Senin, 06 Oktober 2014

pendidikan humanis

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang

Hakikat pendidikan humanis adalah upaya untuk memanusiakan manusia. Didalam pengertian lain manusia adalah subjek atau pribadi yang memiliki hak cipta, rasa, dan karsa. Oleh karena itu, pendidikan yang memanusiakan manusia adalah sebuah keharusan yang terus menerus digelar, karena ini menjadi prinsip-prinsip bagi keberhasilan pendidikan sebagai upaya kecerdasan kehidupan bangsa. Pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan humanis yang bertujuan untuk memanusiakan manusia adalah teori belajar pendidikan humanis. Teori belajar humanis pada dasarnya memiliki tujuan belajar untuk memanusiakan manusia. Oleh karena itu proses belajar dapat dianggap berhasil apabila si pembelajar memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Dengan kata lain, si pembelajar dalam proses belajar harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualitas diri dengan sebaik-baiknya.[1]

Kita menyadari bahwa manusia memiliki dimensi humanitas yang mencakup tiga unsur, Kognitif (Pengetahuan), afektif (Perasaan), dan Konatif (Kehendak Karsa). Dengan menyadari semakin kuatnya tendensi yang ada dalam pendidikan Indonesia yang lebih memfokuskan diri pada aspek kognitif-intelektual dan aspek keahlian (skill), bahwa upaya pendidikan humanis diarahkan pada pengembangan kepribadian yang mencakup, olah piker, olah rasa, olah karsa, olah cipta, dan olah raga.
            Dalam dunia pendidikan, guru dan siswa adalah dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Jika guru tidak ada maka siswa akan sulit berkembang, begitu juga sebaliknya jika siswa tidak ada maka guru tidak dapat memberikan ilmunya dan ia tidak akan disebut guru. Setiap anak memiliki kepribadian yang berbeda dengan yang lainnya, ada yang memiliki watak yang lembut dan ada juga yang keras.Prilaku-prilaku siswa yang seperti itu tidak dapat kita ketahui jika kita tidak mendekati mereka.[2]

B.  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana aspek-aspek humanistik?
2.      Siapa sajakah tokoh-tokoh dalam aliran humanistik?   
3.      Bagaimana aplikasi teori humanistik dalam pendidikan?
4.      Bagaimanakah peran guru dalam teori humanistik?
5.      Bagaimana kurikulum humanis?











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Aspek-aspek humanistik
            Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.[3]
            Howard Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurut dia, paling tidak manusia memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah, penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi antar pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek. Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7.  Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan hal-hal rohani.[4]
            Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal, interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). Penting pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan. Sayang bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit sekali. Hal ini tentu merugikan siswa sebab tidak semua bakat dan kemampuannya dieksplorasi dan dikembangkan, dan juga fatal bagi sebagian siswa yang memiliki kelebihan kecerdasan di otak kanan. Betapa pentingnya dalam dunia pendidikan kita mengusahakan proses pembelajaran dan pendidikan yang mengembangkan aktivitas baik otak kanan maupun otak kiri, yang mengembangkan semua aspek kemanusiaan perseorangan.
            Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada pengembangan daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusia kurang humanis atau manusiawi.[5]
            Dari titik pandang sosio-anthropologis, kekhasan manusia yang membedakannya dengan makhluk lain adalah bahwa manusia itu berbudaya, sedangkan makhluk lainnya tidak berbudaya. Maka salah satu cara yang efektif untuk menjadikan manusia lebih manusiawi adalah dengan mengembangkan kebudayaannya. Persoalannya budaya dalam masyarakat itu berbeda-beda. Dalam masalah kebudayaan berlaku pepatah:”Lain lading lain belalang, lain lubuk lain ikannya.” Manusia akan benar-benar menjadi manusia kalau ia hidup dalam budayanya sendiri. Manusia yang seutuhnya antara lain dimengerti sebagai manusia itu sendiri ditambah dengan budaya masyarakat yang melingkupinya.

B.  Tokoh-Tokoh Aliran Humanis

            Ada beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran Humanis seperti: Combs, Maslov dan Rogers. Berikut kita akan mencoba mengenal bagaimana teori yang dinyatakan oleh mereka.

