BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pada dasarnya pendidikan adalah suatu usaha sadar manusia mempersiapkan
generasi muda. Dalam mempersiapkan generasi muda tersebut pendidikan harus
mulai dari hal- hal yang dimiliki atau dari apa yang sudah diketahui. Apa yang
sudah dimiliki dan apa yang sudah diketahui itu adalah apa yang terdapat pada
lingkungan terdekat peserta didik terutama yang berkaitan dengan lingkungan
budaya.
Pada pertengahan abad ke-20 Ki Hajar Dewantara mengemukakan bahwa
pendidikan harus berakar pada kebudayaan yaitu “dalam garis-garis adab
kemanusiaan seperti terkandung dalam pelajaran agama, maka pendidikan dan
pengajaran nasional bersendi kepada agama dan kebudayaan bangsa serta menuju ke
arah keselamatan dan kebahagiaan masyarakat“ Pendapat ini juga sejalan dengan
pendapat Dewey yang mengatakan bahwa pendidikan harus berakar pada budaya
peserta didik dan harus mempersiapkan peserta didik untuk dapat hidup dalam
lingkungan budaya tersebut.[1]
Dewasa ini dapat dikatakan bahwa tidak ada bangsa di dunia ini yang
memiliki nilai dan budaya yang homogen. Indonesia sebagai salah satu negara
besar di kawasan Asia Tenggara memiliki keragaman budaya yang kompleks. Motto
“Bhineka Tunggal Ika” yang tercantum dalam lambang negara kita sangat tepat
dalam menggambarkan realita yang ada di negara kita. Data secara antropologis
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa yang memiliki
keragaman sosial dan budaya. Kelompok-kolompok budaya besar seperti Aceh,
Batak, Minangkabau, Dayak, Jawa, Bugis-Makasar, Ambon, Papua dan lain-lain
adalah contoh dari keberagaman tersebut. Belum lagi kelompok-kelompok budaya
yang relatif lebih kecil dibanding dengan kelompok pendukung kebudayaan
sebelumnya.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa
negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan
lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut
sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas
"multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk
merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat
menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan
budaya tersebut.
Ada begitu banyak kejadian konflik yang terjadi dimana-mana terlebih
dalam lembaga-lembaga keagamaan karena tidaka menghidupi pendidikan
multicultural dengan baik. Hal ini membuat konflik mempunyai akar dalam
keyakinan keagamaan yang fundamental sehingga konflik social kekerasan semakin
sulit daatasi, karena dipahami sebagai bagian dari panggilan agamanya.
Berkaitan dengan hal ini, maka penting bagi institusi pendidikan dalam
masyarakat yang multikultur untuk mengajarkan perdamaian dan resolusi konflik
sepertii yang ada dalam pendidikan multicultural.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Multikultural dan Plural
Secara sederhana multikulturalisme berarti
“keberagaman budaya”. sebenarnya, ada tiga istilah yang kerap digunakan secara
bergantian untukmenggambarkan masyarakat yang terdiri keberagaman tersebut
–baik keberagamanagama, ras, bahasa, dan budaya yang berbeda- yaitu pluralitas
(plurality), keragaman(diversity), dan multikultural (multicultural).
Ketiga ekspresi itu sesungguhnya tidakmerepresentasikan hal yang sama, walaupun
semuanya mengacu kepada adanya “ketidaktunggalan”.
Konsep pluralitas mengandaikan adanya ’hal-hal
yang lebih darisatu’ (many); keragaman menunjukkan bahwa keberadaan yang
’lebih dari satu’ ituberbeda-beda, heterogen, dan bahkan tak dapat
disamakan.Dibandingkan dua konsepterdahulu, multikulturalisme sebenarnya relatif
baru.Secara konseptual terdapatperbedaan signifikan antara pluralitas,
keragaman, dan multikultural. Inti darimultikulturalisme adalah kesediaan
menerima kelompok lain secara sama sebagaikesatuan, tanpa memperdulikan
perbedaan budaya, etnik, jender, bahasa, ataupun agama.[2]
Apabila pluralitas sekadar merepresentasikan
adanya kemajemukan (yang lebih darisatu), multikulturalisme memberikan
penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itumereka adalah sama di dalam ruang
publik. Multikulturalisme menjadi semacam responskebijakan baru terhadap
keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yangberbeda saja tidak
cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itudiperlakukan
sama oleh negara. Oleh karena itu, multikulturalisme sebagai sebuahgerakan
menuntut pengakuan (politics of recognition)[3]
terhadap semua perbedaan sebagaientitas dalam masyarakat yang harus diterima,
dihargai, dilindungi serta dijamineksisitensinya
Diversitas dalam masyarakat modern bisa berupa
banyak hal, termasukperbedaan yang secara alamiah diterima oleh individu maupun
kelompok dan yangdikonstruksikan secara bersama dan menjadi semacam common
sense.Perbedaan tersebut menurut Bikhu Parekh bisa dikategorikan dalam tiga
hal yaitu pertama perbedaan subkultur (subculture diversity),
yaitu individu atausekelompok masyarakat yang hidup dengan cara pandang dan
kebiasaan yang berbedadengan komunitas besar dengan sistem nilai atau budaya
pada umumnya yang berlaku. Kedua, perbedaan dalam perpektif (perspectival
diversity), yaitu individu atau kelompokdengan perpektif kritis terhadap mainstream
nilai atau budaya mapan yang dianut olehmayoritas masyarakat di sekitarnya.
Ketiga, perbedaan komunalitas (communaldiversity), yakni individu
atau kelompok yang hidup dengan gaya hidup yang genuinesesuai dengan
identitas komunal mereka (indigeneous people way of life).
Sebagai sebuah gerakan, menurut Bhikhu Parekh,
baru sekitar 1970-anmultikulturalisme muncul pertama kali di Kanada dan
Australia, kemudian di AmerikaSerikat, Inggris, Jerman, dan lainnya. Setelah
itu, diskursus multikulturalismeberkembang dengan sangat cepat.Setelah tiga
dekade sejak digulirkan, multikulturalismesudah mengalami dua gelombang penting
yaitu, pertama multikulturalisme dalamkonteks perjuangan pengakuan budaya
yang berbeda.Prinsip kebutuhan terhadappengakuan (needs of recognition)
adalah ciri utama dari gelombang pertama ini. Gelombang kedua, adalah
multikulturalisme yang melegitimasi keragaman budaya, yangmengalami beberapa
tahapan, diantaranya:[4]kebutuhan
atas pengakuan, melibatkanberbagai disiplin akademik lain, pembebasan melawan
imperialisme dan kolonialisme,gerakan pembebasan kelompok identitas dan
masyarakat asli/masyarakat adat(indigeneous people), post-kolonialisme,
globalisasi, post-nasionalisme, post-modenismedan
post-strukturalisme yang mendekonstruksi stuktur kemapanan dalam masyarakat.
