Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Modern

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bila mendengar kata pendidikan maka sebagian besar perhatian dan pikiran kita akan tertuju pada gedung sekolah/madrasah dengan segala aktivitas dan perangkat yang ada di dalamnya. Padahal sebenarnya pendidikan lebih luas dari apa yang ada dalam perhatian dan pikiran sebagian besar orang umumnya. Sejalan dengan itu Mudyahardjo mendefinisikan pengertian  pendidikan ialah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan dapat diartikan sebagai pengajaranyang diselenggarakan di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Dengan kalimat yang sederhana tapi memiliki arti yang luas dan  sangat mendalam Kohnstamm mengemukakan bahwa pendidikan adalah pembentukan hati nurani.
Sedangkan menurut Armai Arif, pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di permukaan bumi berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah (terciptanya insan kamil).
Pendidikan adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa, dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi yaitu manusia yang berbudaya, definisi ini dikemukakan oleh Syafrudin Nurdin.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan berintikan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam upaya membantu peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi
pendidikan dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat. Dengan kata lain bahwa pendidikan dalam praktiknya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah), dan non formal  (masyarakat). Sehingga sebenarnya keberhasilan pendidikan nasional sangat bergantung terhadap ketiganya.
Dari ketiga jenis pendidikan tersebut di atas, pendidikan formallah yang  mendapat sorotan paling tajam. Hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan wawasan masyarakat tentang hakikat pendidikan, dan perangkat pendidikan formal secara umum memang relatif lebih memadai dibandingkan dengan pendidikan informal dan non formal.
Dalam perjalanannya, sejak jaman klasik hingga modern, baik pendidikan formal, informal, maupun non formal banyak mendapatkan permasalahan sehingga belum sepenuhnya ketiga jalur pendidikan tersebut dalam mencapai seluruh tujuan yang telah ditetapkan, terutama pendidikan formal. Oleh karena itu dalam makalah ini akan disodorkan masalah-masalah dalam pendidikan modern.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Modern?
2.      Apa problem dari pendidikan modern?
3.      Bagaimana impikasi pendidikan Modern dalam sejarah peradaban pendidikan Islam?








BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Berasal dari kata Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang tersimpan, untuk dituntut agar tumbuh dan berkembang.
Dan dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “tarbiyah”, berasal dari kata “raba-yarbu” yang berarti mengembang, tumbuh.
“Seperti satu benih yang menumbuhkan tunas dan lembaganya, makin mengeras dan kokoh batangnya hingga mengagumkan bagi banyak petani”.
Berikut ini merupakan defenisi pendidikan dari beberapa ahli:
Ø  Jhon Dewey
Proses pembentukan kecakapan funfamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Dengan kata lain sebagai usaha pengembangan potensi individu setiap peserta didik.[1]
Ø  Ivan lilich
Pendidika adalah pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Ø  Driyarkara
Pendidikan adalah hidup bersama dalam satuan tri tunggal ayah ibu dan anak, dimana dia berproses untuk akhirnya bisa melaksanakan sendiri.

