BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hakikat
pendidikan humanis adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Didalam pengertian
lain manusia adalah subjek atau pribadi yang memiliki hak cipta, rasa, dan
karsa. Oleh karena itu, pendidikan yang memanusiakan manusia adalah sebuah
keharusan yang terus menerus digelar, karena ini menjadi prinsip-prinsip bagi
keberhasilan pendidikan sebagai upaya kecerdasan kehidupan bangsa. Pendidikan
yang sesuai dengan tujuan pendidikan humanis yang bertujuan untuk memanusiakan
manusia adalah teori belajar pendidikan humanis. Teori belajar humanis pada
dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu
proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar memahami
lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses
belajar harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualitas diri
dengan sebaik-baiknya.[1]
Kita menyadari bahwa manusia memiliki dimensi
humanitas yang mencakup tiga unsur, Kognitif (Pengetahuan), afektif (Perasaan),
dan Konatif (Kehendak Karsa). Dengan menyadari semakin kuatnya tendensi yang
ada dalam pendidikan Indonesia yang lebih memfokuskan diri pada aspek
kognitif-intelektual dan aspek keahlian (skill), bahwa upaya pendidikan humanis
diarahkan pada pengembangan kepribadian yang mencakup, olah piker, olah rasa,
olah karsa, olah cipta, dan olah raga.
Dalam dunia pendidikan, guru dan siswa adalah
dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Jika guru tidak ada maka siswa akan
sulit berkembang, begitu juga sebaliknya jika siswa tidak ada maka guru tidak
dapat memberikan ilmunya dan ia tidak akan disebut guru. Setiap anak memiliki
kepribadian yang berbeda dengan yang lainnya, ada yang memiliki watak yang
lembut dan ada juga yang keras.Prilaku-prilaku siswa yang seperti itu tidak
dapat kita ketahui jika kita tidak mendekati mereka.[2]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana aspek-aspek humanistik?
2.
Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam aliran humanistik?
3.
Bagaimana aplikasi teori humanistik dalam pendidikan?
4.
Bagaimanakah peran guru dalam teori humanistik?
5.
Bagaimana kurikulum humanis?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
Aspek-aspek humanistik
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat
ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain
adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau
ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai
pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.[3]
Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut
kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurut dia,
paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran
ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang
berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi
pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang
berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar
pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur
gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran
berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang
mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan
menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan
intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya
seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.[4]
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh
Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa
sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa
dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan
pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan
musik-ritme). Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah
laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang
bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di
sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. Hal ini tentu merugikan
siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan,
dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak
kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses
pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun
otak kiri, yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat
manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki
daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut
pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara
seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan
menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan
bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan
menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai
sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang
memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan
menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.[5]
Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia
yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya,
sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif
untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan
kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam
masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain lading lain belalang, lain lubuk lain
ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam
budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai
manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.
B. Tokoh-Tokoh Aliran Humanis
Ada beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran Humanis seperti: Combs, Maslov dan Rogers. Berikut kita akan mencoba mengenal bagaimana teori yang dinyatakan oleh mereka.
1. Combs
Combs dan kawan-kawan menyatakan apabila kita ingin memahami prilaku orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu.Apabila kita ingin mengubah prilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu, prilaku dalamlah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Combs dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan bahwa prilaku buruk itu seungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mmempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti, bahwa siswa tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh gurunya. Apabila guru memberikan aktifitas yang lain, mungkin sekali siswa akan memberikan reaksi yang fositif.Para ahli Humanistik melihat adanya dua bagian pada learning, ialah:
1. Pemerolehan informasi baru
2. Personalisasi informasi, ini pada individu.
Combs berpendapat bahwa adalah salah kalau guru beranggapan bahwa murid-muridnya akan sudah belajar kalau bahan pelajaran yang di susun secara rapi dan disampaikan dengan bagus. Sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu, murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya.Yang menjadi masalah dalam mengajar ialah bukan bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut.Apabila murid-murid dapat mengkaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.
