BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang.
Pendidikan Eksklusif adalah pendidikan
yang istimewa, sendirian, yang bersifat tertutup atau terpisah dengan yang lain.
Contoh dari pendidikan Eksklusif adalah Home
schooling. Home schooling adalah
salah satu pendidikan yang berbentuk pendidikan Eksklusif, pendidikan Home scholing ini tidak kalah keunggulannya
dengan pendidikan formal (dalam sekolah), Home
Schooling biasanya dijadikan pendidikan alternative bagi orang tua, karena biasanya pendidikan
formal (dalam sekolah) tidak semuanya berjalan dengan efektif dan efesien,
serta banyak juga pendidikan formal yang kekurangan fasilitas – fasilitas
sehingga output dari sekolah formal
biasanya kurang baik. Maka dari itu banyak orang tua yang mengambil jalan
Alternatif dengan cara Home Schooling
(sekolah rumah).
Timbulnya
pendidikan eksklusif dikarenakan, banyaknya manusia di muka bumi ini yang
memiliki jabatan/pekerjaan sehingga dengan pekerjaan – pekerjaan yang mereka
miliki membuat mereka menjadi sibuk dan dengan kesibukan mereka masing-masing
mereka mengambil jalan pintas pendidikan yang berbentuk eksklusif.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan penddidikan eksklusif ?
2. Berikanla
Contoh pendidikan yang berbentuk eksklusif ?
3. Sebutkan
kekurangan dan kelebihan pendidikan eksklusif ?.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengrtian
Pendidikan Eksklusif.
Pendidikan
adalah hidup, pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung
dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup yang mempengaruhi pertumnuhan
individu.[1]
Menurut
Longeveld beliau mengatakan bahwa mendidik adalah memberi pertolongan secara
sadar dan sengaja kepada seorang anak (yang belum dewasa) dalam pertumbuhannya
menuju kearah kedewasaan dalam arti dapat berdiri sendiri dan bertanggungjawab
susila atas segala tindakannya menurut pilihannya sendiri. Defenisi yang lain
adalah menuntun seluruh kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar supaya
mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat mendapat keselamatan dan
kebahagiaan setinggi tingginya. sementara itu Undang-Undang RI Nomor 2 tahun
1989 mendefinisikan pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta
didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya
dimasa akan datang.
Dari tiga defenisi ini mendidik
tersebut di atas, ternyata dua di antaranya membatasi pendidikan sampai dengan
dewasa, artinya kalau seseorang sudah dewasa dalam arti sudah bisa berdiri
sendiri dan bertanggung jawab susila atas segala tindakan yang dipilihnya
sendiri , baik untuk kepentingan diri maupun sosial, maka pendidikan
dihentikan. Sementara itu satu defenisi yang baru tidak membatasi sampai umur
berapa seseorang layak untuk dididik, kata untuk masa yang akan datang juga
mengacu kepada tidak adanya batasan umur seseorang untuk mendidik. Jadi,
pendidikan itu berlangsung seumur hidup bahkan juga termasuk pendidikan dalam
kandungan.[2]
Perlu pula ditekankan disini bahwa
pendidikan itu bukanlah sekedar membuat peserta didik dan warga menjadi sopan,
taat, jujur, hormat, setia, dan sebagainya. Tidak juga bermaksud hanya membuat
mereka tahu Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan seni serta mampu mengembangkannya.
Mendidik adalah membantu peserta didik dan warga belajar dengan penuh
kesadaran, baik dengan alat atau tidak, dalam kewajiban mereka mengembangkan
dan menumbuhkan diri untuk meningkatkan kemampuan serta peran dirinya sebagai
individu, anggota masyarakat, dan umat Tuhan. Mendidik adalah semua upaya untuk
membuat peserta didik mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan
bakat, pribadi dan potensi-potensi lainnya secara optimal kearah yang kreatif.
Sedangkan
menerut para ahli yang lain yaitu :
a. Driyakarya
mengatakan bahwa, pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.
Pengangkatan manusia bersifat insani itulah yang disebut mendidik.
b.
Dioctinary
of education menyebutkan bahwa pendidikan adalah
proses dimana seseorang mengembangkan kemampuan sikap dan bentuk – bentuk
tingkalaku lainnya didalam masyarakat dimana iya hidup, proses social dimana orang dihadapkan pada
pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang dating dari
sekolah). Sehingga iya dapat memperoleh atau menangani perkembangan kemampuan social dan kemampuan individu yang
optimum.[3]
c. Crow
and Crow menyebut pendidikan adalah
proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk
kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan
social dari generasi kegenerasi.
d. KH.
Hadjar Dewantara dalam kongres taman siswa yang pertama pada tahun 1930
menyebutkan : pendidikan umumnya berarti daya untuk mengajukan pertumbuhannya
budi pekerti (kekuatan batin, karaktek), pikiran, dan tubuh anak – anak dalam
taman siswa tidak boleh dipisah pisahkan bagian itu agar kita dapat memajukan
kesempurnaan hidup, kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras
dengan dunianya.
e. Didalam
GBHN 1973 disebutkan bahwa pendidikan pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk
mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan diluar sekolah dan berlangsung
seumur hidup.