B. Makna pendidikan Modern
Makna pendidikan merupakan sebuah mediasi bagi tercapainya transformasi nilai dan ilmu yang berfungsi untuk membentuk suatu peradaban manusia yang lebih baru meskipun pada pada sisi lain pendidikan juga merupakan salah satu wahana untuk mempertahankan tradisi. Sehingga ketika seorang mantan presiden Amerika Serikat mengatakan jika “Our National Problem Come From EDUCATION” karena pada kenyataanya Pendidikan itu akan senantiasa bersinggungan dengan upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia tanpa terkecuali.[2] Karena dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi tersebut, pendidikan diharapkan dapat mengantarkan manusia pada suatu pencapaian tingkat kebudayaan yang yang menjunjung hakikat kemanusiaan manusia.
Sementara pendidikan yang berwawasan kemanusiaan memberikan pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subyek pendidikan, bukan sebagai obyek yang memilah-milah potensi (fitrah) manusia. Artinya, pendidikan adalah suatu upaya memperkenalkan manusia akan eksistensi dirinya, baik sebagai diri pribadi yang hidup bersama hamba Tuhan yang terikat oleh hukum normatif (syariat) dan sekaligus sebagai khalifah di bumi.
Konsep pendidikan yang mengenyampingkan dasar-dasar tersebut, adalah pendidikan yang akan mencetak manusia-manusia tanpa kesadaran etik, yang pada akhirnya melahirkan cara pandang dan cara hidup yang tidak lagi konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu adanya konseptualisasi ilmu dalam pendekatan filsafati yang merupakan kerangka dasar dalam upaya memperjelas dan meluruskan cara pandang manusia, baik mengenai dirinya, alam lingkungan, maupun terhadap campur tangan Allah SWT.
Tidak akan ada oyang yang membantah jika agama Islam itu sebagai agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba (As-Syams :8 ; QS. Adz Dzariyat:56). Oleh karena itu, pendidikan berarti suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa, berfikir dan berkarya, untuk kemaslahatan diri dan lingkungannya.
Islam adalah panduan hidup manusia di dunia dan akhirat yang bukan sekedar agama seperti dipahami selama ini, tetapi meliputi seluruh aspek dam kebutuhan hidup manusia. Ilmu dalam Islam meliputi semua aspek ini yang bisa disusun secara hirarkis dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia hingga makhluk gaib dan puncak kegaiban. Susunan ilmu tentang banyak aspek ini bisa dikaji dari pemikiran Islam. Mengingat seluruh tradisi keagamaan dalam sejarah umat manusia mulai dari nabi Adam diklaim sebagai Islam dan seluruh alam natural dan humanitas sebagai ayat-ayat Tuhan, maka seluruh ilmu tentang hal ada, merupaka ilmu tentang ayat-ayat Tuhan dan Islam itu sendiri.
Sepanjang sejarah otentik Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bersumber dari dua bentuk wahyu, yakni ayat-ayat Alqur’an dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah). Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi dan ekspperimental secara sistematis, lalu keduanya disatukan di dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi tentang wahyu Tuhan yang telah diturunkan sejak masa Nabi Adam. Diperkirakan masa Yunani yang memproduksi tradisi filsafat awal berlangsung sezaman dengan turunnya Zabur kepada Nabi Daud dan Taurot kepada Nabi Musa (A. Munir Mulkhan, 2002).[3] Dalam kesajarahan, Islam pernah membuktikan diri sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengungguli kejayaan Eropa pada masa lalu. Islam telah mewariskan tokoh ilmuwan besar seperti Al Jabir, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Kindi dan lainnya. Oleh karenanya, keharusan kembali melihat khazanah dan etos keilmuan di masa lalu itu menjadi salah satu penekanan, mengingat khazanah pengetahuan Islam masa lalu yang kaya dengan semangat inklusivismenya dan juga kekayaan nuansa spiritual. Sayangnya, hal itu kurang mendapat apresiasi berimbang dalam dunia ilmiah akademik dewasa ini. Tekanan imperialisme epistemologi dari pengetauan Barat Modern yang kini telah mewabah, dirasakan cukup kuat menjebak dan menggiring kehidupan intelektual dan akademik, secara perlahan tapi pasti dapat melalaikan apa yang yang telah menjadi kekayaan intlektual umat Islam masa lalu. Ada banyak sebab mengapa Islam belum mampu membangun kerangka paradigma yang lain untuk mengenyahkan imperialisme paradigma pengetauan Barat Modern, diantaranya, apresiasi terhadap khazanah intelektual Islam lama, masih berkutat dan berputar-putar pada produk jadi (Amin Abdullah, 1995) ketimbang pada etos keilmuan terutama metodologi yang dikembangkan oleh para pemikir muslim masa lalu.[4] Selain itu, membangun paradigma pengetahuan Islam yang terpadu akan mengalami kesulitan manakala masih terdapat sikap dikotomis di kalangan umat yang memisahkan ilmu-ilmu agama (wilayah naqliyah) dengan ilmu-ilmu umum (wilayah ‘aqliyah).
Untuk itu diperlukan konseptualisasi ilmu dalam pendidikan, yang menawarkan adanya ilmu naqliyah yang melandasi semua ilmu aqliyah, sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan antara akal dan wahyu, ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama dalam proses pendidikan. Sehingga, melalui upaya tersebut dapat merealisasikan proses memanusiakan manusia sebagai tujuan pendidikan, yaitu mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada Allah SWT dan menjalankan misi kekhalifahan di muka bumi, sebagai makhluk yang berupaya mengiplementasikan nilai-nilai ilahiyah dengan memakmurkan kehidupan dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera.
Sementara Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980) yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku masyarakat (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Salah satu ciri utama kehidupan di masa sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Djamaluddin Ancok, 1998: 5). Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri postindustrial society seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi information society sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar.[5] Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar 1988, menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat.[6] Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.

