BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam siklus sebuah
penciptaan, Alloh SWT telah meninggikan derajat mahluk yang bernama manusia.
Beragam ilmu dan pengetahuan telah Dia benamkan dalam akal manusia. Akal,
inilah perantara Tuhan untuk membenamkan ilmu dan pengetahuan, yang nantinya
akan dipergunakan sebagai alat bertahan hidup dimuka bumi, yang memang manusia
dipersiapkan untuk menjadi khalifahnya, pemimpinnya. Dengan akal, dan ilmu
pengetahuan yang terbenam didalamnya manusia mampu melakukan improvisasi dalam
rangka menjalankan perannya sebagai pemimpin dimuka bumi. Terlebih, ada banyak
kejadian dialam semesta, atau ayat-ayat Kauniyah, yang Alloh berikan sehingga
manusia dapat belajar dengan akalnya.
Dan Allah Yang Maha
Kuasa pun menganugerahkan manusia sifat yang bernama nafsu, yang dengannya
terciptalah hasrat dan semangat untuk membuat hidup ini menjadi dinamis. Sebut
saja nafsu makan, nafsu untuk mendapatkan kekayaan, dan kesejahteraan, dan
berbagai macam nafsu lainnya. Sebagian orang membahasakan nafsu dengan istilah
semangat, hasrat, atau apapun yang mencerminkan pengejawantahan ekspresi dari
nafsu itu.
Penggunaan istilah
hawa nafsu dalam kebudayaan Islami mangacu pada gabungan beberapa naluri yang
bersemayam dalam jiwa, sedangkan manusia sebagai penyandangnya selalu dituntut
agar memenuhi hasratnya. Berbagai naluri syahwati itu membentuk bagian
terpenting dan berperan luar biasa dalam kepribadian manusia. la adalah faktor
utama dalam menggerakkan dan mengatur diri manusia. Bahkan sebagai kunci yang paling
efektif untuk mengatur aksi dan reaksinya.
Manusia
mempunyai kelebihan di antara semua makhluk. Kelebihan itu ialah bahwa manusia
mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi materi, yang di dalam filsafat disebut
juga dengan dimensi hewani, sehingga manusia tidak jauh berbeda dengan hewan.
Dimensi kedua disebut dimensi spiritual yang dinamakan dengan dimensi ruhani.
Oleh karena itu manusia terdiri atas roh dan jasad yang dilengkapi dengan
potensi-potensi qalbu yang terdiri atas fu’ad,
shadr, dan hawaa yang kemudian
terangkum dalam penampakan nafs. Dengan
nafsulah manusia dapat berkeinginan melakukan sesuatu.
Seluruh
potensi qalbu yang telah Allah anugerahkan harus disinari dengan cahaya ilahi
(ruh kebenaran), sehingga ia akan tetap berada dalam jalan kebenaran. Inilah
tugas manusia yang paling berat, mengingat peranan syetan yang dengan gigih
berusaha untuk memadamkan cahaya Illahi dan menggantinya dengan nyala api, dan
terus menggoda manusia dalam segala hal dengan segala cara diantaranya melalui
nafsu.
Nafsu
adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu
yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada di dalam diri manusia, sebagai
urgensi kelangsungan hidupnya. Mustahil jika manusia tidak memiliki nafsu,
sebab jika manusia tidak memiliki kecenderungan untuk makan, minum dan menikah,
maka ia tidak akan mau makan, minum dan menikah.
Nafsu
mendorong manusia kepada sesuatu yang dikehendakinya, sebagaimana kebencian
yang bisa membelanya dari sesuatu yang mengganggunya. Jadi nafsu tidak bisa dicela secara mutlak
sebagaimana kebencian yang tidak bisa dicela dan dipuji secara mutlak pula.
Yang layak dicela ialah yang berlebih-lebihan dalam dua sikap ini, yaitu yang
melebihi sikap mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Maka nafsu dapat
bersifat ke arah positif maupun mendorong ke arah negatif.
B. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang di angkat di
atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud dengan an-Nafs (nafsu) ?
2.
Apa saja jenis-jenis nafsu yang ada ?
3.
Potensi-potensi qalbu apa saja yang membentuk nafsu?
4.
Apa saja peran positif nafsu dalam kehidupan manusia?
5.
Apa saja peran negatif nafsu dalam kehidupan manusia?
6.
Bagaimana cara memerangi nafsu yang mengarah pada sisi negatif?
7.
Bagaimana implikasi nafsu dalam pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nafsu
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada
sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang
ada dalam diri manusia, sebagai uegensi kelangsungan hidupnya. Nafsu mendorong
manusia kepada sesuatu yang dikehendakinya. [1]
Sementara itu, para ahli tasawwuf
mengungkapkan bahwa, makna pertama nafsu
merupakan cakupan makna dari kekuatan amarah dan syahwat (nafsu birahi)
dalam diri manusia. Nafsu merupakan dasar cakupan sifat-sifat tercela. Makna kedua,
bahwa nafsu adalah perasaan halus (lathifah). Ia adalah hakikat manusia. Ia
adalah Jiwa manusia dan hakikatnya.[2]
Imam al-Ghazali mengungkapkan
bahwa an-nafs dapat dimaksud sebagai
makna yang merangkum kekuatan marah dan syahwat dalam diri manusia.[3]
Syaikh Syihabuddi Umar Suhrawardi mengungkapkan bahwa Nafs memiliki dua makna,
yaitu:
1.
