banking system) dalam arti penguasaan subject matter sebanyak-banyaknya.
Pendidikan bukan merupakan suatu proses yang menyuguhkan kompetensi-kompetensi tertentu yang belum tentu dapat dimanfaatkan dalam memecahkan masalh kehiduan yang mana kehidupan selalu mengalami perubahan. Yang benar adalah adalah lembaga pendidikan yang bertujuan mempersiapkan pribadi-pribadi yang siapbelajar dengan partisipasi di dalam kehidupan. Proses belajar mengajar merupakan proses yang berkesinambungan  atao long lifes education.[9]

·         Perubahan di dalam Organisasi
Lembaga pendidikan atau sekolah merupakan suatu lembaga sosial formal dimana terjadi proses pendidikan. Sekolah merupakan suatu organisasi. Setiap organisasi atau lembaga sosial mempunyai struktur organisasi, fungsi, dan kepemimpinan sendiri. Secara keseluruhan suatu organisasi sosial hanya dapat berfungsi apabila dia menjawab kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat dari lembaga sosial itu berada.
Sekolah biasanya merupakan suatu culture lag di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena sekolah dianggap sebagai lembaga dimana terjadi transfer kubudayaan dari satu generasi ke generasi sesudahnya, dengan kata lain sekolah merupakan sarana kesinambungan suatu masyarakat. Menghadapi perubahan, sekolah harus membuka diri dari perubahan-perubahan yang terjadi bahkan lembaga tersebut harus menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Ini diperlukan agar terjadi akselerasi perubahan yang antisipatif dan pro aktif.
Lembaga pendidikan yang adaptif terhadap perubahan masyarakat pertama haruslah berada di dalam arus perubahan masyarakat itu sendiri. Lembaga sekolah bukannya menjadi penghalang, tetapi merupakan laboratorium perubahan itu sendiri. Peserta didik yang ada di dalamnya mesti ekuivalen dengan perubahan sekolah dan masyarakat sehingga perlu ditanamkan sikap yang kreatif dan transformatif di dalam masa pengembangannya.[10]
Inilah lembaga pendidikan yang progresif yang bukan menantang globalisasi tetapi menerima secara refleksif perubahan dalam masyarakat dan mengarahkannya demi meningkatkan taraf hidup anggota masyarakatnya. Lembaga pendidikan yang demikian berarti milik masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang berubah memiliki atau menjadi shareholder dari lembaga pendidikannya dan terciptalah kondisi pengembangan kreativitas serta kerja sama positif peserta didik di dalam mengembangkan berbagai kompetensi yang diantisipasikan dituntut di dalam perubahan masyarakat masa depan.
Sekolah adalah salah satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di sekolah.
Penyerahan otonomi dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).[11]
Tujuan utama adalah untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut. Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat memerlukannya.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
·         merencanakan (planning),
·         mengorganisasikan (organizing),
·         mengarahkan (directing),
·         mengkoordinasikan (coordinating),
·         mengawasi (controlling),
·         mengevaluasi (evaluation).

Menurut Gaffar (1989) mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.[12]
Manajemen berbasis sekolah Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru” dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat, pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American Association of School Administrators, National Association of Elementary School Principals, and National Association of Secondary School Principals, menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan.
Di Indonesia, gagasan penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya menerima apa adanya.[13]
MBS adalah upaya serius yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya, dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid. Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan, sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis sekolah telah dikembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari 25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004.[14] APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse) manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan, tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen” adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna sistem terpelihara.
Satu implikasi penting adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh sekolah.
Penerapan MBS yang efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari penerapan MBS sebagai berikut :
·         Memungkinkan orang-orang yang kompeten di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
·         Memberi peluang bagi seluruh anggota sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
·         Mendorong munculnya kreativitas dalam merancang bangun program pembelajaran.
·         Mengarahkan kembali sumber daya yang tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
·         Menghasilkan rencana anggaran yang lebih realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah, batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
·         Meningkatkan motivasi guru dan mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Tujuan akhir dari penerapan MBS pada akhirnya bermuara pada bagaimana mewujudkan sekolah unggul atau sekolah yang berkualitas. Sekolah unggul adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran yang dimaksud meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik) dan penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi, dsb.) maupun yang keras (matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi) termasuk penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komunikasi, dsb.).[15]
Untuk mencapai akurasi dan kebermanfaatan dari penerapan MBS guna mewujudkan sekolah unggul sebagaimana diungkapkan di atas munculah persoalan, yaitu strategi jitu yang bagaimanakah yang sekiranya mampu menghantarkan terhadap ketercapaian dari apa-apa yang menjadi harapan atau tujuan dari penerapan MBS tersebut? Sehubungan dengan persoalan tersebut, penulis mencoba untuk mengungkap jawaban atas persoalan tersebut dengan menyajikan beberapa soslusi dengan berdasarkan referensi yang ada.