Multikulturalisme gelombang kedua ini, menurut
Steve Fuller pada gilirannyamemunculkan tiga tantangan yang harus diperhatikan
sekaligus harus diwaspadai, yaitu,pertama adanya hegemoni barat dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan ilmu.pengetahuan. Komunitas, utamanya
negara-negara berkembang, perlu mempelajarisebab-sebab dari hegemoni barat
dalam bidang-bidang tersebut dan mengambil langkahlangkahseperlunya mengatasinya,
sehingga dapat sejajar dengan dunia barat. Kedua,esensialisasi budaya.Dalam hal ini
multikulturalisme berupaya mencari esensi budayatanpa harus jatuh ke dalam
pandangan yang xenophobia dan etnosentrisme.Multikulturalisme dapat
melahirkan tribalisme yang sempit yang pada akhirnyamerugikan komunitas itu
sendiri di dalam era globalisasi.Ketiga, proses globalisasi,bahwa
globalisasi bisa memberangus identitas dan kepribadian suatu budaya.
Oleh karena itu, untuk menghindari kekeliruan
dalam diskursus tentangmultikulturalisme, Bikhu Parekh menggarisbawahi tiga
asumsi mendasar yang harusdiperhatikan dalam kajian ini, yaitu pertama, pada
dasarnya manusia akan terikat denganstruktur dan sistem budayanya sendiri
dimana dia hidup dan berinteraksi. Keterikatan initidak berarti bahwa manusia
tidak bisa bersikap kritis terhadap sistem budaya tersebut,akan tetapi mereka
dibentuk oleh budayanya dan akan selalu melihat segala sesuatuberdasarkan
budayanya tersebut. Kedua, perbedaan budaya merupakan representasi
darisistem nilai dan cara pandang tentang kebaikan yang berbeda pula. Oleh
karena itu, suatubudaya merupakan satu entitas yang relatif sekaligus partial
dan memerlukan budaya lainuntuk memahaminya. Sehingga, tidak satu budaya-pun
yang berhak memaksakanbudayanya kepada sistem budaya lain. Ketiga, pada
dasarnya, budaya secara internalmerupakan entitas yang plural yang
merefleksikan interaksi antar perbedaan tradisi danuntaian cara pandang. Hal
ini tidak berarti menegasikan koherensi dan identitas budaya, akan tetapi budaya
pada dasarnya adalah sesuatu yang majemuk, terus berproses dan terbuka.
Multicultural berhubungan dengan kebudayaan dan
kemungkinana konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan
tertentu. “multukultural” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian
dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan
pemerintah terhadap realitas keagamaan, pluralitas dan multicultural yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan
dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik.[5]
B.
Perspektif tentang Pendidikan Multikultural dan
Pluralis
Akar pendidikan multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar
pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall (18-3-1890) yang secara intensif
menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik
ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan
secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi
munculnya pendidikan multikultural.[6]
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua
term, yaitu pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses
pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha
mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan
multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses
pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan
heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran
(agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam
pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat
manusia.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke
kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis,
rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang
pendidikan multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai
"pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis
dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan
merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan
budaya. Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang
terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan
prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.
Pendidikan multikultural (multicultural education) merupakan respon terhadap
perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak
bagi setiap kelompok. Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup
seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras,
budaya, strata sosial dan agama.[7]
Selanjutnya James Banks, salah seorang pioner dari pendidikan
multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide
persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah
pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai
penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama
(as inclusive and cementing movement). Banks (1993) menyatakan bahwa evolusi
pendidikan multikultural terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1)
upaya
untuk menyatukan kajian-kajian etnik pada kurikulum;
2)
hal ini
diikuti oleh pendidikan multi-etnik sebagai usaha untuk menciptakan persamaan hak
pendidikan;
3)
kelompok
marginal, seperti perempuan, penyandang cacat, dan lain sebagainya mulai
menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan; dan
4)
perkembangan
peradaban budaya menuntut perhatian pada relasi antar-ras, antar-etnik,
antar-kultur, dan antar-kelas.[8]
Mengenai
fokus pendidikan multikultural, Tilaar mengungkapkan bahwa dalam program
pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada
kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini
pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas
terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan
orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap
"peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of
recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.[9]
Melihat
dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil
beberapa pemahaman, antara lain;
Pertama, pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang
berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena
itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit
yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Kedua, pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia,
meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi
kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai
luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang,
penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi,
aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ketiga, pendidikan yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah
sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini,
pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga
dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham,
keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan
bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan
bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan
nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Keempat, pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya,
etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap
yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi
telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara,
sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan
demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu
menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah
kelompok.
Dalam
konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indifference" dan
"Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur
rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek
mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan
kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya
kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya
dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai
pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara
garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus
streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di
kalangan anak didik. Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya
pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui
bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan
lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis,
rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.
Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan
membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
lembaga kemasyarakatan dan sekolah.[10]
pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya
dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara
lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman
tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global
yang dia hadapi.
Pendidikan Multikultural merupakan satu pendekatan dalam pengajaran dan pembelajaran yang didasari pada nilai-nilai
demokratis yang menguatkan pluralisme kultural dalam lingkungan masyarakat yang
secara kultural berbeda namun berada dalam satu dunia yang saling membutuhkan
satu sama lain. Setidaknya sekarang ini ada dua sudut pandang atau perspektif
tentang pendidikan multikultural di Amerika Serikat, yakni perspektif
asimilasi atau “melting-pot” dan perspektif pluralisme atau “global”.
