BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sejak kali pertama melihat buku berjudul Pendidikan
Islam Transformatif, ada lingkaran pertanyaan yang cukup mengusik. Sebab
berkali-kali buku dengan judul yang hampir sama serta telah berulangkali
menjadi bahasan dibeberapa forum diskusi, baik dikalangan umum maupun pada
lingkungan akademis, hasilnya lebih cenderung menampakkan preskripsi yang
beraroma reproduksi atas hasil kreatifitas atau buah fikiran dari sekelompok
intelektual Islam terdahulu yang kemudian ditambal sulam dengan perangkat
teoritis yang muncul belakangan.
Hal tersebut di atas, paling tidak dapat terlihat
dengan jelas pada realitas bahwa sampai hari ini pendidikan Islam masih
berputar pada praksis ”determinisme
historis dan terjebak dalam realisme pragmatis. Kondisi ini, baik langsung ataupun tidak,
berkorelasi kuat dengan bangun epistemologi pendidikan Islam belakangan.
Determinisme historis ditandai dengan sangat kuatnya upaya apologetik yang
dengan segenap daya berupaya mengungkap mutiara-mutiara pendidikan Islam dan
tidak jarang pada akhirnya terjebak dalam nuansa glorifikasi bahkan
prinsipalisasi kreatifitas intelektual Islam setara dengan martabat sumber
ajarnya (Al qur’an dan Hadits). Pada bagian lain, pendidikan Islam seperti
berputar-putar pada ranah general-teoritis yang sangat sulit untuk memberikan
hasil produk nyata atau dalam kata lain produk akademik Islam masih
bersifat deskriptif, normatif dan adoptif yang hanya memenuhi selera
pasar. Dari dua hal ini, muncul harapan besar bahwa buku yang ditulis oleh
Mahmud Arif ini setidaknya akan sedikit memberi warna baru dan sedikit membuka
pintu solutif atas kelesuan sistemik pendidikan Islam dewasa ini.
B. Permasalahan
Berdasarkan
latar belakang di atas, dapat diambil beberapa pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.
Pendidikan
Islam Tranformatif vs. Konvensional; Sebuah Pemetaan Awal
2.
Pendidikan Tranformatif dan Pedagogi Kritis
3.
Kearah Pendidikan Islam Transformatif
BAB II
PEMBAHASAN
Inti dari cita-cita pendidikan, terutama pendidikan agama
Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki
keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan adalah upaya secara sadar untuk
mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan pendidikan Islam juga
memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan keberagamaan manusia kearah kehidupan
Islami yang ideal.[1]
Jika upaya pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan
manusia kearah cita-cita manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan,
maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif,
seperti kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, juga
ketidakpedulian sosial, yang semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.
Berbagai prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul
dinegara Indonesia, merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi
cerdas, kreatif, dan berbudi luhur. Orang yang cerdas selalu menggunakan daya
nalar manusiawinya secara benar dan obyektif dalam melihat realitas sosial.
Orang yang kreatif, mempunyai pilihan-pilihan dalam memenuhi dan menjawab
persoalan-persoalan hidupnya.
Orang yang ‘Arif (seakar kata dengan ‘Urf, tradisi)
dan luhur budi (dalam bahasa agamanya al-Akhlâq al-Karîm), mampu
menentukan pilihan yang paling tepat dan selalu menolak cara-cara kekerasan
dalam mensikapi berbagai dilemma kehidupan. Kecerdasan dan kearifan yang
bersumber pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu
memberikan sinaran yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesama.[2]
Dalam konteks inilah, pendidikan agama Islam sebagai salah
satu media penyadaran umat, dihadapkan pada problem begaimana mengembangkan
sebuah pola pendidikan yang transformative, sebuah pola pendidikan yang mampu
memberikan pemahaman dan transformasi pembelajaran yang tidak saja bertumpu
pada transfer pengetahuan saja, tetapi juga transef nilai. Pendidikan
transformative juga megasikan akan pola pembelajaran yang hanya berpusat pada
guru (teacher centerd), tetapi lebih pada pola pembelajaran yang
memberikan “ruang” bagi peserta didik untuk lebih mengaktualisasikan potensi
akademisnya secara maksimal.
A.
Pendidikan Islam Tranformatif vs.
Konvensional; Sebuah Pemetaan Awal
Istilah pendidikan Islam konvensional dipakai untuk
menunjukkan pola dan praktek pendidikan yang berjalan secara monoton, top-down,
guruisme, sentralistik, uniform, eksklusif, formalis, dan indoktrinatif.