Dari
uraian diatas, maka pendidikan dapat diartikan sebagai.
a. Suatau
proses pertumbuhan yang menyesuaikan dengan lingkungan.
b. Suatu
pengarahan dan bimbingan yang diberikan kepada anak dan pertumbuhannya
c. Suatu
usaha sadar untuk menciptakan suatu keadaan atau situasi tertentu yang
dikehendaki oleh masyarakat.
d. Suatu
pembentukan kepribadian dan kemampuan anak dalam menuju kedewasaan.[4]
Pendidikan
bukan hanya dipandang sebagai usaha pemberian informasi dan pembentukan
keterampilan saja, namun diperluas sehingga mencakup usaha untuk mewujudkan
keinginan, kebutuhan dan kemampuan individu sehingga tercapai pola hidup
pribadi dan social yang memuaskan,
pendidikan bukan sematamata sebagai sarana untuk persiapan kehidupan yang akan
datang, tetapi kehidupan anak sekarang yang sedang mengalami perkembangan
menuju ketingkatan kedewasaanya berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat
diberikan cirri atau unsur umum dalam pendidikan :
a. Pendidikan
mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan – kemampuan
dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingannya hidupnya sebagai
seorang individu, warga Negara, atau warga masyarakat.
b. Untuk
mencapai tujuan tesebut, pendidikan perlu melakukan usaha – usaha yang
disengaja dan berencana memilih isi
(materi), strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai.
c. Kegiatan
tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat,
pendidikan formal dan pendidikan non formal.[5]
Dengan
adanya penjelasan di atas mengenai pendidikan , begitu sangat jelas bahwa
pendidikan sangat dibutuhkan oleh manusia, karena pada hakikatnya manusia
adalah :
a. Mahluk
paling mulia di alam ini, Allah telah membekalinya dengan keistimewaan –
keistimewaan yang menyebabkan iya mengungguli mahluk lain.
b. Kemuliaan
manusia atas mahluk lain adalah karena manusia diangkat sebagaai khalifah
(wakil Allah) yang bertugas memakmurkan bumi atas dasar ketaqwaan.
c. Manusia
adalah mahluk berpikir yang menggunakan bahasa sebagai media.
d. Manusia
adalah mahluk tiga dimensi seperti segitiga sama kaki yang berdiri dari
tubuh,akal dan ruh.
e. Manusia
mempunyai motivasi dan kebutuhan.
f. Manusia
sebagai individu berbeda dengan manusia lainnya karena factor keturunan dan
lingkungan.
g. Manusia
mempunyai sifat luwas dan selalu berubah melalui proses pendidikan.[6]
Setiap
manusia sangat membutuhkan pendidikan, karena dengan pendidikan manusia akan
lebih terara membawa kehidupannya, mulai dari kepribadiannya (moral, etika).
Cara berfikir, dan lain sebagainya.
Pendidikan
eksklusif adalah pendidikan yang istimewa, sendirian, yang bersifat tertutup
atau sendirian. seperti home schooling (sekolah rumah).[7]
B. Pembagian
Pendidikan.
Menurut
Undang – Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, jenis pendidikan terbagi menjadi
tiga jalur. Yaitu :
·
Jalur Pendidikan Formal.
·
Jalur Pendidikan Non Formal.
·
Jalur Pendidikan Informal.
Pendidikan
Formal adalah jalur pendidikan yang berstruktur dan berjenjang yang terdiri
atas pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi. Di mayarakat pendidikan formal biasa dikenal sebagai SD,
SMP, SMA. Perguruan Tinggi. Dalam pendidikan formal siswabelajar dan dididik
menurut kurikulum tertentu diadakan di sekolah, serta belajar menurut materi
ajar dan jadwal yang ditetapkan sebelumnya.
Pendidikan
Non Formal seperti dalam UUD Sisdikna No 20 tahun 2003, pasal 26 ayat 1-6 adalah
layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan atau.
pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.
Pendidikan Non Formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan ketrampilan fungsional serta
pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan Non Formal meliputi
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kemudaan,
pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan
ketrampilan dan pelatihan kerja, pendidikan keseteraan, serta pendidikan lain
yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik. Satuan pendidikan Non Formal terdiri atas :
-
lembaga khursus.
-
lembaga pelatihan keluarga belajar
-
pusat kegiatan belajar masyarakat
-
dan majelis taklim,
-
serta satuan pendidikan yang sejenis
Hasil
program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh
lembaga yang di tunjuk oleh pemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu
kepada standar pendidikan Nasional.
C. Perbedaan
Individual di sekolah.
Adanya perbedaan di individual di
sekolah, dapat kita simpulkan dari kenyataan adanya perbedaan – perbedaan nilai
dari pekerjaan – pekerjaan yang dikerjakan oleh anak – anak dalam satu kelas
tertentu. Dari penyelidikan - penyelidikan yang telah dilakukan, menunjukkan
bahwa baik di sekolah dasar, sekolah menengah maupun di sekolah tinggi
perbedaan – perbedaan yang bersifat individual ini tetap ada. Perbedaan –
perbedaan individual itu, tidak hanya terdapat pada satu tingkatan sekolah
sebagai satu kesatuan, tetapi juga ada masing – masing kelasnya. Bahkan dapat
dikatakan bahwa kita tidak mungkin untuk
membentuk suatu kelas yang betul – betul homogen.[8]
Dengan adanya perbedaan – perbedaan
individual tersebut yang tidak memungkinkan untuk terbentuknya suatu kelas yang
homogen, maka sistim pendidikan klasikal akan menjadi kurang tepat dan kurang
efektif. Dengan sistem klasikal, dimana sejumlah anak dengan perbedaan –
perbedaan individual yang ada pada
mereka, diberi pelajaran yang sama, dalam waktu yang sama, dengan perlakuan
–perlakuan yang sama, dan sebagainya yang serba seragam ternyata hasilnya akan
berbeda.ada sebagian yang bisa menyelesaikan pelajaran dengan hasil yang baik,
ada yang hanya mendapatkan hasil pas pasan saja bahkan ada yang hasilnya kurang
memuaskan bahkan ada yang tidak berhasil sama sekali mengikuti pelajaran. Oleh
karna itu perbedaan –perbedaan individual itu, menuntut diberlakukannya sistem
pendidikan individual. Namun sistem pendidikan individual, sulit bahkan tidak
mungkin dilaksanakan secara merata kepada seluruh rakyat. Dengan demikian
problema perbedaan individual di sekolah tersebut, menuntut adanya cara – cara
tertentu untuk mengatasinya.