Combs
memberikan lukisan persepsi diri dan persepsi dunia seseorang seperti dua
lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu.Lingkaran kecil (1) adalah
gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi
dunia.Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin besar
pengaruhnya terhadap perilakunya.Jadi hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan
dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.[6]
2. Abrahama H. Maslov
Dia dikenal sebagai salah satu tokoh yang menonjol dari psikologi humanistik.Karyanya dibidang pemenuhan kebutuhan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam upaya memahami motivasi manusia. Sebagian besar dari teorinya yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua hal:
1. Suatu usaha yang positif untuk berkembang,
2. Kekuatan
untuk melawan atau menolak perkembangan itu (Maslov, 1968)
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Self).[7]
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Self).[7]
Menurut Maslov ada beberapa kebutuhan, terutama
kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, yang lebih
asasi.Kemudian ada pula kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi sebelum memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya.
Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum dan tidur, menuntut sekali untuk dipuaskan.Sekali kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi, muncullah kebutuhan pada tingkat berikutnya, yaitu kebutuhan keamanan seperti kebutuhan untuk kesehatan dan kebutuhan untuk terhindar dari bencana dan bahaya. Pemuasan kebutuhan keamanan diikuti oleh timbulnya kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih seperti dorongan untuk mempunyai kawan dan berkeluarga, dorongan untuk menjadi anggota kelompok dan sebagainya ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan ini bisa mendorong seseorang untuk berbuat yang lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian. Misalnya orang menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya ialah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan dipercaya oleh orang lain.
Setelah kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah ini terpenuhi mak motivasi lalu diarahkan ke terpenuhinya kebutuhan aktualisasi dirri yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu.Aktualisasi diri dilakukan setiap orang berbeda-beda.Misalnya mengembangkan kegemaran, membaca buku, mengendarai mobil, mendidik dan membesarkan anak, menjadi guru dan sebagainya.Menyusul setelah kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk tahu dan mengerti, kebutuhan untuk memuaskan rasa ingin tahu, mencari ilmu pengetahuan dan memperoleh pemahaman. Dan akhirnya Maslov berpendapat bahwa tidak sedikit orang yang mempunyai kebutuhan estetis, dorongan keindahan, yaitu kebutuhan akan ketenaran, kesimetrisan dan kelengkapan.[8]
3. Carl R. Rogers
Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. Lewat karya-karyanya yang tersohor sepertiFreedom to Learn and Freedom to learn for the 80’s, ia menunjukkan sejumlah prinsif-prinsif belajar humanistik yang penting, di antaranya ialah:
a. Hasrat untuk belajar
Menurut rogers manusia itu memiliki hasrat alami untuk belajar. Hal itu dapat dibuktikan: perhatikan saja betapa ingin tahunya anak kalau ia sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik.
b. Belajar yang berarti
Hal ini terjadi apabila yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari itu mempunyai arti baginya..
c. Belajar tanpa ancaman
Belajar itu mudah dilakukan apabila berlangsung dalam lingkungan yang aman dan bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar dan anak akan bebas menguji kemampuannya atau mencoba pengalaman-pengalaman baru.
d. Belajar atas inisiatif sendiri
Bagi para humanis, belajar itu paling bermakna manakala hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan apabila melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri akan sangat memberikan motivasi bagi siswa untuk belajar bagaimana caranya belajar (to learn how to learn).
e. Belajar dan perubahan
Menurut rogers bahwa belajar yang paling bermanfaat itu ialah belajar tentang proses belajar. Di waktu lampau murid belajar mengenai fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang dipelajari di sekolah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan pada masa itu. Tapi sekarang dunia sudah berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat canggih.Apa yang dipelajari dimasa lampau tidaklah cukup untuk membekali seseorang pada masa sekarang.[9]
C.