Nafs-i-syay’ (nafs dari sesuatu) yang berupa esensi (dzat) dan hakikat
sesuatu. Dengan demikian, dinyatakan bahwa dengan nafsnya sendiri sesuatu bisa
berdiri.
2.
Nafs-i-nathiqa-i-insani (nafsu rasional manusia) yang merupakan abstrak
dari berbagai anugerah dalam tubuh, yang disebut fitrah manusia dan suatu
kecemerlangan yang dianugerahkan kepadanya dari kemuliaan jiwa manusia yang
dengan kecemerlangannya tubuh menjadi tempat menjadi tempat pengungkapan
kedekatan dan kesalihan.[4]
Dari berbagai makna an-nafs di atas, dapat
dipahami bahwa an-nafs (nafsu) pada dasarnya merupakan salah satu fitrah yang
diciptakan Allah dalam diri manusia yang bersifat halus yang dapat dijadikan
sumber dorongan dan kelangsungan hidup manusia. Namun, sewaktu-waktu nafs juga
dapat berubah dari dorongan yang baik yang bersifat positif menjadi dorongan
yang mengarah pada sifat-sifat tercela (negatif).
B. Jenis-Jenis Nafsu
Bagian rohani ini, banyak memberikan
instruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak, dengan demikian
dapat diketahui bsahwa ada delapan macam nafsu yang masing-masing berbeda perintahnya, yaitu:
1.
Nafsu al-‘ammarah, yaitu jiwa yang tidak mampu membedakan
hal-hal yang baik dengan hal-hal yang buruk. Ia selalu mendorong kepada hal-hal
yang buruk, dan selalu menganggap bahwa nasehat itu merupakan penghalang
belaka, yang tidak perlu ditanggapinya.
Ini
nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang
melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat,
ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.[5]
Nafsu amarah merupakan dimensi hewani yang
ada pada diri seorang manusia yang juga dinamakan dengan gharizah dan
kecenderungan.[6]
2.
Nafsu al-Lawwamah, yaitu jiwa yang telah mempunyai rassa
insaf dan menyesal sesudah melakukan
perbuatan buruk. Ia tidak berani malakukan yang keji secara terang-terangan,
karena sudah menyadari bahwa perbuatan
itu tidak baik, tetapi belum bisa mengekang keinginan nafsunya.
Ini adalah jiwa yang
memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya
bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada
kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada
tingkat diatasnya.[7]
3.
Nafsu al-Musawwalah, yaitu jiwa yang telah dapat membedakan
hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, tetapi ia masih selalu mencampur
adukkan perbuatan baik dengan perbuatan
buruk. Ia masih sering melakukan perbuatan buruk dengan cara sembunyi-sembunyi
karena malu terhadap orang lain bukan malu terhadap Tuhan.
4.
Nafsu al-Muthma’innah, yaitu jiwa yang telah mendapat tuntunan
yang baik, sehingga dapat melakukan sikap dan perilaku yang benar, dapat
menghindarkan diri dari kejahatan, serta selalu melahirkan ketenangan lahir dan
bathin.
Jiwa ini telah mantap
imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor
duakan nikmat materi.
5.
Nafsu al-Mulhamah, yaitu jiwa yang telah memperoleh ilham dari
Allah SWT dan sudah dikaruniai pengetahuan yang dihiasi dengan akhlak mulia,
sehingga ia selalu bersyukur, bersabar bertrawakkal, bersikap ikhlas dan
sebagainya.
Ini adalah tingkat jiwa
yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam
menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan,
segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.
6.
Nafsu al-Radiyah, yaitu jiwa yang selalu rela dan merasa
bahagia menerima apa saja dari Allah SWT, sehingga ia selalu merasa syukur dan
qana’ah.
Pada tingkatan ini jiwa
telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar.
Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi
(Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
7.
Nafsu al-Mardiyah, yaitu jiwa yang selalu mendapatkan ridha
Allah, sehingga ia mudah melakukan dzikir, serta memiliki kemuliaan dan
karamah.
Tidak ada lagi keluhan,
kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak
lagi bergejolak dominan.
8.
Nafsu al-Kamilah, yaitu jiwa yang telah sempurna dan sanggup memberi petunjuk yang
sebaik-baiknya kepada orang lain, sehingga ia sudah bisa disebut musyid dan mukammil.[8]
Jiwanya pasrah pada Allah
dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya
keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.
