BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kurikulum merupakan suatu komponen yang sangat
menentukan dalam suatu system pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai system pendidikan, karena
itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan dan sekaligus
sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada semua jenis dan tingkat
pendidikan.
Kurikulum adalah
salah alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yakni manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Pengembangan
kurikulum pendidikan karakter juga harus berorientasi pada pendidikan mutu dan
mutu pendidikaan.
B.
Permasalahan
Dari uraian latar belakang di atas dapat diambil beberapa
pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apa
Pengertian Pengembangan Kurikulum?
2. Apa
Saja Komponen-Komponen Pengembangan Kurikulum?
3. Apa
Fungsi dan Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan?
4. Apa
prinsip Pengembangan kurikulum?
5. Bagaiamana
Disain dan Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pengembangan Kurikulum
Istilah kurikulum sering
dimaknai plan for learning (rencana pendidikan). Sebagai rencana pendidikan
kurikulum memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, urutan isi
dan proses pendidikan.[1]
Secara historis, istilah kurikulum pertama kalinya diketahui dalam kamus Webster (Webster Dictionary) tahun 1856.
Pada mulanya istilah kurikulum digunakan dalam dunia olah raga, yakni suatu
alat yang membawa orang dari start
sampai ke finish. Kemudian pada tahun
1955, istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah
mata pelajaran di suatu perguruan.[2]
Secara etimologi kata kurikulum
diambil dari bahasa Yunani, Curere
berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari mulai start sampai finish.[3]
Pengertian inilah yang kemudian diterapkan dalam bidang pendidikan. Dalam
bahasa arab, kurikulum sering disebut dengan istilah al-manhaj, berarti jalan yang terang yang dilalui manusia dalam
bidang kehidupannya. Maka dari pengertian tersebut, kurikulum jika dikaitkan
dengan pendidikan, menurut Muhaimin, maka berarti jalan terang yang dilalui
oleh pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan,
keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.[4]
Sedangkan dalam terminology,
terdapat perbedaan pengertian kurikulum. Dalam pengertian lama kurikulum
didefinisikan sebagai sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dan
dipelajari oleh peserta didik untuk memperoleh sejumlah pengetahuan, yang telah
tersusun secara sistematis dan logis.[5]
Pendefinisian ini walau terasa kurang tepat, tetapi memang banyak betulnya,
jika ditarik dari asal kata kurikulum di atas tadi, yakni curere yang biasa diartikan dengan jarak yang harus ditempuh oleh
pelari.[6]
Berdasarkan pengertian ini,
sebetulnya ingin mengatakan bahwa kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran
dari sejumlah mata pelajaran yang berada di sekolah atau madrasah yang harus
ditempuh para murid, siswa atau peserta didik untuk mencapai suatu ijazah, juga keseluruhan mata pelajaran
yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan. Pengertian ini terasa masih
sangat semprit, karena kurikulum tidak lain hanya sejumlah materi saja.
Dalam pengertian lain, kurikulum
adalah sesuatu yang direncanakan sebagai pegangan guna mencapai tujuan
pendidikan. Apa yang direncanakan biasanya bersifat idea, suatu cita-cita tentang manusia atau warga Negara yang akan
dibentuk. Kurikulum ini lazim mengandung harapan-harapan yang sering berbunyi muluk-muluk.[7]
Sementara itu, Ramayulis
mendefinisikan bahwa kurikulum merupakan
salah satu komponen yang sangat penting menentukan dalam suatu system
pendidikan, karena itu kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan
pendidikan dan sekaligus sebagai pedoman dalam pelaksanaan pengajaran pada
semua jenis dan tingkat pendidikan.[8]
Sedangkan menurut M. Arifin mendefinisikan kurikulum adalah seluruh bahan
pelajaran yang harus dissajikan dalam proses kependidikan dalam satu system
institutional pendidikan.[9]
Tampaknya dua pengertian tersebut masih terlalu sederhana dan lebih
menitikberatkan pada materi pelajaran semata. Sementara itu, Zakiah Darajat
memandang kurikulum sebagai suatu program yang direncanakan dalam pendidikan
dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.[10]
Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan, bahwa kurikulum merupakan sejumlah mata pelajaran atau
kegiatan yang mencakup program pendidikan agar mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan. Definisi tersebut kemudian berkembang sesuai dengan tuntutan dan
dinamika zaman. Dalam pengertian yang terbaru dan lebih luas, bahwa kurikulum
adalah, serangkaian pengalaman belajar yang diperoleh peserta didik dalam
proses pembelajaran. Salah satu pendukung dari pandangan ini adalah Romine
sebagaimana dikutip oleh Hamalik, bahwa Curriculum
is interpreted to man all of the organized courses, activities and experiences
which pupils have under direction of the school whether in the class room or
not.[11]
Dalam pengertian tersebut terlihat
jelas, bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja
(in the class room), melainkan juga
mencakup kegiatan di luar kelas. Maka dengan demikian tidak ada pemisahan tegas
antara intra dan ekstra kurikulum. Pendek
kata, semua kegiatan yang member pengalaman dalam proses pendidikan atau
belajar bagi peserta didik, pada hakikatnya adalah kurikulum. Oleh karenanya,
dalam pengertian yang sangat luas ini kurikulum sering dimaknai dengan sejumlah
pengalaman belajar yang didapat oleh peserta didik baik di dalam maupun di luar
kelas.
Dalam pengertian lain dikatakan, kurikulum
adalah seperangkat perencanaan dan media untuk mengantar lembaga pendidikan
dalam mewujudkan tujuan lembaga pendidikan yang diinginkan.[12]
Endang Mulyasa mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan
peraturan mengenai tujuan, kompetensi dasar, materi standar, dan hasil belajar,
serta cara yang digunakan sebagai pedoman untuk mencapai tujuan pendidikan.[13]
Dari beberapa definisi di atas,
terdapat berbagai penafsiran dan pemahaman tentang kurikulum, sehingga kita
peroleh penggolongan kurikulum sebagaimana dikatakan Majid, sebagai berikut:
1. Kurikulum
dapat dilihat sebagai produk, yakni
sebagai hasil karya pengembangan kurikulum, biasanya dalam suatu panitia.
Hasilnya dituangkan dalam bentuk buku atau pedoman kurikulum, misalnya berisi
sejumlah mata pelajaran yang harus diajarkan. Inilah yang disebut dengan
dokumen kurikulum.
2. Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai program,
yakni alat yang dilakukan oleh sekolah atau madrasah untuk mencapai tujuannya.
Ini dapat berupa mengajarkan berbagai mata pelajaran, tetapi dapat juga
meliputi segala kegiatan yang dianggap dapat mempengaruhi perkembangan siswa.
Misalnya perkumpulan sekolah, pertandingan, pramuka, warung sekolah dan
lain-lain.
3. Kurikulum
dapat pula dipandang sebagai hal-hal yang diharapkan agar dapat dipelajari oleh
siswa, yakni pengetahuan, sikap, keterampilan tertentu. Apa yang
diharapkan akan dipelajari tidak selalu
sama dengan apa yang benar-benar dipelajari.
4. Kurikulum
sebagai pengalaman siswa. Ketiga
pandangan di atas berkenaan dengan perencanaan kurikulum. Sedangkan pandangan
yang keempat ini mengenai ini mengenai apa yang secara actual menjadi kenyataan
pada setiap siswa. Ada kemungkinan, bahwa apa yang diwujudkan pada diri anak
berbeda dengan apa yang diharapkan menurut rencana.[14]
Adanya berbagai tafsiran tentang
kurikulum, tidak perlu merisaukan, karena justru dapat memberi dorongan untuk
mengadakan inovasi (innovation) untuk
mencari bentuk-bentuk dan model-model kurikulum baru yang sesuai dengan
tuntutan dan perkembangan zaman. Pandangan yang berbeda-beda itu member khazanah tersendiri dalam dunia
pendidikan, dan menjadi lading untuk bertukar pikiran.
Adapun pengertian pengembangan menunjukkan
kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara yang “baru”, di mana selama
kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap cara tersebut terus
dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum pendidikan.
Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu sendiri dan
pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi dengan intensif.[15]
Murrary Print mengatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah “curriculum development is defined as the process
of planning, constructing, implementing and evaluating learning opportunities
intended to produce desired changes in leaner’s”. Maksudnya bahwa
pengembangan kurikulum adalah, sebagai proses perencanaan, membangun,
menerapkan, dan mengevaluasi peluang pembelajarn diharapkan menghasilkan
perubahan dalam belajar.[16]
Berdasarkan teori tersebut, terkait
dengan pengembangan kurikulum KTSP, pengembangan kurikulum merupakan suatu cara
untuk membuat perencanaan, pelaksanaan kurikulum pendidikan pada satuan pendidikan,
agar menghasilkan sebuah kurikulum ideal-operasional, yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhan satuan pendidikan dan daerah masing-masing.
B.