B.     Penerapan Pendidikan transformatif Pada lembaga pendidikan

1. Sekolah Unggul
Sekolah unggul adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran yang dimaksud meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik) dan penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi, dsb.) maupun yang keras (matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi) termasuk penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komunikasi, dsb.).
Secara umum, sekolah unggul memiliki keunggulan-keunggulan dalam input (siswa dan masukan instrumental), proses belajar mengajar, dan output (hasil belajar) yang ditunjukkan oleh kepemilikan kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Sperry (1981) membagi kecerdasan majemuk menjadi: (1) otak kiri lebih cenderung berpikir logic, sequential, linear, analytic, reasoning, explicit, dan calculation, (2) otak kanan cenderung berpikir intuition, images, visual, spatial, creative, holistic, colour,  dan emotion.[16]
Warga sekolah memahami, meng-hayati, dan mempraktekkan sekolah sebagai sistem sehingga hasil kerja sekolah disadari sebagai hasil upaya kolektif warga sekolah. Sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi sehingga dibutuhkan teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis;
Sekolah memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap prestasi belajar siswanya, Profesionalisasi pendidik dan tenaga kependidikan menjadi fokus perhatian, Proses belajar mengajar yang efektif menjadi fokus perhatian sekolah, Kepemimpinan dan manajemen sekolah sangat professional, Sekolah mempertanggungjawabkan hasil belajar kepada publik (akuntabilitas), Sekolah memiliki komunitas belajar yang kuat, Jaminan mutu merupakan komitmen warga sekolah terhadap publik yang ditunjukkan oleh kualitas desain, pelaksanaan, dan evaluasi rencana pengembangan sekolah (RPS), Sekolah menerapkan prinsip-prinsip tata pengelolaan (partisipasi, trans-paransi, akuntabilitas, dsb.), Visi, misi, tujuan, dan sasaran sekolah dimiliki bersama oleh warga sekolah, Sekolah menerapkan organisasi belajar .
Sekolah unggul bertujuan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang memiliki keunggulan-keunggulan dalam: (1) kualitas dasar yang meliputi daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik, (2) kualitas instrumental yang meliputi penguasaan ilmu pengetahuan (lunak dan keras termasuk terapannya yaitu teknologi, kemampuan berkomunikasi, dsb., dan (3) kemampuan bersaing dan bekerjasama dengan bangsa-bangsa lain.[17]
Selain itu, sekolah unggul juga ditujukan untuk  menyiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan/ kompetensi kunci untuk menghadapi era regionalisasi/ globali-sasi, yaitu: (1) memiliki kemampuan dasar yang kuat dan luas, (2) mampu mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data dan informasi, (3) mampu meng-komunikasikan ide dan informasi.
Pengembangan sekolah unggul harus dilakukan secara kolektif sehingga perlu melibatkan stakeholders dalam pendi-dikan, baik politikus, birokrat (terutama dinas pendidikan kabupaten/kota), akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, orangtua siswa, dsb.
2. Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah
Kepemiminan merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah. Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta penghargaan terhadap para bawahan.[18]
Terdapat empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4 I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individual consideration.
            Idealized influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
            Inspirational motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
             Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah ke arah yang lebih baik.
             Individual consideration: kepala sekolah dapat bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001),.[19] menyimpulkan bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di sekolahnya.
Karena kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
·         Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal yang terbaik untuk        organisasi
·         Berusaha menjadi pemimpin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang   tinggi
·         Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat     kerja sama.
·         Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi.
·         Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan     contoh. bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan.
·         Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk           berkontribusi terhadap organisasi.              