ü  Paradigma Pendidikan Modern
Berpijak dari paradigma pendidikan tradisional tersebut, maka sudah waktunya dilaksanakan reformasi pendidikan kearah yang lebih kondusifuntuk terciptanya kualitas peserta didik yang berkualitas. Paradigmapendidikan holistik memandang pendidikan sebagai sarana untukmengembangkan potensi manusia secara utuh. Manusia di pandangsebagai kesatuan yang bulat, yakni kesatuan jasmani-ruhani, kesatuanmelangsungkan, mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Proses pendidikan yang seperti itu dapat ditemukan pada paradigmapembelajaran modern. Paradigma pembelajaran modern mempunyai ciricirisebagai berikut:
ü  Menanggapi peserta didik sebagai subyek bukan obyek.
ü  Menggunakan pendekatan dan metode pembelajaran yang bervariatifdan eksploratif, sehingga Peserta didik lebih aktif Iklim belajar menyenangkan Fungsi pendidik bergeser dari sebagai pemberi informasi menujusebagai fasilitator. Materi yang dipelajariterkaitdengan lingkungankehidupan pesertadidik, sehingga dapat di manfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan. Peserta didik terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber Menggeser teaching menjadi learning.


C. Problematika Pendidikan Modern
Problematika pendidikan modern yang diidentifikasikan dari berbagai sumber dapat  kemukakan sebagai berikut:
  1. Kemerosotan akhlak, dunia modern saat ini, termasuk di Indonesia ditandai oleh gejala yang benar-benar berada pada taraf yang mengkhawatirkan. karena sudah menimpa golongan dewasa hingga pelajar/remaja tunas bangsa, ini terjadi karena empat faktor. Selain itu Haidar juga  mensinyalir masalah ini terjadi karena kurangnya pemberdayaan pendidikan budi pekerti, juga disebabkan empat faktor. Sedangkan Suwendi menyebut masalah ini dengan istilah krisis nilai karena berkaitan dengan sikap menilai suatu perbuatan, tentang baik buruk, etis dan tidak etis, benar dan salah, dan hal lain yan menyangkut etika individual dan sosial. Tujuh masalah pokok sistem pendidikan nasional yang prtama adalah menurunnya akhlak dan moral peserta didik. Kemudian diperparah lagi dengan dihapusnya mata pelajaran budi pekerti sejak kurikulum 1984 sehingga aspek-aspek yang berkaitan dengan budi pekerti menjadi kurang disentih bahkan ada kecenderungan tidak ada sama sekali. Lebih dari itu juga terjadi pergeseran dari pendidikan keluaraga ke pendidikan sekolah, artinya pendidikan sekolah merupakan tumpuhan utama masyarakat.[7]
  2. Pembelajaran model Fragmented dan dikotomi, misalnya, pada mata pelajaran agama, keterkaitan antar submata pelajaran agama belum tampak. Misalnya submata pelajaran aqidah, akhlak, al-Qur’an, dan al Hadits masing-masing diajarkan secara terpisah. Di samping itu juga terjadi dikotomi antara mata pelajaran agama dan umum, hal ini terjadi karena sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini pendidikan kita cenderung beorientasi ke Barat yang berpandangan hidup sekuler-materialistik di mana proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan Tuhan.
  3. Cognitive oriented, pendidikan di semua jenjang, sampai saat ini, masih mementingkan aspek kognitif, hal ini senada dengan konsep barat tentang spiritualisme yang intinya adalah daya dari intelektual. Sehingga pendidikan agamapun tidak ditujukan pada hati nurani, tetapi lebih cenderung pada ketajaman akal.[8]
  4. Media massa kurang memprioritaskan pendidikan, kekhawatiran masyarakat terhadap siaran televisi yang karena tidak memihak pada pemirsa sudah sangat memprihatinkan. Siaran televisi turut memberikan kontribusi terhadap maraknya kenakalan remaja. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian bahwa tayangan film televisi lebih banyak menunjukkan adegan-adegan anti sosial bila dibandingkan dengan adegan-adegan prososial.
  5. Kesejahteraan guru masih minim, adalah sebuah fakta yang sulit dipungkiri dan memprihatinkan, seorang yang menggeluti profesi guru lebih dari 39 tahun ternyata gaji pokoknya lebih rendah dari calon pegawai BUMN yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Tilaar menyatakan bahwa kunci utama peningkatan kualitas pendidikan ialah mutu para gurunya. Dalam hal ini diperluka penghargaan yang wajar terhadap profesi guru sebagaimana di negara-negara industri maju.
  6. Kualitas, Relevansi/Efisiensi Eksternal, Elitisme, dan manajemen, kualitas pendidikan kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara sekitar, hal ini terlihat dari besarnya dana pembangunan dalam bidang pendidikan. Relevansi juga mengkhawatirkan karena besarnya pengangguran lulusan pendidikan menengah dan tinggi, bahkan ada tendensi semakin tinggi pendidikan semakin besar kemungkinan untuk menganggur. Elitisme artinya adanya kecenderungan penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok masyarakat kecil atau yang justru mampu.Sedangkan masalah pada manajemen meliputi masalah perencanaan, pendanaan, dan efisiensi sistem.