Komponen-Komponen
Pengembangan Kurikulum
Sebagai sebuah
system, kurikulum terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait,
terintegrasi dan tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya, bagaikan dua sisi
mata uang logam. Komponen-komponen tersebut adalah, tujuan, program atau
materi, proses dan evaluasi.
1.
Tujuan
Kurikulum
Secara sederhana
tujuan menurut Zakiah Darajat sering dimaknai sebagai sesuatu yang diharapkan
tercapai setelah melakukan serangkaian proses kegiatan. Dalam setiap kegiatan –
termasuk dalam kegiatan pendidikan – sepatutnya mempunyai tujuan, karena tujuan
akan menentukan arah dan target apa yang hendak dicapai itu dapat diupayakan
dengan maksimal untuk mencapainya. Tujuan suatu kegiatan dapat muncul baik dari
dalam diri sendiri, maupun karena terdapat dorongan orang lain. Akan tetapi,
setiap tujuan yang ingin dicapai dari manapun sumbernya dapat mengarahkan
kegiatan yang dilakukan. [17]
Tujuan kurikulum
memegang peranan yang sangat penting dalam proses pendidikan, karena tujuan
akan mengarahkan semua kegiatan pendidikan dan komponen-komponen kurikulum
lainnya. Oleh karena itu, merumuskan kurikulum harus mempertimbangkan beberapa
hal:
(a) Didasari
oleh perkembangan tuntutan, kebutuhan dna kondisi masyarakat,
(b) Didasari
oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis,
terutama falsafah Negara atau yang mendasari suatu pendidikan tersebut.[18]
tujuan kurikulum
pada hakikatnya, adalah tujuan dari setiap program yang akan diberikan kepada
siswa atau oeserta didik. Mengingat kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan
pendidikan, maka tujuan pendidikan kurikulum harus dijabarkan dan disesuaikan
dengan tujuan pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan Nasional yaitu sebagaimana
dikehendaki oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
adalah, “Mengingat kualitas manusia Indonesia, yakni manusia yang beriman dan
bertakwaa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggungjawab.” Oleh karena itu, tujuan kurikulum pada setiap satuan
pendidikan, harus mengacu pada pencapaian tujuan pendidikan nasional tersebut.
Tujuan kurikulum
terbagi ke dalam tiga tahap, tujuan nasional, tujuan institutional dan tujuan
kurikuler. Tjuan nasional adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional
adalah tujuan yang ingin dicapai secara nasional berdasarkan falsafah Negara,
sebagaimana diamanatkan dalam undang-undang sisdiknas. Tujuan institusional
adalah tujuan yang ingin dicapai oleh suatu institusi pendidikan sebagai
penyelenggara pendidikan. Sedangkan tujuan kurikuler adalah tujuan yang hendak
dicapai oleh suatu program studi, bidang
studi atau mata pelajaran, yang disusun mengacu atau berdasarkan tujuan
institusional dan tujuan pendidikan
nasional.
Mata pelajaran
yang di susun atau disajikan pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah
(SD/MI/MTS/SMP/SMA/MA) dikelompokkan ke dalam beberapa mata pelajaran utama,
yakni pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa, matematika, ilmu
pengetahuan alam, ilmu pengetahuan social, seni dan budaya, pendidikan jasmani
dan olahraga, dan muatan local.
Dari setiap mata
pelajaran sebagaimana disebutkan di atas, tentunya memiliki karakteristik dan
tujuan tersendiri dan berbeda dengan tujuan yang hendak dicapai oleh mata
ajaran yang lainnya. Tujuan mata ajaran merupakan penjabaran dari tujuan
kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional. Sebagai contoh,
tujuan mata ajaran agama Islam di sekolah atau madrasah sebagaimana dikatakan
oleh Abdul Majid dan Dian Andayani adalah, untuk menumbuhkan dan meningkatkan
keimanan melalui pemberian dan
pemupukan pengetahuan, penghayatan dan
pengalaman serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam, sehingga menjadi
manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan dan ketakwaannya,
berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang yang lebih
tinggi.[19]
Dari pemaparan
di atas, dapat diketahui bahwa tujuan kurikulum pendidikan merupakan suatu
acuan dan arahan yang harus dirumuskan secara jelas dan terencana. Hal ini
karena tujuan kurikulum merupakan bagian komponen kurikulum pendidkan yang dapat
mempengaruhi terhadap komponen kurikulum lainnya. Karena semua komponen dalam
perumusannya akan mengacu pada tujuan kurikulum, baik tujuan nasional,
institusional maupun tujuan kurikuler, yakni tujuan untuk masing-masing satuan
mata pelajaran yang disajikan pada masing-masing satuan pendidikan, baik
sekolah maupun madrasah.
2.
Materi
Materi atau
program dalam kurikulum pada hakikatnya adalah isi kurikulum atau konten
kurikulum itu sendiri. Pemilihan dan penentuan materi disesuaikan dengan tujuan
yang telah di rumuskan dan ditetapkan. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sikdisnas telah ditetapkan, bahwa isi kurikulum merupakan bahan kajian
dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan pendidikan yang
bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional.
Sesuai
denganrumusan tersebut, isi kurikulum dikembangkan dan disusun berdasarkan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Materi
kurikulum berupa bahan pembelajaran yang terdiri atas bahan kajian atau
topic-topik pelajaran yang dapat dikaji oleh peserta didik dalam proses
pembelajaran.
b. Materi
kurikulum mengacu pada pencapaian tujuan masing-masing satuan pendidikan.
Perbedaan ruang lingkup dan urutan bahan pelajaran disebabkan oleh perbedaan
tujuan satuan pendidikan tersebut.
c. Materi
kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan. Ini berarti tujuan
pendidikan nasional merupakan target tertinggi yang hendak dicapai melalui
penyampaian materi.[20]
Oleh
karena itu, materi kurikulum sebagaimana dikatakan oleh Nana Syaodih Sukmadinata
harus mengandung beberapa aspek tertentu sesuai dengan tujuan kurikulum, yang
meliputi:
a. Teori, ialah
seperangkat konstruk atau konsep, definisi dan proporsi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi
hubungan-hubungan antara variable-variabel dengan maksud menjelaskan dan
meramalkan geajala tersebut.
b. Konsep,
adalah suatu abstraksi yang dibentuk oleh generalisasi dari
kekhususan-kekhususan. Konsep adalah definisi singkat dari sekelompok fakta
atau gejala.
c. Generalisasi,
adalah kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
d. Prinsip,
adalah ide utama, pla skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan
antara beberapa konsep.
e. Prosedur,
adalah suatu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang
harus dilakukan oleh siswa.
f. Fakta,
adalah sejumlah informasi khusus dan materi yang dianggap penting terdiri dari
terminology, orang dan tempat dan kejadian.
g. Istilah,
adalah kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenankan dalam
materi.
h. Contoh atau
ilistrasi, ialah suatu hal atau
tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau
pengertian tentang suatu kata dalam garis besarnya.
i.
Definisi,
adalah penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal atau suatu
kata dalam garis besarnya.
j.
Proporsi,
adalah suatu pernyataan atau theorem,
atau pendapat yang tak perlu diberi argumentasi. Proporsi hamper sama dengan
asumsi dan paradigma.[21]
Selanjutnya, isi
kurikulum juga harus berkenaan dengan pengetahuan ilmiah dan pengalaman belajar
yang harus diberikan kepada siswa untuk mencapau tujuan pendidikan. Mata
pelajaran sebagai isi kurikulum, secara garis besar dibagi dalam tiga kategori
besar yaitu pengetahuan benar-salah (logika), pengetahuan baik buruk (etika),
dan pengetahuan indah- jelek (estetika/seni). Ketiga hal tersebut, menurut Nana
Sudjana dapat dioperasionalkan dalam mata pelajaran di antaranya.
a. Mata
pelajaran umum dan mata pelajaran khusus. Hal ini berkenaan dengan pengetahuan
yang menjadi milik umum atau diperlukan oleh kebanyakan orang, seperti: ilmu
social, budaya, pemerintahan dan bahasa. Sedangkan mata pelajaran khusus ialah
berkenaan dengan pengetahuan yang diperlukan untuk keperluan hidup manusia secara khusus, seperti untuk memiliki kerja.
b. Mata
pelajaran deskriptif, yang berisikan fakta dan prinsip. Fakta berkenaan dengan
hal-hal langsung dapat diamati. Misalnya striktur tumbuhan,binatang klasifikasi
dan fungsinya.
c. Mata
pelajaran normative, yang aturan permainan, norma dan aturan yang digunakan
untuk mengadakan pilihan moral atau
etika (baik-buruk), atau mencerminkan ukuran nilai, seperti mata pelajaran
agama, etika, budi pekerti.
