Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Multikultural

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan generasi muda. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut pendidikan harus mulai dari hal- hal yang dimiliki atau dari apa yang sudah diketahui. Apa yang sudah dimiliki dan apa yang sudah diketahui itu adalah apa yang terdapat pada lingkungan terdekat peserta didik terutama yang berkaitan dengan lingkungan budaya.
Pada pertengahan abad ke-20 Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa pendidikan harus berakar pada kebudayaan yaitu “dalam garis-garis adab kemanusiaan seperti terkandung dalam pelajaran agama, maka pendidikan dan pengajaran nasional bersendi kepada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat“ Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan harus berakar pada budaya peserta didik dan harus mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dalam lingkungan budaya tersebut.[1]
Dewasa ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa di dunia ini yang memiliki nilai dan budaya yang homogen. Indonesia sebagai salah satu negara besar di kawasan Asia Tenggara memiliki keragaman budaya yang kompleks. Motto “Bhineka Tunggal Ika” yang tercantum dalam lambang negara kita sangat tepat dalam menggambarkan realita yang ada di negara kita. Data secara antropologis menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang memiliki keragaman sosial dan budaya. Kelompok-kolompok budaya besar seperti Aceh, Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis-Makasar, Ambon, Papua dan lain-lain adalah contoh dari keberagaman tersebut. Belum lagi kelompok-kelompok budaya yang relatif lebih kecil dibanding dengan kelompok pendukung kebudayaan sebelumnya.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.
Ada begitu banyak kejadian konflik yang terjadi dimana-mana terlebih dalam lembaga-lembaga keagamaan karena tidaka menghidupi pendidikan multicultural dengan baik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik social kekerasan semakin sulit daatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya. Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan dalam masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik sepertii yang ada dalam pendidikan multicultural.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Multikultural dan Plural
Secara sederhana multikulturalisme berarti “keberagaman budaya”. sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara bergantian untukmenggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut –baik keberagamanagama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas (plurality), keragaman(diversity), dan multikultural (multicultural). Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidakmerepresentasikan hal yang sama, walaupun semuanya mengacu kepada adanya “ketidaktunggalan”.
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal yang lebih darisatu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang ’lebih dari satu’ ituberbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat disamakan.Dibandingkan dua konsepterdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif baru.Secara konseptual terdapatperbedaan signifikan antara pluralitas, keragaman, dan multikultural. Inti darimultikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagaikesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.[2]
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih darisatu), multikulturalisme memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itumereka adalah sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme menjadi semacam responskebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yangberbeda saja tidak cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itudiperlakukan sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuahgerakan menuntut pengakuan (politics of recognition)[3] terhadap semua perbedaan sebagaientitas dalam masyarakat yang harus diterima, dihargai, dilindungi serta dijamineksisitensinya
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa banyak hal, termasukperbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun kelompok dan yangdikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common sense.Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga hal yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity), yaitu individu atausekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan kebiasaan yang berbedadengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival diversity), yaitu individu atau kelompokdengan perpektif kritis terhadap mainstream nilai atau budaya mapan yang dianut olehmayoritas masyarakat di sekitarnya. Ketiga, perbedaan komunalitas (communaldiversity), yakni individu atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuinesesuai dengan identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh, baru sekitar 1970-anmultikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan Australia, kemudian di AmerikaSerikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah itu, diskursus multikulturalismeberkembang dengan sangat cepat.Setelah tiga dekade sejak digulirkan, multikulturalismesudah mengalami dua gelombang penting yaitu, pertama multikulturalisme dalamkonteks perjuangan pengakuan budaya yang berbeda.Prinsip kebutuhan terhadappengakuan (needs of recognition) adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yangmengalami beberapa tahapan, diantaranya:[4]kebutuhan atas pengakuan, melibatkanberbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan imperialisme dan kolonialisme,gerakan pembebasan kelompok identitas dan masyarakat asli/masyarakat adat(indigeneous people), post-kolonialisme, globalisasi, post-nasionalisme, post-modenismedan post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut Steve Fuller pada gilirannyamemunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan sekaligus harus diwaspadai, yaitu,pertama adanya hegemoni barat dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu.pengetahuan. Komunitas, utamanya negara-negara berkembang, perlu mempelajarisebab-sebab dari hegemoni barat dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkahlangkahseperlunya mengatasinya, sehingga dapat sejajar dengan dunia barat.  