Beberapa usaha untuk mengatasi
problem individual tersebut, maka antara lain :
1) Montessori,
seorang ahli pendidikan bangsa Italia, berusaha untuk memberikan pendidikan
yang bersifat individual kepada anak, untuk menggantikan sistem pendidikan yang
bersifat klasikkal. Ditinjau dari segi perbedaan individual yang ada pada anak
– anak usaha untuk memberikan pendidikan secara individual tersebut memang
baik. Tetapi jika ditinjau dari segi lain usaha tersebut mempunyai kelemahan
yaitu bahwa jika pendidikan individual ditetapkan pada seluruh macam sekolah
makah biaya pendidikan akan terlalu mahal dan tenaga guru yang diperlakukanpun
akan sangat besar jumlahnya, disamping itu, dengan sistem individual ini, sifat
sosial/kegotong-royongan anak tidak dapat di kembangkan dengan baik. [9]
2) Usaha
lain untuk mengetahui problema perbedaan individual di sekolah, ialah dengan
jalan mengadakan/membentuk rombongan yang homogen. Kelompok homogen ini bisa
dibentuk dengan melalui testing terlebih dahulu. Namun pelaksanaan dan faedah
cara ini,masih merupakan pertanyaan yang besar, karena rombongan/kelompok yang
benar – benar homogen hanya ada dalam bayangan saja. Meskipun kita membentuk
kelompok homogen tersebut atas dasar kesamaan kecerdasannya, misalnya,ternyata
anak – anak yang masuk ke dalam rombongan/kelompok itu, masih tetap terdapat
fariasi yang banyak sekali dalam kecerdasannya.
3) Miss
Helen Parkhust, mencoba mengadakan sistem pendidikan campuran antara sistem
pendidikan klasikal dengan sistem pendidikan individual yang disebut sebagai
sistem Dalton. Dalam sistem ini, anak – anak diberikan pendidikan secara
individual dan disamping itu, vak – vak tertentu yang di anggap perlu,
diberikan pelajaran secara klasikal. Dengan sistem dalton ini, problema tidak
naik kelas bisa di atasi, karena setiap anak diberi kesempatan untuk
menyelesaikan pelajarannya sesuai dengan kemampuannya masing – masing.
Kelemahan sistem ini, adalah bahwa pekerjaan guru pada umumnya terlalu berat.[10]
4) Usaha
terbaru yang dukembangkan untuk mengatasi problema pelajaran individual di
sekolah, adalah dengan menggunakan sistem kredit, dengan rencana pembelajaran
yang sangat luas dalam sistem kredit ini sekolah menentukan banyaknya kredit
untuk setiap tingkatan pendidikan tertentu ; dan waktu untuk
menyelesaikan/mencapai jumlah kredit itutergantung pada kemampuan anak masing –
masing dalam sistem kredit ini, setiap mata pelajaran diberi bobot kreditnya
masing – masing di tetapkan pula mata pelajaran wajib yang diiikuti oleh setiap
anak; disamping itu ada pula mata pelajaran kalian yang disesuaikan dengan
bakat dan pilihan masing-masing anak ; juga diberi kesempatan untuk mengikuti
pelajaran – pelajaran lain yang dikehendaki. dengan cara demikian diharapkan
bakat-bakat yang berbeda serta minat- minat yang bermacam – macam
dapatberkembang dengan sebaik – baiknya. Dengan sistem ini anak berkembang
mengambil mata pelajaran dengan sistem ini anak dapat mengambil mata pelajaran,
sesuai dengan kemampuan masing – masing. Seorang anak yang cerdas bisa
mengambil mata pelajaran yang lebih banyak dari seorang anak yang kurang cerdas
; sehingga waktu penyelesaian suatu tingkatan pelajar atau program studi tidak
sama, antara anak yang satu dengan lainnya. Misalnya untuk mencapai gelar
sarjana strata 1, ditetapkan 150 kredit, maka anak atau sarjan mahasiswa yang
cerdas, akan menyelesaikan kuliahnya. Selama 4 tahun /8 semester sedangkan anak/mahasiswa
yang kurang cerdas mungkin akan memerlukan waktu yang lebih banyak, mungkin 5
tahun atau lebih.
