Rabu, 07 Januari 2015

Makalah “Upaya Mencari Konvergensi Konsep Pendidikan Perspektif Ki Hajar Dewantara”

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Kemerdekaan (Freedom) merupakan cita-cita setiap manusia di dunia ini, karena kebebasan adalah bentuk  pemenusiaan yang seutuhnya. namun pada kenyaataanya masalah kemanusiaan selalu menjadi permasalahan kompleks hari ini. Bukan hanya pada Bangsa yang kita cintai ini namun juga di setiap belahan dunia.
Pemanusiaan, menurut pandangan aksiologis, selalu menjadi problema pokok manusia, dan kini persoalan itu harus dipedulikan sunguh-sunguh. Kepedulian terhadap pemanusiaan seketika membawa kita pada pengakuan terhadap dehumanisasi Yang mungkin bukan hanya kemungkinan ontologis namun juga historis.[1] Hal ini menjadi tugas pokok pendidikan sebagai wadah pembentuk karakter manusia dengan penanaman niali-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai kemanusiaan pun sepertinya makin jauh dari dunia pendidikan, dehumanisasi bagaikan jamur yang tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat moderen, akibatnya krisis masyarakat moderen yang tak mampu dibendung lagi, hal ini perlu kita sadari kegagalan dunia pendidikan dalam pembentukan moral manusia.[2]
Ki Hajar Dewantara menyatakan : “Pendidikan umumnya berarti daya upaya untuk memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intellect) dan jasmani anak-anak selaras dengan alam dan masyarakatnya.”[3]
Pendidikan merupakan sebuah pilot project dan agen untuk melakukan peruhan sosial guna membentuk masyarakat baru yang terbebas dari penindasan,[4] bukan hanya itu pendidikan juga merupakan sarana yang strategis bagi proses terjadinya Transformasi nilai dan budaya pada suatu komunitas sosial.[5] Maka perkembangan pendidikan kearah yang lebih baik haruslah menjadi agenda utama pemerintah dan semua pihak yang terlibat di dalamnya.
Namun sayangnya, kebijakan pemerintah dalam dunia Pendidikan diwarnai dengan kepentingan politik praktis, sehinga pendidikan tidak mampu melakukan hal-hal yang konstruktif.[6] Realitas membuktikan bahwa pendidikan selalu di arahkan untuk membenarkan kepentingan penguasa dan kroni-kroninya. Pendidikan berada dalam penjarah kekuasaan sehinga iapun tidak bisa meningkatkan kualitas bangsa ini.
Ironisnya hari ini, pendidikan mencetak kepentingan para pemodal.[7] Pendidikan ditujukan untuk meproduksi para pekerja yang di butuhkan oleh pasar, dengan upah yang sangat murah. Ironisnya lagi, otonomi Pendidikan yang memberikan hak sepenuhnya pada setiap penyelenggaraan pendidikan, maka ini memberikan suatu bukti kongkrit pendidikan berada dalam kerentanan komersialisasi pendidikan sehingga menjadi keniscayaan apabila pendidikanpun menjadi komoditas yang siap diperjualbelikan dengan harga tinggi. Masalah pendidikan lebih meluas ke sektor moral, Pendidkan dianggap “telah gagal” dalam membentuk peserta didik yang memiliki akhlak, moral, dan budi pekerti yang baik,[8] lebih jauh lagi banyak peserta didik yang dinilai tidak hanya kurang memiliki kesantunan, namun juga sering terlibat dalam tidak kekerasan masal, seperti tawuran.
Sejauh menyangkut krisis moral dan akhlak ini, terdapat beberapa permasalahan pokok yang menjadi akar krisis moral dan akhlak di lingkungan pendidikan, pertama, arah pendidikan telah kehilangan obyektifitasnya. Dalam hal ini sekolah dan lingkungan tidak lagi menjadi tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi atas tindakan-tindakanya, (benar dan salah).
Kedua, proses pendewasaan diri tidak berlangsung baik di lingkungan sekolah. Lembaga pendidikan umumnya lupa pada fungsinya sebagai tempat sosialisasi dan pembudayaan peserta didik, selain mempunyai fungsi pokok untuk mengisi kognisi, dan psikomotorik, sekolah juga sekaligus bertugas untuk mempersiapkan mereka meningkatkan kemampuan merespon dan memecahkan masalah diri sendiri maupun orang lain.[9]
B.     Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas adalah bagaimana mencari konsep pendidikan humanis berdasarkan konsep para tokoh pendidikan yaitu Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara.
Dan untuk lebih memfokuskan penelitian ini, maka terdapat beberapa rumusan masalah, yaitu:
a.       Bagaimana konsep pendidikan humanis Paulo Freire Dan Ki Hajar Dewantara?
b.      Bagaimana konvergensi konsep pendidikan humanis Ki Hajat Dewantara dan Paulo Freire?











BAB II
PEMBAHASAN
A.    Ki Hadjar Dewantara Dan Konsep Pendidikannya
Sistem pendidikan yang amburadul membawa pada krisis kemanusiaan bangsa, hal ini tentunya menjadi persoalan serius yang harus segera di temukan solusinya, dan perjalanan sejarah pendidikan Indonesia telah banyak menghadirkan tokoh-tokoh sentral pendidikan bangsa, konsep-konsep pendidikan mereka haruslah dijadikan sebagai sebagai solusi terhadap permasalahan pendidikan hari ini, mereka adalah agen-agen perubahan sekaligus pelopor pendidikan bangsa Indonesia. Dan Salah satu tokoh sentral dunia pendidikan bangsa Indonesia dalah Ki Hadjar Dewantara, beliau adalah anak bangsa yang telah mendedikasikan kehidupannya bagi dunia pendidikan Indonesia.
a.      Biografi Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1922, dengan nama Raden Mas Suardi. Ia berasal dari lingkungan keluarga keraton, tepatnya Pura Pakualaman, Yogyakarta. Raden mas adalah gelar kebangsawanan yang otomatis melekat pada seorang laki-laki keturunan ningrat, dari keturunan ke dua hingga ke tujuh dari raja atau pemimpin yang terdekat (secara silsilah) yang pernah memerintah, gelar ini di pakai oleh semua kerajaan di jawa pewaris mataram. [10]
Ki Hadjar Dewantara merupakan cucu dari Sri Paku Alam III, sedangkan ayahnya bernama K.P.H.Suryaningrat, ibunda Ki Hadjar Dewantara bernama Raden Ayu Sandiah, yang merupakan buyut dari Nyai Ageng Serang, sorang keturunan dari Sunan Kalijaga.
Pendidikan yang dienyamnya, setamat dari ELS (Europesche Lagere School- Sekolah Dasar Belanda) ia meneruskan pendidikannya ke Sekolah Guru (Kweekschool) di Yogyakarta namun tidak sampai tamat. Pada tahun 1905 Ki Hadjar Dewantara bersekolah di Sekolah Dokter Boemi Poetera (STOVIA). Namun, lagi-lagi bangsawan muda pakualaman itu tidak sampai tamat karena beasiswanya dicabut setelah ia gagal menyelesaikan ujian kenaikan tingkat. Meskipun ayahnya terhitung seorang ningrat utama di  Paku Alaman, namun Kanjeng Pangeran Suryaningrat tidak mempunyai cukup biaya untuk melanjutkan pendidikan Dewantara.[11]
Setelah keluar dari STOVIA, Ki hadjar dewantara bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar, antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Muda, Tjahaja Timur, dan  Poesara. Ia juga menerbitkan Koran Goentoer Bergerak, dan Hindia Bergerak.[12]
 Karena tulisan-tulisannya yang kritis, ia pernah diasingkan pemerintah Hindia Belanda ke pulau Bangka dan Negeri Belanda. Pada saat di Belanda ia manfaatkan untuk belajar sehingga memperoleh Europeesche Akte. Setelah pulang ke tanah air pada tahun 1918, ia mendirikan perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada tanggal 3 Juli 1922.
Di bawah ini adalah beberapa karya tulis Ki Hadjar Dewantara, yang membawa perubahan:
1.      Kemerdekaan Indonesia, ini adalah tulisan pertamanya.
2.      Seandainya aku seorang Belanda (Als ik eens een Nederlander Was’).
3.      Satu buat semua, tetapi juga semua buat satu (Een voor Allen, maar ook Allen voor  Een).
4.      Peringatan dan perampasan Kemerdekaan (Vrijheidsherdeking en Vrijheisberooving).
5.      Kembali ke medan Front (Terug Naar Het Front).
6.      Mobilisasi intelektual nasional untuk mengadakan wajib belajar.
Selain aktif dalam bidang Jurnalistik, Ki Hadjar juga begitu bersemangat terjun langsung ke arena organisasi dan pergerakan partai politik. Bersama EFE Douwes Dekker dan Tjipto Mangunkoesoemo, Ki Hadjar menjadi gembong Indiche Partij, yang didirikan 25 Desember 1912. Organisasi politik ini benar-benar revolusioner, terbukti dalam program dari anggaran dasarnya antara lain berbunyi, ‘tujuan Indiche Partij ialah untuk membangun patriotisme semua ‘indiers’ terhadap tanah air, yang telah member lapangan hidup kepada mereka, agar mereka mendapat dorongan untuk bekerjasama atas dasar persamaan ketatanegaraan untuk memajukan tanah air Hindia dan untuk mempersiapkan kehidupan rakyat yang merdeka[13]
Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.[14]
Pada tahun 1943 (masa penjajahan Jepang), ia bersama Ir. Soekarno, Drs.Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur mendirikan tenaga rakyat (Putera). Setelah Indonesia merdeka, ia menjabat sebagai menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (semacam Menteri Pendidikan Nasional saat ini) yang pertama. Banyak penghargaan yang diperoleh Ki Hadjar Dewantara. Hari kelahirannya (2 Mei) dijadikan sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ia juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI No. 305 tahun 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah Doctor Honoris Causa (Dr. H. C) dari Universitas Gadja Mada pada tahun 1957, dua tahun sebelum meninggal (26 April 1959). Namanya juga diabadikan sebagai salah satu nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya pernah diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah. Semboyannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sung tulada (di depan memberi teladan). Bagian depan dari semboyannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Departemen Pendidikan Nasional[15].
Nama Ki Hadjar Dewantara tidak dapat dipisahkan dari pendidikan Nasional Indonesia. Ia adalah tokoh besar dan pahlawan yang banyak mencurahkan perhatiannya dalam bidang pedidikan dan pengajaran. Bahkan dapat. dikatakan seluruh hidup dan perjuangannya diabdikan kepada dunia pendidikan. Ki Hadjar mau mengangkat derajat rakyat Indonesia melalui pendidikan.
Bapak pendiri atau Founding Fathers dari Republik Indonesia, juga termasuk sebuah pengakuan untuknya. Karena selain ia seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, ia juga adalah seorang pelopor pendidikan nasional Par Excellence. Visi pendidikannya bersifat futuristik, menyiapkan masa depan, suatu dunia yang merdeka bagi generasi mendatang yang tidak lain daripada generasi saat ini.
b.      Konsep Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar dewantara memiliki konsep pendidikan yang benar-benar bersifat pri bumi, yakni non-pemerintah dan non-Islam. Konsep pedidikan yang seperti itu berarti memadukan konsep pendidikan yang bergaya eropa dan modern dengan seni-seni jawa tradisional. [16]
Kehandalan seorang Ki Hadjar Dewantara sebagai seorang pemikir besar bangsa ini telah di transformasikan ke dalam sistem perguruan taman siswa. Taman siswa adalah badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat yang menggunakan pendidikan dalam arti luas untuk mencapai cita-citaya, taman siswa bersifat anti-intelektualisme. Artinya, siapapun tidak boleh hanya mengunggulkan kecerdasan dengan mengabaikan faktor-faktor lainnya, taman siswa mengajarkan asas keseimbangan antara intelektualisme di satu sisi dan personalisasi di sisi yang lain, tujuannya agar kecerdasan dan kepribadian setiap anak didik berkembang secara seimbang.
Ki Hadjar Dewantara menerapkan konsep pendidikan “Konsep Tringa” dalam system pendidikan taman siswa, yang terdiri dari, ngerti ( mengetahui), ngrasa (memahami), dan Ngelakoni (melakukan). Atau di dalam teori barat di kenal dengan konsep domain yang di ciptakan oleh Benyamin S. Bloom yang terdiri dari Afektif, Kongnitif, dan  psikomotorik. [17]
Pendidikan Tamansiswa di laksanakan berdasarkan metode Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan, dalam sistem ini setiap pendidik harus meluangkan waktu sebanyak 24 jam setiap harinya untuk memberikan pelayanan kepada siswa. Sistem among tersebut berdasarkan cara berlakunya disebut Tut Wuri Handayani, orientasi pendidikan pada system ini adalah pada anak didik.
Sistem among yang menyokong kodrat alam anak didik bukan dengan “perintah-paksaan”, tetapi dengan tuntunan agar berkembang hidup lahir dan batin anak menurut kodratnya secara subur dan selamat. Sistem among mengemukakan dua prinsip dasar, yaitu:
1.      Kemerdekaan merupakan syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin sehingga bisa hidup merdeka, tidak berada dalam kekuasaan golongan apapun. Kemerdekaan ini diinternalisasi dengan sedemikian rupa dalam kehidupan praksis anak didik sehingga mereka merasa sudah berada dalam kehidupannya, bukan kehidupan yang lain yang diupayakan masuk dalam kehidupannya.
2.      Kodrat alam adalah syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan sebaik-baiknya. Kodrat alam tersebut adalah bahwa alam yang selama ini ada harus dijaga dengan sedemikian baik, jangan dirusak karena alam menjadi modal bagi pendidikan anak didik agar bertanggung jawab   dan memajukannya.[18]
Ki Hadjar Dewantara menetapkan tujuh azas Tamansiswa 1922 yang salah satu butirnya berbunyi:
“Sang anak harus tumbuh menurut kodrat (natuurlijke groei) itulah perlu sekali untuk segala kemajuan (evolutie) dan harus dimerdekakan seluasluasnya. Pendidikan yang beralaskan paksaan-hukuman-ketertiban. (regering-tucht en orde) kita anggap memperkosa hidup kebatinan sang anak. Yang kita pakai sebagai alat pendidikan yaitu pemeliharaan dengai sebesar perhatian untuk mendapat tumbuhnya hidup anak, lahir dan batin menurut kodratnya sendiri. Itulah yang kita namakan Among Methode.”[19]
Ki Hadjar Dewantara menempatkan jiwa merdeka sebagai sifat kodrati sang anak yang harus ditumbuh kembangkan melalui pendidikan dan pengajaran. Sistem among dalam belajar mengajar dengan metode Kinder Spellen secara berkelompok dapat mendidik interaksi sosisal kepada peserta didik.Pelajaran dengan cara bermain dalam sistem among dapat menyentuh jiwa merdeka sang anak di semua tingkat usia. Dalam salah satu Azas Tamansiswa disebutkan pula “Pamong jangan hanya memberi pengetahuan yang perlu dan baik (menurut silabus) saja, akan tetapi harus mendidik siswa mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna amal keperluan umum.” Sistem among melakukan pendekatan secara kekeluargaan artinya menyatukan kehangatan keluarga dengan sekolah.