Praktek pendidikan tersebut dianggap tidak mampu menjawab tantangan zaman dan
terkesan menjadikan pendidikan Islam anti realitas. Bahkan, ada anggapan bahwa
pola semacam inilah yang menjadikan dan membentuk perilaku masyarakat Islam
eksklusif dan gagap terhadap perubahan dan perbedaan. Karena itu, pendidikan
Islam transformatif, sebuah istilah tentatif sebagai counternarrative dari PIK,
perlu dimunculkan sebagai pembanding dan teman dialog untuk ‘menghidupkan dan
membumikan’ pendidikan Islam dalam konteks hereness dan nowness. Istilah
transformasi itu sendiri seringkali dimunculkan oleh Lyotard ketika membahas
wacana posmodernisme sebagai lawan dari modernisme.
Posmodernisme merupakan kondisi budaya yang memunculkan
banyak transformasi yang mengubah rule of the game dalam bidang sains,
sastra, dan seni. Di bidang pendidikan, transformasi berupa perubahan aturan
main dalam hal aspek, praktek, dan institusi pendidikan yang bertanggung jawab
dan mentransmisikan ilmu pengetahuan dan seni. [3]
Dengan menggunakan kerangka semacam ini, bagaimana pola
pendidikan Islam mampu melakukan transformasi dari praktek pendidikan yang
telah ada menuju kondisi yang lebih baik, mulai dari aspek konseptualisasi
hingga implementasi, seperti kelembagaan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan
penyediaan SDM.
PIT mengharuskan adanya perubahan cara pandang terhadap
proses pendidikan dalam faktor-faktor pendidikan. Dalam hal tujuan, pendidikan
harus diorientasikan untuk mencetak individu yang berkesadaran kenabian, yang
mempunyai misi liberatif terhadap berbagai persoalan sosial. Pendidikan
dianggap berhasil jika mampu mencetak individu yang kritis terhadap persoalan
lingkungan dengan spiritualitas Islam. Untuk menghasilkan pribadi yang semacam
itu, berbagai elemen pendidikan harus ditinjau ulang. Kurikulum harus lebih
terkait dengan current issues sehingga dapat memberikan bekal pengetahuan dan
pengalaman kepada peserta didik tentang problem riil di masyarakat.
Strategi pembelajaran harus diorientasikan untuk menghargai
dan mengoptimalkan setiap potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Karena itu,
evaluasi pendidikan harus lebih berpijak pada potensi kemanusiaan peserta
didik, bukan uniform yang dipaksakan oleh pendidik. Dalam hal pengelolaan,
pengelola lembaga pendidikan harus mampu menggerakkan dan mengaktifkan setiap
potensi yang ada di sekitarnya untuk ikut memikirkan persoalan pendidikan.
Akhirnya, pendidikan tidak harus dimaknai sebagai proses yang berlangsung di
ruang kelas saja, namun juga terjadi di luar kelas. Karena itu, upaya
mensinergikan antara unit keluarga, sekolah, dan masyarakat perlu dilakukan.
B.
Pendidikan
Tranformatif dan Pedagogi Kritis
Istilah pedagogi kritis (critical
pedagogy) muncul seiring dengan
maraknya kajian tentang pendidikan pembebasan, pendidikan untuk kaum tertindas,
yang dilontarkan oleh Paulo Freire asal Brasil.[4]
Dalam buku Conternarratives Colin Lankshear, Michael Peters, dan Michele Knobel banyak
mengulas pemikiran Freire yang mengusung tema pendidikan pembebasan. Menurut
mereka, pendidikan kritis pada dasarnya bermula dari gagasan Freire. Menurut
mereka ada beberapa ciri pendidikan kritis. Pertama, pendidikan pada dasarnya
merupakan bentuk kritik sosial dan kultural, bahwa semua pengetahuan pada
dasarnya dimediasi oleh relasi bahasa yang dibentuk secara sosial dan historis.[5]
Salah satu tujuan pendidikan adalah rekonstruksi sosial.
Lembaga pendidikan merupakan media yang diharapkan mampu memperbaiki dan
mengkritisi berbagai persoalan yang muncul di masyarakat yang diakibatkan oleh
faktor ekonomi, politik, dan budaya. Karena itu, berbagai persoalan yang
berkembang dalam realitas empirik tersebut dibawa ke ruang kelas untuk
dikritisi dan dicarikan jalan keluar melalui proses kodifikasi konteks. Hasil
pembahasan ini kemudian ditawarkan dan dilaksanakan sebagai alternatif
pemecahan. Proses ini tidak akan berjalan secara maksimal jika tidak ada
kesadaran kritis dari praktisi pendidikan terutama pendidik dan peserta didik.