Ditinjau dari
fungsi mata pelajaran dari dalam struktur kurikulum dapat dikategorikan sebagai
berikut:
a. Pendidikan
umum, yakni mata-mata pelajaran yang diberikan kepada siswa dengan tujuan
membina para siswa menjadi warga Negara yang baik dan bertanggung jawab sesuai
dengan falsafah bangsanya. Mata
pelajaran atau bidang studi yang termasuk di dalamnya antara lain agama
pelajaran, olah raga dan kesehatan, kesenian.
b. Pendidikan
akademik, yakni mata-mata pelajaran yang bertujuan membina kemampuan
intelektual para siswa atau peserta didik sebagai dasar bagi pengembangan
pendidikan selanjutnya. Misalnya, mata pelajaran matematika, IPA, IPS, bahasa
dan yang lainnya, sesuai dengan jenis dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya.
c. Pendidikan
keahlian atau profesi, yakni mata-mata pelajaran yang bertujuan membina para
siswa menjadi tenaga-tenaga semi professional dibidangnya sebagai dasar
memasuki dunia pekerjaan. Misalnya, mata pelajaran kependidikan bagi siswa sekolah
pendidikan guru, dan Ekonomi bagi SMEA
dan lain-lain.
d. Pendidikan
keterampilan, yakni mata-mata pelajaran yang diberikan kepada siswa dengan
tujuan memberikan beberapa keterampilan khusus yang dipandang berguna bagi
kehidupan siswa dikemudian hari. [22]
Adapun criteria
yang digunakan dalam memilih materi atau isi kurikulum antara lain:
Pertama,
mata pelajaran dalam rangka pengetahuan keilmuan. Artinya mata pelajaran yang
dipilih sebagai isi kurikulum harus jelas kedua-duanya dalam konteks
pengetahuan ilmiah sehingga jelas apa yang harus dipelajari (ontologi), jelas bagaimana mempelajari
metodenya (epistemologi) dan jelas
manfaatnya bagi anak didik manusia. (aksiologi).
Kedua,
mata pelajaran harus tahan diuji. Artinya, mata pelajaran tersebut diperkirakan
bias bertahan sebagai pengetahuan ilmiah dalam kurun waktu tertentu sehingga
kelangsungannya relative lama tidak lekas berubah dan diganti oleh pengetahuan
lain.
Ketiga,
mata pelajaran harus memiliki kegunaan (fungsional) bagi peserta didik dan
masyarakat pada umumnya. Maksudnya, mata pelajaran yang dipilih bermanfaat dan
memiliki kontribusi tinggi terhadap perkembangan peserta didik dan perkembangan
masyarakat.
Menurut Sudjana,
isi kurikulum harus dapat menentukan berhasil tidaknya suatu tujuan. Adapun isi
kurikulum itu adalah sebagai berikut:
a. Isi
kurikulum harus sesuai tepat dan bermakna bagi perkembangan siswa atau peserta
didik. Artinya, sejalan dengan tahap perkembangan anak.
b. Isi
kurikulum harus mencerminkan kenyataan social, artinya sesuai dengan tuntutan
hidup nyata dalam masyarakat.
c. Isi
kurikulum dapat mencapai tujuan yang komprehensif, artinya mengandung aspek
intelektual, moral, dan social secara seimbang (balance).
d. Isi
kurikulum harus mengandung pengetahuan ilmiah yang tahan uji, artinya tidak
cepat lapuk hanya karena perubahan tuntutan hidup sehari-hari.
e. Isi
kurikulum harus mengandung bahan pelajaran yang jelas, teori, prinsip, konsep
yang terdapat di dalamnya bukan hanya sekedar onformasi factual.
f. Isi
kurikulum harus dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Isi kurikulum
disusun dalam bentuk program pendidikan yang nantunya dijabarkan dan
dilaksanakan melalui proses pengajaran/pengalaman belajar anak didik. [23]
3.
Metode
Istilah metode
secara sederhana sering diartikan cara yang cepat
dan tepat. Secara etimologis,
kata metode berasal dari kata meta
dan hodos yang sering diartikan
dengan melalui dan jalan dalam mengerjakan sesuatu. Dalam
bahasa kamus bahasa Arab metode dikenal dengan
istilah thoriqah jamaknya thuruq yang berarti langkah-langkah strategi
untuk melakukan suatu pekerjaan.[24]
Akan tetapi jika dipahami dari asal kata method
ini mempunyai pengertian yang lebih khusus, yakni cara yang tepat dan cepat dalam mengerjakan sesuatu. Ungkapan cara yang paling tepat
dan cepat ini membedakan dengan istilah way
yang berate cara juga.[25]
Karena secara
etimologis metode sering diartikan sebagai cara yang paling tepat dan cepat, maka ukuran kerja dalam satu metode harus diperhitungkan
benar-benar secara ilmiah. Oleh karena itu menurut Ahmad Tafsir suatu metode
senantiasa hasil eksperimen yang telah teruji.[26]
Berdasarkan uraian ini, maka metode pendidikan adalah cara yang paling tepat
dan cepat dalam mengajarkan pendidikan.
Dalam pemakaiannya, kata tepat dan cepat sering diungkapkan dengan istilah
efektif dan efisien. Maka metode dipahami sebagai cara paling efektif dan
efisien dalam mengerjakan sesuatu materi pengajaran. Pengajaran yang efektif
artinya pengajaran dapat dipahami peserta didik secara sempurna. Sedangkan
pengajaran yang efisien ialah pengajaran yang tidak memerlukan waktu dan tenaga
yang banyak.
Adapun
pengertian metode secara terminology para ahli berbeda pendapat. Hasan
Langgulung sebagaimana dikutip oleh Ramayulis mengartikan metode sebagai suatu
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan.[27]
Menurut Oemar Hamalik metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan
kurikulum.[28]
Pendapat lain dikatakan oleh Al-Abrasyi mengatakan metode ialah suatu jalan
yang diikuti untuk memberikan pemahaman kepada peserta didik dalam segala macam
mata pelajaran.[29]
Hasan Langgulung
berbendapat bahwa penggunaan metode didasarkan atas tiga aspek pokok yaitu, pertama, sifat-sifat dan kepentingan yang berkenaan dengan tujuan
utama pendidikan Islam, yaitu pembinaan manusia mukmin yang mengaku yang
mengaku sebagai hamba Allah (‘Abdullah).
Kedua, berkenaan dengan metode-metode
yang betul-betul berlaku yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dan ketiga, membicarakan tentang pergerakan
(motivation) dan disiplin dalam
istilah Al-Qur’an disebut ganjaran (shawab)
dan hukuman (iqab).[30]
Suatu metode
mengandung pengertian terlaksananya kegiatan guru dan kegiatan siswa dalam
proses pembelajaran. Metode dilaksanakan melalui prosedur tertentu. Dewasa ini,
keaktifan siswa belajar mendapat tekanan utama dibandingkan dengan keaktifan
siswa yang bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing bagi siswa. Karena itu,
istilah metode lebih menekankan pada kegiatan guru, selanjutnya diganti dengan
istilah strategi pembelajaran yang menekankan pada kegiatan siswa. Metode atau
strategi pembelajaran, menempati fungsi yang penting dalam kurikulum, karena
memuat tugas-tugas yang perlu dikerjakan oleh siswa dan guru. Karena itu,
penyusunannya hendaknya berdasarkan analisis tugas yang mengacu pada tujuan
kurikulum dan berdasarkan perilakuawal siswa. Dalam hubungan ini, ada tiga
alternative pendekatan yang dapat digunakan, yakni:
a. Pendekatan
yang berpusat pada mata pelajaran, di mana materi pembelajaran terutama,
bersumber dari mata ajaran. Penyampaiannya dilakukan melalui komunikasi antara
guru dan siswa. Guru sebagai penyampai pesan atau komunikator, siswa sebagai
penerima pesan, bahan pelajaran adalah pesan itu sendiri. Dalam rangkaian
komunikasi tersebut dapat digunakan berbagai metode mengajar.
b. Pendekatan
yang berpusat pada siswa. Pembelajaran dilaksanakan berdasarkan kebutuhan,
minat dan kemampuan siswa. Dalam pendekatan ini lebih banyak digunakan metode
dalam rangka individualisasi pembelajaran. Seperti belajar mandiri, belajar
moduler, paket belajar dan sebagainya.
c. Pendekatan
yang berorientasi pada kehidupan masyarakat. Pendekatan ini bertujuan
mengintegritaskan sekolah dan masyarakat dan untuk memperbaiki kehidupan
masyarakat. Prosedur yang ditempuh ialah dengan mengundang masyarakat ke
sekolah atau siswa berkunjung ke masyarakat. Metode yang digunakan terdiri dari
karyawisata, narasumber, kerja pengalaman, survey, proyek pengabdian/pelayanan
masyarakat.
Metode yang
diterapkan di Barat, hamper sepenuhnya tergantung kepada kepentingan peserta
didik, para guru hanya bertindak sebagai motivator,
stimulator, fasilitator, ataupun hanya sebagai instruktur. System yang cenderung dan mengarahkan kepada anak didik
sebagai pusat (child centre) ini
sangat menghargai adanya perbedaan individu para peserta didik (individual differences). Hal ini
menyebabkan para guru hanya bersikap merangsang dan mangarah para siswa mereka
untuk belajar dan mereka diberi kebebasan, sedangkan pembentukan karakter
hamper kurang menjadi perhatian guru.
