A.
Latar
Belakang
Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya harus berinteraksi dengan orang lain, dan oleh karenanya
manusia cenderung hidup berkelompok dan bermasyarakat. Kelompok-kelompok ini
kemudian bersepakat membuat aturan-aturan yang mengatur sikap dan bertingkah
laku dalam lingkungannya. Aturan ini kemudian berkembang menjadi prinsip,
pedoman dan pandangan hidup sebuah masyarakat yang harus dipatuhi dan
dijalankan oleh setiap individu dalam masyarakat tersebut. Pandangan hidup
suatu komunitas masyarakat sangat mempengaruhi tingkah laku individu yang hidup
dalam lingkungan masyarakat tersebut, sehingga apabila seseorang ingin bergaul
dan bertahan hidup dalam kelompok masyarakat tertentu, maka ia harus dapat
mengetahui dan mengenal kebiasaan (adat), pandangan (prinsip) hidup dan
aturan-aturan (norma) yang berlaku dalam masyarakat itu.
Pada masyarakat suku Makassar, khususnya yang
berdomisili di daerah Kabupaten Gowa, mereka masih berpegang pada prinsip
(falsafah) hidup siri’ na pacce, di samping beberapa
prinsip-prinsip hidup yang lain. Falsafah siri’ na pacce yang
sudah ada dan diperpegangi sejak dahulu oleh masyarakat Suku Makassar serta
merupakan pandangan hidup yang perlu dipertahankan dan perlu diselaraskan
dengan ajaran dan akidah Islam, sebab pemahaman dan keyakinan masyarakat
tentang makna dan tujuan siri’ na pacce pada saat ini mulai terkikis
akibat perkembangan zaman dan pengaruh pemikiran serta budaya dari luar.
Ada ungkapan suku Makassar yang berbunyi “punna
tena siriknu, paccenu seng pakania” (kalau tidak ada siri’-mu
pacce-lah yang kau pegang teguh).[1]
Ungkapan ini menggambarkan bahwa antara siri’ dan pacce selalu
seiring sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila siri’ dan pacce
sebagai pandangan hidup tidak dimiliki oleh seseorang, maka akan dapat
berakibat orang tersebut bertingkah laku melebihi binatang (tidak punya malu/siri’)
karena tidak memiliki unsur kepedulian sosial dan hanya mau menang sendiri
(tidak merasakan sedih/pacce).
Falsafah siri’ dipergunakan oleh orang
Makassar untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menghina atau
merendahkan harga dirinya, keluarganya maupun kerabatnya, sedangkan falsafah pacce
dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam
kesusahan atau mengalami penderitaan.
Pandangan masyarakat Makassar tentang konsep dan
tujuan siri’ dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan
dalam beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahan maksud dan tujuan siri’.
Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam keadaan mabuk)
mengganggu orang yang lewat di depannya dan terjadi perkelahian yang
menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman pemuda tersebut
mengadakan pembalasan dengan alasan siri’ (mempertahankan harga diri).
Hal ini malah memperbesar masalah yang dapat berakibat pertikaian antar
kelompok, sehingga timbul kesan orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah
lagi bodoh) dan “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah baru terbukti
udang).
Ungkapan tersebut muncul sebab apabila orang
Makassar merasa bahwa harga dirinya direndahkan di depan umum, maka ia akan
langsung memberikan pembalasan. Dengan kata lain, kalau siri’ sudah
dilanggar, maka harus langsung dibayar, nanti setelah itu dipikirkan akibatnya.
Hal ini tidaklah sepenuhnya benar, karena tindakan balasan yang dilakukan bukan
karena mereka bodoh, akan tetapi semata-mata hanya ingin membela harga dirinya
dan mendorong untuk dapat menjaga kehormatan diri, yang terpenting ialah harga
diri yang dibela memang benar dan patut untuk dibela dan dipertahankan.
Ada beberapa penyebab timbulnya siri’,
misalnya: apabila ada seorang pria dan wanita yang menikah tanpa persetujuan
keluarga mempelai wanita (kawin lari), maka hal tersebut dianggap siri’ (memalukan/merusak
harga diri keluarga); apabila ada orang yang ditampar di depan umum, maka hal
tersebut termasuk siri’ (dipermalukan); apabila ada seorang yang pergi
merantau untuk memperbaiki kehidupannya, maka dia merasakan malu (siri’)
apabila harus pulang tanpa hasil (gagal); apabila ada orang yang melanggar
aturan agama (berzina), maka orang tersebut telah melanggar siri’ (berbuat
hal yang memalukan), dan masih banyak contoh lainnya.