Kedua, eksistensi seseorang sangat terkait dengan masyarakat
yang lebih luas baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, ataupun lembaga
pendidikan. Artinya kesadaran seseorang pada dasarnya merupakan cermin
kesadaran kolektif yang dibentuk melalui mediasi keluarga, masyarakat, sekolah
dan sebagainya.[6]
Sebab, ia belajar dari orang di sekitarnya. Dalam konteks pendidikan kritis,
masalahnya terletak pada kondisi seseorang ketika hidup dalam konteks
masyarakat yang tidak memungkinkan dia mengembangkan potensi secara optimal, bahkan
mandeg karena faktor struktural atau kultural. Sebagai contoh, dia hidup dalam
struktur politik yang represif yang tidak memungkinkannya leluasa mengeluarkan
hak berpendapat untuk mengungkapkan keinginannya.
Dia bahkan mungkin tidak menyadari bahwa dia sedang
mempunyai permasalahan yang disebabkan oleh persoalan ekonomi atau politik yang
‘dikondisikan’ oleh pihak lain. Untuk itu, proses pendidikan adalah upaya untuk
‘menyadarkan’ seseorang tentang kondisi dia yang sebenarnya. Dalam paradigma
pendidikan kritis, dia dibawa dari kesadaran naïf ke kesadaran kritis.
Ketiga, fakta sosial tidak pernah dapat dipisahkan dengan
ranah nilai.[7]
Ini berarti bahwa berbagai aktifitas yang terjadi dalam realitas-empirik
merupakan perwujudan atau cermin nilai dari sang pelaku. Karena itu, menurut
paradigma ini, ada hubungan yang erat antara aktifitas dan tindakan dengan
nilai, antara konsep dengan obyek dan antara signifier dengan signified.
Hubungan tersebut tidak selalu tetap (fixed) dan seringkali dimediasi oleh
lingkaran produksi, konsumsi, dan relasi sosial. Untuk itu, pembacaan kritis
terhadap sebuah fakta sosial harus selalu dilakukan. Sebagai contoh, terma
pembangunan dapat dimaknai secara beragam oleh berbagai pihak hanya karena
perbedaan pemahaman dan nilai yang dibangun selama ini.
Bagi pemerintah, pembangunan merupakan terma yang digunakan
sebagai proses mensejahterakan masyarakat. Karena itu, jika ada pembangunan
jalan tol, maka berarti ada upaya mensejahterakan masyarakat. Namun, bagi
masyarakat kata pembangunan dapat berarti sebaliknya, misalnya analog dengan
penggusuran, relokasi atau ganti rugi. Anggapan ini muncul karena dalam realitasnya
seringkali pembangunan dilakukan tidak didasarkan pada kebutuhan riil di
masyarakat, namun didasarkan pada kemauan dari penguasa (top-down). Untuk
mengatasi hal tersebut, perlu ada dialog terbuka antar berbagai pihak sehingga
ada persamaan persepsi antara pihak pemerintah dan masyarakat.
Keempat, bahasa merupakan pusat bagi formasi subyektifitas.
Dalam perspektif ini kepentingan, kebutuhan, dan kecenderungan seseorang atau
lembaga dimunculkan melalui media bahasa. Di sisi lain, bahasa pada dasarnya merupakan
bentuk aksentuasi pemikiran seseorang yang kemudian disepakati bersama oleh
masyarakat. Karena itu, sangat banyak dijumpai ragam bahasa yang digunakan
masyarakat. Kata yang dimunculkan oleh sebuah komunitas belum tentu dimaknai
secara persis sama oleh komunitas lain. Karena itu, seringkali dijumpai di
masyarakat ada permasalahan yang muncul diakibatkan oleh perbedaan bahasa dan
kultur.[8]
Kelima, munculnya perbedaan status di kalangan anggota
masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial disebabkan oleh pemberian
previlise secara tidak adil oleh pihak lain, seperti pihak birokrat, politisi,
dan pemilik modal, karena kepentingan tertentu. Masalahnya, banyak anggota
masyarakat yang menganggap perbedaan itu terjadi begitu saja, alami, dan
niscaya. Dalam perspektif kritis, munculnya perbedaan tersebut sangat mungkin
disebabkan oleh perlakuan yang tidak adil karena ada banyak kepentingan.
Untuk itu, masyarakat perlu disadarkan tentang kondisi ini.
Ini tidak berarti bahwa semua anggota masyarakat harus sama, namun ketika cara
mendapatkan kekayaan, status social, atau jabatan itu dilakukan secara wajar
dan prosedural, tentu hal ini akan diterima, sebab bagaimanapun kemampuan
antara satu orang dengan yang lain berbeda.
