Rabu, 07 Januari 2015

Makalah “Pengembangan Kurikulum dalam Implementasi Pengembangan Pendidikan Karakter”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kurikulum  merupakan suatu komponen yang sangat menentukan dalam suatu system pendidikan, karena itu kurikulum merupakan  alat untuk mencapai system pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.
Kurikulum adalah salah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu meningkatkan  kualitas manusia Indonesia, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Pengembangan kurikulum pendidikan karakter juga harus berorientasi pada pendidikan mutu dan mutu pendidikaan.
B.     Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas dapat diambil beberapa pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1.      Apa Pengertian Pengembangan Kurikulum?
2.      Apa Saja Komponen-Komponen Pengembangan Kurikulum?
3.      Apa Fungsi dan Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan?
4.      Apa prinsip Pengembangan kurikulum?
5.      Bagaiamana Disain dan Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pengembangan Kurikulum
Istilah kurikulum sering dimaknai  plan for learning (rencana pendidikan). Sebagai rencana pendidikan kurikulum memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi dan proses pendidikan.[1] Secara historis, istilah kurikulum pertama kalinya diketahui dalam kamus Webster (Webster Dictionary) tahun 1856. Pada mulanya istilah kurikulum digunakan dalam dunia olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Kemudian pada tahun 1955, istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan.[2]
Secara etimologi kata kurikulum diambil dari bahasa Yunani, Curere berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari mulai start sampai finish.[3] Pengertian inilah yang kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam bahasa arab, kurikulum sering disebut dengan istilah al-manhaj, berarti jalan yang terang yang dilalui manusia dalam bidang kehidupannya. Maka dari pengertian tersebut, kurikulum jika dikaitkan dengan pendidikan, menurut Muhaimin, maka berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.[4]
Sedangkan dalam terminology, terdapat perbedaan pengertian kurikulum. Dalam pengertian lama kurikulum didefinisikan sebagai sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan, yang telah tersusun secara sistematis dan logis.[5] Pendefinisian ini walau terasa kurang tepat, tetapi memang banyak betulnya, jika ditarik dari asal kata kurikulum di atas tadi, yakni curere yang biasa diartikan dengan jarak yang harus ditempuh oleh pelari.[6]
Berdasarkan pengertian ini, sebetulnya ingin mengatakan bahwa kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran dari sejumlah mata pelajaran yang berada di sekolah atau madrasah yang harus ditempuh para murid, siswa atau peserta didik untuk mencapai suatu ijazah, juga keseluruhan mata pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Pengertian ini terasa masih sangat semprit, karena kurikulum tidak lain hanya sejumlah materi saja.
Dalam pengertian lain, kurikulum adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga Negara yang akan dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering berbunyi muluk-muluk.[7]
Sementara itu, Ramayulis mendefinisikan bahwa kurikulum merupakan  salah satu komponen yang sangat penting menentukan dalam suatu system pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat pendidikan.[8] Sedangkan menurut M. Arifin mendefinisikan kurikulum adalah seluruh bahan pelajaran yang harus dissajikan dalam proses kependidikan dalam satu system institutional pendidikan.[9] Tampaknya dua pengertian tersebut masih terlalu sederhana dan lebih menitikberatkan pada materi pelajaran semata. Sementara itu, Zakiah Darajat memandang kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam pendidikan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.[10]
Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran atau kegiatan yang mencakup program pendidikan agar mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Definisi tersebut kemudian berkembang sesuai dengan tuntutan dan dinamika zaman. Dalam pengertian yang terbaru dan lebih luas, bahwa kurikulum adalah, serangkaian pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dalam proses pembelajaran. Salah satu pendukung dari pandangan ini adalah Romine sebagaimana dikutip oleh Hamalik, bahwa Curriculum is interpreted to man all of the organized courses, activities and experiences which pupils have under direction of the school whether in the class room or not.[11]
Dalam pengertian tersebut terlihat jelas, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja (in the class room), melainkan juga mencakup kegiatan di luar kelas. Maka dengan demikian tidak ada pemisahan tegas antara intra dan ekstra kurikulum. Pendek kata, semua kegiatan yang member pengalaman dalam proses pendidikan atau belajar bagi peserta didik, pada hakikatnya adalah kurikulum. Oleh karenanya, dalam pengertian yang sangat luas ini kurikulum sering dimaknai dengan sejumlah pengalaman belajar yang didapat oleh peserta didik baik di dalam maupun di luar kelas.
Dalam pengertian lain dikatakan, kurikulum adalah seperangkat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan lembaga pendidikan yang diinginkan.[12] Endang Mulyasa mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan peraturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar, serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan.[13]
Dari beberapa definisi di atas, terdapat berbagai penafsiran dan pemahaman tentang kurikulum, sehingga kita peroleh penggolongan kurikulum sebagaimana dikatakan Majid, sebagai berikut:
1.      Kurikulum dapat dilihat sebagai produk, yakni sebagai hasil karya pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia. Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, misalnya berisi sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan. Inilah yang disebut dengan dokumen kurikulum.
2.      Kurikulum dapat pula dipandang sebagai program, yakni alat yang dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk mencapai tujuannya. Ini dapat berupa mengajarkan berbagai mata pelajaran, tetapi dapat juga meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa. Misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah dan lain-lain.
3.      Kurikulum dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan agar dapat dipelajari oleh siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang diharapkan  akan dipelajari tidak selalu sama dengan apa yang benar-benar dipelajari.
4.      Kurikulum sebagai pengalaman siswa. Ketiga pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum. Sedangkan pandangan yang keempat ini mengenai ini mengenai apa yang secara actual menjadi kenyataan pada setiap siswa. Ada kemungkinan, bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak berbeda dengan apa yang diharapkan menurut rencana.[14]
Adanya berbagai tafsiran tentang kurikulum, tidak perlu merisaukan, karena justru dapat memberi dorongan untuk mengadakan inovasi (innovation) untuk mencari bentuk-bentuk dan model-model kurikulum baru yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Pandangan yang berbeda-beda itu member khazanah tersendiri dalam dunia pendidikan, dan menjadi lading untuk bertukar pikiran.
Adapun pengertian pengembangan menunjukkan kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara yang “baru”, di mana selama kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap cara tersebut terus dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum pendidikan. Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu sendiri dan pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi dengan intensif.[15] Murrary Print mengatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah “curriculum development is defined as the process of planning, constructing, implementing and evaluating learning opportunities intended to produce desired changes in leaner’s”. Maksudnya bahwa pengembangan kurikulum adalah, sebagai proses perencanaan, membangun, menerapkan, dan mengevaluasi peluang pembelajarn diharapkan menghasilkan perubahan dalam belajar.[16]
Berdasarkan teori tersebut, terkait dengan pengembangan kurikulum KTSP, pengembangan kurikulum merupakan suatu cara untuk membuat perencanaan, pelaksanaan kurikulum pendidikan pada satuan pendidikan, agar menghasilkan sebuah kurikulum ideal-operasional, yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan satuan pendidikan dan daerah masing-masing.