C. Potensi-potensi Qalbu Pembentuk an-Nafs (Nafsu)
Dalam
penciptaannya, qalbu diberi tiga potensi yang nantinya akan menjadi
pengeerak terhadap pembentukan nafsu yang nampak dalam gerak dan perbuatan
manusia. Ketiga potensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Fu’ad
Fu’ad merupakan potensi qalbu yang berkaitan
dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak
manusia (fungsi rasio, kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab intelektual
yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk
kepada objektivitas, kejujuran dan jauh pada sifat kebohongan.
Potensi fu’ad adalah potensi yang mampu
menerima informasi dan menganalisisnya sedemikian rupa sehingga ia mampu
mengambil pelajaran dari informasi yang diterimanya.[9]
Fu’ad memberikan ruang untuk akal, berfikir,
bertafakur, memilih dan mengolah seluruh data yang masuk dalam qalbu manusia.
Sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang bermuatan moral. Fu’ad menangkap
fenomena alam luar dan alam ini sehingga dapat melihat berbagai tanda yang
kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam bentuk amal.
Dan akal, zikir, pikir, pendengaran dan
penglihatan berperan untuk mengawal fu’ad sehingga membantu fu’ad untuk
menangkap fenomena yang bersifat lahir, wujud dan nyata dengan mendayagunakan
fungsi indera penglihatan.
Pendengaran merupakan lambang dari potensi
qalbu yang bertugas untuk merenungkan dan kemudian menghayati seluruh ayat,
tanda, informasi dan seluruh kejadian alam.
Akal berkaitan dengan keadaan untuk menangkap
seluruh gejala alam yang tampak nyata. Sedangkan pikiran menangkap hakikat dari
penampakan benda yang dilihat oleh akal dan pebglihatan.
Sementara itu, dzikir dalam kaitan sebagai
potensi fu’ad, sejajar dengan pikir. Zikir berfungsi sebagai fondasi yang
membentangkan lapangan untuk tegaknya pikir, sehingga potensi pikir tidak
terperangkap atau di dominasi oleh keinginan yang menjerumuskan.
2.
Shadr
Shadr merupakan potensi qalbu yang berperan untuk merasakan dan
menghayati atau dengan kata lain, shadr mempunyai fungsi emosi seperti merasa
marah, benci, cinta, keindahan dan sebagainya. Shadr mempunyai potensi besar
untuk menyimpan hasrat, kemauan, niat kebenaran dan keberanian yang sama
besarnya dengan kemampuannya untuk menerima kebenaran ilmu pengetahuan.[10]
Shadr letaknya berada dalam dada manusia yang dalam al-Qur’an disebut
dengan shadr. Dalam dada tersebutlah
tempat berkecamuknya pertempuran antara yang hak dan yang bathil, rasa cemas
dan rasa takut. Dalam dada ini pula tersimpan motivasi, niat, keinginan dan
komitmen. Segala keinginan manusia berada dalam aktivitas shadr.
Bebeda dengan fu’ad yang berorientasi ke depan, potensi shadr memandang
pada masa lalu, kesejarahan melalui rasa, pengalaman dan masa lalu sehingga
shadr mampu merasakan kegagalan dan keberhasilan sebagai cermin. Dengan
kompetensinya untuk melihat dunia masa lalu, manusia mempunyai kemampuan untuk
menimbang, membandingkan dan menghasilkan kearifan.
Secara simbolis, potensi shadr berada dalam dada manusia dan secara
biologis berkaitan dengan arus aliran darah da denyut jantung. Hal ini
dibuktikan dengan perasaan ketika kita sedang dimarahi, maka secara otomatis
debaran jantung dan aliran darah kita yang terasa lebih cepat.
3.
Hawaa
Potensi qalbu yang ketiga merupakan potensi yang paling berbahaya.
Potensi ini disebut dengan hawaa.
Hawaa merupakan potensi yang menggerakkan kemauan. Di dalamnya ada ambisi,
kekuasaan, pengaruh dan keinginan untuk mendunia. Potensi hawaa selalu
cenderung untuk membumi dan merasakaan nikmat dunia yang bersifat fana. [11]
Karena kedudukan hawaa yang lebih membumi dan mendunia, penuh dengan
aksesoris, kenikmatan kebendaan dan seksual maka hawaa disimbolkan berada dalam
cakupan perut dan kelamin manusia yang dapat dibuktikan dengan rasa lapar, haus
kenyang dan gairah seksual. Potensi hawaa selalu berorientasi kepada kesenangan
sesaat, bendawi dan segala sifat yang bersifat duniawi.
Potensi hawaa dalam al-Qur’an
tersirat lewat ayat berikut:
öqs9ur $oYø¤Ï© çm»uZ÷èsùts9 $pkÍ5 ÿ¼çm¨ZÅ3»s9ur t$s#÷zr& n<Î) ÇÚöF{$# yìt7¨?$#ur çm1uqyd 4 ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. É=ù=x6ø9$# bÎ) ö@ÏJøtrB Ïmøn=tã ô]ygù=t ÷rr& çmò2çøIs? ]ygù=t 4 y7Ï9º© ã@sVtB ÏQöqs)ø9$# úïÏ%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ 4 ÄÈÝÁø%$$sù }È|Ás)ø9$# öNßg¯=yès9 tbrã©3xÿtFt ÇÊÐÏÈ
“Kalau
Kami menghendaki,sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya dengan ayat-ayat itu.
