Sabtu, 21 November 2015

KONSEP ‘SIRI NA PACCE’ DI SULAWESI SELATAN

A.    Latar Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya harus berinteraksi dengan orang lain, dan oleh karenanya manusia cenderung hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelompok-kelompok ini kemudian bersepakat membuat aturan-aturan yang mengatur sikap dan bertingkah laku dalam lingkungannya. Aturan ini kemudian berkembang menjadi prinsip, pedoman dan pandangan hidup sebuah masyarakat yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh setiap individu dalam masyarakat tersebut. Pandangan hidup suatu komunitas masyarakat sangat mempengaruhi tingkah laku individu yang hidup dalam lingkungan masyarakat tersebut, sehingga apabila seseorang ingin bergaul dan bertahan hidup dalam kelompok masyarakat tertentu, maka ia harus dapat mengetahui dan mengenal kebiasaan (adat), pandangan (prinsip) hidup dan aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat itu.
Pada masyarakat suku Makassar, khususnya yang berdomisili di daerah Kabupaten Gowa, mereka masih berpegang pada prinsip (falsafah) hidup siri’ na pacce, di samping beberapa prinsip-prinsip hidup yang lain. Falsafah siri’ na pacce yang sudah ada dan diperpegangi sejak dahulu oleh masyarakat Suku Makassar serta merupakan pandangan hidup yang perlu dipertahankan dan perlu diselaraskan dengan ajaran dan akidah Islam, sebab pemahaman dan keyakinan masyarakat tentang makna dan tujuan siri’ na pacce pada saat ini mulai terkikis akibat perkembangan zaman dan pengaruh pemikiran serta budaya dari luar.
Ada ungkapan suku Makassar yang berbunyi “punna tena siriknu, paccenu seng pakania” (kalau tidak ada siri’-mu pacce-lah yang kau pegang teguh).[1] Ungkapan ini menggambarkan bahwa antara siri’ dan pacce selalu seiring sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila siri’ dan pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, maka akan dapat berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi binatang (tidak punya malu/siri’) karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial dan hanya mau menang sendiri (tidak merasakan sedih/pacce).
Falsafah siri’ dipergunakan oleh orang Makassar untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menghina atau merendahkan harga dirinya, keluarganya maupun kerabatnya, sedangkan falsafah pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam kesusahan atau mengalami penderitaan.
Pandangan masyarakat Makassar tentang konsep dan tujuan siri’ dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan dalam beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahan maksud dan tujuan siri’. Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam keadaan mabuk) mengganggu orang yang lewat di depannya dan terjadi perkelahian yang menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman pemuda tersebut mengadakan pembalasan dengan alasan siri’ (mempertahankan harga diri). Hal ini malah memperbesar masalah yang dapat berakibat pertikaian antar kelompok, sehingga timbul kesan orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh) dan “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah baru terbukti udang).
Ungkapan tersebut muncul sebab apabila orang Makassar merasa bahwa harga dirinya direndahkan di depan umum, maka ia akan langsung memberikan pembalasan. Dengan kata lain, kalau siri’ sudah dilanggar, maka harus langsung dibayar, nanti setelah itu dipikirkan akibatnya. Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukan bukan karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata hanya ingin membela harga dirinya dan mendorong untuk dapat menjaga kehormatan diri, yang terpenting ialah harga diri yang dibela memang benar dan patut untuk dibela dan dipertahankan.
