BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bila mendengar
kata pendidikan maka sebagian besar perhatian dan pikiran kita akan tertuju
pada gedung sekolah/madrasah dengan segala aktivitas dan perangkat yang ada di
dalamnya. Padahal sebenarnya pendidikan lebih luas dari apa yang ada dalam
perhatian dan pikiran sebagian besar orang umumnya. Sejalan dengan itu
Mudyahardjo mendefinisikan pengertian pendidikan ialah segala pengalaman
belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup serta pendidikan
dapat diartikan sebagai pengajaranyang diselenggarakan di sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal. Dengan kalimat yang sederhana tapi memiliki arti
yang luas dan sangat mendalam Kohnstamm mengemukakan bahwa pendidikan
adalah pembentukan hati nurani.
Sedangkan
menurut Armai Arif, pendidikan adalah sebuah proses yang dilakukan untuk
menciptakan manusia seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu
mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di permukaan bumi berdasarkan
al-Qur’an dan al-Sunnah (terciptanya insan kamil).
Pendidikan
adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa, dan rasa manusia
menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi yaitu manusia yang
berbudaya, definisi ini dikemukakan oleh Syafrudin Nurdin.
Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan
berintikan interaksi antara pendidik dan peserta didik dalam upaya membantu
peserta didik menguasai tujuan-tujuan pendidikan. Interaksi
pendidikan
dapat berlangsung dalam lingkungan keluarga, sekolah, ataupun masyarakat.
Dengan kata lain bahwa pendidikan dalam praktiknya dapat dikelompokkan menjadi
tiga, yakni pendidikan informal (keluarga), formal (sekolah), dan non
formal (masyarakat). Sehingga sebenarnya keberhasilan pendidikan nasional
sangat bergantung terhadap ketiganya.
Dari ketiga
jenis pendidikan tersebut di atas, pendidikan formallah yang mendapat
sorotan paling tajam. Hal ini dapat dimaklumi karena keterbatasan wawasan
masyarakat tentang hakikat pendidikan, dan perangkat pendidikan formal secara
umum memang relatif lebih memadai dibandingkan dengan pendidikan informal dan
non formal.
Dalam
perjalanannya, sejak jaman klasik hingga modern, baik pendidikan formal,
informal, maupun non formal banyak mendapatkan permasalahan sehingga belum
sepenuhnya ketiga jalur pendidikan tersebut dalam mencapai seluruh tujuan yang
telah ditetapkan, terutama pendidikan formal. Oleh karena itu dalam makalah ini
akan disodorkan masalah-masalah dalam pendidikan modern.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Pendidikan Modern?
2.
Apa problem dari pendidikan modern?
3.
Bagaimana impikasi pendidikan Modern dalam sejarah peradaban
pendidikan Islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendidikan
Berasal dari
kata Yunani “educare” yang berarti membawa keluar yang tersimpan,
untuk dituntut agar tumbuh dan berkembang.
Dan dalam
bahasa arab dikenal dengan istilah “tarbiyah”, berasal dari kata “raba-yarbu”
yang berarti mengembang, tumbuh.
“Seperti satu benih yang
menumbuhkan tunas dan lembaganya, makin mengeras dan kokoh batangnya hingga
mengagumkan bagi banyak petani”.
Berikut ini
merupakan defenisi pendidikan dari beberapa ahli:
Ø Jhon Dewey
Proses pembentukan kecakapan funfamental
secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia. Dengan kata
lain sebagai usaha pengembangan potensi individu setiap peserta didik.[1]
Ø Ivan lilich
Pendidika adalah pengalaman belajar yang
berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.
Ø Driyarkara
Pendidikan adalah hidup bersama dalam satuan
tri tunggal ayah ibu dan anak, dimana dia berproses untuk akhirnya bisa
melaksanakan sendiri.
B. Makna pendidikan Modern
Makna pendidikan merupakan sebuah mediasi bagi tercapainya
transformasi nilai dan ilmu yang berfungsi untuk membentuk suatu peradaban
manusia yang lebih baru meskipun pada pada sisi lain pendidikan juga merupakan
salah satu wahana untuk mempertahankan tradisi. Sehingga ketika seorang mantan
presiden Amerika Serikat mengatakan jika “Our National Problem Come From
EDUCATION” karena pada kenyataanya Pendidikan itu akan senantiasa bersinggungan
dengan upaya pengembangan dan pembinaan seluruh potensi manusia tanpa
terkecuali.[2]
Karena dengan pengembangan dan pembinaan seluruh potensi tersebut, pendidikan
diharapkan dapat mengantarkan manusia pada suatu pencapaian tingkat kebudayaan
yang yang menjunjung hakikat kemanusiaan manusia.
Sementara pendidikan yang berwawasan kemanusiaan memberikan
pengertian bahwa pendidikan harus memandang manusia sebagai subyek pendidikan,
bukan sebagai obyek yang memilah-milah potensi (fitrah) manusia. Artinya,
pendidikan adalah suatu upaya memperkenalkan manusia akan eksistensi dirinya,
baik sebagai diri pribadi yang hidup bersama hamba Tuhan yang terikat oleh
hukum normatif (syariat) dan sekaligus sebagai khalifah di bumi.
Konsep pendidikan yang mengenyampingkan dasar-dasar tersebut,
adalah pendidikan yang akan mencetak manusia-manusia tanpa kesadaran etik, yang
pada akhirnya melahirkan cara pandang dan cara hidup yang tidak lagi
konstruktif bagi tegaknya nilai-nilai kemanusiaan. Untuk itu perlu adanya
konseptualisasi ilmu dalam pendekatan filsafati yang merupakan kerangka dasar
dalam upaya memperjelas dan meluruskan cara pandang manusia, baik mengenai
dirinya, alam lingkungan, maupun terhadap campur tangan Allah SWT.
Tidak akan ada oyang yang membantah jika agama Islam itu sebagai
agama yang sempurna telah memberikan pijakan yang jelas tentang tujuan dan
hakikat pendidikan, yakni memberdayakan potensi fitrah manusia yang condong
kepada nilai-nilai kebenaran dan kebajikan agar ia dapat memfungsikan dirinya
sebagai hamba (As-Syams :8 ; QS. Adz Dzariyat:56). Oleh karena itu, pendidikan
berarti suatu proses membina seluruh potensi manusia sebagai makhluk yang
beriman dan bertakwa, berfikir dan berkarya, untuk kemaslahatan diri dan
lingkungannya.