                            
C.     Paradigma Pendidikan Transformatif

Keberadaan sebuah Negara secara keseluruhan merupakan sebuah hal yang patut untuk diapresiasi, hal ini dikarenakan negara sebagaimana banyak diketahui merupakan sebuah rumah yang bisa mendidik warganya untuk mandiri dan mampu menyelesaikan masalahnya. Karena itu amatlah sangat tidak mungkin jika keberadaan sebuah negara menegaskan muatan pendidikan dalam salah satu program pengembangan sumber daya manusianya. Dilandasi oleh hal tersebut, pendidikan merupakan sebuah hal yang sangat niscaya untuk diterapkan dalam sebuah negara.
Sejalan dengan semangat tersebut, pendidikan yang diterapkan dalam sebuah Negara tentunya memiliki semangat orientasi tersendiri. Ini dikarenakan, system pendidikan yang dibangun tentunya merupakan alat penyadaran atau kampanye dari nilai-nilai ideologis yang ingin diterapkan oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Kecenderungan tersebut pada prosesnya sering mengiring pendidikan untuk menjadi tidak otonom, dalam makna pendidikan ada karena adanya kepentingan ideologis dari penguasa sebuah negara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka orientasi pendidikan yang selama ini dijalankan dalam sebuah negara sangat mustahil memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan ideology negara tersebut.[20] Kondisi seperti ini pada akhirnya akan membawa pada praktek yang sangat mengenaskan untuk pengembangan sumber daya manusianya karenanya hal ini banyak membuat gerah beberapa tokoh pemikir filsafat pendidikan, seperti Paulo Freire yang dengan tegas mengeluarkan teori pendidikan transformatif untuk menjawab tantangan zaman yang selalu mengalami perubahan.
Selain itu, masuknya paradigma positivism-logis yang disodorkan oleh para ilmuan barat ditengarai juga membawa dampak yang sangat krusial terhadap perkembangan teori pendidikan. Paradigma positivism-logis telah mempengaruhi pola kebijakan politik pendidikan sebuah negara untuk mengejar atau menggunakan tradisi science sebagai landasan kemajuan pengetahuan dalam system pendidikannya, walhasil kekritisan warga negara dalam menganalisa problem sosial budaya tak nampak kepermukaan. Paradigma ini mengantarkan aspek kritis hilang karena pengetahuan ataupun pendidikan dianggap sebagai sebuah hal yang objektif tanpa ada kepentingan. Hal ini sering terjadi pada negara-negara dunia ketiga atau yang lebih kita kenal sebagai negara poskolonial. Problem seperti inilah yang lantas mengantarkan Edward Said untuk merumuskan system pemikiran yang menolak paradigma positivism-logis yang dikonstrukan dalam paradigma pendidikan pada negara-negara dunia ketiga. System pendidikan yang lantas ditawarkan adalah system pendidikan kritis yang berbasiskan teori poskolonial.
Seperti yang telah disebutkan diatas, paradigma pendidikan yang sedang berlangsung di negara-negara dunia ketiga adalah paradigma pendidikan positivis-logis. Paradigma ini lantas mengkonstruk masyarakat dunia ketiga untuk menyamakan paradigmanya dalam merumuskan system pendidikan. System pendidikan yang kemudian dibangun adalah system pendidikan yang narsistik yaitu selalu mengedepankan barat sebagai ladang pengetahuan dengan corak liberalisme yang tidak lantas membebaskan individu dari belenggu ketertindasan moril dari kolonialisme yang sedang dilakukan tanpa sadar.[21]
Proses kolonialisasi yang tanpa sadar seperti ini dilakukan dalam proses pendidikan, sehingga para peserta didik seolah merasakan hal itu sebagai sebuah hal yang wajar, akan tetapi hal tersebut terasa berbeda dalam perasaan Edward Said maupun Freire. Said melihat bahwa hal ini bukanlah sebagai suatu hal yang wajar karena pada prosesnya, warga negara yang berada dalam negara poskolonial atau rata-rata berada di timur, memiliki kondisi psikologis yang berbeda pula dari negara-negara dunia pertama, sehingga system atau paradigma pendidikannya pun haruslah berbeda ini dikarenakan jika paradigma pendidikan negara dunia pertama disamakan dengan negara dunia ketiga maka negara dunia ketiga tak akan pernah dapat membongkar praktek-praktek kolonialisasi terselubung dibalik muatan objektif pengetahuan yang diajarkan melalui jalur pendidikan.