Aplikasi Humanistik
Dalam Pendidikan
Mengenai aplikasi psikologi humanistik dalam pendidikan,Bagian ini berisi informasi tentang bagaimana para psikoloigi humanistik berupaya menggabungkan ketrampilan dan informasi kognitif dengan segi-segi afektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu akan dibicarakan tiga macam program, yaitu Confluent Education, Open Education dan Cooperative Learning
1. Confluent Education
Cooperative Learning adalah pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman-pengalaman afektif dengan belajar kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara yang bagus sekali untuk melibatkan para siswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, guru bahasa Indonesia memberikan tugas kepada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlahmisalnya tentang “keberanian”, sebuah novel perang. Melalui tugas itu, siswa-siswa tidak hanya diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan baik tetapi juga memperoleh kesadaran antar vpribadi yang lebih baik dengan jalan membahas pengertian-pengertian mereka sendiri mengenai keberanian dan rasa takut. [10]
2. Open Education
Open Education adalah proses pendidikan terbuka. Menurut Walberg dan Tomas(1972), Open Education itu memiliki delapan kriteria, yaitu:
a.
Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang
diperlukan untuk belajar tersedia, para siswa bergerak bebas di sekitar
ruangan, tidak dilarang berbicara, tidak ada pengelompokkan atas dasar tingkat
kecerdasan.
b.
Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat, artinya
menggunakan bahan buatan siswa, guru menangani masalah-masalah tingkah laku
dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan, tanpa
melibatkan kelompok.
c.
Mendiagnosa pristiwa-pristiwa belajar, artinya siswa-siswa
memerikasa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan.
d.
Pengajaran, yaitu pengajaran individual, tidak ada tes ataupun
buku kerja.
e.
Penilaian, ujudnya: guru membuat catatan, penilaian secara
individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.
f.
Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru
menggunakan bantuan orang lain, guru bekarja dengan teman sekerjanya.
g.
Persepsi guru sendiri, artinya guru mengamati semua siswa untuk
memantau kegiatan mereka.
h.
Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana
kelas hangat dan ramah, para siswa asyik melakukan sesuatu.
Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bergerak secara bebas de sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru tetap diperlukan.[11]
Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bergerak secara bebas de sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru tetap diperlukan.[11]
.
3. Cooperative Learning
3. Cooperative Learning
Cooperative Learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk menigkatkan dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) Cooperative Learning mempunyai tiga karakteristik:
a.
Siswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota),
komposisi ini tetap selama berminggu-minggu.
b.
Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang
bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok.
c.
Siswa diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.[12]
D.
Peran Guru dalam teori
humanistic
Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,pertanggung jawab social dan bahan pengajaran yang khusus. Mereka percaya bahwa masalah ini tak dapat diserahkan begitu saja kepada siswa, pada tipe ini guru memberikan tekanan akan perlunya sesuatu rencana pelajaran yang telah disiapkan dengan baik,materi yang tersusun dengan logis, dan tujuan instruksional yang tertentu dan mereka mempunyai kecendrungan untuk memperoleh jawaban yang benar Guru senang pada suatu pendekatan sisitematik yang memanfaatkan pengetahuan hasil penelitian pada kondisi-kondisi belajar yang diperlukan bagi siswa untuk mencapai hasil yang telah ditentukan, Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator, yang berikut in adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas bagi fasilitator, ini merupakan iktisar yang sangat disingkat dari beberapa petunjuk.
1)
Fasilitator sebaiknya member perhatian kepada pencintaan suasana
awal,situasi kelompok, atau penmgaman kelas.
2)
Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas
tujuan-tujuan perorangan didalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang
bersifat lebih umum
3)
Guru mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa
untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi sendirinya, sebagai
kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajr yang bermakna tadi.
4)
Guru mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk
belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu
mencapai tujuan mereka.
5)
Guru merupakan dirinya-sendiri sebagai suatu sumber yang
fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok
6)
Didalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan
menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan
mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai baik bagi individual ataupun
bagi kelompok.
7)
Bila mana cuaca penerimaan kelas telah mantap,fasilitator
berangsur-rangsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut
berpastisipasi seorang anggota kelompok,dan turut menyatakan pandangannya
sebagai seorang individu,seperti sifat yang lain.
8)
Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok perasaannya
danjuga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi
sebagi suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak siswa
9)
Guru tetap harus waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang
menandakan adanya paksaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10) Didalam berperan sebagai
seorang fasilitator,pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima
keterbatasan-keterbatasan sendiri.[13]
E.
Kurikulum
humanis.