usaha
– usaha yang paling baik dan efektif
untuk mengatasi problema perbedaan individual di sekolah, tidak dapat di
tetapkan secara pasti; hal ini tergantung pada tujuan pendidikan yang hendak
dicapai. Jika tujuan pendidikan, berorientasi pada pengambangan daya
intelektual yang tinggi, menampakkan usaha mengadakan kelompok homogen
berdasarkan kecerdasan, akan merupakan usaha yang baik dan efektif. Jika tujuan
pendidikan berorientasi pada pengembangan individuan yang seluas – luasnya
,tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat, maka sistem pendidikan individual,
adalah yang paling tepat. Namun apabila tujuan
pendidikan untuk mengembangkan sifat – sifat individual dan social
secara seimbang, sistem Dalton dan sistem kredit akan lebih efektif .[11]
D. Pentingnya
Pendidikan
dan
mendidik. Mahluk itu adalah manusia. Dialah yang memiliki potensial dapat didik
dan mendidik sehingga mampu menjadi khalifah dimuka bumi, pendukung dan
pengembang kebudayaan. Iya dilengkapi dengan fitrah Allah beberapa bentuk
fitrah Allah, beberapa bentuk atau wadah yang dapat diisi dengan berbagai
kecakapan dan keterampilan yang dapat berkembang, sesuai dengan kedudukannya
sebagai mahluk yang mulia.[12]
Manusia
adalah mahluk yang sangat menarik. Oleh karena itu, iya telah menjadi sasaran
studi sejak dahulu, kini dan kemudian hari. Hampir semua lembaga pendidikan
tinggi mengkaji manusia, karya dan dampak karyanya terhadap dirinya sendiri, masyarakat
dan lingkungan hidupnya.[13]
Secara
alamiah manusia dan berkembang sejak dalam kandungan sampai meninggal,
mengalami proses tahap demi tahap. Demikian pula kejadian alam semesta ini
diciptakan tuhan melalui proses setingkat demi setingkat. Pola perkembangan
manusia dan kejadian alam semesta yang berproses demikian berlangsung diatas
hukum alam yang ditetapkan oleh Allah sebagai “sunnahtullah”.
Pendidikan
sebagai usaha membina dan mengembangkan
pribadi manusia ; aspek rohania dan jasmania,
juga berlangsung secara bertahap. Oleh karena itu, suatu kematangan yang
bertitik pada akhir optimalisasi perkembangan/pertumbuhan baru dapat tercapai
bilamana berlangsung melalui proses demi proses kearah tujuan akhir
perkembangan/pertumbuhannya.[14]
Pendidikan
sangat diperlukan karena seorang anak manusia dilahirkan dalam keadaan tidak
berdaya.
a. Anak
manusia lahir tidak di lengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan
diri dalam menghadapi lingkungan.
b. Anak
manusia perlu masa belajar yang panjang sebagai persiapan untuk dapat secara
tepat berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif.
c. Awal
pndidikan terjadi setelah anak manusia mencapai penyusuaian jasmani (anak dapat
berjalan sendiri, makan sendiri, dapat menggunakan tangan sendiri) atau
mencapai kebebasan fisik dan jasmani.
“letak
kebahagiaan manusia adalah pada semangat untu meraih perkara yang bermanfaat
bagi dirinya, baik untuk kehidupan dunia maupun akhirat”, kutipan perkataan
Ibnu Qayyim ini relevan dengan konsep dari pemerolehan sebuah ilmu, ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia, berbicara mengenai ilmu,
maka tidak hanya orang dewasa saja mampu mendapatkannya, karena ilmu bagian
dari pengetahuan maka seorang anak kecilpun telah mempunyai berbagai
pengetahuan sesuai dengan tahap pertumbuhan dan kecerdasannya, oleh karena itu
pengetahuan mengenai apa yang diketahui seseorang merupakan hasil dari usaha
mencari tahu segala bentuk yang ingin diketahuinya agar manusia tersebut mampu
mengenal jati dirinya, mampu bermanfaat, untuk kehidupan sekarang (dunia) dan
masa depannya (akhirat).
Baik
ilmu maupun pengetahuan tak lepas dari ruang lingkup kehidupan pendidikan,
pendidikan salah satu komponen kebutuhan manusia yang harus dipenuhi selain
makan, minum, istirahat, dan lain sebagainya. Lantas pertanyaannya mengapa
pendidikan merupakan kebutuhan manusia bukan hewan atau tumbuhan?, karena
manusia satu – satunya mahluk yang diciptakan Allah swt dengan perangkat
lengkap, memiliki akal, akal manusia digunakan untuk berfikir dan mencerna segala
konsep yang diterima oleh lima panca inderanya, sedangkan hewa memiliki alat
indera namun tidak memiliki akal tersebut. Itulah sebabnya mengapa manusia mampu berkembang pesat ketimbang
mahluk hidup yang lainnya. Perlu diketahui bersama bahwa pada waktu lahir
seorang bayi hanya memiliki 40% dari otak dewasanya sedangkan mahluk lain
dibekali 70% dari otak dewasanya, dari
sinilah dapat dihubungkan bahwa anak manusia harus banyak melakukan proses
pembelajaran lebih keras agar menjadikan otaknya bernilai 100% dari otak
dewasanya . .[15]
Jika
ingin berhitung mengenai persenan otak bayi yang baru lahir hingga usia
dewasanya dari 40% sudah berapapersenkah perkembangan otak kita saat ini?
Apakah benar – benar sudah mencapai 100% jika belum, maka pendidikanlah yang
sangat mengambil peranan dalam perkembangan otak manusia ini. Berperannya
pendidikan tentu saja mengandung banyak aspek dan sifat yang kompleks, oleh karena itulah ada batasan
pendidikan yang berbeda berdasar
fungsinya.
1. pertama,
pendidikan sebagai proses transformasi budaya, ini diartikan bahwa pendidikan
sebagai kegiatan pewarisan budaya, ini diartikan bahwa pendidikan sebagai
kegiatan pewarisan budaya dari suatu generasi kegenerasi yang lain.
2. Pendidikan
sebagai proses pembentukan pribadi merupakan sesuatu kegiatan yang sistematis
dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian manusia.
3. Pendidikan
sebagai proses penyiapan warga negara yang merancang kegiatan yang terencana
untuk membekali seseorang agar menjadi warga negara yang baik.
4. Pendidikan
sebagai penyiapan tenaga kerja untuk membimbing seseorang sehingga memiliki
bekal dasar untuk bekerja.