1.    Combs

            Combs dan kawan-kawan menyatakan apabila kita ingin memahami prilaku orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu.Apabila kita ingin mengubah prilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan orang itu, prilaku dalamlah yang membedakan seseorang dengan yang lainnya. Combs dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan bahwa prilaku buruk itu seungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk tidak melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan bagi dirinya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa siswanya tidak mmempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu, ini sesungguhnya berarti, bahwa siswa tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh gurunya. Apabila guru memberikan aktifitas yang lain, mungkin sekali siswa akan memberikan reaksi yang fositif.Para ahli Humanistik melihat adanya dua bagian pada learning, ialah:

1. Pemerolehan informasi baru

2. Personalisasi informasi, ini pada individu.

            Combs berpendapat bahwa adalah salah kalau guru beranggapan bahwa murid-muridnya akan sudah belajar kalau bahan pelajaran yang di susun secara rapi dan disampaikan dengan bagus. Sebab arti dan maknanya tidak melekat pada bahan pelajaran itu, murid sendirilah yang mencerna dan menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya.Yang menjadi masalah dalam mengajar ialah bukan bagaimana bahan pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran tersebut.Apabila murid-murid dapat mengkaitkan bahan pelajaran tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang hati bahwa misinya telah berhasil.

            Combs memberikan lukisan persepsi diri dan persepsi dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu.Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkungan besar (2) adalah persepsi dunia.Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin besar pengaruhnya terhadap perilakunya.Jadi hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.[6]

2.     Abrahama H. Maslov

            Dia dikenal sebagai salah satu tokoh yang menonjol dari psikologi humanistik.Karyanya dibidang pemenuhan kebutuhan mempunyai pengaruh yang tidak kecil dalam upaya memahami motivasi manusia. Sebagian besar dari teorinya
  yang penting didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia ada dua hal:
  1.  Suatu usaha yang positif untuk berkembang,
2.  Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu (Maslov, 1968)
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (Self).[7]

             Menurut Maslov ada beberapa kebutuhan, terutama kebutuhan-kebutuhan   jasmaniah, yang lebih asasi.Kemudian ada pula kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi tingkatannya.

               Kebutuhan jasmaniah seperti makan, minum dan tidur, menuntut sekali untuk dipuaskan.Sekali kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi, muncullah kebutuhan pada tingkat berikutnya, yaitu kebutuhan keamanan seperti kebutuhan untuk kesehatan dan kebutuhan untuk terhindar dari bencana dan bahaya. Pemuasan kebutuhan keamanan diikuti oleh timbulnya kebutuhan untuk memiliki dan cinta kasih seperti dorongan untuk mempunyai kawan dan berkeluarga, dorongan untuk menjadi anggota kelompok dan sebagainya ketidak mampuan untuk memenuhi kebutuhan ini bisa mendorong seseorang untuk berbuat yang lain untuk memperoleh pengakuan dan perhatian. Misalnya orang menggunakan prestasi sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya ialah kebutuhan harga diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati dan dipercaya oleh orang lain.
Setelah kebutuhan yang tingkatannya lebih rendah ini terpenuhi mak motivasi lalu diarahkan ke terpenuhinya kebutuhan aktualisasi dirri yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu.Aktualisasi diri dilakukan setiap orang berbeda-beda.Misalnya mengembangkan kegemaran, membaca buku, mengendarai mobil, mendidik dan membesarkan anak, menjadi guru dan sebagainya.Menyusul setelah kebutuhan ini adalah kebutuhan untuk tahu dan mengerti, kebutuhan untuk memuaskan rasa ingin tahu, mencari ilmu pengetahuan dan memperoleh pemahaman. Dan akhirnya Maslov berpendapat bahwa tidak sedikit orang yang mempunyai kebutuhan estetis, dorongan keindahan, yaitu kebutuhan akan ketenaran, kesimetrisan dan kelengkapan.[8]

3.    Carl R. Rogers

            Rogers adalah seorang psikolog humanistik yang gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek pendidikan. Lewat karya-karyanya yang tersohor sepertiFreedom to Learn and Freedom to learn for the 80’s, ia menunjukkan sejumlah prinsif-prinsif belajar humanistik yang penting, di antaranya ialah:


a.  Hasrat untuk belajar

            Menurut rogers manusia itu memiliki hasrat alami untuk belajar. Hal itu dapat dibuktikan: perhatikan saja betapa ingin tahunya anak kalau ia sedang mengeksplorasi lingkungannya. Dorongan ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan humanistik.

