Senin, 06 Oktober 2014

Konsep Nafsu dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam siklus sebuah penciptaan, Alloh SWT telah meninggikan derajat mahluk yang bernama manusia. Beragam ilmu dan pengetahuan telah Dia benamkan dalam akal manusia. Akal, inilah perantara Tuhan untuk membenamkan ilmu dan pengetahuan, yang nantinya akan dipergunakan sebagai alat bertahan hidup dimuka bumi, yang memang manusia dipersiapkan untuk menjadi khalifahnya, pemimpinnya. Dengan akal, dan ilmu pengetahuan yang terbenam didalamnya manusia mampu melakukan improvisasi dalam rangka menjalankan perannya sebagai pemimpin dimuka bumi. Terlebih, ada banyak kejadian dialam semesta, atau ayat-ayat Kauniyah, yang Alloh berikan sehingga manusia dapat belajar dengan akalnya.

Dan Allah Yang Maha Kuasa pun menganugerahkan manusia sifat yang bernama nafsu, yang dengannya terciptalah hasrat dan semangat untuk membuat hidup ini menjadi dinamis. Sebut saja nafsu makan, nafsu untuk mendapatkan kekayaan, dan kesejahteraan, dan berbagai macam nafsu lainnya. Sebagian orang membahasakan nafsu dengan istilah semangat, hasrat, atau apapun yang mencerminkan pengejawantahan ekspresi dari nafsu itu.

Penggunaan istilah hawa nafsu dalam kebudayaan Islami mangacu pada gabungan beberapa naluri yang bersemayam dalam jiwa, sedangkan manusia sebagai penyandangnya selalu dituntut agar memenuhi hasratnya. Berbagai naluri syahwati itu membentuk bagian terpenting dan berperan luar biasa dalam kepribadian manusia. la adalah faktor utama dalam menggerakkan dan mengatur diri manusia. Bahkan sebagai kunci yang paling efektif untuk mengatur aksi dan reaksinya.

Manusia mempunyai kelebihan di antara semua makhluk. Kelebihan itu ialah bahwa manusia mempunyai dua dimensi. Pertama, dimensi materi, yang di dalam filsafat disebut juga dengan dimensi hewani, sehingga manusia tidak jauh berbeda dengan hewan. Dimensi kedua disebut dimensi spiritual yang dinamakan dengan dimensi ruhani. Oleh karena itu manusia terdiri atas roh dan jasad yang dilengkapi dengan potensi-potensi qalbu yang terdiri atas fu’ad, shadr,  dan hawaa  yang kemudian terangkum dalam penampakan nafs. Dengan nafsulah manusia dapat berkeinginan melakukan sesuatu.

Seluruh potensi qalbu yang telah Allah anugerahkan harus disinari dengan cahaya ilahi (ruh kebenaran), sehingga ia akan tetap berada dalam jalan kebenaran. Inilah tugas manusia yang paling berat, mengingat peranan syetan yang dengan gigih berusaha untuk memadamkan cahaya Illahi dan menggantinya dengan nyala api, dan terus menggoda manusia dalam segala hal dengan segala cara diantaranya melalui nafsu.

Nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu  yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan  yang ada di dalam diri manusia, sebagai urgensi kelangsungan hidupnya. Mustahil jika manusia tidak memiliki nafsu, sebab jika manusia tidak memiliki kecenderungan untuk makan, minum dan menikah, maka ia tidak akan mau makan, minum dan menikah.

Nafsu mendorong manusia kepada sesuatu yang dikehendakinya, sebagaimana kebencian yang bisa membelanya dari sesuatu yang mengganggunya.  Jadi nafsu tidak bisa dicela secara mutlak sebagaimana kebencian yang tidak bisa dicela dan dipuji secara mutlak pula. Yang layak dicela ialah yang berlebih-lebihan dalam dua sikap ini, yaitu yang melebihi sikap mendatangkan manfaat dan menolak mudharat. Maka nafsu dapat bersifat ke arah positif maupun mendorong ke arah negatif.


B.       Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang di angkat di atas, maka dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.        Apa yang dimaksud dengan an-Nafs (nafsu) ?
2.        Apa saja jenis-jenis nafsu yang ada ?
3.        Potensi-potensi qalbu apa saja yang membentuk nafsu?
4.        Apa saja peran positif nafsu dalam kehidupan manusia?
5.        Apa saja peran negatif nafsu dalam kehidupan manusia?
6.        Bagaimana cara memerangi nafsu yang mengarah pada sisi negatif?
7.        Bagaimana implikasi nafsu dalam pendidikan?




