Berdasarkan
kesempatan peranan pendidikan tersebut maka dibutuhkan sebuah pendekatan yang
mampu mensinergikan peran fungsi pendidikan itu sendiri. Pendidikan yang
dilaksanakan penyelengaraan penddidikan bisa dilakukan denganberbagai cara atau
metode, permasalahnnya terletak pada variasi metode yang lahir pada saat ini
minim nilai ketauhidan kepada yang maha esa. Keminiman ini menurut saya terjadi
akibat tidak mampunya tenaga pendidikan (pengajar/guru) dalam mengikuti
perputaran modernisasi menuju globalisasi pendidikan. Artinya, pendidikan harus
segara ‘disuntikkan’ kedalam proses belajar mengajar oleh guru.[16]
E. Home Scholing.
Istilah
Home Scholing berasal dari bahasa
Inggris yang berarti sekolah rumah dilegal juga dengan nama Homescholing, home – based education, home education, home scholing Unscho – ling,
deschooung a form alternative education, sekolah mandiri atau sekolah
rumah. Pengertian umum home scholing adalah model pendidikan sebuah keluarga,
dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas pendidikan
anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basisi pendidikannya. Memilih untuk
bertanggung jawab berarti orang tua bertindak langsung menetukan proses
penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai – nilai
yang hendak di kembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi,
serta metode dan praktek belajar (Sumardiono dalam simbolon : 2008), sedangkan
menurut Daryono home schooling
merupakan pendidikan berbasis rumah yang memungkinkan anak berkembang sesuai
dengan potensi diri mereka masing – masing.
Home schooling
bukanlah sekedar mengungkung anak di rumah, mengundang guru privat yang mahal,
dan model belajar artis yang malas pergi kesekolah, sebagai sebuah gagasan
dalam praktek, home schooling jauh
lebih subtantif dibandingkan persepsi yang berkembang dimasyarakat itu.
Home schooling
adalah gerakan “back to basice”
memasuki kembali esensi – esensi pembelajaran yang tidak dipasung oleh tempat
belajar, Administratif dan ritual – ritual (baju seragam) uang gedung, buku
baru, ijazah, wisuda, dll. Yang semakin menggantikan esensi proses belajar, dengan
moto belajar dimana saja, kapan saja, bersama siapa saja. Home schooling kesempatan proses belajar yang kontekstual dan
penggunaan kehidupan seharian sebagai sumber belajar.
Sementara
model sekolah bersifat masal dan mengajar standar – standar eksternal seperti
pabrik. Home schooling memberikan peluang peluang untuk kostumisasi pendidikan.
Mulai aspek penentuan tujuan, pemilihan materi ajar, metode-metode yang
digunakan dalam proses belajar, home schooling memberikan kesempatan kepada
orang tua untuk menghargai keragaman jenis kecerdasan anak (multipleintelligences) yang tak mungkin
di kembangkan dalam pendidikan masal.[17]
Home schooling
bukanlah merubah orang tua menjadi guru untuk proses belajar anak – anak karena
kemampuan orang tua pasti terbatas. Peran utama orang tua daalam home
schooling adalah menjadi mentor dan fasilitator. Proses utama dan
pembelajaran home schooling adalah
menumbuhkan dan menggerakkan spirit belajar anak – anak sehingga anak – anak
dapat menjadi pembelajar mandiri dengan model sekolah, home schooling justru semakin mudah dilaksanakan pada saat anak
semakin mandiri.
Karena
home schooling dibangun dengan
keluarga sebagai entitas penggerak kegiatan belajar, home schooling meniscayakan keragaman dan system terdistribusi.
Tak ada pusat dan model standar home schooling
karena setiap keluarga bebas merancang sesuai tujuan – tujuan pendidikan
keluarga yang khas, yang ada adalah entitas otonom yang saling berinteraksi
dalam proses penyelenggaraan pendidikan.
Manusia
adalah mahluk yang unik, memiliki karakteristik masing – masing kemampuan yang
berbeda, serta kebutuhan yang berbeda pula maka bukanlah hal yang mengejutkan
jika ada sekelompok siswa yang tidak cocok dengan sistem pendidikan formal
maupun nonformal. Jika siswa tidak dapat mengikuti pendidikan formal di sekolah
karena alasan tertentu, iya berhak memili pendidikan alternatif lain yang dapat
memenuhi haknya sebagai warga negara untuk belajar.karena setiap anak berhak
mendapatkan pendidikan, dalam bentuk apapun. Hal ini sesuai dengan undang –
undang Negara republik indonesia pasal 31 ayat 1 menyatakan bahwa setiap warga
negara berhak mendapatkan pendidikan.[18]
F.
Sejarah Homeschooling.
Kemunculan
homescholing atau home education yang ditulis olehmary griffith dalam buku
berjudul “The Unschooling handbook, howe to use the whole world as your child’s
clasroom”. Sekolah rumah tidak menjadi sebuah gerakan sampai tahun 1970-an saat
pendidik bernama Jont Holt, mulai mengenalkan konsep sekolah rumah pada publik
Holt yakin bahwa reformasi pendidikan yang terpusat pada anak –anak, yang dia
percaya diperlukan, tidak akan bahkan terjadi didalam perprogaman wajib belajar
di sekolah formal konversional.
Pada
tahun 1997, Holt mulai mempublikasikan buletin berita yang dinamai “Growing Without Scholing” (tumbuh tanpa
sekolah) untuk keluarga – keluarga yang mempunyaiide-ide untuk membantu anak
–anak mereka belajar diluar sekolah.