B.     Paulo Freire Dan Konsep Pendidikannya

Wajah pendidikan dunia tidak asing lagi dengan sosok Paulo freire, yang konsep pendidikannya dikenal di seluruh dunia dan juga banyak di gunakan sebagai solusi dari berbagai multi problem yang di hadapi oleh pendidikan global. Sebelum mebahasan lebih mendalam tentang konsep pendidikan Paulo Freire, penulis akan mengulas terlebih dahulu perjalanan hidup Paulo Freire.

a.      Biografi Paulo  Freire
Paulo freire lahir pada tanggal 19 September 1921 di Recife sebelah timur Brazil, Recife  termasuk sebuah wilayah miskin dan terkebelakang di brazil, Joachim Themistocles Freire, adalah ayah dari Freire, ai adalah seorang anggota polisi militer di Pernambuco yang berasal dari Rio Grande do Norte. Dan ibunya Edeltrus Neves Freire, berasal dari Pernambuco, beragama Katolik, ibunya termasuk orang yang  lembut, baik budi dan adil. Merekalah yang dengan teladan dan kasih mengajari Freire  untuk menghargai dialog dan menghormati pilihan orang lain. Orang tuanya berasal dari golongan menengah namun keluarga Freire sempat mengalami kesulitan finansial yang parah pada tahun 1929, pada saat itu Brazil mengalami krisis ekonomi yang parah. Karena itulah Freire menyadari apa artinya lapar semenak ia berada di bangku  sekolah dasar. Keluarganya kemudian pindah ke Jabotao pada tahun 1931 dan di situlah kemudian ayahnya meninggal.[20]
Prof. Richard Shaull menceritakan bahwa pengalaman mendalam akan kelaparan sewaktu masih bocah menyebabkan Freire pada umur sebelas tahun bertekat untuk mengabdikan hidupnya pada perjuangan melawan kelaparan. Sehingga tidak ada anak lain yang akan merasakan penderitaan yang ia alami. Tertinggal dua tahun dibanding teman-teman sekelasnya, pada umur lima belas tahun dia lulus dengan nilai pas-pasan untuk dapat masuk sekolah lanjutan. Namun setelah keadaan keluarganya sedikit membaik, ia dapat menyelesaikan sekolahnya dan ia kemudian memasuki Universitas Recife. Pada tahun 1944, Freire menikahi Elza Maia Costa Olivera dari Recife, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala sekolah). Elza memberinya tiga orang putri dan dua orang putra. Freire berkata bahwa pada saat itulah minatnya pada teori-teori pendidikan mulai tumbuh, dan bahwa ia mulai lebih banyak membaca buku-buku pendidikan, filsafat dan sosiologi pendidikan daripada buku-buku hukum, suatu ilmu dimana ia menganggap dirinya sebagai seorang siswa yang rata-rata. Setelah lulus, ia selajutnya menjadi kepala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dari Jasa Kemasyarakatan di Negara bagian Pernambuco.[21]
Di awal tahun 1960-an, Brazil adalah sebuah Negara yang bergejolak. Banyak gerakan revormasi yang tumbuh pada saat yang bersamaan, karena golongan  sosialis, komunis, mahasiswa, pimpinan buruh, golongan populis dan militan Kristen semua mengejar tujuan sosial politiknya masing-masing. Pada waktu itu Brazil berpenduduk sekitar 34,5 juta jiwa, dan hanya 15,5 juta orang saja yang dapat memberikan suara. Buta aksara yang banyak terdapat pada masyarakat pedesaan yang miskin (khususnya di daerah timur laut tempat Freire bekerja) menjadi daya tarik bagi golongan minoritas karena hak pemberian suara seorang tergantung pada kemampuan baca tulisnya. Tidaklah mengherankan bahwa setelah pemimpin populis Joao Goulart mengganikan Janio Quadros sebagai presiden Brazil tahun 1961, serikat petani dan gerakan kultural lain yang terkenal bermaksud untuk membangkitkan kesadaran dan kampanye melek huruf di seluruh negeri, seperti juga peningkatan kegiatan Basic Education Movement (BEM) yang didukung oleh para uskup Brazil. Melalui Superintendency for The Development of the North East (SUDENE), organisasi federal pemerintah di bawah arahan Celso Furtado, program-program untuk membantu perkembangan perekonomian di Sembilan Negara bagian memasukkan kursus-kursus dan beasiswa untuk pelatihan para ilmuan dan spesialis. Bantuan pendidikan kemudian direncanakan untuk memperluas program-program melek huruf dasar dan orang dewasa sebagai hasil restrukturisasi radikal yang diimpikan SUDENE.
Di tengah harapannya yang sedang bergejolak inilah Paulo Freire menjadi kepala pada Cultural Extention Service yang pertama di Universitas Recife, yang membawa program melek hurufnya yang sekarang terkenal dengan metode Freire- kepada petani di timur laut. Selanjutnya, mulai Juni 1963 sampai Maret 1964, Tim Freire bekerja di seluruh negeri. Mereka menyatakan diri berhasil dalam menarik minat para orang dewasa yang buta huruf untuk belajar dan menulis hanya dalam waktu 45 hari. Ketakutan pada melek huruf, khususnya melek huruf yang dicari oleh Freire, bukanlah hal baru di dunia Amerika, Serikat. Belum lama berselang dalam sejarah Amerika Serikat, dalam paragraph pengantar untuk UU tahun 1831 di North Carolina dapat terbaca hal seagai berikut.[22]
“Sementara pengajaran para budak untuk menulis dan membaca mempunyai kecenderungan untuk membangkitkan ketidakpuasan dalam pikiran mereka dan menyebabkan huru hara dan pemberontakan, dan menyebabkan kerugian bagi Negara bagian ini, maka hal itu dilakukan”
Paulo Freire meninggal dunia di Rumah Sakit Albert Einstein, Sao Paulo. Ia wafat dalam usia 75 tahun akibat serangan penyakit jantung. Pemikiran Paulo Freire dalam bidang pendidikan antara lain tertuang dalam karya-karya sebagai berikut:
1.      Educacao Como Practica de Liberdade atau Pendidikan sebagai Pelaksanaan Pembebasan (1967).
2.      Extension or Communication dengan judul Pendidikan sebagai praktik pembebasan (1984).
3.      Dua karangan dalam Harvard Educational Reviews: “the Adult Literacy Process as Cultural Action for Freedom (40[1970]205-225) dan Cultural Action and Congclentization (40[1970]452-477), kemudia kedua artikel ini diterbitkan dalam buku saku dengan judul Cultural Action for Freedom (1970).
4.      Pedagogy of the Oppressed (1970).
5.      Pedagogy of the City (1993)
6.      Pedagogy of Hope (1995)
7.      Pedagogy of the Heart (1997)
8.      Pedagogy of Freedom (1998)
9.      Pedagogy of Indidnation (2004)
10.  Dan sebelum ia meninggal ia sedang menyiapkan tulisan tentang Ecopedagogy.[23].

b.      Konsep Pendidikan Paulo Freire
Paulo Freire banyak belajar dari pengalaman hidupnya, realitas diri dan lingkungan sosialnya yang keras, dan penuh dengan penindasan yang dihadapi inilah sehingga Freire merumuskan sebuah falsafah, konsep, gagasan sampai metodologi pengetahuan dan penterapannya dengan cara yang sangat memukau.
Freire hadir dengan konsep pendidikan hadap masalah atau (Problem-Phosing Edocation)  konsep pendidikan ini hadir sebagai solusi dari sistem pendidikan gaya bank yang di terapka di brazil saat itu. “pendidikan hadap masalah”. Suatu bentuk pendidikan yang harus diolah bersama, bukan untuk, kaum tertindas (sebagai perorangan maupun anggota masyarakat secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk merebut kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini menjadikan penindasan dan sebab-sebabnya sebagai bahan renungan bagi kaum tertindas dan dari renungan itu akan muncul rasa wajib untuk terlibat dalam perjuangan bagi kebebasan mereka. Dalam perjuangan itu pendidikan akan disusun dan diperbaiki.[24]
Setiap waktu dalam prosesnya, pendidikan kaum tertindas ini selalu merangsang ke arah diambilnya suatu tindakan kemudian tindakan tersebut direfleksikan kembali dan dari refleksi itu diambil tindakan baru yang lebih baik. Sehingga proses pendidikan merupakan suatu daur bertindak dan berfikir yang berlangsung terus menerus sepangjang hidup seseorang. Pada saat bertidak dan berpikir itulah seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan belajar seperti itu, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalahan realitas dan keberadaan diri mereka di dalannya. Oleh karena itu Freire menyebut model pendidikannya sebagai pendidikan hadap masalah.[25] Proses tersebut digambarkan sebagai berikut



Bertidak
Bertindak
Dan Seterusnya
Berfikir
 





Berfikir

                                                                                                                         
 