Islam adalah panduan hidup manusia di dunia dan akhirat yang bukan sekedar agama seperti dipahami selama ini, tetapi meliputi seluruh aspek dam kebutuhan hidup manusia. Ilmu dalam Islam meliputi semua aspek ini yang bisa disusun secara hirarkis dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia hingga makhluk gaib dan puncak kegaiban. Susunan ilmu tentang banyak aspek ini bisa dikaji dari pemikiran Islam. Mengingat seluruh tradisi keagamaan dalam sejarah umat manusia mulai dari nabi Adam diklaim sebagai Islam dan seluruh alam natural dan humanitas sebagai ayat-ayat Tuhan, maka seluruh ilmu tentang hal ada, merupaka ilmu tentang ayat-ayat Tuhan dan Islam itu sendiri.
Sepanjang sejarah otentik Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bersumber dari dua bentuk wahyu, yakni ayat-ayat Alqur’an dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah). Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi dan ekspperimental secara sistematis, lalu keduanya disatukan di dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi tentang wahyu Tuhan yang telah diturunkan sejak masa Nabi Adam. Diperkirakan masa Yunani yang memproduksi tradisi filsafat awal berlangsung sezaman dengan turunnya Zabur kepada Nabi Daud dan Taurot kepada Nabi Musa (A. Munir Mulkhan, 2002).[3] Dalam kesajarahan, Islam pernah membuktikan diri sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengungguli kejayaan Eropa pada masa lalu. Islam telah mewariskan tokoh ilmuwan besar seperti Al Jabir, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Kindi dan lainnya. Oleh karenanya, keharusan kembali melihat khazanah dan etos keilmuan di masa lalu itu menjadi salah satu penekanan, mengingat khazanah pengetahuan Islam masa lalu yang kaya dengan semangat inklusivismenya dan juga kekayaan nuansa spiritual. Sayangnya, hal itu kurang mendapat apresiasi berimbang dalam dunia ilmiah akademik dewasa ini. Tekanan imperialisme epistemologi dari pengetauan Barat Modern yang kini telah mewabah, dirasakan cukup kuat menjebak dan menggiring kehidupan intelektual dan akademik, secara perlahan tapi pasti dapat melalaikan apa yang yang telah menjadi kekayaan intlektual umat Islam masa lalu. Ada banyak sebab mengapa Islam belum mampu membangun kerangka paradigma yang lain untuk mengenyahkan imperialisme paradigma pengetauan Barat Modern, diantaranya, apresiasi terhadap khazanah intelektual Islam lama, masih berkutat dan berputar-putar pada produk jadi (Amin Abdullah, 1995) ketimbang pada etos keilmuan terutama metodologi yang dikembangkan oleh para pemikir muslim masa lalu.[4] Selain itu, membangun paradigma pengetahuan Islam yang terpadu akan mengalami kesulitan manakala masih terdapat sikap dikotomis di kalangan umat yang memisahkan ilmu-ilmu agama (wilayah naqliyah) dengan ilmu-ilmu umum (wilayah ‘aqliyah).
Islam adalah panduan hidup manusia di dunia dan akhirat yang bukan sekedar agama seperti dipahami selama ini, tetapi meliputi seluruh aspek dam kebutuhan hidup manusia. Ilmu dalam Islam meliputi semua aspek ini yang bisa disusun secara hirarkis dari benda mati, tumbuhan, hewan, manusia hingga makhluk gaib dan puncak kegaiban. Susunan ilmu tentang banyak aspek ini bisa dikaji dari pemikiran Islam. Mengingat seluruh tradisi keagamaan dalam sejarah umat manusia mulai dari nabi Adam diklaim sebagai Islam dan seluruh alam natural dan humanitas sebagai ayat-ayat Tuhan, maka seluruh ilmu tentang hal ada, merupaka ilmu tentang ayat-ayat Tuhan dan Islam itu sendiri.
Sepanjang sejarah otentik Islam, ilmu pengetahuan dan teknologi bersumber dari dua bentuk wahyu, yakni ayat-ayat Alqur’an dan ayat-ayat kauniyah (sunnatullah). Wahyu pada ranah pertama dipahami dengan menafsirkan teks secara eksplanatif, dan wahyu ranah kedua dipahami dengan melakukan deskripsi, eksplorasi dan ekspperimental secara sistematis, lalu keduanya disatukan di dalam filsafat dengan segala tingkatannya. Al-Qur’an sendiri memberikan informasi tentang wahyu Tuhan yang telah diturunkan sejak masa Nabi Adam. Diperkirakan masa Yunani yang memproduksi tradisi filsafat awal berlangsung sezaman dengan turunnya Zabur kepada Nabi Daud dan Taurot kepada Nabi Musa (A. Munir Mulkhan, 2002).[3] Dalam kesajarahan, Islam pernah membuktikan diri sebagai umat yang memiliki peradaban gemilang dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mengungguli kejayaan Eropa pada masa lalu. Islam telah mewariskan tokoh ilmuwan besar seperti Al Jabir, Al Khawarizmi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, Al Kindi dan lainnya. Oleh karenanya, keharusan kembali melihat khazanah dan etos keilmuan di masa lalu itu menjadi salah satu penekanan, mengingat khazanah pengetahuan Islam masa lalu yang kaya dengan semangat inklusivismenya dan juga kekayaan nuansa spiritual. Sayangnya, hal itu kurang mendapat apresiasi berimbang dalam dunia ilmiah akademik dewasa ini. Tekanan imperialisme epistemologi dari pengetauan Barat Modern yang kini telah mewabah, dirasakan cukup kuat menjebak dan menggiring kehidupan intelektual dan akademik, secara perlahan tapi pasti dapat melalaikan apa yang yang telah menjadi kekayaan intlektual umat Islam masa lalu. Ada banyak sebab mengapa Islam belum mampu membangun kerangka paradigma yang lain untuk mengenyahkan imperialisme paradigma pengetauan Barat Modern, diantaranya, apresiasi terhadap khazanah intelektual Islam lama, masih berkutat dan berputar-putar pada produk jadi (Amin Abdullah, 1995) ketimbang pada etos keilmuan terutama metodologi yang dikembangkan oleh para pemikir muslim masa lalu.[4] Selain itu, membangun paradigma pengetahuan Islam yang terpadu akan mengalami kesulitan manakala masih terdapat sikap dikotomis di kalangan umat yang memisahkan ilmu-ilmu agama (wilayah naqliyah) dengan ilmu-ilmu umum (wilayah ‘aqliyah).