b.  Belajar yang berarti

            Hal ini terjadi apabila yang dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari itu mempunyai arti baginya..

c.    Belajar tanpa ancaman

      Belajar itu mudah dilakukan apabila berlangsung dalam lingkungan yang aman dan bebas ancaman. Proses belajar akan berjalan lancar dan anak akan bebas menguji kemampuannya atau mencoba pengalaman-pengalaman baru.

d.    Belajar atas inisiatif sendiri

            Bagi para humanis, belajar itu paling bermakna manakala hal itu dilakukan atas inisiatif sendiri dan apabila melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar. Mampu memilih arah belajarnya sendiri akan sangat memberikan motivasi bagi siswa untuk belajar bagaimana caranya belajar (to learn how to learn).

e.    Belajar dan perubahan

            Menurut rogers bahwa belajar yang paling bermanfaat itu ialah belajar tentang proses belajar. Di waktu lampau murid belajar mengenai fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu dunia lambat berubah, dan apa yang dipelajari di sekolah sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan pada masa itu. Tapi sekarang dunia sudah berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sangat canggih.Apa yang dipelajari dimasa lampau tidaklah cukup untuk membekali seseorang pada masa sekarang.[9]


C.    Aplikasi Humanistik Dalam Pendidikan

            Mengenai aplikasi psikologi humanistik dalam pendidikan,Bagian ini berisi informasi tentang bagaimana para psikoloigi humanistik berupaya menggabungkan ketrampilan dan informasi kognitif dengan segi-segi afektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi. Sehubungan dengan itu akan dibicarakan tiga macam program, yaitu Confluent Education, Open Education dan Cooperative Learning

1.    Confluent Education

            Cooperative Learning adalah pendidikan yang memadukan atau mempertemukan pengalaman-pengalaman afektif dengan belajar kognitif di dalam kelas. Hal ini merupakan cara yang bagus sekali untuk melibatkan para siswa secara pribadi di dalam bahan pelajaran.

            Sebagai contoh misalnya, guru bahasa Indonesia memberikan tugas kepada para siswa untuk membaca sebuah novel, katakanlahmisalnya tentang “keberanian”, sebuah novel perang. Melalui tugas itu, siswa-siswa tidak hanya diharapkan memahami isi bacaan tersebut dengan baik tetapi juga memperoleh kesadaran antar vpribadi yang lebih baik dengan jalan membahas pengertian-pengertian mereka sendiri mengenai keberanian dan rasa takut. [10]


2.    Open Education

            Open Education adalah proses pendidikan terbuka. Menurut Walberg dan Tomas(1972), Open Education itu memiliki delapan kriteria, yaitu:

a.       Kemudahan belajar tersedia, artinya berbagai macam bahan yang diperlukan untuk belajar tersedia, para siswa bergerak bebas di sekitar ruangan, tidak dilarang berbicara, tidak ada pengelompokkan atas dasar tingkat kecerdasan.
b.      Penuh kasih sayang, hormat, terbuka dan hangat, artinya menggunakan bahan buatan siswa, guru menangani masalah-masalah tingkah laku dengan jalan berkomunikasi secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan, tanpa melibatkan kelompok.
c.       Mendiagnosa pristiwa-pristiwa belajar, artinya siswa-siswa memerikasa pekerjaan mereka sendiri, guru mengamati dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan.
d.      Pengajaran, yaitu pengajaran individual, tidak ada tes ataupun buku kerja.
e.       Penilaian, ujudnya: guru membuat catatan, penilaian secara individual, hanya sedikit sekali diadakan tes formal.
f.       Mencari kesempatan untuk pertumbuhan profesional, artinya guru menggunakan bantuan orang lain, guru bekarja dengan teman sekerjanya.
g.      Persepsi guru sendiri, artinya guru mengamati semua siswa untuk memantau kegiatan mereka.
h.      Asumsi tentang para siswa dan proses belajar, artinya suasana kelas hangat dan ramah, para siswa asyik melakukan sesuatu.
Meskipun pendidikan terbuka memberikan kesempatan kepada para siswa untuk bergerak secara bebas de sekitar ruangan dan memilih aktifitas belajar mereka sendiri, namun bimbingan guru tetap diperlukan.[11]
.
3.  Cooperative Learning