Dalam ajaran Islam, siri’ sangat dijunjung
tinggi karena apabila kita mempertahankan harga diri dengan alasan yang jelas
dan merasakan malu bila akan melakukan perbuatan yang salah maka hal tersebut
sangat dibenarkan. Apabila seseorang sudah tidak memiliki lagi perasaan malu
untuk berbuat apa saja maka segala perbuatan yang melanggar aturan-aturan
agama, adat, hukum dan norma-norma yang lain akan dilakukannya tanpa beban
apapun.[2]
Dari penjelasan di atas, maka falsafah siri’ yang
dijadikan prinsip oleh masyarakat suku Makassar dapat sejalan dengan ajaran
Islam, namun tergantung bagaimana upaya pemahaman masyarakat dalam penegakan siri’
sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam. Selain itu falsafah pacce yang
berarti turut merasakan dan membantu orang yang mengalami penderitaan, karena
manusia semuanya ini bersaudara sesuai dengan firman Allah SWT dalam al Quran
“sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu
mendapat rahmat” (QS al Hujurat: 10).
Oleh sebab itu, maka perlu dijelaskan tentang maksud
dan tujuan siri’ na pacce agar dapat memperbaiki pemahaman yang
agak menyimpang dari makna dan tujuan sebenarnya. Di samping itu perlu adanya
penyelarasan terhadap ajaran Islam, sebab mayoritas masyarakat Makassar
khususnya di kabupaten Gowa beragama Islam agar senantiasa dalam kehidupan dan
bertingkah laku sehari-hari menggambarkan budaya Makassar dan sekaligus
bernuansa Islami.
B.
Kajian
Pustaka
Masyarakat Gowa dalam memahami pengertian dan makna siri’
telah berbeda dengan pemahaman masyarakat suku Makassar pada zaman dahulu
(sejarah Makassar mulai tercatat pada Abad XVI, yaitu dengan ditemukannya
huruf/tulisan lontarak). Hal ini disebabkan karena perkembangan zaman
yang semakin pesat dengan membawa berbagai perubahan di segala bidang akibat
kemajuan transportasi, komunikasi dan teknologi sehingga pembauran budaya antar
masyarakat tidak dapat dibendung yang menyebabkan terjadinya pergeseran
nilai-nilai budaya daerah.
Selain itu sikap dan tindakan yang seharusnya
ditimbulkan akibat pelaksanaan maupun pelanggaran adat sudah mulai kurang
diperhatikan dan dilaksanakan karena terbentur oleh berbagai hukum yang diatur
dan dilaksanakan oleh negara dan bangsa Indonesia pada umumnya dan atau umat
beragama pada khususnya. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan
masyarakat mendorong untuk mengadakan pengkajian dan penelitian terhadap
fenomena-fenomena yang terjadi agar memperoleh pengetahuan dan pemahaman
tentang kehidupan masyarakat, khususnya di Kabupaten Gowa.
Pada tatanan masyarakat suku Makassar di Kabupaten
Gowa masih menganggap bahwa falsafah siri’ dan pacce masih harus
dipercaya dan dipertahankan oleh masyarakat sesuai dengan pemahaman dan kondisi
masyarakat yang ada di daerah tersebut serta hukum negara dan agama. Namun
perlu diperhatikan pula falsafah siri’ dan pacce yang diyakini
dan dilaksanakan oleh masyarakat Gowa pada saat sekarang berangsur-angsur mulai
berbeda dengan dengan konsep siri’ na pacce yang ada pada zaman kejayaan
kerajaan Gowa.
Pada sebagian masyarakat Gowa menganggap budaya siri’
dan pace tidak bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka
menganggap budaya tersebut masih ada dan nampak sampai sekarang. Sementara
masyarakat yang menganggap budaya siri’ dan pacce kadang-kadang
bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka menilai budaya tersebut kurang
diperhatikan oleh masyarakat pada saat ini, kalaupun ada perhatian hal tersebut
pada persoalan yang sangat prinsipil atau pun dianggap sakral.
Sedangkan masyarakat yang mengangap falsafah siri’
dan pacce sudah bergeser akibat budaya dari luar, sebab mereka
melihat perkembangan generasi muda yang terpengaruh oleh budaya barat dan sikap
serta perilaku masyarakat yang kurang mencerminkan adat suku Makassar. Hal ini
nampak pada generasi muda sekarang, sebagian besar dari mereka sudah tidak
mengetahui makna yang terkandung dari falsafah tersebut. Selain itu faktor
ekonomi juga sangat mempengaruhi pergeseran budaya, sebab saat ini sebagian
masyarakat Gowa memandang status sosial dipandang dari tingkat ekonominya.