Ide
– ide Holt mempengaruhi banyak orang tua yang
beraliran puritan yang menganggap bahwa sekolah – sekolah formal di
Amerika saat itu telah gagal mencetak siswa yang mempunyai kemandirian dalam
belajar dan cenderung brobok dalam moralitas menurut beberapa sumber
diperkirakan di Amerika Sekrikat sekarang ini ada 1,5 juta sampai 2 juta anak
yang bersekolah di rumah jumlah yang cukup besar tersebut merupakan data resmi
jumlah siswa yang mengikuti kurikulum untuk bersekolah di rumah, karena para
orang tuaingin agar sistem pendidikan mempunyai konsep dan visi yang jelas.
Di
negara kita konsep sekolah rumah sudah diterapkan lama oleh sebagian kecil
masyarakat kita tengok saja di pondok – pondok pesantren para kiai secara
khusus telah mendidik anak – anaknya sendiri karena merasa lebih mengenal dan
puas bisa mengajarkan ilmu pada putra sendiri dari pada sekedar mempercayakan
pada orang lain.
Tokoh
– tokoh terkenal seperti Agus Salim, KH Dewantara atau Buya Hamka juga
mengembangkan cara belajar dengan sistem persekolahan di rumah ini metode ini
dijalankan bukan sekedar agar anak didik lulus ujian kemudian mendapatkan
ijazah, namun agar lebih mencintai dan punya semangat yang tinggi dalam
mengembangkan ilmu yang dipelajari.[19]
Bagi keluarga – keluarga yang telah
menerapkan konsep ini, pendidikan yang mereka jalani adalah pendidikan yang
penuh pemikiran, permainan bebas dan eksplorasi ini melepaskan kekakuan kalimat
yang sering diucapkan guru di kelas seperti
“kalian seharusnya”, “kaalian sebaiknya”
atau “anak – anak, pelajaran kita hari ini adalah “adalah kenapa
demikian? Karena homeschooling pada
dasarnya merupakan metode pembelajaran yang menekankan pada masalah sikap dan
pendekatan belajar yang lebih mandiri di homeschooling pelajar bisa memiliki
materi pelajaran apa yang mau dikaji tiap harinya sesuai dengan minatnya, sederhananya sekolah rumah
menampatkan wewenang di tangan si pembelajar.
Salah
satu contoh menarik adalah cerita yang dimuat di kompas (13/3/2005) mengenai Wanti
Wowor (39) ibu empat anak yang berhasil mendidik 2 anaknya, fini dan fina sejak
kecil belajar di rumah sampai akhirnya melanjutkan sekolah desain model di
Esmond Jakarta, sedangkan fina diterima di universitas Indonesia program
internasional kelebihan yang ada pada mereka dibandingkan mahasiswa yang
sebelumnya telah terbiasa mengikuti
sekolah formal konversional adalah kemandirian yang sesuai dalam
belajar, kedisiplinan yang tinggi dalam mengerjakan tugas – tugas perkuliahan
dan juga telah lebih berani mengemukan pendapat dan berdebat.[20]
G. Dasar
Hukum Home Scholing.
Keberadaan
home schooling dimata hukum Indonesia
yaitu dalam UUD Sisdiknas No 20 tahun 2003 pasal 29. Home schooling termasuk kategori pendidikan informal yang dilakukan
oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, Negara
tidak mengatur proses pembelajarannya, dari hasil pendidikan informal
diakui sama dengan pendidikan formal dan
nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.
Selanjutnya
ketentuan mengenai kesetaraan diatur dalam undang-undang No. 28 tahun 2003
tentang system pendidikan nasional ,
pasal 26 ayat (6) : hasil pendidikan
nonformal dapat dihargai dengan setara hasil pendidikan formal setelah melalui proses penilaiaan penyetaraan
oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah/ pemerintah daerah dengan mengacu
pada standar nasional pendidikan.
Tak
ada standar system home scholling karena, home schooling pada dasarnya adalah
system yang bersifat eustomized, bagi orang tua yang menginginkan alat uji
dengan system pendidikan formal sekolah reguler, anak-anak dapat mengikuti
ujian paket A (setara SD), paket B (setara SMP), paket C (setara SMU), dan
ijazah paket ujian persamaan ini diakui dan dapat digunakan
untuk
melanjutkan ke sekolah reguler jenjang selanjutnya.[21]
H. Kurikulum
Dan Materi Pembelajaran Home Scholing.
Kurikulum
pembelajaran home schooling adalah kurikulum yang di desain sendiri namun tetap
mengacu pada kurikulum nasional, penelitian yang dilakukan Dr. Briyan Ray
menunjukkan bahwa mayoritas home schoolers (71%) memilih sendiri materi
pembelajaran dan dari kurikulum yang
tersedia,kemudian melakukan pengusuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak
dan keadaan keluarga selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket lengkap yang
dibeli dari lembaga penyediaan kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3%
menggunakan materi dari sekolah satelit (portner home scholing) atau program
khusus yang dijalankan oleh sekolah suasta setempat.
Proses
belajar yang dilakukan home schooling, mengacu pada kurikulum sekolah kurikulum
apa yang harus diacu oleh keluarga home schooling? Pilihannya tersera pada
setiap keluarga. keluarga dapat memilih home schooling yang emngacu pada
kurikulum nasional atau kurikulum lain, semisal kurikulum Cambridge IGCSE yang
digunakan oleh sekolah - sekolah
internasioanal di Indonesia. Selain Cambridge IGCSE, banyak jenis kurikulumlain
yang dibuat oleh pembuat kurikulum (curriculum provider) yang diakui Negara
pembuatnya.
Jika hendak mengacu pada kurikulum
tertentu keluarga HS/HE ddapat menetukan pilihan kurikulum mana yang diacu.