Upaya guru untuk
memilih metode yang tepat dalam mendidik peserta didiknya adalah disesuaikan
pula dengan tuntutan agama. Jadi, dalam berhadapan dengan peserta didiknya ia
harus mengusahakan agar pelajaran yang diberikan kepada mereka itu supaya mudah
diterima, tidaklah cukup dengan bersikap lemh lembut saja. Akan tetapi ia harus
memikirkan metode-metode yang akan digunakannya, seperti memilih waktu yang
tepat, materi yang cocok, pendekatan yang baik, efektivitas penggunaan metode
dan sebagainya.
Berangkat dari
hal tersebut di atas, seorang guru
dituntut agar mempelajari berbagai metode yang digunakan dalam mengajarkan
suatu mata pelajaran tertentu, seperti bercerita, mendemonstrasikan, memecahkan
masalah (problem solving), mendiskusikan yang digunakan oleh ahli pendidikan Islam
dari zaman dahulu sampai sekarang mempelajari prinsip-prinsip metodologi dalam
ayat-ayat Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW.
Oleh sebab itu,
guru dituntut untuk memiliki kecermatan, kecerdikan, dan hati-hati dalam
memilih metode karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kefektifan dalam
menyampaikan bahan ajar. Dan secara prinsip dalam penggunaan metode tersebut
bias dilakukan secara komnbinasi.
4.
Evaluasi
Kata evaluasi
berasal dari kata to evaluate yang
sering diartikan dengan menilai. Istilah nilai
(value) pada mulanya dipopulerkan
oleh filosof, dan Plato-lah yang mula-mula mengemukakannya. Penilaian dalam
pendidikan berarti seperangkat tindakan atau proses untuk menentukan nilai
sesuatu yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Menurut Ilmu jiwa evaluasi
berarti menetapkan fenomena yang dianggap berarti di dalam hal yang sama
berdasarkan suatu standar.[31]
Seuharsimi
Arikunto mengajukan tiga istilah dalam pembahasan ini, yaitu pengukuran, penilaian dan evaluasi. Pengukuran (measurement) adalah membandingkan
sesuatu dengan suatu ukuran. Pengukuran ini bersifat kuantatif. Penilaian ini
adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik dan buruk.
Penilaian ini bersifat kualitatif. Sedangkan adalah mencakup pengukuran dan
penilaian.[32]
Evaluasi
merupakan suatu bagian komponen kurikulum. Dengan evaluasi dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar siswa. Berdasarkan informasi itu dapat dibuat keputusan tentang
kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbingan yang
dilakukan.
Evaluasi
kurikulum dimaksudkan menilai sesuatu kurikulum sebagai program pendidikan
untuk menentukan efisiensi,efektivitas, relevansi dan produktivitas program
dalam mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Efisiensi berkenaan
dengan penggunaan waktu, tenaga, sarana dan sumber-seumber lainnya secara
optimal. Efektivitas berkenaan dengan pemilihan atau penggunaan cara atau jalan
utama yang paling tepat dalam mencapai tujuan. Relevansi berkenaan dengan
kesesuaian suatu program dan pelaksanaannya dengan tuntutan dan kebutuhan, baik
dari kepentingan masyarakat maupun peserta didiknya. Sedangkan produktivitas
berkenaan dengan optimalnya hasil yang dicapai dari suatu program. Menurut Nana Sudjana, dalam kurikulum itu ada
beberapa aspek yang perlu di evaluasi, yaitu program pendidikan, meliputi
penilaian terhadap tujuan, isi program dan strategi pembelajaran.[33]
Untuk melakukan
evaluasi tersebut perlu disandarkan pada prinsip tujuan yang jelas, realism,
ekologi, operasional, kualifikasi, keseimbangan antara kurikulum nyata dan
ideal, dan hubungan keseimbangan. Dalam rangka menerapkan prinsip keadilan,
keobjektifan, dan keikhlasan evaluasi pendidikan bertujuan untuk mengetahui
atau mengumpulkan informasi tentang taraf perkembangan dan kemajuan yang
diperoleh peserta didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan dalam kurikulum.
a. Mengetahui
prestasi hasil belajar peserta didik guna menetapkan keputusan apakah bahan
pembelajaran perlu diulang atau dapat dilanjutkan. Dengan demikian, maka
prinsip long life education
benar-benar berjalan secara berkesinambungan.
b. Mengetahui
efektivitas cara belajar dan mengajar apakah yang telah dilakukan guru
benar-benar tepat atau tidak, baik yang berkenaan dengan sikap guru maupun
sikap peserta didik.
c. Mengetahui
kelembagaan guna menetapkan apakah yang tepat mewujudkan persaingan sehat,
dalam rangka berpacu dalam prestasi.
d. Mengetahui
sejumlah mana kurikulum tersebut telah dipenuhi dalam proses kegiatan
pembelajaran di sekolah atau madrasah.
e. Mengetahuo
pembiayaan yang dibutuhkan dalam berbagai kebutuhan baik secara fisik seperti
fasilitas ruang, perpustakaan, honorarium guru, dan lain-lain, maupun kebutuhan
secara psikis, seperti ketenangan, kedamaian, kesehatan, keharmonisan dan lain
sebagainya.[34]
Dengan beberapa
tujuan tersebut, evaluasi kurikulum akan berfungsi sebagai umpan balik (feed back) terhadap kegiatan pendidikan.
Umpan balik ini berguna untuk:
a. Perbaikan,
yaitu perbaikan terhadap semua komponen-komponen pendidikan, termasuk perbaikan
perilaku, wawasan dan kebiasaan-kebiasaan peserta didik.
b. Penyucian,
yaitu penyucian terhadap semua komponen-komponen pendidikan. Artinya melihat
kembali8 program-program pendidikan yang dilakukan, apakah program itu penting
atau tidak dalam kehidupan peserta didik. Apabila terdapat program yang
dianggap tidak penting atau menyimpang dari program semula maka program
tersebut harus dihilangkan dan dicarikan solusi yang cocok dengan program
semula.
c. Pembaharuan,
yaitu memodernisasikan semua kegiatan pendidikan. Kegiatan yang tidak relevan,
baik untuk kepentingan internal maupun eksternal, maka kegiatan itu harus
diubah dan dicarikan penggantinya yang lebih baik. Dengan kegiatan ini maka
pendidikan dapat dimobilisasi dan dinamisasi untuk lebih maju.
d. Masukan,
yaitu masukan sebagai laporan bagi orang tua peserta didik berupa buku rapor,
ijazah, piagam dan lain sebagainya.[35]
C.
Fungsi
dan Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Sebagaimana
dikatakan di muka, bahwa kurikulum memegang peranan penting dalam pendidikan.
Karena kurikulum akan membawa dan membentuk pendidikan sesuai dengan apa yang
diharapkan. Atau dengan kata lain, jika kita ingin melihat bagaimana masa depan
pendidikan, maka lihatlah kurikulumnya.
Secara ringkas,
Majid mengemukakan tiga fungsi kurikulum, dengan berfokus pada tiga aspek: pertama, bagi sekolah yang bersangkutan,
kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan
yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pembelajaran
sehari-hari. Kedua, bagi tataran
sekolah, yaitu sebagai pemelihara proses pendidikan dan penyiapan tenaga kerja.
Ketiga, bagi konsumen, kurikulum
berfungsi sebagai keikutsertaan dalam memperlancar pelaksanaan program
pendidikan dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan program serasi.
Selain itu,
fungsi lain dari kurikulum adalah tidak hanya terkait dengan mereka yang berada
di dalam lingkungan sekolah saja, tetapi fungsi-fungsi kurikulum juga terkait
dengan berbagai pihak di luar lingkungan sekolah, seperti para penulis buku
ajar dan bahkan para masyarakat (stakeholder).
Bahkan sekarang ini, penyusunan
kurikulum justru melibatkan berbagai lapisan (stakeholder) yang memang secara langsung atau tidak langsung akan
turut mempengaruhi atau dipengaruhi oleh keberlakuan sebuah kurikulum.[36]
Menurut Dakir
bagi para penyusun (penulis) buku ajar, memahami kurikulum merupakan keharusan
yang bersifat mutlak, karena untuk dapat menulis buku apa yang sesuai dengan
kehendak kurikulum, maka cara satu-satunya adalah membaca dan memahami
kurikulum sendiri. Sebagai penulis buku ajar semestinya mempelajari terlebih
dahulu kurikulum yang berlaku saat ini. Untuk membuat berbagai pokok bahasan
maupun sub pokok bahasan, hendaknya penulis buku ajar membuat analisis
instruksional terlebih dahulu. Kemudian menyusun garis-garis besar untuk mata
pelajaran tertentu, baru berbagai sumber bahan yang relevan.