Kurikulum itu untuk siapa?Kurikulum
secara etimologis berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta
dalam perlombaan (Kamus Webster 1955).Sedangkan secara terminologis kurikulum
adalah keseluruhan pengalaman yang ditawarkan kepada anak peserta didik di
bawah arahan dan bimbingan sekolah (Ronald C. Doll).Berdasarkan dari rumusan
pengertian diatas baik secara etimologis maupun secara terminologis menunjukan
bahwa dalam kurikulum terdapat tiga konsep utama yaitu rencana, proses dan
tujuan.Pertama rencana. Rencana adalah upaya pengorganisasian berbagai
stakeholder untuk melakukan proses. Kedua, Proses mengacu pada usaha sadar
seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Sedangkan yang ketiga
tujuan yaitu road of finish yang ingin dicapai setelah
mengikuti proses.
Kurikulum sebagai sebuah rencana,
proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan stakeholder dalam hal ini
yang akan dibahas adalah guru dan siswa.[14]
1.
Kurikulum
Humanis Diarahkan Pada Guru.
Guru adalah aspek terpenting dalam sebuah
proses pendidikan. Tanpa guru proses pendidikan tidak bias berjalan jadi guru
adalah tokoh kunci bagi suatu kurikulum. Kurikulum yang diarahkan pada
kepentingan dan menjadikan guru sebagai tokoh kunci menjadi syarat utama bagi
keberlanjutan organisasi sekolah.Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang
mampu mengakomodasi semua kepentingan stakeholder dalam dunia pendidikan.Inilah
pendidikan humanis yang penulis tafsirkan sebagai kurikulum pendidikan yang
diarahkan untuk kepentingan semua komponen pendidikan, yang tidak hanya
berorientasi pada humanisme siswa tetapi juga pada para guru.
Berbagai
kasus pelecehan terhadap guru dalam berbagai sub pendidikan (sekolah) merupakan
contoh kecil dari kesalahan pemahaman terhadap arti kurikulum sebagai kerikulum
pendidikan humanis. Kurikulum pendidikan yang humanis akan menjadi humanis
manakala dalam konsep dan alur keberpihakannya tidak hanya diarahkan pada
kepentingan siswa sebagai manusia tetapi harus juga diarahkan pada guru sebagai
manusia yang harus dihargai dan dihormati. Kesalahan pemahaman terhadap konsep
berpikir para guru tradisional yang menjadikan siswa sebagai obyek pendidikan
yang harus mengikuti cetak biru yang diinginkan oleh guru menjadi sebab yang
determinan bagi penerapan konsep pendidikan humanis yang kebablasan.Guru yang
seharusnya dijadikan tokoh kunci menjadi tersubordinasi oleh kepentingan siswa
sebagai manusia yang dimanusiakan.Hal inilah yang menjadi sebab utama bagi
siswa melemahkan peran guru sebagai seorang yang digugu dan ditiru. Dunia
pendidikan di Negara-negara muslim telah termakan oleh hasutan Paulo Freud yang
mengatakan bahwa “guru memposisikan dirinya sebagai dewa suci, sesuci lembaga
sekolah itu sendiri, sering kelihatan sebagai seorang yang tak tersentuh baik
keilmuan maupun fisiknya (Paulo Freud: 2007:196).”[15]
Konsep Freud terkait dengan guru
akan sangat berbeda bila kita bandingkan dengan konsep yang diterapkan didunia
islam. Salah seorang tokoh dan ulam besar islam al Imam Ghazali dalam bukunya
Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama. Mengatakan bahwa antara guru dan
murid harus memiliki akhlak, akhlak guru adalah menghargai murid sebagai
manusia yang perlu bimbingan dan arahan sedangkan murid menghormati guru
untuk memperoleh ilmu dan hikmah. Namun demikian ada beberapa nilai positif
yang patut di terapkan oleh guru dalam pendikan humanis yaitu:
a. Fasilitator
sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok,
atau pengalaman kelas
b. Fasilitator
membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam
kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c. Dia
mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan
tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang
tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d. Dia
mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas
dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e. Dia
menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat
dimanfaatkan oleh kelompok.
f. Di
dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik
isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk
menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
g. Bilamana
cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota
kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti
siswa yang lain.
h. Dia
mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.
Dia harus tetap waspada terhadap
ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
j.