Gambar 1:1.Proses berfikir dan berindak dalam konsep prxis
Pada saat bertindak dan berfikir itulah, seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar seperti ini, setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permasalahan-permasalah realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya.
Pendidikan yang membebaskan menurut Freire Freire merupakan proses di mana pendidik mengkondisikan siswa untuk mengenal dan mengungkap kehidupan yang senyatanya secara kritis. Pendidikan yang membelenggu berusaha untuk menanamkan kesadaran yang keliru kepada siswa sehingga mereka mengikuti saja alur kehidupan ini, sedangkan pendidikan yang membebaskan tidak dapat direduksi menjadi sekedar usaha guru untuk memaksakan kebebasan kepada siswa. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan hadap masalah ini pertama kali menuntut pemecahan kontradiksi antara guru-murid. Hubungan dialogis yang harus ada pada para pelaku pemahaman untuk bersama-sama mengamati objek yang sama tidak dapat diwujudkan dengan cara lain.
Dalam pendidikan hadap masalah itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti. secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada.
Dalam pendidikan "hadap masalah" itu guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis para murid. Dengan demikian kedua belah pihak bersama-sama mengembangkan kemampuan untuk mengerti secara kritis dirinya sendiri dan dunia tempat mereka berada. Pengetahuan adalah keterlibatan.[26]
Bagi Freire dialog adalah salah satu unsur penting dalam pendidikan kaum tertindas. Inti dialog adalag kata. Kata mempunyai dua dimensi refleksi dan aksi yang berada dalam interaksi yang radikal. Tanpa refleksi hanya akan terjadi aktivisme, dan taksi dan refleksi, kata menjadi benar-benar kata yang sejati. Kata sejati adalah kata yang memungkinkan mengubah dunia. Dialog adalah pertemuan antara kata dengan tujuan "memberi nama kepada dunia". Dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari orang lain meskipun menurut perasaan kebudayaan lebih rendah, memperlakukan orang lain sederajat, keyakinan bahwa orang lain dapat mengajar kita. Artinya bahwa tindakan dialogik selalu bersifat kooperatif. Itu berarti adanya kesatuan antara bawahan dan atasan dalam usaha memacu proses perubahan.[27]
Pendidikan merupakan sentral dalam membebaskan manusia dari keterbelakangan. Karena pendidikan yang ada telah menjadi sarana pembodohan itu. Paulo Freire mengajak kita untuk bersikap kritis, jeli, dan waspada terhadap kebijakan pendidikan yang hampir selalu diwacanakan seakan-akan objektif.

C.    Konsep Pendidikan Humanis Prespektif Paulo Freire
Filsafat Freire bertolak dari realitas bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian manusia lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Persoalan itu yang disebut Freire sebagai “situasi penindasan”.[28]
Bagi Freire, penindasan, apapun nama dan apapun alasannya, adalah tidak manusiawi, sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan, dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence). Adapun kaum penindas juga menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakekat keberadaan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi kaum manusia sesamanya.
Maka dari itu tidak ada pilihan lain, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) adalah merupakan pilihan mutlak. Humanisasi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Suatu kenyataan tidaklah menjadi keharusan, jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk mengubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya. Itulah fitrah manusia sejati.
Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, dinamakan sebagai “pendidikan kaum tertindas”, sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersama dengan, dan bukan diperuntukkan bagi kaum tertidas (di sini diartikan anak didik). Sistem pendidikan pembaharuan ini, kata Freire, adalah pendidikan untuk pembebasan-bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan harus menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya (social and cultural domescitation). Pendidikan bertujuan menggarap realitas manusia dan, karena itu, secara metodologis bertumpu di atas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total-yakni prinsip bertindak untuk merubah kenyataan yang menindas dan pada sisi simultan lainnya secara terus-menerus menumbuhkan kesadaran akan realitas dan hasrat untuk merubah kenyataan yang menindas tersebut.[29]
Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia dan dunia tersebut, Freire kemudian merumuskan gagasan-gagasannya tentang hakekat pendidikan dalam suatu dimensi yang sifatnya sama sekali baru dan pembaru. Bagi Freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan ini tidak cukup hanya bersifat objektif atau subyektif, tapi harus kedua-duanya. Kebutuhan obyektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subyektif untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi senyatanya, yang obyektif. Obyektivitas dan subyektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis.[30]
Kesadaran subyektif dan kemampuan obyektif adalah suatu fungsi dialektis yang ajeg (constant) dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan yang harus dipahaminya. Memandang kedua fungsi ini tanpa dialektika semacam itu, keadaan bias menjebak kita ke dalam kerancuan berfikir. Obyektivitas pada pengertian si penindas bisa saja berarti subyektivitas pada pengertian si tertindas, dan sebaliknya. [31]
Jadi hubungan dialektik tesebut tidak berarti persoalan mana yang lebih benar atau yang lebih salah. Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yakni : Pengajar, Pelajar atau anak didik, dan Realitas dunia. Yang pertama dan kedua adalah subyek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah obyek yang disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Manusia, Guru, dan Siswa Dalam Konsep Pendidikan Paulo freire
a)      Manusia Dalam Pandanga Paulo Freire
Paulo Freire adalah seorang humanis yang radikal. Ia selalu mengacu kepada visinya tentang manusia sebagi dasar alam pikirannya. Humanisasi bagi Freire merupakan tujuan dari setiap usaha di mana manusia dilibatkan. Dehumanisasi merupakan cirri setiap tindakan yang merusak kodrat manusia yang sejati. Freire tidak setuju dengan pandangan bahwa manusia marupakan mahkluk pasif yang tidak perlu membuat pilihan-pilihan atas tanggung jawab pribadi mengenai pendidikannya sendiri. [32]
Dalam pandangan Freire manusia adalah makhluk yang berelasi dengan Tuhan dan dengan sesama. Tuhan telah memberikan kepadanya kemampuan untuk memilih secara refleksif dan bebas. Melalui hubungannya dengan Tuhan dan sesama, manusia berkembang menjadi kepribadian yang sudah ditentukan. Manusia harus berjuang mewujudkan essensinya yang diberikan kepadanya oleh Tuhan.
Menurut Freire, fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek, bukan penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menindasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dank arena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau nasib yang tak terelakkan, semacam mitos. Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan ha itu berarti mengandalkan perlunya sikap orientatif yang merupakan bahasa pikiran (thought of language), yakni bahwa pada hakikatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya yang dengan bekal pikiran dan tindakan “praktis” nya ia merubah dunia dan realitas. Maka dari itu manusia berbeda dengan binatang yang hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga memiliki naluri, namun juga memiliki kesadaran. Manusia memiliki kepribadian, eksistensi. Hal ini tidak berarti bahwa manusiamemiliki keterbatasan, tetapi dengan fitrah kemanusiaannya seseorang harus mampu mengatasi situasi-situasi batas yang mengekangnya. Juka seseorang pasrah, menyerah pada situasi batas tersebut, apalagi tanpa ikhtiar dan kesadaran sama sekali, sesungguhnya ia tidak manusiawi. Seseorang yang manusiawi harus menjadi “pencipta” sejarahnya sendiri. Karena seseorang hidup di dunia dengan orang lain sebagai umat manusia, maka kenyataan “ada bersama” (being together) itu harus dijalani dalam proses menjadi (becoming) yang tak pernah selesai. Ini bukan adaptasi, namun integrasi untuk menjadi manusia seutuhnya.[33]
Paulo Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi tiga yaitu: (a). Kesadaran magis (magical consciousness) yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor yang lain. Kesadaran ini lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidak berdayaan. (b). Kesadaran naif (naifal consciousness), yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dan (c) Kesadaran kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sisitem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat.[34]
Berangkat dengan pendidikan ini, manusia akan mempunyai pemahaman terhadap dirinya sebagai makhluk yang hidup di dalam dan dengan dunia. Sebab konsientisasi (penyadaran) lewat pendidikan merupakan sebuah proses kemanusiaan yang khusus.
Untuk itu dalam proses pemanusiaan sebagai makhluk yang sadar, manusia bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama dunia, bersama dengan orang lain. Manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dapat menjaga jarak dengannya secara objektif. Tanpa objektifikasi seperti ini, termasuk mengobjektifikasi dirinya, manusia hanya akan dapat hidup di dunia tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia.[35] selain itu manusia yang hanya sekedar hidup tidak akan dapat melakukan refleksi dan mengetahui bahwa dirinya hidup di dunia. Inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang hanya berada di dunia karena tidak mampu mengobyektifikasi dirinya di dunia. Binatang hidup tanpa memperhitungkan waktu sehingga ia tidak bisa mengatur dan mengikuti perkembangan zaman. Berbeda dengan manusia yang mampu mengatur dan mentransendenkan diri serta mengembangkan apa yang dilakukannya secara exist, sehingga mampu mengikuti perkembangan zaman.
Sebaliknya manusia yang tidak punya kesadaran dan tidak mampu mengikuti perkembangan zaman, maka ia hanya menjadi makhluk yang pasif, yang pasrah pada nasib dan hidup dalam “keterbelengguan”. Sebagaimana yang diutarakan Paulo Freire sebagai berikut:
“Jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan “muncul” ke permukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration) atas dunia sebagai obyek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang menyerah pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat berfikir secara bebas. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya mempunyai kemauan, yang mampu membebaskan dirinya, semua ini merupakan refleksi yang akan menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar kesadaran semu.”

Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Humanisasi karnanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasab manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya. Oleh karna itu kaum terindas harus membebaskan atau memerdekakan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi.[36]
Adapun rumusan relasi manusia-dunia yang menjadi dasar filsafat Freire itu dapat diringkas sebagai berikut:
“Kenyataan itu dialami manusia sebagai proses. Kenyataan sebagai proses, baru dapat dipahami dalam hubungan manusia dengan dunia, yang terlihat dalam bahasa pikiran. Kemampuan untuk mewujudkan bahasa pikiran ke dalam realitas inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Kalau usaha mewujudkan bahasa pikiran dihambat, maka manusia hanya hidup saja dan tidak akan berhasil untuk mengada, karena ciri khasnya adalah eksistensi. Eksistensi manusia baru muncul dalam praksis. Praksis berarti membuat sejarah. Oleh karena itu, merupakan panggilan hidup. Panggilan hidup manusia, secara ontologis adalah menjadi subjek dan memberi nama pada dunia. Dunia baru muncul dan disadari ketika kita mampu meneruskan tema-tema zaman kita. Mewujudkan tema-tema zaman inilah yang merupakan tindakan politik manusia untuk humanisasinya.”