Falsafah siri’ bagi masyarakat Gowa dipandang
sebagai budaya yang masih perlu dipertahankan, sehingga dalam memandang
beberapa kasus yang berkaitan dengan persoalan siri’, mereka masih
menanggapi persoalan tersebut perlu diselesaikan dengan kekerasan. Masyarakat
Gowa beranggapan bahwa terkadang ada persoalan siri’ yang menimbulkan
dorongan untuk melakukan pembalasan secara spontan karena dianggap sudah
keterlaluan dan sangat merendahkan harga diri seseorang atau karena keterdesakan
dengan alasan daripada saya yang terluka, lebih baik kamu yang saya dahului.
Mereka memandang siri’ sebagai sesuatu yang sangat sakral dan persoalan
yang dapat dikegorikan sebagai siri’ hanyalah persoalan yang sangat
memalukan dan menyangkut pelecehan terhadap martabat seseorang maupun
keluarganya.
Sementara di sisi lain, masyarakat Gowa yang
memandang persoalan siri’ tidak perlu diselesaikan dengan kekerasan,
sebab mereka menganggap segala persoalan dapat diselesaikan dengan damai secara
kekeluargaan, lagi pula negara Indonesia merupakan negara hukum sehingga segala
persoalan yang menyangkut tindak pidana maupun perdata dapat dan harus
diselesaikan lewat jalur hukum negara.
Falsafah siri’ di Kabupaten Gowa mempunyai
peran kontrol pada masyarakat, sebab mereka terkadang takut berbuat sesuatu
yang dapat merugikan dirinya sendiri (appakasiri’) yang menyebabkan
status sosialnya menjadi rendah di tengah-tengah masyarakat. Namun ada juga
masyarakat yang menyalahartikan siri’ pada saat ini, karena mereka menganggap
bahwa merupakan siri’ (diartikan siri’-siri’) atau malu-malu
apabila temannya mempunyai kendaraan (motor atau mobil), sedangkan dia belum
mampu memilikinya.
C.
Pembahasan
1.
Pengertian Siri’ dan Pacce
Kata siri’ dalam bahasa Makassar berarti malu
atau rasa malu, maksudnya siri’ (tuna) lanri anggaukanna anu kodi, artinya
malu apabila melakukan perbuatan yang tercela. Sekalipun kata siri’ tidak
hanya dipahami menurut makna harfiah tersebut.
Pengertian siri’ menurut istilah dapat
dilihat dari pendapat beberapa tokoh, seperti: B. F. Matthes menjelaskan
sebagaimana dikutip oleh Koentjaraningrat, bahwa istilah siri’ diterjemahkan
dengan malu, rasa kehormatannya tersinggung dan sebagainya.[3]
Menurut C.H. Salam Basjah yang dikutip oleh Mattulada memberi tiga pengertian
kepada konsep siri’, yaitu: Pertama ialah malu, kedua,
merupakan daya pendorong untuk membinasakan siapa saja yang telah menyinggung
rasa kehormatan seseorang, dan ketiga ialah sebagai daya pendorong untuk
bekerja atau berusaha sebanyak mungkin.[4]
Pengertian siri’ juga diungkapkan oleh M. Natzir Said, bahwa siri’ adalah
perasaan malu yang memberi kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar
adat, terutama dalam soal-soal hubungan perkawinan.[5]
Siri’ pernah pula
dibicarakan dan dikaji pada Seminar Nasional yang diselenggarakan oleh Komando
Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII Sulselra bekerjasama dengan Universitas
Hasanuddin, bertempat di ruang pola Gubernur Sulawesi Selatan pada tanggal 11
Juli 1977 sampai dengan tanggal 13 Juli 1977 dengan tema “Mengolah Masalah Siri’
di Sulawesi Selatan Guna Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang
Pembangunan Nasional.” Adapun hasil seminar tersebut memberikan konsep dan
batasan tentang siri’ antara lain:
1. Siri’
dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hokum
serta agama sebagai salah satu nilai utamanya yang mempengaruhi dan mewarnai
alam pikiran, perasaan dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia
berkedudukan regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktrur dalam
kebudayaan.