Untuk itu diperlukan konseptualisasi ilmu dalam pendidikan, yang
menawarkan adanya ilmu naqliyah yang melandasi semua ilmu aqliyah, sehingga
diharapkan dapat mengintegrasikan antara akal dan wahyu, ilmu-ilmu umum dan
ilmu-ilmu agama dalam proses pendidikan. Sehingga, melalui upaya tersebut dapat
merealisasikan proses memanusiakan manusia sebagai tujuan pendidikan, yaitu
mengajarkan, mengasuh, melatih, mengarahkan, membina dan mengembangkan seluruh
potensi peserta didik dalam rangka menyiapkan mereka merealisasikan fungsi dan
risalah kemanusiaannya di hadapan Allah SWT, yaitu mengabdi sepenuhnya kepada
Allah SWT dan menjalankan misi kekhalifahan di muka bumi, sebagai makhluk yang
berupaya mengiplementasikan nilai-nilai ilahiyah dengan memakmurkan kehidupan
dalam tatanan hidup bersama dengan aman, damai dan sejahtera.
Sementara Pendapat Alvin Tofler dalam bukunya The Third Wave (1980)
yang bercerita tentang peradaban manusia, yaitu; (1) perdaban yang dibawa oleh
penemuan pertanian, (2) peradaban yang diciptakan dan dikembangkan oleh
revolusi industri, dan (3) peradaban baru yang tengah digerakan oleh revolusi
komunikasi dan informasi. Perubahan tersebesar yang diakibatkan oleh gelombang
ketiga adalah, terjadinya pergeseran yang mendasar dalam sikap dan tingkah laku
masyarakat (M.Irsyad Sudiro, 1995 : 2). Salah satu ciri utama kehidupan di masa
sekarang dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang
terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata
kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada
waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman (Djamaluddin Ancok,
1998: 5). Secara umum masyakarat modern adalah masyarakat yang proaktif,
individual, dan kompetitif.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri postindustrial society seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi information society sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar.[5] Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar 1988, menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat.[6] Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.
Masyarakat modern dewasa ini yang ditandai dengan munculnya pasca industri postindustrial society seprti dikatakan Daniel Bell, atau masyarakat informasi information society sebagai tahapan ketiga dari perkembangan perdaban seperti dikatakan oleh Alvin Tofler, tak pelak lagi telah menjadikan kehidupan manusia secara teknologis memperoleh banyak kemudahan. Tetapi juga masyarakat modern menjumpai banyak paradoks dalam kehidupannya. Dalam bidang revolusi informasi, sebagaimana dikemukakan Donald Michael, juga terjadi ironi besar.[5] Semakin banyak informasi dan semakin banyak pengetahuan mestinya makin besara kemampuan melakukan pengendalian umum. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, semakin banyak informasi telah menyebabkan semakin disadari bahwa segala sesuatunya tidak terkendali. Karena itu dengan ekstrim Ziauddin Sardar 1988, menyatakan bahwa abad informasi ternyata sama sekali bukan rahmat.[6] Di masyarakat Barat, ia telah menimbulkan sejumlah besar persoalan, yang tidak ada pemecahannya kecuali cara pemecahan yang tumpul. Di lingkungan masyarakat kita sendiri misalnya, telah terjadi swastanisasi televisi, masyarakat mulai merasakan ekses negatifnya.
ü Paradigma Pendidikan Modern
Berpijak dari paradigma pendidikan tradisional tersebut,
maka sudah waktunya dilaksanakan reformasi pendidikan kearah yang lebih
kondusifuntuk terciptanya kualitas peserta didik yang berkualitas.
Paradigmapendidikan holistik memandang pendidikan sebagai sarana
untukmengembangkan potensi manusia secara utuh. Manusia di pandangsebagai
kesatuan yang bulat, yakni kesatuan jasmani-ruhani, kesatuanmelangsungkan,
mempertahankan, dan mengembangkan hidupnya. Proses pendidikan yang seperti itu
dapat ditemukan pada paradigmapembelajaran modern. Paradigma pembelajaran
modern mempunyai ciricirisebagai berikut:
ü Menanggapi peserta didik sebagai
subyek bukan obyek.
ü Menggunakan pendekatan dan metode
pembelajaran yang bervariatifdan eksploratif, sehingga Peserta didik lebih
aktif Iklim belajar menyenangkan Fungsi pendidik bergeser dari sebagai pemberi
informasi menujusebagai fasilitator. Materi yang dipelajariterkaitdengan lingkungankehidupan
pesertadidik, sehingga dapat di manfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan.
Peserta didik terbiasa mencari informasi dari berbagai sumber Menggeser
teaching menjadi learning.
C. Problematika Pendidikan Modern
Problematika pendidikan modern yang
diidentifikasikan dari berbagai sumber dapat kemukakan sebagai berikut:
- Kemerosotan
akhlak,
dunia modern saat ini, termasuk di Indonesia ditandai oleh gejala yang
benar-benar berada pada taraf yang mengkhawatirkan. karena sudah menimpa
golongan dewasa hingga pelajar/remaja tunas bangsa, ini terjadi karena
empat faktor. Selain itu Haidar juga mensinyalir masalah ini terjadi
karena kurangnya pemberdayaan pendidikan budi pekerti, juga disebabkan
empat faktor. Sedangkan Suwendi menyebut masalah ini dengan istilah krisis
nilai karena berkaitan dengan sikap menilai suatu perbuatan, tentang baik
buruk, etis dan tidak etis, benar dan salah, dan hal lain yan menyangkut
etika individual dan sosial. Tujuh masalah pokok sistem pendidikan
nasional yang prtama adalah menurunnya akhlak dan moral peserta didik.