Jika kurikulum nasional yang diacu maka hanya ada satu jenis kurikulum yang
dibuat oleh Depdiknas, yaitu kurikulum yang digunakan di sekolah – sekolah.
kurikulum ininlah yang perlu diacu oleh keluarga HS/HE.
Kurikulum
sekolah ini dapat diperoleh disitus pusat kurikulum Depdiknas (puskur). Ada
juga materi kurikulum itu yang dijual di took buku. Cara paling gampang dan
praktis untuk mengetahui kurikulum nasional adalah dengan melihat buku – buku
pelajaran yang digunakan anak sekolah.
Walaupun
menggunakan kurikulum nasional seperti sekolah, kreatifitas dan keluarga
homeschooling tetap terbuka banyak aspek didalam proses belajar dalam home
schooling yang tetap dapat dimodifasikasi sesuai gaya belajar anak agar memperoleh hasil yang maksimal.
Keluarga
homeschooling dapat menentukan sendiri buku refrensi apa yang paling disukai,
waktu belajar dan juga cara mempelajari suatu mata pelajaran. Diluar mata
pelajaran yang diujikan dalam ujian persamaan, anak – anak homeschooling tetap
dapat mempelajari berbagai hal yang menjadi minat dan perhatiannya.[22]
I. Model
– Model Home Scholing.
Menurut
mendiknas, home schooling (sekolah
rumah) pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Sekolah
rumah tunggal. Yaitu layanan pendidikan yang dilakukan orang tua/wali terhadap
seorang anak atau lebih terutama di rumahnya sendiri atau di tempat – tempat
lain yang menyenagkan peserta didik.
2. Sekolah
rumah majemuk yaitu layanan pendidikan oleh para orangtua / wali terhadap anak
– anak dari suatu lingkungan yang tidak selalu bertalian dalam keluarga, yang
diselenggarakan beberapa rumah atau di tempat/ fasilitas pendidikan yang
ditentukan oleh suatu komunitas.
Pendidikan yang dibentuk atau dikelolah secara lebih teratur dan terstruktur.
masa
depannya orangtua memiliki tanggung jawab
sekaligus pilihan untuk memberikan yang terbaik bagi anak – anak home scholing menjadi alternetif pendidikan yang rasional bagi orang tua yaitu
memiliki kelebihan dan kekurangan inheren didalam sistemnya.
·
Kelebihan.
Memberi
banyak keluasan bagi anak untuk menikmati pembelajaran tanpa harus merasa
tertekan dengan beban – beban yang terkondisi oleh target kurikulum. [23]
-
Menjadikan pendidikan moral atau
keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik.
-
Menjadikan waktu belajar yang lebih
fleksibel.
-
Memberikan tanggungan dan protesi dalam
pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
-
Menghindari penyakit sosial yang
dianggap orangtua dapat terjai di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba, dan pelecehan.
-
Memberikan keterampilan khusu yang
menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga,
dan sejenisnya.
-
Biaya mendidik dapat disesuaikan dengan
kondisi keuangan keluarga.
·
Kekurangan.
-
Tidak ada suasana kompetitif sehinggga
anak tidak bisa membandingkan sampai diman kemampuannya dibandingkan anak anak
lain seusianya.
-
Anak belum tentu merasa cocok diajar
orangtua sendiri, apalagi jika pihak orangtua tidak punya pengalaman
sebelumnya.
-
Keterampilan dan dinamika
bersosialasidengan teman sebagai relatif rendah, ada resiko kurangnya kemampian
belajar.
-
Proteksi berlebihan dari orangtua dapat
memberikan efek samping ketidak mampuan menyelesaikan sesuatu dan masalah
sosial yang kompleks yang tidak terpediksi.[24]
J. Langkah
– Langkah Melakukan Home Scholing.
Pada
dasarnya home scholing bersifat unik, setiap keluarga mempunyai latar belakang
berbeda sehingga setiap keluarga akan membentuk model home scholing yang baik.
Orangtua yang menjalankan homescholing
untuk anaknya penting untuk berinteraksi dan membentuk jaringan (networking), sebagai para proteksi home
scholing local bersama orangtua lainnya.
Agar
kegiatan homescholing bisa memperoleh
penilaian dan penghargaan melalui pendidikan dan kesataraan, perlu ditempuh
langkah – langkah pembentukan komunitas belajar sebagai berikut.
-
Mendaftarkan kesiapan orangtua untuk
menyelenggarakan pembelajaran di rumahah/lingkungan kepada komunitas belajar.
-
Berhimpun dalam suatu komunitas.
-
Mendaftarkan komunitas belajar pada
bidang yang menangani kesetaraan pada dasar pendidikan yang kabupaten/kota
setempat.
-
Mengadministrasikan peserta didik sesuai
dengan program paket belajar diikutinya.
-
Menyusun program belajar dan strategi
penyelenggara secara menyeluruh dan berkesinambungan sesuai dengan program
paket belajar yang diikutinya.
-
Mengembangkan perangkat pendukung
pembelajaran melakukan penilaiaan terhadap hasil belajar yang dicapai peserta
didik secara berkala per semester.
-
Mengikuti sertakan peserta didik yang
sudah memenuhi persyaratan dalam ujian nasional.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan
Pendidikan Eksklusif adalah
pendidikan yang istimewa, sendirian, yang bersifat tertutup atau terpisah
dengan yang lain. Contoh dari pendidikan Eksklusif adalah Home scholing. home scholing adalah model pendidikan sebuah
keluarga, dimana sebuah keluarga memilih untuk bertanggung jawab sendiri atas
pendidikan anaknya dengan menggunakan rumah sebagai basisi pendidikannya. Memilih
untuk bertanggung jawab berarti orang tua bertindak langsung menetukan proses
penyelenggaraan pendidikan, penentuan arah dan tujuan pendidikan, nilai – nilai
yang hendak di kembangkan, kecerdasan dan keterampilan, kurikulum dan materi,
serta metode dan praktek belajar.