ü  FAKTA YANG ADA DI LAPANGAN.
Berikut ini akan disajikan fakta-fakta yang ada dilapangan yang merupakan perwujudan permasalahan yang dikemukakan di atas.
  1. Kemerosotan Moral, hal yang sangat mudah kita temui pada pendidikan formal adalah kecurangan yang dilakukan oleh para siswa pada saat ulangan atau ujian adalah pemandangan sehari-hari, bahkan ada yang berdalih membantu orangtua. Para guru juga tidak mau ketinggalan, pada saat pelaksanaan ujian nasional mereka berusaha berbuat curang dengan dalih membantu siswa. Bila hal ini dibiarkan maka akan menjadi budaya dan pada akhirnya merupakan benih bagi tumbuh suburnya kecurangan-kecurangan yang lebih besar, misalnya penyalahgunaan uang sekolah, keluyuran pada jam-jam belajar, tawuran antar pelajar, hingga kasus miras dan narkoba, hingga peringkat atas negara terkorup, ini menunjukkan betapa kemerosotan moral sudah menjadi budaya di negeri ini.[9]
  2. Pembelajaran model Fragmented dan dikotomi, telah tampak di depan kita, sangat jarang pembelajaran yang dilakukan pendidik dengan integrated approach. Artinya masing-masing guru sub bidang studi agama maupun antara guru agama, guru sains, guru bahasa, guru ilmu sosial, guru penjas, dan guru seni sibuk dengan materi mereka sendiri, tanpa mau merumuskan bersama pembelajaran yang terpadu yang bermuara pada pengembangan dan penyelamatan potensi siswa.
  3. Cognitive oriented, sudah dimaklumi bahwa keberhasilan siswa dalam mengikuti ulangan atau menempuh ujian yang menjadi ukuran utama adalah skor perolehan dalam mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian. Bahkan hingga saat ini kelulusan siswa SD hingga sekolah menengah ditentukan oleh perolehan skor pada ujian nasional yang ditetapkan BSNP. Kalaupun ada sekolah yang menggunakan standar sikap hampir dipastikan hanya pelengkap dan sangat jarang dipakai.
  4. Media massa kurang memperhatikan pendidikan, sulit dipungkiri bahwa media massa, terutama televisi dengan segala tanyangannya sangat jauh bahkan terkesan masa bodoh dengan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari waktu tayang dan materi yang ditayangkan. Tayangan kekerasan, mistis, perusakan dan pelecehan ajaran Islam sangat banyak ditemui mulai dari film kartun hingga sinetron.
  5. Kesejahteraan guru masih minim,  julukan guru sebagai pasukan berani utang, pangkat jendral bayaran kopral, dan Umar Bakri tidak asing lagi, bahkan isu terakhir guru yang lulus sertifikasi sakan dibayar dengan standar “Yen”. Hal ini menunjukkan betapa kesejahteraan guru masih minim, entah sampai kapan akan terjadi perubahan.[10]
  6. Kualitas, Relevansi/Efisiensi Eksternal, Elitisme, dan manajemen, faktanya terlihat pada peringkat SDM kita berada di bawah negara-negara tetangga, banyaknya lulusan yang tak siap pakai dan tak mampu menembus UMPTN, subsidi pendidikan untuk pendidikan dasar lebuh kecil dari pada pendidikan tinggi yang nota bene mahasiswanya sebagian besar berasal dari golongan menengah ke atas.