Kemudian diperparah lagi dengan dihapusnya mata pelajaran budi pekerti
sejak kurikulum 1984 sehingga aspek-aspek yang berkaitan dengan budi
pekerti menjadi kurang disentih bahkan ada kecenderungan tidak ada sama
sekali. Lebih dari itu juga terjadi pergeseran dari pendidikan keluaraga
ke pendidikan sekolah, artinya pendidikan sekolah merupakan tumpuhan utama
masyarakat.[7]
- Pembelajaran
model Fragmented dan dikotomi, misalnya, pada mata pelajaran agama, keterkaitan
antar submata pelajaran agama belum tampak. Misalnya submata pelajaran
aqidah, akhlak, al-Qur’an, dan al Hadits masing-masing diajarkan secara
terpisah. Di samping itu juga terjadi dikotomi antara mata pelajaran agama
dan umum, hal ini terjadi karena sejak sebelum kemerdekaan hingga saat ini
pendidikan kita cenderung beorientasi ke Barat yang berpandangan hidup
sekuler-materialistik di mana proses belajar mengajar tidak dihubungkan dengan
Tuhan.
- Cognitive
oriented,
pendidikan di semua jenjang, sampai saat ini, masih mementingkan aspek
kognitif, hal ini senada dengan konsep barat tentang spiritualisme yang
intinya adalah daya dari intelektual. Sehingga pendidikan agamapun tidak
ditujukan pada hati nurani, tetapi lebih cenderung pada ketajaman akal.[8]
- Media
massa
kurang memprioritaskan pendidikan, kekhawatiran masyarakat terhadap
siaran televisi yang karena tidak memihak pada pemirsa sudah sangat
memprihatinkan. Siaran televisi turut memberikan kontribusi terhadap
maraknya kenakalan remaja. Hal tersebut didukung dengan hasil penelitian
bahwa tayangan film televisi lebih banyak menunjukkan adegan-adegan anti
sosial bila dibandingkan dengan adegan-adegan prososial.
- Kesejahteraan
guru masih minim, adalah sebuah fakta yang sulit dipungkiri dan
memprihatinkan, seorang yang menggeluti profesi guru lebih dari 39 tahun
ternyata gaji pokoknya lebih rendah dari calon pegawai BUMN yang masa
kerjanya kurang dari satu tahun. Tilaar menyatakan bahwa kunci utama
peningkatan kualitas pendidikan ialah mutu para gurunya. Dalam hal ini
diperluka penghargaan yang wajar terhadap profesi guru sebagaimana di
negara-negara industri maju.
- Kualitas,
Relevansi/Efisiensi Eksternal, Elitisme, dan manajemen, kualitas pendidikan
kita relatif lebih rendah dibandingkan dengan negara sekitar, hal ini
terlihat dari besarnya dana pembangunan dalam bidang pendidikan. Relevansi
juga mengkhawatirkan karena besarnya pengangguran lulusan pendidikan
menengah dan tinggi, bahkan ada tendensi semakin tinggi pendidikan semakin
besar kemungkinan untuk menganggur. Elitisme artinya adanya kecenderungan
penyelenggaraan pendidikan oleh pemerintah menguntungkan kelompok
masyarakat kecil atau yang justru mampu.Sedangkan masalah pada manajemen meliputi
masalah perencanaan, pendanaan, dan efisiensi sistem.
ü FAKTA YANG ADA DI LAPANGAN.
Berikut ini akan disajikan
fakta-fakta yang ada dilapangan yang merupakan perwujudan permasalahan yang
dikemukakan di atas.
- Kemerosotan
Moral,
hal yang sangat mudah kita temui pada pendidikan formal adalah kecurangan
yang dilakukan oleh para siswa pada saat ulangan atau ujian adalah
pemandangan sehari-hari, bahkan ada yang berdalih membantu orangtua. Para
guru juga tidak mau ketinggalan, pada saat pelaksanaan ujian nasional
mereka berusaha berbuat curang dengan dalih membantu siswa. Bila hal ini
dibiarkan maka akan menjadi budaya dan pada akhirnya merupakan benih bagi
tumbuh suburnya kecurangan-kecurangan yang lebih besar, misalnya
penyalahgunaan uang sekolah, keluyuran pada jam-jam belajar, tawuran antar
pelajar, hingga kasus miras dan narkoba, hingga peringkat atas negara
terkorup, ini menunjukkan betapa kemerosotan moral sudah menjadi budaya di
negeri ini.[9]
- Pembelajaran
model Fragmented dan dikotomi, telah tampak di depan kita, sangat jarang
pembelajaran yang dilakukan pendidik dengan integrated approach. Artinya
masing-masing guru sub bidang studi agama maupun antara guru agama, guru
sains, guru bahasa, guru ilmu sosial, guru penjas, dan guru seni sibuk
dengan materi mereka sendiri, tanpa mau merumuskan bersama pembelajaran
yang terpadu yang bermuara pada pengembangan dan penyelamatan potensi
siswa.
- Cognitive
oriented,
sudah dimaklumi bahwa keberhasilan siswa dalam mengikuti ulangan atau
menempuh ujian yang menjadi ukuran utama adalah skor perolehan dalam
mengerjakan soal-soal ulangan atau ujian. Bahkan hingga saat ini kelulusan
siswa SD hingga sekolah menengah ditentukan oleh perolehan skor pada ujian
nasional yang ditetapkan BSNP. Kalaupun ada sekolah yang menggunakan
standar sikap hampir dipastikan hanya pelengkap dan sangat jarang dipakai.
- Media
massa kurang memperhatikan pendidikan, sulit dipungkiri bahwa media
massa, terutama televisi dengan segala tanyangannya sangat jauh bahkan
terkesan masa bodoh dengan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari waktu
tayang dan materi yang ditayangkan. Tayangan kekerasan, mistis, perusakan
dan pelecehan ajaran Islam sangat banyak ditemui mulai dari film kartun
hingga sinetron.
- Kesejahteraan
guru masih minim, julukan guru sebagai pasukan berani utang,
pangkat jendral bayaran kopral, dan Umar Bakri tidak asing lagi, bahkan
isu terakhir guru yang lulus sertifikasi sakan dibayar dengan standar “Yen”.
