BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pencetus
pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses
pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan
karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan
instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Tujuan
pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan
esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi
identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.Dari
kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.
B.
Rumusan
Masalah
1. Ciri-Ciri
Pendidikan Karakter
2. Pendidikan
Akhlak
3. Kurikulum
Humanis
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Ciri-Ciri Pendidikan Karakter
Menurut
Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama,
keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki
nilai.Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan
dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi
meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga,
otonomi.Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan
keempat karakter ini, lanjut, memungkinkan manusia melewati tahap
individualitas menuju personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan
antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara
independensi eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma
seorang pribadi dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa,
maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan
perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius
menjadi relevan untuk diterapkan.
Tradisi
pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan
karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan
bermasyarakat.Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah
Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan
berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi
juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan.
Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang
apa yang dikatakan guru.[1]
B.
Pendidikan Akhlak
Plato
adalah seorang filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan
“Tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu
pendidikan dan politik tidak bisa dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai
masyarakat adil dan makmur ialah melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah
cita – cita ideal sebuah bangsa, tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah
simbolisasi dan dominasi filsafat dari sebuah bangsa tersebut.
Realitas
yang seringkali tersaji di hadapan mata, banyak tindakan kriminalitas seperti
penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian, pembunuhan
dan lainnya layaknya sebuah rutinitas keseharian, yang justru dilakukan oleh
mereka yang masih berstatus sebagai pelajar.Kalau sudah demikian, lantas apa
kabarnya sejumlah silabus dan materi pengajaran yang diajarkan kepada pelajar
kita itu, ketika semua yang terjadi adalah kontra produktif dengan apa yang
diajarkan kepada mereka.
Seorang
pelajar, dari mulai tingkat dasar sampai lanjutan atas tentu mendapatkan
sejumlah ajaran saat mengikuti aktivitas pendidikannya di kelas atau
sekolah.Sejatinya seorang murid adalah seorang yang terpelajar atau setidaknya
sedang di didik untuk menjadi insan terpelajar. Mereka mendapatkan sejumlah
pengajaran, mulai dari ilmu pengetahuan, kepribadian, sampai ajaran tentang
norma susila dan moralitas.Namun dikemanakan semua ajaran itu saat realitas
menunjukkan sebaliknya.Ia didik untuk saling tenggang rasa dan sayang
menyanyangi antar sesama, namun yang dipraktekkan adalah saling menyakiti dan
menciderai satu sama lain lewat tawuran atau tindak kekerasan lainnya. Pelajar
mendapatkan ilmu tentang norma, moralitas dan etika-etika agama. Namun yang terjadi,
ada pelajar yang tega memperkosa teman sekelasnya.Bahkan saat ini marak
perilaku amoral yang dilakukan oleh para penerus bangsa itu melalui perbuatan
asusila dalam binkai pergaulan/seks bebas.
Dari
sekian banyak kejadian yang merubah sifat pelajar masa kini kita dapat tinjau
kembali hakekat keberadaan kita sebagai agent of chance (agen perubahan)
termasuk di dalamnya perihal moralitas, sehingga anak didik kita memiliki
“kebanggaan” terhadap gurunya.Mengaktifkan anak didik kita dalam kegiatan
keagamaan di sekolah dengan memberikan waktu khusus kepada mereka di dalam
mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.Khusus untuk kita sendiri
sebagai pendidik, sudah selayaknyalah kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang
bersifat akhlak dan budi pekerti sebagai integrasi dari nilai-nilai agama itu
sendiri.Karena selama ini, kita melihat sebuah fakta, bahwa secara moralitas
kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita. [2]
C.
Kurikulum humanis.
Kurikulum
itu untuk siapa?Kurikulum secara etimologis berarti jarak yang harus ditempuh
oleh pelari atau kereta dalam perlombaan (Kamus Webster 1955).Sedangkan secara
terminologis kurikulum adalah keseluruhan pengalaman yang ditawarkan kepada
anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah (Ronald C.