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian Nafsu
Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, nafsu adalah kecenderungan tabiat kepada sesuatu yang dirasa cocok. Kecenderungan ini merupakan satu bentuk ciptaan yang ada dalam diri manusia, sebagai uegensi kelangsungan hidupnya. Nafsu mendorong manusia kepada sesuatu yang dikehendakinya. [1]
Sementara itu, para ahli tasawwuf mengungkapkan bahwa, makna pertama nafsu  merupakan cakupan makna dari kekuatan amarah dan syahwat (nafsu birahi) dalam diri manusia. Nafsu merupakan dasar cakupan sifat-sifat tercela. Makna kedua, bahwa nafsu adalah perasaan halus (lathifah). Ia adalah hakikat manusia. Ia adalah Jiwa manusia dan hakikatnya.[2]
Imam al-Ghazali  mengungkapkan bahwa an-nafs  dapat dimaksud sebagai makna yang merangkum kekuatan marah dan syahwat dalam diri manusia.[3]
Syaikh Syihabuddi Umar Suhrawardi mengungkapkan bahwa Nafs memiliki dua makna, yaitu:
1.        Nafs-i-syay’ (nafs dari sesuatu) yang berupa esensi (dzat) dan hakikat sesuatu. Dengan demikian, dinyatakan bahwa dengan nafsnya sendiri sesuatu bisa berdiri.
2.        Nafs-i-nathiqa-i-insani (nafsu rasional manusia) yang merupakan abstrak dari berbagai anugerah dalam tubuh, yang disebut fitrah manusia dan suatu kecemerlangan yang dianugerahkan kepadanya dari kemuliaan jiwa manusia yang dengan kecemerlangannya tubuh menjadi tempat menjadi tempat pengungkapan kedekatan dan kesalihan.[4]
Dari berbagai makna an-nafs di atas, dapat dipahami bahwa an-nafs (nafsu) pada dasarnya merupakan salah satu fitrah yang diciptakan Allah dalam diri manusia yang bersifat halus yang dapat dijadikan sumber dorongan dan kelangsungan hidup manusia. Namun, sewaktu-waktu nafs juga dapat berubah dari dorongan yang baik yang bersifat positif menjadi dorongan yang mengarah pada sifat-sifat tercela (negatif).
                          
B.       Jenis-Jenis Nafsu
Bagian rohani ini, banyak memberikan instruksi kepada anggota jasmani untuk berbuat atau bertindak, dengan demikian dapat diketahui bsahwa ada delapan macam nafsu yang masing-masing berbeda  perintahnya, yaitu:
1.        Nafsu al-‘ammarah, yaitu jiwa yang tidak mampu membedakan hal-hal yang baik dengan hal-hal yang buruk. Ia selalu mendorong kepada hal-hal yang buruk, dan selalu menganggap bahwa nasehat itu merupakan penghalang belaka, yang tidak perlu ditanggapinya.
Ini nafsu pendorong kejahatan. Ini adalah tingkat nafs paling rendah yang melahirkan sifat-sifat seperti takabbur, kerakusan, kecemburuan, nafsu syahwat, ghibah, bakhil dsb. Nafsu ini harus diperangi.[5]
Nafsu amarah merupakan dimensi hewani yang ada pada diri seorang manusia yang juga dinamakan dengan gharizah dan kecenderungan.[6]
2.        Nafsu al-Lawwamah, yaitu jiwa yang telah mempunyai rassa insaf  dan menyesal sesudah melakukan perbuatan buruk. Ia tidak berani malakukan yang keji secara terang-terangan, karena sudah menyadari bahwa perbuatan  itu tidak baik, tetapi belum bisa mengekang keinginan nafsunya.
Ini adalah jiwa yang memiliki tingkat kesadaran awal melawan nafs yang pertama. Dengan adanya bisikan dari hatinya, jiwa menyadari kelemahannya dan kembali kepada kemurniannya. Jika ini berhasil maka ia akan dapat meningkatkan diri kepada tingkat diatasnya.[7]
3.        Nafsu al-Musawwalah, yaitu jiwa yang telah dapat membedakan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk, tetapi ia masih selalu mencampur adukkan  perbuatan baik dengan perbuatan buruk. Ia masih sering melakukan perbuatan buruk dengan cara sembunyi-sembunyi karena malu terhadap orang lain bukan malu terhadap Tuhan.
4.        Nafsu al-Muthma’innah, yaitu jiwa yang telah mendapat tuntunan yang baik, sehingga dapat melakukan sikap dan perilaku yang benar, dapat menghindarkan diri dari kejahatan, serta selalu melahirkan ketenangan lahir dan bathin.
Jiwa ini telah mantap imannya dan tidak mendorong perilaku buruk. Jiwa yang tenang yang telah menomor duakan nikmat materi.
5.        Nafsu al-Mulhamah, yaitu jiwa yang telah memperoleh ilham dari Allah SWT dan sudah dikaruniai pengetahuan yang dihiasi dengan akhlak mulia, sehingga ia selalu bersyukur, bersabar bertrawakkal, bersikap ikhlas dan sebagainya.
Ini adalah tingkat jiwa yang memiliki tindakan dan kehendak yang tinggi. Jiwa ini lebih selektif dalam menyerap prinsip-prinsip. Ketika jiwa ini merasa terpuruk kedalam kenistiaan, segera akan terilhami untuk mensucikan amal dan niatnya.

6.        Nafsu al-Radiyah, yaitu jiwa yang selalu rela dan merasa bahagia menerima apa saja dari Allah SWT, sehingga ia selalu merasa syukur dan qana’ah.
Pada tingkatan ini jiwa telah ikhlas menerima keadaan dirinya. Rasa hajatnya kepada Allah begitu besar. Jiwa inilah yang diibaratkan dalam doa: Ilahi anta maqsudi wa ridhaka matlubi (Tuhanku engkau tujuanku dan ridhaMu adalah kebutuhanku).
7.        Nafsu al-Mardiyah, yaitu jiwa yang selalu mendapatkan ridha Allah, sehingga ia mudah melakukan dzikir, serta memiliki kemuliaan dan karamah.
Tidak ada lagi keluhan, kemarahan, kekesalan. Perilakunya tenang, dorongan perut dan syhawatnya tidak lagi bergejolak dominan.
8.        Nafsu al-Kamilah, yaitu jiwa yang telah sempurna  dan sanggup memberi petunjuk yang sebaik-baiknya kepada orang lain, sehingga ia sudah bisa disebut musyid dan mukammil.[8]
Jiwanya pasrah pada Allah dan mendapat petunjukNya. Jiwanya sejalan dengan kehendakNya. Perilakunya keluar dari nuraninya yang paling dalam dan tenang.

