BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kehidupan
manusia dalam abad ke 21 mengalami perubahan dahsyat seperti yang dialami
masyarakat dan budaya manusia dalam revolusi industri abad ke 18. Pada abad ke
21 revolusi yang terjadi terutama disebabkan oleh kemajuan teknologi komunikasi
serta kemajuan teknologi informasi yang telah mengubah dimensi waktu dan tempat
kehidupan manusia. Bukan saja dimensi-dimensi itu berubah, tetapi juga tata
cara kehidupan manusia seperti dalam hubungan negara-negara ikut berubah. Manusia
dewasa ini hidup di dalam dunia tanpa batas, menghilangnya kebiwaan negara
tradisional, terbukanya dunia untuk perdagangan bebas dengan mengalirnya dana
secara internasional ditopang oleh kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat cepat,
menghasilkan apa yang disebut arus globalisasi yang menerjang kehidupan umat
manusia tanpa ampun.
Pendidikan
Transformatif memiliki visi mengubah masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern. Sebagaimana dimaklumi saat ini masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat agraris dengan etika, estetika dan kepribadian agraris yang belum
sepenuhnya familiar dengan ilmu pengetahuan dan teknologi beserta
perkembangannya. Tugas pendidikan adalah mengubah peradaban masyarakat,
khususnya dalam “menanamkan” dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta etika, estetika dan perubahan’ ke dalam sistem sosial masyarakat
Indonesia sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman tanpa harus kehilangan jati
diri sebagai bangsa. Pendidikan diharapkan menghantarkan masyarakat Indonesia
menjadi masyarakat modern yang sarat dengan IPTEK, etika, estetika dan
kepribadian yang unggul untuk mencapai tujuan kehidupan berbangsa dan
bernegara.Proses tersebut sudah barang tentu perlu ditunjang oleh investasi
berupa pernyataan teknologi dengan modul ke dalam sistem sosial masyarakat.
Sementara itu, masyarakat yang secara bertahap berubah menjadi berperadaban
modern (sarat IPTEK, etika, estetika, dan kepribadian yang unggul) dapat
menjadi umpan balik bagi pengembangan sistem pendidikan nasional yang bermutu.
Dalam
penulisan makalah ini, banyak teori-teori yang berorientasi pada model
mengembangkan pendidikan. Sehingga makalah ini di tulis dengan menggunakan
referensi yang terkait dan di susun dengan metode sederhana dengan memaparkan
berbagai macam perubahan yang terjadi pada wilayah pendidikan yang di sebut,
pendidikan transformatif.
B.
Rumusan Masalah
Dari urayan di atas maka penulis merumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
a.
Apa yang di maksud pendidikan Transformatif?
b. Bagaimana
upaya menerapkan pendidikan transformatif dalam lembaga pendidikan?
c. Apa
saja paradigma pendidikan transformatif?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendidikan Transformatif
Dalam
kehidupan Manusia masalah pendidikan sangat vital dan urgen untuk sebuah
perdaban. Jadi pendidikan harus dinamis dan transformatif dalam rangka menuju masa depan kehidupan manusia yang
lebih baik. Pendidikan transformatif adalah sebuah pendidikan yang tardisional
menuju pendidikan yang moderen. Jadi pendidikan seperti ini akan selalu efektif
dalam keadaan apapun.
Pendidikan
transformatif sangat penting karna dilihat dari hegemoni dunia yang makin keras
maka upaya pendidikan ini semestinya diimplementasikan disetiap lembaga
pendidikan yang ada. Maka pendidikan akan sangat efektif dan outputpun akan
cukup berkualitas untuk menjalankan peran kehidupan di masa mendatang. Namun
salah satu conto di indonesia saat ini kita dapat melihat perubahn signifikan pada
segi pendidikan tapi belum sepenuhnya dapat di katakan transformatif. Karna ada
hal-hal yang belum dapat diselesaikan contoh, yaitu fasilitas yang belum
memadai seperti yanga ada di negara-negara lain. Ini hanya sebagian saja atau
bisa di katakan pelayan masyarakat yang belum merata.
Selanjutnya
dari Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional (2004).[1]
dirumuskan tentang tujuan pendidikan transformatif yaitu melahirkan insan
cerdas komprehensif dan kompetitif. Cerdas komprehensif yaitu :
Cerdas
Spiritual (Olah Hati) : beraktualisasi diri melalui olah hati/kalbu untuk
menumbuhkan dan memperkuat keimanan, ketakwaan dan akhlak mulia termasuk budi
pekerti luhur dan kepribadian unggul.
Cerdas
Emosional (Olah Rasa) : beraktualisasi diri melalui olah rasa untuk
meningkatkan sensitivitas dan apresiasivitas akan kehalusan dan keindahan seni
dan budaya, serta kompetensi untuk mengekspresikannya.
Cerdas
Sosial : beraktualisasi diri melalui interaksi sosial yang:
a.
Membina dan memupuk hubungan timbal
balik Demokratis.
b.
Empatik dan simpatikmenjunjung tinggi
hak asasi manusia ceria dan percaya dirimenghargai kebhinekaan dalam
bermasyarakat dan bernegara; serta berwawasan kebangsaan dengan kesadaran akan
hak dan kewajiban warga negara.
Cerdas
Intelektual (Olah Pikir) : Beraktualisasi diri melalui olah pikir untuk
memperoleh kompetensi dan kemandirian dalam ilmu pengetahuan dan teknologi;
aktualisasi insan intelektual yang kritis, kreatif dan imajinatif.[2]
Cerdas
Kinestetis (Olah Raga): Beraktualisasi diri melalui olah raga untuk mewujudkan
insan yang sehat, bugar, berdaya-tahan, sigap, terampil, dan trengginas;
aktualisasi insan adiraga.
Kompetitif
yaitu memiliki :
v Berkepribadian
unggul dan gandrung akan keunggulan
v Bersemangat
juang tinggi
v Mandiri
v Pantang menyerah
v Pembangun
dan pembina jejaring
v Bersahabat
dengan perubahan
v Inovatif dan menjadi agen perubahan
v Produktif
v Sadar
mutu
v Berorientasi global
v Pembelajar sepanjang hayat
1. Hambatan-hambatan
indonesia menuju pendidikan transformatif
Untuk mewujudkan
Manusia yang Cerdas Komprehensif dan Kompetitif tentu tidaklah mudah karena :
Keterbatasan : secara
internal Indonesia masih memiliki banyak keterbatasan dalam penyelenggaraan
pendidikan yang unggul dalam hal :
Man
(manusia) : sumber daya manusia pengelola pendidikan yang kualitasnya masih
belum memuaskan.
Money
(uang) : keuangan yang masih terbatas dan belum dapat memenuhi kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan yang unggul dan bermutu.
Method
(metode) : metode pendidikan yang belum beragam dan kurang kreatif sehingga
proses pendidikan kurang efektif.
Machines
(alat) : peralatan pendukung pendidikan yang masih terbatas sehingga hanya
menggunakan apa yang ada.
Materials
siswa yang menjadi input pendidikan juga memiliki banyak keterbatasan karena
kondisi pribadi, keluarga dan masyarakat yang banyak problematika.
Tantangan : secara
eksternal Indonesia juga menghadapi tantangan dunia dan era global yang
merugikan (selain peluang yang menguntungkan) yaitu :
Penyalahgunan teknologi
ke hal-hal yang negatif seperti pornografi, game kekerasan dan lainnya. budaya
hidup global yang hedonistis dan materialistis sehingga masyarakat hanya
mementingkan diri sendiri demi menikmati kehidupan dunia dengan ukuran materi
dan harta.persaingan yang semakin ketat dan membuat kehidupan masyarakat
bergerak sangat cepat dan tertekan sehingga gampang untuk stress. ketidakadilan
kondisi dunia terutama negara-negara besar sepeti Amerika Serikat yang
menetapkan standar ganda dalam kebijakan globalnya.
Keserakahan negara-negara
kapitalis yang menjadikan negara-negara berkembang dan lemah semakin miskin dan
terbelakang dengan sumber daya yang terus dieksploitasi Ketidaksesuaian terjadi
krisis keteladanan dengan adanya paradoks antara teori dengan praktek, antara
idealita dengan realita kehidupan yang sangat mengganggu proses pendidikan. Ini
dapat dilihat di tingkat :
Pendidikan keluarga :
orang tua yang belum dapat menjadi tauladan dalam kehidupan sehari-hari dan
hanya menuntut dan meminta anak-anaknya berbuat tanpa memberi ketauladanan.[3]
Pendidikan formal
sekolah : apa yang diajarkan oleh guru dengan yang terlihat di kehidupan
sekolah sering berbeda seperti ajaran kejujuran dan keadilan, namun sekolah mengambil
jalan pintas demi mencapai prestasi dan prestise. Kasus Ujian Nasional dapat
dijadikan contoh di mana beberapa sekolah membocorkan kunci jawaban demi
menjadikan kelulusan mendekati 100 %.[4]
Pendidikan masyarakat :
kehidupan masyarakat juga berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah.