B.     Komponen-Komponen Pengembangan Kurikulum
Sebagai sebuah system, kurikulum terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait, terintegrasi dan tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya, bagaikan dua sisi mata uang logam. Komponen-komponen tersebut adalah, tujuan, program atau materi, proses dan evaluasi.
1.      Tujuan Kurikulum
Secara sederhana tujuan menurut Zakiah Darajat sering dimaknai sebagai sesuatu yang diharapkan tercapai setelah melakukan serangkaian proses kegiatan. Dalam setiap kegiatan – termasuk dalam kegiatan pendidikan – sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan akan menentukan arah dan target apa yang hendak dicapai itu dapat diupayakan dengan maksimal untuk mencapainya. Tujuan suatu kegiatan dapat muncul baik dari dalam diri sendiri, maupun karena terdapat dorongan orang lain. Akan tetapi, setiap tujuan yang ingin dicapai dari manapun sumbernya dapat mengarahkan kegiatan yang dilakukan. [17]
Tujuan kurikulum memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, karena tujuan akan mengarahkan semua kegiatan pendidikan dan komponen-komponen kurikulum lainnya. Oleh karena itu, merumuskan kurikulum harus mempertimbangkan beberapa hal:
(a)    Didasari oleh perkembangan tuntutan, kebutuhan dna kondisi masyarakat,
(b)   Didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis, terutama falsafah Negara atau yang mendasari suatu pendidikan tersebut.[18]
tujuan kurikulum pada hakikatnya, adalah tujuan dari setiap program yang akan diberikan kepada siswa atau oeserta didik. Mengingat kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, maka tujuan pendidikan kurikulum harus dijabarkan dan disesuaikan dengan tujuan pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan Nasional yaitu sebagaimana dikehendaki oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah, “Mengingat kualitas manusia Indonesia, yakni manusia yang beriman dan bertakwaa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.” Oleh karena itu, tujuan kurikulum pada setiap satuan pendidikan, harus mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.
Tujuan kurikulum terbagi ke dalam tiga tahap, tujuan nasional, tujuan institutional dan tujuan kurikuler. Tjuan nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional berdasarkan falsafah Negara, sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang sisdiknas. Tujuan institusional adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu institusi pendidikan sebagai penyelenggara pendidikan. Sedangkan tujuan kurikuler adalah tujuan yang hendak dicapai  oleh suatu program studi, bidang studi atau mata pelajaran, yang disusun mengacu atau berdasarkan tujuan institusional dan tujuan  pendidikan nasional.
Mata pelajaran yang di susun atau disajikan pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah (SD/MI/MTS/SMP/SMA/MA) dikelompokkan ke dalam beberapa mata pelajaran utama, yakni pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, seni dan budaya, pendidikan jasmani dan olahraga, dan muatan local.
Dari setiap mata pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, tentunya memiliki karakteristik dan tujuan tersendiri dan berbeda dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mata ajaran yang lainnya. Tujuan mata ajaran merupakan penjabaran dari tujuan kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Sebagai contoh, tujuan mata ajaran agama Islam di sekolah atau madrasah sebagaimana dikatakan oleh Abdul Majid dan Dian Andayani adalah, untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui pemberian  dan pemupukan  pengetahuan, penghayatan dan pengalaman serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketakwaannya, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi.[19]
Dari pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa tujuan kurikulum pendidikan merupakan suatu acuan dan arahan yang harus dirumuskan secara jelas dan terencana. Hal ini karena tujuan kurikulum merupakan bagian komponen kurikulum pendidkan yang dapat mempengaruhi terhadap komponen kurikulum lainnya. Karena semua komponen dalam perumusannya akan mengacu pada tujuan kurikulum, baik tujuan nasional, institusional maupun tujuan kurikuler, yakni tujuan untuk masing-masing satuan mata pelajaran yang disajikan pada masing-masing satuan pendidikan, baik sekolah maupun madrasah.
2.      Materi
Materi atau program dalam kurikulum pada hakikatnya adalah isi kurikulum atau konten kurikulum itu sendiri. Pemilihan dan penentuan materi disesuaikan dengan tujuan yang telah di rumuskan dan ditetapkan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sikdisnas telah ditetapkan, bahwa isi kurikulum merupakan bahan kajian dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sesuai denganrumusan tersebut, isi kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.       Materi kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri atas bahan kajian atau topic-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh peserta didik dalam proses pembelajaran.
b.      Materi kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan. Perbedaan ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan tujuan satuan pendidikan tersebut.
c.       Materi kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ini berarti tujuan pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui penyampaian materi.[20]
Oleh karena itu, materi kurikulum sebagaimana dikatakan oleh Nana Syaodih Sukmadinata harus mengandung beberapa aspek tertentu sesuai dengan tujuan kurikulum, yang meliputi:
a.       Teori, ialah seperangkat konstruk atau konsep, definisi dan proporsi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan-hubungan antara variable-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan geajala tersebut.
b.      Konsep, adalah suatu abstraksi yang dibentuk oleh generalisasi dari kekhususan-kekhususan. Konsep adalah definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
c.       Generalisasi, adalah kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d.      Prinsip, adalah ide utama, pla skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep.
e.       Prosedur, adalah suatu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan oleh siswa.
f.       Fakta, adalah sejumlah informasi khusus dan materi yang dianggap penting terdiri dari terminology, orang dan tempat dan kejadian.
g.      Istilah, adalah kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenankan dalam materi.
h.      Contoh atau ilistrasi, ialah suatu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pengertian tentang suatu kata dalam garis besarnya.
i.        Definisi, adalah penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal atau suatu kata dalam garis besarnya.
j.        Proporsi, adalah suatu pernyataan atau theorem, atau pendapat yang tak perlu diberi argumentasi. Proporsi hamper sama dengan asumsi dan paradigma.[21]
Selanjutnya, isi kurikulum juga harus berkenaan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar yang harus diberikan kepada siswa untuk mencapau tujuan pendidikan. Mata pelajaran sebagai isi kurikulum, secara garis besar dibagi dalam tiga kategori besar yaitu pengetahuan benar-salah (logika), pengetahuan baik buruk (etika), dan pengetahuan indah- jelek (estetika/seni). Ketiga hal tersebut, menurut Nana Sudjana dapat dioperasionalkan dalam mata pelajaran di antaranya.
a.       Mata pelajaran umum dan mata pelajaran khusus. Hal ini berkenaan dengan pengetahuan yang menjadi milik umum atau diperlukan oleh kebanyakan orang, seperti: ilmu social, budaya, pemerintahan dan bahasa. Sedangkan mata pelajaran khusus ialah berkenaan dengan pengetahuan yang diperlukan untuk keperluan hidup manusia  secara khusus, seperti untuk memiliki kerja.
b.      Mata pelajaran deskriptif, yang berisikan fakta dan prinsip. Fakta berkenaan dengan hal-hal langsung dapat diamati. Misalnya striktur tumbuhan,binatang klasifikasi dan fungsinya.
c.       Mata pelajaran normative, yang aturan permainan, norma dan aturan yang digunakan untuk mengadakan pilihan  moral atau etika (baik-buruk), atau mencerminkan ukuran nilai, seperti mata pelajaran agama, etika, budi pekerti.