 Berkenaan dengan kodrat manusia Freire selalu membandingkan antara manusia dengan binatang. Menurutnya manusia berbeda dengan binatang yang hanya mempunyai naluri, manusia memiliki naluri namun juga mempunyai kesadaran. Manusia memiliki kepribadian dan eksistensi, oleh karena itu seseorang yang manusiawi harus mampu mencipta sejarahnya sendiri.
Manusia adalah penguasa atas dirinya, karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan bebas. Manusia adalah makhluk yang sadar kalau dirinya tidak lengkap, dan dirinya berada dalam dunia yang juga belum selesai. Kedua kondisi mendasar tersebut mengakibatkan pendidikan menjadi kegiatan yang berjalan terus menerus. Sebuah pendidikan pada dasarnya tidak pernah berdiri bebas tanpa berkaitan secara diaklektis dengan lingkungan dan sisten sosial di mana pendidikan diselenggarakan. Oleh karena itu proses pendidikan sebagai proses pembebasan tidak pernah terlepas dari sistem dan struktur sosial di mana pendidikan itu di selenggarakan. Inilah tujuan akhir dari upaya humanisasi.
b)     Guru menurut Paulo Freire
 Berangkat dari pandangan bahwa fitrah manusia adalah bebas dan merdeka. Yang menempatkan manusia sebagai pelaku atau subyek, karena fitrah manusia sejati bukanlah sebagai penderita atau obyek. Untuk itu dalam pandangan pendidikan Freire antara pendidik dan anak didik sama-sama diletakkan sebagai subyek pendidikan yang sadar akan dirinya, yang sama-sama ingin mengetahui lebih banyak realitas dan pengetahuan sebagai obyeknya.
Oleh karena itu, pendidikan Freire menempatkan guru dan murid dalam posisi belajar bersama, masing-masing memiliki peran sebagai subyek, atau sebagai pendidik-terdidik yang sama sekali tidak menimbulkan kontradiksi.[37]  Di sini terlihat adanya posisi “guru yang murid” dan “murid yang guru”, karena keduanya saling berinteraksi dalam memberikan informasi pengetahuan secara horisontal.
Guru menurut Freire adalah seorang guru yang berada dalam proses pendidikan yang demokratis, yaitu mempunyai kepercayaan kepada siswanya sebagai makhluk yang tidak hanya mampu mendiskusikan masalah, tetapi juga mampu mengatasi masalah. Maksudnya, dalam proses belajar mengajar hendaknya ada hubungan dialog antara siswa dengan guru, dan kontradiksi antara keduanya harus dihapuskan supaya terjadi pendidikan yang benar. Gurupun diajari melalui dialog dengan siswa. Tak ada seorang mengajar yang lain, dan juga tidak ada yang mengajar diri sendiri. Jadi fungsi guru di sini adalah sebagai fasilitator bagi siswanya untuk memahami realitas dan dirinya.
Bagi seorang humanis, Freire berpendapat bahwa seorang pendidik yang revolusioner, akan mencari usaha-usaha agar siswa terlibat dalam pemikiran kritis serta usaha-usaha ke arah humanisasi satu sama lain. Usaha-usaha tersebut harus dilandasi oleh keyakinan-keyakinan yang mendalam terhadap sesama manusia dan daya cipta mereka. Untuk mencapainya, ia mesti menjadi seorang rekan bagi siswa-siswanya pada saat berhubungan dengan mereka. Dengan kata lain, seorang guru harus menjadi fasilitator, motivator, dan dinamisator bagi seswanya agar tercipta suasana komunikatif dalam proses belajar mengajar.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
c)    Siswa Menurut Paulo freire
Freire memberikan pendapat bahwa anak didik adalah makhluk bebas yang memiliki alamnya sendiri sehingga mereka tidak seharusnya diperlakuakan seperti robot atau mainan yang bisa dipermainkan secara manipulatif. Anak-anak didik adalah makhluk yang memiliki nasib dan masa depan pendidikan masingmasing sehingga peran seorang pendidik dalam pendidikan adalah mengarahkan mereka sesuai dengan potensi dan bakat yang dimilikinya. Dengan kata lain, anak didik adalah makhluk yang dilahirkan sebagai sosok-sosok dengan kebebasan dan kemerdekaan untuk mewujudkan eksistensi dirinya secara terbuka dan mandiri. Mereka mengaktualisasikan segala potensi dan bakatnya dengan mandiri dan terbuka pula.[38]
Untuk dapat mengembangkan potensi-potensi anak didik, mereka memerlukan bimbingan dari orang yang lebih dewasa dalam pembelajarannya. Menurut Freire belajar adalah proses di mana orang bergerak maju dari tingkat kesadaran yang lebih rendah menuju kepada tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Belajar mulain dengan menilai tahap kesadaran yang sekarang sebagaimana muncul dalam bahasa, konsep diri, pandangan tentang dunia dan kondisi hidup kongkrit. Menjadi dasar atas relatifnya realitas sosial merupakan awal dari belajar. Orang mulai mengerti bahwa realitas sosial ini bisa dirubah. Maka belajar merupakan suatu gerakan menuju kesadaran kritis, belajar merupakan proses yang bersifat aktif. Proses belajar ini mulai dengan kata-kata, ide-ide dan situasi hidup murid. Pendidikan mempergunakannya untuk mengkodifikasikan alam dunia kongkrit yang sudah menjadi dunia sehari-hari para murid. Dengan demikian proses belajar merupakan proses ditantang dan menantang oleh situasi kehidupan seseorang dan oleh situasi realitas sosial-budaya di mana ia berada. Dan tugas guru disini adalah untuk menolong murid untuk memeriksa, menantang, dan mengkritik situasi dunua kongkrit murid yang dihadirkan secara verbal maupun gambar.
Freire juga mengatakan bahwa sesungguhnya, belajar (studying) itu merupakan suatu pekerjaan yang cukup berat yang menuntut sikap kritissistematik (systematic critical attitude) dan kemampuan intelektual yang hanya dapat diperoleh dengan praktik langsung. Sikap kritis manusia sama sekali tidak dapat dihasilkan oleh pendidikan yang bergaya bank (banking education), yang akan dibahas pada penjelasan berikutnya, Berikut ini beberapa cara untuk mengembangkan sikap kritis dalam belajar pada anak didik menurut Freire:[39]
a)      Pembaca harus mengetahui peran dirinya. Tidak mungkin orang dapat belajar dengan serius juka motivasi membaca disebabkan oleh ketertarikan terhadap daya pikat kata-kata pengarangnya, terpesona oleh kekuatan magis, atau jika ia membiarkan dirinya diserbu oleh pemikiran pengarang. Mempelajari sebuah teks secara serius memerlukan analisa terhadap sebuah bidang kajian yang ditulis oleh orang yang mempelajarinya. Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali (reinventing), penciptaan kembali (recreating), penulisan ulang (rewriting), dan ini merupakan tugas seorang subjek, bukan objek. Sikap kritis dalam belajar sama dengan sikap yang diperlukan untuk menghadapi dunia (yakni dunia dan kehidupan nyata pada umumnya), untuk bertanya dalam hati, yang dimulai dengan terus mengamati kebenaran yang tersembunyi di balik fakta yang dipaparkan dalam teksteks.
b)      Pada dasarnya praktik belajar adalah bersikap terhadap dunia. Karena praktik ini merupakan sikap terhadap dunia, maka praktik ini tidak dapat direduksi menjadi sekedar hubungan antara pembaca dan teks. Dengan demikian, belajar adalah memikirkan pengalaman, dan memikirkan pengalaman adalah cara terbaik untuk berfikir secara benar. Orang yang sedang belajar tidak boleh menghentikan rasa ingin tahunya terhadap orang lain dan kehidupan nyata. Mereka itu selalu bertanya dan berusaha menemukan jawaban, serta terus mencarinya.
c)      Kapan saja mempelajari sesuatu kita dituntut menjadi lebih akrab dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara umum atau bidang studi yang kita alami.
d)     Prilaku belajar mengasumsikan hubungan diakletis antara pembaca dan penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut. Dialetika ini melibatkan pengalam sosio-historis dan idiologi penulis, yang tentu tidak sama dengan pengalam pembaca.
e)      Perilaku belajar menuntut rasa rendah hati (sense of modesty). Jika kita benar-benar mempunyai sikap rendah hati dan kritis, kita tidak perlu merasa bodoh sewaktu kita dihadapkan kepada kesulitan yang besar untuk memahami makna sebenarnya dari suatu teks. Teks yang kita baca tidak selalu mudah untuk dipahami. Dengan sikap rendah hati dan kritis kita lantas mengetahui bahwa teks tersebut bisa jadi berada di luar kemampuan kita untuk memahaminya, sehingga teks itu menjadi sebuah tantangan tersendiri. Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namun menciptakan dan terus menciptakan ide.[40]
Dapat disimpulkan bahwasanya pengajaran Freire disajikan menggunakan kata-kata “generatif” untuk dipelajari oleh semua orang saat mereka mulai membaca dan menulis. Pemilihan kata-kata generative ini didasarkan pada hasil investigasi dan diskusi tentang kehidupan di tiap-tiap daerah. Kata-kata tersebut disebut generative karena dua alas an: (1) karena katakata itu dapat mendorong diskusi masalah-masalah yang akrab tentang kepentingan sehari-hari dari orang-orang yang buta huruf tadi, dan (2) karena dalam bahasa Romawi kata-kata yang bersuku kata banyak dapat dengan mudah dipisah-pisahkan ke dalam komponen-komponen suku kata mereka dan kemudian digunakan untuk membentuk kata-kata baru. Denagn menggunakan kata-kata generatif yang dapat dirubah-rubah, para petani cepat belajar membaca dan mengeja. Tetapi Freire tidak membatasi metodenya hanya pada suatu transfer keterampilan. Kata-kata generative tadi menunjukkan situasi kehidupan nyata manusia dalam hubungannya dengan dunia sekitar mereka, dan karenanya kata seperti favela (kumuh) tidak hanya digunakan untuk mengajari orang membaca suku kata fa-fe-fi-fo-fu, va-ve-vi-vo-vu, la-le-li-lo-lu, dan untuk melihat kemungkinan mengkombinasikan suku kata-suku kata ini untuk membentuk katakata baru. Gambar sebuah perkampungan kumuh, bersama dengan diskusi tentang kehidupan kumuh memperkenalkan “tema-tema generatifa” yang baru dan katakata baru untuk dibaca, dan ditulis yang mengarahkan perhatian para petani pada masalah perumahan, makanan, pakaian, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Kemudian berkembang ke tema-tema yang menggambarkan kehidupan dan budaya manusia sebagai permasalah yang harus dipecahkan oleh orang-orang itu kelaparan, ketergantungan, dan sebagainya.[41]
Latar belakang pendidikan Paulo Freire yang banyak dipengaruhi kondisi sosial politik ketika itu dan juga gambarannya mengenai manusia sudah tampak apa yang sebenarnya menjadi tujuan utama pendidikannya. Dari situ Freire berkeinginan untuk membebaskan kaum tertindas dari belenggu kekuasaan penindas.
Dehumanisasi yang dianggap sebagai pemaksaan ilmu pengetahuan, terjadi ketika kaum tertindas “tidak sadar” akan eksistensi dirinya, dia juga tidak sadar bahwa dia mempunyai kekuatan untuk merubah realitas dunianya, sehingga dia bisa diciptakan menurut pola yang dikehendaki oleh kaum penindas. Kemudian terjadilah tindakan kurang manusiawi terhadap manusia. Sehingga diperlukan humanisasi dalam mengatasi masalah ini. Eksistensi diri manusia atau humanisasi manusia sejati inilah yang menjadi inti dari tujuan pendidikan Paulo Freire.
Maka, hal itulah yang menjadikan diperlukannya proses penyadaran – atau dalam istilah Paulo Freire konsientisasi (conscientization)- diri manusia sebagai makhluk yang sadar dan punya kesadaran lewat pendidikan. Dari pandangan tentang hakikat manusia dan realitas dunia yang telah dijelaskan sebelumnya, maka konsep pendidikan Freire berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Karena manusia selama ini terlihat “tertindas” dan “terbelenggu” yang mengalami degradasi kesadaran diri sebagai manusia yang utuh dan kehilangan akan kebebasan untuk mengaktualisasikan kreatifitas dirinya. Dengan demikian diperlukan adanya suatu proses penyadaran diri sebagai hakikat sebuah tujuan yang dilaksanakan memalui pendidikan. Langkah pertama yaitu dengan pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak hanya bersifat obyektif atau subyektif, tetapi harus keduaduanya.[42]Antara keduanya (obyektifitas dan subyektifitas) merupakan dua hal yang tidak bertentanga dan tidan ada dikotomi. Keduanya bekerja secara konstan dalam diri manusia dalam hubungannya dengan realitas.
Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan pendidikan -yakni penyadaran maka dalam pendidikan Freire melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang ajeg, yang meliputi pengajar (pendidik), anak didik dan realitas dunia. Dalam hal ini, pendidik dan anak didik dipandang sebagai subyek pendidikan yang sadar (cognitive), sementara realitas dunia merupakan obyek yang tersadari atau disadari (cognizable).
Pada intinya, kemanusiaan dan pemanusiaan merupakan tujuan pokok yang tidak terlepas dari bidikan pendidikan ini, sebab selama ini terlihat adanya proses yang membelenggu, yang pada hakikatnya adalah bentuk-bentuk penindasan terhadap kebebasan berfikir kritis sekaligus penaklukkan terhadap kreatifitas peserta didik sebagai makhluk. Hal inilah yang nantinya akan mengarah pada bentuk-bentuk humanisasi. Tujuan pokok tersebut memang menjadi tujuan dasar untuk mengembalikan fungsi pendidikan itu sendiri sebagai proses memanusiakan manusia (humanisasi).
Kepedulian terhadap masalah kemanusiaan, kemudiaan telah membawa pada pengakuan terhadap dehumanisasi yang hanya bukan kemungkinan ontologis melainkan sudah menjadi kenyataan historis.[43] Dalam sejarah antara pemanusiaan dan dehumanisasi dalam konteks-konteks nyata serta objektif merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia sebagai makhluk yang tidak sempurna.
Kemungkinan yang paling menonjol, baik itu disadari maupun yang tidak disadari oleh manusia, adalah meluasnya gejala-gejala dehumanisasi. Dan kemungkinan itu sudah merasuk ke dalam sistem pendidikan. Kemungkinan ini bisa terlihat salah satunya yaitu dalam proses belajar-mengajar, di mana murid hanya dijadikan sebagai objek.