Ada beberapa penyebab timbulnya siri’, misalnya: apabila ada seorang pria dan wanita yang menikah tanpa persetujuan keluarga mempelai wanita (kawin lari), maka hal tersebut dianggap siri’ (memalukan/merusak harga diri keluarga); apabila ada orang yang ditampar di depan umum, maka hal tersebut termasuk siri’ (dipermalukan); apabila ada seorang yang pergi merantau untuk memperbaiki kehidupannya, maka dia merasakan malu (siri’) apabila harus pulang tanpa hasil (gagal); apabila ada orang yang melanggar aturan agama (berzina), maka orang tersebut telah melanggar siri’ (berbuat hal yang memalukan), dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam ajaran Islam, siri’ sangat dijunjung tinggi karena apabila kita mempertahankan harga diri dengan alasan yang jelas dan merasakan malu bila akan melakukan perbuatan yang salah maka hal tersebut sangat dibenarkan. Apabila seseorang sudah tidak memiliki lagi perasaan malu untuk berbuat apa saja maka segala perbuatan yang melanggar aturan-aturan agama, adat, hukum dan norma-norma yang lain akan dilakukannya tanpa beban apapun.[2]
Dari penjelasan di atas, maka falsafah siri’ yang dijadikan prinsip oleh masyarakat suku Makassar dapat sejalan dengan ajaran Islam, namun tergantung bagaimana upaya pemahaman masyarakat dalam penegakan siri’ sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Selain itu falsafah pacce yang berarti turut merasakan dan membantu orang yang mengalami penderitaan, karena manusia semuanya ini bersaudara sesuai dengan firman Allah SWT dalam al Quran “sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat” (QS al Hujurat: 10).
Oleh sebab itu, maka perlu dijelaskan tentang maksud dan tujuan siri’ na pacce agar dapat memperbaiki pemahaman yang agak menyimpang dari makna dan tujuan sebenarnya. Di samping itu perlu adanya penyelarasan terhadap ajaran Islam, sebab mayoritas masyarakat Makassar khususnya di kabupaten Gowa beragama Islam agar senantiasa dalam kehidupan dan bertingkah laku sehari-hari menggambarkan budaya Makassar dan sekaligus bernuansa Islami.
B.     Kajian Pustaka
Masyarakat Gowa dalam memahami pengertian dan makna siri’ telah berbeda dengan pemahaman masyarakat suku Makassar pada zaman dahulu (sejarah Makassar mulai tercatat pada Abad XVI, yaitu dengan ditemukannya huruf/tulisan lontarak). Hal ini disebabkan karena perkembangan zaman yang semakin pesat dengan membawa berbagai perubahan di segala bidang akibat kemajuan transportasi, komunikasi dan teknologi sehingga pembauran budaya antar masyarakat tidak dapat dibendung yang menyebabkan terjadinya pergeseran nilai-nilai budaya daerah.
Selain itu sikap dan tindakan yang seharusnya ditimbulkan akibat pelaksanaan maupun pelanggaran adat sudah mulai kurang diperhatikan dan dilaksanakan karena terbentur oleh berbagai hukum yang diatur dan dilaksanakan oleh negara dan bangsa Indonesia pada umumnya dan atau umat beragama pada khususnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakat mendorong untuk mengadakan pengkajian dan penelitian terhadap fenomena-fenomena yang terjadi agar memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang kehidupan masyarakat, khususnya di Kabupaten Gowa.
Pada tatanan masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa masih menganggap bahwa falsafah siri’ dan pacce masih harus dipercaya dan dipertahankan oleh masyarakat sesuai dengan pemahaman dan kondisi masyarakat yang ada di daerah tersebut serta hukum negara dan agama. Namun perlu diperhatikan pula falsafah siri’ dan pacce yang diyakini dan dilaksanakan oleh masyarakat Gowa pada saat sekarang berangsur-angsur mulai berbeda dengan dengan konsep siri’ na pacce yang ada pada zaman kejayaan kerajaan Gowa.
Pada sebagian masyarakat Gowa menganggap budaya siri’ dan pace tidak bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka menganggap budaya tersebut masih ada dan nampak sampai sekarang. Sementara masyarakat yang menganggap budaya siri’ dan pacce kadang-kadang bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka menilai budaya tersebut kurang diperhatikan oleh masyarakat pada saat ini, kalaupun ada perhatian hal tersebut pada persoalan yang sangat prinsipil atau pun dianggap sakral.
Sedangkan masyarakat yang mengangap falsafah siri’ dan pacce sudah bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka melihat perkembangan generasi muda yang terpengaruh oleh budaya barat dan sikap serta perilaku masyarakat yang kurang mencerminkan adat suku Makassar. Hal ini nampak pada generasi muda sekarang, sebagian besar dari mereka sudah tidak mengetahui makna yang terkandung dari falsafah tersebut. Selain itu faktor ekonomi juga sangat mempengaruhi pergeseran budaya, sebab saat ini sebagian masyarakat Gowa memandang status sosial dipandang dari tingkat ekonominya.