2. Siri’
dalam sistem sosial, adalah mendinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan
individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai
dinamika sosial terbuka untuk beraluh peranan (bertransmisi), beralih bentuk
(bertranformasi), dan ditafsir ulang (re-interpretasi) sesuai dengan
perkembangan kebudayaan nasional, sehingga siri’ dapat ikut memperkokoh
tegaknya filsafat bangsa Indonesia, Pancasila.
3. Siri’
dalam
sistem kepribadian, adalah sebagai perwujudan konkrit didalam akal budi manusia
yang menjunjung tinggi kejujuran, keseimbangan, keserasian, keimanan dan
kesungguhan untuk menjaga harkat dan martabat manusia.[6]
Konsep
siri’ berdasarkan pengertian bahasa, istilah dan hasil seminar tersebut
dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum tentang
makna dan tujuan siri’ yang patut untuk diyakini, dilaksanakan dan
dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari. Dari seluruh pengertian siri’
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa siri’ adalah suatu sistem nilai
sosial, budaya dan kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri dan
martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat.
Adapun
pengertian pacce secara harfiah, yaitu pacce berarti perasaan
pedis, perih atau pedih.[7]
Sedangkan pengertian pace menurut istilah, antara lain: pacce adalah
suatu perasaan yang menyayat hati, pilu bagaikan tersayat sembilu apabila
sesama warga masyarakat atau keluarga atau sahabat ditimpa kemalangan (musibah).[8] Pacce
ini berfungsi sebagai alat penggalang persatuan, solidaritas, kebersamaan
rasa kemanusiaan dan memberi motivasi pula untuk berusaha sekalipun dalam
keadaan yang sangat pelik dan berbahaya.[9]
Dari
pengertian di atas jelaslah bahwa pacce dapat memupuk rasa persatuan dan kesatuan
bangsa, membina solidaritas antara manusia agar mau membantu seseorang yang
mengalami kesulitan. Sebagai contoh seseorang mengalami musibah, jelas
masyarakat lainnya turut merasakan penderitaan yang dialami rekannya itu dan
segera pada saat itu pula mengambil tindakan untuk membantunya baik berupa
materi maupun non materi. Perasaan ini merupakan suatu pendorong ke arah
solidaritas dalam berbagai bentuk terhadap mereka yang ditimpa kemalangan itu.
2. Sejarah Awal Siri’ dan Pacce
Siri’
na pacce merupakan budaya yang telah melembaga dan dipercaya oleh suku
Makassar, maka untuk membahas lebih lanjut tentang falsafat tersebut perlu ada
penelitian dan pengkajian tentang sejarah dan konsep siri’ na pacce yang ada
pada suku Makassar sejak zaman dahulu. Suku Makassar yang mendiami sebagian
wilayah Sulawesi Selatan merupakan penduduk asli yang sudah memiliki pranata
budaya tersendiri, jauh sebelum resmi lahirnya kerajaan Gowa yang merupakan
kerajaan dari Kawasan Timur Indonesia yang mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Kerajaan Gowa dimulai ketika kehadiran Tumanurunga di Takakbassia Tamalate,
berdasarkan atas perjanjian pemerintahan antara Tumanurunga dengan Sembilan
Kasuwiang yang kira-kira terjadi pada tahun 1300 M.[10]
Untuk
menggali sejarah tentang siri’ na pacce, maka tulisan-tulisan tentang falsafah
atau petuah-petuah tersebut dapat kita lihat pada tulisan lontarak. Adapun
sejarah lahirnya huruf lontarak ialah dibuat oleh Daeng Pamatte ketika ia
diperintahkan oleh Karaeng Tumapakrisik Kallonna didasari oleh kebutuhan
kerajaan untuk dapat berkomunikasi secara tulis menulis dan agar
peristiwa-peristiwa kerajaan dapat dicatat dalam tulisan.
Walaupun
sejarah suku Makassar mulai tercatat pada masa Karaeng Tumapakrisik Kallonna,
namun budaya siri’ sudah menjadi adat istiadat dan falsafah hidup mereka sejak
dahulu. Adapun pandangan suku Makassar tentang siri’ dapat kita lihat dari
beberapa istilah yang berkaitan dengan siri’.