Perspektif asimilasi pendidikan multikultural adalah bahwa mikrokultur harus
menyampingkan kultur atau kebudayaan dan identitas asli mereka agar supaya
menyatu atau menjadi terserap ke dalam kultur atau kebudayaan utama Anglo-Eropa
Barat. Sedangkan perspektif global adalah bahwa mikrokultur dapat
mempertahankan banyak tradisi-tradisi mereka seperti bahasa, agama, dan
kebiasaan sosial selagi mengadopsi banyak aspek kultur utama Anglo-Eropa Barat.[11]
Perspektif
global dari pendidikan multikultural menganggap pluralisme kebudayaan sebagai
sebuah pernyataan ideal dan sehat di lingkungan masyarakat yang produktif dan
mengangkat isu persamaan dan menghargai kelompok-kelompok kebudayaan yang telah
ada. Prinsip ini memungkinkan perspektif global dari pendidikan multikultural
untuk berkembang di luar ilmu pedagogi yang
sama sebagai satu-satunya cara untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang
telah diciptakan dari perspektif asimilasi. Dengan semakin cepatnya
perkembangan hubungan antar semua negara, secara khusus seperti apa yang
terjadi sekarang ini, ketika kita menghadapi isu-isu global berkaitan dengan
permasalahan ekosistem, senjata nuklir, terorisme, hak-hak asasi manusia, dan
sumber daya nasional yang langka, maka institusi-institusi pendidikan tinggi
perlu untuk menerapkan perspektif global dalam pendidikan multikultural jika
mereka ingin mempertahankan model masyarakat demokratis dalam satu dunia yang
pluralistik dan tetap kompetitif secara akademis dalam kaitannya dengan dunia
lainnya. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perspektif glogal
dalam pendidikan multikultural dan bagaimana institusi-institusi pendidikan
tinggi dapat menggunakannya untuk mempertahankan model kegemilangan akademis
dalam masyarakat yang pluralistik dan demokratis.
Memperbincangkan
diskursus pemikiran pendidikan selalu menarik perhatian bagi semua kalangan,
utamanya para stakeholders pedidikan. Sebab, tema dan pendekatan yang dilakukan
sangat beragam.Salah satunya adalah pendidikan dengan multikulturalisme, yang
melahirkan konsep pendidikan multikultural. Choirul Mahfud, menjelaskan bahwa,
Wacana pendidikan multikultural ini dimaksudkan untuk merespons fenomena
konflik etnis, sosial, budaya yang kerap muncul ditengah-tengah masyarakat yang
berwajah multikultural. Wajah multikultural di negeri ini hingga kini ibarat
api dalam sekam, yang suatu saat bisa muncul akibat suhu politik, agama, sosial
budaya yang memanas, yang memungkinkan konflik tersebut muncul kembali. Tentu
penyebab konflik banyak sekali tetapi kebanyakan disebabkan oleh perbedaan
politik, suku, agama, ras, etnis dan budaya.Beberapa kasus yang pernah terjadi
di tanah air yang melibatkan kelompok masyarakat, mahasiswa bahkan pelajar
karena perbedaan pandangan sosial politik atau perbedaan SARA tersebut.Maka
menjadi keharusan untuk memikirkan upaya pemecahanya, dalam hal ini adalah
kalangan pendidikan.Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan
masalah konflik yang terjadi di masyarakat.Minimal pendidikan harus mampu
memberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik
untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula pendidikan mampu memberikan
tawaran-tawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesain materi,
metode hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingya sikap
saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras etnis dan budaya
masyarakat Indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan
sebagai media transformasi sosial budaya dan multikulturalisme.Jelas bahwa
menurut A. Fuad Fanani, unsur utama dalam pendidikan multikultural adalah
penempatan posisi siswa sebagai subjek yang bersifat sejajar.[12]Tidak
ada superioritas satu komponen kultural seorang siswa terhadap siswa
lainnya.Maka pendidikan multikultural ini dapat melatih dan membangun karakter
siswa mampu bersikap demokratis, humanis dan pluralis dalam lingkungan
mereka.Pendidikan multikultural memiliki posisi strategis dalam memberikan
sumbangsih terhadap penciptaan perdamaian dan upaya penanggulangan
konflik.Sebab nilai-nilai dasar dari pendidikan ini adalah penanaman dan
pembumian nilai toleransi, empati, simpati dan solidaritas sosial.2 Dari
realitas di atas, maka sudah selayaknya wawasan multikulturalsisme dibumikan
dalam dunia pendidikan kita.Wawasan multikulturalisme sangat penting utamanya
dalam memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan semangat
kemerdekaan RI 1945 sebagai tonggak sejarah berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dengan demikian, Indonesia tidak akan memiliki pretensi untuk
kembali pada teori melting pot atau salad bowl. Indonesia, sebagaimana
dikuatkan oleh para ahli yang memiliki perhatian besar terhadap pendidikan
multi etnik, justru menjadikan multikulturalisme sebagai common platform dalam
mendesign pembelajaran yang berbasis bhineka tunggal ika, bahkan nilai-nilai
tersebut diupayakan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pendidikan Agama.
Di
dalam makalah ini, hendak menjelaskan bagaimana konsep pendidikan multikultural
dalam mengembangkan kurikulum “Multikultural” di sekolah melalui mata pelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama. Dengan tujuan
untuk memberikan sebuah eksposisi terhadap konsep pendidikan multikultural di
Indonesia, sehingga menjadi kontribusi dalam usaha mentransformasikan nilai dan
karakter budaya lokal yang berwawasan nasionalisme. Konsep Pendidikan
Multikultural Sebagai sebuah wacana baru pengertian pendidikan multikultural
sesungguhnya belum begitu jelas dan masih diperdebatkan oleh para pakar
pendidikan. Namun bukan berarti definisi pendidikan multikultural tidak ada
atau tidak jelas. Pendidikan multikultural masih diartikan sangat ragam, dan
belum ada kesepakatan, apakah pendidikan multukiultural tersebut berkonotasi pendidikan tentang keragaman
budaya, atau pendidikan untuk membentuk sikap agar menghargai keragaman budaya.[13]
Pendapat
Kamanto Sunarto, “Pendidikan multikultural biasa diartikan sebagai pendidikan
keragaman budaya dalam masyarakat, dan terkadang juga diartikan sebagai
pendidikan yang menawarkan ragam model untuk keragaman budaya dalam masyarkat,
dan terkadang juga diartikan sebagai pendidikan untuk membina sikap siswa agar
menghargai keragaman budaya masyarakat”. Sementara itu, Calarry Sada dengan
mengutip tulisan Sleeter dan Grant, menjelaskan bahwa pendidikan multikultural
memiliki empat makna (model), yakni,
1) pengajaran tentang keragaman budaya
sebuah pendekatan asimilasi kultural,
2) pengajaran tentang berbagai
pendekatan dalam tata hubungan sosial,
3) pengajaran untuk memajukan
pluralisme tanpa membedakan strata sosial dalam masyarakat, dan
4) pengajaran tentang refleksi keragaman untuk
meningkatkan pluralisme dan kesamaan.