Falsafah siri’ bagi masyarakat Gowa dipandang sebagai budaya yang masih perlu dipertahankan, sehingga dalam memandang beberapa kasus yang berkaitan dengan persoalan siri’, mereka masih menanggapi persoalan tersebut perlu diselesaikan dengan kekerasan. Masyarakat Gowa beranggapan bahwa terkadang ada persoalan siri’ yang menimbulkan dorongan untuk melakukan pembalasan secara spontan karena dianggap sudah keterlaluan dan sangat merendahkan harga diri seseorang atau karena keterdesakan dengan alasan daripada saya yang terluka, lebih baik kamu yang saya dahului. Mereka memandang siri’ sebagai sesuatu yang sangat sakral dan persoalan yang dapat dikegorikan sebagai siri’ hanyalah persoalan yang sangat memalukan dan menyangkut pelecehan terhadap martabat seseorang maupun keluarganya.
Sementara di sisi lain, masyarakat Gowa yang memandang persoalan siri’ tidak perlu diselesaikan dengan kekerasan, sebab mereka menganggap segala persoalan dapat diselesaikan dengan damai secara kekeluargaan, lagi pula negara Indonesia merupakan negara hukum sehingga segala persoalan yang menyangkut tindak pidana maupun perdata dapat dan harus diselesaikan lewat jalur hukum negara.
Falsafah siri’ di Kabupaten Gowa mempunyai peran kontrol pada masyarakat, sebab mereka terkadang takut berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirinya sendiri (appakasiri’) yang menyebabkan status sosialnya menjadi rendah di tengah-tengah masyarakat. Namun ada juga masyarakat yang menyalahartikan siri’ pada saat ini, karena mereka menganggap bahwa merupakan siri’ (diartikan siri’-siri’) atau malu-malu apabila temannya mempunyai kendaraan (motor atau mobil), sedangkan dia belum mampu memilikinya.



C.    Pembahasan
1.      Pengertian Siri’ dan Pacce
Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu atau rasa malu, maksudnya siri’ (tuna) lanri anggaukanna anu kodi, artinya malu apabila melakukan perbuatan yang tercela. Sekalipun kata siri’ tidak hanya dipahami menurut makna harfiah tersebut.
Pengertian siri’ menurut istilah dapat dilihat dari pendapat beberapa tokoh, seperti: B. F. Matthes menjelaskan sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, bahwa istilah siri’ diterjemahkan dengan malu, rasa kehormatannya tersinggung dan sebagainya.[3] Menurut C.H. Salam Basjah yang dikutip oleh Mattulada memberi tiga pengertian kepada konsep siri’, yaitu: Pertama ialah malu, kedua, merupakan daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung rasa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah sebagai daya pendorong untuk bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.[4] Pengertian siri’ juga diungkapkan oleh M. Natzir Said, bahwa siri’ adalah perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat, terutama dalam soal-soal hubungan perkawinan.[5]
Siri’ pernah pula dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII Sulselra bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin, bertempat di ruang pola Gubernur Sulawesi Selatan pada tanggal 11 Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli 1977 dengan tema “Mengolah Masalah Siri’ di Sulawesi Selatan Guna Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang Pembangunan Nasional.” Adapun hasil seminar tersebut memberikan konsep dan batasan tentang siri’ antara lain:
1.      Siri’ dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hokum serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktrur dalam kebudayaan.