Hal ini menunjukkan betapa kesejahteraan guru masih minim, entah sampai
kapan akan terjadi perubahan.[10]
- Kualitas,
Relevansi/Efisiensi Eksternal, Elitisme, dan manajemen, faktanya terlihat pada
peringkat SDM kita berada di bawah negara-negara tetangga, banyaknya
lulusan yang tak siap pakai dan tak mampu menembus UMPTN, subsidi
pendidikan untuk pendidikan dasar lebuh kecil dari pada pendidikan tinggi
yang nota bene mahasiswanya sebagian besar berasal dari golongan menengah
ke atas.
ü SOLUSI YANG DITAWARKAN.
Solusi yang ditawarkan berikut ini
diuraikan secara berurutan sesuai dengan permasalahan yang dipaparkan
sebelumnya.
- Masalah
kemerosotan moral, solusi yang ditawarkan untuk mengatasi masalah ini
adalah melalaui pemberdayaan pendidikan budi pekerti, serta keteladanan.
- Masalah
pembelajaran model fragmented dan dikotomi, solusi yang dapat ditawarkan
adalah mengintegrasikan antar submata pelajaran agama, dan antara mata
pelajaran agama dengan mata pelajaran umum selain agama. Sehingga
menghasilkan pembelajaran yang diwarnai oleh nilai-nilai keagamaan.
- Masalah
cognitive oriented, solusi yang ditawarkan adalah penilaian yang
itegratif. Artinya siswa dinyatakan tuntas atau berhasil bila memenuhi
kriteria kognitif, afektif, dan psikomotor. Hal ini harus disadari dan
dilakukan bukan sekedar jargon atau lips service.
- Masalah
media massa, yang satu ini memerlukan political will dari pemerintah,
perhatian serius dari orang tua, dan dukungan yang kuat dari semua lapisan
masyarakat agar media massa benar-benar menyadari dan tidak terlalu profit
oriented tetapi juga harus sangat memperhatikan faktor-faktor edukatif.[11]
- Masalah
minimnya kesejahteraan guru, hendaknya disadari oleh pemerintah, orang tua
murid, dan masyarakat. Karena Ada ungkapan “No welfare without
development, no development without education, and no education without
teacher”, hal ini sulit untuk dipungkiri relevansinya dalam kehidupan
suatu bangsa, sekaligus menunjukkan bahwa guru adalah ujung tombak
kesejahteraan suatu bangsa.
6. Masalah Kualitas, Relevansi/Efisiensi Eksternal,
Elitisme, dan manajemen dapat diatasi bila pemerintah, dunia pendidikan, dan
dunia usaha duduk semeja untuk merumuskan link and match yang sinergis.
D. Kedudukan Teori Pendidikan Modern
dalam Islam
Teori pengasuhan
dan pendidikan modern berkembang sangat pesat di negara-negara
barat. Seperti pengetahuan esakta dan teknik, ilmu
pendidkan dan psikologi berkembang dimaksudkan untuk mempermudah manusia
dalam memecahkan masalah-masalah dalam kehidupannya.[12]
Berbeda dengan
Sains dan teknologi yang bersifat eksak dan pasti, ilmu pendidikan hasil temuan
manusia bersifat relatif karena pendidikan manusia itu tergantung kepada
sistemnya. Produk karakter manusia seperti apa yang akan dihasilkan tergantung
kepada sistem dan lingkungan yang membentuknya. Jadi ilmu pendidikan dan
psikologi yang dihasilkan tentu akan tergantung bagaimana sistem dan
nilai-nilai yang dianut oleh sistem tersebut. Dengan kata lain kita
tidak bisa mengadopsi begitu saja teori pendidikan dan psikologi dari
barat.
Tujuan
pendidikan di dalam islam adalah mendidik anak menjadi manusia yang
sempurna baik intelektual, emosional dan spiritual agar hidup bahagia
di dunia dan akhirat. Teori yang dijamin benar didalam pendidikan dan
psikologi adalah alqur’an dan Hadist, sehingga sebagai umat Islam kita harus
merujuk pendidikan dan psikologi ini kepada dua sumber tersebut. Teori
dari Qur’an dan Hadist berisi teori dan metode yang bersifat umum, sehingga
dalam tingkat teknis dan operasionalnya harus dikembangkan oleh manusia itu
sendiri.
Teori
pendidikan dan psikologi modern merupakan hasil usaha manusia yang bersifat
ilmiah berdasarkan temuan,eksperimen serta pengalaman empiris yang
didasari nilai-nilai manusia yang dianut pada suatu saat dan suatu
tempat. Tentu saja sifatnya tidak absolut karena sistem
yang membentuknya bersifat relatif sehingga bisa saja teori ini berubah
dalam perjalanannya. Apa yang baik dan benar pada suatu waktu dan suatu
tempat belum tentu benar di waktu dan tempat yang lain. Tapi bukan berarti kita
tidak boleh sama sekali menengok teori atau metoda pendidikan dan pembelajaran
yang berkembang pesat dalam psikologi Modern, oleh karena Mengabaikan sama
sekali temuan-temuan ilmiah membuat kita kehilangan kesempatan untuk
mengoptimalkan tugas kita sebagai orang tua.[13] Tidak
sedikit temuan-temuan ilmiah lebih memudahkan kita menjalankan
dalil-dalil wahyu (Quran dan Hadist). Kadang dalil wahyu memberi
panduan yang bersifat prinsip dan umum sehingga pengetahuan kita tentang
psikologi modern dapat memudahkan kita menerapkan nya pada tingkat teknis dan
operasional..
Pada sat ini di
mana arus informasi tidak dapat dibendung dan nyaris merambah tanpa batas maka
kita tidak bisa sepenuhnya terisolasi dari pengaruh perkembangan
teknologi dan informasi. Sehingga ada hal-hal yang bersifat global yang harus
kita amati aspek pengaruh perkembangan nya dalam dunia pendidikan.