Dengan
menggunakan kurikulum yang berlaku sebagai pedoman, buku ajar yang ditulis
dapat mencapai sasaran dan tujuan pembelajarn sebagaimana yang telah tertuang
di dalam kurikulum. Buku ajar yang disusun dengan baik dan sesuai dengan
kurikulum yang berlaku, akan menjadi pedoman bagi guru terhadap buku ajar yang
digunakannya, sehingga tidak menimbulkan keracunan tehadap bahan yang
diajarkan.
Bagi guru mata
pelajaran, kurikulum dapat menjadi pedoman. Kurikulum bagi seorang guru
ibaratkan kompas, yakni kurikulum adalah pedoman bagi guru dalam usaha kegiatan
belajar mengajar. Seperti diketahui bahwa setiap proses pembelajaran memiliki
target capaian berupa tujuan. Dengan kata lain, tujuan pendidikan dan
pengajaran telah harus diketahui oleh guru sebelum mengajar. Oleh karena itu,
sebelum melakukan proses pembelajaran, guru harus sudah mempersiapkan segala
sesuai yang dibutuhkan, termasuk strategi yang tepat dari mata pelajaran yang
akan disajikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Abdurrahman
mengemukakan, untuk mencapai tujuan pendidikan dan pengajaran yang telah
ditetapkan, diperlukan adanya strategi pembelajaran yang tepat. Maka dengan
demikian, harus dilakukan telaah, perkiraan dan perencanaan yang baik. Bagi
guru baru sebagaimana dikatakan oleh Dakir bahwa sebelum mengajar pertama-tama
yang perlu ditanyakan adalah kurikulumnya. Setelah itu barulah garis-garis
besar program pengajaran (GBPP) dan selanjutnya guru mencari berbagai sumber
yang terkait dengan mata pelajaran yang diajarkannya.[37]
D.
Prinsip
Pengembangan kurikulum Pendidikan
Para pengembang
kurikulum pendidikan di sekolah, hendaknya memperlihatkan beberapa prinsip
utama dalam pengembangan kurikulum. Menurut Oemar Hamalik paling tidak terdapat
delapan prinsip pengembanagn kurikulum, yakni:[38]
1.) Prinsip
Berorientasi Pada Tujuan
Pengembangan
kurikulum pendidikan diarahkan untuk mencapai tujuan yang bertitik tolak dari
tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya
untuk mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum
mengandung aspek-aspek pengetahuan (knowledge).
Keterampilan (skill), sikap (sttitude) dan nilai (value), yang selanjutnya menumbuhkan
perubahan tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan
bertalian dengan aspek-aspek yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
2.) Prinsip
Relevansi (kesesuaian)
Pengembangan
kurikulum pendidikan yang meliputi tujuan, isi dan sitem penyampaiannya harus
relevan dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, kebutuhan satuan pendidikan,
tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik, perkembangan intelektualnya,
kebutuhan jasmani dan rohani, serta sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
3.) Prinsip
Efisiensi dan Efektivitas
Perkembangan
kurikulum pendidikan harus mempertimbangkan efisiensi dalam pendayagunaan dana,
waktu, tenaga dan sumber-sumber yang tersedia pada satuan pendidikan agar
mencapai hasil yang optimal. Dana yang terbatas terus digunakan sedemikian rupa
dalam rangka mendukung pelaksanaan pembelajaran. Waktu yang tersedia bagi
peserta didik juga terbatas harus dimanfaatkan secara efektif sesuai dengan
mata pelajaran dan bahan pelajaran yang diperlukan.
Selain itu,
tenaga kependidikan juga sangat terbatas baik dalam jumlah maupun dalam
mutunya, hendaknya didayagunakan secara efisien untuk mendukung dan melaksanakan
proses pembelajaran. Demikian juga keterbatasan fasilitas ruangan, peralatan
dan sumber keterbacaan, harus digunakan secara tepat guna oleh peserta didik
dalam rangka pembelajaran yang kesemuannya demi meningkatkan efektivitas dan
efisiensi atau keberhasila peserta didik dalam belajar.[39]
4.) Prinsip
Fleksibilitas
Pengembangan
kurikulum pendidikan yang fleksibel akan memberikan kemudahan dalam
menggunakan, diubah, dilengkapi, atau dikurangi berdasarkan tuntutan keadaan
dan kemampuan satuan pendidikan. Kurikulum pendidikan hendaknya menjaga
fleksibilitas dalam pelaksanaannya, sehingga tidak menyebabkan kekakuan yang
pada akhirnya tidak memiliki makna.
5.) Prinsip
Berkesinambungan
Pengembangan
kurikulum pendidikan hendaknya disusun secara berkesinambungan. Artinya
bagian-bagian, aspek-aspek, materi atau bahan kajian disusun secara berurutan,
tidak terlepas-lepas satu sama lain saling keterkaitan memiliki hubungan
fungsional yang bermakna, sesuai dengan jenjang pendidikan, struktur dan satuan
pendidikan.
6.) Prinsip
Keseimbangan
Pengembangan
kurikulum pendidikan juga selain
memperhatikan kesinambungan juga harus memperhatikan keseimbangan (balance) secara proporsional dan
fungsional antar bagian program, sub program,, antara semua mata pelajaran, dan
antara aspek-aspek perilaku yang ingin dikembangkan. Dengan adanya keseimbangan
tersebut pada gilirannya diharapkan terjadi perpaduan yang lengkap dan
menyeluruh, satu sama lainnya saling memberikan sumbangannya terhadap
perkembangan pribadi peserta didik.
7.) Prinsip
Keterpaduan
Pengembangan
kurikulum pendidikan karakter juga harus
disusun dan dirancang serta dilaksanakan berdasarkan prinsip
keterampilan. Perencanaan terpadu bertitik tolak dari masalah atau topic dan
konsistensi antara unsure-unsurnya. Pelaksanaan terpadu dengan melibatkan semua
pihak, baik kalangan praktisi maupun akademisi, sampai pada tingkat
intersektoral. Dengan adanya keterpaduan ini diharapkan akan terbentuknya
kepribadian yang bulat dan utuh. Di samping itu pula dilaksanakan keterpaduan
dalam proses pembelajarannya, baik dalam interaksi antar peserta didik dan guru
maupun antara teori dan praktik.
8.) Prinsip
Mengedepankan Mutu
Pengembangan
kurikulum pendidikan juga harus beroeientasi pada pendidikan dan mutu
pendidikan. Pendidikan mutu berarti pelaksanaan pembelajaran yang bermutu.
Sedangkan mutu pendidikan berorientasi pada hasil pendidikan yang berkualitas.
Pendidikan yang bermutu sangat ditentukan oleh derajat mutu guru (tenaga
pendidik), proses pembelajaran, peralatan atau media yang lengkap dan memadai.
Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan criteria tujuan pendidikan
Nasional yang diharapkan.[40]
E.
Disain
dan Model Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Secara sederhana
desain dapat dimaknai sebagai rancangan, pola atau model. Berdasarkan pengertian
tersebut, mendesain kurikulum berarti
menyusun rancangan atau menyusun model kurikulum sesuai dengan misi dan visi
satuan pendidikan. Tugas dan peran desainer kurikulum sama seperti seorang
arsitektur. Sebelum ia menentukan bahan dan cara mengonstruksi bangunan yang
tepat, terlebih dahulu seorang arsitek harus merancang model bangunan yang akan
dibangun. Hal ini agar bangunan kurikulum yang dibuat memiliki makna.[41]
Para ahli
kurikulum telah banyak merumuskan macam-macam desain pengembangan kurikulum.
Manakala kita kaji desain pengembangan kurikulum yang dikemukakan para ahli
kurikulum itu memiliki kesamaan-kesamaan. Kusman menyebutkan beberapa desain
pengembangan kurikulum sebagai hasil
kajian dari beberapa sumber, di antaranya:
1.) Desain
kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu
Pengembangan
desain kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu ini adalah berawal dari
sebuah asumsi, bahwa fungsi sekolah pada dasarnya untuk mengembangkan kamampuan
berpikir peserta didik. Maka desain kurikulum model ini dinamakan desain
kurikulum subjek akademis. Menurut Longstreet sebagaimana yang dikutip oleh
Rusman desain kurikulum ini merupakan desain kurikulum yang berpusat kepada
pengetahuan (the knowledge centered
design) yang dirancang berdasarkan struktur disiplin ilmu. Penekanannya
diarahkan untuk pengembangan intelektual peserta didik.