2.      Siri’ dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan (bertransmisi), beralih bentuk (bertranformasi), dan ditafsir ulang (re-interpretasi) sesuai dengan perkembangan kebudayaan nasional, sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
3.      Siri’ dalam sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam akal budi manusia yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan dan kesungguhan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.[6]
Konsep siri’ berdasarkan pengertian bahasa, istilah dan hasil seminar tersebut dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum tentang makna dan tujuan siri’ yang patut untuk diyakini, dilaksanakan dan dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari seluruh pengertian siri’ tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siri’ adalah suatu sistem nilai sosial, budaya dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Adapun pengertian pacce secara harfiah, yaitu pacce berarti perasaan pedis, perih atau pedih.[7] Sedangkan pengertian pace menurut istilah, antara lain: pacce adalah suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila sesama warga masyarakat atau keluarga atau sahabat ditimpa kemalangan (musibah).[8] Pacce ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan rasa kemanusiaan dan memberi motivasi pula untuk berusaha sekalipun dalam keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.[9]
Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pacce dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang mengalami kesulitan. Sebagai contoh seseorang mengalami musibah, jelas masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu dan segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya baik berupa materi maupun non materi. Perasaan ini merupakan suatu pendorong ke arah solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang ditimpa kemalangan itu.
2.      Sejarah Awal Siri’ dan Pacce
Siri’ na pacce merupakan budaya yang telah melembaga dan dipercaya oleh suku Makassar, maka untuk membahas lebih lanjut tentang falsafat tersebut perlu ada penelitian dan pengkajian tentang sejarah dan konsep siri’ na pacce yang ada pada suku Makassar sejak zaman dahulu. Suku Makassar yang mendiami sebagian wilayah Sulawesi Selatan merupakan penduduk asli yang sudah memiliki pranata budaya tersendiri, jauh sebelum resmi lahirnya kerajaan Gowa yang merupakan kerajaan dari Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai pengaruh yang cukup besar. Kerajaan Gowa dimulai ketika kehadiran Tumanurunga di Takakbassia Tamalate, berdasarkan atas perjanjian pemerintahan antara Tumanurunga dengan Sembilan Kasuwiang yang kira-kira terjadi pada tahun 1300 M.[10]
Untuk menggali sejarah tentang siri’ na pacce, maka tulisan-tulisan tentang falsafah atau petuah-petuah tersebut dapat kita lihat pada tulisan lontarak. Adapun sejarah lahirnya huruf lontarak ialah dibuat oleh Daeng Pamatte ketika ia diperintahkan oleh Karaeng Tumapakrisik Kallonna didasari oleh kebutuhan kerajaan untuk dapat berkomunikasi secara tulis menulis dan agar peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat dalam tulisan.
Walaupun sejarah suku Makassar mulai tercatat pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna, namun budaya siri’ sudah menjadi adat istiadat dan falsafah hidup mereka sejak dahulu. Adapun pandangan suku Makassar tentang siri’ dapat kita lihat dari beberapa istilah yang berkaitan dengan siri’.
Berikut ini beberapa istilah tentang siri’ dan maknanya, antara lain: sirik (siri’) sebagai harga diri atau kehormatan; mappakasiri’, artinya dinodai kehormatannya; ritaroang sirik (siri’), artinya ditegakkan kehormatannya; passampo sirik (siri’), artinya penutup malu; tomasiri’na, artinya keluarga pihak yang dinodai kehormatannya; sirik (siri’) sebagai perwujudan sikap tegas demi kehormatan tersebut; sirik (siri’) sebagai pernyataan sikap tidak serakah (mangowa); sirik (siri’) naranreng, artinya dipertaruhkan demi kehormatan; siriksirik (siri’-siri’), artinya malu-malu; palaloi siriknu (siri’nu), artinya tantang yang melawan; passirikia, artinya bela kehormatan saya; napakasirikka (napakasiri’ka),artinya saya dipermalukan; tau tena sirikna (siri’na), artinya orang tak ada malu, tak ada harga diri.[11]
Selain itu dalam tulisan lontarak terdapat petuah-petuah atau ungkapan-ungkapan yang berkenaan dengan konsep siri’, antara lain:
1.      Siritaji nakitau, artinya hanya siri’, maka kita dinamakan manusia. Maksudnya seseorang yang tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya sebagai manusia (layak disebut binatang), karena sikap orang yang tidak mempunyai siri’ seperti perbuatan binatang (tidak punya malu).
2.      Sirikaji tojeng, siritaji tojeng, artinya hanya siri’lah yang benar. Maksudnya perasaan siri’ atau malu karena melakukan perbuatan yang tercela, hal tersebut dianggap benar oleh hukum manapun (agama, adat dan negara).