            Cooperative Learning atau belajar kooperatif merupakan fondasi yang baik untuk menigkatkan dorongan berprestasi siswa. Menurut Slavin (1980) Cooperative Learning mempunyai tiga karakteristik:

a.       Siswa bekerja dalam tim-tim belajar yang kecil (4-6 orang anggota), komposisi ini tetap selama berminggu-minggu.
b.      Siswa didorong untuk saling membantu dalam mempelajari bahan yang bersifat akademik atau dalam melakukan tugas kelompok.
c.       Siswa diberi imbalan atau hadiah atas dasar prestasi kelompok.[12]

D.    Peran Guru dalam teori humanistic

            Guru-guru cenderung berpendapat bahwa pendidikan adalah pewaris kebudayaan,pertanggung jawab social dan bahan pengajaran yang khusus. Mereka percaya bahwa masalah ini tak dapat diserahkan begitu saja kepada siswa, pada tipe ini guru memberikan tekanan akan perlunya sesuatu rencana pelajaran yang telah disiapkan dengan baik,materi yang tersusun dengan logis, dan tujuan instruksional yang tertentu dan mereka mempunyai kecendrungan untuk memperoleh jawaban yang benar Guru senang pada suatu pendekatan sisitematik yang memanfaatkan pengetahuan hasil penelitian pada kondisi-kondisi belajar yang diperlukan bagi siswa untuk mencapai hasil yang telah ditentukan, Psikologi humanistik memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator, yang berikut in adalah berbagai cara untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas bagi fasilitator, ini merupakan iktisar yang sangat disingkat dari beberapa petunjuk.

1)      Fasilitator sebaiknya member perhatian kepada pencintaan suasana awal,situasi kelompok, atau penmgaman kelas.
2)      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan didalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat lebih umum
3)      Guru  mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi sendirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajr yang bermakna tadi.
4)       Guru mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
5)      Guru merupakan dirinya-sendiri sebagai suatu sumber  yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok
6)      Didalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
7)      Bila mana cuaca penerimaan kelas telah mantap,fasilitator berangsur-rangsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpastisipasi seorang anggota kelompok,dan turut menyatakan pandangannya sebagai seorang individu,seperti sifat yang lain.
8)      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok perasaannya danjuga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagi suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak siswa
9)      Guru tetap harus waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya paksaan yang dalam dan kuat selama belajar.
10)  Didalam berperan sebagai seorang fasilitator,pimpinan harus mencoba untuk mengenali dan menerima keterbatasan-keterbatasan sendiri.[13]