Akhirnya, dalam perspektif kritis munculnya berbagai
permasalahan di masyarakat tidak dapat dilihat hanya dari satu sisi saja, namun
perlu mengaitkan dengan aspek lain.[9]
Sebagai contoh, persoalan ekonomi tidak cukup hanya dilihat
dari perspektif ekonomi, namun perlu dikaitkan dengan politik, budaya, bahkan
pemahaman terhadap ajaran agama. Memandang permasalahan dari satu segi saja
sama halnya dengan menyederhanakan masalah. Proses pendidikan harus mampu
melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari banyak perspektif. Sebagai
contoh, banyaknya tenaga pendidik [guru] yang “ngobyek” di luar profesi sebagai
guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja,
namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum menghargai
profesi guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat terhadap profesi ini.
Keenam karakter pendidikan kritis di atas pada dasarnya
merupakan proses transformasi peserta didik secara individual maupun sosial.
Artinya, dalam perspektif pendidikan kritis munculnya berbagai permasalahan
yang menimpa seseorang disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan
eksternal. Secara internal, dia belum mencapai kesadaran kritis yang mampu
menyelesaikan persoalan yang ada dalam diri dan juga masyarakat sekitarnya. Hal
ini merupakan cermin bahwa proses pendidikan belum sepenuhnya mengoptimalkan
potensi yang dimiliki peserta didik.
Untuk itu, praktik pendidikan harus diorientasikan untuk
mengaktualisasikan semua potensi yang dimiliki peserta didik tanpa ada
kepentingan tertentu dari pihak penguasa atau pengelola lembaga pendidikan. Di
sisi lain, secara eksternal, munculnya problem yang menimpa seseorang karena
faktor dari luar, misalnya ketidakadilan sosial, kepentingan politik,
kepentingan ekonomi pemilik modal, atau kultur yang kurang menguntungkan. Untuk
itu, dia harus disadarkan melalui proses pendidikan di mana ada proses refleksi
dan aksi. Refleksi dilakukan untuk membahas dan mencari alternatif pemecahan
terhadap problem realitas di ruang kelas, sementara aksi merupakan tindak
lanjut dari proses refleksi tersebut ke luar kelas.
Dikaitkan dengan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial,
pendidikan kritis pada dasarnya satu alur dengan paradigma transformatif,[10]
bukan positivistik atau interpretif. Paradigma postivistik mencakup psitivisme,
neopositivisme, positivisme metodologis, dan positivisme logis, sementara
paradigma interpretif mencakup interaksionisme simbolis, fenomenologi,
etnometodologi, hermeneutika, psikoanalisa, etnologi, etnografi, dan
sosiolinguistik, dan paradigma transformatif mencakup sosiologi kritis,
conflict school of thought, Marxisme, dan feminisme.
Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan dalam
memandang realitas, manusia, ilmu pengetahuan, dan tujuan penelitian. Dalam
paradigma transformatif realitas merupakan sesuatu yang kompleks, apa yang
tampak (appearance) sebenarnya belum menggambarkan realitas sesungguhnya, sebab
realitas diciptakan oleh orang, bukan dikondisikan oleh alam.[11]
Di balik yang tampak terdapat banyak ketegangan karena ada
banyak kepentingan dari pelaku. Pandangan ini berbeda dengan paradigma
positivistik yang beranggapan bahwa ralitas bersifat obyektif, dipersepsi
melalui indera, dipersepsi secara seragam oleh semua orang, dan diatur
berdasarkan hukum eksternal. Sementara itu, bagi paradigma interpretif,
realitas bersifat subyektif, berada dalam pikiran orang dan ditafsirkan secara
beragam oleh setiap orang
Tentang manusia, paradigma transformatif berpendapat bahwa
ia adalah pencipta bagi nasibnya sendiri, ia seringkali ditindas, dialienasi,
dieksploitasi, dibatasi, dikondisikan, dan dihambat realisasi potensinya. Hal
ini berbeda dengan paradigma positivistik yang berpandangan bahwa manusia
adalah individu rasional yang mentaati hukum eksternal dan tanpa free will,
sementara paradigma interpretif menganggap manusia sebagai pencipta dunianya
sendiri, tidak dibatasi oleh hukum eksternal, dan menciptakan sistem makna.
Sementara itu, tentang ilmu pengetahuan dan tujuan
penelitian, ketiga paradigma di atas mempunyai arah yang jauh berbeda. Bagi
paradigma positivistik, ilmu pengetahuan didasarkan pada aturan dan prosedur
yang ketat, bersifat deduktif, bergantung pada kesan indra, dan bebas nilai.