Model kurikulum
ini dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu
masing-masing. Mereka menyusun materi pembelajaran apa yang harus dikuasai oleh
peserta didik baik terkait data atau fakta, konsep maupun teori yang ada dalam
setiap disiplin ilmu mereka masing-masing. Materi pembelajaran tentu saja
disusun sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik. Menurut Rusman paling
tidak terdapat tiga bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin
ilmu:[42]
a.) Subject centered curriculum design
Pada Subject centered curriculum design,
bahan atau isi kurikulum sidudun dalam bentuk mata pelajaran yang
terpisah-pisah. Misalnya mata pelajaran Sejarah, Pendidikan Kewarganegaraan,
Kimia, Fisika, Matematika, Agama, Bahasa dan lain sebagainya. Mata
pelajaran-mata pelajaran itu seolah-olah tidak berhubungan satu sama lain. Pada
pengembangan kurikulum di dalam kelas atau pada kebiasaan belajar mengajar,
setiap guru hanya bertanggungjawab pada mata pelajaran yang diberikannya.
Kalupun mata pelajaran itu diberikan oleh guru yang sama, maka hal ini juga
dilaksanakan secara terpisah-pisah. Oleh karena organisasi bahan atau isi
kurikulum berpusat pada mata pelajaran secara terpisah-pisah, maka kurikulum
juga dinamakan separated subject
curriculum.
b.) Correlated curriculum design
Pada organisasi Correlated curriculum design ini, mata
pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata pelajaran-mata
pelajaran yang memiliki kedekatan/kesamaan atau mata pelajaran sejenis
dikelompokkan sehingga menjadi satu bidang studi, seperti misalnya mata
pelajaran Biologi, Kimia dan fisika dikelompokkan menjadi satu bidang studi
IPA.
c.) Integrated curriculum design
Pada organisasi
kurikulum yang menggunakan model Integrated
curriculum design, tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau
bidang studi. Maka dengan demikian belajar berangkat dari suatu pokok masalah
yang harus dipecahkan. Masalah tersebut kemudian dinamakan unit. Belajar
berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akan tetapi juga mencari
dan menganalisis fakta sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar melalui
pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan peserta didik tidak hanya terjadi
pada segii intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti, sikap, emosi
atau keterampilan.[43]
2.) Desain
kurikulum yang berorientasi pada masyarakat
Asumsi yang
mendasari bentuk desain kurikulum ini adalah, bahwa tujuan dari sekolah adalah
melayani kebutuhan masyarakat. Karena kurikulum pada dasarnya adalah jawaban
atas berbagai kebutuhan masyarakat akan
pendidikan. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam
mendisain isi kurikulum.
Contoh desain
kurikulum seperti ini dikembangkan oleh Smith Staley dan Shores dalam buku
mereka yang berjudul Fundamentals of
Curriculum atau dalam Curriculum
Theory yang disusun oleh Beauchman. Sebagaimana yang dilansir oleh Rusman,
mereka merupakan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok social untuk
dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah. Artinya, permasalahan yang
dihadapi dan dibutuhkan oleh suatu kelompok social, harus menjadi bahan kajian
peserta didik di sekolah.[44]
Menurut Rusman
paling tidak ada tiga perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada
kehidupan masyarakat, yaitu:
a.)
The
status quo perspective
Rancangan
kurikulum ini diarahkan untuk melestarikan nilai-nilai budaya masyarakat. Dalam
perspektif ini kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan
keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang
dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat. Yang dijadikan dasar oleh para perancang
kurikulum adalah aspek-aspek penting kehidupan masyarakat.
Di samping
kegiatan-kegiatan yang harus dikuasai seperti apa yang dilakukan oleh orang
dewasa dalam perspektif ini juga menyangkut desain kurikulum untuk memberikan
keterampilan sebagai persiapan untuk bekerja (profesi). Oleh sebab itu, sebelum
merancang isi kurikulum, para perancang perlu terlebih dahulu menganalisis
kemampuan apa yang harus dimiliki anak didik sehubungan dengan tugas atau
profesi tertentu. Dari hasil analisis itu kemudian dirancang isi kurikulum yang
diharapkan lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.
b.)
The
reformist perspective
Dalam perspektif
ini, kurikulum dikembangkan untuk lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu
sendiri. Kurikulum reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total
dalam proses pendidikan. Pendidikan dalam perspektif ini harus berperan untuk
merubah tatanan social masyarakat. Menurut pandangan para reformis, dalam
proses pembangunan pendidikan sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin
untuk kepentingan elit yang berkuasa atau untuk mempertahankan struktur social
yang sudah ada. Dengan demikian masyarakat lemah akan tetap berada dalam
ketidak berdayaan. Oleh sebab itu, menurut aliran reformis, pendidikan harus
mampu merubah keadaan masyarakat itu. Baik pendidikan formal maupun pendidikan
nonformal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde social baru berdasarkan
pembagian kekuasaan dan kekayaan yang lebih adil dan merata.
c.)
The
futurist perpective
Perspektif masa
depan sering dikaitkan dengan kurikulum rekonstruksi social, yang menekankan
kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan social,
politik dan ekonomi masyarakat. Model kurikulum ini lebih mengutamakan
kepentingan social dari pada kepentingan individual. Setiap individu harus
mampu mengenali berbagai permasalahan yang ada di masyarakat yang senantiasa
mengalami perubahan yang sangat cepat. Dengan pemahan tersebut akan
memungkinkan setiap individu dapat mengembangkan masyarakatnya sendiri.
Tujuan utama
kurikulum ini dalam perspektif ini adalah mempertemukan peserta didik dengan
masalah-masalah yang dihadapi umat manusia. Para ahli rekonstruksi social
percaya, bahwa masalah-masalah yang dihadapi masyarakat, bukan hanya dapat
dipecahkan melalui “Bidang Studi” social saja akan tetapi oleh setiap disiplin
ilmu. Berbagai macama krisi yang dialami oleh masyarakat harus menjadi bagian
dari isi kurikulum.[45]
3.) Desain
kurikulum yang berorientasi pada peserta didik
Asumsi yang
mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu
anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh lepas dari kehidupan anak
didik. Kurikulm yang berorientasi pada peserta didik menekankan kepada peserta
didik sebagai sumber isi kurikulum. Segala sesuatu yang menjadi isi kurikulum
tidak boleh terlepas dari kehidupan peserta didik sebagai peserta didik.
Anak didik
adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan anak adalah makhluk yang sedang
berkembang, yang memiliki minat dan bakat yang beragam. Kurikulum harus dapat
menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka.
Sementara itu,
Nana Syaodih mengajukan delapan model pengembangan kurikulum pendidikan.
Kedelapan model tersebut adalah sebagai berikut:[46]
1. The administrasi model
Model
pengembangan kurikulum ini merupakan model paling lama dan paling dikenal.
Dinamai administrasi model, karena
inisiatif dan gagasan pengembangan kurikulum dating dari para administrator
pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang
administrasinya maka administrator pendidikan, baik dirjen, direktorat atau
kepala kantor wilayah pendidikan, membentuk suatu komisi atau tim pengarah
pengembangan kurikulum anggotanya terdiri atas para pejabat bawahannya atau
para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli ilmu dan para tokoh dari dunia kerja
dan perusahaan
Tugas tim ini
adalah, merumuskan konsep-konsep, landasan-landasan, kebijakan-kebijakan dan
strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Dalam pelaksanaannya, tim tersebut
juga dapat membentuk tim atau komisi kerja pengembangan kurikulum. Para nggota
komisi bias berasal dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu dan perguruan tinggi, guru-guru bidang studi dan senior.
Tim kerja
pengembangan kurikulum bertugas menyusun kurikulum yang sesungguhnya yang lebih
operasional, dijabarkan dari konsep-konsep dan kebijakan dasar yang telah
digariskan oleh tim pengarah. Tugas tim kerja ini merumuskan tujuan-tujuan yang
lebih operasional dari tujuan-tujuan yang lebih umum, memilih dan menyusun
sekuen bahan pelajaran, memilih dan menyusun strategi dan evaluasi
pembelajaran, serta menyusun pedoman pelaksanaan kurikulum bagi guru-guru.
Setelah tim itu
selesai, kemudian hasilnya dievaluasi oleh tim pengarah serta para ahli lain
yang berwenang atau pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa
penyempurnaan, dan dinilai telah cukup baik, administrator pemberi tugas
menetapkan berlakunya kurikulum tersebut derta memerintahkan sekolah-sekolah
untuk melaksanakan kurikulum tersebut.
Dari paparan
tersebut di atas, dapat diketahui bahwa model pengembangan kurikulum
administrative ini, memiliki kesamaan dengan pengembangan kurikulum yang
menganut system pendidikan sentralistik. Karena pengembangan kurikulum
cenderung para pejabat pendidika di tingkat atas, sementara sekolah hanya
melaksanaknannya, dengan berpedoman pada julak dan junis yang telah ditetapkan.