Tingkat korupsi yang tinggi, tingkat kejahatan, pelanggaran hukum yang tidak
diberi tindakan yang tegas. Jika bangsa Indonesia ingin menjadi bangsa yang
maju dan bermartabat maka kunci utamanya adalah SDM yang unggul. Untuk itu
dibutuhkan pendidikan dalam Perspektif Terpadu
meliputi :
a.
Keterpaduan manusia seutuhnya : proses
pendidikan yang memandang manusia secara utuh yaitu spiritual, emosional,
sosial, intelektual, kinestetis. Juga keterpaduan iman, ilmu dan amal sehingga
lahir manusia sempurna (insan kamil) yang takwa dan cendekia yang bahagia di
dunia dan akhirat.
b.
Keterpaduan pengelolaan : proses
pengelolaan yang tuntas mulai dari perencanaan (plan), pelaksanaan (action),
monitoring dan evaluasi (check) dan perbaikan (improve) program sehingga secara
terus-menerus terjadi peningkatan mutu pendidikan.
c.
Keterpaduan sumber daya : pengelolaan
sumber daya pendidikan meliputi man (manusia), money (uang), method (metode),
machines (alat), materialsinput yang unggul, cukup, tepat, efisien dan saling
mendukung dalam proses pendidikan.
d.
Keterpaduan partisipasi : antara
pemerintah dan masyarakat terjadi sinergi dan saling menjalankan peran dengan
sebaik-baiknya sehingga pelaksanaan pendidikan dalam proses dan pembiayaan dapat
efektif dan efisien.
e.
Keterpaduan proses : antara pendidikan
di sekolah, rumah dan masyarakat terjadi keterpaduan sinergi sehingga apa yang
diajarkan di sekolah, dikuatkan di rumah dan didukung oleh masyarakat.
f.
Keterpaduan antara teori dengan praktek
: adanya keteladanan dari para pendidik (orang tua, guru, pengelola sekolah,
penyelenggara negara dan tokoh masyarakat) sehingga nilai-nilai yang diajarkan
dapat terlihat wujudnya dalam kehidupan sehingga membekas dan membentuk
karakter.
Keterpaduan
nasional, regional dan global : adanya kerja sama terpadu antara seluruh
komponen bangsa (nasional). Kemudian dalam lingkup regional seperti Asia
Tenggara terjalin kerja sama untuk kemajuan pendidikan dan kerja sama global
untuk kemajuan kehidupan manusia yang semakin adil, aman, sejahtera dan
bahagia. [5]
1. Transformatif
dan Perubahannya
Kenichi Ohmae (2005),
seorang ahli fisika tamatan Masschussetts Institute of Technology yang menjadi
ekonom melihat perubahan global tersebut menuntut dalam tiga hal yang
diperlukan terutama segi ekonomi global. Ketiga hal itu sebagai berikut.
·
Perubahan teknologi,
·
Perubahan pribadi dalam menghadapi
perubahan teknologi tersebut,
·
Perubahan di dalam organisasi.
Pedagogik sebagai suatu
bidang ilmu sosial tentunya tidak dapat menutup mata terhadap perubahan global
yang terjadi. Oleh karena pendidikan merupakan aspek kebudayaan dan kebudayaan
mengalami perubahan di dalam era globalisasi. Maka proses pendidikan tidak
luput dari perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Bahkan pendidikan yang berkenan
dengan pembinaan pribadi manusia seharusnya berfungsi sebagai agen perubahan
itu sendiri.
Artinya masyarakat
modern yang refleksif yang akan dibangun hendaknya dipersiapkan melalui proses
pendidikan. Seperti yang ditunjukkan postmo dan studi kultural, modernisasi
yang diinginkan dalam era globalisasi bukannya menerima segala sesuatu yang
datangnya dari luar tetapi merupakan suatu modernisasi reflektif hasil kajian
dari pribadi-pribadi yang menguasai ilmu pengetahuan serta dapat memilih
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan moral.[6]
Arus globalisasi
membawa banyak unsur, baik positif maupun yang negatif. Oleh sebab itu, seorang
pribadi harus mengadakan pilihan yang intelegen. Dasar dari proses pemilihan
tersebut yaitu pengetahuan, tindakan, kebiasaan yang diperoleh dari habitus
seseorang dimana ia dibesarkan. Unsur penting dari suatu habitus ialah
kebudayaan yang dimiliki seseorang sejak lahirnya.
Arus globalisasi jangan
menyebabkan seseorang hanyut di dalam perubahan tanpa arah, tetapi dapat
memilih mana yang terbaik sesuai dengan habitus seseorang. Ini artinya
seseorang harus membuka diri terhadap perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat.
Proses pemilihan arah
merupakan hasil tempaan dalam kehidupan seseorang. Oleh sebab itu, proses
belajar mengajar tidak terbatas kepada hasil akhir tetapi terutama kepada
proses dalam mencapai hasil tersebut. Pedagogik transformatif merupakan suatu
proses yang mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik. Inilah yang
disebut visi pendidikan pedagogik transformatif.
Pedagogik transformatif
bukan hanya terfokus kepada peserta didik an sich tetapi kepada peserta didik
dalam habitus budayanya yang “terus menerus menjadi”. Peserta didik dan
budayanya akan berkembang dan terarah pada kehidupan bersama yang penuh tantangan
karena terus-menerusberubah dengan cepat. Pedagogik tradisional seperti di
dalam gerakan pendidikan progresif di arahkan kepada kebutuhan peserta didik
(child centered education), dapat pula berupa society centered education. Kedua
approach tersebut tidak memadai di dalam pedagogik transformatif. child
centered educationmengasingkan peserta didik dari masyarakat dan kebudayaannya,
sedangkan society centered education mengabaikan kemerdekaan peserta didik
karena tunduk kepada kebutuhan masyarakat yang didominasi oleh struktur
kekuasaan tertentu. Hal ini menghilangkan hakikat manusia yang paling asasi
ialah kemerdekaannya. Demikianlah pedagogik transformatif yang dinamis yang
terus menerus mengantisipasi perubahan yang akan datang.
2. Strategi Pedagogik Transformatif menghadapi
Perubahannya
Seperti yang di
kemukakan Kenichi Ohmae (2005).[7] bahwa
di dalam di dalam bidang ekonomi perlu disusun dan direncanakan secara
strategis untuk menghadapi perubahan yang cepat tersebut. Dalam bidang
pendidikan, strategi yang sama dapat dan perlu dikembangkan. Yaitu:
·
Revolusi Teknologi
Menghadapi perubahan
yang besar yang diakibatkan oleh perkembangan yang sangat cepat dalam teknologi
informasi, proses pendidikan perlu memanfaatkan kemajuan-kemajuan yang dicapai
oleh teknologi informasi di dalam pengembangan individu maupun organisasi
pendidikan. Di dalam memanfaatkan revolusi teknologi informasi yang penting
adalah kita perlu menjaga agar tidak jatuh kepada proses robotisasi pendidikan.
Teknologi adalah sekedar alat untuk komunikasi bukan sebaliknya. Janganlah
teknologi informasi dan komunikasi dijadikan dewa penyelamat untuk dapat
mengatasi semua masalah pendidikan. Kita jangan melupakan bahwa manusia
bukanlah robot karena manusia adalah makhluk yang dikaruniai Sang Pencipta
dengan kemerdekaan dan daya ciptanya.
Hal ini berarti
kreativitas tetap mengatasi kemampuan teknologi. Bukankah kemajuan teknologi
itu sendiri merupakan buah karya cipta manusia? Jadi teknologi informasi
menjadi sarana untuk manusia dalam mengembangkan dirinya untuk menghadapi
perubahan-perubahan secara cepat. Bukan sebaliknya, manusia sebagai alat dari
teknologi komunikasi sehingga manusia itu sekedar menjadi pelaksana dari
teknologi itu sendiri. Kalau demikian halnya, maka terjadilah proses
dehumanisasi di dalam proses belajar dan proses pemanusiaan. Semuanya serba
otomotis tanpa perasaan, tanpa kegalauan dan tanpa apresiasi keindahan.
Revolusi teknologi dengan
demikian tidak membawa manusiahidup dalam suatu dunia yang digambarkan oleh George
Orwell (1984)[8]
dimana kebebasan individu menghilang di bawah kontrol “the big brother” yang
memata-matai gerak-gerak manusia yang tidak mengenal lagi dunia privat.
Di dalam revolusi
teknologi terjadi apa yang disebut kompresi waktu dan ruang. Hal ini berarti
kehidupan berjalan serba cepat bahkan penuh persaingan. Freidmen mengatakan
bahwa dunia tidak lagi bulat, tetapi dunia yang rata. Hal ini berarti segala
sesuatu berjalan menjadi transparan, yang membuka kesempatan yang sama kepada
semua orang.
·
Perubahan Pribadi
Apabila lingkungan kita
berubah dengan cepat meminta yang sama dari sikap pribadi yang hidup dalam
lingkungan tersebut. Kontradiksi sikap yang timbul akan mengantar manusia yang
tidak kreatif dan kontrproduktif bisa berakhir perusakan likungan. Menghadapi
perubahan lingkungan yang cepat diperlukan pribadi yang pro aktif.