Berikut
ini beberapa istilah tentang siri’ dan maknanya, antara lain: sirik (siri’)
sebagai harga diri atau kehormatan; mappakasiri’, artinya dinodai
kehormatannya; ritaroang sirik (siri’), artinya ditegakkan kehormatannya;
passampo sirik (siri’), artinya penutup malu; tomasiri’na, artinya keluarga
pihak yang dinodai kehormatannya; sirik (siri’) sebagai perwujudan sikap tegas
demi kehormatan tersebut; sirik (siri’) sebagai pernyataan sikap tidak serakah
(mangowa); sirik (siri’) naranreng, artinya dipertaruhkan demi kehormatan;
siriksirik (siri’-siri’), artinya malu-malu; palaloi siriknu (siri’nu), artinya
tantang yang melawan; passirikia, artinya bela kehormatan saya; napakasirikka
(napakasiri’ka),artinya saya dipermalukan; tau tena sirikna (siri’na), artinya
orang tak ada malu, tak ada harga diri.[11]
Selain
itu dalam tulisan lontarak terdapat petuah-petuah atau ungkapan-ungkapan yang
berkenaan dengan konsep siri’, antara lain:
1. Siritaji
nakitau, artinya hanya siri’, maka kita dinamakan manusia. Maksudnya seseorang
yang tidak mempunyai siri’, maka ia tidak ada artinya sebagai manusia (layak
disebut binatang), karena sikap orang yang tidak mempunyai siri’ seperti
perbuatan binatang (tidak punya malu).
2. Sirikaji
tojeng, siritaji tojeng, artinya hanya siri’lah yang benar. Maksudnya perasaan
siri’ atau malu karena melakukan perbuatan yang tercela, hal tersebut dianggap
benar oleh hukum manapun (agama, adat dan negara).
3. Karaeng,
siri’ kuji ki atai, artinya Tuanku, hanya karena siri’ maka tuan memperhamba
saya. Maksudnya kedudukan (status sosial) seseorang sangat mempengaruhi sikap
orang lain dalam kehidupan sosialnya.
4. Punna
taenamo siri’ku, manna kupannobokangki, taenamo nalantanglantang, artinya
manakala tidak ada lagi siri’ ku, maka sekalipun aku menikamkan kerisku kepada
tuan, tidaklah menjadi dalam lagi. Maksudnya apabila seseorang sudah tidak
memiliki perasaan malu, maka orang tersebut sudah tidak mempunyai kehormatan
dan kekuatan di hadapan orang lain.
5. Kaanne
buttaya Gowa majarremi nikasirikang, artinya bahwasanya negeri Gowa ini telah
ditekadkan guna membela siri’. Maksudnya bahwa kerajaan Gowa atau wilayah Gowa
merupakan daerah yang sangat menjunjung dan menghargai falsafah siri’.[12]
Dalam pemahaman masyarakat Suku Makassar, kejayaan
dan kebesaran suatu negeri bergantung kepada empat hal pokok, yaitu adat
kebiasaan (Ada’), persamaan hukum (Rapang), undang-undang (Bicara), aturan
mengenai strata sosial (Wari), dan aturan syariat Islam (Sara). Ada’ sebagai
pranata sosial yang mengatur segala aspek kehidupan dan kehidupan dan tata
kelakuan sangat dihormati, dijunjung tinggi dan dipertahankan dengan teguh.
Begitu pentingnya ada’, maka bagi masyarakat suku Makassar, segala
pengabaian terhadapnya dianggap sebagai pengkhianatan terbesar dan oleh karena
itu perlu mendapat ganjaran yang setimpal, tidak jarang wujud ganjaran itu
berupa pembunuhan.
3. Pembagian
Siri’ dan Pacce
Pada dasarnya siri’ dan pacce merupakan
suatu falsafah yang tidak dapat dipisahkan, karena antara satu dengan yang
lainnya mempunyai keterkaitan makna dan hubungan, sehingga dalam hal pembagian siri’
dan pacce, keduanya saling berkaitan erat.
Pembagian siri’ dapat dikategorikan dalam dua
hal, yaitu siri’ berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan), dan
berdasarkan jenis atau bentuknya. Siri’ dibagi berdasarkan penyebab
timbulnya perasaan tesebut, yaitu:
1. Sirik
(siri’) yang berasal dari pribadi manusia yang merasakannya/
bukan kehendaknya (penyebabnya dari luar). Jadi, siri’ ri-pakasirik,
maksudnya dipermalukan oleh orang lain.