Kedua,esensialisasi budaya.Dalam hal ini multikulturalisme berupaya mencari esensi budayatanpa harus jatuh ke dalam pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme.Multikulturalisme dapat melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnyamerugikan komunitas itu sendiri di dalam era globalisasi.Ketiga, proses globalisasi,bahwa globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan dalam diskursus tentangmultikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga asumsi mendasar yang harusdiperhatikan dalam kajian ini, yaitu pertama, pada dasarnya manusia akan terikat denganstruktur dan sistem budayanya sendiri dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan initidak berarti bahwa manusia tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut,akan tetapi mereka dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatuberdasarkan budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi darisistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh karena itu, suatubudaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial dan memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun yang berhak memaksakanbudayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada dasarnya, budaya secara internalmerupakan entitas yang plural yang merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi danuntaian cara pandang. Hal ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Multicultural berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinana konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. “multukultural” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan pemerintah terhadap realitas keagamaan, pluralitas dan multicultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.[5]
B.     Perspektif tentang Pendidikan Multikultural dan Pluralis
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.[6] 
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia. 
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai "pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan". 
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.[7]
Selanjutnya James Banks, salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement). Banks (1993) menyatakan bahwa evolusi pendidikan multikultural terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1)      upaya untuk menyatukan kajian-kajian etnik pada kurikulum;
2)      hal ini diikuti oleh pendidikan multi-etnik sebagai usaha untuk menciptakan persamaan hak pendidikan;
3)      kelompok marginal, seperti perempuan, penyandang cacat, dan lain sebagainya mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan; dan
4)      perkembangan peradaban budaya menuntut perhatian pada relasi antar-ras, antar-etnik, antar-kultur, dan antar-kelas.[8]
Mengenai fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[9]
Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain;
Pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok. 
Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indifference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah, lembaga kemasyarakatan dan sekolah.[10] pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
Pendidikan Multikultural merupakan satu pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran yang didasari pada nilai-nilai demokratis yang menguatkan pluralisme kultural dalam lingkungan masyarakat yang secara kultural berbeda namun berada dalam satu dunia yang saling membutuhkan satu sama lain. Setidaknya sekarang ini ada dua sudut pandang atau perspektif tentang pendidikan multikultural di Amerika Serikat, yakni perspektif asimilasi atau “melting-pot” dan perspektif pluralisme atau “global”. Perspektif asimilasi pendidikan multikultural  adalah bahwa mikrokultur harus menyampingkan kultur atau kebudayaan dan identitas asli mereka agar supaya menyatu atau menjadi terserap ke dalam kultur atau kebudayaan utama Anglo-Eropa Barat. Sedangkan perspektif global adalah bahwa mikrokultur dapat mempertahankan banyak tradisi-tradisi mereka seperti bahasa, agama, dan kebiasaan sosial selagi mengadopsi banyak aspek kultur utama Anglo-Eropa Barat.[11]
Perspektif global dari pendidikan multikultural menganggap pluralisme kebudayaan sebagai sebuah pernyataan ideal dan sehat di lingkungan masyarakat yang produktif dan mengangkat isu persamaan dan menghargai kelompok-kelompok kebudayaan yang telah ada. Prinsip ini memungkinkan perspektif global dari pendidikan multikultural untuk berkembang di luar ilmu pedagogi yang sama sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang telah diciptakan dari perspektif asimilasi. Dengan semakin cepatnya perkembangan hubungan antar semua negara, secara khusus seperti apa yang terjadi sekarang ini, ketika kita menghadapi isu-isu global berkaitan dengan permasalahan ekosistem, senjata nuklir, terorisme, hak-hak asasi manusia, dan sumber daya nasional yang langka, maka institusi-institusi pendidikan tinggi perlu untuk menerapkan perspektif global dalam pendidikan multikultural jika mereka ingin mempertahankan model masyarakat demokratis dalam satu dunia yang pluralistik dan tetap kompetitif secara akademis dalam kaitannya dengan dunia lainnya. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perspektif glogal dalam pendidikan multikultural dan bagaimana institusi-institusi pendidikan tinggi dapat menggunakannya untuk mempertahankan model kegemilangan akademis dalam masyarakat yang pluralistik dan demokratis.