Apapun
definisi pendidikan multikultural yang kemukakan di atas, kenyataan bangsa Indonesia
terdiri dari banyak etnik, dengan keragaman budaya, agama, ras dan bahasa.
Indonesia memiliki falsafah berbeda suku, etnik, bahasa, agama dan budaya, tapi
memiliki satu tujuan, yakni terwujudnya bangsa Indonesia yang kuat, kokoh,
memiliki identitas yang kuat, dihargai oleh bangsa lain, sehingga tercapai
cita-cita ideal dari pendiri bangsa sebagai bangsa yang maju, adil, makmur dan
sejahtera.
Untuk
itu, seluruh komponen bangsa tanpa membedakan etnik, ras, agama dan budaya,
seluruhnya harus bersatu pada, membangun kekuatan di seluruh sektor, sehingga
tercapai kemakmuran bersama, memiliki harga diri bangsa yang tinggi dan
dihargai oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Dalam konteks ini pendidikan
multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.[14]
Berdasarkan
pandangan dasar bahwa sikap “indifernece” dan “non-recognition” tidak hanya
berakar dari ketimpangan struktur sosial tetapi paradigma pendidikan
multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan,
penindasan, keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang
sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainnya. Paradigma seperti ini
akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ‘ethnic studies’ untuk kemudian
menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai
perguruan tinggi.
Dengan
demikian, pendidikan multikulral dalam konteks ini akan diartikan sebagai
sebuah proses pendidikan yang memberi peluang sama pada seluruh anak bangsa
tanpa membedakan perlakuan karena perbedaan etnik, budaya dan agama, yang
memberikan penghargaan terhadap keragaman, dan yang memberikan hak-hak sama
bagi etnik minoritas, dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan, identitas
nasional dan citra bangsa di mata dunia international. Inilah berbagai materi yang
senantiasa diperhatikan dalam pembinaan bangsa agar tetap kuat dan terus
berkembang, bahkan seluruh budaya diberi kesempatan untuk membina dan
mengembangkannya. Nilai dan norma di atas ditranformasikan dan dikembangkan
pada siswa-siswa sekolah melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan,
Pendidikan Agama yang di dalamnya juga termasuk civic education, dan bahkan
kini akan dikembangkan sebuah gagasan yang sangat strategis, pendidikan untuk
karakter bangsa.
Pengembangan
Kurikulum “Multikultural” Di Sekolah Multikultural” Indonesia sebagai negara
majemuk baik dalam segi agama, suku bangsa, golongan maupun budaya lokal perlu
menyusun konsep pendidikan multikultural sehingga menjadi pegangan untuk
memperkuat identitas nasional, Mata Pelajaran kewarganegaraan yang telah
diajarkan di SD hingga perguruan tinggi, disempurnakan dengan memasukan
pendidikan multikultural, seperti budaya lokal antar daerah kedalamnya, agar
generasi muda bangga sebagai bangsa Indonesia.
Dengan
demikian, pendidikan multikultur adalah pendidikan nilai yang harus ditanamkan
pada siswa sebagai calon warga negara, agar memiliki persepsi dan sikap
multikulturalistik, bisa hidup berdampingan dalam keragaman watak kultur, agama
dan bahasa, menghormati hak setiap warga negara tanpa membedakan etnik
mayoritas atau minoritas, dan dapat bersama-sama membangun kekuatan bangsa
sehingga diperhitungkan dalam percaturan global dan nation dignity yang kuat.
Menurut
Hamid Hasan, bahwa masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial,
budaya, aspirasi politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh
langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan
sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar dan kemampuan siswa dalam
berproses, belajar dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat
diterjemahkan sebagai hasil belajar. Keragaman itu menjadi suatu variabel bebas
yang
memiliki
kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai
proses maupun sebagai hasil. Oleh karena itu, pengembangan kurikulum dengan
menggunakan pendekatan pengembangan multikultural harus didasarkan pada empat
prinsip.Pertama, keragaman budaya
menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua,
keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen kurikulum,
seperti tujuan, konten, proses, dan evaluasi. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar
dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai
media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Implementasi
pendidikan multikultur pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, dapat
dilakukan secara komprehensif melalui pendidikan kewargaan dan melalui
Pendidikan Agama, dapat dilakukan melalui pemberdayaan slot-slot kurikulum atau
penambahan atau perluasan kompetensi hasil belajar dalam konteks pembinaan
akhlak mulia, memiliki intensitas untuk membina dan mengembangkan kerukunan
hidup antar umat beragama, dengan memberi penekanan pada berbagai kompetensi
dasar sebagaimana telah terpapar di atas.
Kemudian,
juga harus dilakukan dalam pendekatan deduktif dengan kajian yang relevan,
kemudian dikembangkan menjadi norma-norma keagamaan, norma hukum, etik, maupun
norma sosial kemasyarakatan. Pendidikan multikultur melalui pendidikan
kewarganegaran dan Pendidikan Agama harus dilakukan secara komprehensif,
dimulai dari design perencanaan dan kurikulum melalui proses penyisipan,
pengayaan dan atau penguatan terhadap berbagai kompetensi yang telah ada,
mendesign proses pembelajaran yang bisa mengembangkan sikap siswa untuk bisa
menghormati hak-hak orang lain, tanpa membedakan latar belakang ras, agama,
bahasa dan budaya. Dan terakhir pendidikan hasil dan pencapaian pendidikan
multikultur harus dapat dikur melalui evaluasi yang relevan, apakah melalui
instrumen tes, non-tes atau melalui proses pengamatan longitudinal dengan
menggunakan portofolio siswa.
Sesuai
dengan kompetensi standar tersebut, maka dapat dikembangkan beberapa kompetensi
dasar sebagai berikut:[15]
1. Menjadi warga negara yang menerima
dan menghargai perbedaan-perbedaan etnik, agama, bahasa dan budaya dalam
struktur masyarakatny.