Ditinjau dari fungsi mata pelajaran dari dalam struktur kurikulum dapat dikategorikan sebagai berikut:
a.       Pendidikan umum, yakni mata-mata pelajaran yang diberikan kepada siswa dengan tujuan membina para siswa menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung jawab sesuai dengan falsafah bangsanya. Mata pelajaran atau bidang studi yang termasuk di dalamnya antara lain agama pelajaran, olah raga dan kesehatan, kesenian.
b.      Pendidikan akademik, yakni mata-mata pelajaran yang bertujuan membina kemampuan intelektual para siswa atau peserta didik sebagai dasar bagi pengembangan pendidikan selanjutnya. Misalnya, mata pelajaran matematika, IPA, IPS, bahasa dan yang lainnya, sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya.
c.       Pendidikan keahlian atau profesi, yakni mata-mata pelajaran yang bertujuan membina para siswa menjadi tenaga-tenaga semi professional dibidangnya sebagai dasar memasuki dunia pekerjaan. Misalnya, mata pelajaran kependidikan bagi siswa sekolah pendidikan guru, dan Ekonomi bagi  SMEA dan lain-lain.
d.      Pendidikan keterampilan, yakni mata-mata pelajaran yang diberikan kepada siswa dengan tujuan memberikan beberapa keterampilan khusus yang dipandang berguna bagi kehidupan siswa dikemudian hari. [22]
Adapun criteria yang digunakan dalam memilih materi atau isi kurikulum antara lain:
Pertama, mata pelajaran dalam rangka pengetahuan keilmuan. Artinya mata pelajaran yang dipilih sebagai isi kurikulum harus jelas kedua-duanya dalam konteks pengetahuan ilmiah sehingga jelas apa yang harus dipelajari (ontologi), jelas bagaimana mempelajari metodenya (epistemologi) dan jelas manfaatnya bagi anak didik manusia. (aksiologi).
Kedua, mata pelajaran harus tahan diuji. Artinya, mata pelajaran tersebut diperkirakan bias bertahan sebagai pengetahuan ilmiah dalam kurun waktu tertentu sehingga kelangsungannya relative lama tidak lekas berubah dan diganti oleh pengetahuan lain.
Ketiga, mata pelajaran harus memiliki kegunaan (fungsional) bagi peserta didik dan masyarakat pada umumnya. Maksudnya, mata pelajaran yang dipilih bermanfaat dan memiliki kontribusi tinggi terhadap perkembangan peserta didik dan perkembangan masyarakat.
Menurut Sudjana, isi kurikulum harus dapat menentukan berhasil tidaknya suatu tujuan. Adapun isi kurikulum itu adalah sebagai berikut:
a.       Isi kurikulum harus sesuai tepat dan bermakna bagi perkembangan siswa atau peserta didik. Artinya, sejalan dengan tahap perkembangan anak.
b.      Isi kurikulum harus mencerminkan kenyataan social, artinya sesuai dengan tuntutan hidup nyata dalam masyarakat.
c.       Isi kurikulum dapat mencapai tujuan yang komprehensif, artinya mengandung aspek intelektual, moral, dan social secara seimbang (balance).
d.      Isi kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan uji, artinya tidak cepat lapuk hanya karena perubahan tuntutan hidup sehari-hari.
e.       Isi kurikulum harus mengandung bahan pelajaran yang jelas, teori, prinsip, konsep yang terdapat di dalamnya bukan hanya sekedar onformasi factual.
f.       Isi kurikulum harus dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Isi kurikulum disusun dalam bentuk program pendidikan yang nantunya dijabarkan dan dilaksanakan melalui proses pengajaran/pengalaman belajar anak didik. [23]
3.      Metode
Istilah metode secara sederhana sering diartikan cara yang cepat dan tepat. Secara etimologis, kata metode berasal dari kata meta dan hodos yang sering diartikan dengan melalui dan jalan dalam mengerjakan sesuatu. Dalam bahasa kamus bahasa Arab metode dikenal dengan  istilah thoriqah jamaknya thuruq yang berarti langkah-langkah strategi untuk melakukan suatu pekerjaan.[24] Akan tetapi jika dipahami dari asal kata method ini mempunyai pengertian yang lebih khusus, yakni cara yang tepat dan cepat dalam mengerjakan sesuatu. Ungkapan cara yang paling tepat dan cepat ini membedakan dengan istilah way yang berate cara juga.[25]
Karena secara etimologis metode sering diartikan sebagai cara yang paling tepat dan cepat, maka ukuran kerja dalam satu metode harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah. Oleh karena itu menurut Ahmad Tafsir suatu metode senantiasa hasil eksperimen yang telah teruji.[26] Berdasarkan uraian ini, maka metode pendidikan adalah cara yang paling tepat dan cepat  dalam mengajarkan pendidikan. Dalam pemakaiannya, kata tepat dan cepat sering diungkapkan dengan istilah efektif dan efisien. Maka metode dipahami sebagai cara paling efektif dan efisien dalam mengerjakan sesuatu materi pengajaran. Pengajaran yang efektif artinya pengajaran dapat dipahami peserta didik secara sempurna. Sedangkan pengajaran yang efisien ialah pengajaran yang tidak memerlukan waktu dan tenaga yang banyak.
Adapun pengertian metode secara terminology para ahli berbeda pendapat. Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengartikan metode sebagai suatu cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.[27] Menurut Oemar Hamalik metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan  materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum.[28] Pendapat lain dikatakan oleh Al-Abrasyi mengatakan metode ialah suatu jalan yang diikuti untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam segala macam mata pelajaran.[29]
Hasan Langgulung berbendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek  pokok yaitu, pertama, sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengaku yang mengaku sebagai hamba Allah (‘Abdullah). Kedua, berkenaan dengan metode-metode yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dan ketiga, membicarakan tentang pergerakan (motivation) dan disiplin dalam istilah Al-Qur’an disebut ganjaran (shawab) dan hukuman (iqab).[30]
Suatu metode mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam proses pembelajaran. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Dewasa ini, keaktifan siswa belajar mendapat tekanan utama dibandingkan dengan keaktifan siswa yang bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Karena itu, istilah metode lebih menekankan pada kegiatan guru, selanjutnya diganti dengan istilah strategi pembelajaran yang menekankan pada kegiatan siswa. Metode atau strategi pembelajaran, menempati fungsi yang penting dalam kurikulum, karena memuat tugas-tugas yang perlu dikerjakan oleh siswa dan guru. Karena itu, penyusunannya hendaknya berdasarkan analisis tugas yang mengacu pada tujuan kurikulum dan berdasarkan perilakuawal siswa. Dalam hubungan ini, ada tiga alternative pendekatan yang dapat digunakan, yakni:
a.       Pendekatan yang berpusat pada mata pelajaran, di mana materi pembelajaran terutama, bersumber dari mata ajaran. Penyampaiannya dilakukan melalui komunikasi antara guru dan siswa. Guru sebagai penyampai pesan atau komunikator, siswa sebagai penerima pesan, bahan pelajaran adalah pesan itu sendiri. Dalam rangkaian komunikasi tersebut dapat digunakan berbagai metode mengajar.
b.      Pendekatan yang berpusat pada siswa. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan kebutuhan, minat dan kemampuan siswa. Dalam pendekatan ini lebih banyak digunakan metode dalam rangka individualisasi pembelajaran. Seperti belajar mandiri, belajar moduler, paket belajar dan sebagainya.
c.       Pendekatan yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Pendekatan ini bertujuan mengintegritaskan sekolah dan masyarakat dan untuk memperbaiki kehidupan masyarakat. Prosedur yang ditempuh ialah dengan mengundang masyarakat ke sekolah atau siswa berkunjung ke masyarakat. Metode yang digunakan terdiri dari karyawisata, narasumber, kerja pengalaman, survey, proyek pengabdian/pelayanan masyarakat.
