Senin, 06 Oktober 2014

Strategi dalam Menyukseskan Implementasi Pendidikan Karakter

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.
Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.

B.     Rumusan Masalah

1.      Ciri-Ciri Pendidikan Karakter
2.      Pendidikan Akhlak
3.      Kurikulum Humanis












BAB II
PEMBAHASAN

A.     Ciri-Ciri Pendidikan Karakter

Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi.Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini, lanjut, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.[1]
B.      Pendidikan Akhlak
Plato adalah seorang filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan “Tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu pendidikan dan politik tidak bisa dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur ialah melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah cita – cita ideal sebuah bangsa, tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah simbolisasi dan dominasi filsafat dari sebuah bangsa tersebut.
Realitas yang seringkali tersaji di hadapan mata, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian, pembunuhan dan lainnya layaknya sebuah rutinitas keseharian, yang justru dilakukan oleh mereka yang masih berstatus sebagai pelajar.Kalau sudah demikian, lantas apa kabarnya sejumlah silabus dan materi pengajaran yang diajarkan kepada pelajar kita itu, ketika semua yang terjadi adalah kontra produktif dengan apa yang diajarkan kepada mereka.
Seorang pelajar, dari mulai tingkat dasar sampai lanjutan atas tentu mendapatkan sejumlah ajaran saat mengikuti aktivitas pendidikannya di kelas atau sekolah.Sejatinya seorang murid adalah seorang yang terpelajar atau setidaknya sedang di didik untuk menjadi insan terpelajar. Mereka mendapatkan sejumlah pengajaran, mulai dari ilmu pengetahuan, kepribadian, sampai ajaran tentang norma susila dan moralitas.Namun dikemanakan semua ajaran itu saat realitas menunjukkan sebaliknya.Ia didik untuk saling tenggang rasa dan sayang menyanyangi antar sesama, namun yang dipraktekkan adalah saling menyakiti dan menciderai satu sama lain lewat tawuran atau tindak kekerasan lainnya. Pelajar mendapatkan ilmu tentang norma, moralitas dan etika-etika agama. Namun yang terjadi, ada pelajar yang tega memperkosa teman sekelasnya.Bahkan saat ini marak perilaku amoral yang dilakukan oleh para penerus bangsa itu melalui perbuatan asusila dalam binkai pergaulan/seks bebas.
Dari sekian banyak kejadian yang merubah sifat pelajar masa kini kita dapat tinjau kembali hakekat keberadaan kita sebagai agent of chance (agen perubahan) termasuk di dalamnya perihal moralitas, sehingga anak didik kita memiliki “kebanggaan” terhadap gurunya.Mengaktifkan anak didik kita dalam kegiatan keagamaan di sekolah dengan memberikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.Khusus untuk kita sendiri sebagai pendidik, sudah selayaknyalah kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti sebagai integrasi dari nilai-nilai agama itu sendiri.Karena selama ini, kita melihat sebuah fakta, bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita. [2]
C.     Kurikulum humanis.
Kurikulum itu untuk siapa?Kurikulum secara etimologis berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan (Kamus Webster 1955).Sedangkan secara terminologis kurikulum adalah keseluruhan pengalaman yang ditawarkan kepada anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah (Ronald C. Doll).Berdasarkan dari rumusan pengertian diatas baik secara etimologis maupun secara terminologis menunjukan bahwa dalam kurikulum terdapat tiga konsep utama yaitu rencana, proses dan tujuan.Pertama rencana. Rencana adalah upaya pengorganisasian berbagai stakeholder untuk melakukan proses. Kedua, Proses mengacu pada usaha sadar seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Sedangkan yang ketiga tujuan yaitu road of finish yang ingin dicapai setelah mengikuti proses.
Kurikulum sebagai sebuah rencana, proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan stakeholder dalam hal ini yang akan dibahas adalah guru dan siswa.[3]
1.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Guru.
Guru adalah aspek terpenting dalam sebuah proses pendidikan. Tanpa guru proses pendidikan tidak bias berjalan jadi guru adalah tokoh kunci bagi suatu kurikulum. Kurikulum yang diarahkan pada kepentingan dan menjadikan guru sebagai tokoh kunci menjadi syarat utama bagi keberlanjutan organisasi sekolah.Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan stakeholder dalam dunia pendidikan.Inilah pendidikan humanis yang penulis tafsirkan sebagai kurikulum pendidikan yang diarahkan untuk kepentingan semua komponen pendidikan, yang tidak hanya berorientasi pada humanisme siswa tetapi juga pada para guru.
Berbagai kasus pelecehan terhadap guru dalam berbagai sub pendidikan (sekolah) merupakan contoh kecil dari kesalahan pemahaman terhadap arti kurikulum sebagai kerikulum pendidikan humanis. Kurikulum pendidikan yang humanis akan menjadi humanis manakala dalam konsep dan alur keberpihakannya tidak hanya diarahkan pada kepentingan siswa sebagai manusia tetapi harus juga diarahkan pada guru sebagai manusia yang harus dihargai dan dihormati. Kesalahan pemahaman terhadap konsep berpikir para guru tradisional yang menjadikan siswa sebagai obyek pendidikan yang harus mengikuti cetak biru yang diinginkan oleh guru menjadi sebab yang determinan bagi penerapan konsep pendidikan humanis yang kebablasan.Guru yang seharusnya dijadikan tokoh kunci menjadi tersubordinasi oleh kepentingan siswa sebagai manusia yang dimanusiakan.Hal inilah yang menjadi sebab utama bagi siswa melemahkan peran guru sebagai seorang yang digugu dan ditiru. Dunia pendidikan di Negara-negara muslim telah termakan oleh hasutan Paulo Freud yang mengatakan bahwa “guru memposisikan dirinya sebagai dewa suci, sesuci lembaga sekolah itu sendiri, sering kelihatan sebagai seorang yang tak tersentuh baik keilmuan maupun fisiknya (Paulo Freud: 2007:196).