Dengan pandangan ini, tujuan penelitian positivistik adalah
untuk menjelaskan kehidupan sosial, memprediksi sejumlah peristiwa, dan menemukan
hukum-hukum kehidupan sosial. Sementara itu, bagi paradigma interpretif, ilmu
pengetahuan didasarkan pada common sense, bersifat induktif, tergantung pada
penafsiran, dan tidak bebas nilai. Bagi paradigma ini tujuan penelitian adalah
untuk menafsirkan dan memahami kehidupan sosial, serta menemukan makna yang
dimiliki oleh orang lain.
Akhirnya, bagi paradigma transformatif, ilmu pengetahuan
adalah kondisi yang membentuk kehidupan, namun kondisi ini dapat diubah,
bersifat membebaskan dan memberdayakan, bergantung pada kesan indra dan nilai,
dan tidak bebas nilai. Dalam perspektif ini, tujuan penelitian adalah untuk
menjelaskan, menafsirkan, dan mengurai kehidupan sosial, mengungkap mitos dan
ilusi, dan untuk membebaskan dan memberdayakan masyarakat.
C.
Kearah
Pendidikan Islam Transformatif
Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup
kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normatif. Sebab,
dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang
bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan
oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk
pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian
harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik.[12]
Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan
Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas.
Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam
jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan
beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara
praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan
kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran,
perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di
lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi. Berbagai
komponen ini perlu dikaji secara terpadu, simultan, dan komprehensif.
Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab praktisi
pendidikan Islam saja, namun semua stakeholder pendidikan harus dilibatkan,
mulai dari tenaga kependidikan di lembaga pendidikan formal, peserta didik,
alumni, pengguna alumni, orang tua, tokoh masyarakat, kalangan LSM, akademisi,
dan pejabat pemerintah terkait. Sebab, proses pendidikan tidak dapat berjalan
secara linear dan monolitik, namun secara sirkular dan melibatkan banyak
komponen.
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak
sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam
perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana
disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat
Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan
individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di
akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan.
Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk
membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter
emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di
sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di
sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.[13]
Perubahan orientasi perlu segera diimbangi dengan perubahan
kurikulum yang akan dibekalkan kepada setiap peserta didik. Sebagaimana
dirumuskan oleh al-Attas, bahwa kurikulum pendidikan Islam dikonstruk
berdasarkan ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, namun harus didialogkan dengan
problem realitas sehingga muatannya dinamis sesuai dengan konteks waktu dan
tempat.[14]
Dalam pengertian ini, sebenarnya perubahan kurikulum dapat
dilakukan kapan saja, tanpa menunggu jangka waktu tertentu. Sebab, ketika
problem dan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat berbeda dan berubah, maka
harus diikuti oleh perubahan kurikulum jika tidak ingin tertinggal dengan
perubahan. Kurikulum dalam perspektif pendidikan kritis harus selalu
mendialogkan teks dan konteks, antara normatif dan historis. Karena itu, akan
selalu ada upaya kontekstualisasi teks sehingga mampu menjawab problem bumi.
Dalam pandangan Freire, akan selalu ada proses kodifikasi konteks dan
dekodifikasi. Kodifikasi konteks berarti mendialogkan, mendiskusikan dan
mencari alternatif pemecahan terhadap problem yang berkembang di masyarakat ke
dalam ruang ruang kelas.
Hasil rumusan alternatif ini kemudian dibawa ke masyarakat
sebagai sebuah tawaran pemecahan. Dengan demikian, ada proses refleksi di ruang
kelas dan proses aksi di luar kelas secara terus-menerus. Ketika problem yang
ada di masyarakat berkembang, maka perlu ada kodifikasi kembali dan begitu
seterusnya.[15]
Hanya saja, sebagaimana disinyalir oleh Rahman, umat Islam
harus melihat kandungan teks al-Qur’an dan al-Sunnah secara hermeneutis, dalam
arti bahwa perlu ada upaya pencarian tentang ide moral yang terkandung dalam
teks al-Qur’an. Ini hanya dapat dilakukan jika umat Islam melakukan kritik
sejarah terhadap diturunkannya kitab tersebut.
Untuk itu, Rahman menawarkan double movement methodology
untuk dapat menangkap ide moral al-Qur’an. Dalam pandangannya, sejak dulu sampai akhir
zaman, teks al-Qur’an tetap, namun formulasi untuk pembumiannya dinamis
tergantung problem yang berkembang di masyarakat.[16]
Berdasarkan pemikiran tersebut, kurikulum dalam pendidikan
Islam kritis, apa pun nama pengetahuan yang akan diajarkan, mengharuskan ada
perpaduan secara dinamis antara teks dan konteks. Untuk itu, paradigma
contextual teaching learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang
disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang
dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks
keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara
tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan
problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah
itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging
atau pembakaran hutan.