Metode yang diterapkan di Barat, hamper sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta didik, para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator, ataupun hanya sebagai instruktur. System yang cenderung dan mengarahkan kepada anak didik sebagai pusat (child centre) ini sangat menghargai adanya perbedaan individu para peserta didik (individual differences). Hal ini menyebabkan para guru hanya bersikap merangsang dan mangarah para siswa mereka untuk belajar dan mereka diberi kebebasan, sedangkan pembentukan karakter hamper kurang menjadi perhatian guru.
Upaya guru untuk memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didiknya adalah disesuaikan pula dengan tuntutan agama. Jadi, dalam berhadapan dengan peserta didiknya ia harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikan kepada mereka itu supaya mudah diterima, tidaklah cukup dengan bersikap lemh lembut saja. Akan tetapi ia harus memikirkan metode-metode yang akan digunakannya, seperti memilih waktu yang tepat, materi yang cocok, pendekatan yang baik, efektivitas penggunaan metode dan sebagainya.
Berangkat dari hal tersebut di atas,  seorang guru dituntut agar mempelajari berbagai metode yang digunakan dalam mengajarkan suatu mata pelajaran tertentu, seperti bercerita, mendemonstrasikan, memecahkan masalah (problem solving), mendiskusikan yang digunakan oleh ahli pendidikan Islam dari zaman dahulu sampai sekarang mempelajari prinsip-prinsip metodologi dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu, guru dituntut untuk memiliki kecermatan, kecerdikan, dan hati-hati dalam memilih metode karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kefektifan dalam menyampaikan bahan ajar. Dan secara prinsip dalam penggunaan metode tersebut bias dilakukan secara komnbinasi.
4.      Evaluasi
Kata evaluasi berasal dari kata to evaluate yang sering diartikan dengan menilai. Istilah nilai (value) pada mulanya dipopulerkan oleh filosof, dan Plato-lah yang mula-mula mengemukakannya. Penilaian dalam pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut Ilmu jiwa evaluasi berarti menetapkan fenomena yang dianggap berarti di dalam hal yang sama berdasarkan suatu standar.[31]
Seuharsimi Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan ini, yaitu pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantatif. Penilaian ini adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk. Penilaian ini bersifat kualitatif. Sedangkan adalah mencakup pengukuran dan penilaian.[32]
Evaluasi merupakan suatu bagian komponen kurikulum. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan informasi itu dapat dibuat keputusan tentang kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbingan yang dilakukan.
Evaluasi kurikulum dimaksudkan menilai sesuatu kurikulum sebagai program pendidikan untuk menentukan efisiensi,efektivitas, relevansi dan produktivitas program dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Efisiensi berkenaan dengan penggunaan waktu, tenaga, sarana dan sumber-seumber lainnya secara optimal. Efektivitas berkenaan dengan pemilihan atau penggunaan cara atau jalan utama yang paling tepat dalam mencapai tujuan. Relevansi berkenaan dengan kesesuaian suatu program dan pelaksanaannya dengan tuntutan dan kebutuhan, baik dari kepentingan masyarakat maupun peserta didiknya. Sedangkan produktivitas berkenaan dengan optimalnya hasil yang dicapai dari suatu program. Menurut  Nana Sudjana, dalam kurikulum itu ada beberapa aspek yang perlu di evaluasi, yaitu program pendidikan, meliputi penilaian terhadap tujuan, isi program dan strategi pembelajaran.[33]
Untuk melakukan evaluasi tersebut perlu disandarkan pada prinsip tujuan yang jelas, realism, ekologi, operasional, kualifikasi, keseimbangan antara kurikulum nyata dan ideal, dan hubungan keseimbangan. Dalam rangka menerapkan prinsip keadilan, keobjektifan, dan keikhlasan evaluasi pendidikan bertujuan untuk mengetahui atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang diperoleh peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
a.       Mengetahui prestasi hasil belajar peserta didik guna menetapkan keputusan apakah bahan pembelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan. Dengan demikian, maka prinsip long life education benar-benar berjalan secara berkesinambungan.
b.      Mengetahui efektivitas cara belajar dan mengajar apakah yang telah dilakukan guru benar-benar tepat atau tidak, baik yang berkenaan dengan sikap guru maupun sikap peserta didik.
c.       Mengetahui kelembagaan guna menetapkan apakah yang tepat mewujudkan persaingan sehat, dalam rangka berpacu dalam prestasi.
d.      Mengetahui sejumlah mana kurikulum tersebut telah dipenuhi dalam proses kegiatan pembelajaran di sekolah atau madrasah.
e.       Mengetahuo pembiayaan yang dibutuhkan dalam berbagai kebutuhan baik secara fisik seperti fasilitas ruang, perpustakaan, honorarium guru, dan lain-lain, maupun kebutuhan secara psikis, seperti ketenangan, kedamaian, kesehatan, keharmonisan dan lain sebagainya.[34]
Dengan beberapa tujuan tersebut, evaluasi kurikulum akan berfungsi sebagai umpan balik (feed back) terhadap kegiatan pendidikan. Umpan balik ini berguna untuk:
a.       Perbaikan, yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen pendidikan, termasuk perbaikan perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
b.      Penyucian, yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen pendidikan. Artinya melihat kembali8 program-program pendidikan yang dilakukan, apakah program itu penting atau tidak dalam kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang dianggap tidak penting atau menyimpang dari program semula maka program tersebut harus dihilangkan dan dicarikan solusi yang cocok dengan program semula.
c.       Pembaharuan, yaitu memodernisasikan semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan, baik untuk kepentingan internal maupun eksternal, maka kegiatan itu harus diubah dan dicarikan penggantinya yang lebih baik. Dengan kegiatan ini maka pendidikan dapat dimobilisasi dan dinamisasi untuk lebih maju.
d.      Masukan, yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa buku rapor, ijazah, piagam dan lain sebagainya.[35]
C.    Fungsi dan Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Sebagaimana dikatakan di muka, bahwa kurikulum memegang peranan penting dalam pendidikan. Karena kurikulum akan membawa dan membentuk pendidikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Atau dengan kata lain, jika kita ingin melihat bagaimana masa depan pendidikan, maka lihatlah kurikulumnya.
Secara ringkas, Majid mengemukakan tiga fungsi kurikulum, dengan berfokus pada tiga aspek: pertama, bagi sekolah yang bersangkutan, kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pembelajaran sehari-hari. Kedua, bagi tataran sekolah, yaitu sebagai pemelihara proses pendidikan dan penyiapan tenaga kerja. Ketiga, bagi konsumen, kurikulum berfungsi sebagai keikutsertaan dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan program serasi.