2. Menjadi waraga negara yang bisa
melakukan kerjasama multi etnik, multi kultur, dan multi religi dalam konteks
pengembangan ekonomi dan kekuatan bangsa.
3. Menjadi warga negara yang mampu
menghormati hak-hak individu warga negara tanpa membedakan latar belakang
etnik, agama, bahasa dan budaya dalam semua sektor sosial, pendidikan, ekonomi,
politik dan lainnya, bahkan untuk memelihara bahasa dan mengembangkan budaya
mereka.
4. Menjadi warga negara yang memberi
peluang pada semua warga negara untuk terwakili gagasan dan aspirasinya dalam
lembaga-lembaga pemerintahan, baik legislatif maupun eksekutif. 5. Menjadi
warga negara yang mampu mengembangkan sikap adil dan mengembangkan rasa
keadilan terhadap semua warga negara tanpa membedakan latar belakang etnik, agama,
bahasa dan budaya mereka.
Dengan kompetensi-kompetensi dasar tersebut, maka
pembelajaran multikultur diharapkan akan menghasilkan warga negara yang
memiliki sikap dan kebiasaan multikultur dengan sikap dan prilaku yang toleran
antar semua anak bangsa, solider dan bisa saling bekerjasama untuk kepentingan
bangsa, bersikap egaliter, memiliki sikap empati sesama warga, dan bersikap
adil dengan tidak membedakan latar belakang agama, ras, bahasa dan warna kulit.
Sejalan dengan konsepsi ini, Jhon Dewey merekomendasikan
tiga hal yang harus dipertimbangkan dalam mengembangkan sebuah
kurikulum.“Pertama, hakikat dan kebutuhan peserta didik.Kedua, hakikat dan
kebutuhan masyarakat. Dan ketiga, masalah pokok yang digumuli peserta didik
untuk mengembangkan diri sebagai pribadi yang matang dan mampu menjalin
hubungan dengan pribadi lain dalam masyarakat”.
Dengan
demikian pendidikan multikultur harus direncanakan dalam sebuah design
pengembangan kurikulum yang integratif, sekwentif dan didukung dengan
lingkungan serta struktur dan budaya yang bisa memberikan kontribusi positif
terhadap pembinaan sikap dan perilaku multikultur. Pendidikan multikultur,
secara substantif harus bisa menjadi bagian integral dalam mata pelajaran
Pendidikan Kewargnegaraan dan mata pelajaran Pendidikan Agama sebagai pendidikan
nilai.[16]
Tema-tema multikultur harus disajikan dalam skope yang komprehensif sebagai
upaya pencapaian berbagai kompetensi yang telah disepakati dan
ditetapkan.D.Kesimpulan Penyelenggaraan pendidikan multikultural di dunia
pendidikan dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang
terjadi di masyarakat. Dengan kata lain pendidikan multikultural menjadi sarana
alternatif pemecahan konflik sosial budaya. Selain sebagai sarana alternatif
pemecahan konflik pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa
agar mereka tidak tercabut dari akar budaya yang dimiliki sebelumnya ketika
berhadapan dengan realitas sosial budaya di era globalisasi. Oleh karena itu,
sebagai landasan pengembangan kurikulum pendidikan nasional dalam melaksanakan kurikulum
sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar atau memberikan sejumlah
materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai siswa dengan ukuran atau tingkatan
tertentu, maka pendidikan melalui landasan kurikulum multikultural menjadi
sangat penting. Dengan demikian, pendidikan multikultural ini bisa dimasukkan
secara integral dalam semua mata pelajaran.Walaupun dalam format kurikulum
nasional belum menjadi suatu mata pelajaran yang mandiri (berdiri sendiri),
tetapi bersifat integratif dengan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan
Pendidikan Agama.
C.
Implikasi Pendidikan Mutikultural Dan Plural
Strategi
pendidikan multikultural selanjutnya perlu dijabarkan dalam implikasi di
sekolah. Menurut pendapat beberapa ahli dan realita empirik, dapat disusun
tujuh implikasi strategi pendidikan dengan pendekatan multikultural. Tujuh
implikasi itu dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Membangun paradigma keberagamaan inklusif
di lingkungan sekolah.
Guru
sebagai orang dewasa dan kebijakan sekolah harus menerima bahwa ada agama lain
selain agama yang dianutnya. Ada pemeluk agama lain selain dirinya yang juga
memeluk suatu agama. Dalam sekolah yang muridnya beragam agama, sekolah harus
melayani kegiatan rohani semua siswanya secara baik. Hilangkan kesan mayoritas
minoritas siswa menurut agamanya. Setiap kegiatan keagamaan atau kegiatan
apapun di sekolah biasakan ada pembauran untuk bertoleransi dan membantu antarsiswa
yang beragama berbeda. Hal ini perlu diterapkan di sekolah yang berbasis agama
tertentu atau menerima siswa yang beragama sejenis.
Guru
dan kebijakan sekolah tidak mengungkapkan secara eksplisit, radikal, dan
provokatif dalam wujud apapun, karena di luar sekolah itu siswa akan bertemu,
bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain yang berbeda agama. Sebagai bahan
renungan, seorang guru harus peka dan bijaksana menjelaskan sejarah Perang
Salib, bom Bali, konflik antarpemeluk agama di Maluku, terorisme, dan
sebagainya. Jangan sampai ada ketersinggungan sekecil apapun karena kecerobohan
ungkapan guru. Sekecil apapun singgungan tentang agama akan membekas dalam
benak siswa yang akan dibawanya sampai dewasa.[17]
2. Menghargai keragaman bahasa di
sekolah
Dalam
suatu sekolah bisa terdiri dari guru, tenaga kependidikan, dan siswa yang
berasal dari berbagai wilayah dengan keragaman bahasa, dialek, dan logat
bicara. Meski ada bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar formal di sekolah,
namun logat atau gaya bicara selalu saja muncul dalam setiap ungkapan bahasa,
baik lisan maupun tulisan.
Sekolah
perlu memiliki peraturan yang mengakomodasi penghargaan terhadap perbedaan
bahasa. Guru serta warga sekolah yang lain tidak boleh mengungkapkan rasa
”geli” atau ”aneh” ketika mendengarkan atau membaca ungkapan bahasa yang
berbeda dari kebiasaannya. Semua harus bersikap apresiatif dan akomodatif
terhadap perbedaan-perbedaan itu. Perbedaan yang ada seharusnya menyadarkan
kita bahwa kita sangat kaya budaya, mempunyai teman-teman yang unik dan
menyenangkan, serta dapat bertukar pengetahuan berbahasa agar kita semakin kaya
wawasan.