2. The grass root model
grass
root model (model akar rumput) model adalah kebalikan dari
model pengembangan kurikulum pertama, administrative
model. Model kedua ini inisiatif
pengembangan kurikulum bukan dating dari atas tetapi dating dari bawah, yaitu
guru-guru atau sekolah-sekolah. Pengembangan kurikulum yang seperti ini lebih
cocok bagi yang menganut system pendidikan atau pengelolaan pendidikan yang
bersifat desentralisasi. [47]
Pola
pengembangan kurikulum model grass root
ini dengan cara seorang guru, kelompok guru atau keseluruhan guru di sekolah
mengadakan upaya pengembangan kurikulum. Pengembangan ini dapat emnyangkut satu
komponen, beberapa komponen atau seluruh komponen kurikulum. Pengembangan
kurikulum model ini lebih efektif apabila kondisi sekolah telah memungkinkan,
baik dari segi sumberdaya manusia, fasilitas yang tersedia maupun sumber dana
yang ada di sekolah yang bersangkutan
Pengembangan
kurikulum model grass root inii
didasarkan pada pertimbangan bahwa gurulah yang menjadi perencana dan sekaligus
pelaksana pendidikan di sekolah, dan dia pula yang lebih tahu tentang kondisi
sekolah dan kelasnya. Oleh karenanya dialah yang lebih kompeten menyusun
kurikulum bagi peserta didik-peserta didiknya.
3. Beaucamps system
Nama model
pengembangan kurikulum ini diambil dari nama pelaksana pengembangan kurikulum.
Karena kurikulum ini dikembangkan oleh Beauchamp yang merupakan seorang ahli
kurikulum. Beaucamp mengidentifikasi serangkaian pembuatan keputusan penting yang berpengaruh terhadap
penerapan kurikulum. Menurutnya paling tidak ada lima hal yang harus
diperhatikan dalam pengembangan kurikulum pendidikan.
a.) Menetapkan
arena atau lingkup wilayah yang akan dicakup oleh kurikulum tersebut, yakni
ruang lingkup pengembangannya.
b.) Memilih
dan menetapkan para personil yang bertugas mengembangkan kurikulum
c.) Organisasi
dan prosedur pengembangan kurikulum.
d.) Implementasi
kurikulum
e.) Mengevaluasi
kurikulum
4. The demonstration model
Model
demonstrasi pada dasarnya bersifat grass
root, oleh karenanya terdapat kesamaan antara kedua model ini, yakni
sama-sama inisiatif awalnya dari bawah, yakni para guru atau sekolah-sekolah.
Model ini diprakarsai oleh sekelompok guru atau kelompok guru kerjasama dengan
ahli dengan maksud mengadakan perbaikan kurikulum.
Model
demonstrasi direncanakan untuk mengantar pengembangan kurikulum dalam sakala
kecil. Misalnya hanya mencakup satu atau beberapa sekolah saja. Suatu komponen
kurikulum atau keseluruhan komponen kurikulum. Karena sifatnya ingin merubah
atau mengganti kurikulum yang ada, maka pengembangan kurikulum sering mendapat
tantangan dari pihak-pihak tertentu yang merasa tidak setuju dengan adanya
perubahan tersebut.[48]
Menurut Smith
dan Stanley sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih, paling tidak ada dua variasi
model demonstrasi ini, pertama, sekelompok guru daru satu sekolah atau beberapa
sekolah ditunjuk untuk pelaksanaan suatu percobaan tentang pengembangan
kurikulum. Percobaan ini bertujuan mengadakan penelitian dan pengembangan
tentang salah satu atau beberapa segi komponen kurikulu. Hasil penelitian dan
pengembangan ini diharapkan dapat digunakan dalam lingkup yang lebih luas.
Kedua, kurang bersifat formal. Beberapa
orang guru yang merasa tidak puas dengan kurikulum yang ada, mencoba hal-hal
berbeda dengan yang sudah berlaku. Hal ini bertujuan untuk menemukan kurikulum
atau aspek tertentu dari kurikulum yang lebih baik, untu kemudian digunakan
dalam wilayah atau daerah yang lebih luas.
5. Taba’s inverted model
Model ini
merupakan bentuk urutan tradisional yang paling sederhana dari pengembangan
kurikulum. Menurut cara yang bersifat tradisional pengembangan kurikulum
dilakukan dengan cara dan urutan sebagai berikut:
a) Penentuan
prinsip-prinsip dan kebijakan dasar;
b) Merumuskan
desain kurikulum yang bersifat menyeluruh didasarkan atas komitmen-komitmen
tertentu;
c) Menyusun
unit-unit kurikulum sejalan dengan desain yang menyeluruh;
d) Melaksanakan
kurikulum did slam kelas.
Taba yakin bahwa
proses deduktif cenderung mengurangi kemampuan inovasi-inovasi kreatif, karena
membatasi kemungkinan untuk bereksperimen baik ide maupun konsep pengembangan
kurikulum yang mungkin timbul. Menurutnya kurikulum yang dapat mendorong
inovasi siswa dan kreativitas guru-guru adalah yang bersifat induktif, yang
merupakan inverse atau arah terbalik dari model tradisional.[49]
Terdapat lima
langkah pengembangan kurikulum model Taba. Pertama,
mengadakan unit-unit eksperimen bersama guru-guru. Di dalam unit eksperimen ini
diadakan penelitian, studi yang seksama tentang hubungan antara teori dengan
praktik. Perencanaan didasarkan atas teori yang kuat, dan mengadakan eksperimen
di dalam kelas menghasilkan data yang untuk menguji landasan teori yang
digunakan. Ada beberapa langkah dalam kegiatan eksperimen ini.
a) Mendiagnosis
kebutuhan;
b) Merumuskan
tujuan-tujuan khusus;
c) Memilih
isi;
d) Mengorganisasikan
isi;
e) Memilih
pengalaman belajar;
f) Mengorganisasikan
pengalaman belajar;
g) Mengevaluasi;
h) Melihat
sekuen dan keseimbangan.
Kedua,
menguji unit eksperimen. Ketiga,
mengadakan revisi dan kelima,
implementasi dan desiminasi, yaitu menerapkan kurikulum baru pada daerah-daerah
atau sekolah-sekolah yang lebih luas.
6. Roger’s interpersonal relation
model
Nama model ini
diambil dari nama penemunya yakni Roger. Meskipun ia bukan ahli dalam bidang
pendidikan, akan tetapi, konsep-konsepnya tentang psikoterapi, khususnya dalam
membimbing individu, dapat diaplikasikan dalam pendidikan dan pengembangan
kurikulum. Karena menurut Crosby sebagaimana dikutip oleh Nana Syaodih,
perubahan kurikulum adalah perubahan individu.
Model ini
dikembangkan atas kebutuhan menciptakan serta memelihara suasana yang baik
terhadap perubahan. Menurut Rogers manusia berada dalam posisi perubahan (becoming, developing, dan changing), sesungguhnya ia memiliki
kekuatan dan potensi untuk berkembang sendiri, akan tetapi karena ada
hambatan-hambatan tertentu ia membutuhkan oranglain untuk membantu memperlancar
atau mempercepat perubahan tersebut. Dan tugas ini adalah yang menjadi tugas
guru atau pendidik.[50]
Pengembangan
kurikulum model Rogers ini terdiri atas empat langkah strategis, yakni:
a) pemilihan
target dari system pendidikan. Dalam penentuan target ini satu-satunya criteria
yang menjadi pegangan adalah adanya kesediaan dari pejabat pendidikan untuk
turut serta dalam pengalaman kelompok yang intensif.
b) Partisipasi
guru dalam pengalaman kelompok yang intensif. Sama seperti yang dilakukan oleh
para pejabat pendidikan, guru juga ukut serta dalam kegiatan kelompok.
c) Pengembanagn
pengalaman kelompok yang lebih intensif untuk kelas atau unit pelajaran.
d) Partisipasi
orang tua dalam kegiatan kelompok.
Model
pengembangan kurikulum ala Rogers ini berbeda dengan model kurikulum lainnya.
Seperti tidak ada suatu perencanaan kurikulum tertulis, yang ada hanyalah
serangkaian kegiatan kelompok. Dan ini menjadi cirri has Carl Rogers, sebagai
seorang eksistensialis humanis,ia tidak mementingkan formalis, rancangan
tertulis, data dan sebagainya. Baginya yang penting adalah aktivitas dan
interaksi. Berkat berbagai aktivitas dalam interaksi ini individu akan berubah.
7. The systematic action-research
model
Model kurikulum
ini didasarkan pada sebuah asumsi bahwa, perkembangan kurikulum adalah
perubahan social. Hal ini mencakup satu proses yang melibatkan orang tua,
peserta didik, guru, struktur sitem sekolah, pla hubungan pribadi dan kelompok
dari sekolah dan masyarakat. Sesuai dengan asumsi tersebut, maka pengembangan
kurikulum model ini menekankan pada tiga hal, hubungan insane, sekolah dan
masyarakat, serta wibawa dari pengetahuan professional.