Selain itu, fungsi lain dari kurikulum adalah tidak hanya terkait dengan mereka yang berada di dalam lingkungan sekolah saja, tetapi fungsi-fungsi kurikulum juga terkait dengan berbagai pihak di luar lingkungan sekolah, seperti para penulis buku ajar dan bahkan para masyarakat (stakeholder). Bahkan  sekarang ini, penyusunan kurikulum justru melibatkan berbagai lapisan (stakeholder) yang memang secara langsung atau tidak langsung akan turut mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberlakuan sebuah kurikulum.[36]
Menurut Dakir bagi para penyusun (penulis) buku ajar, memahami kurikulum merupakan keharusan yang bersifat mutlak, karena untuk dapat menulis buku apa yang sesuai dengan kehendak kurikulum, maka cara satu-satunya adalah membaca dan memahami kurikulum sendiri. Sebagai penulis buku ajar semestinya mempelajari terlebih dahulu kurikulum yang berlaku saat ini. Untuk membuat berbagai pokok bahasan maupun sub pokok bahasan, hendaknya penulis buku ajar membuat analisis instruksional terlebih dahulu. Kemudian menyusun garis-garis besar untuk mata pelajaran tertentu, baru berbagai sumber bahan yang relevan.
Dengan menggunakan kurikulum yang berlaku sebagai pedoman, buku ajar yang ditulis dapat mencapai sasaran dan tujuan pembelajarn sebagaimana yang telah tertuang di dalam kurikulum. Buku ajar yang disusun dengan baik dan sesuai dengan kurikulum yang berlaku, akan menjadi pedoman bagi guru terhadap buku ajar yang digunakannya, sehingga tidak menimbulkan keracunan tehadap bahan yang diajarkan.
Bagi guru mata pelajaran, kurikulum dapat menjadi pedoman. Kurikulum bagi seorang guru ibaratkan kompas, yakni kurikulum adalah pedoman bagi guru dalam usaha kegiatan belajar mengajar. Seperti diketahui bahwa setiap proses pembelajaran memiliki target capaian berupa tujuan. Dengan kata lain, tujuan pendidikan dan pengajaran telah harus diketahui oleh guru sebelum mengajar. Oleh karena itu, sebelum melakukan proses pembelajaran, guru harus sudah mempersiapkan segala sesuai yang dibutuhkan, termasuk strategi yang tepat dari mata pelajaran yang akan disajikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Abdurrahman mengemukakan, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah ditetapkan, diperlukan adanya strategi pembelajaran yang tepat. Maka dengan demikian, harus dilakukan telaah, perkiraan dan perencanaan yang baik. Bagi guru baru sebagaimana dikatakan oleh Dakir bahwa sebelum mengajar pertama-tama yang perlu ditanyakan adalah kurikulumnya. Setelah itu barulah garis-garis besar program pengajaran (GBPP) dan selanjutnya guru mencari berbagai sumber yang terkait dengan mata pelajaran yang diajarkannya.[37]
D.    Prinsip Pengembangan kurikulum Pendidikan
Para pengembang kurikulum pendidikan di sekolah, hendaknya memperlihatkan beberapa prinsip utama dalam pengembangan kurikulum. Menurut Oemar Hamalik paling tidak terdapat delapan prinsip pengembanagn kurikulum, yakni:[38]
1.)    Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
Pengembangan kurikulum pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang bertitik tolak dari tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengandung aspek-aspek pengetahuan (knowledge). Keterampilan (skill), sikap (sttitude) dan nilai (value), yang selanjutnya menumbuhkan perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
2.)    Prinsip Relevansi (kesesuaian)
Pengembangan kurikulum pendidikan yang meliputi tujuan, isi dan sitem penyampaiannya harus relevan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, kebutuhan satuan pendidikan, tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik, perkembangan intelektualnya, kebutuhan jasmani dan rohani, serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
3.)    Prinsip Efisiensi dan Efektivitas
Perkembangan kurikulum pendidikan harus mempertimbangkan efisiensi dalam pendayagunaan dana, waktu, tenaga dan sumber-sumber yang tersedia pada satuan pendidikan agar mencapai hasil yang optimal. Dana yang terbatas terus digunakan sedemikian rupa dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi peserta didik juga terbatas harus dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan mata pelajaran dan bahan pelajaran yang diperlukan.
Selain itu, tenaga kependidikan juga sangat terbatas baik dalam jumlah maupun dalam mutunya, hendaknya didayagunakan secara efisien untuk mendukung dan melaksanakan proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan dan sumber keterbacaan, harus digunakan secara tepat guna oleh peserta didik dalam rangka pembelajaran yang kesemuannya demi meningkatkan efektivitas dan efisiensi atau keberhasila peserta didik dalam belajar.[39]
4.)    Prinsip Fleksibilitas
Pengembangan kurikulum pendidikan yang fleksibel akan memberikan kemudahan dalam menggunakan, diubah, dilengkapi, atau dikurangi berdasarkan tuntutan keadaan dan kemampuan satuan pendidikan. Kurikulum pendidikan hendaknya menjaga fleksibilitas dalam pelaksanaannya, sehingga tidak menyebabkan kekakuan yang pada akhirnya tidak memiliki makna.
5.)    Prinsip Berkesinambungan
Pengembangan kurikulum pendidikan hendaknya disusun secara berkesinambungan. Artinya bagian-bagian, aspek-aspek, materi atau bahan kajian disusun secara berurutan, tidak terlepas-lepas satu sama lain saling keterkaitan memiliki hubungan fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dan satuan pendidikan.
6.)    Prinsip Keseimbangan
Pengembangan kurikulum pendidikan juga selain  memperhatikan kesinambungan juga harus memperhatikan keseimbangan (balance) secara proporsional dan fungsional antar bagian program, sub program,, antara semua mata pelajaran, dan antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Dengan adanya keseimbangan tersebut pada gilirannya diharapkan terjadi perpaduan yang lengkap dan menyeluruh, satu sama lainnya saling memberikan sumbangannya terhadap perkembangan pribadi peserta didik.
7.)    Prinsip Keterpaduan
Pengembangan kurikulum pendidikan karakter juga harus  disusun dan dirancang serta dilaksanakan berdasarkan prinsip keterampilan. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topic dan konsistensi antara unsure-unsurnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua pihak, baik kalangan praktisi maupun akademisi, sampai pada tingkat intersektoral. Dengan adanya keterpaduan ini diharapkan akan terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh. Di samping itu pula dilaksanakan keterpaduan dalam proses pembelajarannya, baik dalam interaksi antar peserta didik dan guru maupun antara teori dan praktik.