Untuk di Riau misalnya, kasus-kasus dan isu illegal logging
atau pembakaran hutan ini menjadi relevan untuk diangkat. Karena itu,
dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut, juga harus
diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu
mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam
sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah.
Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh
pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal.[17]
Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan
perlu dilakukan segera. Yang perlu dicermati bahwa merubah kultur berpikir
tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam
hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu
cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam
kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan dan pengelola lembaga
pendidikan], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan
struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia
pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak
perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde)
terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan
peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil
tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan
oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam
membawa perubahan.
Dikaitkan dengan implementasi Kurikulum 2004 yang terkenal
dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), sosok pendidik sangat diharapkan
untuk keberhasilan kurikulum baru tersebut. Sebab, dalam pengelolaan kurikulum
yang berujung pada penjabaran silabus dan materi pembelajaran dari rumusan
kompetensi minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat lebih diserahkan
kepada pihak sekolah/madrasah, khususnya pendidik. Dalam hal ini mereka dapat
bekerjasama dengan berbagai pihak terkait seperti kepala sekolah, akademisi di
perguruan tinggi dan tokoh masyarakat, namun yang menjadi inisator adalah
pendidik.
Posisi pendidik semakin penting mengingat penjabaran materi
sangat diserahkan ke tiap wilayah, bahkan lembaga pendidikan, untuk
mengembangkannya tergantung kebutuhan. Hal ini didasari oleh prinsip
pengelolaan KBK ‘kesatuan dalam kebijakan dan keragaman dalam pelaksanaan.’
Karena itu, sangat dimungkingkan adanya perbedaan implementasi dan pengembangan
antara satu wilayah dengan wilayah lain. Bahkan, dalam satu wilayah pun sangat
dimungkinkan adanya keragaman implementasi antara satu lembaga pendidikan
dengan lembaga pendidikan lain. Untuk itu, diperlukan pendidik yang mampu
menerjemahkan dan menjabarkan kompetensi dasar sesuai dengan kondisi wilayah
dan sekolah.[18]
Pendidik bukan lagi menjadi satu-satunya sumber belajar,
sebab apa pun dapat dijadikan sebagai sumber belajar selama mendukung
pencapaian hasil belajar. Sumber belajar yang dirancang secara khusus, seperti
miniatur ka’bah, masjid, atau piramida, ataupun sumber belajar yang tinggal
memanfaatkan seperti praktisi perbankan, politisi, tokoh masdyarakat, sungai,
internet, radio, dan surat kabar, mempunyai fungsi yang sama dalam
mengoptimalkan pencapaian hasil belajar peserta didik.
Hal ini menuntut pendidik untuk semakin aktif dan kreatif
dalam proses pembelajaran jika tidak ingin ketinggalan dengan peserta didiknya
yang dapat belajar dari banyak sumber. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam
konteks pendidikan kritis diperlukan tenaga kependidikan yang mempunyai
pengetahuan dinamis tentang strategi pembelajaran.
Proses pembelajaran harus mampu mengoptimalkan segenap
potensi peserta didik dengan cara melibatkan mereka secara fisik dan mental
dalam setiap pembelajaran. Untuk itu, strategi pembelajaran yang diterapkan
pendidik harus mempertimbangkan setiap kecenderungan tipe belajar setiap
peserta didik, apakah tipe somatik, auditif, visual atau intelektual. Peserta
didik yang mempunyai kecenderungan somatik tidak akan maksimal dalam belajarnya
jika pendidik menggunakan strategi belajar dengan ceramah, sebab metode ini
hanya cocok bagi peserta didik dengan tipe belajar auditif. Tipe somatik hanya
cocok jika pendidik menggunakan strategi yang membuat peserta didik terlibat
secara fisik (learning by doing).[19]
Bergitu juga, peserta didik dengan tipe belajar visual akan
tepat dan maksimal jika pendidik menggunakan strategi pembelajaran dengan
contoh-contoh visual atau gambar, sementara peserta didik dengan tipe belajar
intelektual akan tepat jika menggunakan strategi pembelajaran dengan penalaran.
Di sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati
persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan,
kebijakan yang tedak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai
seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik [baca : guru] tidak hanya
menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan
tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana.
Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih
sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis
dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya
diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan
saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan
kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa
diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat
dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak
kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling
tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan
pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik.
Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi
pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk
memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar
peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis,
agar dia tidak terjebak pada context of
justification, namun context of
discovery.[20]
Perubahan lain yang
perlu dilakukan jika pendidikan kritis diterapkan adalah konsep evaluasi.