Tetapi ia cenderung kepada dunia, dan menurutkan hawa nafsunya. Maka
perumpamaaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya.
Jika kamu membiarkannya, diulurkan lidahnya juga..... ( al-‘raaf:176).
Hawaa adalah potensi qalbu yang menggerakkan motif rendah, seperti
kenikmatan, libido seks, pujian, sanjungan dan kekuasaan. Tetapi apabila ia
terkena bujukan setan, hawaa akan menjadi nyala api yang membakar dan
menghitamkan seluruh cerobong qalbu. Meskipun demikian, hawaa selalu terbuka
dan membumi, didalamnya terkandung dorongan, kekuatan dan ambisi yang menolong
manusia untuk mewujudkan keinginan fu’ad dan shadr.[12]
Apabila fu’ad berorientasai ke depan dan
shadr ke masa lalu, maka potensi hawaa mempunyai kemampuan berorientasi kepada
masa kini dan realitas yang ada sekarang. Oleh karena itu, manusia tanpa
potensi hawaa yang proporsional akan menjadi lumpuh, sepi, tidak bergairah dan
kehilangan motivasi serta hidup dalam keadaan serba monoton tanpa dinamika.
Untuk itulah, segala sesuatunya terletak pada bagaimana kemampuan kita untuk
mengendalikan, mengarahkan dan menjadikannya sebagai suatu energi yang
bergelora untuk menjadikannya energi positif untuk mendukung keinginan positif
dari sisi fu’ad dan shadr sehingga tidak terjerumus pada pengaruh duniawi yang
negatif dan bersifat fana.
Ketiga potensi qalbu di atas, berada dalam
bilik-bilik qalbu yang bertugas dan berfungsi sesuai dengan perannya
masing-masing. Dalam berhubungan dengan dunia luar atau menerima rangsangan,
ketiga potensi tersebut akan memberikan respons dalam bentuk perilaku atau
tindakan. Disinilah akan terjadi pertentangan batin sehingga jiwa akan
berkecamuk sesuai dengan kadarnya masing-masing.
Pertentangan atau konflik tersebut tidak akan
pernah berhenti mengingat setiap potensi mempunyai ciri dan hamparannya sendiri
dalam mengolah respon yang diarahkan ke dunia luar.[13]
Pada hakikatnya ketiga potensi tersebut akan
bekerja sama dan saling mengisi. Hanya saja dalam bentuknya yang nyata,
tindakan dan perbuatannya sangat bergantung kepada potensi manakah yang paling
dominan. Sehingga kelak akan tampak struktur kepribadian manusia yang bersifat
sebagai berikut:
a.
Satu dimensi, yaitu penempakkan perilaku atau respons kepada dunia luar
yang hanya dikuasai atau didominasi oleh satu potensi, sehiingga potensi
lainnya kehilangan kekuatan, meredup atau kalah.
b.
Dua dimensi, yaitu persenyawaan dua potensi dan mengalahkan satu poensi
lainnya. Sehingga dalam struktur kepribadiannya akan terdapat persenyawaan dua
dimensi yang terdiri dari fusha ( fu’ad dan shadr), fuha (fu’ad dan hawa) dan shaha (shadr dan hawa).
c.
Tiga dimensi, yaitu persenyawaan seluruh dimensi secara proporsional,
dimana seluruh potensi memberikan kontribusi yang sama dan seimbang dalam
memberikan respons kepada dunia luar. Dalam kenyataannya, kepribadian manusia
akan mendayagunakan ketiga potensinya. Hanya saja ketiga domensi tersebut saling
menggeser tetapi tidak akan saling menghilangkan sama sekali.[14]
Keseluruhan interaksi dari ketiga potensi
tersebut kemudian akan dirangkum dalam penampakkan nafs dalam kaitannya dengan dunia luar. Nafs adalah totalitas kepribadian manusia. Sehingga nafs sering
diartikan sebagai jiwa, watak manusia, atau AKU sebagai persona. Nafs merupakan
keseluruhan atau totalitas dari diri manusia.[15]
Apabila fu’ad
disimbolkan berada dalam kepala, shadr
berada dalam dada dan detak jantung, serta hawaa dalam rongga perut dan kelamin, maka nafs merupakan perpaduan atau cakupan dari semuanya. Nafslah yang menjadi muara untuk
menampung hasil olah fu’ad, shadr dan
hawaa dan kemudian akan nampak dalam
perilaku nyata.
D.
Peran Positif Nafsu dalam Kehidupan Manusia
1.
Nafsu ialah Agen dan Aktor
Penggerak Terkuat pada Jiwa Manusia
Hawa nafsu mampu membentuk sulûk (prilaku) manusia.
Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan dengan
hawa nafsu. Hawa nafsu menjamin terpenuhinya beragam kebutuhan primer manusia.
Masalah reproduksi, misalnya. la merupakan bagian vital kehidupan manusia.
Tanpa proses tersebut spesies manusia akan punah. Untuk kebutuhan vital seperti
di atas, Allah menganugrahi manusia dengan hawa nafsu seksual yang merangsang
perkawinan dan reproduksi sebagai jaminan kelangsungan dan kelestarian jenis
manusia.[16]
Allah SWT menggantungkan pertumbuhan manusia pada
nafsu makan dan mimum. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat menumbuhkan
lagi sel-sel yang rusak oleh gerak dan kerja manusia.
Allah SWT juga telah membekali manusia dengan naluri
bermasyarakat yang melaluinya sistem kehidupan sosial dan madani manusia
muncul.
Posesifitas atau rasa memiliki dijadikan sebagai
motor kegiatan ekonomi. Tanpa insting atau naluri ingin memiliki ini akan
hancur seluruh sistem ekonomi manusia.
Amarah Allah jadikan sebagai sumber bagi aktivitas
mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) dan pertahanan terhadap
kehormatan, harta dan keluarga. Jika amarah tidak ada pada manusia, maka permusuhan
tidak akan ada dan nilai perdamaian pun akan sirna. Demikianlah, Allah SWT
menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia yang primer dengan hawa nafsu.[17]
2.
Hawa Nafsu Sebagai Tangga Menuju
Kesempurnaan
Hawa nafsu adalah
tangga menuju kesempumaan, seperti itu juga ia dapat menjadi peluncur menuju
kepada kekurangan.
Berbeda dengan
jenis perkembangan dan penyempurnaan pada benda padat, tetumbuhan dan binatang
yang bersifat deterministik atau terpaksa, gerak penyempurnaan integral manusia
menuju Allah berakar dari "irâdah".
Allah SWT
memuliakan manusia dengan irâdah. Setiap langkah yang digerakkannya,
berdasarkan irâdah dan ikhtiar. Meskipum kehendak Allah berlaku pada seluruh
makhluk, namun manusia adalah makhluk yang melaksanakan kehendak Tuhan
(hukum-hukum Tuhan) dengan irâdah dan ikhtiarnya sendiri.
Sebenarnya hudûd
merupakan irâdah dan kehendak Allah SWT yang dilakukan manusia melalui ikhtiar
dan irâdahnya, sebagaimana “hukum alam" juga merupakan keinginan dan
irâdah Allah yang dijalani makhluk lain secara terpaksa.
Dalam konteks
inilah istilah khalîfatullâh dalam
Alquran mesti dipahami. Sedangkan makhluk lain dalam istilah Akjuran disebut musakharât bi amrihi (mereka yang tunduk pada perintah-Nya).
Kata khalîfah dan
taskhîr (eksploitasi)) adalah dua kata yang mempunyai sisi persamaan dan sisi
perbedaan. Persamaannya, keduanya bermakna menjalankan perintah Ilahi.
Perbedaannya, khalîfah menjalankan berdasar ikhtiarnya sendiri, adapun yang
Musakharât bi amrihi melaksanakan perintah tanpa ikhtiar dan irâdah atau secara
deterministik dan terpaksa.
Disinilah letak
rahasia nilai keagungan manusia. Seandainya ketaatan manusia kepada Allah tidak
terjadi karena irâdah dan ikhtiar, niscaya dia tidak memiliki nilai yang lebih
tinggi dibanding makhluk lainnya. Dan karena itu pula Allah mengangkat manusia
sebagai khalifah Allah SWT.
Dengan demikian,
jelaslah apa nilai hawa nafsu dalam menggerakkan manusia menuju Allah. Semua
tagarrub mesti melewati hawa nafsu dan syahwat yang berada dalam jiwa.[18]
3.
Pergumulan Internal Jiwa
Manusia
Hawa nafsu ialah potensi
yang disimpan Allah pada diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya
(mengaktualisasikannya) bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan
berbagai energi dalam perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam
prasarana kehidupan lainnya. Begitu pula dengan "suplai" air dan
oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Berbagai potensi
yang diberikan Allah itu antara lain, pengetahuan. kebulatan tekad, keyakinan,
kesetiaan, keberanian, ketulusan, 'iffah (menjaga harga-diri), disiplin,
bashîrah (visi), kreativitas, kesabaran, penolakan, penghambaan ('ubûdiyyah)
serta penegasan. Kemampuan-kemampuan ini ada dalam hawa nafsu manusia secara
potensial.
Hawa-nafsu dan kemampuan
instingtif lainnya adalah tahap kebinatangan manusia. Namun, berbeda dari semua
binatang yang lain, Allah telah memberinya kemampuan untuk mengendalikan dan
menghambat serta membatasi naluri-naluri ini dengan irâdah. Dan dengan begitu,
kebinalan naluriah manusia dapat diubah menjadi keutamaan-keutamaan ruhani,
maknawi, dan akhlaki seperti bashîrah, yaqîn, azam, keberanian dan ketaqwaan.