Memperbincangkan diskursus pemikiran pendidikan selalu menarik perhatian bagi semua kalangan, utamanya para stakeholders pedidikan. Sebab, tema dan pendekatan yang dilakukan sangat beragam.Salah satunya adalah pendidikan dengan multikulturalisme, yang melahirkan konsep pendidikan multikultural. Choirul Mahfud, menjelaskan bahwa, Wacana pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk merespons fenomena konflik etnis, sosial, budaya yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat yang berwajah multikultural. Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya.Beberapa kasus yang pernah terjadi di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan SARA tersebut.Maka menjadi keharusan untuk memikirkan upaya pemecahanya, dalam hal ini adalah kalangan pendidikan.Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat.Minimal pendidikan harus mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula pendidikan mampu memberikan tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi, metode hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras etnis dan budaya masyarakat Indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial budaya dan multikulturalisme.Jelas bahwa menurut A. Fuad Fanani, unsur utama dalam pendidikan multikultural adalah penempatan posisi siswa sebagai subjek yang bersifat sejajar.[12]Tidak ada superioritas satu komponen kultural seorang siswa terhadap siswa lainnya.Maka pendidikan multikultural ini dapat melatih dan membangun karakter siswa mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan mereka.Pendidikan multikultural memiliki posisi strategis dalam memberikan sumbangsih terhadap penciptaan perdamaian dan upaya penanggulangan konflik.Sebab nilai-nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan pembumian nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial.2 Dari realitas di atas, maka sudah selayaknya wawasan multikulturalsisme dibumikan dalam dunia pendidikan kita.Wawasan multikulturalisme sangat penting utamanya dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan semangat kemerdekaan RI 1945 sebagai tonggak sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, Indonesia tidak akan memiliki pretensi untuk kembali pada teori melting pot atau salad bowl. Indonesia, sebagaimana dikuatkan oleh para ahli yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan multi etnik, justru menjadikan multikulturalisme sebagai common platform dalam mendesign pembelajaran yang berbasis bhineka tunggal ika, bahkan nilai-nilai tersebut diupayakan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama.
Di dalam makalah ini, hendak menjelaskan bagaimana konsep pendidikan multikultural dalam mengembangkan kurikulum “Multikultural” di sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Dengan tujuan untuk memberikan sebuah eksposisi terhadap konsep pendidikan multikultural di Indonesia, sehingga menjadi kontribusi dalam usaha mentransformasikan nilai dan karakter budaya lokal yang berwawasan nasionalisme. Konsep Pendidikan Multikultural Sebagai sebuah wacana baru pengertian pendidikan multikultural sesungguhnya belum begitu jelas dan masih diperdebatkan oleh para pakar pendidikan. Namun bukan berarti definisi pendidikan multikultural tidak ada atau tidak jelas. Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multukiultural tersebut  berkonotasi pendidikan tentang keragaman budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya.[13]
Pendapat Kamanto Sunarto, “Pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarkat, dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar menghargai keragaman budaya masyarakat”. Sementara itu, Calarry Sada dengan mengutip tulisan Sleeter dan Grant, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural memiliki empat makna (model), yakni,
1)      pengajaran tentang keragaman budaya sebuah pendekatan asimilasi kultural,
2)      pengajaran tentang berbagai pendekatan dalam tata hubungan sosial,
3)      pengajaran untuk memajukan pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat, dan
4)       pengajaran tentang refleksi keragaman untuk meningkatkan pluralisme dan kesamaan.
Apapun definisi pendidikan multikultural yang kemukakan di atas, kenyataan bangsa Indonesia terdiri dari banyak etnik, dengan keragaman budaya, agama, ras dan bahasa. Indonesia memiliki falsafah berbeda suku, etnik, bahasa, agama dan budaya, tapi memiliki satu tujuan, yakni terwujudnya bangsa Indonesia yang kuat, kokoh, memiliki identitas yang kuat, dihargai oleh bangsa lain, sehingga tercapai cita-cita ideal dari pendiri bangsa sebagai bangsa yang maju, adil, makmur dan sejahtera.
Untuk itu, seluruh komponen bangsa tanpa membedakan etnik, ras, agama dan budaya, seluruhnya harus bersatu pada, membangun kekuatan di seluruh sektor, sehingga tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri bangsa yang tinggi dan dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam konteks ini pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.[14]
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indifernece” dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur sosial tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainnya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies’ untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Dengan demikian, pendidikan multikulral dalam konteks ini akan diartikan sebagai sebuah proses pendidikan yang memberi peluang sama pada seluruh anak bangsa tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama, yang memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas nasional dan citra bangsa di mata dunia international. Inilah berbagai materi yang senantiasa diperhatikan dalam pembinaan bangsa agar tetap kuat dan terus berkembang, bahkan seluruh budaya diberi kesempatan untuk membina dan mengembangkannya. Nilai dan norma di atas ditranformasikan dan dikembangkan pada siswa-siswa sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Agama yang di dalamnya juga termasuk civic education, dan bahkan kini akan dikembangkan sebuah gagasan yang sangat strategis, pendidikan untuk karakter bangsa.