3.      Karaeng, siri’ kuji ki atai, artinya Tuanku, hanya karena siri’ maka tuan memperhamba saya. Maksudnya kedudukan (status sosial) seseorang sangat mempengaruhi sikap orang lain dalam kehidupan sosialnya.
4.      Punna taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantanglantang, artinya manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan kerisku kepada tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila seseorang sudah tidak memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan dan kekuatan di hadapan orang lain.
5.      Kaanne buttaya Gowa majarremi nikasirikang, artinya bahwasanya negeri Gowa ini telah ditekadkan guna membela siri’. Maksudnya bahwa kerajaan Gowa atau wilayah Gowa merupakan daerah yang sangat menjunjung dan menghargai falsafah siri’.[12]
Dalam pemahaman masyarakat Suku Makassar, kejayaan dan kebesaran suatu negeri bergantung kepada empat hal pokok, yaitu adat kebiasaan (Ada’), persamaan hukum (Rapang), undang-undang (Bicara), aturan mengenai strata sosial (Wari), dan aturan syariat Islam (Sara). Ada’ sebagai pranata sosial yang mengatur segala aspek kehidupan dan kehidupan dan tata kelakuan sangat dihormati, dijunjung tinggi dan dipertahankan dengan teguh. Begitu pentingnya ada’, maka bagi masyarakat suku Makassar, segala pengabaian terhadapnya dianggap sebagai pengkhianatan terbesar dan oleh karena itu perlu mendapat ganjaran yang setimpal, tidak jarang wujud ganjaran itu berupa pembunuhan.
3.      Pembagian Siri’ dan Pacce
Pada dasarnya siri’ dan pacce merupakan suatu falsafah yang tidak dapat dipisahkan, karena antara satu dengan yang lainnya mempunyai keterkaitan makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian siri’ dan pacce, keduanya saling berkaitan erat.
Pembagian siri’ dapat dikategorikan dalam dua hal, yaitu siri’ berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan), dan berdasarkan jenis atau bentuknya. Siri’ dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan tesebut, yaitu:
1.      Sirik (siri’) yang berasal dari pribadi manusia yang merasakannya/ bukan kehendaknya (penyebabnya dari luar). Jadi, siri’ ri-pakasirik, maksudnya dipermalukan oleh orang lain.
2.      Sirik (siri’) yang berasal dari pribadi orang itu sendiri (penyebab di dalam) disebut sirik ma sirik (siri’ ma siri’), maksudnya malu yang berasal dari dirinya/keluarganya.[13]
3.      Siri’ dapat dikategorikan dalam empat (jenis) golongan, yaitu siri’ yang dalam hal pelanggaran kesusilaan; siri’ yang berakibat kriminal, siri’ yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan siri’ yang berarti malu-malu.[14]
Jenis siri’ yang pertama ialah siri’ dalam hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat dikategorikan sebagai siri’, seperti kawin lari (silariang, nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, perbuatan salimarak, yaitu perbuatan hubungan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dengan putrinya, ibu dengan putranya dan sebagainya.
Jenis siri’ kedua adalah siri’ yang dapat berakibat kriminal. Siri’ seperti ini, misalnya menempeleng seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata yang tidak enak didengar dan sebagainya. Tamparan itu dibalas dengan tamparan pula, sehingga dapat terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.
Jenis siri’ ketiga ialah siri’ yang dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses, misalnya bila orang lain mampu berhasil mengapa kita tidak, sehingga suku Makassar kadang merantau ke daerah mana saja dan sesampainya di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih kesuksesan, sebab mereka akan malu bila pulang ke kampung halaman tanpa hasil.
Ada beberapa syair orang Makassar yang sesuai dengan jenis siri’ tersebut, antara lain:
Takunjunga bangunturu’, nakugunciri’ gulingku, kualleanna tallanga na toali’a, artinya tidak begitu saja ikut angin buritan dan kemudian saya putar kemudiku, lebih baik tenggelam daripada balik haluan.