Jika kita kembali
pada Alquran, maka pasti kita temukan adanya beberapa isyarat yang jelas
tentang adanya interaksi internal manusia.
3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãur ª!$# 3 ÇËÑËÈ
Allah SWT
berfirman:"... Dan bertagwalah
kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu..." (Q.S. Baqarah : 282)
Ilmu (dalam ayat
ini) adalah efek ketaqwaan kepada Allah SWT Ilmu seperti ini tidak diperoleh
dengan belajar. la adalah nur yang dipancarkan Allah kepada hamba-Nya yang
dikehendaki.
Dalam cerita Nabi
Yûsuf as yang terdapat dalam surah Yûsuf 22, Allah berfirman:
$£Js9ur x÷n=t/ ÿ¼çn£ä©r& çm»oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 y7Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇËËÈ
"Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan
ilmu. Dengan demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik."
Tak diragukan lagi
bahwa jiwa manusia mengalami berbagai kausasi dan interaksi internal.[19]
E.
Peran Negatif Nafsu dalam
Kehidupan Manusia
Hawa nafsu sebagai
daya yang mutlak dengan tuntutan yang mutlak memiliki kemampuan luar biasa
untuk merusak jiwa manusia. la tidak dapat diserupai, bahkan setan dan tagut
sekalipun.
Daya yang
berkapasitas besar untuk merusak ini, laten dan tersimpan dalam jiwa manusia.
Tiada jalan bagi manusia untuk bisa menghindar dari jangkauannya.
Oleh karena itu,
hawa nafsu merupakan satu dari dua hal yang sangat dikhawatirkan Rasulullah SAW
bila pada umatnya. Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh
yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah hawa nafsu dan panjang
angan-angan. Hawa nafsu akan membendung seorang dari Al-Haq (kebenaran), sedang
panjang angan-angan akan melalaikan seorang dari akhirat.”
Dalam nash-nash
keislaman, dapat ditemukan bahwa
tindakan destruktif hawa nafsu mempunyai dua tahap:
Pertama, merusak
fungsi sumber-sumber kesadaran dan gerak manusia. Kedua, menebarkan pengaruh
dan memaksakan kekuasaan eksekutif atas manusia.[20]
Dengan demikian, potensi
apapun yang dimiliki manusia, seperti kecerdasan, pemahaman dan kejelian diubah
menjadi aparat pemerintahan hawa nafsu.
Berikut ini adalah
beberapa hal yang menjadi peran negatif dalam mengikuti hawa nafsu:
1.
Nafsu Menutup Pintu-pintu Hati dari Petunjuk
|M÷uätsùr& Ç`tB xsªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4n?tã ¾ÏmÏèøÿx ¾ÏmÎ7ù=s%ur @yèy_ur 4n?tã ¾ÍnÎ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmÏöku .`ÏB Ï÷èt/ «!$# 4 xsùr& tbrã©.xs? ÇËÌÈ
Allah
Berfirman: "Maka pernahkah kamu
melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah
membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati
pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka
siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat).
Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?". (Q.S. Al-Jâtsiah 23.)
bÎ*sù óO©9 (#qç7ÉftFó¡o y7s9 öNn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& cqãèÎ7Ft öNèduä!#uq÷dr& 4 ô`tBur @|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$# çm1uqyd ÎötóÎ/ Wèd ÆÏiB «!$# 4 cÎ) ©!$# w Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÉÈ
Dalam ayat yang
lain Allah berfirman : "Maka jika mereka tidak menjawab
(tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa
nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang
mengikuti hawa nafsunya...”(Q.S. Al-Qashash 50.)
Mengikuti hawa
nafsu akan menyebabkan tertutupnya jendela-jendela hati untuk menerima
(kehadiran) Allah. Rasul-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya, hujjah-hujjah-Nya dan
bayyinah-bayyinah-Nya.[21]
2.
Nafsu
Menyesatkan Manusia dan Menghalanginya dari Jalan Allah
* y#n=smú .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ ì#ù=yz (#qãã$|Êr& no4qn=¢Á9$# (#qãèt7¨?$#ur ÏNºuqpk¤¶9$# ( t$öq|¡sù tböqs)ù=t $xî ÇÎÒÈ
Allah SWT
berfirman: "Maku datanglah sesudah
mcreka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dau memperturutkan
hama nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." Q.S. Maryam
59
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7Ïx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
Allah SWT juga
berfirman: "... dan janganlah kamu
meingikuti hawa nafsu, karena ia akon menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah akan mendapat azab yang
berat." Q.S. Shâd 26.
F.
Cara-cara Membebaskan Diri
dari Nafsu
Meski kekuasaan hawa nafsu sangat efektif, tapi akal
manusia mampu memanajemeni dan mengarahkannya dengan cara memperkuat posisi dan
perannya dalam jiwa manusia.