2. Sirik
(siri’) yang berasal dari pribadi orang itu sendiri
(penyebab di dalam) disebut sirik ma sirik (siri’ ma siri’), maksudnya
malu yang berasal dari dirinya/keluarganya.[13]
3. Siri’
dapat
dikategorikan dalam empat (jenis) golongan, yaitu siri’ yang dalam hal
pelanggaran kesusilaan; siri’ yang berakibat kriminal, siri’ yang
dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja, dan siri’ yang berarti
malu-malu.[14]
Jenis siri’ yang pertama ialah siri’ dalam
hal pelanggaran kesusilaan. Berbagai macam pelanggaran kesusilaan yang dapat
dikategorikan sebagai siri’, seperti kawin lari (silariang,
nilariang, dan erang kale), perzinahan, perkosaan, perbuatan salimarak,
yaitu perbuatan hubungan seks yang dilarang karena adanya hubungan keluarga
yang terlalu dekat, misalnya perkawinan antara ayah dengan putrinya, ibu dengan
putranya dan sebagainya.
Jenis siri’ kedua adalah siri’ yang
dapat berakibat kriminal. Siri’ seperti ini, misalnya menempeleng
seseorang di depan orang banyak, menghina dengan kata-kata yang tidak enak
didengar dan sebagainya. Tamparan itu dibalas dengan tamparan pula, sehingga
dapat terjadi perkelahian bahkan pembunuhan.
Jenis siri’ ketiga ialah siri’ yang
dapat memberikan motivasi untuk meraih sukses, misalnya bila orang lain mampu
berhasil mengapa kita tidak, sehingga suku Makassar kadang merantau ke daerah
mana saja dan sesampainya di daerah tersebut mereka bekerja keras untuk meraih
kesuksesan, sebab mereka akan malu bila pulang ke kampung halaman tanpa hasil.
Ada beberapa syair orang Makassar yang sesuai dengan
jenis siri’ tersebut, antara lain:
Takunjunga bangunturu’, nakugunciri’
gulingku, kualleanna tallanga na toali’a, artinya
tidak begitu saja ikut angin buritan dan kemudian saya putar kemudiku, lebih
baik tenggelam daripada balik haluan.
Bajikangngangi mateya ripa’rasanganna
tauwa nakanre gallang-gallang na ammotereka
tangngerang wassele, artinya lebih baik mati di negeri orang dimakan cacing
tanah daripada pulang kampung tanpa membawa hasil.[15]
Maksud kedua syair tersebut ialah apabila masyarakat
suku Makassar sudah bertekad untuk meraih kesuksesan di negeri orang atau
bertekad memperoleh kehidupan yang lebih layak, maka apapun rintangan yang
menghadang akan tetap dihadapinya sampai keinginan mereka berhasil diperoleh.
Jenis siri’ yang keempat ialah siri’ yang
berarti malu-malu. Siri’ seperti ini sebenarnya dapat berakibat negatif
bagi seseorang tapi ada pula positifnya,misalnya apabila ada seseorang yang diminta untuk tampil ke depan untuk
menjadi protokol, ia merasa siri’-siri’ (malu-malu). Hal ini dapat
berakibat menghalangi bakat seseorang untuk dapat tampil di depan umum. Sisi
positif dari siri’-siri’ ini ialah apabila seseorang disuruh mencuri,
maka ia merasa siri’- siri’ untuk melakukannya, apalagi bila
ketahuan oleh orang.
Selain pembagian siri’ di atas, maka pacce
dapat dibagi berdasarkan penyebab timbulnya perasaan (dorongan) dan
berdasarkan jenis atau bentuknya. Pacce dibagi berdasarkan penyebab
timbulnya perasaan atau dorongan tersebut, yaitu:
1. Perasaan
pacce karena melihat keluarga atau orang lain terkena musibah. Perasaan pacce
seperti ini terkadang mendorong kita untuk memberikan bantuan kepada orang
tersebut.
2. Perasaan
pacce karena melihat keluarga atau teman teraniaya. Perasaan pacce ini
mendorong kita untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap orang yang
melakukan penganiayaan tersebut, bahkan yang lebih parah, terkadang pembalasan
tersebut langsung dilaksanakan tanpa berpikir atau mengetahui penyebab
terjadinya pemukulan/ penganiayaan tersebut.
Pacce berdasarkan
jenis atau bentuknya, antara lain:
1.
Pacce yang
berakibat kriminal. Pacce semacam ini misalnya ketika melihat keluarga
atau temannya dipukul, maka timbul perasaan pedih dan keinginan untuk membalas
perlakuan tersebut, sehingga terjadi perkelahian (kriminal).
2.
Pacce yang
memberikan dorongan untuk menolong. Pacce semacam ini misalnya ketika
melihat keluarga, tetangga mengalami musibah, maka timbul perasaan atau
keinginan untuk membantu.
3.
Pacce yang
dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja. Pacce semacam ini misalnya
ketika keluarga dalam keadaan susah, maka timbul perasaan ingin bekerja untuk
menghidupi keluarga tersebut.