Konsep Freud terkait dengan guru akan sangat berbeda bila kita bandingkan dengan konsep yang diterapkan didunia islam. Salah seorang tokoh dan ulam besar islam al Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama. Mengatakan bahwa antara guru dan murid harus memiliki akhlak, akhlak guru adalah menghargai murid sebagai manusia yang perlu bimbingan  dan arahan sedangkan murid menghormati guru untuk memperoleh ilmu dan hikmah. Namun demikian ada beberapa nilai positif yang patut di terapkan oleh guru dalam pendikan humanis yaitu:
a.       Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.       Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.       Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.       Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
g.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
h.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.        Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j.        Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada. [4]
2.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
Pendapat Freud tentang pendidikan humanis tidak selamanya benar dan juga sepenuhnya salah. Namun kita harus melihat kapan kurikulum pendidikan yang bersifat humanis ini akan diarahkan. Berdasarkan analisa penulis terhadap salah satu bukunya yang berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan Dan Kebebasan terlihat bahwa arus utama pemikirannya diarahkan pada kritiknya terhadap prakek pendidikan yang dilakukan oleh gereja yang tidak memberikan ruang yang representative bagi perkembangan pemikiran keagamaan. Pola pendidikan yang bersifat doktrinasi oleh gereja ini mengundang berbagai kritikan yang tidak hanya datang dari seorang Paulo Freud tetapi juga berbagai tokoh-tokoh lain seperti Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man.
Kebebasan yang di usung dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai.Kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Ketika seorang guru menegur siswa malah siswa mengejek dan mengolok-olok sang. Dan bahkan Yang tragisnya lagi ketika para murid memukul gurunya itu pun dianggap sebagai kebebasan yang wajar.Apakah pendidikan humanis yang seperti inikah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika ketimuran?
Hampir semua buku yang pernah penulis baca, kecendrungan pemikirannya dewasa ini mengarah pada kritiknya terhadap guru.Dan hampir tidak ada buku yang membahas bagaimana seharusnya siswa berakhlak dan beretika terhadap gurunya kecuali buku-buku yang berbau agama. Hal inilah yang menimbulkan ketimpangan yang luar biasa jauhnya antara apa yang harus dilakukan oleh guru dan bagaimana seharusnya siswa bersikap, sehingga wajah pendidikan menjadi carut marut tanpa konsep dan arah yang jelas.
Pendidikan humanis yang bagaimanakah yang menjadi solusi bagi bangsa Indonesia?Mari kita mencari jawabannya secara bersama-sama.Kurikulum itu diberikan untuk membantu menjadi apa.
Pendidikan bertujuan untuk mengajar, memanusiakan, dan mengarahkan anak didik agar mencapai akhir sempurna (A. Sudiarja dalam Muh. Yamin, 2010:155). Yang menjadi pertanyaan adalah  apakah pendidikan humanis yang di pelopor oleh “Barat” mampu memenuhi tuntutan tersebut? Sedangkan menurut Yamin Pendidikan adalah gambaran umum atas apa yang harus dijalankan, sedangkan kurikulum merupakan wilayah konsep dan teknik yang sudah menjadi sebuah kontruksi sebuah praktek pendidikan.
Kurikulum pendidikan humanis adalah pola pedidikan yang menghargai murid sebagai manusia yang bebas. Bebas dari campur tangan politik pemerintah, bebas dari kekangan guru dan bebas segala-galanya. pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya dia berpandangan pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan pendidikan diluar sekolah tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.
Setiap kurikulum pasti memiliki tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang akan dicapai. Kurikulum pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses pembelajaran menjadikan siswa dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas. Bebas menentukan dan bebas melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran, dan mimbar kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa dalam pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang tidak mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas.Dan siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku. [5]



BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Kematangan keempat karakter ini, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
Plato adalah seorang filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan “Tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu pendidikan dan politik tidak bisa dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur ialah melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah cita – cita ideal sebuah bangsa, tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah simbolisasi dan dominasi filsafat dari sebuah bangsa tersebut.
Kurikulum sebagai sebuah rencana, proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan stakeholder dalam hal ini yang akan dibahas adalah guru dan siswa.
1.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Guru.
2.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
B.     Saran
Dengan mengucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan selesainya makalah ini dan saya meminta kepada teman-teman agar memberikan masukan dan kritikan dalam makalah ini agar menambah wawasan saya sebagai pemakalah.



DAFTAR PUSTAKA
Riyanto, Theo., Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi. Grasindo, 2002
Suwariyanto, Theodorus, MA., 1998, The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
 Ronald C. Doll dari (Kamus Webster 1955)  Pengertian Kurikulum Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada Milenium ke III



[1] Riyanto, Theo., Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi. (Grasindo, 2002).

[2]Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
[3] (Ronald C. Doll) dari (Kamus Webster 1955)  Pengertian Kurikulum Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.
[4] Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
[5]Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada Milenium ke III.


EmoticonEmoticon