Kemampuan adaptif
berarti kemampuan memilih atau selektif terhadap hal yang positif maupun
negatif pada habitat seseorang. Sikap adaptif yang selektif terhadap perubahan
berarti pula kemampuan berpartisipasi di dalam perubahan yang terjadi. Manusia
di era globalisasi bukanlah manusia yang bertindak kontemplatif tetapi “man of
action”, manusia yang bertindak. Dengan demikian perubahan yang terjadi akan
merupakan perubahan yang terarah oleh nilai-nilai kemanusiaan (human values).
Di dalam sikap
partisipatif yang positif itu jelas proses pendidikan, bukanlah merupakan suatu
proses pengisian botol kosong atau yang seperti dikemukakan oleh Paulo Freire
sebagai proses seperti dalam sistem perbankan (banking system) dalam arti
penguasaan subject matter sebanyak-banyaknya.
Pendidikan bukan
merupakan suatu proses yang menyuguhkan kompetensi-kompetensi tertentu yang
belum tentu dapat dimanfaatkan dalam memecahkan masalh kehiduan yang mana
kehidupan selalu mengalami perubahan. Yang benar adalah adalah lembaga
pendidikan yang bertujuan mempersiapkan pribadi-pribadi yang siapbelajar dengan
partisipasi di dalam kehidupan. Proses belajar mengajar merupakan proses yang
berkesinambungan atao long lifes
education.[9]
·
Perubahan di dalam Organisasi
Lembaga pendidikan atau
sekolah merupakan suatu lembaga sosial formal dimana terjadi proses pendidikan.
Sekolah merupakan suatu organisasi. Setiap organisasi atau lembaga sosial
mempunyai struktur organisasi, fungsi, dan kepemimpinan sendiri. Secara
keseluruhan suatu organisasi sosial hanya dapat berfungsi apabila dia menjawab
kebutuhan yang diharapkan oleh masyarakat dari lembaga sosial itu berada.
Sekolah biasanya
merupakan suatu culture lag di dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena
sekolah dianggap sebagai lembaga dimana terjadi transfer kubudayaan dari satu
generasi ke generasi sesudahnya, dengan kata lain sekolah merupakan sarana
kesinambungan suatu masyarakat. Menghadapi perubahan, sekolah harus membuka
diri dari perubahan-perubahan yang terjadi bahkan lembaga tersebut harus
menjadi pelopor perubahan itu sendiri. Ini diperlukan agar terjadi akselerasi
perubahan yang antisipatif dan pro aktif.
Lembaga pendidikan yang adaptif terhadap
perubahan masyarakat pertama haruslah berada di dalam arus perubahan masyarakat
itu sendiri. Lembaga sekolah bukannya menjadi penghalang, tetapi merupakan
laboratorium perubahan itu sendiri. Peserta didik yang ada di dalamnya mesti
ekuivalen dengan perubahan sekolah dan masyarakat sehingga perlu ditanamkan
sikap yang kreatif dan transformatif di dalam masa pengembangannya.[10]
Inilah lembaga
pendidikan yang progresif yang bukan menantang globalisasi tetapi menerima
secara refleksif perubahan dalam masyarakat dan mengarahkannya demi meningkatkan
taraf hidup anggota masyarakatnya. Lembaga pendidikan yang demikian berarti
milik masyarakat yang dinamis. Masyarakat yang berubah memiliki atau menjadi
shareholder dari lembaga pendidikannya dan terciptalah kondisi pengembangan
kreativitas serta kerja sama positif peserta didik di dalam mengembangkan
berbagai kompetensi yang diantisipasikan dituntut di dalam perubahan masyarakat
masa depan.
Sekolah adalah salah
satu dari Tripusat pendidikan yang dituntut untuk mampu menjadikan output yang
unggul, mengutip pendapat Gorton tentang sekolah ia mengemukakan, bahwa sekolah
adalah suatu sistem organisasi, di mana terdapat sejumlah orang yang bekerja
sama dalam rangka mencapai tujuan sekolah yang dikenal sebagai tujuan
instruksional. Desain organisasi sekolah adalah di dalamnya terdapat tim
administrasi sekolah yang terdiri dari sekelompok orang yang bekerja sama dalam
rangka mencapai tujuan oranisasi.
MBS terlahir dengan
beberapa nama yang berbeda, yaitu tata kelola berbasis sekolah (school-based
governance), manajemen mandiri sekolah (school self-manegement), dan bahkan
juga dikenal dengan school site management atau manajemen yang bermarkas di
sekolah.
Penyerahan otonomi
dalam pengelolaan sekolah ini diberikan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan. Oleh karena itu, maka Direktorat Pembinaan
SMP menamakan MBS sebagai Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS).[11]
Tujuan utama adalah
untuk mengembangkan prosedur kebijakan sekolah, memecahkan masalah-masalah
umum, memanfaatkan semua potensi individu yang tergabung dalam tim tersebut.
Sehingga sekolah selain dapat mencetak orang yang cerdas serta emosional
tinggi, juga dapat mempersiapkan tenaga-tenaga pembangunan. Oleh karena itu
perlu diketahui pandangan filosofis tentang hakekat sekolah dan masyarakat
dalam kehidupan kita. sekolah adalah bagian yang integral dari masyarakat, ia
bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat, hak hidup dan
kelangsungan hidup sekolah bergantung pada masyarakat, sekolah adalah lembaga sosial
yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang
pendidikan, kemajuan sekolah dan masyarkat saling berkolerasi, keduanya saling
membutuhkan, Masyarakat adalah pemilik sekolah, sekolah ada karena masyarakat
memerlukannya.
Berdasarkan fungsi pokoknya, istilah
manajemen dan administrasi mempunyai fungsi yang sama, yaitu:
·
merencanakan (planning),
·
mengorganisasikan (organizing),
·
mengarahkan (directing),
·
mengkoordinasikan (coordinating),
·
mengawasi (controlling),
·
mengevaluasi (evaluation).
Menurut Gaffar (1989)
mengemukakan bahwa manajemen pendidikan mengandung arti sebagai suatu proses
kerja sama yang sistematik, sitemik, dan komprehensif dalam rangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional.[12]
Manajemen berbasis
sekolah Sejak beberapa waktu terakhir, kita dikenalkan dengan pendekatan “baru”
dalam manajemen sekolah yang diacu sebagai manajemen berbasis sekolah (school
based management) atau disingkat MBS. Di mancanegara, seperti Amerika Serikat,
pendekatan ini sebenarnya telah berkembang cukup lama. Pada 1988 American
Association of School Administrators, National Association of Elementary School
Principals, and National Association of Secondary School Principals,
menerbitkan dokumen berjudul school based management, a strategy for better
learning. Munculnya gagasan ini dipicu oleh ketidakpuasan atau kegerahan para
pengelola pendidikan pada level operasional atas keterbatasan kewenangan yang
mereka miliki untuk dapat mengelola sekolah secara mandiri. Umumnya dipandang
bahwa para kepala sekolah merasa tak berdaya karena terperangkap dalam
ketergantungan berlebihan terhadap konteks pendidikan.
Di Indonesia, gagasan
penerapan pendekatan ini muncul belakangan sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah sebagai paradigma baru dalam pengoperasian sekolah. Selama ini, sekolah
hanyalah kepanjangan tangan birokrasi pemerintah pusat untuk menyelenggarakan
urusan politik pendidikan. Para pengelola sekolah sama sekali tidak memiliki
banyak kelonggaran untuk mengoperasikan sekolahnya secara mandiri. Semua
kebijakan tentang penyelenggaran pendidikan di sekolah umumnya diadakan di
tingkat pemerintah pusat atau sebagian di instansi vertikal dan sekolah hanya
menerima apa adanya.[13]
MBS adalah upaya serius
yang rumit, yang memunculkan berbagai isyu kebijakan dan melibatkan banyak lini
kewenangan dalam pengambilan keputusan serta tanggung jawab dan akuntabilitas
atas konsekuensi keputusan yang diambil. Oleh sebab itu, semua pihak yang
terlibat perlu memahami benar pengertian MBS, manfaat, masalah-masalah dalam penerapannya,
dan yang terpenting adalah pengaruhnya terhadap prestasi belajar murid.
Manajemen berbasis sekolah dapat bermakna adalah desentralisasi yang sistematis
pada otoritas dan tanggung jawab tingkat sekolah untuk membuat keputusan atas
masalah signifikan terkait penyelenggaraan sekolah dalam kerangka kerja yang
ditetapkan oleh pusat terkait tujuan, kebijakan, kurikulum, standar, dan
akuntabilitas. Tampaknya pemerintah dari setiap negara ingin melihat adanya
transformasi sekolah. Transformasi diperoleh ketika perubahan yang signifikan,
sistematik, dan berlanjut terjadi, mengakibatkan hasil belajar siswa yang
meningkat di segala keadaan (setting), dengan demikian memberikan kontribusi
pada kesejahteraan ekonomi dan sosial suatu negara. Manajemen berbasis sekolah
selalu diusulkan sebagai satu strategi untuk mencapai transformasi sekolah.