Kurikulum pembelajaran home schooling
adalah kurikulum yang di desain sendiri namun tetap mengacu pada kurikulum
nasional, penelitian yang dilakukan Dr. Briyan Ray menunjukkan bahwa mayoritas
home schoolers (71%) memilih sendiri materi pembelajaran dan dari
kurikulum yang tersedia,kemudian
melakukan pengusuaian agar sesuai dengan kebutuhan anak-anak dan keadaan
keluarga selain itu, 24% diantaranya menggunakan paket lengkap yang dibeli dari
lembaga penyediaan kurikulum dan materi ajar. Sekitar 3% menggunakan materi
dari sekolah satelit (portner home scholing) atau program khusus yang
dijalankan oleh sekolah suasta setempat.
Kelebihan Homescholing yaitu :
-
Menjadikan pendidikan moral atau
keagamaan, lingkungan sosial dan suasana belajar yang lebih baik.
-
Menjadikan waktu belajar yang lebih
fleksibel.
-
Memberikan tanggungan dan protesi dalam
pembelajaran terutama bagi anak yang sakit atau cacat.
-
Menghindari penyakit sosial yang
dianggap orangtua dapat terjai di sekolah seperti tawuran, kenakalan remaja (bullying), narkoba, dan pelecehan.
-
Memberikan keterampilan khusu yang
menuntut pembelajaran dalam waktu yang lama seperti pertanian, seni, olahraga,
dan sejenisnya.
-
Biaya mendidik dapat disesuaikan dengan
kondisi keuangan keluarga.
·
Kekurangan.
-
Tidak ada suasana kompetitif sehinggga
anak tidak bisa membandingkan sampai diman kemampuannya dibandingkan anak anak
lain seusianya.
-
Anak belum tentu merasa cocok diajar
orangtua sendiri, apalagi jika pihak orangtua tidak punya pengalaman
sebelumnya.
-
Keterampilan dan dinamika
bersosialasidengan teman sebagai relatif rendah, ada resiko kurangnya kemampian
belajar.
-
Proteksi berlebihan dari orangtua dapat
memberikan efek samping ketidak mampuan menyelesaikan sesuatu dan masalah
sosial yang kompleks yang tidak terpediksi.
B. Daftar
Pustaka.
Diono
Sunar Aar, Warna Warni Home Schooling,
Jakarta : PT Elex Media Komentindo, 2009.
Insan
Fuad, Dasar-Dasar Kependidikan, Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 1997.
Pidarta
Made, Landasan Pendidikan, Jakarta :
Rineka Cipta, 1997.
Mudyaharjo
Redja, Pengantar Pendidikan, Cet ke 2, Jakarta : PT Radja Grafindo, 2002.
Mohammad
Daud, Pendidikan Agama Islam, Jakarta
: PT. Radja Grafindo Persada, 1998
Muzayyin
Arifin, Filsafa t Pendidikan Islam, Jakarta
: PT. Bumi Aksara, 2005
Made
Pidarta, Landasan Kependidikan, Jakarta
: PT. Rineka Cipta, 2007
Suharto
Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta
: Ar Ruz, 2006.
Pena
Prima Tim, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya
: Gitamedia Pres, 2006.
Redja
Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan, Jakarta
: PT. Radja Gravindo Persada, 2001
Tadjab,
Ilmu Jiwa Pendidikan, Surabaya :
Karya Abditama, 1994.
Zakiah
Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta
: PT. Bumi Aksara, 2004
http://UU.homeschoolers.blogspot.com/01/05/2012
http://blog.tp.ac.id/tag/pendidikan-eksklusif04/05/2012
[1]
. Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan,
Cet ke 2, (Jakarta : Pt Radja Grafindo, 2002), h 3.
[2]
.Made Pidarta, Landasan Pendidikan,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1997), h. 10-13
[3]
. Fuad Insan, Dasar-Dasar Kependidikan,
(Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1997), h. 4.
[4].
Fuad Insan, Dasar-Dasar Kependidikan, h.
5.
[5]
.Fuad Insan, Dasar-Dasar Kependidikan,
h. 6.
[6]
.Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jogjakarta : Ar Ruz, 2006), h. 85.
[7].
Tim Prima Pena, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya
: Gitamedia Pres, 2006), h. 104.
[8]
. Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan,
(Surabaya : Karya Abditama, 1994), h. 42
[9]
. Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, h. 43.
[10].
Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, h. 44.
[11].
Tadjab, Ilmu Jiwa Pendidikan, h. 45.
[12]
.Zakiah Daradjat, Ilmu Pendidikan Islam,
(Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2004), h. 16.
[13]
.Mohammad Daud, Pendidikan Agama Islam,
(Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada, 1998), h.33.
[14]
.Muzayyin Arifin, Filsafa t Pendidikan
Islam, (akarta : PT. Bumi Aksara, 2005), h. 12.
[15]
.Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan,
(Jakarta : PT. Radja Gravindo Persada, 2001), h. 33.
[17]
. http://www.makarizo.co.id/web/events/117/pendidikan-eksklusif-%E2%80%93-brownizer
[18]
. Aar Sunar Diono, Warna Warni Home Schooling, (Jakarta : PT Elex Media Komentindo,
2009) h. 20.
[19]
.http://blog.tp.ac.id/tag/pendidikan-eksklusif4/05/2012
[24]
. http://abudira.wordpress.com/2008/07/23/kelebihan-kekurangan-homeschooling/01/05/2012
EmoticonEmoticon