Tapi apakah
semua teori dan temuan ilmiah harus kita ikuti ? atau menunggu sampai
teori modern itu terbukti kesalahannya sekian tahun mendatang? Yang kita
perlukan adalah menguji apakah teori itu sesuai dengan Qur’an dan Sunnah, jadi
penakarnya adalah dua sumber tersebut karena Quran dan Hadist pasti benar
dan telah teruji dalam rentang sejarah yang panjang.
Contohnya Teori
bahwa setiap remaja akan mengalami krisis indentitas, mencari jati diri, apakah
benar demikian? ternyata kalau kita pelajari sejarah islam yaitu pada jaman
generasi Islam awal dan sesudahnya, anak-anak remaja islam pada waktu itu telah
tumbuh menjadi pribadi yang dewasa dan memiliki Ilmu dan tingkat
kematangan yang tinggi menurut ukuran kita sekarang. Remaja waktu itu
sudah memiliki tanggung jawab yang tinggi pada diri, keluarga dan
masyarakatnya, tidak terjadi krisis identitas pada mereka. Berbeda sekali
dengan pemaparan teori krisis identitas pada remaja yang yang dipaparkan oleh
para psikolog. Hal ini dapat dijelaskan karena sistem dan nilai-nilai yang
dianut oleh islam dan barat berbeda.
E. Pendidikan
Modern di Indonesia dalam Pembentukan Karakter Masyarakat yang Adiluhung
Pendidikan
sebagai kegiatan pembelajaran memiliki keragaman sesuai dengan ragam komunitas manusia.
Untuk itu pendidikan hanya ditemukan unsur universalnya. Keragaman pendidikan
tersebut disebabkan perbedaan memberikan arti atau makna daripada pendidikan
itu sendiri sebagai gejala sosial. Pendidikan merupakan sebuah investasi mahal
yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik untuk menjadi warga negara yang
baik yang dapat memberikan lebih kepada negara dibandingkan meminta kepada
negara. Sebelum meninjau lebih jauh tentang perdedaan corak di setiap negara
alangkah baiknya kita tinjau landasan atau dasar pijakan pendidikan di beberapa
negara yang menjadi batu pijakan kuat bagi perkembangan pendidikan di negaranya
masing-masing.[14]
Pendidikan
pada awal peradaban terletak pada bagaimana mempertahankan kehidupan dan
mengelola alam bagi kehidupannya. Seiring berkembangnya peradaban dengan
ditandai berkembangnya kelas sosial dan kasta berkembang pula hubungan dan
organisasi sosial ekonomi kemasyarakatannya. Hubungan kemasyarakatan semakin
kompleks dan berkembang dan timbul kelas dan kasta dalam masyarakat. Kelas dan
kasta memainkan peranan penting dalam hubungan social dalam masyarakatnya. Ada
tiga kelompok besar kasta dan kelas dalam masyarakat: 1) pendeta atau tokoh
agama yang berfungsi menyiapkan ritual keagamaan yang membentengi Negara dari
musuh baik musuh yang kelihatan maupun tidak kelihatan, 2) tentara yang
berfungsi mempertahankan Negara dari musuh yang kelihatan dan menegakkan hukum
dan peraturan, 3) orang biasa yang berfungsi bekerja menghasilkan baju,
makanan, rumah, dan mencari kebutuhan hidup lainnya.
Peradaban
kuno yang sering disebut peradaban ras oriental ini yang akan diambil adalah
peradaban dari bangsa Turanian (Cina dan Mongolia), dan Hemitik (khususnya
Mesir).[15]
Konsepsi oriental bagi pendidikan adalah mempersiapkan generasi muda mempersiapkan
fisik dan mental untuk dapat mempertahankan dan memperoleh kebutuhan hidupnya.
Pendidikan di Cina dilatarbelakangi oleh agama Konghucu. Tujuan pendidikan di
Cina berpahamkan pada pengajaran konfusius. Pengajaran Konfusius menekankan
pada hidup mulia. Pengikut Konfusius dalam mendidik dan mengajar menekankan
pada lima hubungan mendasar, yaitu antara: 1) penguasa dan rakyat, 2) orang tua
dan anak, 3) suami dan isteri, 4) saudara, 5) teman. Pendidikan di Cina yang
disarankan oleh Konfusius adalah di rumah tangga dan keluarga. Pendidikan di
Cina ditekankan pada tipe pelatihan dan pendidikan moral yakni pengajaran yang
khusus melatih pada adat istiadat, tugas, dan adab kesopanan. Isi pengajaran di
Cina berpahamkan pada Konfusius. Sedangkan pendidikan di Mesir bertujuan pada
pengabdian pada dewa dan juga ditekankan pada perdagangan dan perindustrian.
Sekolah militer bagi anak keturunan bangsawan dan juga dari keluarga tidak
mampu. Isi pendidikan di Mesir adalah klasik dan kejuruan yang diperuntukan
untuk perdagangan dan perindustrian. Sastra mengajarkan kebajikan. Peradaban
Mesir tidak luput dari peran keahlian dan pengetahuan masyarakatnya. Pengajaran
di Mesir bersifat tidak formal hanya sebatas bagaimana mereka dapat menjadi
tukang perahu, pedagang, pengusaha, dan penggembala. Pendidikan yang terpenting
dari orangtuanya yang mengajarkan agama/keyakinan dan moral. Pendidikan formal
baru dapat diperoleh saat anak berusia 3 tahun yang biasanya diajarkan oleh
pendeta. Sekolah untuk membaca dan menulis saat anak berusia 5 tahun.
Pendidikan sekolah tingkat atas saat anak berusia 17 tahun. Sekolah militer
saat ada instruksi perang. Semua pengaturan atau pengorganisasian sekolah
dikendalikan oleh pendeta.