3. Membangun sikap sensitif gender di
sekolah
”Dasar
perempuan, cerewet dan bisanya menangis!”. ”Mentang-mentang cowok, jangan sok
kuasa ngatur-ngatur di kelas ya!”. ”Syarat pengurus ekstrakurikuler adalah
ketua harus cowok, sekretarisnya cewek, seksi perlengkapan cowok, seksi
konsumsi cewek, …”. Contoh ungkapan-ungkapan itu harus dihapus dari benak dan
kebiasaan guru, siswa, dan warga sekolah yang lain.
Pembagian
tugas, penyebutan contoh-contoh nama tokoh, dan sebagainya harus proporsional
antara laki-laki dan perempuan. Tak ada yang lebih dominan atau sebaliknya
minoritas antara gender laki-laki dan perempuan. Dengan tetap mempertimbangkan
nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam fungsi-fungsi pembelajaran di
sekolah harus proporsional karena setiap siswa laki-laki dan perempuan memiliki
potensi masing-masing. Perempuan jadi pemimpin, laki-laki mengurusi konsumsi,
atau yang lain saat ini bukan sesuatu yang tabu. Biarlah siswa mengembangkan
potensinya dengan baik tanpa bayang-bayang persaingan gender. Siapa yang berpotensi
biarlah dia yang berprestasi. Berilah reward pada pada siapapun dengan gender
apapun yang mampu berprestasi, sebaliknya beri punishment yang tegas mendidik
terhadap sikap, ucapan, dan perilaku yang menyinggung perbedaan gender.[18]
4. Membangun pemahaman kritis dan
empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan social
Pelayanan
pendidikan dan penegakan peraturan sekolah tidak boleh mempertimbangkan status
sosial siswa. Baurkan siswa dari beragam status sosial dalam kelompok dan kelas
untuk berinteraksi normal di sekolah. Meskipun begitu, guru dan siswa harus
tetap memahami perbedaan sosial yang ada di antara teman-temannya. Pemahaman
ini bukan untuk menciptakan perbedaan, sikap lebih tinggi dari yang lain, atau
sikap rendah diri bagi yang kurang, namun untuk menanamkan sikap syukur atas
apapun yang dimiliki. Selanjutnya dikembangkan kepedulian untuk tidak saling
merendahkan namun saling mendukung menurut kemampuan masing-masing.
Sikap
empati dan saling membantu tidak hanya ditanamkan di lingkungan sekolah saja.
Suatu waktu siswa bisa diajak berkegiatan sosial di luar sekolah seperti di
panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya. Atau bila ada musibah di antara
warga sekolah atau daerah lain siswa diajak berdoa dan memberikan sumbangan.
Sekecil apapun doa, ucapan simpati, jabat tangan, pelukan, atau bantuan
material akan sangat bermakna bagi pembentukan karakter siswa juga siapapun
yang menjadi obyek empati
5. Membangun sikap antideskriminasi
etnis
Sekolah
bisa jadi menjadi Indonesia mini atau dunia mini, dimana berbagai etnis
menuntut ilmu bersama di sekolah. Di sekolah bisa jadi suatu etnis mayoritas
terhadap etnis lainnya. Tapi perlu dipahami, di sekolah lain etnis yang semula
mayoritas bisa jadi menjadi minoritas. Hindari sikap negatif terhadap etnis
yang berbeda. Sebagai misal ungkapan seperti ini, ”Dasar Batak, ngeyel dan
galak”, ”Heh si Aceh ya, slamat ya terhindar dari Tsunami”, ”Halo Papua Kritam
(kriting dan hitam)”, ”Ssst, jangan dekat dengan orang Dayak, nanti dimakan
lho”.
Tanamkan
dan biasakan pergaulan yang positif. Pahamkan bahwa inilah Indonesia yang
hebat, warganya beraneka ragam suku atau etnis, bahasa, tradisi namun bisa
bersatu karena sama-sama berbahasa Indonesia dan bangga menjadi bangsa
Indonesia. Bila bertemu saling bertegur sapa, ”Halo Tigor, senang bertemu
denganmu, kapan ya saya bisa berkunjung ke Danau Toba yang indah”, ”Wah, pemain
bola dari Papua hebat-hebat ya, ada Eduard Ivakdalam, Emanuel Wanggai, Elly
Eboy, dan lainnya. Suatu saat kamu bisa seperti mereka”. Ciptakan kultur dan
kehidupan sekolah yang Bhinneka Tunggal Ika dengan interaksi dan komunikasi
yang positif.[19]
6. Menghargai perbedaan kemampuan
Sekolah
tidak semua siswanya berkemampuan sama atau standar. Dalam psikologi sosial
dikenal istilah disability, artinya terdapat sebuah kondisi fisik dan mental
yang membuat seseorang kesulitan mengerjakan sesuatu yang mana orang kebanyakan
dapat mengerjakannya dengan mudah. Dalam orientasi awal masuk dan pengamatan
proses guru dan siswa dapat saling memahami kelebihan dan kelemahan masing-masing.
Karena siswa sudah menjadi bagian warga sekolah, maka jangan sampai sikap,
ucapan, dan perilaku yang meremehkan atau mentertawakan kelemahan yang sudah
dipahami. Hal itu sangat berdampak negatif, baik bagi siswa yang unggul maupun
siswa yang lemah. Yang unggul akan merasa jumawa dengan keunggulannya sehingga
bisa membuatnya lalai dan tidak berprestasi optimal. Bagi siswa yang lemah akan
menjadi tidak termotivasi belajar dan merasa terkucilkan. Sebaiknya dibiasakan
pembauran siswa unggul dan lemah dalam kelompok atau kelas agar terjadi
pembimbingan sebaya, yang unggul semakin kuat pemahamannya tentang suatu materi
dan merasa bermanfaat dengan ilmunya, serta yang kurang memperoleh guru sebaya
yang lebih komunikatif dan merasa diterima oleh teman-temannya.[20]
7. Menghargai Perbedaan Umur
Setiap
individu siswa mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan kejiwaannya sesuai
pertambahan umurnya. Guru harus memahami ini, terutama tentang karakteristik
psikologis dan tingkat kemampuan sesuai umurnya. Sebagai misal kemampuan
berbahasa, analisis masalah, berkarya siswa SMP kelas VII akan berbeda dengan
kelas IX, apalagi dibandingkan dengan siswa SMA, mahasiswa atau gurunya. Selain
itu jangan sampai ada deskriminasi, sikap, ucapan, dan perilaku negatif
diantara warga sekolah dengan sebutan dominasi senior atas yunior, pelecehan
berdasar perbedaan ukuran fisik, kata sebutan atau panggilan yang tidak disukai
(misal ”si Unyil” untuk siswa bertubuh kecil, ”bayi ajaib” untuk siswa berusia
lebih muda tapi pintar, ”tuyul” untuk adik kelas yang berkepala gundul, dan
sebagainya). Seharusnya yang lebih tua memberi tauladan, memberi motivasi,
memberi kepercayaan, demokratis, membimbing, mengasuh, dan melindungi yang
lebih muda. Yang muda menghormati, sopan santun, menauladani kebaikan, dan
membantu yang lebih tua.