Paradigma pendidikan yang dibawa oleh negara dunia pertama atau dalam hal ini barat merupakan sebuah alat atau senjata untuk melanggengkan kekuasannya di daerah-daerah dunia ketiga, dari hal ini bisa dilihat bahwa praktek kolonialisasi terus saja dilaksanakan. Menurut Said pendidikan ala barat merupakan sebuah konstruk wacana yang ingin diterapkan terhadap negara yang berbeda dengannya.[22]
Dari sini kita dapat melihat bahwa paradigma poskolonialis yang dikembangkan oleh Said bisa dijadikan alat untuk membongkar hegemoni dan dominasi paradigma positivis-logis gaya barat dalam membangun sebuah paradigma pendidikan yang baru. Belum tuntas sampai disini, teori poskolonial dari Edward Said sebenarnya ingin menegaskan bahwa konsep pendidikan yang ada haruslah mampu untuk melihat manusia sebagai manusia, hal ini dikarenakan bahwa paradigma pendidikan gaya barat yang berbasiskan positivism-logis selalu melihat warga negara dunia ketiga sebagai objek atau kelompok manusia yang berbeda dari konsep manusia yang tertanam dalam pikiran mereka. Said ingin menegaskan warga negara dunia oriental adalah subjek pengetahuan juga, mereka adalah manusia yang sama memiliki rasio.
Pola pikir poskolonialis yang coba diterapkan pada paradigma pendidikan tersebut mengantarkan kita pada pemahaman yang humanis dan juga kritis, dalam posisi ini sejalan dengan paradigma pendidikan transformatif dari Freire yang ingin memanusiakan manusia. Menurut Freire, dalam filsafat pendidikan transformatif, pembelajaran merupakan pembongkaran terhadap semua bentuk kesadaran budaya dalam rangka menumbuhkan kesadaran budaya yang baru yaitu budaya penghargaan terhadap kemanusiaan.[23]
Konsep Filsafat pendidikan Freire mempunyai visi yang filosofis yaitu manusia yang terbebaskan. Bagi Freire pendidikan merupakan sebuah alat untuk membebaskan manusia, karena pendidikan berpotensi untuk menyadarkan manusia dari belenggu-belenggu kepentingan yang menjadikannya terkurung dalam sekat-sekat kebodohan akibat adanya politik kepentingan. Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh Freire adalah sebuah kritik terhadap proses pendidikan yang mengenyampingkan peran pembebasan atau penghargaan terhadap unsur kemanusiaan.
Selanjutnya pada paradigma pendidikan liberal-positivism-logis gaya barat yang cenderung mengekang dan tidak humanis, paradigma pendidikan ala Freire bisa digunakan untuk media perlawanan. Paradigma pendidikan ala barat mempunyai kecenderungan untuk memisahkan peserta didik dengan realitas manusia yang sebenarnya sehingga peserta didik teralienasi dari realitas objektifnya, dari kondisi seperti ini akhirnya peserta didik tidak dapat memahami realitas atau dunia secara menyeluruh atau dengan kata lain pendidikan pada akhirnya hanya melahirnya pengetahuan sepihak, dan secara tak langsung peoses dehumanisasi dalam pendidikan terlaksanakan.
Problematika dehumanisasi inilah yang ditentang dengan tegas oleh dua orang tersebut, pendidikan bukanlah alat yang akhirnya menjadikan manusia menjadi teralienasi dari kehidupannya, bukan menjadikan manusia menjadi teralienasi dari lingkungannya bukan pula menjadikan manusia teralienasi dari dirinya sendiri, melainkan menjadikan manusia sadar akan dirinya kehidupannya dan lingkungannya. Sehingga pendidikan adalah alat yang membebaskan keterkungkungan diri dari sekat politik kepentingan yang menekan lantas menjadikan manusia bijak dalam memaknai hidup.
Proyek paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh tokoh poskolonial dan tokoh transformatif merupakan sebuah respon terhadap kondisi pendidikan yang selama ini terjadi di negara-negara bekas koloni yang miskin ataupun negara-negara yang terbelakang. Ini dikarenakan pemasokan kesadaran yang diciptakan oleh paradigma liberal-positivism-logis telah banyak membunuh kreatifitas berpikir manusia. Hal inilah jika tidak ditanggapi secara serius diramalkan akan menimbulkan proses kolonialisme gaya baru.
Kondisi seperti inilah yang dengan tegas akan menciderai makna dan hakikat manusia. Karenanya perubahan corak atau paradigma pendidikan merupakan sebuah keharusan untuk merentas jalan menuju proses kehidupan manusia yang lebih baik guna menciptakan alam dunia yang ideal dan lebih bermakna, selain itu perubahan paradigma pendidikan akan menciptakan pola tatanan dunia baru yang lebih ramah, lebih humanis dan tentunya lebih demokratis karena terjadinya pluralitas perbedaan dalam paradigma atau corak pandang dalam memaknai system kehidupan.[24]