E.     Kurikulum humanis.

            Kurikulum itu untuk siapa?Kurikulum secara etimologis berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari atau kereta dalam perlombaan (Kamus Webster 1955).Sedangkan secara terminologis kurikulum adalah keseluruhan pengalaman yang ditawarkan kepada anak peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah (Ronald C. Doll).Berdasarkan dari rumusan pengertian diatas baik secara etimologis maupun secara terminologis menunjukan bahwa dalam kurikulum terdapat tiga konsep utama yaitu rencana, proses dan tujuan.Pertama rencana. Rencana adalah upaya pengorganisasian berbagai stakeholder untuk melakukan proses. Kedua, Proses mengacu pada usaha sadar seseorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan. Sedangkan yang ketiga tujuan yaitu road of finish yang ingin dicapai setelah mengikuti proses.
            Kurikulum sebagai sebuah rencana, proses dan tujuan harus diarahkan pada kepentingan stakeholder dalam hal ini yang akan dibahas adalah guru dan siswa.[14]
1.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Guru.
            Guru adalah aspek terpenting dalam sebuah proses pendidikan. Tanpa guru proses pendidikan tidak bias berjalan jadi guru adalah tokoh kunci bagi suatu kurikulum. Kurikulum yang diarahkan pada kepentingan dan menjadikan guru sebagai tokoh kunci menjadi syarat utama bagi keberlanjutan organisasi sekolah.Pendidikan yang humanis adalah pendidikan yang mampu mengakomodasi semua kepentingan stakeholder dalam dunia pendidikan.Inilah pendidikan humanis yang penulis tafsirkan sebagai kurikulum pendidikan yang diarahkan untuk kepentingan semua komponen pendidikan, yang tidak hanya berorientasi pada humanisme siswa tetapi juga pada para guru.
Berbagai kasus pelecehan terhadap guru dalam berbagai sub pendidikan (sekolah) merupakan contoh kecil dari kesalahan pemahaman terhadap arti kurikulum sebagai kerikulum pendidikan humanis. Kurikulum pendidikan yang humanis akan menjadi humanis manakala dalam konsep dan alur keberpihakannya tidak hanya diarahkan pada kepentingan siswa sebagai manusia tetapi harus juga diarahkan pada guru sebagai manusia yang harus dihargai dan dihormati. Kesalahan pemahaman terhadap konsep berpikir para guru tradisional yang menjadikan siswa sebagai obyek pendidikan yang harus mengikuti cetak biru yang diinginkan oleh guru menjadi sebab yang determinan bagi penerapan konsep pendidikan humanis yang kebablasan.Guru yang seharusnya dijadikan tokoh kunci menjadi tersubordinasi oleh kepentingan siswa sebagai manusia yang dimanusiakan.Hal inilah yang menjadi sebab utama bagi siswa melemahkan peran guru sebagai seorang yang digugu dan ditiru. Dunia pendidikan di Negara-negara muslim telah termakan oleh hasutan Paulo Freud yang mengatakan bahwa “guru memposisikan dirinya sebagai dewa suci, sesuci lembaga sekolah itu sendiri, sering kelihatan sebagai seorang yang tak tersentuh baik keilmuan maupun fisiknya (Paulo Freud: 2007:196).”[15]
            Konsep Freud terkait dengan guru akan sangat berbeda bila kita bandingkan dengan konsep yang diterapkan didunia islam. Salah seorang tokoh dan ulam besar islam al Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama. Mengatakan bahwa antara guru dan murid harus memiliki akhlak, akhlak guru adalah menghargai murid sebagai manusia yang perlu bimbingan  dan arahan sedangkan murid menghormati guru untuk memperoleh ilmu dan hikmah. Namun demikian ada beberapa nilai positif yang patut di terapkan oleh guru dalam pendikan humanis yaitu:
a.       Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
b.      Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok yang bersifat umum.
c.       Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya, sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar yang bermakna tadi.
d.      Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk membantu mencapai tujuan mereka.
e.       Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
f.       Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok.
g.      Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
h.      Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa.
i.        Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j.        Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri.[16]
            Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan siswa dengan mudah dan wajar. Ruang kelas lebih terbuka dan mampu menyesuaikan pada perubahan. Sedangkan guru yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa humor yang rendah, mudah menjadi tidak sabar, suka melukai perasaan siswa dengan komentsr ysng menyakitkan, bertindak agak otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
2.      Kurikulum Humanis Diarahkan Pada Siswa
            Pendapat Freud tentang pendidikan humanis tidak selamanya benar dan juga sepenuhnya salah. Namun kita harus melihat kapan kurikulum pendidikan yang bersifat humanis ini akan diarahkan. Berdasarkan analisa penulis terhadap salah satu bukunya yang berjudul Politik Pendidikan: Kebudayaan Kekuasaan Dan Kebebasan terlihat bahwa arus utama pemikirannya diarahkan pada kritiknya terhadap prakek pendidikan yang dilakukan oleh gereja yang tidak memberikan ruang yang representative bagi perkembangan pemikiran keagamaan. Pola pendidikan yang bersifat doktrinasi oleh gereja ini mengundang berbagai kritikan yang tidak hanya datang dari seorang Paulo Freud tetapi juga berbagai tokoh-tokoh lain seperti Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man.[17]
            Kebebasan yang di usung dalam pendidikan humanis adalah kebebasan yang bebas nilai.Kebebasan dalam segala aspek kehidupan. Ketika seorang guru menegur siswa malah siswa mengejek dan mengolok-olok sang. Dan bahkan Yang tragisnya lagi ketika para murid memukul gurunya itu pun dianggap sebagai kebebasan yang wajar.Apakah pendidikan humanis yang seperti inikah yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika ketimuran?
            Hampir semua buku yang pernah penulis baca, kecendrungan pemikirannya dewasa ini mengarah pada kritiknya terhadap guru.Dan hampir tidak ada buku yang membahas bagaimana seharusnya siswa berakhlak dan beretika terhadap gurunya kecuali buku-buku yang berbau agama. Hal inilah yang menimbulkan ketimpangan yang luar biasa jauhnya antara apa yang harus dilakukan oleh guru dan bagaimana seharusnya siswa bersikap, sehingga wajah pendidikan menjadi carut marut tanpa konsep dan arah yang jelas.
            Pendidikan humanis yang bagaimanakah yang menjadi solusi bagi bangsa Indonesia?Mari kita mencari jawabannya secara bersama-sama.Kurikulum itu diberikan untuk membantu menjadi apa[18]
            Pendidikan bertujuan untuk mengajar, memanusiakan, dan mengarahkan anak didik agar mencapai akhir sempurna (A. Sudiarja dalam Muh. Yamin, 2010:155). Yang menjadi pertanyaan adalah  apakah pendidikan humanis yang di pelopor oleh “Barat” mampu memenuhi tuntutan tersebut? Sedangkan menurut Yamin Pendidikan adalah gambaran umum atas apa yang harus dijalankan, sedangkan kurikulum merupakan wilayah konsep dan teknik yang sudah menjadi sebuah kontruksi sebuah praktek pendidikan (Muh. Yamin, 2010: 156).[19]
            Kurikulum pendidikan humanis adalah pola pedidikan yang menghargai murid sebagai manusia yang bebas. Bebas dari campur tangan politik pemerintah, bebas dari kekangan guru dan bebas segala-galanya. pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya dia berpandangan pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan pendidikan diluar sekolah tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.
            Setiap kurikulum pasti memiliki tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang akan dicapai. Kurikulum pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses pembelajaran menjadikan siswa dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas. Bebas menentukan dan bebas melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran, dan mimbar kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa dalam pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang tidak mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas.Dan siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.
Alternatif yang ditawarkan lebih lanjut
Alternatif yang ditawarkan dalam pendidikan  humanis adalah mengambil yang terbaik untuk diterapkan dalam pola pendidikan Pendidikan humanis yang posotif untuk pengembangan siswa bisa di elaborasi dengan pendidikan karakter dan pendidikan yang berbasis akhlak.