Di dalam berperan sebagai seorang
fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima
keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[16]
Guru yang baik menurut teori ini
adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu
berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan
mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah
guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka
melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan, bertindak agak
otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
2.
Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
Pendapat Freud tentang pendidikan
humanis tidak selamanya benar dan juga sepenuhnya salah. Namun kita harus
melihat kapan kurikulum pendidikan yang bersifat humanis ini akan diarahkan.
Berdasarkan analisa penulis terhadap salah satu bukunya yang berjudul Politik
Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan Dan Kebebasan terlihat bahwa arus
utama pemikirannya diarahkan pada kritiknya terhadap prakek pendidikan yang
dilakukan oleh gereja yang tidak memberikan ruang yang
representative bagi perkembangan pemikiran keagamaan. Pola pendidikan yang
bersifat doktrinasi oleh gereja ini mengundang berbagai kritikan yang tidak
hanya datang dari seorang Paulo Freud tetapi juga berbagai tokoh-tokoh lain
seperti Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man.[17]
Kebebasan yang di usung dalam
pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai.Kebebasan dalam segala
aspek kehidupan. Ketika seorang guru menegur siswa malah siswa mengejek dan
mengolok-olok sang. Dan bahkan Yang tragisnya lagi ketika para murid memukul
gurunya itu pun dianggap sebagai kebebasan yang wajar.Apakah pendidikan humanis
yang seperti inikah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang
menjunjung tinggi nilai-nilai etika ketimuran?
Hampir semua buku yang pernah
penulis baca, kecendrungan pemikirannya dewasa ini mengarah pada kritiknya
terhadap guru.Dan hampir tidak ada buku yang membahas bagaimana seharusnya
siswa berakhlak dan beretika terhadap gurunya kecuali buku-buku yang berbau
agama. Hal inilah yang menimbulkan ketimpangan yang luar biasa jauhnya antara
apa yang harus dilakukan oleh guru dan bagaimana seharusnya siswa bersikap,
sehingga wajah pendidikan menjadi carut marut tanpa konsep dan arah yang jelas.
Pendidikan humanis yang bagaimanakah
yang menjadi solusi bagi bangsa Indonesia?Mari kita mencari jawabannya secara bersama-sama.Kurikulum
itu diberikan untuk membantu menjadi apa[18]
Pendidikan bertujuan untuk mengajar,
memanusiakan, dan mengarahkan anak didik agar mencapai akhir sempurna (A.
Sudiarja dalam Muh. Yamin, 2010:155). Yang menjadi pertanyaan adalah
apakah pendidikan humanis yang di pelopor oleh “Barat” mampu memenuhi tuntutan
tersebut? Sedangkan menurut Yamin Pendidikan adalah gambaran umum atas apa yang
harus dijalankan, sedangkan kurikulum merupakan wilayah konsep dan teknik yang
sudah menjadi sebuah kontruksi sebuah praktek pendidikan (Muh. Yamin, 2010:
156).[19]
Kurikulum pendidikan humanis adalah
pola pedidikan yang menghargai murid sebagai manusia yang bebas. Bebas dari
campur tangan politik pemerintah, bebas dari kekangan guru dan bebas
segala-galanya. pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya dia berpandangan
pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan pendidikan diluar sekolah
tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.
Setiap kurikulum pasti memiliki
tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang akan dicapai. Kurikulum
pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses pembelajaran menjadikan siswa
dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas. Bebas menentukan dan bebas
melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran, dan mimbar
kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa dalam
pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang tidak
mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas.Dan siswa diharapkan menjadi
manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur
pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain
atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Alternatif
yang ditawarkan lebih lanjut
Alternatif
yang ditawarkan dalam pendidikan humanis adalah mengambil yang terbaik
untuk diterapkan dalam pola pendidikan Pendidikan humanis yang posotif untuk
pengembangan siswa bisa di elaborasi dengan pendidikan karakter dan pendidikan
yang berbasis akhlak.
Pendidikan
Karakter
Pencetus pendidikan karakter yang
menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi
atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis
Deweyan.[20]
Tujuan pendidikan adalah untuk
pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan
perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. karakter merupakan sesuatu yang
mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi
pengalaman kontingen yang selalu berubah.Dari kematangan karakter inilah,
kualitas seorang pribadi diukur.Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam
pendidikan karakter.