Bajikangngangi mateya ripa’rasanganna tauwa nakanre gallang-gallang na ammotereka tangngerang wassele, artinya lebih baik mati di negeri orang dimakan cacing tanah daripada pulang kampung tanpa membawa hasil.[15]
Maksud kedua syair tersebut ialah apabila masyarakat suku Makassar sudah bertekad untuk meraih kesuksesan di negeri orang atau bertekad memperoleh kehidupan yang lebih layak, maka apapun rintangan yang menghadang akan tetap dihadapinya sampai keinginan mereka berhasil diperoleh.
Jenis siri’ yang keempat ialah siri’ yang berarti malu-malu. Siri’ seperti ini sebenarnya dapat berakibat negatif bagi seseorang tapi ada pula positifnya,misalnya apabila ada seseorang  yang diminta untuk tampil ke depan untuk menjadi protokol, ia merasa siri’-siri’ (malu-malu). Hal ini dapat berakibat menghalangi bakat seseorang untuk dapat tampil di depan umum. Sisi positif dari siri’-siri’ ini ialah apabila seseorang disuruh mencuri, maka ia merasa siri’- siri’ untuk melakukannya, apalagi bila ketahuan oleh orang.
Selain pembagian siri’ di atas, maka pacce dapat dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan) dan berdasarkan jenis atau bentuknya. Pacce dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan atau dorongan tersebut, yaitu:
1.      Perasaan pacce karena melihat keluarga atau orang lain terkena musibah. Perasaan pacce seperti ini terkadang mendorong kita untuk memberikan bantuan kepada orang tersebut.
2.      Perasaan pacce karena melihat keluarga atau teman teraniaya. Perasaan pacce ini mendorong kita untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan penganiayaan tersebut, bahkan yang lebih parah, terkadang pembalasan tersebut langsung dilaksanakan tanpa berpikir atau mengetahui penyebab terjadinya pemukulan/ penganiayaan tersebut.
Pacce berdasarkan jenis atau bentuknya, antara lain:
1.      Pacce yang berakibat kriminal. Pacce semacam ini misalnya ketika melihat keluarga atau temannya dipukul, maka timbul perasaan pedih dan keinginan untuk membalas perlakuan tersebut, sehingga terjadi perkelahian (kriminal).
2.      Pacce yang memberikan dorongan untuk menolong. Pacce semacam ini misalnya ketika melihat keluarga, tetangga mengalami musibah, maka timbul perasaan atau keinginan untuk membantu.
3.      Pacce yang dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja. Pacce semacam ini misalnya ketika keluarga dalam keadaan susah, maka timbul perasaan ingin bekerja untuk menghidupi keluarga tersebut.
Dari pembagian siri’ dan pacce tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa antara siri’ dan pacce memiliki persamaan sifat yang memberikan dorongan hidup bagi masyarakat suku Makassar.
D.    Hasil Diskusi
1.      Falsafah siri’ dipergunakan oleh orang Makassar untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menghina atau merendahkan harga dirinya, keluarganya maupun kerabatnya, sedangkan falsafah pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam kesusahan atau mengalami penderitaan.
2.      Siri' terdiri dari dua elemen penting: kebajikan dan martabat. Kebajikan memotivasi seseorang untuk menjadi suci, sehingga memungkinkan seseorang untuk hidup tak bercela. Kondisi ini hanya dapat dicapai oleh seseorang yang menghindari perbuatan dosa. Martabat menunjukkan bahwa setiap orang harus ditangani dengan cara yang dia ingini.
3.      Siri' adalah cara hidup, yang mengandung etika dan membedakan antara manusia dengan hewan, dengan martabat dan kehormatan yang melekat kepadanya. Siri' mengajarkan  moralitas dan etika yang direkomendasikan dalam bentuk pembatasan hak dan kewajiban yang melekat pada manusia untuk menjaga martabat dan kehormatan. Siri' merupakan hasil dari proses belajar dengan aturan yang menerima dan berlaku di masyarakat. Selama bertahun-tahun, siri' diterapkan dalam masyarakat dan menjadi budaya khas Sulawesi Selatan. Siri' sangat erat kaitannya dengan perasaan malu, perasaan yang timbul dari konsekuensi penyalahgunaan martabat dan kehormatan.