Dari pembagian siri’ dan pacce tersebut
di atas, maka dapat dipahami bahwa antara siri’ dan pacce memiliki
persamaan sifat yang memberikan dorongan hidup bagi masyarakat suku Makassar.
D.
Hasil
Diskusi
1. Falsafah
siri’ dipergunakan oleh orang Makassar untuk membela kehormatan terhadap
orang-orang yang mau menghina atau merendahkan harga dirinya, keluarganya
maupun kerabatnya, sedangkan falsafah pacce dipakai untuk membantu
sesama anggota masyarakat yang berada dalam kesusahan atau mengalami
penderitaan.
2. Siri' terdiri dari dua elemen
penting: kebajikan dan martabat. Kebajikan memotivasi seseorang untuk menjadi
suci, sehingga memungkinkan seseorang untuk hidup tak bercela. Kondisi ini
hanya dapat dicapai oleh seseorang yang menghindari perbuatan dosa. Martabat
menunjukkan bahwa setiap orang harus ditangani dengan cara yang dia ingini.
3. Siri' adalah
cara hidup, yang mengandung etika dan membedakan antara manusia dengan hewan,
dengan martabat dan kehormatan yang melekat kepadanya. Siri' mengajarkan
moralitas dan etika yang direkomendasikan dalam bentuk pembatasan hak dan
kewajiban yang melekat pada manusia untuk menjaga martabat dan kehormatan.
Siri' merupakan hasil dari proses belajar dengan aturan yang menerima dan
berlaku di masyarakat. Selama bertahun-tahun, siri' diterapkan dalam masyarakat
dan menjadi budaya khas Sulawesi Selatan. Siri' sangat erat kaitannya dengan
perasaan malu, perasaan yang timbul dari konsekuensi penyalahgunaan martabat
dan kehormatan.
E.
Implikasi
Individual dan Masyarakat
Pandangan masyarakat Makassar tentang konsep dan
tujuan siri’ dan pacce yang sebenarnya mulai terkikis, bahkan dalam
beberapa contoh kasus telah terjadi penyalahan maksud dan tujuan siri’.
Misalnya ketika seorang pemuda yang tanpa sebab jelas (dalam keadaan mabuk)
mengganggu orang yang lewat di depannya dan terjadi perkelahian yang
menyebabkan si pemuda mengalami luka berat, maka teman-teman pemuda tersebut
mengadakan pembalasan dengan alasan siri’ (mempertahankan harga diri).
Hal ini malah memperbesar masalah yang dapat berakibat pertikaian antar
kelompok, sehingga timbul kesan orang Makassar itu “Pabbambangangi na tolo” (pemarah
lagi bodoh) dan “Eja tonpi seng na doang” (nanti setelah merah baru terbukti
udang).
Siri' cenderung
untuk menegakkan integritas individu maupun komunal. Dalam konteks individu,
siri' memberikan motivasi untuk tidak melakukan sesuatu yang dapat menantang
kehormatan seseorang. Di sini, setiap orang di masyarakat harus berperilaku
sebagai orang terhormat dengan mengamati perbuatan baik. Dalam konteks komunal,
siri' menyiratkan kewajiban mendukung solidaritas kelompok di antara anggota
masyarakat dengan memiliki simpati terhadap siapa pun dibutuhkan di masyarakat.
Dari perspektif siri', ada beberapa konsep budaya yang dianggap sebagai bagian
integral dari budaya Bugis. Konsep-konsep ini telah dianggap sebagai titik awal
berkaitan dengan menanggapi orang lain.
F. Kesimpulan
Sesungguhnya budaya Makassar mengandung esensi nilai luhur yang universal,
namun kurang teraktualisasi secara sadar dan dihayati dalam kehidupan
sehari-hari. Kalau kita menelusuri secara mendalam, dapat ditemukan bahwa
hakikat inti kebudayaan Makassar itu sebenarnya adalah bertitik sentral pada
konsepsi mengenai “tau” (manusia), yang manusia dalam konteks ini, dalam
pergaulan sosial, amat dijunjung tinggi keberadaannya.
Dari konsep “tau”
inilah sebagai esensi pokok yang mendasari pandangan hidup orang Makassar, yang
melahirkan penghargaan atas sesama manusia. Bentuk penghargaan itu
dimanifestasikan melalui sikap budaya “sipakatau”. Artinya, saling memahami dan
menghargai secara manusiawi. Dengan pendekatan sipakatau, maka kehidupan orang
Makassar dapat mencapaui keharmonisan, dan memungkinkan segala kegiatan
kemasyarakatan berjalan dengan sewajarnya sesuai hakikat martabat manusia.