8.)    Prinsip Mengedepankan Mutu
Pengembangan kurikulum pendidikan juga harus beroeientasi pada pendidikan dan mutu pendidikan. Pendidikan mutu berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu. Sedangkan mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas. Pendidikan yang bermutu sangat ditentukan oleh derajat mutu guru (tenaga pendidik), proses pembelajaran, peralatan atau media yang lengkap dan memadai. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan criteria tujuan pendidikan Nasional yang diharapkan.[40]
E.     Disain dan Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Secara sederhana desain dapat dimaknai sebagai rancangan, pola atau model. Berdasarkan pengertian tersebut, mendesain kurikulum  berarti menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi satuan pendidikan. Tugas dan peran desainer kurikulum sama seperti seorang arsitektur. Sebelum ia menentukan bahan dan cara mengonstruksi bangunan yang tepat, terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan dibangun. Hal ini agar bangunan kurikulum yang dibuat memiliki makna.[41]
Para ahli kurikulum telah banyak merumuskan macam-macam desain pengembangan kurikulum. Manakala kita kaji desain pengembangan kurikulum yang dikemukakan para ahli kurikulum itu memiliki kesamaan-kesamaan. Kusman menyebutkan beberapa desain pengembangan kurikulum sebagai hasil  kajian dari beberapa sumber, di antaranya:
1.)    Desain kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu
Pengembangan desain kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu ini adalah berawal dari sebuah asumsi, bahwa fungsi sekolah pada dasarnya untuk mengembangkan kamampuan berpikir peserta didik. Maka desain kurikulum model ini dinamakan desain kurikulum subjek akademis. Menurut Longstreet sebagaimana yang dikutip oleh Rusman desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu. Penekanannya diarahkan untuk pengembangan intelektual peserta didik.
Model kurikulum ini dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Mereka menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai oleh peserta didik baik terkait data atau fakta, konsep maupun teori yang ada dalam setiap disiplin ilmu mereka masing-masing. Materi pembelajaran tentu saja disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Menurut Rusman paling tidak terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu:[42]
a.)    Subject centered curriculum design
Pada Subject centered curriculum design, bahan atau isi kurikulum sidudun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah. Misalnya mata pelajaran Sejarah, Pendidikan Kewarganegaraan, Kimia, Fisika, Matematika, Agama, Bahasa dan lain sebagainya. Mata pelajaran-mata pelajaran itu seolah-olah tidak berhubungan satu sama lain. Pada pengembangan kurikulum di dalam kelas atau pada kebiasaan belajar mengajar, setiap guru hanya bertanggungjawab pada mata pelajaran yang diberikannya. Kalupun mata pelajaran itu diberikan oleh guru yang sama, maka hal ini juga dilaksanakan secara terpisah-pisah. Oleh karena organisasi bahan atau isi kurikulum berpusat pada mata pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulum juga dinamakan separated subject curriculum.
b.)    Correlated curriculum design
Pada organisasi Correlated curriculum design ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata pelajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan/kesamaan atau mata pelajaran sejenis dikelompokkan sehingga menjadi satu bidang studi, seperti misalnya mata pelajaran Biologi, Kimia dan fisika dikelompokkan menjadi satu bidang studi IPA.
c.)    Integrated curriculum design
Pada organisasi kurikulum yang menggunakan model Integrated curriculum design, tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidang studi. Maka dengan demikian belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit. Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akan tetapi juga mencari dan menganalisis fakta sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan peserta didik tidak hanya terjadi pada segii intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti, sikap, emosi atau keterampilan.[43]
2.)    Desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat
Asumsi yang mendasari bentuk desain kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari sekolah adalah melayani kebutuhan masyarakat. Karena kurikulum pada dasarnya adalah jawaban atas  berbagai kebutuhan masyarakat akan pendidikan. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam mendisain isi kurikulum.
Contoh desain kurikulum seperti ini dikembangkan oleh Smith Staley dan Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamentals of Curriculum atau dalam Curriculum Theory yang disusun oleh Beauchman. Sebagaimana yang dilansir oleh Rusman, mereka merupakan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok social untuk dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah. Artinya, permasalahan yang dihadapi dan dibutuhkan oleh suatu kelompok social, harus menjadi bahan kajian peserta didik di sekolah.[44]
Menurut Rusman paling tidak ada tiga perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat, yaitu:
a.)    The status quo perspective
Rancangan kurikulum ini diarahkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Dalam perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Yang dijadikan dasar oleh para perancang kurikulum adalah aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
Di samping kegiatan-kegiatan yang harus dikuasai seperti apa yang dilakukan oleh orang dewasa dalam perspektif ini juga menyangkut desain kurikulum untuk memberikan keterampilan sebagai persiapan untuk bekerja (profesi). Oleh sebab itu, sebelum merancang isi kurikulum, para perancang perlu terlebih dahulu menganalisis kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik sehubungan dengan tugas atau profesi tertentu. Dari hasil analisis itu kemudian dirancang isi kurikulum yang diharapkan lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.
b.)    The reformist perspective
Dalam perspektif ini, kurikulum dikembangkan untuk lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri. Kurikulum reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam perspektif ini harus berperan untuk merubah tatanan social masyarakat. Menurut pandangan para reformis, dalam proses pembangunan pendidikan sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin untuk kepentingan elit yang berkuasa atau untuk mempertahankan struktur social yang sudah ada. Dengan demikian masyarakat lemah akan tetap berada dalam ketidak berdayaan. Oleh sebab itu, menurut aliran reformis, pendidikan harus mampu merubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan nonformal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde social baru berdasarkan pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
c.)    The futurist perpective
Perspektif masa depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi social, yang menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan social, politik dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakan kepentingan social dari pada kepentingan individual. Setiap individu harus mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahan tersebut akan memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.
Tujuan utama kurikulum ini dalam perspektif ini adalah mempertemukan peserta didik dengan masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Para ahli rekonstruksi social percaya, bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapat dipecahkan melalui “Bidang Studi” social saja akan tetapi oleh setiap disiplin ilmu. Berbagai macama krisi yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian dari isi kurikulum.[45]
3.)    Desain kurikulum yang berorientasi pada peserta didik
Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh lepas dari kehidupan anak didik. Kurikulm yang berorientasi pada peserta didik menekankan kepada peserta didik sebagai sumber isi kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan peserta didik sebagai peserta didik.
Anak didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan anak adalah makhluk yang sedang berkembang, yang memiliki minat dan bakat yang beragam. Kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka.
Sementara itu, Nana Syaodih mengajukan delapan model pengembangan kurikulum pendidikan. Kedelapan model tersebut adalah sebagai berikut:[46]
1.      The administrasi model
Model pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling dikenal. Dinamai administrasi model, karena inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum dating dari para administrator pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang administrasinya maka administrator pendidikan, baik dirjen, direktorat atau kepala kantor wilayah pendidikan, membentuk suatu komisi atau tim pengarah pengembangan kurikulum anggotanya terdiri atas para pejabat bawahannya atau para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli ilmu dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan
Tugas tim ini adalah, merumuskan konsep-konsep, landasan-landasan, kebijakan-kebijakan dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Dalam pelaksanaannya, tim tersebut juga dapat membentuk tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para nggota komisi bias berasal dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin ilmu dan perguruan tinggi, guru-guru bidang studi dan senior.
Tim kerja pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang lebih operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun sekuen bahan pelajaran, memilih dan menyusun strategi dan evaluasi pembelajaran, serta menyusun pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru.