Manajemen berbasis
sekolah telah dikembagakan di tempat-tempat seperti Inggris, dimana lebih dari
25.000 sekolah telah mempraktikkannya lebih dari satu dekade. Atau seperti
Selandia Baru atau Victoria, Australia atau di beberapa sistem sekolah yang
besar) di Kanada dan Amerika Serikat, dimana terdapat pengalaman sejenis selama
lebih dari satu dekade. Praktik manajemen berbasis sekolah di tempat-tempat ini
tampaknya tidak dapat dilacak mundur. Satu indikasi skala dan lingkup minat
terhadap manajemen berbasis sekolah diagendakan pada Pertemuan Menteri-menteri
Pendidikan dari Negara APEC di Chili pada April 2004.[14] APEC
(Asia Pacific Economic Cooperation) merupakan satu jejaring 21 negara yang
mengandung sepertiga dari populasi dunia. Tema dari pertemuan adalah “mutu
dalam pendidikan” dan tata kelola merupakan satu dari empat sub tema. Perhatian
khusus diarahkan pada desentralisasi. Para menteri sangat menyarankan (endorse)
manajemen berbasis sekolah sebagai satu strategi dalam reformasi pendidikan,
tatapi juga menyetujui aspek-aspek sentralisasi, seperti kerangka kerja bagi
akuntabilitas. Mereka mengakui bahwa pengaturannya akan bervariasi di
masing-masing negara, yang merefleksikan keunikan tiap-tiap setting.
Manajemen berbasis
sekolah memiliki banyak bayangan makna. Ia telah diimplementasikan dengan cara
yang berbeda dan untuk tujuan berbeda dan pada laju yang berbeda di tempat yang
berbeda. Bahkan konsep yang lebih mendasar dari “sekolah” dan “manajemen”
adalah berbeda, seperti berbedanya budaya dan nilai yang melandasi upaya-upaya
pembuat kebijakan dan praktisi. Akan tetapi, alasan yang sama di seluruh tempat
dimana manajemen berbasis sekolah diimplementasikan adalah bahwa adanya
peningkatan otoritas dan tanggung jawab di tingkat sekolah, tetapi masih dalam
kerangka kerja yang ditetapkan di pusat untuk memastikan bahwa satu makna
sistem terpelihara.
Satu implikasi penting
adalah bahwa para pemimpin sekolah harus memiliki kapasitas membuat keputusan
terhadap hal-hal signifikan terkait operasi sekolah dan mengakui dan mengambil
unsur-unsur yang ditetapkan dalam kerangka kerja pusat yang berlaku di seluruh
sekolah.
Penerapan MBS yang
efektif secara spesifik mengidentifikasi beberapa manfaat spesifik dari
penerapan MBS sebagai berikut :
·
Memungkinkan orang-orang yang kompeten
di sekolah untuk mengambil keputusan yang akan meningkatkan pembelajaran.
·
Memberi peluang bagi seluruh anggota
sekolah untuk terlibat dalam pengambilan keputusan penting.
·
Mendorong munculnya kreativitas dalam
merancang bangun program pembelajaran.
·
Mengarahkan kembali sumber daya yang
tersedia untuk mendukung tujuan yang dikembangkan di setiap sekolah.
·
Menghasilkan rencana anggaran yang lebih
realistik ketika orang tua dan guru makin menyadari keadaan keuangan sekolah,
batasan pengeluaran, dan biaya program-program sekolah.
·
Meningkatkan motivasi guru dan
mengembangkan kepemimpinan baru di semua level.
Tujuan akhir dari
penerapan MBS pada akhirnya bermuara pada bagaimana mewujudkan sekolah unggul
atau sekolah yang berkualitas. Sekolah unggul adalah sekolah yang dikembangkan
untuk mencapai keunggulan dalam keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan
dalam keluaran yang dimaksud meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya kalbu,
dan daya pisik) dan penguasaan ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi,
politik, sosiologi, dsb.) maupun yang keras (matematika, fisika, kimia,
biologi, astronomi) termasuk penerapannya yaitu teknologi (konstruksi,
manufaktur, komunikasi, dsb.).[15]
Untuk mencapai akurasi dan
kebermanfaatan dari penerapan MBS guna mewujudkan sekolah unggul sebagaimana
diungkapkan di atas munculah persoalan, yaitu strategi jitu yang bagaimanakah
yang sekiranya mampu menghantarkan terhadap ketercapaian dari apa-apa yang
menjadi harapan atau tujuan dari penerapan MBS tersebut? Sehubungan dengan
persoalan tersebut, penulis mencoba untuk mengungkap jawaban atas persoalan
tersebut dengan menyajikan beberapa soslusi dengan berdasarkan referensi yang
ada.
B. Penerapan
Pendidikan transformatif Pada lembaga pendidikan
1. Sekolah
Unggul
Sekolah
unggul adalah sekolah yang dikembangkan untuk mencapai keunggulan dalam
keluaran (output) pendidikannya. Keunggulan dalam keluaran yang dimaksud
meliputi kualitas dasar (daya pikir, daya kalbu, dan daya pisik) dan penguasaan
ilmu pengetahuan, baik yang lunak (ekonomi, politik, sosiologi, dsb.) maupun
yang keras (matematika, fisika, kimia, biologi, astronomi) termasuk
penerapannya yaitu teknologi (konstruksi, manufaktur, komunikasi, dsb.).
Secara
umum, sekolah unggul memiliki keunggulan-keunggulan dalam input (siswa dan
masukan instrumental), proses belajar mengajar, dan output (hasil belajar) yang
ditunjukkan oleh kepemilikan kecerdasan majemuk (multiple intelligences).
Sperry (1981) membagi kecerdasan majemuk menjadi: (1) otak kiri lebih cenderung
berpikir logic, sequential, linear, analytic, reasoning, explicit, dan
calculation, (2) otak kanan cenderung berpikir intuition, images, visual,
spatial, creative, holistic, colour, dan
emotion.[16]
Warga
sekolah memahami, meng-hayati, dan mempraktekkan sekolah sebagai sistem
sehingga hasil kerja sekolah disadari sebagai hasil upaya kolektif warga
sekolah. Sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi
sehingga dibutuhkan teamwork yang kompak, cerdas, dan dinamis;
Sekolah
memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap prestasi belajar siswanya,
Profesionalisasi pendidik dan tenaga kependidikan menjadi fokus perhatian,
Proses belajar mengajar yang efektif menjadi fokus perhatian sekolah, Kepemimpinan
dan manajemen sekolah sangat professional, Sekolah mempertanggungjawabkan hasil
belajar kepada publik (akuntabilitas), Sekolah memiliki komunitas belajar yang
kuat, Jaminan mutu merupakan komitmen warga sekolah terhadap publik yang
ditunjukkan oleh kualitas desain, pelaksanaan, dan evaluasi rencana
pengembangan sekolah (RPS), Sekolah menerapkan prinsip-prinsip tata pengelolaan
(partisipasi, trans-paransi, akuntabilitas, dsb.), Visi, misi, tujuan, dan
sasaran sekolah dimiliki bersama oleh warga sekolah, Sekolah menerapkan
organisasi belajar .
Sekolah
unggul bertujuan untuk menghasilkan keluaran pendidikan yang memiliki
keunggulan-keunggulan dalam: (1) kualitas dasar yang meliputi daya pikir, daya
kalbu, dan daya pisik, (2) kualitas instrumental yang meliputi penguasaan ilmu
pengetahuan (lunak dan keras termasuk terapannya yaitu teknologi, kemampuan
berkomunikasi, dsb., dan (3) kemampuan bersaing dan bekerjasama dengan
bangsa-bangsa lain.[17]
Selain
itu, sekolah unggul juga ditujukan untuk
menyiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan/ kompetensi kunci untuk
menghadapi era regionalisasi/ globali-sasi, yaitu: (1) memiliki kemampuan dasar
yang kuat dan luas, (2) mampu mengumpulkan, menganalisis, dan menggunakan data
dan informasi, (3) mampu meng-komunikasikan ide dan informasi.
Pengembangan
sekolah unggul harus dilakukan secara kolektif sehingga perlu melibatkan
stakeholders dalam pendi-dikan, baik politikus, birokrat (terutama dinas
pendidikan kabupaten/kota), akademisi, praktisi, tokoh masyarakat, orangtua
siswa, dsb.
2.
Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah
Kepemiminan
merupakan proses dimana seorang individu mempengaruhi sekelompok individu untuk
mencapai suatu tujuan. Untuk menjadi seorang pemimpin yang efektif, seorang
kepala sekolah harus dapat mempengaruhi seluruh warga sekolah yang dipimpinnya
melalui cara-cara yang positif untuk mencapai tujuan pendidikan di sekolah.
Secara sederhana kepemimpinan transformasional dapat diartikan sebagai proses
untuk merubah dan mentransformasikan individu agar mau berubah dan meningkatkan
dirinya, yang didalamnya melibatkan motif dan pemenuhan kebutuhan serta
penghargaan terhadap para bawahan.[18]
Terdapat
empat faktor untuk menuju kepemimpinan tranformasional, yang dikenal sebutan 4
I, yaitu : idealized influence, inspirational motivation, intellectual
stimulation, dan individual consideration.