Seluruh perbedaan derajat sosial tercairkan, turunan bangsawan dan rakyat
biasa, dan sebagainya. Yang dinilai atas diri seseorang adalah kepribadiannya
yang dilandasi sifat budaya manusiawinya. Sikap Budaya Sipakatau dalam
kehidupan orang Makassar dijabarkan ke dalam konsepsi Siri’ na Pacce. Dengan menegakkan prinsip Siri’ na Pacce secara positif, berarti seseorang telah menerapkan
sikap Sipakatau dalam kehidupan pergaulan kemasyarakatan. Hanya dalam
lingkunagn orang-orang yang menghayati dan mampu mengamalkan sikap hidup
Sipakatau yang dapat secara terbuka saling menerima hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan.
Masyarakat suku
Makassar yang berdomisili di Kabupaten Gowa pada umumnya masih berusaha
mempertahankan tradisi atau budaya suku mereka, di antaranya siri’ na pacce. Hal
ini dikarenakan mereka mayoritas merupakan penduduk asli yang tinggal turun
temurun di daerah tersebut dan mayoritas menganut ajaran Islam.
Siri’ ialah
perasaan malu apabila melakukan perbuatan tercela atau sikap ingin
mempertahankan harga diri terhadap orang yang melecehkannya dan upaya untuk bekerja
atau berusaha memperoleh kehidupan yang lebih layak. Sedangkan pacce ialah
perasaan yang timbul sebagai wujud solidaritas terhadap kerabat yang menimpa
kesusahan dan diwujudkan dalam bentuk memberikan bantuan. Falsafah siri’
na pacce masih diperpegangi dan berusaha dilaksanakan oleh masyarakat suku
Makassar di Kabupaten Gowa, namun pemahaman dan pelaksanaan budaya
tersebut sudah mulai bergeser akibat pengaruh dan pengintegrasian budaya
yang berasal dari luar Makassar.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia Cet.XV; Jakarta: Djambatan, 1995.
Limpo, Syahrul Yasin, Profil Sejarah,
Budaya dan Pariwisata Gowa Cet. I; Ujung Pandang: Intisari, 1995.
Marzuki, H. M. Laica, Siri’: Bagian
Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Sebuah Telaah Filsafat Hukum) Cet.I; Ujung Pandang: Hasanuddin
University Press, 1995..
Mattulada, Latoa: Satu Lukisan
Analitik Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis Cet.II; Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1995.
Moein M.G., Andi, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirik na Pacce Ujung Pandang:
Mapress, 1990.
Ya’qub, H. Hamzah, Etika
Islam: Pembinaan Akhlaqurkarimah (Suatu
[1] Syahrul Yasin
Limpo, Profil Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa (Cet. I; Ujung Pandang:
Intisari, 1995), h. 87.
[2] H. Hamzah.
Ya’qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqurkarimah (Suatu Pengantar).
(Cet.VII; Bandung: CV. Diponegoro, 1996), h. 111
[3]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Cet.XV; Jakarta: Djambatan, 1995), h. 279
[4] Mattulada, Latoa: Satu Lukisan Analitik Terhadap
Antropologi Politik Orang Bugis (Cet.II;
Ujungpandang: Hasanuddin University Press, 1995), h. 62
[5] Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia , h. 280
[6] Andi Moein, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, (Ujung Pandang: Mapress, 1990), h. 42
[7] Syahrul Yasin Limpo, Profil
Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa,
h. 91
[8] Andi Moein, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 33
[9] Syahrul Yasin Limpo, Profil
Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa,
h. 91
[10] Syahrul Yasin Limpo, Profil
Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa,
h. 23
[11] Andi Moein, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 10
[12] H. M. Laica
Marzuki, Siri’: Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis-Makassar (Sebuah
Telaah Filsafat Hukum), (Cet.I;
Ujung Pandang: Hasanuddin University Press. 1995), h. 38
[13] Andi Moein, Menggali
Nilai-Nilai Budaya Bugis-Makassar dan Sirikna Pacce, h. 33
[14] Syahrul Yasin Limpo, Profil Sejarah,
Budaya dan Pariwisata Gowa, h. 87
[15] Syahrul Yasin Limpo, Profil
Sejarah, Budaya dan Pariwisata Gowa,
h. xviii-xix
1 komentar so far
mantap materinya
EmoticonEmoticon