Pengembangan Kurikulum “Multikultural” Di Sekolah Multikultural” Indonesia sebagai negara majemuk baik dalam segi agama, suku bangsa, golongan maupun budaya lokal perlu menyusun konsep pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas nasional, Mata Pelajaran kewarganegaraan yang telah diajarkan di SD hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah kedalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia.
Dengan demikian, pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Menurut Hamid Hasan, bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial, budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang
memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai proses maupun sebagai hasil. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat prinsip.Pertama, keragaman budaya menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua, keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi dasar sebagaimana telah terpapar di atas.
Kemudian, juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan, kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun norma sosial kemasyarakatan. Pendidikan multikultur melalui pendidikan kewarganegaran dan Pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif, dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan, pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada, mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama, bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan multikultur harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan menggunakan portofolio siswa.
Sesuai dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi dasar sebagai berikut:[15]
1.      Menjadi warga negara yang menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam struktur masyarakatny.
2.      Menjadi waraga negara yang bisa melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi religi dalam konteks pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa.
3.      Menjadi warga negara yang mampu menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi, politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya mereka.
4.      Menjadi warga negara yang memberi peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. 5. Menjadi warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama, bahasa dan budaya mereka.
Dengan kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka pembelajaran multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang memiliki sikap dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran antar semua anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan bangsa, bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap adil dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.
Sejalan dengan konsepsi ini, Jhon Dewey merekomendasikan tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah kurikulum.“Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik.Kedua, hakikat dan kebutuhan masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”.
Dengan demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam sebuah design pengembangan kurikulum yang integratif, sekwentif dan didukung dengan lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur. Pendidikan multikultur, secara substantif harus bisa menjadi bagian integral dalam mata pelajaran Pendidikan Kewargnegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama sebagai pendidikan nilai.[16] Tema-tema multikultur harus disajikan dalam skope yang komprehensif sebagai upaya pencapaian berbagai kompetensi yang telah disepakati dan ditetapkan.D.Kesimpulan Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia pendidikan dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan multikultural menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budaya. Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar mereka tidak tercabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya ketika berhadapan dengan realitas sosial budaya di era globalisasi. Oleh karena itu, sebagai landasan pengembangan kurikulum pendidikan nasional dalam melaksanakan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar atau memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, maka pendidikan melalui landasan kurikulum multikultural menjadi sangat penting. Dengan demikian, pendidikan multikultural ini bisa dimasukkan secara integral dalam semua mata pelajaran.Walaupun dalam format kurikulum nasional belum menjadi suatu mata pelajaran yang mandiri (berdiri sendiri), tetapi bersifat integratif dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama.
C.    Implikasi Pendidikan Mutikultural Dan Plural
Strategi pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;
1.      Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah.
Guru sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa yang beragama berbeda. Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis.
Guru dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.[17]
2.      Menghargai keragaman bahasa di sekolah
Dalam suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah, namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa, baik lisan maupun tulisan.
Sekolah perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa ”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya wawasan.
3.      Membangun sikap sensitif gender di sekolah
”Dasar perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi konsumsi cewek, …”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.
Pembagian tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi, atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.[18]
4.      Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan social
Pelayanan pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing.
Sikap empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja. Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan. Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun yang menjadi obyek empati
5.      Membangun sikap antideskriminasi etnis
Sekolah bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam (kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan lho”.
Tanamkan dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi yang positif.[19]