Menyikapi
kondisi sekolah sebagai ”dunia” multikultural, pengambil kebijakan dan warga
sekolah harus mengubah paradigma dan sistem sekolah menjadi paradigma dan
sistem sekolah yang multikultural. Secara serentak atau bertahap harus disusun
kembali sistem, peraturan, kurikulum, perangkat-perangkat pembelajaran, dan
lingkungan fisik atau sarana prasarana sekolah yang berbasis multikultural
berdasarkan kesepakatan warga sekolah. Selanjutnya yang terpenting adalah
secara kontinyu dilakukan orientasi kepada warga sekolah terutama warga baru,
sosialisasi, tauladan guru dan kakak kelas, pembiasaan kultur sikap dan
perilaku multikultural, serta pemberian reward dan punishment tentang
pelaksanaan kultur sekolah dengan konsisten.
Rohidi
(2002) dan Tilaar (2002) menegaskan bahwa pendidikan dengan pendekatan
multikultural sangat tepat diterapkan di Indonesia untuk pembentukan karakter
generasi bangsa yang kokoh berdasar pengakuan keragaman. Kemudian dalam
penerapannya harus luwes, bertahap, dan tidak indoktriner. Implementasinya
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah. Pendekatan multikulturalisme
erat dengan nilai-nilai dan pembiasaan sehingga perlu wawasan dan pemahaman
yang mendalam untuk diterapkan dalam pembelajaran, tauladan, maupun perilaku
harian. Proses itu diharapkan mampu mengembangkan kepekaan rasa, apresiasi
positif, dan daya kreatif. Kompetensi guru menjadi sangat penting sebagai motor
pendidikan dengan pendekatan multikulural.[21]
D.
Kekurangan, Kelebihan Dan Solusi Pendidikan Multikultural
Dan Plural
1.
Kelebihan
Pendidikan Multikultural
Dalam
pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut
James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling
berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a) Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep
mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
b) Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata
pelajaran.
c) Menyesuaikan metode pengajaran
dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
d) Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode
pengajarannya.
e) Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi
dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan
budaya akademik.[22]
2.
Kekurangan
Pendidikan Multikultural dan Solusinya
Mengimplementasikan
pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau
kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian
dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a) Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural.
b) Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya.
Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di
sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu
memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan
multikultural lebih luas dari itu.
H.A.R. Tilaar
(2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata
terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama,
tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan
untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, meng\hargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup
damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu
etnis atau suku bangsa tertentu.[23]
a. Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam
pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan
kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki
latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang
terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di
lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di
antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan
memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk
itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala
sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara
seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe
kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada
pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk
masuk ke jalur kontinuitas.
b.
Rendahnya
Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan
multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen
yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit
untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal
tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung
pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk
melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan
pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat
madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai
nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
c.
Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak
lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan
selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep.
Dengan adanya
kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan
sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat
sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang
yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui
keragaman dan perbedaan.
BAB II
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan multikulturalisme
merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti intelektual,
sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya yang tidak
dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh karena itu
pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang
menghargai pluralitas.
Pendidikan multikultural sangat
penting diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan tingkat keanekaragaman
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama.
Keanekaragaman tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan
baik.
Pendidikan
multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi
pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan
praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan
multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam
pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik,
ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang
membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan
multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu
pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seharusnya
memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural
yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis
yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan
paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi
kognitif belaka.
Adapun implikasi dari pendidikan
multikultural di sekolah adalah :
1) Membangun paradigma keberagamaan
inklusif di lingkungan sekolah
2) Menghargai keragaman bahasa di
sekolah
3) Membangun sikap sensitif gender di
sekolah
4) Membangun pemahaman kritis dan
empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan social
5) Membangun sikap anti-deskriminasi
etnis
6) Menghargai perbedaan kemampuan
7) Menghargai perbedaan umum
B.
Saran
Pendidikan multikultural harus
menawarkan beragam kurikulum yang merepresentasikan pandangan dan perspektif
banyak orang. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak
ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Azyumardi, Identitas Dan Kritis Budaya,
Membangun Multikulturalisme Indonesia, (Jakarta: 2007).
A. Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2004).
A.
Malik Fadjar, Visi Pembaruan Pendidikan Islam, (Jakarta: LP3NI, 1998)
Banks, J, Multicultural
Eeducation: Historical Development,Dimension, and
Choirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009).
Hamid Hasan S., Multikulturalisme Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Jurnal
Pendidikan danKebudayaan, (oktober,
2000).
Practice. Review of Research in Education.
1993 http://0097.blogspot-banks.co.di.htlm
kamis, 29 maret 2012. 20:12
Nur, Achmad (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan Dalam Keragaman,
Jakarta: PT. Gramedia, 2001.
Maslikhah,
quo vadis Pendidikan Multikultur,
(Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007)
Muhammad Yusri FM, Prinsip Pendidikan Multikulturalisme dalam
ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam Jurnal Kependidikan Islam,
Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008,
Paulo,Freire, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj. Alois A. Nugroho,
(Jakarta: Gramedia, 1984).
Tilaar,
H.A.R, Perubahan Sosial dan Pendidikan:
Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002).