Idealized
influence: kepala sekolah merupakan sosok ideal yang dapat dijadikan sebagai
panutan bagi guru dan karyawannya, dipercaya, dihormati dan mampu mengambil
keputusan yang terbaik untuk kepentingan sekolah.
Inspirational
motivation: kepala sekolah dapat memotivasi seluruh guru dan karyawannnya untuk
memiliki komitmen terhadap visi organisasi dan mendukung semangat team dalam
mencapai tujuan-tujuan pendidikan di sekolah.
Intellectual Stimulation: kepala sekolah dapat
menumbuhkan kreativitas dan inovasi di kalangan guru dan stafnya dengan
mengembangkan pemikiran kritis dan pemecahan masalah untuk menjadikan sekolah
ke arah yang lebih baik.
Individual consideration: kepala sekolah dapat
bertindak sebagai pelatih dan penasihat bagi guru dan stafnya.
Berdasarkan
hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001),.[19] menyimpulkan
bahwa seseorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata
dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil
kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang amat menguntungkan
jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepemimpinan transformasional di
sekolahnya.
Karena
kepemimpinan transformasional merupakan sebuah rentang yang luas tentang
aspek-aspek kepemimpinan, maka untuk bisa menjadi seorang pemimpin
transformasional yang efektif membutuhkan suatu proses dan memerlukan usaha
sadar dan sunggug-sungguh dari yang bersangkutan. Northouse (2001) memberikan
beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai
berikut:
·
Berdayakan seluruh bawahan untuk
melakukan hal yang terbaik untuk organisasi
·
Berusaha menjadi pemimpin yang bisa
diteladani yang didasari nilai yang tinggi
·
Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk
mengembangkan semangat kerja sama.
·
Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh
semua orang dalam organisasi.
·
Bertindak sebagai agen perubahan dalam
organisasi dengan memberikan contoh.
bagaimana menggagas dan melaksanakan suatu perubahan.
·
Menolong organisasi dengan cara menolong
orang lain untuk berkontribusi
terhadap organisasi.
C. Paradigma Pendidikan Transformatif
Keberadaan sebuah
Negara secara keseluruhan merupakan sebuah hal yang patut untuk diapresiasi,
hal ini dikarenakan negara sebagaimana banyak diketahui merupakan sebuah rumah
yang bisa mendidik warganya untuk mandiri dan mampu menyelesaikan masalahnya.
Karena itu amatlah sangat tidak mungkin jika keberadaan sebuah negara
menegaskan muatan pendidikan dalam salah satu program pengembangan sumber daya
manusianya. Dilandasi oleh hal tersebut, pendidikan merupakan sebuah hal yang
sangat niscaya untuk diterapkan dalam sebuah negara.
Sejalan dengan semangat
tersebut, pendidikan yang diterapkan dalam sebuah Negara tentunya memiliki
semangat orientasi tersendiri. Ini dikarenakan, system pendidikan yang dibangun
tentunya merupakan alat penyadaran atau kampanye dari nilai-nilai ideologis
yang ingin diterapkan oleh pemerintah terhadap warga negaranya. Kecenderungan
tersebut pada prosesnya sering mengiring pendidikan untuk menjadi tidak otonom,
dalam makna pendidikan ada karena adanya kepentingan ideologis dari penguasa
sebuah negara. Berkaitan dengan hal tersebut, maka orientasi pendidikan yang
selama ini dijalankan dalam sebuah negara sangat mustahil memiliki pandangan
yang berbeda dengan pandangan ideology negara tersebut.[20]
Kondisi seperti ini pada akhirnya akan membawa pada praktek yang sangat
mengenaskan untuk pengembangan sumber daya manusianya karenanya hal ini banyak
membuat gerah beberapa tokoh pemikir filsafat pendidikan, seperti Paulo Freire
yang dengan tegas mengeluarkan teori pendidikan transformatif untuk menjawab
tantangan zaman yang selalu mengalami perubahan.
Selain itu, masuknya
paradigma positivism-logis yang disodorkan oleh para ilmuan barat ditengarai
juga membawa dampak yang sangat krusial terhadap perkembangan teori pendidikan.
Paradigma positivism-logis telah mempengaruhi pola kebijakan politik pendidikan
sebuah negara untuk mengejar atau menggunakan tradisi science sebagai landasan
kemajuan pengetahuan dalam system pendidikannya, walhasil kekritisan warga
negara dalam menganalisa problem sosial budaya tak nampak kepermukaan.
Paradigma ini mengantarkan aspek kritis hilang karena pengetahuan ataupun
pendidikan dianggap sebagai sebuah hal yang objektif tanpa ada kepentingan. Hal
ini sering terjadi pada negara-negara dunia ketiga atau yang lebih kita kenal
sebagai negara poskolonial. Problem seperti inilah yang lantas mengantarkan
Edward Said untuk merumuskan system pemikiran yang menolak paradigma
positivism-logis yang dikonstrukan dalam paradigma pendidikan pada negara-negara
dunia ketiga. System pendidikan yang lantas ditawarkan adalah system pendidikan
kritis yang berbasiskan teori poskolonial.
Seperti yang telah
disebutkan diatas, paradigma pendidikan yang sedang berlangsung di
negara-negara dunia ketiga adalah paradigma pendidikan positivis-logis.
Paradigma ini lantas mengkonstruk masyarakat dunia ketiga untuk menyamakan
paradigmanya dalam merumuskan system pendidikan. System pendidikan yang
kemudian dibangun adalah system pendidikan yang narsistik yaitu selalu mengedepankan
barat sebagai ladang pengetahuan dengan corak liberalisme yang tidak lantas
membebaskan individu dari belenggu ketertindasan moril dari kolonialisme yang
sedang dilakukan tanpa sadar.[21]
Proses kolonialisasi
yang tanpa sadar seperti ini dilakukan dalam proses pendidikan, sehingga para
peserta didik seolah merasakan hal itu sebagai sebuah hal yang wajar, akan
tetapi hal tersebut terasa berbeda dalam perasaan Edward Said maupun Freire.
Said melihat bahwa hal ini bukanlah sebagai suatu hal yang wajar karena pada
prosesnya, warga negara yang berada dalam negara poskolonial atau rata-rata
berada di timur, memiliki kondisi psikologis yang berbeda pula dari
negara-negara dunia pertama, sehingga system atau paradigma pendidikannya pun
haruslah berbeda ini dikarenakan jika paradigma pendidikan negara dunia pertama
disamakan dengan negara dunia ketiga maka negara dunia ketiga tak akan pernah
dapat membongkar praktek-praktek kolonialisasi terselubung dibalik muatan
objektif pengetahuan yang diajarkan melalui jalur pendidikan.
Paradigma pendidikan
yang dibawa oleh negara dunia pertama atau dalam hal ini barat merupakan sebuah
alat atau senjata untuk melanggengkan kekuasannya di daerah-daerah dunia ketiga,
dari hal ini bisa dilihat bahwa praktek kolonialisasi terus saja dilaksanakan.
Menurut Said pendidikan ala barat merupakan sebuah konstruk wacana yang ingin
diterapkan terhadap negara yang berbeda dengannya.[22]
Dari sini kita dapat
melihat bahwa paradigma poskolonialis yang dikembangkan oleh Said bisa
dijadikan alat untuk membongkar hegemoni dan dominasi paradigma positivis-logis
gaya barat dalam membangun sebuah paradigma pendidikan yang baru. Belum tuntas
sampai disini, teori poskolonial dari Edward Said sebenarnya ingin menegaskan
bahwa konsep pendidikan yang ada haruslah mampu untuk melihat manusia sebagai
manusia, hal ini dikarenakan bahwa paradigma pendidikan gaya barat yang
berbasiskan positivism-logis selalu melihat warga negara dunia ketiga sebagai objek
atau kelompok manusia yang berbeda dari konsep manusia yang tertanam dalam
pikiran mereka. Said ingin menegaskan warga negara dunia oriental adalah subjek
pengetahuan juga, mereka adalah manusia yang sama memiliki rasio.
Pola pikir
poskolonialis yang coba diterapkan pada paradigma pendidikan tersebut
mengantarkan kita pada pemahaman yang humanis dan juga kritis, dalam posisi ini
sejalan dengan paradigma pendidikan transformatif dari Freire yang ingin
memanusiakan manusia. Menurut Freire, dalam filsafat pendidikan transformatif,
pembelajaran merupakan pembongkaran terhadap semua bentuk kesadaran budaya
dalam rangka menumbuhkan kesadaran budaya yang baru yaitu budaya penghargaan
terhadap kemanusiaan.[23]
Konsep Filsafat
pendidikan Freire mempunyai visi yang filosofis yaitu manusia yang terbebaskan.
Bagi Freire pendidikan merupakan sebuah alat untuk membebaskan manusia, karena
pendidikan berpotensi untuk menyadarkan manusia dari belenggu-belenggu
kepentingan yang menjadikannya terkurung dalam sekat-sekat kebodohan akibat
adanya politik kepentingan. Paradigma pendidikan yang ditawarkan oleh Freire
adalah sebuah kritik terhadap proses pendidikan yang mengenyampingkan peran
pembebasan atau penghargaan terhadap unsur kemanusiaan.