Potret pendidikan di Indonesia makin hari makin buram. Menurut penulis, ini disebabkan karena pendidikan di Indonesia menganut paradigma liberal. Dalam koridor paradigma ini pendidikan diabdikan bagi kepentingan ekonomi semata. Pendidikan tidak bertujuan untuk pembebasan kemanusiaan. Penulis menguraikan tiga paradigma pendidikan yang lazim berlaku: konservatif, liberal, kritik. Ketiganya membentuk corak kesadaran yang berbeda pula bagi peserta didik. Pendidikan konservatif menghasilkan kesadaran magis; pendididkan liberal menghasilkan kesadaran naif; sebaliknya, berbeda dengan dua paradigma sebelumnya, pendidikan kritik membentuk kesadaran kritis. Model pendidikan banking-yang ignoramus karena sekadar menumpuk pengetahuan nir diseminasi critical sense-, tak pelak menghadirkan sosok generasi yang buta akan penindasan. Kemacetan transformasi sosial dewasa ini, tak lain juga bermula dari pendidikan yang tidak transformatif tersebut.
Banyak orang menyebut bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya. Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas: pendidikan taranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah pendidikan transformatif. Sungguhkah? Biar lebih jelas, mari kita uraikan bersama.
Perubahan sosial tentu membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.
Paulo Freire, pemikir dan aktivis Pendidikan Kritis, mempunyai pendapati cemerlang perihal pendidikan dan kaitannya dengan perubahan sosial1. Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut Freire, pendidikan membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri manusia sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya kondusif bagi humanisme danpembebasan.[25]
Beranjak dari signifikansi utama pendidikan diatas, tulisan ini disajikan dengan semangat untuk melakukan kritisasi terhadap dunia pendidikan, utamanya di Indonesia. Pengalaman sebagai peserta didik selama ini, baik secara sadar maupun tidak sengaja, telah memungkinkan saya ‘memergoki’ sejumlah persoalan yang meresahkan..
Secara konseptual, ada tiga paradigma pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat serius terhadap perubahan sosial.
Pertama, paradigma konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya melihat pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Sebagian besar penyelenggaraan sekolah yang dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah dalam perspektif dan paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun gender ataupun persoalan ketidak adilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil.[26]
Kedua paradigma pendidikan Liberal. Kaum Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada. Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan penuh keteraturan (functionalism structural). Kalaupun terjadi distorsi maka yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan sistem. Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha reformasi ‘kosmetik’ seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam masyarakat. Akar dari pendidikan semacam dapat ditelusuri dari pijakan filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.[27]
Paradigma terakhir adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan arena perjuangan politik. Penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.
Perspektif ini tentu mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak, mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing dari realitas sosial (banking system).[28]
Tiga paradigma diatas masing-masing membawa dampak berupa karakter kesadaran manusia yang oleh Freire digolongkan menjadi tiga.
Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan.
Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pandangan guru. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Paradigma tradisional yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah konservatif dapat dikatagorikan dalam kesadaran magis ini.
Kesadaran kedua adalah kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’, dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’; dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal dapat dikatagorikan kedalam kesadaran naif ini.[29]
Kesadaran ketiga disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik. Paradigma umat Islam transformatif yang menggunakan model pendidikan kritis dapat dikatagorikan kedalam kesadaran kritis.