Evaluasi harus dimaknai sebagai upaya untuk mengetahui sejauhmana proses
pembelajaran yang dilakukan di sekolah mampu mengoptimalkan potensi yang
dimiliki oleh setiap peserta didik. Karena potensi yang dimiliki peserta didik
tidak tunggal, maka sasaran evaluasi juga tidak boleh tunggal. Evaluasi harus
bertolak dari keragaman potensi yang dimiliki setiap peserta didik. Karena itu,
evaluasi yang selama ini lebih melihat pada beberapa mata pelajaran tertentu,
seperti mata pelajaran yang di-Ebtanas-kan, dalam perspektif pendidikan kritis
adalah tidak tepat. Sebab, yang dihargai hanya beberapa mata pelajaran saja,
belum semua mata pelajaran. Ini sama saja hanya menghargai salah satu potensi
yang dimiliki peserta didik.
Idealnya, setiap potensi dan kecenderungan peserta didik
dihargai. Menurut Gardner, peserta didik paling tidak mempunyai delapan kecenderungan,
yang kemudian dia jelaskan menjadi ragam kecerdasan (multiple intelligence),
yaitu cerdas angka, kata, ruang, irama, fisik, interpersonal, intrapersonal,
dan alam.[21]
Dalam perspektif ini, jika selama ini prestasi anak hanya
dilihat dari mata pelajaran matematika saja, sebenarnya ini baru melihat satu
jenis kecerdasan, yaitu cerdas angka, padahal tidak semua peserta didik
mempunyai kecenderungan ini. Untuk itu, dalam perspektif pendidikan kritis,
setiap jenis kecerdasan ini harus diapresiasi dan dioptimalkan, sehingga setiap
kecenderungan anak diperhatikan. Dalam jangka panjang tidak ada anak yang
merasa minder hanya karena ia tidak cerdas angka, padahal ia cerdas kata atau
cerdas fisik. Selain itu, tidak ada peserta didik yang merasa ‘di atas angin’
dibandingkan teman-teman yang lain hanya karena dia mempunyai kecerdasan angka.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan
berperspektif kritis tersebut tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya
dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan
manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan
pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya
konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan.
Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi
menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak
dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk
itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang
memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang
menghambat dan mengekang.
Dalam konteks otonomi, kreatifitas masyarakat, khususnya
pengelola lembaga pendidikan sangat diperlukan. Sebab, merekalah yang paling
tahu kebutuhan dirinya. Untuk itu, pengembangan lembaga pendidikan sangat
ditentukan oleh pengelola lembaga pendidikan, khususnya kepala sekolah.
Munculnya konsep manajemen berbasis sekolah dalam perspektif TQM (total
quality management) merupakan wujud adanya pemberian keleluasaan pihak
sekolah untuk merumuskan arah kebijakannya sendiri sesuai dengan kebutuhan
riil, bukan ditentukan dari atas. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dia harus
mampu memanaj potensi yang ada di sekitarnya, untuk itu harus mampu mensinergikan
peran dan potensi para stakeholder pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan
merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam secara
teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq
(96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi
pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara
khusus dan umat manusia umumnya.
Abdullah Yusuf Ali menjelaskan, ungkapan “pengajaran” dan
“pembacaan” yang ada pada ayat-ayat itu mengimplikasikan, perintah mengajar dan
membaca (meneliti dan sebagainya-Red) tidak terbatas pada penyampaian risalah
Allah yang harus dilakukan Rasul, tetapi juga bersifat universal, menukik pada
tugas untuk menyebarkan kebenaran oleh semua orang yang membaca dan memahami
ajaran Al Quran.
Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila
dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat
al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama
kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan,
“membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah
sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan
jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang
sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan aktif.
Pada sisi ini, batasan pendidikan Islam yang ditawarkan
Naquib al-Attas menjadi relevan untuk diangkat. Disebutkan, pendidikan Islam
pada prinsipnya merupakan proses pengenalan dan pengakuan yang ditanamkan
secara bertahap dan berkesinambungan dalam diri manusia mengenai obyek-obyek
yang benar sehingga hal itu akan membimbing manusia ke arah pengenalan dan
pengakuan terhadap eksistensi Tuhan dalam kehidupan. Selanjutnya, dengan
pengetahuan itu, manusia diarahkan untuk mengembangkan kehidupan lebih baik.
Berdasarkan paparan yang telah penulis uraikan diatas,
semakin mempertegas bahwa konsep allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan
segala hal yang tidak diketahui manusia) mengandung pengertian, Allah selalu
mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap saat kepada manusia. Sehingga manusia
dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu
berdialog secara tranformatif dengan perkembangan zaman. Manusia tidak boleh
berhenti pada pengetahuan yang dimilikinya, tetapi mesti selalu mencari sesuatu
“yang baru” diluar dirinya. Lebih-lebih seorang guru, sebagai bagian penting
dalam proses pendidikan, menjadi lebih dituntut untuk melakukan proses
transformasi ini. Wallahu a’lam bi al-Shoawab.