ü  SOLUSI YANG DITAWARKAN.
Solusi yang ditawarkan berikut ini diuraikan secara berurutan sesuai dengan  permasalahan yang dipaparkan sebelumnya.
  1. Masalah kemerosotan moral, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini adalah melalaui pemberdayaan pendidikan budi pekerti, serta  keteladanan.
  2. Masalah pembelajaran model fragmented dan dikotomi, solusi yang dapat ditawarkan adalah mengintegrasikan antar submata pelajaran agama, dan antara mata pelajaran agama dengan mata pelajaran umum selain agama. Sehingga menghasilkan pembelajaran yang diwarnai oleh nilai-nilai keagamaan.
  3. Masalah cognitive oriented, solusi yang ditawarkan adalah penilaian yang itegratif. Artinya siswa dinyatakan tuntas atau berhasil bila memenuhi kriteria kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini harus disadari dan dilakukan bukan sekedar jargon atau lips service.
  4. Masalah media massa, yang satu ini memerlukan political will dari pemerintah, perhatian serius dari orang tua, dan dukungan yang kuat dari semua lapisan masyarakat agar media massa benar-benar menyadari dan tidak terlalu profit oriented tetapi juga harus sangat memperhatikan faktor-faktor edukatif.[11]
  5. Masalah minimnya kesejahteraan guru, hendaknya disadari oleh pemerintah, orang tua murid, dan masyarakat. Karena Ada ungkapan “No welfare without development, no development without education, and no education without teacher”, hal ini sulit untuk dipungkiri relevansinya dalam kehidupan suatu bangsa, sekaligus menunjukkan bahwa guru adalah ujung tombak kesejahteraan suatu bangsa.
6. Masalah Kualitas, Relevansi/Efisiensi Eksternal, Elitisme, dan manajemen dapat diatasi bila pemerintah, dunia pendidikan, dan dunia usaha duduk semeja untuk merumuskan link and match yang sinergis.
D. Kedudukan Teori Pendidikan Modern dalam Islam
Teori pengasuhan dan  pendidikan modern berkembang sangat pesat di negara-negara  barat.   Seperti pengetahuan esakta dan teknik,  ilmu pendidkan dan psikologi berkembang dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.[12]
Berbeda dengan Sains dan teknologi yang bersifat eksak dan pasti, ilmu pendidikan hasil temuan manusia bersifat relatif karena pendidikan manusia itu tergantung kepada sistemnya. Produk karakter manusia seperti apa yang akan dihasilkan tergantung kepada sistem dan lingkungan yang membentuknya. Jadi ilmu pendidikan dan psikologi yang dihasilkan tentu akan tergantung bagaimana sistem dan nilai-nilai yang dianut oleh sistem tersebut. Dengan kata lain kita tidak bisa mengadopsi begitu saja teori pendidikan dan psikologi dari barat.
Tujuan pendidikan di dalam islam adalah mendidik anak menjadi manusia yang sempurna baik intelektual, emosional dan spiritual agar hidup bahagia  di dunia dan akhirat. Teori yang dijamin benar didalam pendidikan dan psikologi adalah alqur’an dan Hadist, sehingga sebagai umat Islam kita harus merujuk pendidikan dan psikologi ini kepada dua sumber tersebut.  Teori dari Qur’an dan Hadist berisi teori dan metode yang bersifat umum, sehingga dalam tingkat teknis dan operasionalnya harus dikembangkan oleh manusia itu sendiri.
Teori pendidikan dan psikologi modern merupakan hasil usaha  manusia yang bersifat ilmiah berdasarkan temuan,eksperimen serta  pengalaman empiris yang didasari nilai-nilai manusia yang dianut pada suatu saat dan suatu tempat.   Tentu saja sifatnya tidak absolut karena sistem yang membentuknya bersifat relatif sehingga bisa saja teori ini berubah dalam perjalanannya. Apa yang baik dan benar pada suatu waktu dan suatu tempat belum tentu benar di waktu dan tempat yang lain. Tapi bukan berarti kita tidak boleh sama sekali menengok teori atau metoda pendidikan dan pembelajaran yang berkembang pesat dalam psikologi Modern, oleh karena Mengabaikan sama sekali temuan-temuan ilmiah membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengoptimalkan tugas kita sebagai orang tua.[13] Tidak sedikit  temuan-temuan ilmiah lebih memudahkan kita menjalankan dalil-dalil wahyu (Quran dan Hadist). Kadang dalil wahyu  memberi  panduan yang bersifat prinsip dan umum sehingga pengetahuan kita tentang psikologi modern dapat memudahkan kita menerapkan nya pada tingkat teknis dan operasional..
Pada sat ini di mana arus informasi tidak dapat dibendung dan nyaris merambah tanpa batas maka kita tidak bisa sepenuhnya terisolasi dari  pengaruh perkembangan teknologi dan informasi. Sehingga ada hal-hal yang bersifat global yang harus kita amati aspek pengaruh perkembangan nya  dalam dunia pendidikan.
Tapi apakah semua teori dan temuan ilmiah harus kita ikuti ? atau menunggu sampai teori modern itu terbukti kesalahannya sekian tahun mendatang? Yang kita perlukan adalah menguji apakah teori itu sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, jadi penakarnya adalah dua sumber tersebut  karena Quran dan Hadist pasti benar dan telah teruji dalam rentang sejarah yang panjang.
Contohnya Teori bahwa setiap remaja akan mengalami krisis indentitas, mencari jati diri, apakah benar demikian? ternyata kalau kita pelajari sejarah islam yaitu pada jaman generasi Islam awal dan sesudahnya, anak-anak remaja islam pada waktu itu telah tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan memiliki Ilmu dan tingkat kematangan yang tinggi menurut ukuran kita sekarang. Remaja waktu itu sudah memiliki tanggung jawab yang tinggi pada diri, keluarga dan masyarakatnya, tidak terjadi krisis identitas pada mereka. Berbeda sekali dengan pemaparan teori krisis identitas pada remaja yang yang dipaparkan oleh para psikolog. Hal ini dapat dijelaskan karena sistem dan nilai-nilai yang dianut oleh islam dan barat berbeda.