Jika suatu saat peranan akal melemah dan hawa nafsu
lolos dari genggamannya, maka ia mesti tetap menempati posisi yang memerintah
dan melarang, menghukum dan menolak. Sedangkan hawa nafsu hanya bisa membuat
kebingungan dan membangkitkan waswas dalam jiwa.
Imam Ali as berkata: "Jiwa adalah tempat
bisikan-bisikan hawa nafsu. Sedangkan akal berperan untuk menolak dan
meredamnnya."
Berikut ini
merupakan cara-cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari kesesatan nafsu:
1.
Harus
ada hasrat, sehingga ia merasa cemburu terhadap diri sendiri dan nafsunya
2.
Harus
memiliki seteguk kesabaran dalam menghadpi kepahitan yang dirasakan saat itu.
3.
Kekuatan
jiwa yang dapat mendorongnya untuk meminum seteguk kesabaran itu, sebab semua
bentuk keberanian merupakan bentuk kesabaran, sekalipun hanya sesaat. Dan
sebaik-baik hidup ialah jika seseorang mengetahui hidup itu dengan
kesabarannya.
4.
Mempertimbangkan
kelanjutan yang baik dan kesembuhan yang terjadi di kemudian hari.
5.
Mempertimbangkan
penderitaan yang semakin menjadi-jadi sebagai akibat dari mengikuti kenikmatan
hawa nafsu.
6.
Mementingkan
kedudukannya di sisi Allah dan di hati hamba-hamba-Nya. Ini jauh lebih baik dan
lebih bermanfaat dari pada mendapatkan kenikmatan karena menuruti hawa nafsu.
7.
Lebih
mementingkan kehormatan diri dan kelezatannya daripada kenikmatan kedurhakaan.
8.
Kebanggaan
dapat nenundukkan dan menaklukkan musuhnya.
9.
Harus
berfikir bahwa manusia diciptakan bukan untuk kepentingan nafsu, tetapi untuk
suatu urusan yang besar, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan menentang
nafsunya.
10.
Tidak
boleh memilih bagi dirinya bahwa hewan lebih baik keadaannya dari pada dirinya
sebagai manusia.
11.
Melibatkan
hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga ia bisa mengetahui berapa
banyak nafsu itu mendatangkan kehinaan.
12.
Orang
yanng berakal harus menggambarkan tujuan yang terealisir seperti yang
diingiunkan nafsunya. Kemudian dia harus menggambarkan keadaannya setelah
memenuhi kebutuhannya dan apa yang lepas darinya.
13.
Dia
harus mempertimbangkan hak orang lain dengan sebenar-benarnya, kemudian harus
menggambarkan jika kedudukannya juga seperti kedudukan orang lain. Sebab, hukum
sesuatu menurut hukum sepadannya.
14.
Harus
memikirkan apa yang dituntut jiwanya, lalu bertanya kepada akal dan agamanya,
yang nantinya akan menggambarkan bahwa apa yang dituntutnya itu tidak ada
artinya.
15.
Menghinakan
diri sendiri karena dia tunduk kepada nafsu. Sebab, tidaklah seorang menuruti
nafsunya melainkan pasti akan dapat kehinaan pada dirinya.
16.
Mempertimbangkan
keselamatan agama, kehormatan, harta dan kedudukan dengan kenikmatan yang
didapatkan. Antara keduanya tidak ada perimbangan sama sekali.
17.
Menggambarkan
kehinaan dirinya andai kata dia berada di bawah kekuasaan musuhnya. Jika syetan
melihat hasrat dan semangat seorang hamba melemah, lalu condong kepada nafsunya,
maka dia tertarik kepadanya dan membelenggunya dengan tali nafsu serta
menariknya kemanapun yang syetan kehendaki. Jika ia memiliki kekuatan, semangat
dan kemuliaan jiwa, maka syetan tidak akan tertarik kepadanya.
18.
Harus
mengetahui bahwa nafsu tidak mencampuri sesuatu melainkan merusaknya.
19.
Harus
mengetahui bahwa syetan tidak mempunyai jalan nafsu pada diri anak adam melainkan
melalui pintu nafsu. Syetan selalu berputar-putar mengelilinginya, dari arah
mana dia akan masuk ke dalam dirinya untuk merusak hati dan amal manusia[22]
20.
Allah
menjadikan nafsu sebagai penentang apa yang diturunkan oleh Rasul-Nya dan
menjadikan pengikut nafsu sebagai musuh para Rasul-Nya.
21.
Tidak
ada satu haripun yang berlalu melainkan nafsu dan akal saling bergelut pada
diri orang yang bersangkutan. Abu darda berkata, “jika pada diri seseorang
berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya mengikuti nafsunya, maka hari yang
dilaluinya adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti amalnya, maka hari
yang dilaluinya itu adlaah hari yang baik.[23]
Pada dasarnya manusia sendirilah yang memiliki
potensi untuk melawan nafsu pada dirinya yang bersifat negatif. Untuk itu,
memaksimalkan akal dan pendekatan diri kepada Allah SWT perlu dimaksimalkan
agar kita senantiasa berada dalam tuntunan yang Maha pemberi petunjuk.