Setelah tim itu selesai, kemudian hasilnya dievaluasi oleh tim pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum tersebut derta memerintahkan sekolah-sekolah untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Dari paparan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa model pengembangan kurikulum administrative ini, memiliki kesamaan dengan pengembangan kurikulum yang menganut system pendidikan sentralistik. Karena pengembangan kurikulum cenderung para pejabat pendidika di tingkat atas, sementara sekolah hanya melaksanaknannya, dengan berpedoman pada julak dan junis yang telah ditetapkan.
2.      The grass root model
grass root model (model akar rumput) model adalah kebalikan dari model pengembangan kurikulum pertama, administrative model. Model kedua ini inisiatif pengembangan kurikulum bukan dating dari atas tetapi dating dari bawah, yaitu guru-guru atau sekolah-sekolah. Pengembangan kurikulum yang seperti ini lebih cocok bagi yang menganut system pendidikan atau pengelolaan pendidikan yang bersifat desentralisasi. [47]
Pola pengembangan kurikulum model grass root ini dengan cara seorang guru, kelompok guru atau keseluruhan guru di sekolah mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan ini dapat emnyangkut satu komponen, beberapa komponen atau seluruh komponen kurikulum. Pengembangan kurikulum model ini lebih efektif apabila kondisi sekolah telah memungkinkan, baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas yang tersedia maupun sumber dana yang ada di sekolah yang bersangkutan
Pengembangan kurikulum model grass root inii didasarkan pada pertimbangan bahwa gurulah yang menjadi perencana dan sekaligus pelaksana pendidikan di sekolah, dan dia pula yang lebih tahu tentang kondisi sekolah dan kelasnya. Oleh karenanya dialah yang lebih kompeten menyusun kurikulum bagi peserta didik-peserta didiknya.
3.      Beaucamps system
Nama model pengembangan kurikulum ini diambil dari nama pelaksana pengembangan kurikulum. Karena kurikulum ini dikembangkan oleh Beauchamp yang merupakan seorang ahli kurikulum. Beaucamp mengidentifikasi serangkaian pembuatan  keputusan penting yang berpengaruh terhadap penerapan kurikulum. Menurutnya paling tidak ada lima hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan.
a.)    Menetapkan arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, yakni ruang lingkup pengembangannya.
b.)    Memilih dan menetapkan para personil yang bertugas mengembangkan kurikulum
c.)    Organisasi dan prosedur pengembangan kurikulum.
d.)   Implementasi kurikulum
e.)    Mengevaluasi kurikulum
4.      The demonstration model
Model demonstrasi pada dasarnya bersifat grass root, oleh karenanya terdapat kesamaan antara kedua model ini, yakni sama-sama inisiatif awalnya dari bawah, yakni para guru atau sekolah-sekolah. Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau kelompok guru kerjasama dengan ahli dengan maksud mengadakan perbaikan kurikulum.
Model demonstrasi direncanakan untuk mengantar pengembangan kurikulum dalam sakala kecil. Misalnya hanya mencakup satu atau beberapa sekolah saja. Suatu komponen kurikulum atau keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin merubah atau mengganti kurikulum yang ada, maka pengembangan kurikulum sering mendapat tantangan dari pihak-pihak tertentu yang merasa tidak setuju dengan adanya perubahan tersebut.[48]
Menurut Smith dan Stanley sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih, paling tidak ada dua variasi model demonstrasi ini, pertama, sekelompok guru daru satu sekolah atau beberapa sekolah ditunjuk untuk pelaksanaan suatu percobaan tentang pengembangan kurikulum. Percobaan ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan tentang salah satu atau beberapa segi komponen kurikulu. Hasil penelitian dan pengembangan ini diharapkan dapat digunakan dalam lingkup yang lebih luas. Kedua,  kurang bersifat formal. Beberapa orang guru yang merasa tidak puas dengan kurikulum yang ada, mencoba hal-hal berbeda dengan yang sudah berlaku. Hal ini bertujuan untuk menemukan kurikulum atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untu kemudian digunakan dalam wilayah atau daerah yang lebih luas.
5.      Taba’s inverted model
Model ini merupakan bentuk urutan tradisional yang paling sederhana dari pengembangan kurikulum. Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum dilakukan dengan cara dan urutan sebagai berikut:
a)      Penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar;
b)      Merumuskan desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen tertentu;
c)      Menyusun unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh;
d)     Melaksanakan kurikulum did slam kelas.
Taba yakin bahwa proses deduktif cenderung mengurangi kemampuan inovasi-inovasi kreatif, karena membatasi kemungkinan untuk bereksperimen baik ide maupun konsep pengembangan kurikulum yang mungkin timbul. Menurutnya kurikulum yang dapat mendorong inovasi siswa dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang merupakan inverse atau arah terbalik dari model tradisional.[49]
Terdapat lima langkah pengembangan kurikulum model Taba. Pertama, mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini diadakan penelitian, studi yang seksama tentang hubungan antara teori dengan praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan mengadakan eksperimen di dalam kelas menghasilkan data yang untuk menguji landasan teori yang digunakan. Ada beberapa langkah dalam kegiatan eksperimen ini.
a)      Mendiagnosis kebutuhan;
b)      Merumuskan tujuan-tujuan khusus;
c)      Memilih isi;
d)     Mengorganisasikan isi;
e)      Memilih pengalaman belajar;
f)       Mengorganisasikan pengalaman belajar;
g)      Mengevaluasi;
h)      Melihat sekuen dan keseimbangan.
Kedua, menguji unit eksperimen. Ketiga, mengadakan revisi dan kelima, implementasi dan desiminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru pada daerah-daerah atau sekolah-sekolah yang lebih luas.
6.      Roger’s interpersonal relation model
Nama model ini diambil dari nama penemunya yakni Roger. Meskipun ia bukan ahli dalam bidang pendidikan, akan tetapi, konsep-konsepnya tentang psikoterapi, khususnya dalam membimbing individu, dapat diaplikasikan dalam pendidikan dan pengembangan kurikulum. Karena menurut Crosby sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih, perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Model ini dikembangkan atas kebutuhan menciptakan serta memelihara suasana yang baik terhadap perubahan. Menurut Rogers manusia berada dalam posisi perubahan (becoming, developing, dan changing), sesungguhnya ia memiliki kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, akan tetapi karena ada hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan oranglain untuk membantu memperlancar atau mempercepat perubahan tersebut. Dan tugas ini adalah yang menjadi tugas guru atau pendidik.[50]
Pengembangan kurikulum model Rogers ini terdiri atas empat langkah strategis, yakni:
a)      pemilihan target dari system pendidikan. Dalam penentuan target ini satu-satunya criteria yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk turut serta dalam pengalaman kelompok yang intensif.
b)      Partisipasi guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan oleh para pejabat pendidikan, guru juga ukut serta dalam kegiatan kelompok.
c)      Pengembanagn pengalaman kelompok yang lebih intensif untuk kelas atau unit pelajaran.
d)     Partisipasi orang tua dalam kegiatan kelompok.
Model pengembangan kurikulum ala Rogers ini berbeda dengan model kurikulum lainnya. Seperti tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah serangkaian kegiatan kelompok. Dan ini menjadi cirri has Carl Rogers, sebagai seorang eksistensialis humanis,ia tidak mementingkan formalis, rancangan tertulis, data dan sebagainya. Baginya yang penting adalah aktivitas dan interaksi. Berkat berbagai aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah.