Landasan
Pendidikan di Indonesia yang dijelaskan secara panjang lebar oleh Syamsul Berau
yaitu Undang-Undang Dasar 1945. Undang
- Undang Dasar 1945 adalah merupakan hokum tertinggi di Indonesia.Pasal - pasal
yang bertalian dengan pendidikan dalam Undang - Undang Dasar 1945 hanya 2
pasal, yaitu pasal 31 dan Pasal 32. Yang satu menceritakan tentang pendidikan
dan yang satu menceritakan tentang kebudayaan. Pasal 31 Ayat 1 berbunyi : Tiap
- tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Dan ayat 2 pasal ini
berbunyi : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajar
Pasal 32 pada Undang - Undang Dasar berbunyi : Pemerintah memajukan kebudayaan
nasional Indonesia.an nasional, yang diatur dengan Undang - Undang.b. Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.[16]
Tidak semua pasal akan dibahas dalam buku ini. Yang dibahas adalah pasal -
pasal penting terutama yang membutuhkan penjelasan lebih mendalam serta sebagai
acuan untuk mengembangkan pendidikan. Pertama - tama adalah Pasal 1 Ayat 2 dan
Ayat 5. Ayat 2 berbunyi sebagai berikut : Pendidikan nasional adalah pendidikan
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia
dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.”Selanjutnya Pasal 1 Ayat 5
berbunyi : Tenaga Pendidik adalah anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan
diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan.[17]
Menurut ayat ini yang berhak menjadi tenaga kependidikan adalah setiap anggota
masyarakat yang mengabdikan dirinya dalam penyelenggaraan pendidikan. Sedang
yang dimaksud dengan Pendidik tertera dalam pasal 27 ayat 6, yang mengatakan
bahwa Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru,
dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator,
dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.” Landasan Filsafat. Filsafat
pendidikan ialah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar -
akarnya mengenai pendidikanAgar uraian tentang filsafat pendidikan ini menjadi
lebih lengkap, berikut akan dipaparkan tentang beberapa aliran filsafat
pendidikan yang dominan di dunia ini. Aliran itu ialah :1. Esensialis2.
Parenialis3. Progresivis4. Rekonstruksionis5. Eksistensialis. Filsafat
pendidikan Esensialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad
- abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu
kebenaran secara kebetulan saja. Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan
intelektual dan logika.Filsafat pendidikan Parenialis tidak jauh berbeda dengan
filsafat pendidikan Esensialis. Kalau kebenaran yang esensial pada esensialis
ada pada kebudayaan klasik dengan Great Booknya, maka kebenaran
Parenialis ada pada wahyu Tuhan. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas
Aquino.Demikianlah Filsafat Progresivisme mempunyai jiwa perubahan,
relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat
ini, tidak ada tujuan yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relative.
Apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan
belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaran ialah yang berguna bagi
kehidupan manusia hari ini. Tokoh filsafat pendidikan Progresivis ini adalah
John Dewey.Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari
Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki
(Callahan, 1983). Mereka bercita - cita mengkonstruksi kembali kehidupan
manusia secara total.Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa
kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu manusia itu
sendiri.[18]
Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap
karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan
oleh keputusan dan komitmennya sendiri. Landasan Sejarah.
Sejarah adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau kegiatan
yang dapat didasari oleh konsep - konsep tertentu. Sejarah
pendidikan di Indonesia.Pendidikan di Indonesia sudah ada sebelum
Negara Indonesia berdiri. Sebab itu sejarah pendidikan di Indonesia juga cukup
panjang.
Pendidikan itu telah ada sejak zaman kuno, kemudian
diteruskan dengan zaman pengaruh agama Hindu dan Budha, Pada waktu bangsa Indonesia berjuang merintis kemerdekaan ada tiga
tokoh pendidikan sekaligus pejuang kemerdekaan, yang berjuang melalui
pendidikan. Mereka membina anak-anak dan para pemuda
melalui lembaganya masing-masing untuk mengembalikan harga diri dan martabatnya
yang hilang akibat penjajahan Belanda. Tokoh-tokoh pendidik itu adalah Mohamad
Safei, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Ahmad Dahlan (TIM MKDK, 1990).
Mohamad Syafei mendirikan sekolah INS atau Indonesisch Nederlandse School di
Sumatera Barat pada Tahun 1926. Sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah
Kayutanam, sebab sekolah ini didirikan di Kayutanam. Maksud ulama Syafei adalah
mendidik anak-anak agar dapat berdiri sendiri atas usaha sendiri dengan jiwa
yang merdeka. Tokoh pendidik nasional berikutnya yang akan dibahas adalah Ki
Hajar Dewantara yang mendirikan Taman Siswa di Yogyakarta. Sifat, system, dan
metode pendidikannya diringkas ke dalam empat keemasan, yaitu asas Taman Siswa,
Panca Darma, Adat Istiadat, dan semboyan atau perlambang.Asas Taman Siswa
dirumuskan pada Tahun 1922, yang sebagian besar merupakan asas perjuangan untuk
menentang penjajah Belanda pada waktu itu. Tokoh ketiga adalah Ahmad Dahlan
yang mendirikan organisasi Agama Islam pada tahun 1912 di Yogyakarta, yang kemudian
berkembang menjadi pendidikan Agama Islam. Pendidikan Muhammadiyah ini sebagian
besar memusatkan diri pada pengembangan agama Islam, dengan beberapa cirri
seperti berikut (TIM MKDK, 1990).Asas pendidikannya adalah Islam dengan tujuan
mewujudkan orang-orang muslim yang berakhlak mulia, cakap, percaya kepada diri
sendiri, dan berguna bagi masyarakat serta Negara.Ada lima butir yang dijadikan
dasar pendidikan yaitu :
- Perubahan
cara berfikir
- Kemasyarakatan
- Aktivitas
- Kreativitas
- Optimisme
Landasan Sosial Budaya, Sosial mengacu kepada hubungan antar individu,
antarmasyarakat, dan individu secara alami, artinya aspek itu telah ada sejak
manusia dilahirkan.Sama halnya dengan scial, aspek budaya inipun sangat
berperan dalam proses pendidikan.[19]
Malah dapat dikatakan tidak ada pendidikan yang tidak dimasuki unsure budaya.
Materi yang dipelajari anak-anak adalah budaya, cara belajar mereka adalah
budaya, begitu pula kegiatan-kegiatan mereka dan bentuk-bentuk yang dikerjakan
juga budaya. Sosiologi dan PendidikanSosiologi
adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok
dan struktur sosialnya.Proses sosial dimulai dari interaksi sosial dan dalam
proses sosial itu selalu terjadi interaksi sosial. Interaksi dan proses social
didasari oleh factor-faktor berikut :1. Imitasi2. Sugesti3. Identifikasi4.