B.
Saran
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kekurangan oleh karena itu saran dan kritik
dari teman-teman pembaca sangat di harapkan demi perbaikan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah,
M. Amin, “Preliminary Remarks on the
Philosophy of Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic
Studies, No. 61 tahun 1998
Azra,
Azyumardi, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru
Jakarta: Logos, 1999
Daud,
Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. Bandung:
Mizan, 2003
Dryden,
Gordon and Jeannette Vos, The Learning
Revolution To Change the Way the World Learns (USA: The Learning Web, 1999
Eisner,
Elliot W., “Curriculum Ideologies” in
Philip W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum New York: Simon
and Schuster Macmillan, 1996
Freire, Paulo, Pedagogy of the
Oppressed New York: Seabury, 1970
Giroux, Henry, Colin Lankshear,
Peter McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives: Cultural Studies and
Critical Pedagogies in Postmodern Spaces, New York & London: Routledge,
1996
Kincheloe, Joe L., and McLaren,
Peter, "Rethinking Critical Theory and Qualitative Research," in
Norman K. Denzin and Yuonna S. Lincoln (Eds.) Handbook of Qualitative
Research (Second Edition). London: Sage Publication, Inc., 2000
McLaren,
Peter, “Liberatory Politics and Higher
Education: A Freirean Perspective” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter
McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives
Meier,
Dave, The Accelerated Learning Handbook USA: McGraw-Hill Co., 2000
Mulkhan,
Abdul Munir. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan
dan Dakwah, Yogyakarta : SIPRESS. 1993
Mulkhan,
Abdul Munir, “Humanisasi Pendidikan
Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000
Peters, Michael dan Colin Lankshear,
“Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives
Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces New York
& London: Routledge, 1996
Saiyidain,
K.G., “Progressive Trends in Iqbal’s
Thought” in Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker Lahore: Sh. Muhammad
Ashraf, 1991
Sarantakos,
Sotirios, Social Research, 2nd
edition Australia: Macmillan Education Australia Pty Ltd., 1998
[1] Abdul
Munir Mulkhan. Paradigma Intelektual Muslim : Pengantar Filsafat Pendidikan
dan Dakwah, (Yogyakarta : SIPRESS. 1993), h. 237.
[2] Abdul
Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No
11, tahun 2000, h. 11.
[3]
Michael Peters dan Colin Lankshear,
“Postmodern Counternarratives” dalam Henry Giroux, et al., Counternarratives
Cultural Studies and Critical Pedagogies in Postmodern Spaces (New York
& London: Routledge, 1996), h. 9
[5]
Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter
McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives: Cultural Studies and
Critical Pedagogies in Postmodern Spaces, (New York & London:
Routledge, 1996), h 125-126
[6]
Joe L. Kincheloe, and McLaren,
Peter, "Rethinking Critical Theory and Qualitative Research," in
Norman K. Denzin and Yuonna S. Lincoln (Eds.) Handbook of Qualitative
Research (Second Edition). (London: Sage Publication, Inc., 2000), h.
139-140
[7] Peter
McLaren, “Liberatory Politics and Higher
Education: A Freirean Perspective” in Henry Giroux, Colin Lankshear, Peter
McLaren, dan Michael Peters, Counternarratives,
h. 125.
[10] Elliot W.
Eisner, “Curriculum Ideologies” in Philip
W. Jackson (ed.), Handbook of Research on Curriculum (New York: Simon and
Schuster Macmillan, 1996), h. 314-316.
[11] Sotirios
Sarantakos, Social Research, 2nd
edition (Australia: Macmillan Education Australia Pty Ltd., 1998), h. 33-36
[12]
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru (Jakarta:
Logos, 1999), H. 53-57
[13]
K.G. Saiyidain, “Progressive Trends in Iqbal’s Thought” in
Eminent Scholars, Iqbal as A Thinker (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991),
h. 56.
[14] Wan Mohd
Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik
Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung:
Mizan, 2003), h. 266.
[20]
M. Amin Abdullah, “Preliminary Remarks on the Philosophy of
Islamic Relious Sciences” dalam Al-Jami’ah Journal of Islamic Studies, No.
61 tahun 1998, h. 6
[21] Gordon
Dryden and Jeannette Vos, The Learning
Revolution To Change the Way the World Learns (USA: The Learning Web,
1999), h. 443 - 489
EmoticonEmoticon