E. Pendidikan Modern di Indonesia dalam Pembentukan Karakter Masyarakat yang Adiluhung

Pendidikan sebagai kegiatan pembelajaran memiliki keragaman sesuai dengan ragam komunitas manusia. Untuk itu pendidikan hanya ditemukan unsur universalnya. Keragaman pendidikan tersebut disebabkan perbedaan memberikan arti atau makna daripada pendidikan itu sendiri sebagai gejala sosial. Pendidikan merupakan sebuah investasi mahal yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik yang dapat memberikan lebih kepada negara dibandingkan meminta kepada negara. Sebelum meninjau lebih jauh tentang perdedaan corak di setiap negara alangkah baiknya kita tinjau landasan atau dasar pijakan pendidikan di beberapa negara yang menjadi batu pijakan kuat bagi perkembangan pendidikan di negaranya masing-masing.[14]
Pendidikan pada awal peradaban terletak pada bagaimana mempertahankan kehidupan dan mengelola alam bagi kehidupannya. Seiring berkembangnya peradaban dengan ditandai berkembangnya kelas sosial dan kasta berkembang pula hubungan dan organisasi sosial ekonomi kemasyarakatannya. Hubungan kemasyarakatan semakin kompleks dan berkembang dan timbul kelas dan kasta dalam masyarakat. Kelas dan kasta memainkan peranan penting dalam hubungan social dalam masyarakatnya. Ada tiga kelompok besar kasta dan kelas dalam masyarakat: 1) pendeta atau tokoh agama yang berfungsi menyiapkan ritual keagamaan yang membentengi Negara dari musuh baik musuh yang kelihatan maupun tidak kelihatan, 2) tentara yang berfungsi mempertahankan Negara dari musuh yang kelihatan dan menegakkan hukum dan peraturan, 3) orang biasa yang berfungsi bekerja menghasilkan baju, makanan, rumah, dan mencari kebutuhan hidup lainnya.
Peradaban kuno yang sering disebut peradaban ras oriental ini yang akan diambil adalah peradaban dari bangsa Turanian (Cina dan Mongolia), dan Hemitik (khususnya Mesir).[15] Konsepsi oriental bagi pendidikan adalah mempersiapkan generasi muda mempersiapkan fisik dan mental untuk dapat mempertahankan dan memperoleh kebutuhan hidupnya. Pendidikan di Cina dilatarbelakangi oleh agama Konghucu. Tujuan pendidikan di Cina berpahamkan pada pengajaran konfusius. Pengajaran Konfusius menekankan pada hidup mulia. Pengikut Konfusius dalam mendidik dan mengajar menekankan pada lima hubungan mendasar, yaitu antara: 1) penguasa dan rakyat, 2) orang tua dan anak, 3) suami dan isteri, 4) saudara, 5) teman. Pendidikan di Cina yang disarankan oleh Konfusius adalah di rumah tangga dan keluarga. Pendidikan di Cina ditekankan pada tipe pelatihan dan pendidikan moral yakni pengajaran yang khusus melatih pada adat istiadat, tugas, dan adab kesopanan. Isi pengajaran di Cina berpahamkan pada Konfusius. Sedangkan pendidikan di Mesir bertujuan pada pengabdian pada dewa dan juga ditekankan pada perdagangan dan perindustrian. Sekolah militer bagi anak keturunan bangsawan dan juga dari keluarga tidak mampu. Isi pendidikan di Mesir adalah klasik dan kejuruan yang diperuntukan untuk perdagangan dan perindustrian. Sastra mengajarkan kebajikan. Peradaban Mesir tidak luput dari peran keahlian dan pengetahuan masyarakatnya. Pengajaran di Mesir bersifat tidak formal hanya sebatas bagaimana mereka dapat menjadi tukang perahu, pedagang, pengusaha, dan penggembala. Pendidikan yang terpenting dari orangtuanya yang mengajarkan agama/keyakinan dan moral. Pendidikan formal baru dapat diperoleh saat anak berusia 3 tahun yang biasanya diajarkan oleh pendeta. Sekolah untuk membaca dan menulis saat anak berusia 5 tahun. Pendidikan sekolah tingkat atas saat anak berusia 17 tahun. Sekolah militer saat ada instruksi perang. Semua pengaturan atau pengorganisasian sekolah dikendalikan oleh pendeta.
Landasan Pendidikan di Indonesia yang dijelaskan secara panjang lebar oleh Syamsul Berau yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang - Undang Dasar 1945 adalah merupakan hokum tertinggi di Indonesia.Pasal - pasal yang bertalian dengan pendidikan dalam Undang - Undang Dasar 1945 hanya 2 pasal, yaitu pasal 31 dan Pasal 32. Yang satu menceritakan tentang pendidikan dan yang satu menceritakan tentang kebudayaan. Pasal 31 Ayat 1 berbunyi : Tiap - tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Dan ayat 2 pasal ini berbunyi : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajar Pasal 32 pada Undang - Undang Dasar berbunyi : Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.an nasional, yang diatur dengan Undang - Undang.b. Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.[16] Tidak semua pasal akan dibahas dalam buku ini. Yang dibahas adalah pasal - pasal penting terutama yang membutuhkan penjelasan lebih mendalam serta sebagai acuan untuk mengembangkan pendidikan. Pertama - tama adalah Pasal 1 Ayat 2 dan Ayat 5. Ayat 2 berbunyi sebagai berikut : Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”Selanjutnya Pasal 1 Ayat 5 berbunyi : Tenaga Pendidik adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.[17] Menurut ayat ini yang berhak menjadi tenaga kependidikan adalah setiap anggota masyarakat yang mengabdikan dirinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedang yang dimaksud dengan Pendidik tertera dalam pasal 27 ayat 6, yang mengatakan bahwa Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.” Landasan Filsafat. Filsafat pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar - akarnya mengenai pendidikanAgar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :1. Esensialis2. Parenialis3. Progresivis4. Rekonstruksionis5. Eksistensialis. Filsafat pendidikan Esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad - abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran secara kebetulan saja. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika.Filsafat pendidikan Parenialis tidak jauh berbeda dengan filsafat pendidikan Esensialis. Kalau kebenaran yang esensial pada esensialis ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran Parenialis ada pada wahyu Tuhan. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas Aquino.Demikianlah Filsafat Progresivisme mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini, tidak ada tujuan yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relative. Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis ini adalah John Dewey.Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Mereka bercita - cita mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total.Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri.[18] Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan dan komitmennya sendiri. Landasan Sejarah. Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan yang dapat didasari oleh konsep - konsep tertentu. Sejarah pendidikan di Indonesia.Pendidikan di Indonesia sudah ada sebelum Negara Indonesia berdiri. Sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia juga cukup panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno, kemudian diteruskan dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, Pada waktu bangsa Indonesia berjuang merintis kemerdekaan ada tiga tokoh pendidikan sekaligus pejuang kemerdekaan, yang berjuang melalui pendidikan. Mereka membina anak-anak dan para pemuda melalui lembaganya masing-masing untuk mengembalikan harga diri dan martabatnya yang hilang akibat penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh pendidik itu adalah Mohamad Safei, Ki  Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan (TIM MKDK, 1990). Mohamad Syafei mendirikan sekolah INS atau Indonesisch Nederlandse School di Sumatera Barat pada Tahun 1926. Sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Kayutanam, sebab sekolah ini didirikan di Kayutanam. Maksud ulama Syafei adalah mendidik anak-anak agar dapat berdiri sendiri atas usaha sendiri dengan jiwa yang merdeka. Tokoh pendidik nasional berikutnya yang akan dibahas adalah Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Sifat, system, dan metode pendidikannya diringkas ke dalam empat keemasan, yaitu asas Taman Siswa, Panca Darma, Adat Istiadat, dan semboyan atau perlambang.Asas Taman Siswa dirumuskan pada Tahun 1922, yang sebagian besar merupakan asas perjuangan untuk menentang penjajah Belanda pada waktu itu. Tokoh ketiga adalah Ahmad Dahlan yang mendirikan organisasi Agama Islam pada tahun 1912 di Yogyakarta, yang kemudian berkembang menjadi pendidikan Agama Islam. Pendidikan Muhammadiyah ini sebagian besar memusatkan diri pada pengembangan agama Islam, dengan beberapa cirri seperti berikut (TIM MKDK, 1990).Asas pendidikannya adalah Islam dengan tujuan mewujudkan orang-orang muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya kepada diri sendiri, dan berguna bagi masyarakat serta Negara.Ada lima butir yang dijadikan dasar pendidikan yaitu :
  1. Perubahan cara berfikir
  2. Kemasyarakatan
  3. Aktivitas
  4. Kreativitas
  5. Optimisme
Landasan Sosial Budaya, Sosial mengacu kepada hubungan antar individu, antarmasyarakat, dan individu secara alami, artinya aspek itu telah ada sejak manusia dilahirkan.Sama halnya dengan scial, aspek budaya inipun sangat berperan dalam proses pendidikan.[19] Malah dapat dikatakan tidak ada pendidikan yang tidak dimasuki unsure budaya. Materi yang dipelajari anak-anak adalah budaya, cara belajar mereka adalah budaya, begitu pula kegiatan-kegiatan mereka dan bentuk-bentuk yang dikerjakan juga budaya. Sosiologi dan PendidikanSosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya.Proses sosial dimulai dari interaksi sosial dan dalam proses sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Interaksi dan proses social didasari oleh factor-faktor berikut :1. Imitasi2. Sugesti3. Identifikasi4. Simpati Kebudayaan dan PendidikanKebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, huku, moral, adapt, dan kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat (Imran Manan, 1989) Hassan (1983).[20] misalnya mengatakan kebudayaan berisi (1) norma-norma, (2) folkways yang mencakup kebiasaan, adapt, dan tradisi, dan (3) mores, sementara itu Imran Manan (1989) menunjukkan lima komponen kebudayaan sebagai berikut :1. Gagasan2. Ideologi3. Norma4. Teknologi5. BendaAgar menjadi lengkap, perlu ditambah beberapa komponen lagi yaitu:
1. Kesenian2. Ilmu3. KepandaianKebudayaan dapat dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :1. Kebudayaan umum, misalnya kebudayaan Indonesia2. Kebudayaan daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Bali, Sunda, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya3. Kebudayaan popular, suatu kebudayaan yang masa berlakunya rata-rata lebih pendek daripada kedua macam kebudayaan terdahulu. 5.  Landasan Psikologi, Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali, kehidupan manusia, yang berada dan melekat dalam manusia itu sendiri. a. Psikologi Perkembangan Ada tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang dimaksud adalah: 1. Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.2. Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang membuat kelompok-kelompok3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual. Melihat perkembangan seseorang secara individual.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa mendidik budi pekerti bukanlah mengajar. Mendidik budi pekerti ialah menanamkan apa yang dimaksud oleh pendidikan budi pekerti itu sehingga menjadi dasar atau mendarah daging (menjadi kebiasaan) bagi siapa saja yang dididik. Tentu saja cara mendidik itu tidak seperti mengajar. Tidak cukup hanya dengan memberi pengertian (nasihat) tentang kebaikan dan kejahatan atau dengan larang dan perintah saja. Jika cara mendidik seperti itu, alangkah mudah dan cepatnya proses mendidik. Padahal, mendidik yang benar tidak cukup dengan cara semacam itu. Nasihat yang disampaikan  kepada orang-orang atau anak-anak yang tidak disertai dengan amalan (pimpinan dan pembawanya) ibarat perintah berjalan kepada orang buta (belum tahu jalan), yang artinya belum mampu menujukan jalan, tentu saja hal ini akan sulit berhasil.