7.      The systematic action-research model
Model kurikulum ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa, perkembangan kurikulum adalah perubahan social. Hal ini mencakup satu proses yang melibatkan orang tua, peserta didik, guru, struktur sitem sekolah, pla hubungan pribadi dan kelompok dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut, maka pengembangan kurikulum model ini menekankan pada tiga hal, hubungan insane, sekolah dan masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan professional.
Menurut model ini, kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang tua, tokoh masyarakat, para pengusaha, peserta didik, guru dan lain-lain, yang mempunyai pandangan tentang bagaimana pendidikan, vagaimana peserta didik belajar, bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Untuk itu perlu menempuh  langkah-langkah sebagai berikut:[51]
1)      Mengadakan  kajian secara seksama tentang masalah –masalah kurikulum berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh dan mengidentifikasi factor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang menyeluruh tentang cara-cara mengatasi masalah tersebut, serta tindakan pertama yang harus dilakukan
2)      Implementasi dari tindakan yang diambil dalam tindakan yang pertama. Tindakan ini segera diikuti dengan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini memiliki beberapa fungsi:
(1)   Menyiapkan data bagi evaluasi tindakan,
(2)   Sebagai bahan pemahaman bagi masalah yang dihadapi,
(3)   Sebagai bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, dan
(4)   Sebagai bahan untuk mengadakan tindakan lebih lanjut.
8.      Emerging technical model
Perkembangan bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi dan efektivitas dalam bisnis juga mempengaruhi dalam pengembangan model-model kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya adalah:
a)      The behavioral analisis model.
b)      The system analisis model
c)      The computer based model.[52]







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara etimologi kata kurikulum diambil dari bahasa Yunani, Curere berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari mulai start sampai finish.  Sedangkan dalam terminology, terdapat perbedaan pengertian kurikulum. Dalam pengertian lama kurikulum didefinisikan sebagai sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan, yang telah tersusun secara sistematis dan logis.
Adapun pengertian pengembangan menunjukkan kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara yang “baru”, di mana selama kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap cara tersebut terus dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum pendidikan. Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu sendiri dan pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi dengan intensif.[53] Murrary Print mengatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah “curriculum development is defined as the process of planning, constructing, implementing and evaluating learning opportunities intended to produce desired changes in leaner’s”. Maksudnya bahwa pengembangan kurikulum adalah, sebagai proses perencanaan, membangun, menerapkan, dan mengevaluasi peluang pembelajarn diharapkan menghasilkan perubahan dalam belajar.
 Komponen-komponen tersebut adalah, tujuan, program atau materi, proses dan evaluasi.
Secara ringkas, Majid mengemukakan tiga fungsi kurikulum, dengan berfokus pada tiga aspek: pertama, bagi sekolah yang bersangkutan, kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pembelajaran sehari-hari. Kedua, bagi tataran sekolah, yaitu sebagai pemelihara proses pendidikan dan penyiapan tenaga kerja. Ketiga, bagi konsumen, kurikulum berfungsi sebagai keikutsertaan dalam memperlancar pelaksanaan program pendidikan dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan program serasi.
Menurut Oemar Hamalik paling tidak terdapat delapan prinsip pengembanagn kurikulum, yakni:

a)      Prinsip Berorientasi Pada Tujuan
b)      Prinsip Relevansi (kesesuaian)
c)      Prinsip Efisiensi dan Efektivitas
d)     Prinsip Fleksibilitas
e)      Prinsip Berkesinambungan
f)       Prinsip Keseimbangan
g)      Prinsip Keterpaduan
h)      Prinsip Mengedepankan Mutu

Kusman menyebutkan beberapa desain pengembangan kurikulum sebagai hasil  kajian dari beberapa sumber, di antaranya:

a)      Desain kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu
b)      Desain kurikulum yang berorientasi pada masyarakat
c)      Desain kurikulum yang berorientasi pada peserta didik

Sementara itu, Nana Syaodih mengajukan delapan model pengembangan kurikulum pendidikan. Kedelapan model tersebut adalah sebagai berikut:

a)      The administrasi model
b)      The grass root model
c)      Beaucamps system
d)      The demonstration model
e)      Taba’s inverted model
f)        Roger’s interpersonal relation model
g)      The systematic action-research model
h)      Emerging technical model

B.     Saran
Dengan berbagai uraian di atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya. Baik dari dosen pembimbing maupun rekan-rekan mahasiswa.



DAFTAR PUSTAKA
Andayani, Abdul Majid dan Dian, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1996
Darajat,  Zakiah, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1996
Gunawan, Heri, Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi, Bandung: Alfabeta, 2012
Hamalik,  Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembanagn Kurikulum, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Hasan Langgulung, 2004, h. 26
Majid,  Abdul, Perencanaan Pembelajaran,Mengembangkan Kompetensi Guru,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
Mudzakir, Abdul Mujib dan Jusuf,  Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2005
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005
Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Ushul Al-Atrbiyah al-Islamiyah, Bairut: Daar al-Fikr, tt Mulyasa, Endang, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu Panduan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006Nasution, S. Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2005
Murrary Print, Curriculum Design and Development, Australia: Allen & Unwin, 1993
Nahlawi, Abdurrahman Al-,  Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia, 2005
Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Jakarta: Rajawali Press,
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002
Sukmadinata, Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Tafsir,  Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004



[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 53
[3] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002), h. 2
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1
[5] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembanagn Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h. 1
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 3
[7] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 9
[8] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 9
[9] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 183
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi aksara, 1996), h. 122
[11] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 18
[12] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir,  Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), h.122
[13] Endang Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu Panduan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 46
[14] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran,Mengembangkan Kompetensi Guru,  (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 34
[15] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 5
[16] Murrary Print, Curriculum Design and Development, (Australia: Allen & Unwin, 1993), h. 23
[17] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 29
[18] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 103
[19] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135
[20] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 25
[21] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 35
[22] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, h. 2
[23] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, h. 34-35
[24] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 155
[25] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 8
[26] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 10
[27] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, h. 156
[28] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 26
[29] Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Ushul Al-Atrbiyah al-Islamiyah, (Bairut: Daar al-Fikr, tt), h.267
[30] Hasan Langgulung, 2004, h. 26
[31] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 196
[32] Suharsimi Arikunto, 1999, h. 5
[33] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, h. 12
[34] Arikunto, 1999, h. 13
[35] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di Sekolah, h. 223
[36] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 119-120
[37] Abdurrahman Al-Nahlawi,  Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 93
[38] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 30
[39] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 31
[40] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 32
[41] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum,  ( Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 28
[42] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum,  h. 29
[43] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum,  h. 30
[44] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum,  h. 31
[45] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi, h. 127-129
[46] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 161
[47] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 162
[48] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 163-64
[49] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h.165
[50] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 166-167
[51] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h.168-169
[52] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h.170
[53] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek, h. 5

2 komentar

trimakasih atas infonya.
minta izin copas buat tugas ya... sukses selalu.


EmoticonEmoticon