Pertama,
keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki
nilai.Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua,
koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak
mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan
dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi
meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga,
otonomi.Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat,
keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna
mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi
penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Kematangan keempat karakter ini,
lanjut, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju
personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas
dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi
eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi
dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak
kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian,
pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk
diterapkan.
Tradisi pendidikan di Indonesia
tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya
dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.Pedagogi aktif Deweyan baru muncul
lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
Kebiasaan berpikir kritis melalui
pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi
habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak
didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan
guru.[21]
3.
Pendidikan
Yang Berbasis Akhlak
Plato adalah seorang filosof yunani
dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan “Tujuan pendidikan tidak bisa
dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu pendidikan dan politik tidak bisa
dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur ialah
melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah cita – cita ideal sebuah bangsa,
tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah simbolisasi dan dominasi filsafat dari
sebuah bangsa tersebut.[22]
Realitas yang seringkali tersaji di
hadapan mata, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat
terlarang, kejahatan seksual, pencurian, pembunuhan dan lainnya layaknya sebuah
rutinitas keseharian, yang justru dilakukan oleh mereka yang masih berstatus
sebagai pelajar.Kalau sudah demikian, lantas apa kabarnya sejumlah silabus dan
materi pengajaran yang diajarkan kepada pelajar kita itu, ketika semua yang
terjadi adalah kontra produktif dengan apa yang diajarkan kepada mereka.
Seorang pelajar, dari mulai tingkat
dasar sampai lanjutan atas tentu mendapatkan sejumlah ajaran saat mengikuti
aktivitas pendidikannya di kelas atau sekolah.Sejatinya seorang murid adalah
seorang yang terpelajar atau setidaknya sedang di didik untuk menjadi insan terpelajar.
Mereka mendapatkan sejumlah pengajaran, mulai dari ilmu pengetahuan,
kepribadian, sampai ajaran tentang norma susila dan moralitas.Namun dikemanakan
semua ajaran itu saat realitas menunjukkan sebaliknya.Ia didik untuk saling
tenggang rasa dan sayang menyanyangi antar sesama, namun yang dipraktekkan
adalah saling menyakiti dan menciderai satu sama lain lewat tawuran atau tindak
kekerasan lainnya. Pelajar mendapatkan ilmu tentang norma, moralitas dan
etika-etika agama. Namun yang terjadi, ada pelajar yang tega memperkosa teman
sekelasnya.Bahkan saat ini marak perilaku amoral yang dilakukan oleh para
penerus bangsa itu melalui perbuatan asusila dalam binkai pergaulan/seks bebas.
Dari sekian banyak kejadian yang
merubah sifat pelajar masa kini kita dapat tinjau kembali hakekat keberadaan
kita sebagai agent of chance (agen perubahan) termasuk di dalamnya perihal
moralitas, sehingga anak didik kita memiliki “kebanggaan” terhadap
gurunya.Mengaktifkan anak didik kita dalam kegiatan keagamaan di sekolah dengan
memberikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral
agama yang dianutnya.Khusus untuk kita sendiri sebagai pendidik, sudah
selayaknyalah kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan
budi pekerti sebagai integrasi dari nilai-nilai agama itu sendiri.Karena selama
ini, kita melihat sebuah fakta, bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan
di dalam mendidik anak-anak kita. [23]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah
dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai
makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah
aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia
mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai
pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.
Ada
beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran Humanistik seperti: Combs, Maslov dan
Rogers.
Mengenai aplikasi psikologi humanistik dalam pendidikan,Bagian ini berisi informasi tentang bagaimana para psikoloigi humanistik berupaya menggabungkan ketrampilan dan informasi kognitif dengan segi-segi afektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi
Peran seorang guru dalam
Psikologi humanistik yaitu memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator
Kurikulum
pendidikan humanis yang digagas Paulo Freud adalah pola pedidikan yang
menghargai murid sebagai manusia yang bebas.Bebas dari campur tangan politik
pemerintah, bebas dari kekangan guru dan bebas segala-galanya.Sehingga Freud
memberikan solusi pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya dia
berpandangan pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan pendidikan
diluar sekolah tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.Setiap
kurikulum pasti memiliki tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang
akan dicapai. Kurikulum pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses
pembelajaran menjadikan siswa dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas.