Doll).Berdasarkan dari rumusan pengertian diatas baik secara etimologis maupun
secara terminologis menunjukan bahwa dalam kurikulum terdapat tiga konsep utama
yaitu rencana, proses dan tujuan.Pertama rencana. Rencana adalah upaya
pengorganisasian berbagai stakeholder untuk melakukan proses. Kedua, Proses
mengacu pada usaha sadar seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan.
Sedangkan yang ketiga tujuan yaitu road of finish yang ingin
dicapai setelah mengikuti proses.
Kurikulum
sebagai sebuah rencana, proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan
stakeholder dalam hal ini yang akan dibahas adalah guru dan siswa.[3]
1.
Kurikulum
Humanis Diarahkan Pada Guru.
Guru
adalah aspek terpenting dalam sebuah proses pendidikan. Tanpa guru proses
pendidikan tidak bias berjalan jadi guru adalah tokoh kunci bagi suatu
kurikulum. Kurikulum yang diarahkan pada kepentingan dan menjadikan guru
sebagai tokoh kunci menjadi syarat utama bagi keberlanjutan organisasi
sekolah.Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu mengakomodasi
semua kepentingan stakeholder dalam dunia pendidikan.Inilah pendidikan humanis
yang penulis tafsirkan sebagai kurikulum pendidikan yang diarahkan untuk
kepentingan semua komponen pendidikan, yang tidak hanya berorientasi pada humanisme
siswa tetapi juga pada para guru.
Berbagai
kasus pelecehan terhadap guru dalam berbagai sub pendidikan (sekolah) merupakan
contoh kecil dari kesalahan pemahaman terhadap arti kurikulum sebagai kerikulum
pendidikan humanis. Kurikulum pendidikan yang humanis akan menjadi humanis
manakala dalam konsep dan alur keberpihakannya tidak hanya diarahkan pada
kepentingan siswa sebagai manusia tetapi harus juga diarahkan pada guru sebagai
manusia yang harus dihargai dan dihormati. Kesalahan pemahaman terhadap konsep
berpikir para guru tradisional yang menjadikan siswa sebagai obyek pendidikan
yang harus mengikuti cetak biru yang diinginkan oleh guru menjadi sebab yang
determinan bagi penerapan konsep pendidikan humanis yang kebablasan.Guru yang
seharusnya dijadikan tokoh kunci menjadi tersubordinasi oleh kepentingan siswa
sebagai manusia yang dimanusiakan.Hal inilah yang menjadi sebab utama bagi
siswa melemahkan peran guru sebagai seorang yang digugu dan ditiru. Dunia
pendidikan di Negara-negara muslim telah termakan oleh hasutan Paulo Freud yang
mengatakan bahwa “guru memposisikan dirinya sebagai dewa suci, sesuci lembaga
sekolah itu sendiri, sering kelihatan sebagai seorang yang tak tersentuh baik
keilmuan maupun fisiknya (Paulo Freud: 2007:196).
Konsep
Freud terkait dengan guru akan sangat berbeda bila kita bandingkan dengan
konsep yang diterapkan didunia islam. Salah seorang tokoh dan ulam besar islam
al Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
Mengatakan bahwa antara guru dan murid harus memiliki akhlak, akhlak guru
adalah menghargai murid sebagai manusia yang perlu bimbingan dan arahan
sedangkan murid menghormati guru untuk memperoleh ilmu dan hikmah. Namun
demikian ada beberapa nilai positif yang patut di terapkan oleh guru dalam pendikan
humanis yaitu:
a. Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
b. Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d. Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e. Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
f. Di
dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
g. Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
h. Dia
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.
Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
j.
Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Guru
yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil,
menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan
wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan.
Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang
rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentsr
ysng menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan
yang ada. [4]
2.
Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
Pendapat
Freud tentang pendidikan humanis tidak selamanya benar dan juga sepenuhnya
salah. Namun kita harus melihat kapan kurikulum pendidikan yang bersifat
humanis ini akan diarahkan. Berdasarkan analisa penulis terhadap salah satu
bukunya yang berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan Dan
Kebebasan terlihat bahwa arus utama pemikirannya diarahkan pada
kritiknya terhadap prakek pendidikan yang dilakukan oleh gereja yang
tidak memberikan ruang yang representative bagi perkembangan pemikiran
keagamaan. Pola pendidikan yang bersifat doktrinasi oleh gereja ini mengundang
berbagai kritikan yang tidak hanya datang dari seorang Paulo Freud tetapi juga
berbagai tokoh-tokoh lain seperti Erich Fromm dalam
bukunya The Heart of Man.