Tilaar , H.A.R.,
Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi
Pendidikan Nasional (Jakarta: Grasindo, 2002).
http://andiplampang.wordpress.com/2010/12/09tantangan-pendekatan-pendidikan-multikultural.htlm [1 maret 2012]
http://052.sandra.blogspot.com/2009/09/contoh-model-penerapan-pendidikan-multikultural.html 29 Maret 2012
Pkl. 21.50
http://amygutman-politics-of-recognition-charles-taylor-1992.htm 29 Maret 2012
Pkl. 21.45
http://tarbiyah.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/137-pendidikan-multikultural-upaya-membangun-keberagaman-inklusif-di-sekolah.html. 29 Maret 2012
Pkl. 21.40
http://shiningallspark.web.id/pendidikan-multikultural-di-sekolah.html.
29 Maret 2012 pkl 21.40
Pemikiran
– Pemikiran Yang disampaikan oleh Bapak Dr. Muhamad Idris M.Pdi selama perkuliahan SPPI II berlangsung.
Ø Apa yang dimaksud dengan
Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam ?
Yaitu
Upaya bersungguh untuk memaksimalkan proses berpikir/akal, hati dan qalbu.
Untuk melihar bewrbagai persoalan dan diselesaikan secara bijaksana guna
membangun budaya yang lebih beradab.
Ø Apa kegunaan belajar Sejarah Pemikiran Pendidikan Islam ?
Kegunaannya
yaitu untuk membangun budaya berpikir ilmiah, dinamis, inovatif dan kritis
seputar dunia pendidikan.
Ø Adapun peta Konsep Fitrah pada manusia yang telah di jelaskan oleh
bapak, yang akhirnya di ikuti oleh seluruh mahasiswa yang di didiknya.
Manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci).
Sejak lahir manusia sudah di anugrahi potensi-potensi yaitu Akal, Qalbu,
dan Nafsu. Manusia pada dasarnya bisa di didik karena manusia memiliki potensi
yang harus diarahkan agar dapat berkembang. Tujuan manusia dilahirkan ke dunia
yaitu untuk tunduk dan patuh kepada perintah Allah SWT, manusia diciptakan
untuk menjadi khalifah pemimpin dirinya sendiri juga kepada masyarakat. Fitrah
itu suci tapi tidak kosong karena setiap manusia di anugrahi potensi oleh Tuhan
yang dapaty bernilai jika digunakan dengan sebaik-baiknya.
Manusia
dianugrahi bermacam-macam fitrah yakni fitrah agama, intelek, sosial, seni,
kemerdekaan, ingin mengembangkan keturunan dan cintah tanah air. Dimana jika
kita mampu mereliasasikan fitrah yang telah telah diberikan Tuhan maka dengan
sendirinya kita akan menjadi manusia yang bertanggung jawab bukan hanya jawab
tetapi tidak mau menanggung. Karena jika kita hanya mau menjawab tetapi tidak
mau menaggung itu namanya orang yang tidak amanah dalam melakukan sesuatu.
Ø Kebenaran yaitu datangya di Allah SWT dan kesalahan semua datang
dari diri manusia.
Ø Tugas-tugas
itu jangan dijadikan sebagai masalah, jangan pernah kita memusuhi tugas, karena
tugas yang memotivasikan kita untuk bergerak sehingga tugas harus dipahami. Karena
jika kita tidak memahami tugas tersbut maka kitadengan sendirinya akan lalai.
[1] http://052.sandra.blogspot.com/2009/09/contoh-model-penerapan-pendidikan-multikultural.html 29 Maret 2012 Pkl. 21.50
[2] Achmad,
Nur (ed.), Pluralitas Agama Kerukunan
Dalam Keragaman, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001). h 43
[3]Politics of
recognition dikemukan
oleh Charles Taylor pada 1992 di depan kuliah terbuka diPrincenton University.
Mulanya gagasanya adalah gagasan politik yang kemudian berkembang di
kajianlain, flsafat, sosiologi, budaya dan lainnya. Gagasanya dipengaruhi oleh
padangan Jean-Jacques Rousseaudalam Discourse Inequality dan
kesamaanmartabat (equal dignity of human rights) yang dicetuskanImmanuel
Kant. Gagasan Taylor bersumber pada pertama, bahwa sesungguhnya harkat
dan martabatmanusia adalah sama. Kedua, pada dasarnya budaya dalam
masyarakat adalah berbeda-beda, oleh karenaitu membutuhkan hal yang ketiga, yaitu
pengakuan atas bentuk perbedaan budaya oleh semua elementsosial-budaya,
termasuk juga negara. Charles Taylor. “The Politics of Recognation” dalam Amy
Gutman.Multiculturalism, Examining the Politics of Recognation (Princenton:
Princenton University Press, 1994), http://amygutman-politics-of-recognition-charles-taylor-1992.htm 29 Maret 2012
Pkl. 21.45
[4] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme;
Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalamTransformasi Pendidikan Nasional (Jakarta:
Grasindo, 2002), h. 83
[5] Azyumardi Azra,”identitas dan
kritis budaya, membangun multikulturalisme indonesia” 2007
[7] Freire, Paulo, Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan, terj.
Alois A. Nugroho, (Jakarta: Gramedia, 1984). h. 68
[8]
Banks, J, Multicultural
Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of
Research in Education. 1993 http://0097.blogspot-banks.co.di.htlm
kamis, 29 maret 2012. 20:12
[9] H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar
Pedagogik Transformatif untuk Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002. H 55
[10] Muhammad
Yusri FM, Prinsip Pendidikan
Multikulturalisme dalam ajaran agama-agama di Indonesia ditulis dalam
Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No.2, Juli-Desember 2008, hal. 8
[11]
http://shiningallspark.web.id/pendidikan-multikultural-di-sekolah.html.
29 Maret 2012 pkl 21.40
[13]A.
Fuad Fanani, Islam Mazhab Kritis:
Menggagas Keberagamaan Liberati, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2004), h. 16.
[14] Maslikhah,
quo vadis Pendidikan Multikultur,
(Salatiga:Kerja sama STAIN SALATIGA PRESS dengan JP BOOKS,2007) h.47
[15]S.
Hamid Hasan, Multikulturalisme Untuk
Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Jurnal Pendidikan danKebudayaan, (oktober, 2000).
[22] H.A.R,
Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk
Indonesia Jakarta: Grasindo, 2002. H 78
[23] Tilaar, H.A.R. Multikulturalisme, Tantangan-tantangan
Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo.
2004)http://andiplampang.wordpress.com/2010/12/09tantangan-pendekatan-pendidikan-multikultural.htlm
[1 maret 2012]
EmoticonEmoticon