6.      Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing. Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap, ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.[20]
7.      Menghargai Perbedaan Umur
Setiap individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai (misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi, memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan membantu yang lebih tua.
Menyikapi kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru, sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.
Rohidi (2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor pendidikan dengan pendekatan multikulural.[21]
D.    Kekurangan,  Kelebihan Dan Solusi Pendidikan Multikultural Dan Plural
1.      Kelebihan Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a)      Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
b)      Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
c)       Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
d)     Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya.
e)      Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.[22]
2.      Kekurangan Pendidikan Multikultural dan Solusinya
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a)      Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural.
b)      Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu.
H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, meng\hargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.[23]
a.       Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
b.      Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
c.        Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep.
Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.






BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan multikulturalisme merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang menghargai pluralitas.
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat keanekaragaman Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama. Keanekaragaman tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan baik.   
Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seharusnya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
Adapun implikasi dari pendidikan multikultural di sekolah adalah :
1)      Membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah
2)      Menghargai keragaman bahasa di sekolah
3)      Membangun sikap sensitif gender di sekolah
4)      Membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan social
5)      Membangun sikap anti-deskriminasi etnis
6)      Menghargai perbedaan kemampuan
7)      Menghargai perbedaan umum
B.     Saran
Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.



DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Identitas Dan Kritis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia, (Jakarta: 2007).

A. Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004).
A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998)
Banks, J, Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and

Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009).

Hamid Hasan S., Multikulturalisme Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Jurnal Pendidikan danKebudayaan,  (oktober, 2000).

Practice. Review of Research in Education. 1993 http://0097.blogspot-banks.co.di.htlm  kamis, 29 maret 2012. 20:12
Nur, Achmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman, Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
Maslikhah, quo vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007)

Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008,

 Paulo,Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1984).
Tilaar, H.A.R, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002).

Tilaar , H.A.R., Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002).





Pemikiran – Pemikiran Yang disampaikan oleh Bapak Dr. Muhamad Idris M.Pdi  selama perkuliahan SPPI II berlangsung.
Ø  Apa  yang dimaksud dengan Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam ?
Yaitu Upaya bersungguh untuk memaksimalkan proses berpikir/akal, hati dan qalbu. Untuk melihar bewrbagai persoalan dan diselesaikan secara bijaksana guna membangun budaya yang lebih beradab.
Ø  Apa kegunaan belajar Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam ?
Kegunaannya yaitu untuk membangun budaya berpikir ilmiah, dinamis, inovatif dan kritis seputar dunia pendidikan.
Ø  Adapun peta Konsep Fitrah pada manusia yang telah di jelaskan oleh bapak, yang akhirnya di ikuti oleh seluruh mahasiswa yang di didiknya.
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).  Sejak lahir manusia sudah di anugrahi potensi-potensi yaitu Akal, Qalbu, dan Nafsu. Manusia pada dasarnya bisa di didik karena manusia memiliki potensi yang harus diarahkan agar dapat berkembang. Tujuan manusia dilahirkan ke dunia yaitu untuk tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT, manusia diciptakan untuk menjadi khalifah pemimpin dirinya sendiri juga kepada masyarakat. Fitrah itu suci tapi tidak kosong karena setiap manusia di anugrahi potensi oleh Tuhan yang dapaty bernilai jika digunakan dengan sebaik-baiknya.
Manusia dianugrahi bermacam-macam fitrah yakni fitrah agama, intelek, sosial, seni, kemerdekaan, ingin mengembangkan keturunan dan cintah tanah air. Dimana jika kita mampu mereliasasikan fitrah yang telah telah diberikan Tuhan maka dengan sendirinya kita akan menjadi manusia yang bertanggung jawab bukan hanya jawab tetapi tidak mau menanggung. Karena jika kita hanya mau menjawab tetapi tidak mau menaggung itu namanya orang yang tidak amanah dalam melakukan sesuatu.
Ø  Kebenaran yaitu datangya di Allah SWT dan kesalahan semua datang dari diri manusia.
Ø  Tugas-tugas itu jangan dijadikan sebagai masalah, jangan pernah kita memusuhi tugas, karena tugas yang memotivasikan kita untuk bergerak sehingga tugas harus dipahami. Karena jika kita tidak memahami tugas tersbut maka kitadengan sendirinya akan lalai.




[2] Achmad, Nur (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001). h 43

[3]Politics of recognition dikemukan oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka diPrincenton University. Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di kajianlain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh padangan Jean-Jacques Rousseaudalam Discourse Inequality dan kesamaanmartabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskanImmanuel Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat dan martabatmanusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karenaitu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elementsosial-budaya, termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy Gutman.Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton: Princenton University Press, 1994), http://amygutman-politics-of-recognition-charles-taylor-1992.htm 29 Maret 2012 Pkl. 21.45

[4] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002), h. 83
[5] Azyumardi Azra,”identitas dan kritis budaya, membangun multikulturalisme indonesia” 2007
[7] Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1984). h. 68
[8] Banks, J, Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education. 1993 http://0097.blogspot-banks.co.di.htlm  kamis, 29 maret 2012. 20:12
[9] H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002. H 55

[10] Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008, hal. 8
[12]Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h. 4
[13]A. Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004), h. 16.
[14] Maslikhah, quo vadis Pendidikan Multikultur, (Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007) h.47
[15]S. Hamid Hasan, Multikulturalisme Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Jurnal Pendidikan danKebudayaan,  (oktober, 2000).
[16]A. Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998), hlm. 68
[17] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006) h.75
[18] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006) h.76-77

[19] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006) h.78-79

[20] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006) h.79-80

[21] Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta:Pustaka pelajar, 2006)  h.81

[22] H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002. H 78

[23] Tilaar, H.A.R.  Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo. 2004)http://andiplampang.wordpress.com/2010/12/09tantangan-pendekatan-pendidikan-multikultural.htlm
 [1 maret 2012]


EmoticonEmoticon