E.     Implikasi Individual dan Masyarakat
Pandangan masyarakat Makassar tentang konsep dan tujuan siri’ dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan dalam beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahan maksud dan tujuan siri’. Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam keadaan mabuk) mengganggu orang yang lewat di depannya dan terjadi perkelahian yang menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman pemuda tersebut mengadakan pembalasan dengan alasan siri’ (mempertahankan harga diri). Hal ini malah memperbesar masalah yang dapat berakibat pertikaian antar kelompok, sehingga timbul kesan orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah lagi bodoh) dan “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah baru terbukti udang).
Siri' cenderung untuk menegakkan integritas individu maupun komunal. Dalam konteks individu, siri' memberikan motivasi untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat menantang kehormatan seseorang. Di sini, setiap orang di masyarakat harus berperilaku sebagai orang terhormat dengan mengamati perbuatan baik. Dalam konteks komunal, siri' menyiratkan kewajiban mendukung solidaritas kelompok di antara anggota masyarakat dengan memiliki simpati terhadap siapa pun dibutuhkan di masyarakat. Dari perspektif siri', ada beberapa konsep budaya yang dianggap sebagai bagian integral dari budaya Bugis. Konsep-konsep ini telah dianggap sebagai titik awal berkaitan dengan menanggapi orang lain.
F.     Kesimpulan
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal, namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada konsepsi mengenai “tau” (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep “tau” inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia. Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya yang dilandasi sifat budaya manusiawinya. Sikap Budaya Sipakatau dalam kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Siri’ na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Siri’ na Pacce secara positif, berarti seseorang telah menerapkan sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan kekeluargaan.
Masyarakat suku Makassar yang berdomisili di Kabupaten Gowa pada umumnya masih berusaha mempertahankan tradisi atau budaya suku mereka, di antaranya siri’ na pacce. Hal ini dikarenakan mereka mayoritas merupakan penduduk asli yang tinggal turun temurun di daerah tersebut dan mayoritas menganut ajaran Islam.
Siri’ ialah perasaan malu apabila melakukan perbuatan tercela atau sikap ingin mempertahankan harga diri terhadap orang yang melecehkannya dan upaya untuk bekerja atau berusaha memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sedangkan pacce ialah perasaan yang timbul sebagai wujud solidaritas terhadap kerabat yang menimpa kesusahan dan diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan. Falsafah siri’ na pacce masih diperpegangi dan berusaha dilaksanakan oleh masyarakat suku Makassar di Kabupaten Gowa, namun pemahaman dan pelaksanaan budaya tersebut sudah mulai bergeser akibat pengaruh dan pengintegrasian budaya yang berasal dari luar Makassar.


DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia Cet.XV; Jakarta: Djambatan, 1995.
Limpo, Syahrul Yasin, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa Cet. I; Ujung Pandang: Intisari, 1995.
Marzuki, H. M. Laica, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) Cet.I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1995..
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitik Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis Cet.II; Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Moein M.G., Andi, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirik na Pacce Ujung Pandang: Mapress, 1990.
Ya’qub, H. Hamzah, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqurkarimah (Suatu



[1] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa (Cet. I; Ujung Pandang: Intisari, 1995), h. 87.
[2] H. Hamzah. Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqurkarimah (Suatu Pengantar). (Cet.VII; Bandung: CV. Diponegoro, 1996), h. 111
[3] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia  (Cet.XV; Jakarta: Djambatan, 1995), h. 279
[4] Mattulada,  Latoa: Satu Lukisan Analitik Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Cet.II; Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62
[5] Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia , h. 280
[6] Andi Moein, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, (Ujung Pandang: Mapress, 1990), h. 42
[7] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa, h. 91
[8] Andi Moein, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 33
[9] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa, h. 91
[10] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa, h. 23
[11] Andi Moein, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 10
[12] H. M. Laica Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum), (Cet.I; Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. 1995), h. 38
[13] Andi Moein, Menggali Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 33
[14] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa, h. 87
[15] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa, h. xviii-xix

1 komentar so far


EmoticonEmoticon