D.    Konsep Pendidikan Humanis Prespektif Ki Hadjar Dewantara
Desain pendidikan yang mengacu pada pembebasan, penyadaran dan kreatifitas sesungguhnya sejak awal telah di gagas oleh Ki Hadjar dewantara, ia menolak pendidikan yang hanya mengajarkan masyarakat pribumi menjadi masyarakat yang mekanis, yang lupa akan tujuan hidup. Oleh karena itu lah ia berusaha mengenalka konsep pendidikan dan pengajaran yang mampu membuat setiap anak didik menjadi manusia seutuhnya.
Pendidikan sebagai salah satu pilar penegak bangsa, memiliki arti dan peran penting dalam proses pemanusiaan. Menurut Ki Hadjar Dewantara pendididika memiliki arti sebagai “tuntunan dalam hidup anak-anak “ Ki Hadjar mengartikan hal ini adalah suatu proses penuntnan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat pencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya baik sebagai mausia maupun anggota masyarakat.[44] 
 Dalam pandangannya tentang pendidikan, Ki Hadjar menuturkan bahwa kata ‘pendidikan’ dan ‘pengajaran’ seringkali dipakai bersama-sama. Sebenarnya gabungan kedua kata tersebut dapat mengeruhkan pengertian yang asli. Perlu diketahui bahwa sebenarnya yang dinamakan pengajaran merupakan salah satu bagian dari pendidikan. Maksudnya, pengajaran itu tidak lain adalah pendidikan dengan cara member ilmu atau bermanfaat buat hidup anak-anak baik lahirmaupun batin.
Sedangkan pandangan pendidikan dalam pengertian umum Ki Hadjar Dewantara, hanyalah suatu ‘tuntunan’ di dalam hidup tumbuhnya anak-anak kita. Maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Anak-anak hidup dan tumbuh dengan kodratnya masing-masing, semua itu di luar kuasa pendidik. Oleh karena itu, pendidik hanya dapat menuntun tumbuh dan hidupnya kekuatan-kekuatan itu, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya itu.
Meskipun pendidikan itu hanya sebagai tuntunan, akan tetapi pendidikan perlu juga berhubungan dengan kodrat dan keadaan setiap anak. Misalnya, anak yang tidak baik dasarnya, ia perlu mendapatkan tuntunan agar semakin baik budi pekertinya, apabila ia tidak mendapatkan tuntunak pendidikan, maka akan mudah menjadi orang jahat. Begitu juga anak yang sudah baik dasarnya, ia masih perlu mendapatkan tuntunan, selain untuk menambah pengetahuan agar mendapatkan kecerdasa yang lebih tinggi, dengan adanya tuntunan itu ia akan terhindar dari segala macam pengaruh yang tidak baik. Singkatnya, pendidikan menurut Ki Hadjar yaitu sebagai berikut.[45]
“Pendidikan adalah segala pemeliharaan lahir dan batin terhadap anakanak untuk dapat memanujan kehidupan lahir atau jasmani dan batin atau rohani.”

Selain itu dalam dunia pendidikan, ia mengusung trilogi pendidikan yang mana maksudnya adalah bagaimana peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan karakter dan mentalitas anak. Senada dengan itu, Moh Yamin[46] juga berpendapat, dengan mengutip Rafael Sudaryanto, bahwa pendidikan seorang anak tergantung pada trilogi pendidikan itu. Di situlah watak dan kedewasaan seorang anak akan terbentuk. Namun, keluarga mempunyai lebih banyak waktu untuk mendidik anak-anak. Sekolah mempunyai keterbatasan waktu untuk mendidika anak-anak. Sementara di masyarakat, pendidikan akan berpengaruh pada pertumbuhan mental seorang anak karena mereka dapat bergaul baik dengan sesama anak-anak, maupun dengan orang yang lebih tua darinya. Seorang anak dapat bersosialaisasi jika dia bisa bergaul dengan orang lain. Masih menurut Sudaryanto, orangtua sebenarnya menjadi contoh dan teladan bagi anak.

Manusia, Guru, dan Siswa Dalam Prespekti Pendidikan Ki Hadjar Dewantara

a)      Manusia Menurut Ki Hadjar Dewantara
Manusia manurut pandangan Ki Hadjar Dewantara telah dijelaskan dalam tulisannya yang berjudul Keindahan Manusia yaitu sebagai berikut:
Manusia adalah makhluk yang berbudi, sedangkan budi artinya jiwa yang telah melalui batas kecerdasan yang tertentu, hingga menunjukkan perbedaan yang tegas dengan jiwa yang dimiliki hewan. Jika hewan hanya berisikan nafsu-nafsu kodrati, dorongan dan keinginan, insting dan kekuatan lain yang semuanya itu tidak cukup berkuasa untuk menentang kekuatan-kekuatan, baik yang datang dari luar atau dari dalam jiwanya. Jiwa hewan semata-mata sanggup untuk melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memelihara kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang masih sanggat sederhana, misalnya makan, minum, bersuara, lari dan sebagainya.”[47]

Dewantara melihat manusia lebih pada sisi kehidupan psikologinya. Menurutnya manusia memiliki daya jiwa yaitu cipta, karsa dan karya. Pengembangan manusia seutuhnya menuntut pengembangan semua daya secara seimbang. Pengembangan yang terlalu menitikberatkan pada satu daya saja akan menghasilkan ketidakutuhan perkembangan sebagai manusia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan yang menekankan pada aspek intelektual belaka hanya akan menjauhkan peserta didik dari masyarakatnya. Dan ternyata pendidikan sampai sekarang ini hanya menekankan pada daya cipta, dan kurang memperhatikan pengembangan olah rasa dan karsa. Jika berlanjut terus akan menjadikan manusi kurang humanis atau manusiawi.[48]
Jiwa manusia merupakan diferensiasi dari kekuatan-kekuatan, yang terkenal dengan sebutan ‘tri-sakti’. Ketiga kekuatan yang dimaksud ialah pikiran, rasa dan kemauan, atau ‘cipta-rasa-karsa’ yang telah dipaparkan di atas. Tri sakti inilah yang disebut budi.
Di bawah ini akan di jelaskan lebih rinci. Budi manusia tidak saja berkuasa untuk memasukkan segala isi alam yang ada di luar dirinya ke dalam jiwa dengan perantaraan panca indra. Namun, budi manusia juga berkuasa untuk ‘mengelola’ atau ‘memasak’ segala isi alam yang memasuki jiwanya sehingga menjadi buah. Sementara buah budi manusia itu disebut kebudayaan.
Pikiran mempunyai tugas memisah-misah bagian-bagian suatu hal, barang atau keadaan, serta membanding-bandingkan yang satu dengan yang lain (menganalisis) dan akhirnya menetapkan benar atau tidak benarnya sesuatu. Rasa adalah gerak-gerik jiwa yang biasanya timbul karena kekuatannya sendiri dan berlaku sebelum orang menghendakinya dengan sengaja. Adapun tugasnya ialah menetapkan baik atau buruknya sesuatu. Kemauan yaitu keinginan yang sudah tetap dan pasti, sudah dipikir-pikirkan hanya tinggal melaksanakan saja. Tiap-tiap manusia mempunyai sifat budi masing-masing, sifat yang tetap dan pasti, disebut watak (cap atau cliche). Dalam bahasa kita dipakai perbuatan budi pekerti dan ini lebih tegas karana ‘pekerti’ berarti ‘tenaga’. Jadi, budi pekerti berarti sifat dari ‘budi’-nya (batin) sampai ‘pekerti’-nya (lahir). Sifat jiwa manusia itu berisikan beberapa corak warna yang menurut penelitian filsafat dapat digolongkan menjadi dua pokok, yaitu sifat etika dan sifat estetika, yang masing-masing berarti baik dan indah. Dalam bahasa kita biasanya digunakan kata ‘luhur’ dan ‘halus’, dengan maksud sama, yaitu menjelaskan bahwa budi manusia itu meng-ingini atau menghendaki segala apa yang baik atau luhur dan yang indah atau halus.[49]
Di dalam usaha pendidikan, dibenarkan hasil penelitian Maria Montessori dengan segala eksperimennya, yang menetapkan saling berpengaruhnya latihan-latihan jasmani (zintuigoefaningen) dan perkembangan pikiran, rasa dan kemauan, termasuk latihan-latihan olahraga.
Semua orang tentu sudah memahami bahwa derajat manuisialah yang paling luhur di alam dunia ini. Setiap agama mengajarkan juga bahwa manusia itu adalah makhluk yang paling mulia, amat dicintai dan dikaruniai oleh Tuhan dengan sifat-sifat yang utama sehingga manusia tidak sama dengan makhluk lainnya. Manusia juga diberi tugas sebagai pemimpin di dunia.
Di alam dunia ini manusia mempunyai kedudukan yang paling tinggi, istimewa, tiadalah yang akan menyangkal. Sebagai makhluk umum benar manusia digerombolkan bersama-sama dengan hewan yang bertingkat hidup tinggi, menjadi manusia yang pertama’, ajaran mana barang tentu ditentang sehebat-hebatnya oleh ajaran ke-Tuhanan.
Pemikir klasik dan orisinal kita, Ki Ageng Suryomentaram, yang ternyata sangat mempengaruhi pemikiran Ki Hadjar, dalam kerangka filsafat “mawas diri”nya memberikan ide manusia sejati sebagaimana diuraikannya dalam “Ilmu Jiwa Kramadangsa”nya. Citra manusia yang sejati adalah “manusia tanpa ciri”. Artinya, manusia yang sungguh menyadari dirinya, “aku”nya, mengenal secara mendalam siapa dirinya.pengenalam diri secara mendalam akan membimbing orang untuk dapat mengetahui atau menguasai rasa pribadi, dan demikian lahirlah manusia tanpa ciri. Atas dasar itu, akan mengarahkan pada tujuan utama pendidikan yaitu mendidik anak menjadi manusia utuh, yang mencintakasihi sesamanya dan alam sekitarnya.[50]
Dari penjelasan di atas tentang kedudukan hidup manusia teranglah, bahwa sari-sari dan pokoknya tidak lain daripada dua pangkal sifat tadi, yaitu keluhuran dan kehalusan. Dan inilah yang disebut perikemanusiaan seperti menjadi satu dari dasar pancasila ataupun juga bisa dianggap dasar yang paling luas dan paling dalam.