G.
Implikasi Nafsu Terhadap
Pendidikan
Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian di
atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus
mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan
potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah,
diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi
pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang
bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang
merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala
isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan menangkap
pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan diarahkan
seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam menghalangi
berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.[24]
Seiring dengan itu pula pendidikan harus mengarahkan dan
mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat
merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat,
berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya.
Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian
mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi
orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba
dapat menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan
pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang
seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak
puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam
judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu
itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti
dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan
bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, maka ia akan
menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah
terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema
yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya dengan
jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena dengan
akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik
ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan bukan
dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan dihadapinya
dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan.[25]
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas
bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar
merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam
Islam.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Melalui
uraian-uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai konsep nafsu,
serta kaitannya dengan dunia pendidikan:
1.
Nafsu merupakan fitrah yang
Allah ciptakan dalam diri manusia demi menjaga kelangsungan hidupnya di dunia.
2.
Nafsu merupakan jiwa
manusia itu sendiri, yang tampak dalam perbuatan jasmaninya.
3.
Dengan nafsu, manusia
diberikan iradat agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah di muka
bumi.
4.
Nafsu tidak selamanya
bersifat negatif yang dalam pandangan sufisme, nafsu harus harus diperangi,
tidak boleh tidak. Sebab, menurut mereka nafsu merupakan dasar cakupan
sifat-sifat tercela.
5.
Sisi positifnya nafsu
memberikan kontribusi besar terhadap kelangsungan hidup manusia, dimana sumber
pemenuhan kebutuhan primer manusia, seperti makan tergerak melalui dorongan nafsu.
6.
Dalam pembentukkannya,
nafsu terangkum melalui potensi fu’ad,
shadr, dan hawaa.
7.
Implikasi
tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah bahwa
pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi
akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal
pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan
berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
pemahaman tentang yang baik dan benar. Nafsu memberikan
kontribusi sebagai pembentuk pribadi yang berjiwa akhlakul karimah. Dimana,
dengan nafsu manusia akan belajar membentuk kepribadian yang diharapakan
dapat menahan segala nafsu yang
mengarahkan pada sisi negatif. Ia mampu membedakan antara yang hak dan tang
bathil, dan tentu saja akal turut membantu dalam peranannya sebagai fungsi
rasio manusia untuk menalar segala sesuatu yang terjadi.
B.
Saran
dan Kritik
Dengan
berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik
dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat
diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah
selanjutnya. Baik dari dosen pembimbing maupun rekan-rekan mahasiswa.
.
DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah Jakarta: Gema Insani
Press; cet. III, 2003
Hawa, Sa’id, Jalan Ruhani Bandung: Mizan; cet. IX,
2001
Jauziyyah, Ibnu Qayyim al-, Taman
Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu (Jakarta; Darul Falah: 1424
H
Mahjuddin,
Pendidikan Hati Jakarta: Kalam Mulia;
cet. I, 2000Mahmud,
Ali Abdul Halim, Pendidikan Ruhani Jakarta: Gema Insani
Press; cet I, 2000
Mazhahiri, Husain, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani Jakarta:
PT. Lentera Basritama; cet. I, 2000
Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin
Umar, ‘Awarif al-Ma’arif Bandung:
Pustaka Hidayah; cet. I, 1998
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html
http://www.pesantrenvirtual.com
[1] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang
Memendam Rindu ( Jakarta; Darul Falah: 1424 H) h. 436
[2] Sa’id Hawa, Jalan Ruhani (Bandung: Mizan; cet. IX,
2001) h. 46
[3] Ali Abdul Halim Mahmud, Pendidikan Ruhani (Jakarta: Gema Insani
Press; cet I, 2000) h. 62
[4] Syaikh Syihabuddin Umar
Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif (Bandung:
Pustaka Hidayah; cet. I, 1998) h. 131
[5]
http://www.pesantrenvirtual.com
[6] Husain Mazhahiri, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani (
Jakarta: PT. Lentera Basritama; cet. I, 2000) h. 61
[7]
http://www.pesantrenvirtual.com
[8] Mahjuddin, Pendidikan Hati (Jakarta: Kalam Mulia;
cet. I, 2000) h. 9-12.
[9] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhaniah ( Jakarta: Gema Insani Press; cet. III, 2003)
h. 94
[10]Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 101
[11] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 94
[12] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h.106
[13] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 95
[14] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 95-96
[15] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 110
[16]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[17]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[18]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[19]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[20]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[21]
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[22] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang
Memendam Rindu, h. 438
[23] Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah, Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang
Memendam Rindu, h .442
[24]
http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html
[25]
http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html
EmoticonEmoticon