Selanjutnya pada
paradigma pendidikan liberal-positivism-logis gaya barat yang cenderung
mengekang dan tidak humanis, paradigma pendidikan ala Freire bisa digunakan
untuk media perlawanan. Paradigma pendidikan ala barat mempunyai kecenderungan
untuk memisahkan peserta didik dengan realitas manusia yang sebenarnya sehingga
peserta didik teralienasi dari realitas objektifnya, dari kondisi seperti ini
akhirnya peserta didik tidak dapat memahami realitas atau dunia secara
menyeluruh atau dengan kata lain pendidikan pada akhirnya hanya melahirnya
pengetahuan sepihak, dan secara tak langsung peoses dehumanisasi dalam
pendidikan terlaksanakan.
Problematika
dehumanisasi inilah yang ditentang dengan tegas oleh dua orang tersebut,
pendidikan bukanlah alat yang akhirnya menjadikan manusia menjadi teralienasi
dari kehidupannya, bukan menjadikan manusia menjadi teralienasi dari
lingkungannya bukan pula menjadikan manusia teralienasi dari dirinya sendiri,
melainkan menjadikan manusia sadar akan dirinya kehidupannya dan lingkungannya.
Sehingga pendidikan adalah alat yang membebaskan keterkungkungan diri dari
sekat politik kepentingan yang menekan lantas menjadikan manusia bijak dalam
memaknai hidup.
Proyek paradigma
pendidikan yang ditawarkan oleh tokoh poskolonial dan tokoh transformatif
merupakan sebuah respon terhadap kondisi pendidikan yang selama ini terjadi di
negara-negara bekas koloni yang miskin ataupun negara-negara yang terbelakang.
Ini dikarenakan pemasokan kesadaran yang diciptakan oleh paradigma
liberal-positivism-logis telah banyak membunuh kreatifitas berpikir manusia.
Hal inilah jika tidak ditanggapi secara serius diramalkan akan menimbulkan
proses kolonialisme gaya baru.
Kondisi seperti inilah yang dengan tegas
akan menciderai makna dan hakikat manusia. Karenanya perubahan corak atau
paradigma pendidikan merupakan sebuah keharusan untuk merentas jalan menuju
proses kehidupan manusia yang lebih baik guna menciptakan alam dunia yang ideal
dan lebih bermakna, selain itu perubahan paradigma pendidikan akan menciptakan
pola tatanan dunia baru yang lebih ramah, lebih humanis dan tentunya lebih
demokratis karena terjadinya pluralitas perbedaan dalam paradigma atau corak
pandang dalam memaknai system kehidupan.[24]
Potret pendidikan di
Indonesia makin hari makin buram. Menurut penulis, ini disebabkan karena
pendidikan di Indonesia menganut paradigma liberal. Dalam koridor paradigma ini
pendidikan diabdikan bagi kepentingan ekonomi semata. Pendidikan tidak
bertujuan untuk pembebasan kemanusiaan. Penulis menguraikan tiga paradigma
pendidikan yang lazim berlaku: konservatif, liberal, kritik. Ketiganya
membentuk corak kesadaran yang berbeda pula bagi peserta didik. Pendidikan
konservatif menghasilkan kesadaran magis; pendididkan liberal menghasilkan
kesadaran naif; sebaliknya, berbeda dengan dua paradigma sebelumnya, pendidikan
kritik membentuk kesadaran kritis. Model pendidikan banking-yang ignoramus
karena sekadar menumpuk pengetahuan nir diseminasi critical sense-, tak pelak
menghadirkan sosok generasi yang buta akan penindasan. Kemacetan transformasi
sosial dewasa ini, tak lain juga bermula dari pendidikan yang tidak
transformatif tersebut.
Banyak orang menyebut
bahwa antara pendidikan dan perubahan sosial adalah dua hal yang saling terkait
dan mempengaruhi. Suatu perubahan kiranya sulit akan terjadi tanpa diawali
pendidikan, begitu pula pendidikan yang transformatif tak akan pula terwujud
bila tidak didahului dengan perubahan, utamanya, paradigma yang mendasarinya.
Bahkan, ada pula yang berpendapat bahwa menyebut perubahan sosial dan
pendidikan yang transformatif ibarat menyebut sesuatu dalam satu tarikan nafas:
pendidikan taranformatif adalah perubahan sosial dan perubahan sosial adalah
pendidikan transformatif. Sungguhkah? Biar lebih jelas, mari kita uraikan
bersama.
Perubahan sosial tentu
membutuhkan aktor-aktor yang mempunyai pengetahuan, kemampuan, komitmen, serta
kesadaran akan diri dan posisi strukturalnya. Untuk itu perlu tersedianya suatu
media dimana ide-ide, nilai-nilai maupun ideologi, yang tentunya kontra
ideologi hegemonik, ditransmisikan kepada para pelaku perubahan sosial.
Paulo Freire, pemikir dan aktivis
Pendidikan Kritis, mempunyai pendapati cemerlang perihal pendidikan dan
kaitannya dengan perubahan sosial1. Dalam bentuknya yang paling ideal, menurut
Freire, pendidikan membangkitkan kesadaran (conscientizacao) diri manusia
sebagai subjek. Dengan kesadaran sebagai subjek tersebut manusia dapat
memerankan liberative action. Kesadaran ini secara komunal akhirnya membentuk
kesadaran sosial. Dengan kesadaran sosial yang dibangun diatas basis relasi
intersubjektif rakyat dapat memainkan peranan dalam rekonstruksi tatanan sosial
baru yang lebih demokratis. Tatanan sosial yang demokratis ini menurutnya
kondusif bagi humanisme danpembebasan.[25]
Beranjak dari
signifikansi utama pendidikan diatas, tulisan ini disajikan dengan semangat
untuk melakukan kritisasi terhadap dunia pendidikan, utamanya di Indonesia.
Pengalaman sebagai peserta didik selama ini, baik secara sadar maupun tidak
sengaja, telah memungkinkan saya ‘memergoki’ sejumlah persoalan yang meresahkan..
Secara konseptual, ada tiga paradigma
pendidikan yang dapat memberi peta pemahaman mengenai paradigma apa yang
menjadi pijakan penyelenggaraan pendidikan di Indonesia yang berdampak sangat
serius terhadap perubahan sosial.
Pertama, paradigma
konservatif. Paradigma ini berangkat dari asumsi bahwa ketidaksederajatan
masyarakat merupakan suatu keharusan alami, mustahil bisa dihindari serta sudah
merupakan ketentuan sejarah atau takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka
bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat
manusia lebih sengsara saja. Pada dasarnya masyarakat tidak bisa merencanakan
perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan
keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Dengan pandangan
seperti itu, kaum konservatif tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau
kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Mereka yang menderita, yakni orang
orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi
demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang yang bisa bekerja
keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang bersekolah dan belajar untuk
berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar
dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena akhirnya semua
orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan kelak. Paham konservatif hanya
melihat pentingnya harmoni serta menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Sebagian besar penyelenggaraan
sekolah yang dikelola oleh kaum tradisionalis berangkat dari paradigma
konservatif ini. Penyelenggaraan sekolah atau madrasah dalam perspektif dan
paradigma konservatif memang terisolasi dari persoalan persoalan kelas maupun
gender ataupun persoalan ketidak adilan di masyarakat. Kurikulum sekolah secara
jelas bagi kaum konservatif juga tidak ada kaitannya dengan sistem dan struktur
sosial diluar sekolah, seperti sistem kapitalisme yang tidak adil.[26]
Kedua paradigma pendidikan Liberal. Kaum
Liberal, mengakui bahwa memang ada masalah di masyarakat. Namun bagi mereka
pendidikan sama sekali steril dari persoalan politik dan ekonomi masyarakat.
Tugas pendidikan cuma menyiapkan murid untuk masuk dalam sistem yang ada.
Sistem diibaratkan sebuah tubuh manusia yang senantiasa berjalan harmonis dan
penuh keteraturan (functionalism structural). Kalaupun terjadi distorsi maka
yang perlu diperbaiki adalah individu yang menjadi bagian dari sistem dan bukan
sistem. Pendidikan dalam perspektif liberal menjadi sarana untuk
mensosialisasikan dan mereproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan
nilai-nilai dasar agar stabil dan berfungsi secara baik dimasyarakat. Oleh
karena itu masalah perbaikan dalam dunia pendidikan bagi mereka sebatas usaha
reformasi ‘kosmetik’ seperti perlunya: membangun gedung baru, memoderenkan
sekolah; komputerisasi; menyehatkan rasio murid-guru, metode pengajaran yang
effisien seperti dynamics group, learning by doing, experimental learning dan
sebagainya. Hal-hal tersebut terisolasi dengan struktur kelas dan gender dalam
masyarakat. Akar dari pendidikan semacam dapat ditelusuri dari pijakan
filosofisnya yakni, paham liberalisme, suatu pandangan yang menekankan
pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta proses perubahan
sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang.[27]
Paradigma terakhir
adalah paradigma pendidikan kritis. Pendidikan bagi paradigma kritis merupakan
arena perjuangan politik. Penganut paradigma kritis menghendaki perubahan
struktur secara fundamental dalam tatanan politik ekonomi masyarakat dimana
pendidikan berada. Dalam perspektif ini, pendidikan harus mampu membuka wawasan
dan cakrawala berpikir baik pendidik maupun peserta didik, menciptakan ruang
bagi peserta didik untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan
kritis diri dan struktur dunianya dalam rangka transformasi sosial.