1.      Hasil Pendidikan Nasional dan Transformasi Sosial
Dari pemetaan diatas, sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun kalau dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam penganut liberal. Ini ditandai mulai dari privatisasi pendidikan, model subjek-objek, serta orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme.
Dewasa ini, ketika dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial7 pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata). Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat kepada masyarakat kecil.
Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas. Sekedar contoh, saat SD kita acapkali diberi pertanyaan dimaan kita hanya perlu memberi satu kata sebagai jawaban. Misalnya begini, “Pak Tani disawah sedang…”. Untuk menjawab pertanyaan ini murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara sepihak akan menyalahkan bila isinya bukan mencangkul, memupuk, atau memanen. Padahal, dalam sistem yang demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan misalnya, membaca koran (karena sedang istirahat), melakukan rembug mengenai irigasi dsb.[30]
Sejalan dengan penjelasan Freire mengenai tiga kesadaran sebagai dampak pengadopsian tiga paradigma pendidikan, baik kesadaran magis maupun kesadaran naif begitu kuat mengakar dalam masyarakat kita. Budaya fatalis misalnya, adalah hal umum dan membudaya dikalangan masyarakat terutama jawa. Sifat nrimo ing pandum (menerima jatah atau nasib) tak lepas pula dari model pendidikan selama ini yang justru makin membenamkan semangat inisiatif, inovatif dan kekritisan masyarakat. Atau yang lebih buruk lagi ketika kesadaran naif akibat hegemoni paradigma liberal menjangkiti sebagian besar masyarakat.
Dihadapkan melambungnya biaya menuntut ilmu akibat komersialisasi pendidikan, sedikit banyak orientasi mahasiswa mengalami pergeseran. Atau bisa dikatakan idealisme angkatan muda terjangkit erosi yang membahayakan. Ketika ada tuntutan untuk cepat lulus, baik karena soal biaya maupun standardisasi yang ditetapkan oleh pasar, perhatian mahasiswa sedikit banyak terserap untuk studi. Perhatian terhadap persoalan sosial, lingkungan, dsb., yang nyata dihadapi masyararakat cenderung terabaikan. Dan setelah lulus, orientasi utamanya bukanlah bekerja demi kepentingan umat. Melainkan terjebak dalam pragmatisme pasar, tertanam dalam filosofi liberal yang memerosotkan potensi-potensinya untuk melakukan atau setidaknya berjalan searah dengan kepentingan transformasi sosial. Para ilmuan misalnya, akibat proses pendidikan yang sangat liberal sulit untuk tidak menjadi-meminjam istilah Heru Nugroho-Intelektual ‘asongan’, yang menjajakan pengetahuannya untuk riset maupun pengembangan wacana yang seringkali adalah proyek pemilik modal. Terjebaknya para ilmuan ini memberi kontribusi besar terhadap macetnya ilmu-ilmu sosial dan ketidakmampuannya menjadi bagian dari problem solving dalam masyarakat. Ilmuan tak jarang terjebak dalam studi-studi keilmuan yang sebenarnya disetting oleh ideologi mainstream yang kontra transformasi.[31]
Thomas Kuhn bahkan mengatakan bahwa ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah ‘omong kosong’; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para ‘pembual’.