Pendidikan Karakter
            Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966). Pendidikan karakter merupakan reaksi atas kejumudan pedagogi natural Rousseauian dan instrumentalisme pedagogis Deweyan.[20]
            Tujuan pendidikan adalah untuk pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah.Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur.Menurut Foerster ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter.
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai.Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, otonomi.Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
            Kematangan keempat karakter ini, lanjut, memungkinkan manusia melewati tahap individualitas menuju personalitas.”Orang-orang modern sering mencampuradukkan antara individualitas dan personalitas, antara aku alami dan aku rohani, antara independensi eksterior dan interior.”Karakter inilah yang menentukan forma seorang pribadi dalam segala tindakannya.Di tengah kebangkrutan moral bangsa, maraknya tindak kekerasan, inkoherensi politisi atas retorika politik, dan perilaku keseharian, pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-religius menjadi relevan untuk diterapkan.
            Tradisi pendidikan di Indonesia tampaknya belum matang untuk memeluk pendidikan karakter sebagai kinerja budaya dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.Pedagogi aktif Deweyan baru muncul lewat pengalaman sekolah Mangunan tahun 1990-an.
            Kebiasaan berpikir kritis melalui pendasaran logika yang kuat dalam setiap argumentasi juga belum menjadi habitus. Guru hanya mengajarkan apa yang harus dihapalkan. Mereka membuat anak didik menjadi beo yang dalam setiap ujian cuma mengulang apa yang dikatakan guru.[21]
3.      Pendidikan Yang Berbasis Akhlak
            Plato adalah seorang filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic, menyatakan “Tujuan pendidikan tidak bisa dipisahkan dari tujuan Negara.Karena itu pendidikan dan politik tidak bisa dipisah – pisahkan, sarana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur ialah melalui pendidikan” Tujuan pendidikan adalah cita – cita ideal sebuah bangsa, tujuan pendidikan sebuah bangsa adalah simbolisasi dan dominasi filsafat dari sebuah bangsa tersebut.[22]
            Realitas yang seringkali tersaji di hadapan mata, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian, pembunuhan dan lainnya layaknya sebuah rutinitas keseharian, yang justru dilakukan oleh mereka yang masih berstatus sebagai pelajar.Kalau sudah demikian, lantas apa kabarnya sejumlah silabus dan materi pengajaran yang diajarkan kepada pelajar kita itu, ketika semua yang terjadi adalah kontra produktif dengan apa yang diajarkan kepada mereka.
            Seorang pelajar, dari mulai tingkat dasar sampai lanjutan atas tentu mendapatkan sejumlah ajaran saat mengikuti aktivitas pendidikannya di kelas atau sekolah.Sejatinya seorang murid adalah seorang yang terpelajar atau setidaknya sedang di didik untuk menjadi insan terpelajar. Mereka mendapatkan sejumlah pengajaran, mulai dari ilmu pengetahuan, kepribadian, sampai ajaran tentang norma susila dan moralitas.Namun dikemanakan semua ajaran itu saat realitas menunjukkan sebaliknya.Ia didik untuk saling tenggang rasa dan sayang menyanyangi antar sesama, namun yang dipraktekkan adalah saling menyakiti dan menciderai satu sama lain lewat tawuran atau tindak kekerasan lainnya. Pelajar mendapatkan ilmu tentang norma, moralitas dan etika-etika agama. Namun yang terjadi, ada pelajar yang tega memperkosa teman sekelasnya.Bahkan saat ini marak perilaku amoral yang dilakukan oleh para penerus bangsa itu melalui perbuatan asusila dalam binkai pergaulan/seks bebas.
            Dari sekian banyak kejadian yang merubah sifat pelajar masa kini kita dapat tinjau kembali hakekat keberadaan kita sebagai agent of chance (agen perubahan) termasuk di dalamnya perihal moralitas, sehingga anak didik kita memiliki “kebanggaan” terhadap gurunya.Mengaktifkan anak didik kita dalam kegiatan keagamaan di sekolah dengan memberikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.Khusus untuk kita sendiri sebagai pendidik, sudah selayaknyalah kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti sebagai integrasi dari nilai-nilai agama itu sendiri.Karena selama ini, kita melihat sebuah fakta, bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita. [23]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya. Manusia akan menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan, keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.
            Ada beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran Humanistik seperti: Combs, Maslov dan Rogers.