C.      Potensi-potensi Qalbu Pembentuk an-Nafs (Nafsu)
Dalam  penciptaannya, qalbu diberi tiga potensi yang nantinya akan menjadi pengeerak terhadap pembentukan nafsu yang nampak dalam gerak dan perbuatan manusia. Ketiga potensi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1.        Fu’ad
Fu’ad merupakan potensi qalbu yang berkaitan dengan indrawi, mengolah informasi yang sering dilambangkan berada dalam otak manusia (fungsi rasio, kognitif). Fuad mempunyai tanggung jawab intelektual yang jujur kepada apa yang dilihatnya. Potensi ini cenderung dan selalu merujuk kepada objektivitas, kejujuran dan jauh pada sifat kebohongan.
Potensi fu’ad adalah potensi yang mampu menerima informasi dan menganalisisnya sedemikian rupa sehingga ia mampu mengambil pelajaran dari informasi yang diterimanya.[9]
Fu’ad memberikan ruang untuk akal, berfikir, bertafakur, memilih dan mengolah seluruh data yang masuk dalam qalbu manusia. Sehingga lahirlah ilmu pengetahuan yang bermuatan moral. Fu’ad menangkap fenomena alam luar dan alam ini sehingga dapat melihat berbagai tanda yang kemudian menjadi ilmu untuk mewujudkannya dalam bentuk amal.
Dan akal, zikir, pikir, pendengaran dan penglihatan berperan untuk mengawal fu’ad sehingga membantu fu’ad untuk menangkap fenomena yang bersifat lahir, wujud dan nyata dengan mendayagunakan fungsi indera penglihatan.
Pendengaran merupakan lambang dari potensi qalbu yang bertugas untuk merenungkan dan kemudian menghayati seluruh ayat, tanda, informasi dan seluruh kejadian alam.
Akal berkaitan dengan keadaan untuk menangkap seluruh gejala alam yang tampak nyata. Sedangkan pikiran menangkap hakikat dari penampakan benda yang dilihat oleh akal dan pebglihatan.
Sementara itu, dzikir dalam kaitan sebagai potensi fu’ad, sejajar dengan pikir. Zikir berfungsi sebagai fondasi yang membentangkan lapangan untuk tegaknya pikir, sehingga potensi pikir tidak terperangkap atau di dominasi oleh keinginan yang menjerumuskan.
2.        Shadr
Shadr merupakan potensi qalbu yang berperan untuk merasakan dan menghayati atau dengan kata lain, shadr mempunyai fungsi emosi seperti merasa marah, benci, cinta, keindahan dan sebagainya. Shadr mempunyai potensi besar untuk menyimpan hasrat, kemauan, niat kebenaran dan keberanian yang sama besarnya dengan kemampuannya untuk menerima kebenaran ilmu pengetahuan.[10]
Shadr letaknya berada dalam dada manusia yang dalam al-Qur’an disebut dengan shadr. Dalam dada tersebutlah tempat berkecamuknya pertempuran antara yang hak dan yang bathil, rasa cemas dan rasa takut. Dalam dada ini pula tersimpan motivasi, niat, keinginan dan komitmen. Segala keinginan manusia berada dalam aktivitas shadr.
Bebeda dengan fu’ad yang berorientasi ke depan, potensi shadr memandang pada masa lalu, kesejarahan melalui rasa, pengalaman dan masa lalu sehingga shadr mampu merasakan kegagalan dan keberhasilan sebagai cermin. Dengan kompetensinya untuk melihat dunia masa lalu, manusia mempunyai kemampuan untuk menimbang, membandingkan dan menghasilkan kearifan.
Secara simbolis, potensi shadr berada dalam dada manusia dan secara biologis berkaitan dengan arus aliran darah da denyut jantung. Hal ini dibuktikan dengan perasaan ketika kita sedang dimarahi, maka secara otomatis debaran jantung dan aliran darah kita yang terasa lebih cepat.
3.        Hawaa
Potensi qalbu yang ketiga merupakan potensi yang paling berbahaya. Potensi ini disebut dengan hawaa. Hawaa merupakan potensi yang menggerakkan kemauan. Di dalamnya ada ambisi, kekuasaan, pengaruh dan keinginan untuk mendunia. Potensi hawaa selalu cenderung untuk membumi dan merasakaan nikmat dunia yang bersifat fana. [11]
Karena kedudukan hawaa yang lebih membumi dan mendunia, penuh dengan aksesoris, kenikmatan kebendaan dan seksual maka hawaa disimbolkan berada dalam cakupan perut dan kelamin manusia yang dapat dibuktikan dengan rasa lapar, haus kenyang dan gairah seksual. Potensi hawaa selalu berorientasi kepada kesenangan sesaat, bendawi dan segala sifat yang bersifat duniawi.
Potensi hawaa dalam al-Qur’an tersirat lewat ayat berikut:
öqs9ur $oYø¤Ï© çm»uZ÷èsùts9 $pkÍ5 ÿ¼çm¨ZÅ3»s9ur t$s#÷zr& n<Î) ÇÚöF{$# yìt7¨?$#ur çm1uqyd 4 ¼ã&é#sVyJsù È@sVyJx. É=ù=x6ø9$# bÎ) ö@ÏJøtrB Ïmøn=tã ô]ygù=tƒ ÷rr& çmò2çŽøIs? ]ygù=tƒ 4 y7Ï9º©Œ ã@sVtB ÏQöqs)ø9$# šúïÏ%©!$# (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ 4 ÄÈÝÁø%$$sù }È|Ás)ø9$# öNßg¯=yès9 tbr㍩3xÿtFtƒ ÇÊÐÏÈ  