Simpati Kebudayaan
dan PendidikanKebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, huku, moral, adapt, dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai
anggota masyarakat (Imran Manan, 1989) Hassan (1983).[20]
misalnya mengatakan kebudayaan berisi (1) norma-norma, (2) folkways
yang mencakup kebiasaan, adapt, dan tradisi, dan (3) mores,
sementara itu Imran Manan (1989) menunjukkan lima komponen kebudayaan sebagai
berikut :1. Gagasan2. Ideologi3. Norma4. Teknologi5. BendaAgar menjadi lengkap,
perlu ditambah beberapa komponen lagi yaitu:
1. Kesenian2. Ilmu3. KepandaianKebudayaan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :1. Kebudayaan umum, misalnya
kebudayaan Indonesia2. Kebudayaan daerah, misalnya kebudayaan Jawa, Bali,
Sunda, Nusa Tenggara Timur dan sebagainya3. Kebudayaan popular, suatu
kebudayaan yang masa berlakunya rata-rata lebih pendek daripada kedua macam
kebudayaan terdahulu. 5. Landasan Psikologi, Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang
mempelajari jiwa manusia. Jiwa itu sendiri adalah roh dalam keadaan
mengendalikan jasmani, yang dapat dipengaruhi oleh alam sekitar. Karena itu
jiwa atau psikis dapat dikatakan inti dan kendali, kehidupan manusia, yang berada dan melekat
dalam manusia itu sendiri. a. Psikologi Perkembangan Ada
tiga teori atau pendekatan tentang perkembangan. Pendekatan-pendekatan yang
dimaksud adalah: 1.
Pendekatan pentahapan. Perkembangan individu berjalan melalui tahapan-tahapan
tertentu. Pada setiap tahap memiliki ciri-ciri pada tahap-tahap yang lain.2.
Pendekatan diferensial. Pendekatan ini memandang individu-individu itu memiliki
kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Atas dasar ini lalu orang-orang
membuat kelompok-kelompok3. Pendekatan ipsatif. Pendekatan ini berusaha melihat
karakteristik setiap individu, dapat saja disebut sebagai pendekatan individual.
Melihat perkembangan seseorang secara individual.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perlu kita ketahui bersama bahwa
mendidik budi pekerti bukanlah mengajar. Mendidik budi pekerti ialah menanamkan
apa yang dimaksud oleh pendidikan budi pekerti itu sehingga menjadi dasar atau
mendarah daging (menjadi kebiasaan) bagi siapa saja yang dididik. Tentu saja
cara mendidik itu tidak seperti mengajar. Tidak cukup hanya dengan memberi
pengertian (nasihat) tentang kebaikan dan kejahatan atau dengan larang dan
perintah saja. Jika cara mendidik seperti itu, alangkah mudah dan cepatnya
proses mendidik. Padahal, mendidik yang benar tidak cukup dengan cara semacam
itu. Nasihat yang disampaikan kepada
orang-orang atau anak-anak yang tidak disertai dengan amalan (pimpinan dan
pembawanya) ibarat perintah berjalan kepada orang buta (belum tahu jalan), yang
artinya belum mampu menujukan jalan, tentu saja hal ini akan sulit berhasil.
B. Saran
Tidak dapat dipungkiri manusia merupakan
makhluk Allah SWT. Yang tiadak luput dari kesalahan dan khilaf. Maka besar kemungkinan dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan baik dalam segi
penulisan kata ataupun kurangnya referensi
yang dimiliki oleh penulis. Maka dari itu saran ataupun kritik sangatlah
diperlukan untuk dapat membangaun kreatifitas dalam penulisan makalah
selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif, Armai., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan
Islam, Ciputat Pers, Jakarta, 2002.
Chan,Sam M. Sam, Tuti T, Analisis SWOT Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Daulay,Haidar Putra., Pendidikan Islam Dalam Sisdiknas di
Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2004
Fajar,H.A.Malik., Visi Pembaruan
Pendidikan Islam, LP3NI, Jakarta,1998.
Muhaimin, Nuansa Baru Pendidikan Islam, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi, PT.
Remaja RosdaKarya, Bandung, 2006.
Nata, Abuddin., Manajemen
Pendidikan, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2007.
Suwendi., Sejarah & Pemikiran Pendidikan Islam, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Suyanto., Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan
Dunia Global), PSAP Muhammadiyah, Jakarta, 2006.
Tilaar,H.A.R., Manajemen Pendidikan Indonesia, PT.
Remaja RosdaKarya, Bandung, 2006.
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan
Islam, Ar-Ruzz Medida: Jogjakarta, 2006
Walidin,Warul., Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibn
Khaldun Perspektif Pendidikan Modern,Taufiqiyah Sa’adah Banda Aceh &
Suluh Press Yogyakarta, 2005.
Sam M. Chan, Tuti T.Sam, Analisis SWOT Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah,PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,2006.h.17.
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta
Kronologis, Mizan Media Utama: Bandung, 1997
Pidarta, Made, Manajemen
Pendidikan Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2004,
Muhaimin, Nuansa
Baru Pendidikan Islam, PT. RajaGrafindo Persada,Jakarta,2006.
[5] Majid
Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, (Bandung: Mizan
Media Utama, 1997), h. 218
[6] Arif,
Armai., Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam,(Jakarta: Ciputat
Pers, 2002), h. 236
[7] Suyanto,
Dinamika Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2006), h. 184
[8] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional, Dalam Percaturan Dunia Global, (Jakarta: PSAP
Muhammadiyah, 2006), h. 186
[12] http://id.shvoong.com/social-sciences/1999249-pranata-pendidikan-pada-masyarakat-modern/#ixzz1pYWGUpnS
[13] http://id.shvoong.com/social-sciences/1999249-pranata-pendidikan-pada-masyarakat-modern/#ixzz1pYWGUpnS
[17] Daulay,Haidar
Putra., Pendidikan Islam Dalam Sisdiknas di Indonesia, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2004), h. 264
[19] Suyanto.,
Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global), PSAP
Muhammadiyah, (Jakarta, 2006), h. 225
2 komentar
wahhhh...cocok nih buat presentasi besok, terima kasih banyak
Sama-sama,,
Semoga bermanfaat,,
EmoticonEmoticon