Menurut model
ini, kurikulum dikembangkan dalam konteks harapan warga masyarakat, para orang
tua, tokoh masyarakat, para pengusaha, peserta didik, guru dan lain-lain, yang
mempunyai pandangan tentang bagaimana pendidikan, vagaimana peserta didik
belajar, bagaimana peranan kurikulum dalam pendidikan dan pengajaran. Untuk itu
perlu menempuh langkah-langkah sebagai
berikut:[51]
1) Mengadakan kajian secara seksama tentang masalah
–masalah kurikulum berupa pengumpulan data yang bersifat menyeluruh dan
mengidentifikasi factor-faktor, kekuatan dan kondisi yang mempengaruhi masalah
tersebut. Dari hasil kajian tersebut dapat disusun rencana yang menyeluruh
tentang cara-cara mengatasi masalah tersebut, serta tindakan pertama yang harus
dilakukan
2) Implementasi
dari tindakan yang diambil dalam tindakan yang pertama. Tindakan ini segera
diikuti dengan pengumpulan data dan fakta-fakta. Kegiatan pengumpulan data ini
memiliki beberapa fungsi:
(1) Menyiapkan
data bagi evaluasi tindakan,
(2) Sebagai
bahan pemahaman bagi masalah yang dihadapi,
(3) Sebagai
bahan untuk menilai kembali dan mengadakan modifikasi, dan
(4) Sebagai
bahan untuk mengadakan tindakan lebih lanjut.
8. Emerging technical model
Perkembangan
bidang teknologi dan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai efisiensi dan
efektivitas dalam bisnis juga mempengaruhi dalam pengembangan model-model
kurikulum. Tumbuh kecenderungan baru yang didasarkan atas hal itu, diantaranya
adalah:
a) The behavioral analisis model.
b) The system analisis model
c)
The
computer based model.[52]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Secara etimologi kata kurikulum
diambil dari bahasa Yunani, Curere
berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari dari mulai start sampai finish. Sedangkan dalam terminology, terdapat perbedaan
pengertian kurikulum. Dalam pengertian lama kurikulum didefinisikan sebagai
sejumlah materi pelajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh peserta didik
untuk memperoleh sejumlah pengetahuan, yang telah tersusun secara sistematis
dan logis.
Adapun pengertian pengembangan
menunjukkan kepada suatu kegiatan yang menghasilkan suatu cara yang “baru”, di
mana selama kegiatan tersebut, penilaian dan penyempurnaan terhadap cara
tersebut terus dilakukan. Pengertian pengembangan ini berlaku juga bagi kurikulum
pendidikan. Karena pengembangan kurikulum juga terkait penyusunan kurikulum itu
sendiri dan pelaksanaannya pada satuan pendidikan disertai dengan evaluasi
dengan intensif.[53]
Murrary Print mengatakan bahwa pengembangan kurikulum adalah “curriculum development is defined as the
process of planning, constructing, implementing and evaluating learning
opportunities intended to produce desired changes in leaner’s”. Maksudnya
bahwa pengembangan kurikulum adalah, sebagai proses perencanaan, membangun,
menerapkan, dan mengevaluasi peluang pembelajarn diharapkan menghasilkan
perubahan dalam belajar.
Komponen-komponen tersebut adalah, tujuan,
program atau materi, proses dan evaluasi.
Secara ringkas,
Majid mengemukakan tiga fungsi kurikulum, dengan berfokus pada tiga aspek: pertama, bagi sekolah yang bersangkutan,
kurikulum berfungsi sebagai alat untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan
yang diinginkan dan sebagai pedoman dalam mengatur kegiatan pembelajaran
sehari-hari. Kedua, bagi tataran
sekolah, yaitu sebagai pemelihara proses pendidikan dan penyiapan tenaga kerja.
Ketiga, bagi konsumen, kurikulum
berfungsi sebagai keikutsertaan dalam memperlancar pelaksanaan program
pendidikan dan kritik yang membangun dalam penyempurnaan program serasi.
Menurut Oemar
Hamalik paling tidak terdapat delapan prinsip pengembanagn kurikulum, yakni:
a) Prinsip
Berorientasi Pada Tujuan
b) Prinsip
Relevansi (kesesuaian)
c) Prinsip
Efisiensi dan Efektivitas
d) Prinsip
Fleksibilitas
e) Prinsip
Berkesinambungan
f) Prinsip
Keseimbangan
g) Prinsip
Keterpaduan
h) Prinsip
Mengedepankan Mutu
Kusman
menyebutkan beberapa desain pengembangan kurikulum sebagai hasil kajian dari beberapa sumber, di antaranya:
a) Desain
kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu
b) Desain
kurikulum yang berorientasi pada masyarakat
c) Desain
kurikulum yang berorientasi pada peserta didik
Sementara itu,
Nana Syaodih mengajukan delapan model pengembangan kurikulum pendidikan.
Kedelapan model tersebut adalah sebagai berikut:
a)
The
administrasi model
b)
The
grass root model
c)
Beaucamps
system
d)
The
demonstration model
e)
Taba’s
inverted model
f)
Roger’s
interpersonal relation model
g)
The
systematic action-research model
h)
Emerging
technical model
B.
Saran
Dengan berbagai uraian di
atas, tentunya tidak lepas dari berbagai kekurangan baik dari segi isi materi, teknik
penulisan dan sebagainya, untuk itu sangat diharapkan saran maupun kritikan
yang membangun dalam perbaikan makalah selanjutnya. Baik dari dosen pembimbing
maupun rekan-rekan mahasiswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Andayani, Abdul Majid
dan Dian, Pendidikan Agama Islam Berbasis
Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Arifin, M. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi
Aksara, 1996
Darajat, Zakiah, Ilmu
Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi aksara, 1996
Gunawan, Heri, Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi,
Bandung: Alfabeta, 2012
Hamalik, Oemar, Kurikulum
dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1999
Hamalik, Oemar, Dasar-Dasar Pengembanagn Kurikulum,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007
Hasan Langgulung, 2004,
h. 26
Majid, Abdul, Perencanaan
Pembelajaran,Mengembangkan Kompetensi Guru,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006
Mudzakir, Abdul Mujib
dan Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana,
2005
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam, di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2005
Muhammad Atiyah
Al-Abrasyi, Ushul Al-Atrbiyah
al-Islamiyah, Bairut: Daar al-Fikr, tt Mulyasa, Endang, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu
Panduan Praktis, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006Nasution, S. Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi
Aksara, 2005
Murrary Print, Curriculum Design and Development,
Australia: Allen & Unwin, 1993
Nahlawi, Abdurrahman
Al-, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, Jakarta: Gema Insani Press, 1995
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam
Mulia, 2005
Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, Jakarta:
Rajawali Press,
Sudjana, Nana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002
Sukmadinata, Nana
Syaodih, Pengembangan Kurikulum, Teori dan
Praktek, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
Tafsir, Ahmad, Ilmu
Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004
[1] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 4
[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), h. 53
[3] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2002), h. 2
[4] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan
Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 1
[5] Oemar Hamalik, Dasar-Dasar Pengembanagn Kurikulum,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),h. 1
[6] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 3
[7] S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2005), h. 9
[8] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), h. 9
[9] M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 183
[10] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi
aksara, 1996), h. 122
[11] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta:
Bumi Aksara, 1999), h. 18
[12] Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), h.122
[13] Endang Mulyasa, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Suatu
Panduan Praktis, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 46
[14] Abdul Majid, Perencanaan Pembelajaran,Mengembangkan
Kompetensi Guru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2006), h. 34
[15] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 5
[16] Murrary Print, Curriculum Design and Development,
(Australia: Allen & Unwin, 1993), h. 23
[17] Zakiah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, h. 29
[18] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 103
[19] Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2004), h. 135
[20] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 25
[21] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 35
[22] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, h. 2
[23] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, h. 34-35
[24] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, h. 155
[25] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
h. 8
[26] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
h. 10
[27] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam,
h. 156
[28] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 26
[29] Muhammad Atiyah Al-Abrasyi, Ushul Al-Atrbiyah al-Islamiyah,
(Bairut: Daar al-Fikr, tt), h.267
[30] Hasan Langgulung, 2004, h. 26
[31] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 196
[32] Suharsimi Arikunto, 1999, h. 5
[33] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, h. 12
[34] Arikunto, 1999, h. 13
[35] Nana Sudjana, Pembinaan dan Pengembangan Kurikulum di
Sekolah, h. 223
[36] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, Konsep dan
Implementasi, (Bandung: Alfabeta, 2012), h. 119-120
[37] Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 93
[38] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 30
[39] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 31
[40] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, h. 32
[41] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, ( Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 28
[42] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, h. 29
[43] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, h. 30
[44] Rusman, Manajemen Pengembangan Kurikulum, h. 31
[45] Heri Gunawan, Pendidikan Karakter, Konsep dan
Implementasi, h. 127-129
[46] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 161
[47] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 162
[48] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 163-64
[49] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h.165
[50] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 166-167
[51] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h.168-169
[52] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h.170
[53] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum, Teori dan Praktek,
h. 5
2 komentar
trimakasih atas infonya.
minta izin copas buat tugas ya... sukses selalu.
sama-sama, semoga bermanfaat.
EmoticonEmoticon