Kebebasan
yang di usung dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas
nilai.Kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Ketika seorang guru menegur siswa
malah siswa mengejek dan mengolok-olok sang. Dan bahkan Yang tragisnya lagi
ketika para murid memukul gurunya itu pun dianggap sebagai kebebasan yang
wajar.Apakah pendidikan humanis yang seperti inikah yang diharapkan oleh bangsa
Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika ketimuran?
Hampir
semua buku yang pernah penulis baca, kecendrungan pemikirannya dewasa ini
mengarah pada kritiknya terhadap guru.Dan hampir tidak ada buku yang membahas
bagaimana seharusnya siswa berakhlak dan beretika terhadap gurunya kecuali
buku-buku yang berbau agama. Hal inilah yang menimbulkan ketimpangan yang luar
biasa jauhnya antara apa yang harus dilakukan oleh guru dan bagaimana
seharusnya siswa bersikap, sehingga wajah pendidikan menjadi carut marut tanpa
konsep dan arah yang jelas.
Pendidikan
humanis yang bagaimanakah yang menjadi solusi bagi bangsa Indonesia?Mari kita
mencari jawabannya secara bersama-sama.Kurikulum itu diberikan untuk membantu
menjadi apa.
Pendidikan
bertujuan untuk mengajar, memanusiakan, dan mengarahkan anak didik agar
mencapai akhir sempurna (A. Sudiarja dalam Muh. Yamin, 2010:155). Yang menjadi
pertanyaan adalah apakah pendidikan humanis yang di pelopor oleh “Barat”
mampu memenuhi tuntutan tersebut? Sedangkan menurut Yamin Pendidikan adalah
gambaran umum atas apa yang harus dijalankan, sedangkan kurikulum merupakan
wilayah konsep dan teknik yang sudah menjadi sebuah kontruksi sebuah praktek
pendidikan.
Kurikulum
pendidikan humanis adalah pola pedidikan yang menghargai murid sebagai manusia
yang bebas. Bebas dari campur tangan politik pemerintah, bebas dari kekangan
guru dan bebas segala-galanya. pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya
dia berpandangan pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan
pendidikan diluar sekolah tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.
Setiap
kurikulum pasti memiliki tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang
akan dicapai. Kurikulum pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses
pembelajaran menjadikan siswa dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas.
Bebas menentukan dan bebas melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran,
dan mimbar kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa
dalam pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang
tidak mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas.Dan siswa diharapkan
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku. [5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kematangan
keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju
personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas
dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak
kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian,
pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk
diterapkan.
Plato adalah
seorang filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan “Tujuan
pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu pendidikan dan
politik tidak bisa dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai masyarakat adil
dan makmur ialah melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah cita – cita ideal
sebuah bangsa, tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah simbolisasi dan dominasi
filsafat dari sebuah bangsa tersebut.
Kurikulum
sebagai sebuah rencana, proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan
stakeholder dalam hal ini yang akan dibahas adalah guru dan siswa.
1. Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Guru.
2. Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
B.
Saran
Dengan
mengucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan selesainya makalah
ini dan saya meminta kepada teman-teman agar memberikan masukan dan kritikan
dalam makalah ini agar menambah wawasan saya sebagai pemakalah.
DAFTAR
PUSTAKA
Riyanto,
Theo., Pembelajaran sebagai Proses
Pembimbingan Pribadi. Grasindo, 2002
Suwariyanto,
Theodorus, MA., 1998, The Educational
Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in
Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
Ronald C. Doll dari (Kamus Webster 1955) Pengertian Kurikulum Secara Epistomologi dan
Secara Terminologi.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya
Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
Handoko,
Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora
Pada Milenium ke III
[2]Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and
Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la
Salle University.
[3]
(Ronald C. Doll) dari
(Kamus Webster 1955) Pengertian
Kurikulum Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.
[4]
Imam Ghazali dalam bukunya
Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
EmoticonEmoticon