b)     Guru dalam pandangan humanistik Ki Hadjar Deantara
Keratabasa[51] dalam bahasa Jawa mengartikan guru adalah sosok yangdigugu dan ditiru (dituruti ucapannya dan dicontoh kelakuannya). Akan tetapiperlu diinsafi bahwa pengajaran tidak lain dapat diartikan mendukungperkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodratinya menuju kearah peradaban dalam sifatnya yang umum.[52] Menganjurkan dan kalau perlu memerintahkan anak-anak untuk duduk yang baik dan manis, jangan berteriakteriank agar tidak mengganggu anak-anak lain, bersih badan dan pakaiannya,hormat terhadap ibu bapak dan orang tua lainnya, menolong teman yang perluditolong, demikian seterusnya. Jadi, dalam pendidikan yang terpenting bukan masalah kecerdasan saja, tetapi justru humaniora atau budi pekertinya. Sekarang ini banyak orang cerdas, tetapi jika tidak dibekali dengan budi pekerti yang baik maka mereka akan mengunakan kecerdasannya untuk merugikan orang lain. Contoh tindakan korupsi, hacker, dan lain-lain. Guru diwajibkan harus berperilaku sebagai pemimpin. Penjabaran makna pemimpin adalah di depan dapat memberi contoh keteladanan, di tengah dapat membangkitkan motivasi dan di belakang mampu memberikan pengawasan serta dorongan untuk terus maju.[53]
Prinsip pengajaran ini dikenal dengan semboyan Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karso, tutwuri handayani. Seorang guru harus menjadi teladan, lalu ketika di tengah-tengah siswa harus membangun karsa (kehendak), dan dengan prinsip tutwuri handayani, akan membiarkan anak kecil tumbuh sesuai dengan usia pertumbuhannya, namun tetap didampingi.
Pelaksanaan pembelajaran akan berjalan dengan kondusif jika para pamong atau guru yang ada bisa menjalankan tugasnya dengan baik dan berdasarkan prinsip tersebut.
Menurut Ki Hadjar, tanggung jawab seorang pendidik (guru) sangat besar perannya guna menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap kehidupan bangsa Indonesia. Para pendidik memiliki tanggung jawab besar untuk mendidik anak didik agar mampu manjiwai kehidupan bangsa ini dengan sedemikian mendalam dan masif sehingga anak didik tidak menjadi anak-anak muda bangsa yang kehilangan dan bersedia menghilangkan kepribadian bangsanya di tengah pergaulan kehidupan dunia yang semakin mengglobal. Cukup tepat, mengutip pernyataan Proklamator Ir. Soekarno, cara mengapresiasi pendidikan yang sedang digelar Ki Hadjar Dewantara. Dia berkata,
… sungguh alangka hebatnya jika tiap-tiap guru di Perguruan Tamansiswa itu satu per satu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak.

Dari penjelasan itu, terdapat beberapa hal penting yang bisa diambil. Pertama, seorang guru harus memiliki modal yang luar biasa mengenai kejiwaan, kepribadian, dan budaya yang dimiliki bangsa ini apabila betul-betul ingin menjadi pendidik yang sejati. Modal kecerdasan intelektual tidaklah cukup untuk menjadi pendidik yang bisa menanamkan nilai-nilai kecintaan terhadap tanah air. Pendidik yang disebut seorang Rasul Kebangunan adalah seorang pendidik yang bisa membangun semangat pembangunan dan perjuangan untuk mengubah bangsa Indonesia dari keterpurukan menuju kebangikatan, sebut saja keterpurukan moral, mentalitas, pemikiran, dan etika.
Kedua, maksud dari penurunan kebangunan ke dalam jiwa anak adalah kemampuan seorang pendidik untuk secara sabar dan telaten mmeberikan wejangan bagaimanasesungguhnya menjadi seorang anak bangsa yang bias memberikan manfaat bagi bangsanya.
Guru yang efektif memiliki keunggulan dalam mengajar (fasilitator); dalam hubungan (relasi dan komunikasi) dengan peserta didik dan anggota komunitas sekolah; dan juga relasi dan komunikasinya dengan pihak lain (orang tua, komite sekolah, pihak terkait); segi administrasi sebagai guru; dan sikap profesionalitasnya. Sikap-sikap profesional itu meliputi antara lain: keinginan untuk memperbaiki diri dan keinginan untuk mengikuti perkembangan zaman. Atau dapat dikatakan perlu adanya peningkatan mutu kinerja yang profesional, produktif dan kolaboratif demi pemanusiaan secara utuh setiap peserta didik.[54]
c)     Siswa Dalam Pandangn Humanistik Ki hadjar Dewantara
Dalam berbagai penjelasannya Ki Hadjar memandang siswa atau pesertadidik adalah manusia yang mempunyai kodratnya sendiri dan juga kebebasan dalam menentukan hidupnya. Sedangkan dalam menentukan arah, ia di tuntun oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya, baik orang tua, guru atau masyarakat lainnya. Karenanya, ia berpendapat bahwa anak-anak itu sebagai makhluk, manusia, dan benda hidup, sehingga mereka hidup dan tumbuh menurut kodratnya sendiri.[55]
 Ki hadjar Dewantara menjelaskan lebih jauh dan detail bahwa biarkanlah anak didik mencari jalan seniri selama mereka mampu dan bisa melakukan itu karena ini merupakan bagian dari pendidikan pendewasaan diri yang baik dan membangun. Kamajuan anak didik, dengan membiarkan hal seperti itu, aka menjadi kemajuan yang sejati dan hakiki. Namun, kendatipun begitu, membiarka mereka berjalan sendiri, bukan berarti tidak diperhatikan atau dipedulikan, pendidik harus mengawasi ke manakah mereka akan menempuh jalan. Pendidik hanya mengamati, memberikan teguran, maupun arahan ketika merek mengambil jalan yang salah dan keliru. Dengan kata lain, masih mengunaka gagasan inti Ki Hadjar, untuk memperlancar prosesnya seorang pendidik haru mencerminkan sosok yang bisa disenangi dan menjadi contoh terbaik bagi anak-anak didiknya.[56]
Seorang pendidik harus memiliki sikap dan tindakan yang bias dilakukan oleh anak didiknya dengan sedemikian rupa di kemudian hari kelak, baik di lingungan dalam sekolah, keluarga, maupun masyarakatnya. Mengutip pernyataan Ki Hadjar dalam sebuah penggambaran, sebagai berikut:
“Berilah kemerdekaan kepada anak-anak kita: bukan kemerdekaan yang leluasa, tetapi yang terbatas oleh tuntutan-tuntutan kodrat alam yang nyata dan menuju kea rah kebudayaan, yaitu keluhuran dan kehalusan hidup manusia. Agar kehidupan itu dapat menyelamatkan dan membahagiakan hidup dan penghidupan diri dan masyarakat, maka perlulah dipakai dasar kebangsaan, tetapi jangan sekali-kali dasar ini melanggar atau bertentangan dengan dasar yang lebih luas, yaitu dasar kemanusiaan.”[57]

Dari kutipan tersebut, dapat dijelaskan bahwa Ki Hadjar sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, dan juga pemanusiaan terhadap anak didik dengan memberinya kebebasan yang diikuti dengan tuntunan agar anak didik tidak terjerumus kepada hal-hal yang negatif. Tidak mengekang perkembangannya. Harus diketahui juga, bahwasanya baik dan buruknya perilaku seorang anak didik bergantung pada bagaimana seorang pendidik memberikan pelajaran dan pengajaran dalam melakukan interaksi sosial baik dalam kelas atau lainnya. Oleh karena itu, menjadi sebuah keniscayaan ketika pendidikan anak dengan menggunakan Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani pun wajib dimaksimalkan implementasinya karena ini membicarakan generasi penerus bangsa. Perbincangan mengenai anak bertujuan menyelamatkan bangsa ini dari persoalan-persoalan kehancuran bangsa di masa mendatang. Adapun alasannya, anak adalah penerus estafet kepemimpinan karena di sanalah bangsa ini akan dibawa dan dibangun. Anak adalah tunas-tunas pejuang muda dengan seabrek gagasan cemerlang dan semangat perjuangan yang sangat tinggi dan revolusioner. Dalam pandangan Setyo Mulyadi, ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, anak adalah jantung kehidupan bangsa. Di tangan merekalah, bangsa ini akan ditentukan nasibnya di hari esok.
Pemikiran Ki Hadjar tentang pendidikan terutama mengenai anak didik banyak dipengaruhi oleh pemikir barat yaitu Rabindranath Tagore, Maria Montessori dan Forbel yang menyelenggarakan pendidikan dengan metode baru waktu itu. Ketiga tokoh tersebut dihormati oleh Ki Hadajar, serta pandangan mereka \itu dikatakan sebagai petunjuk jalan dalam rangka mewujudkan citacitanya yakni melalui pendidikan disebarkanlah benih kemerdekaan, dan dibinalah kebudayaan yang baik dan luhur.[58] Tagore mendirikan dan menciptakan suatu sistem pendidikan Santi Niketan (tempat yang damai), Forbel menjadi terkenal karena orientasi pendidikannya pada anak-anak. Sedangkan Montessori menjadi terkenal dan berpengaruh di Eropa karenadia adalah ahli anak-anak dan mau menciptakan pendidikan kecerdasan dan kebebasan yang harus ditumbuhkan sejak kanak-kanak.
Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa pendidikan merupakan tonggak berdirinya sebuah bangsa yang besar, berdaulat, berharkat dan bermartabat. Dalam konteks demikian, pendidikan bertujuan menanamkan nilai-nilai hidup rukun dan damai di antara semua elemen bangsa, tanpa memandang kelas social apapun, baik ras, suku, agama, adat, dan lain seterusnya. Pendidikan adalah alat yang bisa mempersatukan segala anak bangsa dalam satu wadah yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah bendera merah putih dengan ideology pancasila dan UUD 1945.[59]
Pendidikan yang ingin dijalankan oleh Ki Hadjar Dewantara itu berorientasi pada pendidikan kerakyatan. Ia mau mendidik rakyatnya, membina kehidupan bangsa dan kebudayaan nasional. Dan pendidikan sendiri harus benar- benar bisa merakyat, mencakup seluru lapisan masyarakat tanpa adanya pembedaan tingkat dan golongan, dan bisa mengangkat derajat rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan dan kemiskinan.
Ki Hadjar menunjukkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan tujuan membantu siswa menjadi manusia yang merdeka dan mandiri, serta mampu memberi konstribusi kepada masyarakatnya. Menjadi manusia merdeka berarti (a) tidak hidup terperintah; (b) berdiri tegak karena kekuatan sendiri; dan (c) cakap mengatur hidupnya dengan tertib. Singkatnya, pendidikan menjadikan orang mudah diatur tetapi tidak bisa disetir.[60]
Ki Hadjar yang menekankan pentingnya siswa menyadari alasan dan tujuan ia belajar. Baginya perlu dihindari pendidikan yang hanya menghasilkan orang yang sekedar menurut dan melakukan perintah (dalam bahasa Jawa = dawuh). Ki Hadjar mengartikan mendidik sebagai “berdaya-upaya dengan sengaja untuk memajukan hidup-tumbuhnya budi-pekerti (rasa-fikiran, rokh) dan badan anak dengan jalan pengajaran, teladan dan pembiasaan...” Menurutnya, jangan ada perintah dan paksaan dalam pendidikan. Pendidik adalah orang yang mengajar, memberi teladan dan membiasakan anak didik untuk menjadi manusia mandiri dan berperan dalam memajukan kehidupan masyarakatnya. Jika pun ada ganjaran dan hukuman, maka “ganjaran dan hukuman itu harus datang sendiri sebagai hasil atau buahnya segala pekerjaan dan keadaan.”
Menurut paham yang kini diakui oleh kelompok yang terkemuka (seorang ahli yang terpendang, misalnya Prof. Dr. Kohnstam), serta yang sama dengan pandangan Ki Hadjar, maka arti, maksud dan tujuan dari pendidikan disebutkan bahwa pendidikan yaitu tuntunan di dalam kehidupan anak-anak. Adapun yang dituntun ialah segala kekuatan yang ada dalam kehidupan anak-anak dengan maksud agar anak-anak itu menjadi bahagia untuk dirinya sendiri maupun sebagai anggota masyarakat, mendapat kepuasan atau ketentraman batin yang mungkin didapat oleh masing-masing. Adapun isi-isi yang terkandung dalam pengertian tersebut adalah,[61]
 Pertama, tentang tujuan pendidikan yang pada pengertian tersebut disebutkan dengan kata ‘kepuasan’ atau ‘ketentraman’ batin, atau lebih jelasanya dan nyata barangkali kita terjemahkan dengan kata bahagia atau rahayu dalam bahasa Jawa. Sebab, pengertian bahagia itu adalah keadaan senang dalam hidup batin sehingga hanya rasa puas dan tentram yang ada.
 Kedua, kata ‘bahagia untuk diri sendiri dan sebagai anggota masyarakat’. Di sini tampak kepentingan pendidikan yang ditujukan kepada hanya seseorang dan kepada hidup masyarakat.
Ketiga, sebutan ‘kepuasan yang mungkin didapat oleh masingmasing’, yang berarti bahwa tingkatan bahagia, tinggi rendahnya kerahayuan itu berbeda-beda, bertingkat-tingkat dan tidak sama untuk semua manusia. Apa yang mungkin untuk orang yang satu belum tenu mungkin untuk orang yang lain.
Keempat, pendidikan disebut ‘tuntunan’ di dalam kehidupan anak-anak, yang berarti bahwa pendidikan itu hanya dapat tetapi tidak berkuasa untuk membuat atau mencetak hidup. Ini disebabkan karena di dalam kehidupan manusia itu sudah terdapat kekuatan dari kodrat hidup sendiri, yang sebagian dapat dipengaruhi, yakni diubah oleh pendidikan, tetapi sebagian lagi tidak akan mungkin dihilangkan oleh pendidikan.
Tentang maksud pendidikan yang dutujukan kepada ‘kebahagiaan batin’ perlu difahami dengan benar. Sebab, kebanyakan orang mengira bahwa tujuan pendidikan itu hanya mengenai penghidupan manusia dan dikira tidak berhubungan dengan kehidupannya. Padahal, hubungan penghidupan dan kehidupan manusia itu lebih penting dan lebih berharga. Dengan kata lain, walaupun keselamatan kehidupan lahir harus kita cari dan kejar, akan tetapi yang primer (nomor satu) adalah bahagia atau rahayu-nya batin kita.
Dalam pidato sambutan Ki Hadjar Dewantara saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepadanya, ia mengatakan bahwa anak didik haruslah diberi pendidikan yang kultural dan nasional, yang semua kita tujukan ke arah keluhuran manusia, nusa dan bangsa, tidak memisahkan diri dengan kesatuan perikemanusiaan, agar tidak terpengaruh dengan budaya Barat yang negatif. Ia berkata;
“Untuk dapat mencapai tujuan ini cukuplah di sini saya menasehatkan: didiklah anak-anak kita dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri….”[62]
Bukan hanya tujuan pendidikannya harus jelas tetapi agar proses pendidikannya dapat berjalan sesuai dengan tujuan tersebut dibutuhkan system atau metode dalam prakteknya.