            Mengenai aplikasi psikologi humanistik dalam pendidikan,Bagian ini berisi informasi tentang bagaimana para psikoloigi humanistik berupaya menggabungkan ketrampilan dan informasi kognitif dengan segi-segi afektif, nilai-nilai dan prilaku antar pribadi

Peran seorang guru dalam Psikologi humanistik yaitu memberi perhatian atas guru sebagai fasilitator
Kurikulum pendidikan humanis yang digagas Paulo Freud adalah pola pedidikan yang menghargai murid sebagai manusia yang bebas.Bebas dari campur tangan politik pemerintah, bebas dari kekangan guru dan bebas segala-galanya.Sehingga Freud memberikan solusi pendidikan Konsientisasi tanpa sekolah artinya dia berpandangan pesimis terhadap dunia pendidikan, dan mempercayakan pendidikan diluar sekolah tanpa harus terkungkung oleh stakeholder sekolah.Setiap kurikulum pasti memiliki tujuan yang terkait yang terkait dengan kehendak yang akan dicapai. Kurikulum pendidikan humanis bertujuan agar dalam proses pembelajaran menjadikan siswa dan menempatkan siswa sebagai manusia yang bebas. Bebas menentukan dan bebas melakukan. Termasuk kebebasan tidak ikut pelajaran, dan mimbar kebebasan-kebebasan yang yang lain. Apapun yang dilakukan oleh siswa dalam pandangan pendidikan bersifat humanis itu dapat dibenarkan sepanjang tidak mengekang hak siswa sebagai individu yang bebas. Dan siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau etika yang berlaku.

B.     Saran
Dengan mengucapkan Alhamdulillah pemakalah patut bersyukur dengan selesainya makalah ini dan saya meminta kepada teman-teman agar memberikan masukan dan kritikan dalam makalah ini agar menambah wawasan saya sebagai pemakalah.