Perspektif ini tentu
mempunyai beberapa syarat. Baik guru maupun peserta didik mesti berada dalam
posisi yang egaliter dan tidak saling mensubordinasi. Masing-masing pihak,
mesti berangkat dari pemahaman bahwa masing-masing mempunyai pengalaman dan
pengetahuan. Sehingga yang perlu dilakukan adalah dialog, saling menawarkan apa
yang mereka mengerti dan bukan menghafal, menumpuk pengetahuan namun terasing
dari realitas sosial (banking system).[28]
Tiga paradigma diatas
masing-masing membawa dampak berupa karakter kesadaran manusia yang oleh Freire
digolongkan menjadi tiga.
Pertama kesadaran magis, yakni suatu
kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor
dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat
kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis
lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai
penyebab dan ketakberdayaan.
Dalam dunia pendidikan,
jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu
masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif Freirean disebut
sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan lebih merupakan proses
menirukan, dimana murid mengikuti secara buta perkataan dan pandangan guru.
Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara
sistim dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Murid secara
dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami
‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat. Paradigma
tradisional yang menggunakan paham pendidikan dan sekolah konservatif dapat
dikatagorikan dalam kesadaran magis ini.
Kesadaran kedua adalah
kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam
kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, dianggap sebagai penentu perubahan
sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka
disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak
memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’, dan
seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang
diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam konteks ini juga
tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada
adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’; dan oleh sebab itu tidak
perlu dipertanyakan. Tugas sekolah adalah bagaimana membuat dan mengarahkan
agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Paradigma umat modernis yang menggunakan paham pendidikan liberal dapat dikatagorikan
kedalam kesadaran naif ini.[29]
Kesadaran ketiga
disebut sebagai kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan
struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural lebih menganalisis untuk
secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya
dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan,
melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistim dan
struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan
struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta
pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik. Paradigma umat Islam transformatif yang
menggunakan model pendidikan kritis dapat dikatagorikan kedalam kesadaran
kritis.
1.
Hasil Pendidikan Nasional dan
Transformasi Sosial
Dari pemetaan diatas,
sistem pendidikan di Indonesia selama ini masih jauh untuk dikategorikan
sebagai pendidikan kritis. Dapat pula dikatakan, dalam taraf tertentu
pendidikan kita justru terjebak dalam paradigma konservatif, meskipun kalau
dilihat secara umum pendidikan nasional termasuk dalam penganut liberal. Ini
ditandai mulai dari privatisasi pendidikan, model subjek-objek, serta
orientasinya yang kental dengan ideologi kapitalisme.
Dewasa ini, ketika
dunia didera gelombang globalisasi, pendidikan kian bergeser dari status dan
fungsi awalnya. Pendidikan mau tidak mau dipaksa tereduksi hanya sebagai
komoditas dan harus terbingkai dalam logika pasar. Disatu sisi ia menjadi
eksklusif dan tak terjangkau oleh kalangan bawah, sehingga darwinisme sosial7
pun sulit dielakkan berlaku. Sedang disisi lain visi dan misinya tidak keluar
dari koridor ekonomi (menyiapkan peserta didik sebagai homo economicus semata).
Peserta didik disibukkan oleh rutinitas studi-studi berdasarkan kurikulum yang
juga terasing dari kehidupan sosial. Misalnya, ketika bicara sains dan
teknologi, peserta didik digiring untuk memusatkan diri pada teknologi yang
bias sektor urban. Misalnya, mesin-mesin industri berat dan bukan perihal
teknologi tepat guna, yang murah, mudah dijalankan dan langsung memberi manfaat
kepada masyarakat kecil.
Lebih parah lagi, pendidikan kita sulit
dibedakan dengan pelatihan atau trainning. Metode searah sulit dipungkiri
memupus kreatifitas peserta didik dalam mengembangkan corak berpikir bebas.
Sekedar contoh, saat SD kita acapkali diberi pertanyaan dimaan kita hanya perlu
memberi satu kata sebagai jawaban. Misalnya begini, “Pak Tani disawah sedang…”.
Untuk menjawab pertanyaan ini murid SD tidak punya banyak pilihan. Guru secara
sepihak akan menyalahkan bila isinya bukan mencangkul, memupuk, atau memanen.
Padahal, dalam sistem yang demokratis seorang murid bisa mengisinya dengan
misalnya, membaca koran (karena sedang istirahat), melakukan rembug mengenai
irigasi dsb.[30]
Sejalan dengan penjelasan Freire
mengenai tiga kesadaran sebagai dampak pengadopsian tiga paradigma pendidikan,
baik kesadaran magis maupun kesadaran naif begitu kuat mengakar dalam
masyarakat kita. Budaya fatalis misalnya, adalah hal umum dan membudaya
dikalangan masyarakat terutama jawa. Sifat nrimo ing pandum (menerima jatah
atau nasib) tak lepas pula dari model pendidikan selama ini yang justru makin
membenamkan semangat inisiatif, inovatif dan kekritisan masyarakat. Atau yang
lebih buruk lagi ketika kesadaran naif akibat hegemoni paradigma liberal
menjangkiti sebagian besar masyarakat.
Dihadapkan melambungnya biaya menuntut
ilmu akibat komersialisasi pendidikan, sedikit banyak orientasi mahasiswa
mengalami pergeseran. Atau bisa dikatakan idealisme angkatan muda terjangkit
erosi yang membahayakan. Ketika ada tuntutan untuk cepat lulus, baik karena
soal biaya maupun standardisasi yang ditetapkan oleh pasar, perhatian mahasiswa
sedikit banyak terserap untuk studi. Perhatian terhadap persoalan sosial,
lingkungan, dsb., yang nyata dihadapi masyararakat cenderung terabaikan. Dan
setelah lulus, orientasi utamanya bukanlah bekerja demi kepentingan umat.
Melainkan terjebak dalam pragmatisme pasar, tertanam dalam filosofi liberal
yang memerosotkan potensi-potensinya untuk melakukan atau setidaknya berjalan
searah dengan kepentingan transformasi sosial. Para ilmuan misalnya, akibat proses
pendidikan yang sangat liberal sulit untuk tidak menjadi-meminjam istilah Heru
Nugroho-Intelektual ‘asongan’, yang menjajakan pengetahuannya untuk riset
maupun pengembangan wacana yang seringkali adalah proyek pemilik modal.
Terjebaknya para ilmuan ini memberi kontribusi besar terhadap macetnya
ilmu-ilmu sosial dan ketidakmampuannya menjadi bagian dari problem solving
dalam masyarakat. Ilmuan tak jarang terjebak dalam studi-studi keilmuan yang
sebenarnya disetting oleh ideologi mainstream yang kontra transformasi.[31]
Thomas Kuhn bahkan
mengatakan bahwa ilmuan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang
menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki
yang bekerja dalam pandangan dunia yang telah mapan. Mereka menjadi sangat
sensitif dan kehilangan kearifan dengan mencap kritik terhadap ilmu adalah
‘omong kosong’; serta menggambarkan para pengritik ilmu sebagai para ‘pembual’.
2.
Merancang Pendidikan Transformatif
Rangkaian persoalan
pelik pendidikan telah menggiring dunia pendidikan kita menuju kerusakan
sistemik. Namun bukan berarti menjadi sah bagi kita untuk bersikap apatis. Dan,
lagi-lagi kita harus kembali belajar bersama Freire perihal pendidikan yang
membebaskan, kritis dan transformatif. Mengurai benang merah yang terlanjur
jalin berkelindan tak tentu ujung-pangkalnya, Freire menekankan pentimgmya
pengharapan (hope) dan impian (dream), karena mimpi dan harapan memberi kita
energi untuk mewujudkan dunia yang lebih baik. Tak ada perubahan tanpa impian,
begitu pula tak ada impian tanpa harapan. Hanya saja harapan dan impian harus
ditindak lanjuti dengan aktualisasi Ke depan, terbentang pekerjaan rumah yang
luar biasa berat. Perubahan baik mengenai kurikulum, perangkat aturan legal,
maupun pergeseran paradigma yang sepertinya tidak bisa ditolak jika
menginginkan perubahan yang substantif, tidak sekadar ‘kosmetik’ ingin
diwujudkan.