E.     Konvergensi Pendidikan Humanis Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan yang mengacu pada pembebasan, dan penyadaran, sesungguhnya sejak awal telah digagas oleh dua tokoh besar pendidikan kita, yaitu Paulo Freire Dan Ki Hadjar Dewantara, kedua tokoh ini sangat konsisten dalam menjalankan agenda kemanusiaan dalam pendidikan. Walaupun mempunyai latar belakang soial yang berbeda Dari analisis penulis, terdapat konvergensi antara pendidikan prespektif Paulo Freire dan Ki Hadjar dewantara. Antaralain sebagai berikut:
1.      Humanisasi Pendidikan
Paulo ferire dan Ki hadjar Dewantara merumuskan konsep humanisasi pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai media pembentukan manusia seutuhnya. dalam makna manusia yang mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi secara penuh sebagai pemegang mandat ilahi dan cultural, mandat ilahi merujuk pada hubungan manusia dengan tuhannya, dan mandat cultural mengandung makna  sebagai insan yang berbudaya, manusia berinteraktif secara arif dan bijaksana denga manusia dan lingkungannya.
Memotret realitas pendidikan huaniora di tanah air kita, bahkan pada banyak belahan dunia, telah mengalami kegagalan. tereduksinya nilai-nilai kemanusiaan merupakan realitas empiric yang takbisa di pungkiri, Arogansi kekuasaan, krisis ekonomi, pelanggaran ketertiba umum, aksi memfitnah, main hakim sendiri, kerusuhan, perampokan, pecandu narkotika dan obat-obatan terlarang, kekerasan, korupsi, kolusi, nepotisme, dan berbagai perilaku buruk lainnya benar-benar masih menggejala. Perilaku di sekitar kita sepertinya makin nyata telah kehilangan nuansa-nuansa kemanusiaan dan pemanusiaan sejati, akhrinya mungkin kita masih pantas unuk menyatakan bahwa kita belummenjadi manusia dalam arti yang sebenarnya.
Proses Pendidikan tidak sekedar mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of Know ) kepada peserta didik, tetapi lebih dari itu, yakni mentransfer nilai (transfer of value). Selain itu, pendidikan juga merupakan kerja budaya yang menuntut peserta didik untuk selalu mengembangkan potensi dan daya kreativitas yang dimilikinya agar tetap survive dalam hidupnya dan mampu menghadapi realiats social secara arif dan bijak sana.
Semua hal di atas dapat kita wujudkan apa bila pendidikan kita mengalami reformasi, pendidikan yang manusiawia amat syarat dengan demokrasi pendidikan atau pendidikan alternativ.[63] Pendidikan alternativ yang di maksud yaitu pila penidikan yang kurikulumnya bersifat desentralistik di mana anak didik dapat memilih materi pembelajaran dengan sesuai dengan minatnya, materi yang di sajikan sesuai dengan lingkungan dan kebutuhannya, biaya murah, dan menempatkan anak didik sebagai subyek pendidikan. Metodolgi pendidikannya berorientasi pada proses pendidikan yang di lakukan secara dialogis serta member kesempatan yang sama antara anak laki-laki dan perempuan. Pada tingkat mikro, visi dan prospek pennyelenggaraan pendidikan dalam format yang manusiawiakan di organisasikan sedomokratis mungkin hingga ke tingkat kelas, dengan titik tekan pada managemen berbasisi sekolah.
Sekolah akan tampil sebagai lembaga yang relatf otonom dengan sisitem pembiayaan atas dasar prinsip keseimbagan antara tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. membangun pendidikan dengan format yang manusiawi memang tidak mudah, ada banyak kendala yang akan di hadapi antara lain, begaimana melahirkan guru yang memiliki cita rasa kemanusiaan, cita rasa kemanusiaan itu berupa pengakuan terhadap demokrasi pendidikan sejati.
Inti demokrasi pendidikan adalah menempatkan manusa pada spectrum keberagaman, buka pada keseragaman. Deokrasi pendidikan dalam makna yang ideal yaitu mengkombinasikan konsep dasar pendidikan dengan konsep dasar manusia yeng menjalani proses pendidikan itu.
2.      Konvergensi dalam Konsep Manusia
Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara mempunyai pendapat yang sama mengenai keberadaan fitrah manusia, yakni manusia memiliki kemampuan dalam dirinya utuk berkembang. Keberadaan fitrah manusia inilah yang membedakan antara manusia dan binatang. [64]
Dalam pendidikan Islam pada dimensi bahwa manusia sebagai makhluk yang dapat dididik dan mendidik, manusia berpotensi sebagai objek dan subjek pengembangan diri, tanpa ada batasan ruang lingkup dan kodratnya manuisa. Seperti dalam hadits:
ﺣﺴﺎ ﮬﺴﺎ ﻢ ﺑﻦ ﻋﻤﺎﺮ ﺜﻧﺎ ﺣﻌﺺ ﺑ ﺴﺎﮟﻤﺎﻦﺜﻧﺎﻛﺸﻴﺮﺑﻧﺎﻋﻦﻤﺤﻤﺪﺍﺑﻦﺴﻴﺮﻴﻦﻋﻦﺃﻧﺲﺑﻦﻤﺎﻠﻙﻗﻞﻗﺎﻞﺮﺴﻮﻞﷲﺼﻠﻰﷲﻋﻠﻴﻪﻮﺴﻠﻢﻄﺎﻄﻠﺐﺍﺍﻠﻌﻠﻢﻓﺭﺗﺿﺔﻠﻰﻛﻞﻣﺴﻠﻡﻭﻭﺍﺍﻓﻊﺍﻠﻌﻠﻡﻧﺪﻏﻳﺭﺍﻫﻠﻪﻛﺴﻠ
Potensi pada diri manusia tidak dapat berkembang tanpa ada bantuan dari luar, contohnya pendidikan.
Makna penting dari penekanan pada potensi manusia ini berarti memandang manusia sebagai makhluk yang berfikir, memiliki kebebasan memilih, sadar diri, memiliki norma dan kebudayaan.[65]
Dalam Al-Qur’an dikatakan bahwa Manusia adalah makhluk yang termulia di antara makhluk-makhluk yang lain:
Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lauta, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
Dan manusia juga dijadikan oleh Allah dalam sebaik-baik bentuk atau kejadian, baik fisik maupun psikisnya (QS. Al-Tin: 4)
ôs)s9 $uZø)n=y{ z`»|¡SM}$# þÎû Ç`|¡ômr& 5OƒÈqø)s? ÇÍÈ

Artinya:
Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya
serta dilengkapi dengan berbagai alat potensial dan potensi-potensi dasar (fitrah) yang dapat dikembangkan dan diaktualisasikan seoptimal mungkin melalui proses pendidikan. Karena itulah, maka sudah selayaknya manusia menyandang tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi.
3.      Konvergensi dalam konsep Guru
Sama-sama memandang Guru sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan, juga menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik. pendidik yang professional adalah mereka yang mampu mengakomodasikan dimensi intrinsic dan dimensi instrumental,[66] dimensi intrinsic mengandung makna, bahwa guru harus mampu menciptakan proses pendidikan secara universal, dimana ia mengemban misis sejati untuk produk manusia yang berpengetahuan luas, berkepribadiaan luhur, dan memiliki kemampuan untuk hidup. Guru tidak hanya memposisiskan objek forml dan material pendidikan dengan ukuran dunia kerja dan kehidupan yang serba praktis pragmatis, melainkan ia bertujuan lebih universal, yaitu memanusiakan manusia, melakukan proses pemanusiaan, yang pada gilirannya membuatnya mampu memanusiakan diri dengan mampu memahami dan menghayati makna dan hakikat hidup manusia sebagai pemegang mandat ilahi dan mandat cultural, sedangkan di lihat dari pandangan instrumental pendidikan, para guru bahkan menjadi ujung tombak agar pendidikan dapat menjadi instrument perubahan social yang progresif.
Tuntuna professional ini membuat tugas guru menjadi lebih meluas, dimana di satu sisi mereka diposisikan sebagai pengemban fungsi intrinsic, dan di sisilain mereka harus melakukan transfer IPTEK.[67]

4.      Konvergensi dalam konsep peserta didik
Seperti halnya pendangannya mengenai manusia, kedua tokoh tersebut juga memandang peserta didik sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya. Oleh karena itu, tidak sepantasnya peserta didik mendapat tekanan atau paksaan yang bias menghambat perkembangan potensinya.





BAB III
PENUTUP

 Penulis juga memberikan saran-saran yang dirasa relevan dan perlu, dengan harapan dapat menjadi sebuah kontribusi pikiran yang berharga bagi dunia pendidikan.

A.    Kesimpulan
 Pemikiran humanistik Paulo Freire dalam pendidikan, dapat dilihat dari usaha-usaha pendidikan yang digagasnya, yaitu harus melepaskan diri dari kecenderungan hegemoni dan dominasi, karena menurutnya pendidikan yang mempunyai karakteristik hegemonik dan dominasi tidak akan pernah mampu membawa para peserta didik pada pemahaman diri dan realitasnya secara utuh. Sedangkan pemikiran humanistik Ki Hadjar Dewantara dalam pendidikan, yaitu dengan memposisikan pendidikan sebagai penuntun. Maksudnya adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar meraka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat, dan semua ini diluar kuasa pendidik, karena pendidik hanya menuntun perkembangan.
Hasil penelitian ini menunjukkan, adanya beberapa persamaan dan perbedaan antara pemikiran pendidikan humanistik Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara. Adapun persamaannya dapat dilihat dari pandangan mereka tentang konsep manusia dan pendidikan, meliputi: 1. Pengakuan terhadap keberadaan fitrah manusia. 2. Humanisasi pendidikan. 3. Sama-sama memandang pendidik sebagai seseorang yang mempunyai kemampuan untuk memberi arahan atau tuntunan, juga menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didik. 4. Memandang peserta didik sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk memahami diri sendiri menurut kodratnya.