Kalau Kami menghendaki,sesungguhnya Kami tinggikan (derajatnya dengan ayat-ayat itu. Tetapi ia cenderung kepada dunia, dan menurutkan hawa nafsunya. Maka perumpamaaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya. Jika kamu membiarkannya, diulurkan lidahnya juga..... ( al-‘raaf:176).
Hawaa adalah potensi qalbu yang menggerakkan motif rendah, seperti kenikmatan, libido seks, pujian, sanjungan dan kekuasaan. Tetapi apabila ia terkena bujukan setan, hawaa akan menjadi nyala api yang membakar dan menghitamkan seluruh cerobong qalbu. Meskipun demikian, hawaa selalu terbuka dan membumi, didalamnya terkandung dorongan, kekuatan dan ambisi yang menolong manusia untuk mewujudkan keinginan fu’ad dan shadr.[12]
Apabila fu’ad berorientasai ke depan dan shadr ke masa lalu, maka potensi hawaa mempunyai kemampuan berorientasi kepada masa kini dan realitas yang ada sekarang. Oleh karena itu, manusia tanpa potensi hawaa yang proporsional akan menjadi lumpuh, sepi, tidak bergairah dan kehilangan motivasi serta hidup dalam keadaan serba monoton tanpa dinamika. Untuk itulah, segala sesuatunya terletak pada bagaimana kemampuan kita untuk mengendalikan, mengarahkan dan menjadikannya sebagai suatu energi yang bergelora untuk menjadikannya energi positif untuk mendukung keinginan positif dari sisi fu’ad dan shadr sehingga tidak terjerumus pada pengaruh duniawi yang negatif dan bersifat fana.
Ketiga potensi qalbu di atas, berada dalam bilik-bilik qalbu yang bertugas dan berfungsi sesuai dengan perannya masing-masing. Dalam berhubungan dengan dunia luar atau menerima rangsangan, ketiga potensi tersebut akan memberikan respons dalam bentuk perilaku atau tindakan. Disinilah akan terjadi pertentangan batin sehingga jiwa akan berkecamuk sesuai dengan kadarnya masing-masing.
Pertentangan atau konflik tersebut tidak akan pernah berhenti mengingat setiap potensi mempunyai ciri dan hamparannya sendiri dalam mengolah respon yang diarahkan ke dunia luar.[13]
Pada hakikatnya ketiga potensi tersebut akan bekerja sama dan saling mengisi. Hanya saja dalam bentuknya yang nyata, tindakan dan perbuatannya sangat bergantung kepada potensi manakah yang paling dominan. Sehingga kelak akan tampak struktur kepribadian manusia yang bersifat sebagai berikut:
a.         Satu dimensi, yaitu penempakkan perilaku atau respons kepada dunia luar yang hanya dikuasai atau didominasi oleh satu potensi, sehiingga potensi lainnya kehilangan kekuatan, meredup atau kalah.
b.        Dua dimensi, yaitu persenyawaan dua potensi dan mengalahkan satu poensi lainnya. Sehingga dalam struktur kepribadiannya akan terdapat persenyawaan dua dimensi yang terdiri dari fusha ( fu’ad dan shadr), fuha (fu’ad dan hawa) dan shaha (shadr dan hawa).
c.         Tiga dimensi, yaitu persenyawaan seluruh dimensi secara proporsional, dimana seluruh potensi memberikan kontribusi yang sama dan seimbang dalam memberikan respons kepada dunia luar. Dalam kenyataannya, kepribadian manusia akan mendayagunakan ketiga potensinya. Hanya saja ketiga domensi tersebut saling menggeser tetapi tidak akan saling menghilangkan sama sekali.[14]
Keseluruhan interaksi dari ketiga potensi tersebut kemudian akan dirangkum dalam penampakkan nafs dalam kaitannya dengan dunia luar. Nafs adalah totalitas kepribadian manusia. Sehingga nafs sering diartikan sebagai jiwa, watak manusia, atau AKU sebagai persona. Nafs merupakan keseluruhan atau totalitas dari diri manusia.[15]
Apabila fu’ad disimbolkan berada dalam kepala, shadr berada dalam dada dan detak jantung, serta hawaa dalam rongga perut dan kelamin, maka nafs merupakan perpaduan atau cakupan dari semuanya. Nafslah yang menjadi muara untuk menampung hasil olah fu’ad, shadr dan hawaa dan kemudian akan nampak dalam perilaku nyata.