Pendidikan tidak dapat
lepas dari aspek sosial dan pendidikan suatu bangsa adalah cerminan
kebudayaannya yang merefleksikan ideology dan filsafat pendidikanya. Oleh
karena itu diperlukan paradigmatis pendidikan transformatif, suatu pendidikan
yang disesuaikan dengan kebutuhan objektif, visioner, dan didasarkan pada
falsafah Negara. Dalam hal ini pendidikan dipandang menyatu dengan persoalan sosial
yang tengah dihadapi rakyat dan memberi perspektif terhadap problematika masa
depan. Dengan demikian pendidikan transformasi adalah pendidikan yang mampu
menggerakan transformasi sosial.[32]
Azyumardi Azra (2008)
mengatakan bahwa pendidikan modern kini yang sudah menjadi konfensional gagal
memberikan pandangan dunia yang kosmologis dalam dunia pendidikan. Karena
itulah pendidikan moderen lebih pada pengembangang kognisi dari pada rana yang
lain. Contohnya, dalam pembelajaran agama dan humaniora sekalipun terjebak pada
pengembangan hanya rana kognitif saja dan bukan pada kelekatan dan pengamalan
dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya Asyumardi Azra mengemukakan beberapa
usulan sebagai pertimbangan untuk diterapkannya pendidikan transformative:
Pertama, pengujian dan perenungan misteri alam raya; kedua, penanaman dan
penguatan proses pembuatan makna; Ketiga, penanaman dan pemberdayaan konsep
tentang kesatuan dan integrasi alam dengan kemanusiaan; Keempat, penanaman dan
penguatan mitos-mitos cultural yang didasarkan pada kepercayaan tentang
kapasitas manusia berpartisipasi dalam penciptaan dunia yang berkeadilan, kasih
saying, kepedulian, dan kegembiraan; Kelima, penanaman dan pemberdayaan cita
ideal tentang masyarakat yang saling berkaitan dalam tradisi demokratis;
Keenam, penanaman sikap tanggung jawab untuk mengatasi ketidak adilan dan
penindasan.
Dalam penerapanya, ada satu kata kunci
yang perlu dipahami dalam Pendidikan transformatif, yaitu ‘perubahan’. Jika
hal-hal di atas telah dialami oleh seorang siswa, maka disini saatnya siswa
tersebut harus berubah. Apanya yang berubah? Tentu yang berubah adalah sudut
pandangnya dalam memandang hal-hal yang telah diketahuinya tersebut. Ia harus
mulai lagi memeriksa informasi-informasi yang telah mereka dapat satu persatu,
dan memisahkan mana yang sekedar opini dan mana yang benar-benar berupa fakta.
Setelah proses menyaring tersebut maka akan didapatkan semua hal-hal yang
relevan, dan mulailah ia mempertanyakan Landasan sudut pandangnya terhadap
informasi yang relevan tersebut, terutama dikaitkan dengan Asumsi dasar yang
telah dipegang mereka.[33]
Bila kita mendaftar apa sebenarnya yang
terjadi pada seorang siswa dalam proses transformatif ini terutama dalam bidang
Akademik, maka didapat sebagai berikut:
·
Memahami kerangka berpikir yang telah
digunakan selama ini
·
Mempelajari kerangka berpikir alternatif
yang lain
·
Mentranformasi sudut pandang yang
digunakan.agar dapat mengakomodasi kerangka berpikir yang lain tersebut (yang
dianggap relevan tentunya)
·
Dan akibatnya akan Mentranformasi segala
kebiasaan berpikirnya
Untuk melakukan hal ini
seorang siswa perlu dibantu oleh guru (atau orang tuanya) yaitu dalam melalui
proses transformatif yang sangat kritis ini.Tentunya tidak dengan memaksakan kerangka
berpikir mereka sendiri kepada siswa tersebut, tetapi membiarkan siswa
membangun kerangka berpikirnya
sendiri.
Proses
transformatif ini bisa diajarkan dalam bidang akademis dan di sini tugas seorang guru adalah sebagai berikut:
·
Memberikan suatu masalah atau
menunjukkan suatu kejadian tertentu yang
dapat menyadarkan siswa akan keterbatasan pengetahuan dan pendekatan mereka.
·
Memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengidentifikasi dan mendeskripsikan
asumsi-asumsi dasar yang mendasari pengetahuan dan pendekatan yang mereka gunakan.
·
Mendorong siswa untuk menelaah dari mana
asumsi-asumsi ini berasal dan
bagaimana asumsi tersebut membatasi pemahaman mereka.[34]
BAB
III
Penutup
A. Kesimpulan
Beralihnya Zaman
Konserfatif menuju zaman industri, menjadi awal perkembangan yang sangat pesat
dalam kehidupan manusia. Namun ini menjadi tuntutan di setiap saat dan tiap
waktu menhadapi berbagai keniscayaan yang menguras pikiran sampai mengundang
berbagai inovaasi pada wilaya SDM untuk memajukan, pembangunan dan
kesejahteraan manusia. Dari sini pendidikan yang sangat beragam jangan
dilupakan yang namanya pendidikan transformatif, dimana menjadi kunci untuk
menyesuaikan karakter dengan dunia saat ini. Dari urayan di atas kita bisa
mendapat info dan pengetahuan seputar dunia pendidikan dan berbagai problemnya,
dan diman kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya pendidikan transformatif
sangat penting yang berorientasi skala internasional.
Jadi pendidikan
transformatif tidak bisa kita abaikan, apalagi pemerintah kita diindonesia yang
saat ini adalah negara yang membangaun, sangat diperlukan untuk bisa diterapkan
secara merata dalam setiap lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal.
Upaya ini adalah dalam rangka menghadapi kerasnya hegemoni dunia maka otomatis
karakter pendidikan kita harus lebih efektif dan maju baik pendidikan sosial
maupun pendidikan agama. Apalagi visi dan misi pendidikan transformatif yang
sudah jelas dapat memenuhi dan mengatasi berbagai problem sosial dan
pembangunan. Maka usaha yang perlu dilakukan dan saat ini yaitu meerumuskan
strategi dan metode yang tepat untuk memajukan pendidikan bermutu dan
produktif. Seperti yang diktakan Freire yaitu, “impian adalah kekuatan untuk
yang bisa mewujudkan kehidupan kita yang lebih baik. Makna dari pernyataan tersebut menjelaskan
bahwasanya mimpi atau harapan akan membentuk potensi menuju yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif
Arifuddin, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam Jakarta : Kultura GP Press
Group, 2008
Ahmadi
Abu dan Uhbiyanti Nur, Ilmu Pendidikan , Jakarta : PT Rineka Cipta, 2003
Aly
Noer Hery dan Munzier H , Watak Pendidikan Islam, Jakarta : Friska Agung
Insani, 2000
Arifin
HM, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2003
Chols
Jhon E dan Shadily Hassan, Kamus
Inggris Indonesia, Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003
Daulay
Putra Haidar, Dinamika Pendidikan Islam, Bandung : Cita pustaka Media, 2004
Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2005
Maunah
Binti, Ilmu Pendidikan ,Yogyakarta : Teras, 2009
Mufidah
Nur, Supervisi Pendidikan. Yogyakarta: Teras. 2009.
Nata,
Abuddin, Manajemen Pendidikan
Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia,
Jakarta : Prenada Media, 2003
Ramayulis,
Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Kalam Mulia, 2002
Rembangy
Musthofa. Pendidikan Transformatif. Yogyakarta: Teras. 2010.
Syah Muhibbin, Psikologi Pendidikan
Dengan Pendekatan Baru, Bandung : PT Remaja Rosda Karya, 2004
Sagala
Syaiful, Manajemen Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung : Alfabeta, 2007
Soebagio
Atmodiwirio, Manajemen Pendidikan Indonesia, Jakarta: PT.Ardadizya Jaya 2000.
Sunarto
Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta : Fakultas Ekonomi UI, 2004
Tilaar,
H.A.R., Manifesto Pendidikan Nasional, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005.
[1]Tilaar
H.A.R, Manifesto Pendidikan Nasional,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas 2005), h. 22
[7]Musthofa
Rembangy, Pendidikan Transformatif, h.79
[8]
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, h. 82
[9]
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, h. 85
[10]
Musthofa Rembangy, Pendidikan Transformatif, h.89
[11]
Musthofa Rembangy,. Pendidikan Transformatif, h. 96
[12]
Musthofa Rembangy,. Pendidikan Transformatif, h. 96
[13]
Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta : Kultura GP Press Group, 2008), h. 134
[14]
Arifuddin Arif, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, h. 45
[15]
Binti Maunah, Ilmu Pendidikan ,(Yogyakarta : Teras, 2009), h. 52
[16]
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 2005), h.101
[19]
Syaiful Sagala, Manajemen
Strategik Dalam Peningkatan Mutu Pendidikan, (Bandung : Alfabeta, 2007), h.
22
[24]
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyanti, Ilmu Pendidikan , h. 181
[25]
Abuddin Nata, Manajemen
Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam Indonesia, (Jakarta :
Prenada Media, 2003), h. 37
[30]
Hery Noer Aly dan H Munzier S, Watak
Pendidikan Islam, (Jakarta : Friska Agung Insani, 2000), h.95
[31]
HM Arifin, Ilmu Pendidikan Islam
Tinjauan Teoritis dan praktis Berdasarkan Pendekatan Indisipliner, (Jakarta
: PT Bumi Aksara, 2003), h.25
[32]
Jhon M Echols dan Hassan Shadily, Kamus
Inggris Indonesia, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 122
[33]
Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung : PT Remaja
Rosda Karya, 2004), h. 54
4 komentar
Saya suka tulisannya ^^
Ini tugas sekolah atau tugas kuliah?
Tugas Kuliah Mba,,,
Terima kasih,,
EmoticonEmoticon