2.       Merancang Pendidikan Transformatif
Rangkaian persoalan pelik pendidikan telah menggiring dunia pendidikan kita menuju kerusakan sistemik. Namun bukan berarti menjadi sah bagi kita untuk bersikap apatis. Dan, lagi-lagi kita harus kembali belajar bersama Freire perihal pendidikan yang membebaskan, kritis dan transformatif. Mengurai benang merah yang terlanjur jalin berkelindan tak tentu ujung-pangkalnya, Freire menekankan pentimgmya pengharapan (hope) dan impian (dream), karena mimpi dan harapan memberi kita energi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Tak ada perubahan tanpa impian, begitu pula tak ada impian tanpa harapan. Hanya saja harapan dan impian harus ditindak lanjuti dengan aktualisasi Ke depan, terbentang pekerjaan rumah yang luar biasa berat. Perubahan baik mengenai kurikulum, perangkat aturan legal, maupun pergeseran paradigma yang sepertinya tidak bisa ditolak jika menginginkan perubahan yang substantif, tidak sekadar ‘kosmetik’ ingin diwujudkan.
Pendidikan tidak dapat lepas dari aspek sosial dan pendidikan suatu bangsa adalah cerminan kebudayaannya yang merefleksikan ideology dan filsafat pendidikanya. Oleh karena itu diperlukan paradigmatis pendidikan transformatif, suatu pendidikan yang disesuaikan dengan kebutuhan objektif, visioner, dan didasarkan pada falsafah Negara. Dalam hal ini pendidikan dipandang menyatu dengan persoalan sosial yang tengah dihadapi rakyat dan memberi perspektif terhadap problematika masa depan. Dengan demikian pendidikan transformasi adalah pendidikan yang mampu menggerakan transformasi sosial.[32]
Azyumardi Azra (2008) mengatakan bahwa pendidikan modern kini yang sudah menjadi konfensional gagal memberikan pandangan dunia yang kosmologis dalam dunia pendidikan. Karena itulah pendidikan moderen lebih pada pengembangang kognisi dari pada rana yang lain. Contohnya, dalam pembelajaran agama dan humaniora sekalipun terjebak pada pengembangan hanya rana kognitif saja dan bukan pada kelekatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Asyumardi Azra mengemukakan beberapa usulan sebagai pertimbangan untuk diterapkannya pendidikan transformative: Pertama, pengujian dan perenungan misteri alam raya; kedua, penanaman dan penguatan proses pembuatan makna; Ketiga, penanaman dan pemberdayaan konsep tentang kesatuan dan integrasi alam dengan kemanusiaan; Keempat, penanaman dan penguatan mitos-mitos cultural yang didasarkan pada kepercayaan tentang kapasitas manusia berpartisipasi dalam penciptaan dunia yang berkeadilan, kasih saying, kepedulian, dan kegembiraan; Kelima, penanaman dan pemberdayaan cita ideal tentang masyarakat yang saling berkaitan dalam tradisi demokratis; Keenam, penanaman sikap tanggung jawab untuk mengatasi ketidak adilan dan penindasan.
Dalam penerapanya, ada satu kata kunci yang perlu dipahami dalam Pendidikan transformatif, yaitu ‘perubahan’. Jika hal-hal di atas telah dialami oleh seorang siswa, maka disini saatnya siswa tersebut harus berubah. Apanya yang berubah? Tentu yang berubah adalah sudut pandangnya dalam memandang hal-hal yang telah diketahuinya tersebut. Ia harus mulai lagi memeriksa informasi-informasi yang telah mereka dapat satu persatu, dan memisahkan mana yang sekedar opini dan mana yang benar-benar berupa fakta. Setelah proses menyaring tersebut maka akan didapatkan semua hal-hal yang relevan, dan mulailah ia mempertanyakan Landasan sudut pandangnya terhadap informasi yang relevan tersebut, terutama dikaitkan dengan Asumsi dasar yang telah dipegang mereka.[33]
Bila kita mendaftar apa sebenarnya yang terjadi pada seorang siswa dalam proses transformatif ini terutama dalam bidang Akademik, maka didapat sebagai berikut:
·         Memahami kerangka berpikir yang telah digunakan selama ini
·         Mempelajari kerangka berpikir alternatif yang lain
·         Mentranformasi sudut pandang yang digunakan.agar dapat mengakomodasi kerangka berpikir yang lain tersebut (yang dianggap relevan tentunya)
·         Dan akibatnya akan Mentranformasi segala kebiasaan berpikirnya
Untuk melakukan hal ini seorang siswa perlu dibantu oleh guru (atau orang tuanya) yaitu dalam melalui proses transformatif yang sangat kritis ini.Tentunya tidak dengan memaksakan kerangka berpikir mereka sendiri kepada siswa tersebut, tetapi membiarkan siswa membangun kerangka        berpikirnya sendiri.
            Proses transformatif ini bisa diajarkan dalam bidang akademis dan di sini   tugas seorang guru adalah sebagai berikut:
·            Memberikan suatu masalah atau menunjukkan suatu kejadian tertentu         yang dapat menyadarkan siswa akan keterbatasan pengetahuan dan   pendekatan mereka.
·            Memberikan kesempatan pada siswa untuk mengidentifikasi dan     mendeskripsikan asumsi-asumsi dasar yang mendasari pengetahuan dan       pendekatan yang mereka gunakan.
·            Mendorong siswa untuk menelaah dari mana asumsi-asumsi ini berasal        dan bagaimana asumsi tersebut membatasi pemahaman mereka.[34]