DAFTAR PUSTAKA

M. Sukardjo, Landasan Pendidikan (konsep dan Aplikasinya), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Bambang Sugiarto,  Humanisme dan Humaniora (Relevansinya dengan Pendidikan), Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2008.

Paulo Freud, 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pen: Pustaka Pelajar.

Howard Gardner (1983), Manusia memiliki 7 macam Kecerdasan.

Moh.Yamin, 2010. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Menciptakan Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum Yang Progresif Dan Inspiratif, Diva Press.

Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.

Combs Thomas, dkk,  Education Psychology, London: Brown Benchmark, 1997.

Abraham H. Maslov, Windows on Theacing, London: Redd Benchmark, 2008.

Carl R. Rogers, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2005.

Mohammad Ali, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, Bandung: Pedagogiana, 2007.
Walberg dan Tomas(1972), Open Education
Slavin (1980) Cooperative Learning.
http://Membangun Metodologi Pendidikan Berbasis Akhlak « Secangkirkopipagi’s Weblog.htm
 (Ronald C. Doll) dari (Kamus Webster 1955)  Pengertian Kurikulum Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.

Konsep Paulo Freud: (2007:196)
Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man.
Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada Milenium ke III (makalah)
pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966).

            Maryanto, A., (1999), Otonomi Pendidikan Salah Satu Bentuk Implementasi Desentralisasi Pemerintahan (makalah)
            Riyanto, Theo., (Grasindo, 2002), Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi.
A. Sudiarja dan Muh. Yamin, (2010:155-156).
Plato filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic.

Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University.



[1] Dr. M. Sukardjo, Landasan Pendidikan (konsep dan Aplikasinya), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), h. 56
[2] Bambang Sugiarto,  Humanisme dan Humaniora (Relevansinya dengan Pendidikan), (Yogyakarta-Bandung: Jalasutra, 2008), h. 343
[3]Paulo Freud, Eduart Spranger (1950),  2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Pen: Pustaka Pelajar.
[4] Howard Gardner (1983), Manusia memiliki 7 macam Kecerdasan.
[5] Ki Hajar Dewantara, pendidik asli Indonesia, melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologiknya.
[6] Combs Thomas, dkk,  Education Psychology, (London: Brown Benchmark, 1997), h. 73
[7]Moh.Yamin, 2010.Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan: Panduan Menciptakan Mutu Pendidikan Berbasis Kurikulum Yang Progresif Dan Inspiratif, Diva Press.

[8] Abraham H. Maslov, Windows on Theacing, (London: Redd Benchmark, 2008), h. 73
[9] Carl R. Rogers, Sejarah Psikologi dari Masa Kelahiran sampai Masa Modern, (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2005), h. 20
[10] Mohammad Ali, Ilmu dan Aplikasi Pendidikan, (Bandung: Pedagogiana, 2007), h. 65
[11] Walberg dan Tomas(1972), Open Education.
[12] Slavin (1980) Cooperative Learning.
[13] http://Membangun Metodologi Pendidikan Berbasis Akhlak « Secangkirkopipagi’s Weblog.htm
[14] (Ronald C. Doll) dari (Kamus Webster 1955)  Pengertian Kurikulum Secara Epistomologi dan Secara Terminologi.
[15] Konsep Paulo Freud: (2007:196)                 
[16] Imam Ghazali dalam bukunya Ihya Ulumuddin, Menghidupkan Ajaran Agama.
[17] Erich Fromm dalam bukunya The Heart of Man.
[18]Handoko, Martin, Ph.D (1999) Pendidikan Humaniora Pada Milenium ke III (makalah)

[19] A. Sudiarja dan Muh. Yamin, (2010:155-156).
[20] pedagog Jerman FW Foerster (1869-1966).
[21] Riyanto, Theo., Pembelajaran sebagai Proses Pembimbingan Pribadi. (Grasindo, 2002),

[22] Plato filosof yunani dalam bukunya yang berjudul Republic.
[23]Suwariyanto, Theodorus, MA., (1998), The Educational Philosophy of Ki Hajar Dewantara: Naturalistic and Humanistic Education in Analitical Comparison, (Thesis), Manila, De la Salle University


EmoticonEmoticon