B.  Saran

Dari hasil kesimpulan di atas, perlu kiranya penulis memberikan saran konstruktif bagi dunia pendidikan, baik bagi pendidik maupun instansi yang menangani pendidikan. Pertama, demi terciptanya proses belajar mengajar yang kondusif, para pendidik harus mampu memahami psikologi peserta didik, dan latar belakang siswa sehingga tidak terjadi kesalah pahaman atau konflik karena perbedaan peserta didik yang satu dengan yang lain. Kedua, Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi kesempatan seluas-luasnya terhadap peserta didik tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, ekonomi, suku, ataupun agama, semuanya memiliki hak yang sama. Ketiga, perlunya sosialisasi terhadap para pendidik ataupun masyarakat luas bahwa keberagaman adalah suatu keniscayaan yang sudah ada sejak dahulu, dan yang penting adalah menghargai pandangan, keyakinan, budaya orang lain.







DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2005. Bandung: CV Penerbit J-ART.
Al-khadfitz Abi Abdillah Muhamad bin Yazid Al-Qadzwiny Ibnu Majjah, Ibnu Majjah, Indonesia: Maktabat Dahlan. t.th
Ahmad As Sayyid Al Hasyimiy,1994 Terjemahan Makhtarul Hadits,Bandung: PT Alma’arif
Arikunto, 1990, Pengajaran Secara Manusiawi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Ahmadi, Abu, dan Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka Cipta.
Baharuddin dan Moh. Makin. 2009. Pendidikan Humanistik, Konsep, Teori, dan Aplikasi Praksis dalam Dunia Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, Cet. II, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Collins, Denis. 2002. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, Yogyakarta: Komunitas APIRU Yogyakarta.   
Dewantara, Ki Hadjar. 2009. Menuju Manusia Merdeka, Yogyakarta: Leutika
Dhakiri, Muh. Hanif. 2000. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djembatan dan Pena).

Damin Sudarwan, 2003, Agenda Pembebasan sistemtem Pendidikan,Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Djumhur, I., dan Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: Penerbit CV Ilmu.
Elmubarok, Zaim. 2008. Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, Bandung: Alfabeta.
Freire, Paulo. Ivan Illich dkk. 2001. Menggugat Pendidikan; Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
--------------- Politik Pendidikan, Yogyakarta: ReaD dan Pustaka Pelajar, 2004.
---------------. 2008. Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta: Pustaka LP3ES.
---------------,2001, Konsep pendidikan kebudayaa, kekuasaan dan pembebasan, Yogyakarta: Pustaka Belajar
Fakih Monsur, 2002 Jalan Lain: Maifeso Intelektual Organik, Yogyakarta: Insist Press.
Fakih Mansour, 1997 Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, Mansour. 2001. Wiliam A. Smith, conscientizacao Tujuan Pendidikan Paul Freire , Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Komandoko, Gamal. 2007. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Komandoko, Gamal. 2007. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Musa,H,Asy’ary, 1992,paradigm baru pendidikan nasional,Jakarta Logos: Wacana Ilmu
Nata,Abuddin, 2001,Sejarah Pertumbubuhan dan Perkembagan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Grasino
------------------,2002 Pemikiran Para Tokoh Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada
Nizar,Samsul, 2008 Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidika Islam, Jakarta : Kencana
Partanto, Pius A., dan M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus ilmiah popular, Surabaya: Arloka.
Pendekatan Pembelajaran Humanistik (http://sahaka.multiply.com).
Pendidikan humanis (http://kebijakansosial.wordpress.com)
Rahardjo suparto, 2010, Ki Hadjar Dewantara Biografi singkat 1889-1959,Jogjakarta; araso Of Book
Romo,Mangun Yb. 1995, Membangun Indonesia merdeka, Yogyakarta: Pusataka Belajar
Sumartana, 2001Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar
SusetyoBenny, 2005 Pilitik Pendidikan Penguasa.Yogyakarta: LkiS
Sastraprada. M. 1990, Kamus istilah pendidikan dan umum. Surabaya: Usaha Nasional Indonesia
Sofyan, Hadi. 1999, Kamus Ilmiah Kontemporer.Bandung: Pustaka Setia
Suryabrata,Sumardi,1988,Metode Penelitian Ilmiah, Jakarta: Rajawali Pers
 Sastrawijaya, Tresna. 1989. Proses Belajar Mengajar Di Perguruan Tinggi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sukardjo dan Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan, Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sardy, Martin. 1983. Pendidikan Manusia, Bandung: Alumni
Tauchid, Moch. 1968. Ki Hadjar Dewantara (Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional), Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa.

Peter, Salim.1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontenporer. Jakarta: Moderen English Press
UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Yamin, Moh. 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Zuriah, Nurul. 2008. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platfom Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, Jakarta: PT Bumi Aksara.



[1] Paulo Freire dkk, Menggugat Pendidikan. (cet. V: Jakarta:Pustaka Belajar, mei 2004), h. 343
[2].Sumartana. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: pustaka Pelajar, 2001. h.49
[3]Ki Hajar Dewantara, Masalah kebudayaan : kenang-kenangan promosi Doctor Honoris Causa (Yogyakarta, 1967) , h. 42

[4]Paulo freire,  Politik Pendidikan, ( cet, V. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004),  h. 122

[5]H. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbubuhan dan Perkembagan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT. Grasino. 2001), h. 6

  [6]Benny Susetyo, Pilitik Pendidikan Penguasa.(Yogyakarta: LkiS, 2005), h. 132

[7] Masour Fakih, Jalan Lain: Maifeso Intelektual Organik .(Yogyakarta: Insist Press ,2002), h.187
[8] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran Hamka tentang Pendidika Islam, (Jakarta : Kencana, 2008), h. 28 - 32
[9]Asy’ary.H.Musa,Paradigma Baru Pendidikan Nasional,( Jakarta Logos: Wacana Ilmu.1992 ), h. 40.
[10] Suparto Rahardjo. KI Hadjar Dewantara Biografi sngkat 1889-1959, ( Jogjakarta: Garasi house of book, 2010), h. 9-10
[11]Moch. Tauchid. Ki Hadjar Dewantara, (Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional), (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), h.13
[12]Gamal Komandoko. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2007),  h. 172-179
[13] Martin Sardy. Pendidikan Manusia, (Bandung: Alumni, 1985), h. 49
[14]Moch. Tauchid. Ki Hadjar Dewantara, (Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional), (Yogyakarta: Majlis Luhur Persatuan Tamansiswa, 1968), h.17
[15].Ki Hadjar Dewantara, Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009),  h. 215.
[16] Suparto Raharjo. KI Hadjar Dewantara Biografi sngkat 1889-1959, ( Jogjakarta: Garasi house of book, 2010), h.18
[17] Ahmadi, Abu, dan Widodo Supriyono. 2004. Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta), h.124
[18] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h.134

[19] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h.147

[20]Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), h. x.
                                           
[21]Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), h. xi-xii.

[22]Denis Collins. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, (Yogyakarta:Komunitas APIRU Yogyakarta, 2002), h. 12
[23] Martin Sardy. Pendidikan Manusia, (Bandung: ALUMNI, 1985), h. 96 Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), h. xi-xii.
[24] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008),.h.4
    [25] Paulo Freire. Politik Pendidkan: Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan,(Yogyakarta: ReaD dan Pustaka Pelajar, 2002), h. xiv-xv
[26]Paulo Freire, Politik Pendidikan.Op.Cit.,h. xiii.
[27] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008).,h. 79.

[28]Paulo freire DKK.Menggugat pendidikan, (Cet V: Jakarta : Pustaka Belajar, Mei 2004).h.457
[29]Paulo Freire. Politik Pendidikanh. , (Yogyakarta: REaD dan PUSTAKA PELAJAR, 2004), h. Xiii
[30]  Paulo freire DKK.Menggugat Pendidikan. (Cet V: Jakarta : Pustaka Belajar, Mei 2004), h. 467
[31]  Paulo Freire. Politik Pendidikan. , (Yogyakarta: REaD dan PUSTAKA PELAJAR, 2004), .h 120
[32] Paulo Freire. Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008),  h. xx
[33] Paulo Freire.Politik Pendidikan. , (Yogyakarta: REaD dan PUSTAKA PELAJAR, 2004), h. viii
[34] Mansour Fakih. Wiliam A. Smith, conscientizacao Tujuan Pendidikan Paulo Freire, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. xvii.

[35]  Paulo Freire.Politik Pendidikan. , (Yogyakarta: REaD dan PUSTAKA PELAJAR, 2004), .h. 123
[36]  Paulo Freire.Politik Pendidikan. , (Yogyakarta: REaD dan PUSTAKA PELAJAR, 2004), .h. iX
[37] Muh. Hanif Dhakiri. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000).
[38]Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia, Belajar dari Paulo Freire dan Kihadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h. 159

[39] Muh. Hanif Dhakiri. Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djembatan dan Pena, 2000).h. 99
[40]  Paulo Freire, Konsep Pendidikan Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan (Yogyakarta :Pustaka Belajra, 2001). h.29-32
[41] Denis Collins. Paulo Freire, Kehidupan, Karya, dan Pemikirannya, (Yogyakarta: Komunitas APIRU Yogyakarta, 2002), h.22.

[42]  Paulo Freire. Pendidikan Kaun Tertindas, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2008), h. ix
[43] Paulo Freire. Pendidikan Pembebasan<Pendidikan yang Memanusiakan, dalamMenggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberal, dan Anarkis, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2002), h.343
[44] Ki Hadjar Dewantara. Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar D ewantara. (Yogyakarta : Leutika.2009). h.11
[45] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), h. 1879
[46]  Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), h. 187.
[47]Ki Hadjar Dewantara. Menuju Manusia Merdeka Ki Hadjar D ewantara. (Yogyakarta : Leutika.2009). h.53.
             [48] Zaim Elmubarok. Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 26
[49]  [49] Zaim Elmubarok. Membumikan Pendidikan Nilai, Mengumpulkan yang Terserak, Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, (Bandung: Alfabeta, 2008), h. 29
               [50] Martin Sardy. Pendidikan Manusia, (Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h. 16
[51] Keratabasa adalah Penafsiran arti kata menurut bunyi (suku kata) yang ditafsirkan.
[52] Nurul Zuriah. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan, Menggagas Platfom Pendidikan Budi Pekerti Secara Kontekstual dan Futuristik, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h.125.
[53] Gamal Komando. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2007), h. 171.
[54] Gamal Komando. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2007), h. 175
[55] Ki Hadjar Dewantara. Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika) .,h.3.
[56] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media), h.195
[57] I. Djumhur dan Danasuparta. Sejarah Pendidikan, (Bandung: Penerbit CV Ilmu, 1976), h.176.
[58] Martin Sardy. Pendidikan Manusia, (Bandung: Alumni).,h 64.

[59] Moh. Yamin. Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hadjar Dewantara, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media)., h.172
[60] Suparto Rahardjo. KI Hadjar Dewantara Biografi sngkat 1889-1959, ( Jogjakarta: Garasi house of book, 2010), h.34
[61]  Ki Hadjar Dewantara. Menuju Manusia Merdeka, (Yogyakarta: Leutika, 2009), h. 165
[62] Ki Hadjar Dewantara. Menuju Manusia.., dalam lampiran nomor 04, h. 203.
[63] Gamal Komando. Kisah 124 Pahlawan dan Pejuang Nusantara, (Jakarta: Pustaka Widyatama, 2007), h. 178.
[64] Suparto Rahardjo. KI Hadjar Dewantara Biografi sngkat 1889-1959, ( Jogjakarta: Garasi house of book, 2010), h.36
[65]  Imam Tholaka dan ahmad barizi.Membuka jendela pendidikan (mengurai akar tradesi dan integrasi keilmuan pendidikan islam. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2002). h.36
[66] Sudarwan Damin, DImensi pembaharuan system….h. 139
[67] Suparto Rahardjo. KI Hadjar Dewantara Biografi sngkat 1889-1959, ( Jogjakarta: Garasi house of book, 2010), h.34


EmoticonEmoticon