BAB III
Penutup

A.    Kesimpulan
Beralihnya Zaman Konserfatif menuju zaman industri, menjadi awal perkembangan yang sangat pesat dalam kehidupan manusia. Namun ini menjadi tuntutan di setiap saat dan tiap waktu menhadapi berbagai keniscayaan yang menguras pikiran sampai mengundang berbagai inovaasi pada wilaya SDM untuk memajukan, pembangunan dan kesejahteraan manusia. Dari sini pendidikan yang sangat beragam jangan dilupakan yang namanya pendidikan transformatif, dimana menjadi kunci untuk menyesuaikan karakter dengan dunia saat ini. Dari urayan di atas kita bisa mendapat info dan pengetahuan seputar dunia pendidikan dan berbagai problemnya, dan diman kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya pendidikan transformatif sangat penting yang berorientasi skala internasional.
Jadi pendidikan transformatif tidak bisa kita abaikan, apalagi pemerintah kita diindonesia yang saat ini adalah negara yang membangaun, sangat diperlukan untuk bisa diterapkan secara merata dalam setiap lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal. Upaya ini adalah dalam rangka menghadapi kerasnya hegemoni dunia maka otomatis karakter pendidikan kita harus lebih efektif dan maju baik pendidikan sosial maupun pendidikan agama. Apalagi visi dan misi pendidikan transformatif yang sudah jelas dapat memenuhi dan mengatasi berbagai problem sosial dan pembangunan. Maka usaha yang perlu dilakukan dan saat ini yaitu meerumuskan strategi dan metode yang tepat untuk memajukan pendidikan bermutu dan produktif. Seperti yang diktakan Freire yaitu, “impian adalah kekuatan untuk yang bisa mewujudkan kehidupan kita yang lebih baik.  Makna dari pernyataan tersebut menjelaskan bahwasanya mimpi atau harapan akan membentuk potensi menuju yang lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Arifuddin, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam Jakarta : Kultura GP Press Group, 2008
Ahmadi Abu dan Uhbiyanti Nur, Ilmu Pendidikan , Jakarta : PT Rineka Cipta,       2003
Aly Noer Hery dan Munzier H , Watak Pendidikan Islam, Jakarta : Friska Agung   Insani,             2000
Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan        Pendekatan             Indisipliner, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2003
Chols Jhon  E dan Shadily Hassan, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Daulay Putra Haidar, Dinamika Pendidikan Islam, Bandung : Cita pustaka Media,             2004
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai             Pustaka, 2005
Maunah Binti, Ilmu Pendidikan ,Yogyakarta : Teras, 2009
Mufidah Nur, Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Teras. 2009.

Nata,  Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia,             Jakarta : Prenada Media, 2003
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002
Rembangy Musthofa. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta: Teras. 2010.
Syah Muhibbin, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004
Sagala Syaiful, Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan,           Bandung : Alfabeta, 2007
Soebagio Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: PT.Ardadizya             Jaya 2000.
Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : Fakultas Ekonomi UI, 2004
Tilaar, H.A.R., Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.




[1]Tilaar H.A.R,  Manifesto Pendidikan Nasional, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2005), h. 22
[2] Nur Mufidah, Luk-luk. Supervisi Pendidikan, (Yogyakarta: Teras. 2009), h. 111

[3] Nur Mufidah, Luk-luk. Supervisi Pendidikan, h. 112
[4] Nur Mufidah, Luk-luk. Supervisi Pendidikan, h. 113
[5] Nur Mufidah, Luk-luk. Supervisi Pendidikan, h. 114


[6]Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, (Yogyakarta: Teras. 2010), h. 72


[7]Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif,  h.79

[8] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, h. 82
[9] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, h. 85
[10] Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif,  h.89
[11] Musthofa Rembangy,. Pendidikan Transformatif, h. 96
[12] Musthofa Rembangy,. Pendidikan Transformatif, h. 96

[13] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kultura GP Press Group, 2008), h. 134

[14] Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, h. 45
[15] Binti Maunah, Ilmu Pendidikan ,(Yogyakarta : Teras, 2009), h. 52
[16] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h.101

        [17] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.122

[18] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.123
        [19] Syaiful Sagala, Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2007), h. 22

[20] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003),h.146

[21] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , h.152

[22] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , h.158
[23] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , h.167

[24] Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , h. 181
        [25] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 37

[26] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, h. 49
[27] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, h. 52
[28] Haidar Putra Daulay,  Dinamika Pendidikan Islam, (Bandung : Cita pustaka Media, 2004), h. 18

[29] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta : Kalam Mulia, 2002), h. 88

[30] Hery Noer Aly dan H Munzier S, Watak Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska Agung Insani, 2000),  h.95

[31] HM Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2003), h.25

[32] Jhon M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 122

[33] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004), h. 54
[34] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, h. 56

4 komentar


EmoticonEmoticon