Bebas menentukan dan bebas melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran,
dan mimbar kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa
dalam pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang
tidak mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas. Dan siswa diharapkan
menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan
mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak
orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
B.
Saran
Dengan
mengucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan selesainya makalah
ini dan saya meminta kepada teman-teman agar memberikan masukan dan kritikan
dalam makalah ini agar menambah wawasan saya sebagai pemakalah.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sukardjo, Landasan Pendidikan (konsep dan
Aplikasinya), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.
Bambang
Sugiarto, Humanisme dan Humaniora (Relevansinya dengan Pendidikan), Yogyakarta-Bandung:
Jalasutra, 2008.
Paulo
Freud, 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pen:
Pustaka Pelajar.
Howard Gardner (1983), Manusia memiliki 7 macam Kecerdasan.
Moh.Yamin, 2010.
Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Menciptakan Mutu Pendidikan
Berbasis Kurikulum Yang Progresif Dan Inspiratif, Diva Press.
Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat
manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
Combs Thomas,
dkk, Education
Psychology, London: Brown Benchmark, 1997.
Abraham H.
Maslov, Windows on Theacing, London:
Redd Benchmark, 2008.
Carl R. Rogers, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai
Masa Modern, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2005.
Mohammad Ali, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung:
Pedagogiana, 2007.
Walberg dan Tomas(1972),
Open Education
Slavin (1980)
Cooperative Learning.
http://Membangun
Metodologi Pendidikan Berbasis Akhlak « Secangkirkopipagi’s Weblog.htm
(Ronald C. Doll) dari (Kamus Webster
1955) Pengertian Kurikulum Secara
Epistomologi dan Secara Terminologi.
Konsep
Paulo Freud: (2007:196)
Imam
Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
Erich
Fromm dalam bukunya The Heart of Man.
Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada
Milenium ke III (makalah)
pedagog
Jerman FW Foerster (1869-1966).
Maryanto, A., (1999), Otonomi Pendidikan Salah Satu Bentuk Implementasi Desentralisasi Pemerintahan (makalah)
Riyanto, Theo., (Grasindo, 2002),
Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi.
A.
Sudiarja dan Muh. Yamin, (2010:155-156).
Plato
filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic.
Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational
Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in
Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.
[1]
Dr. M. Sukardjo, Landasan Pendidikan
(konsep dan Aplikasinya), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 56
[2]
Bambang Sugiarto, Humanisme dan Humaniora (Relevansinya dengan Pendidikan), (Yogyakarta-Bandung:
Jalasutra, 2008), h. 343
[3]Paulo
Freud, Eduart Spranger (1950), 2007. Politik
Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pen: Pustaka Pelajar.
[5]
Ki Hajar
Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan
psikologiknya.
[6]
Combs Thomas, dkk, Education Psychology, (London: Brown Benchmark, 1997), h. 73
[7]Moh.Yamin,
2010.Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan:
Panduan Menciptakan Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum Yang Progresif Dan
Inspiratif, Diva Press.
[8]
Abraham H. Maslov, Windows on Theacing, (London:
Redd Benchmark, 2008), h. 73
[9]
Carl R. Rogers, Sejarah Psikologi dari
Masa Kelahiran sampai Masa Modern, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2005), h. 20
[10]
Mohammad Ali, Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana, 2007), h. 65
[12]
Slavin (1980) Cooperative Learning.
[14]
(Ronald C. Doll) dari (Kamus
Webster 1955) Pengertian Kurikulum
Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.
[15]
Konsep Paulo Freud:
(2007:196)
[16]
Imam Ghazali dalam bukunya
Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
[17]
Erich Fromm dalam bukunya The
Heart of Man.
[19]
A. Sudiarja dan Muh.
Yamin, (2010:155-156).
[20]
pedagog Jerman FW Foerster
(1869-1966).
[22]
Plato filosof yunani dalam
bukunya yang berjudul Republic.
[23]Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and
Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la
Salle University
EmoticonEmoticon