D.      Peran Positif Nafsu dalam Kehidupan Manusia
1.        Nafsu ialah Agen dan Aktor Penggerak Terkuat pada Jiwa Manusia
Hawa nafsu mampu membentuk sulûk (prilaku) manusia. Oleh sebab itu, Allah SWT mengkaitkan banyak masalah penting kehidupan dengan hawa nafsu. Hawa nafsu menjamin terpenuhinya beragam kebutuhan primer manusia. Masalah reproduksi, misalnya. la merupakan bagian vital kehidupan manusia. Tanpa proses tersebut spesies manusia akan punah. Untuk kebutuhan vital seperti di atas, Allah menganugrahi manusia dengan hawa nafsu seksual yang merangsang perkawinan dan reproduksi sebagai jaminan kelangsungan dan kelestarian jenis manusia.[16]
Allah SWT menggantungkan pertumbuhan manusia pada nafsu makan dan mimum. Tanpa keduanya, manusia tidak akan dapat menumbuhkan lagi sel-sel yang rusak oleh gerak dan kerja manusia.
Allah SWT juga telah membekali manusia dengan naluri bermasyarakat yang melaluinya sistem kehidupan sosial dan madani manusia muncul.
Posesifitas atau rasa memiliki dijadikan sebagai motor kegiatan ekonomi. Tanpa insting atau naluri ingin memiliki ini akan hancur seluruh sistem ekonomi manusia.
Amarah Allah jadikan sebagai sumber bagi aktivitas mekanisme pertahanan diri (self defense mechanism) dan pertahanan terhadap kehormatan, harta dan keluarga. Jika amarah tidak ada pada manusia, maka permusuhan tidak akan ada dan nilai perdamaian pun akan sirna. Demikianlah, Allah SWT menjamin kebutuhan-kebutuhan hidup umat manusia yang primer dengan hawa nafsu.[17]
2.         Hawa Nafsu Sebagai Tangga Menuju Kesempurnaan
Hawa nafsu adalah tangga menuju kesempumaan, seperti itu juga ia dapat menjadi peluncur menuju kepada kekurangan.
Berbeda dengan jenis perkembangan dan penyempurnaan pada benda padat, tetumbuhan dan binatang yang bersifat deterministik atau terpaksa, gerak penyempurnaan integral manusia menuju Allah berakar dari "irâdah".
Allah SWT memuliakan manusia dengan irâdah. Setiap langkah yang digerakkannya, berdasarkan irâdah dan ikhtiar. Meskipum kehendak Allah berlaku pada seluruh makhluk, namun manusia adalah makhluk yang melaksanakan kehendak Tuhan (hukum-hukum Tuhan) dengan irâdah dan ikhtiarnya sendiri.
Sebenarnya hudûd merupakan irâdah dan kehendak Allah SWT yang dilakukan manusia melalui ikhtiar dan irâdahnya, sebagaimana “hukum alam" juga merupakan keinginan dan irâdah Allah yang dijalani makhluk lain secara terpaksa.
Dalam konteks inilah istilah khalîfatullâh dalam Alquran mesti dipahami. Sedangkan makhluk lain dalam istilah Akjuran disebut musakharât bi amrihi (mereka yang tunduk pada perintah-Nya).
Kata khalîfah dan taskhîr (eksploitasi)) adalah dua kata yang mempunyai sisi persamaan dan sisi perbedaan. Persamaannya, keduanya bermakna menjalankan perintah Ilahi. Perbedaannya, khalîfah menjalankan berdasar ikhtiarnya sendiri, adapun yang Musakharât bi amrihi melaksanakan perintah tanpa ikhtiar dan irâdah atau secara deterministik dan terpaksa.
Disinilah letak rahasia nilai keagungan manusia. Seandainya ketaatan manusia kepada Allah tidak terjadi karena irâdah dan ikhtiar, niscaya dia tidak memiliki nilai yang lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Dan karena itu pula Allah mengangkat manusia sebagai khalifah Allah SWT.
Dengan demikian, jelaslah apa nilai hawa nafsu dalam menggerakkan manusia menuju Allah. Semua tagarrub mesti melewati hawa nafsu dan syahwat yang berada dalam jiwa.[18]
3.        Pergumulan Internal Jiwa Manusia
Hawa nafsu ialah potensi yang disimpan Allah pada diri setiap manusia. Manusia akan mengeluarkannya (mengaktualisasikannya) bila dibutuhkan. Seperti juga Allah telah meletakkan berbagai energi dalam perut bumi untuk bahan makanan, pakaian dan beragam prasarana kehidupan lainnya. Begitu pula dengan "suplai" air dan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia.
Berbagai potensi yang diberikan Allah itu antara lain, pengetahuan. kebulatan tekad, keyakinan, kesetiaan, keberanian, ketulusan, 'iffah (menjaga harga-diri), disiplin, bashîrah (visi), kreativitas, kesabaran, penolakan, penghambaan ('ubûdiyyah) serta penegasan. Kemampuan-kemampuan ini ada dalam hawa nafsu manusia secara potensial.
Hawa-nafsu dan kemampuan instingtif lainnya adalah tahap kebinatangan manusia. Namun, berbeda dari semua binatang yang lain, Allah telah memberinya kemampuan untuk mengendalikan dan menghambat serta membatasi naluri-naluri ini dengan irâdah. Dan dengan begitu, kebinalan naluriah manusia dapat diubah menjadi keutamaan-keutamaan ruhani, maknawi, dan akhlaki seperti bashîrah, yaqîn, azam, keberanian dan ketaqwaan.
Jika kita kembali pada Alquran, maka pasti kita temukan adanya beberapa isyarat yang jelas tentang adanya interaksi internal manusia.
3 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ãNà6ßJÏk=yèãƒur ª!$# 3 ÇËÑËÈ  
Allah SWT berfirman:"... Dan bertagwalah kepada Allah, maka Allah akan mengajarimu..." (Q.S. Baqarah : 282)
Ilmu (dalam ayat ini) adalah efek ketaqwaan kepada Allah SWT Ilmu seperti ini tidak diperoleh dengan belajar. la adalah nur yang dipancarkan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Dalam cerita Nabi Yûsuf as yang terdapat dalam surah Yûsuf 22, Allah berfirman:
$£Js9ur x÷n=t/ ÿ¼çn£ä©r& çm»oY÷s?#uä $VJõ3ãm $VJù=Ïãur 4 y7Ï9ºxx.ur ÌøgwU tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇËËÈ  
 "Dan tatkala dia cukup dewasa, Kami berikan kepadanya hikmah dan ilmu. Dengan demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang yang berbuat baik."
Tak diragukan lagi bahwa jiwa manusia mengalami berbagai kausasi dan interaksi internal.[19]
E.       Peran Negatif Nafsu dalam Kehidupan Manusia
Hawa nafsu sebagai daya yang mutlak dengan tuntutan yang mutlak memiliki kemampuan luar biasa untuk merusak jiwa manusia. la tidak dapat diserupai, bahkan setan dan tagut sekalipun.
Daya yang berkapasitas besar untuk merusak ini, laten dan tersimpan dalam jiwa manusia. Tiada jalan bagi manusia untuk bisa menghindar dari jangkauannya.
Oleh karena itu, hawa nafsu merupakan satu dari dua hal yang sangat dikhawatirkan Rasulullah SAW bila pada umatnya. Rasulullah SAW bersabda: "Sungguh yang paling aku khawatirkan atas umatku adalah hawa nafsu dan panjang angan-angan. Hawa nafsu akan membendung seorang dari Al-Haq (kebenaran), sedang panjang angan-angan akan melalaikan seorang dari akhirat.”
Dalam nash-nash keislaman,  dapat ditemukan bahwa tindakan destruktif hawa nafsu mempunyai dua tahap:
Pertama, merusak fungsi sumber-sumber kesadaran dan gerak manusia. Kedua, menebarkan pengaruh dan memaksakan kekuasaan eksekutif atas manusia.[20]
Dengan demikian, potensi apapun yang dimiliki manusia, seperti kecerdasan, pemahaman dan kejelian diubah menjadi aparat pemerintahan hawa nafsu.
Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi peran negatif dalam mengikuti hawa nafsu:

1.         Nafsu Menutup Pintu-pintu Hati dari Petunjuk
|M÷ƒuätsùr& Ç`tB xsƒªB$# ¼çmyg»s9Î) çm1uqyd ã&©#|Êr&ur ª!$# 4n?tã 5Où=Ïæ tLsêyzur 4n?tã ¾ÏmÏèøÿxœ ¾ÏmÎ7ù=s%ur Ÿ@yèy_ur 4n?tã ¾ÍnÎŽ|Çt/ Zouq»t±Ïî `yJsù ÏmƒÏöku .`ÏB Ï÷èt/ «!$# 4 Ÿxsùr& tbr㍩.xs? ÇËÌÈ  

Allah Berfirman: "Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?". (Q.S. Al-Jâtsiah 23.)
bÎ*sù óO©9 (#qç7ŠÉftFó¡o y7s9 öNn=÷æ$$sù $yJ¯Rr& šcqãèÎ7­Ftƒ öNèduä!#uq÷dr& 4 ô`tBur @|Êr& Ç`£JÏB yìt7©?$# çm1uqyd ÎŽötóÎ/ Wèd šÆÏiB «!$# 4 žcÎ) ©!$# Ÿw Ïöku tPöqs)ø9$# tûüÏJÎ=»©à9$# ÇÎÉÈ  
Dalam ayat yang lain  Allah berfirman : "Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya...”(Q.S. Al-Qashash 50.)
Mengikuti hawa nafsu akan menyebabkan tertutupnya jendela-jendela hati untuk menerima (kehadiran) Allah. Rasul-Nya, tanda-tanda kebesaran-Nya, hujjah-hujjah-Nya dan bayyinah-bayyinah-Nya.[21]
2.        Nafsu Menyesatkan Manusia dan Menghalanginya dari Jalan Allah
* y#n=sƒmú .`ÏB öNÏdÏ÷èt/ ì#ù=yz (#qãã$|Êr& no4qn=¢Á9$# (#qãèt7¨?$#ur ÏNºuqpk¤9$# ( t$öq|¡sù tböqs)ù=tƒ $xî ÇÎÒÈ  
Allah SWT berfirman: "Maku datanglah sesudah mcreka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dau memperturutkan hama nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan." Q.S. Maryam 59
ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ  
Allah SWT juga berfirman: "... dan janganlah kamu meingikuti hawa nafsu, karena ia akon menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat di jalan Allah akan mendapat azab yang berat." Q.S. Shâd 26.


F.       Cara-cara Membebaskan Diri dari Nafsu
Meski kekuasaan hawa nafsu sangat efektif, tapi akal manusia mampu memanajemeni dan mengarahkannya dengan cara memperkuat posisi dan perannya dalam jiwa manusia.
Jika suatu saat peranan akal melemah dan hawa nafsu lolos dari genggamannya, maka ia mesti tetap menempati posisi yang memerintah dan melarang, menghukum dan menolak. Sedangkan hawa nafsu hanya bisa membuat kebingungan dan membangkitkan waswas dalam jiwa.
Imam Ali as berkata: "Jiwa adalah tempat bisikan-bisikan hawa nafsu. Sedangkan akal berperan untuk menolak dan meredamnnya."
Berikut ini merupakan cara-cara yang dapat dilakukan agar terhindar dari kesesatan nafsu:

1.        Harus ada hasrat, sehingga ia merasa cemburu terhadap diri sendiri dan nafsunya
2.        Harus memiliki seteguk kesabaran dalam menghadpi kepahitan yang dirasakan saat itu.
3.        Kekuatan jiwa yang dapat mendorongnya untuk meminum seteguk kesabaran itu, sebab semua bentuk keberanian merupakan bentuk kesabaran, sekalipun hanya sesaat. Dan sebaik-baik hidup ialah jika seseorang mengetahui hidup itu dengan kesabarannya.
4.        Mempertimbangkan kelanjutan yang baik dan kesembuhan yang terjadi di kemudian hari.
5.        Mempertimbangkan penderitaan yang semakin menjadi-jadi sebagai akibat dari mengikuti kenikmatan hawa nafsu.
6.        Mementingkan kedudukannya di sisi Allah dan di hati hamba-hamba-Nya. Ini jauh lebih baik dan lebih bermanfaat dari pada mendapatkan kenikmatan karena menuruti hawa nafsu.
7.        Lebih mementingkan kehormatan diri dan kelezatannya daripada kenikmatan kedurhakaan.
8.        Kebanggaan dapat nenundukkan dan menaklukkan musuhnya.
9.        Harus berfikir bahwa manusia diciptakan bukan untuk kepentingan nafsu, tetapi untuk suatu urusan yang besar, yang tidak bisa dicapai kecuali dengan menentang nafsunya.
10.    Tidak boleh memilih bagi dirinya bahwa hewan lebih baik keadaannya dari pada dirinya sebagai manusia.
11.    Melibatkan hati dalam mempertimbangkan akibat nafsu, sehingga ia bisa mengetahui berapa banyak nafsu itu mendatangkan kehinaan.
12.    Orang yanng berakal harus menggambarkan tujuan yang terealisir seperti yang diingiunkan nafsunya. Kemudian dia harus menggambarkan keadaannya setelah memenuhi kebutuhannya dan apa yang lepas darinya.
13.    Dia harus mempertimbangkan hak orang lain dengan sebenar-benarnya, kemudian harus menggambarkan jika kedudukannya juga seperti kedudukan orang lain. Sebab, hukum sesuatu menurut hukum sepadannya.
14.    Harus memikirkan apa yang dituntut jiwanya, lalu bertanya kepada akal dan agamanya, yang nantinya akan menggambarkan bahwa apa yang dituntutnya itu tidak ada artinya.
15.    Menghinakan diri sendiri karena dia tunduk kepada nafsu. Sebab, tidaklah seorang menuruti nafsunya melainkan pasti akan dapat kehinaan pada dirinya.
16.    Mempertimbangkan keselamatan agama, kehormatan, harta dan kedudukan dengan kenikmatan yang didapatkan. Antara keduanya tidak ada perimbangan sama sekali.
17.    Menggambarkan kehinaan dirinya andai kata dia berada di bawah kekuasaan musuhnya. Jika syetan melihat hasrat dan semangat seorang hamba melemah, lalu condong kepada nafsunya, maka dia tertarik kepadanya dan membelenggunya dengan tali nafsu serta menariknya kemanapun yang syetan kehendaki. Jika ia memiliki kekuatan, semangat dan kemuliaan jiwa, maka syetan tidak akan tertarik kepadanya.
18.    Harus mengetahui bahwa nafsu tidak mencampuri sesuatu melainkan merusaknya.
19.    Harus mengetahui bahwa syetan tidak mempunyai jalan nafsu pada diri anak adam melainkan melalui pintu nafsu. Syetan selalu berputar-putar mengelilinginya, dari arah mana dia akan masuk ke dalam dirinya untuk merusak hati dan amal manusia[22]
20.    Allah menjadikan nafsu sebagai penentang apa yang diturunkan oleh Rasul-Nya dan menjadikan pengikut nafsu sebagai musuh para Rasul-Nya.
21.    Tidak ada satu haripun yang berlalu melainkan nafsu dan akal saling bergelut pada diri orang yang bersangkutan. Abu darda berkata, “jika pada diri seseorang berkumpul nafsu dan amal, lalu amalnya mengikuti nafsunya, maka hari yang dilaluinya adalah hari yang buruk. Jika nafsunya mengikuti amalnya, maka hari yang dilaluinya itu adlaah hari yang baik.[23]
Pada dasarnya manusia sendirilah yang memiliki potensi untuk melawan nafsu pada dirinya yang bersifat negatif. Untuk itu, memaksimalkan akal dan pendekatan diri kepada Allah SWT perlu dimaksimalkan agar kita senantiasa berada dalam tuntunan yang Maha pemberi petunjuk.

G.      Implikasi Nafsu Terhadap Pendidikan

Implikasi kependidikan dari pemahaman terhadap uraian di atas adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Berbagai materi pendidikan yang terdapat dalam kurikulum harus memuat mata pelajaran yang bertujuan membina akal tersebut. Demikian pula metode dan pendekatan yang merangsang akal pikiran harus dipergunakan. Fenomena alam raya dengan segala isinya dapat digunakan untuk melatih akal agar mampu merenung dan menangkap pesan ajaran yang terdapat di dalamnya. Dengan akal yang dibina dan diarahkan seperti itu, maka ia diharapkan dapat terampil dan kokoh dalam menghalangi berbagai pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh hawa nafsu.[24]
Seiring dengan itu pula pendidikan harus mengarahkan dan mengingatkan manusia agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merangsang dorongan hawa nafsu, seperti berpakaian mini yang membuka aurat, berjudi, minum-minuman keras, narkoba, pergaulan bebas dan sebagainya. Pendidikan Islam harus menekankan larangan terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat mengundang nafsu syahwat tersebut. Diketahui bahwa dengan berpakaian mini, membuka aurat atau ketat akan mengundang dorongan birahi seksual bagi orang yang melihatnya sehingga terjadilah pemerkosaan. Demikian pula narkoba dapat menyebabkan manusia lupa diri, lepas kontrol dan dengan mudah melakukan pelanggaran tanpa rasa malu. Selanjutnya pergaulan bebas akan membuat peluang seseorang melakukan perzinahan. Demikian pula berjudi menyebabkan orang tidak puas, ingin terus menang jika ia menang, dan terus berjuang jika ia kalah dalam judinya sampai ia sengsara.
Materi pendidikan yang dapat meredam gejolak hawa nafsu itu adalah pendidikan akhlak dan budi pekerti yang mulia, yaitu budi pekerti dan akhlak yang sifatnya bukan hanya pengetahuan, tetapi penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Orang yang telah terbina akalnya dan telah terkendalikan bawa nafsunya dengan pendidikan sebagaimana tersebut di atas, maka ia akan menjadi orang yang tangguh mentalnya, tahan uji dalam hidup, tidak mudah terjerumus dan siap menghadapi ujian hidup. Berbagai kesulitan dan problema yang diterima oleh orang yang telah kuat jiwanya ini akan dihadapinya dengan jiwa yang tenang. Ia tidak lekas cepat kehilangan keseimbangan, karena dengan akal pikirannya ia menemukan berbagai rahasia dan hikmah yang terdapat di balik ujian dan kesulitan yang dihadapinya. Baginya kesulitan dan tantangan bukan dianggap sebagai beban yang membuat dirinya lari darinya, melainkan dihadapinya dengan tenang, dan mengubahnya menjadi peluang, rahmat dan kemenangan.[25]
Berdasarkan uraian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa kajian terhadap akal dan hawa nafsu secara utuh, komprehensif dan benar merupakan masukan yang amat penting bagi perumusan konsep pendidikan dalam Islam.



BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Melalui uraian-uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan mengenai konsep nafsu, serta kaitannya dengan dunia pendidikan:
1.        Nafsu merupakan fitrah yang Allah ciptakan dalam diri manusia demi menjaga kelangsungan hidupnya di dunia.
2.        Nafsu merupakan jiwa manusia itu sendiri, yang tampak dalam perbuatan jasmaninya.
3.        Dengan nafsu, manusia diberikan iradat agar dapat menjalankan tugasnya sebagai khalifatullah di muka bumi.
4.        Nafsu tidak selamanya bersifat negatif yang dalam pandangan sufisme, nafsu harus harus diperangi, tidak boleh tidak. Sebab, menurut mereka nafsu merupakan dasar cakupan sifat-sifat tercela.
5.        Sisi positifnya nafsu memberikan kontribusi besar terhadap kelangsungan hidup manusia, dimana sumber pemenuhan kebutuhan primer manusia, seperti makan tergerak melalui dorongan nafsu.
6.        Dalam pembentukkannya, nafsu terangkum melalui potensi fu’ad, shadr, dan hawaa.
7.        Implikasi tentang posisi akal dan nafsu terhadap bidang pendidikan adalah bahwa pendidikan yang baik adalah pendidikan yang harus mempertimbangkan potensi akal. Pendidikan harus membina, mengarahkan dan mengembangkan potensi akal pikirannya sehingga ia terampil dalam memecahkan berbagai masalah, diisi dengan berbagai konsep-konsep dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki pemahaman tentang yang baik dan benar. Nafsu memberikan kontribusi sebagai pembentuk pribadi yang berjiwa akhlakul karimah. Dimana, dengan nafsu manusia akan belajar membentuk kepribadian yang diharapakan dapat  menahan segala nafsu yang mengarahkan pada sisi negatif. Ia mampu membedakan antara yang hak dan tang bathil, dan tentu saja akal turut membantu dalam peranannya sebagai fungsi rasio manusia untuk menalar segala sesuatu yang terjadi.

B.       Saran dan Kritik
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya. Baik dari dosen pembimbing maupun rekan-rekan mahasiswa.



.














DAFTAR PUSTAKA
Asmara, Toto, Kecerdasan Ruhaniah Jakarta: Gema Insani Press; cet. III, 2003
Hawa, Sa’id, Jalan Ruhani Bandung: Mizan; cet. IX, 2001
Jauziyyah, Ibnu Qayyim al-,  Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu (Jakarta; Darul Falah: 1424 H
Mahjuddin, Pendidikan Hati Jakarta: Kalam Mulia; cet. I, 2000Mahmud, Ali Abdul Halim,  Pendidikan Ruhani Jakarta: Gema Insani Press; cet I, 2000
Mazhahiri, Husain, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani Jakarta: PT. Lentera Basritama; cet. I, 2000
Suhrawardi, Syaikh Syihabuddin Umar, ‘Awarif al-Ma’arif Bandung: Pustaka Hidayah; cet. I, 1998
http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html
http://www.pesantrenvirtual.com







[1] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,  Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu ( Jakarta; Darul Falah: 1424 H) h. 436
[2] Sa’id Hawa, Jalan Ruhani (Bandung: Mizan; cet. IX, 2001) h. 46
[3] Ali Abdul Halim Mahmud,  Pendidikan Ruhani (Jakarta: Gema Insani Press; cet I, 2000) h. 62
[4] Syaikh Syihabuddin Umar Suhrawardi, ‘Awarif al-Ma’arif (Bandung: Pustaka Hidayah; cet. I, 1998) h. 131

[5] http://www.pesantrenvirtual.com

[6] Husain Mazhahiri, Meruntuhkan Hawa Nafsu Membangun Rohani ( Jakarta: PT. Lentera Basritama; cet. I, 2000) h. 61
[7] http://www.pesantrenvirtual.com

[8] Mahjuddin, Pendidikan Hati (Jakarta: Kalam Mulia; cet. I, 2000) h. 9-12.
[9]  Toto Asmara, Kecerdasan Ruhaniah ( Jakarta: Gema Insani Press; cet. III, 2003) h. 94
[10]Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani,  h. 101
[11]  Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 94
[12] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h.106
[13] Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 95
[14]  Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 95-96
[15]  Toto Asmara, Kecerdasan Ruhani, h. 110
[16] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[17] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm

[18] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[19] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[20] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[21] http://www.al-shia.org/html/id/books/hawa-nafs/01.htm
[22] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,  Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu, h. 438
[23] Ibnu Qayyim al-Jauziyyah,  Taman Orang-Orang Jatuh Cinta dan Yang Memendam Rindu, h .442
[24] http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html

[25] http://titiansabiluna.blogspot.com/2011/10/posisi-akal-dan-nafsu-dalam-islam.html


EmoticonEmoticon