B. Saran
Tidak dapat dipungkiri manusia merupakan makhluk Allah SWT. Yang tiadak luput dari kesalahan  dan khilaf. Maka besar kemungkinan dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam segi penulisan kata ataupun kurangnya referensi  yang dimiliki oleh penulis. Maka dari itu saran ataupun kritik sangatlah diperlukan untuk dapat membangaun kreatifitas dalam penulisan makalah selanjutnya.




DAFTAR  PUSTAKA

Arif, Armai., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002.
Chan,Sam M. Sam, Tuti T, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Daulay,Haidar Putra., Pendidikan Islam Dalam Sisdiknas di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2004
Fajar,H.A.Malik., Visi Pembaruan Pendidikan Islam, LP3NI, Jakarta,1998.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi, PT. Remaja RosdaKarya, Bandung, 2006.
Nata, Abuddin., Manajemen Pendidikan,  Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007.
Suwendi., Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Suyanto., Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), PSAP Muhammadiyah, Jakarta, 2006.
Tilaar,H.A.R.,  Manajemen Pendidikan Indonesia, PT. Remaja RosdaKarya, Bandung, 2006.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Ar-Ruzz Medida: Jogjakarta, 2006
Walidin,Warul., Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn Khaldun Perspektif Pendidikan Modern,Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh & Suluh Press Yogyakarta, 2005.
Sam M. Chan, Tuti T.Sam, Analisis SWOT Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,2006.h.17.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, Mizan Media Utama: Bandung, 1997

Pidarta, Made,  Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004,
 Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, PT. RajaGrafindo Persada,Jakarta,2006.


[1] Pidarta, Made,  Manajemen Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.124

[2] Suwendi., Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2004), h. 98

[3] Suwendi., Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada 2004), h. 98
[4] Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 146

[5] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan Media Utama, 1997), h. 218

[6] Arif, Armai., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 236

[7] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), h. 184

[8] Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2006), h. 186


[9] Pidarta, Made,  Manajemen Pendidikan Indonesia. (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h.124

[10] Fajar,H.A.Malik., Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI,1998), h. 97

[11] Fajar,H.A.Malik., Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI,1998), h. 99


[15] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media 2006), h. 187

[17] Daulay,Haidar Putra., Pendidikan Islam Dalam Sisdiknas di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2004), h. 264

[19] Suyanto., Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), PSAP Muhammadiyah, (Jakarta, 2006), h. 225


2 komentar

wahhhh...cocok nih buat presentasi besok, terima kasih banyak


EmoticonEmoticon