BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan
Islam di Indonesia merupakan suatu komponen dari unit pendidikan nasional
bangsa Indonesia. Setiap usaha untuk memajukan dan mengembangkan pendidikan agama, khususnya agama islam,
berarti juga ikut berusaha mengembangkan pendidikan nasional. Pentingnya
pendidikan agama, khususnya pendidikan agama islama bagi bangasa Indonesia
tidak diragukan lagi. Pendidkan agama adalah salah satu sarana untuk mebentuk
manusia Indonesia yang bermental pancasila. Agama berfungsi factor motifator dan kreatif yang melandasi
segala cita-cita dan amal perbuatan bangsa Indonesia. Pendidikan agama,
khususnya agama islam akan mewujudkan moralitas, mebentuk kehidupan manusia
yang mempunyai daya tarik untuk menghadpi berbagai godaan, ancaman, dan
penderitaan, serta berperilaku yang sesui dengan ucapan batinnya.
Pendidikan
multikultural adalah merupakan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait
dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi dan
hak asasi manusia.
Pendidikan
multikultural merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti
intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya
yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh
karena itu pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan
yang menghargai pluralitas dan pendidikan multikultural ini menjadi penting
untuk diterapkan.
Pendidikan
multikultural sangat penting diterapkan di Indonesia.Hal ini disebabkan tingkat
keanekaragaman Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat
dan agama.
Keanekaragaman
tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan baik. Sehingga
perlu usaha untuk menanamkan jiwa multikultural pada masyarakat Indonesia.Salah
satu satuan pelajaran yang dapat dimodifikasi dengan landasan multikultural adalah
Pendidikan Agama Islam (PAI).Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak
harus menerapkan metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum yang
tepat.Modifikasi ini merupakan suatu upaya agar PAI menghasilkan orang-orang
yang mempunyai kesalehan individu dan juga kesalehan sosial.
Makalah
ini berusaha membahas tentang hakikat pendidikan multikultural dan penerapannya
di Indonesia serta urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran
multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan permasalahan
dan apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil
mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan
kontribusinya terhadap stabilitas nasional.
B. Rumusan Masalah
1.
Definisi
dan tujuan pendidikan menurut pandangan Islam !
2.
Sejarah dan Peran Pendidikan Agama Islam Di
Indonesia !
3. Definisi Pendidikan Multikultural !
4. Keadaan Pendidikan Multikultural Di
Indonesia !
5. Nilai-nilai PAI
Yang Terkandung Dalam Pendidikan Multikultural !
6. Pendidikan
Multikultural Sebagai Proses Pengembangan PAI !
7.
Kontribusi Pendidikan Multikultural Terhadap Materi PAI!
8. Kecenderungan dan Kelemahan PAI di Era Multikulturalisme !
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Definisi
dan Tujuan Pendidikan Menurut Pandangan Islam
Pendidikan
adalah hak setiap manusia yang hidup di dunia ini. Pendidikan disamping sebagai
proses transfer pengetahuan, juga berfungsi sebagai sarana transformasi dan
regenerasi kehidupan sosial.Paulo freire, tokoh pendidikan
Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah
memanusiakan manusia (humanisasi).[1]
Tidak jauh
berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin[2]
berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik
kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala
(head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati
(heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada
prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan
istilah 3 H’s.
Berangkat
dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi
masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara
historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan
moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.[3]
Merujuk
dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap manusia.
Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam
keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini
merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian
kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga
tidaklah sekali jadi.
Ada proses
penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara
memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya
petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat
terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki
melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta
berkesinambungan yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan
manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari
kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
Bagaimana
bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besarnya dapat dilihat dari
kedudukan yang ditempatinya. Untuk mengetahui
hal itu, perlu dirujuk kepada penamaan yang disandangnya. Demikian pula
akan halnya mengenai peran manusia. Peran ini dapat dirujuk antara lain dari
berbagai sebutan yang diberikan kepada manusia. Selaku makhluk ciptaan, manusia
dianugrah penciptanya dengan sejumlah nama atau sebutan.
Berdasarkan
hakikat penciptaannya, maka secara moral manusia telah diikat oleh suatu
perjanjian dengan penciptanya. Ikatan moral dalam bentuk pernyataan bertauhid
kepada Allah.
øÎ)ur xs{r&
y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/
tPy#uä
`ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã
öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/
¡
!$tRôÎgx©
¡
cr& (#qä9qà)s? tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
$¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd
tû,Î#Ïÿ»xî
ÇÊÐËÈ
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku
ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi
saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak
mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. Al-Araf: 172).[4]
Sebagai
bentuk perjanjian manusia dengan penciptanya. Perjanjian ini merupakan prinsip
dasar dalam konsep hubungan manusia dengan penciptanya.
Tugas
kekhalifahan menunjukkan peran, sedangkan amanah menitik beratkan pada tanggung
jawab. Disinilah terlihat betapa hakikat manusia yang seharusnya ia lakoni
dalam menjalani kehidupannya dimuka bumi. Tugas tersebut memang cukup berat,
namun manusia yang mampu mengembannya.
$¯RÎ) $oYôÊttã
sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù br&
$pks]ù=ÏJøts
z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ
Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu
dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh
manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh,” (Q.S.
Al-Ahzab: 72)
Kesanggupan
ini bagaimanapun membawa konsekuensi khusus bagi manusia, yaitu berupa
pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan amanat yang diterimanya. Semuanya itu
kemudian akan dievaluasi oleh sang maha pencipta sendiri.
Manusia
sebagai khalifah Allah menurut M. Quraish Shihab, tanggung jawab kekhalifahan
manusia dapat dirujuk dari informasi dua ayat al-Qur’an. Kedua ayat tersebut
adalah
øÎ)ur
tA$s% /u
Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9
ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû
ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz
(
(#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkÏù
`tB ßÅ¡øÿã $pkÏù
à7Ïÿó¡our
uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR
x8ÏôJpt¿2
â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB
w tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ
Artinya:
“Ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku
mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S, Al-Baqarah: 30) [5]
ß¼ãr#y»t $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz
Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù
tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ wur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãsù `tã
È@Î6y
«!$#
4
¨bÎ)
tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒt
`tã È@Î6y «!$# öNßgs9
Ò>#xtã
7Ïx©
$yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqt
É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ
Artinya:
“Hai
Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka
berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang
berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shad: 26)
Selanjutnya
beliau mengungkapkan bahwa ayat pertama menitikberatkan pada tugas khalifah
sebagai penganugerahan, dan ayat kedua pada penawaran diri Allah kepada manusia
sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan.
Tugas
sebagai khalifah ternyata ternyata mempunyai bentuk yang lebih kompleks dan
kawasan cakupan yang lebih luas dari tugas dan tanggung jawab manusia sebagai
makhluk social. Bila tanggung jawab social hanya terbatas pada hubungan antar
manusia, maka tanggung jawab khalifah meliputi selain hubungan antar sesama
manusia, seluruh makhluk hidup, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya.
B. Sejarah
dan Peran Pendidikan
Agama Islam Di Indonesia
Pada
awal pengaruh agama Islam di Indonesia, keadaan pendidikan Islam masih bersifat
kedaerahan. Tiap daeranhnya menyelengarakan pendidikan dan pengajaran Islam,
Tiap daerah menyelangarakan pendidikan dan pengajaraan islam menurut keadaan
derahnya masing-masing. Dengan demikian keadaan pendidikan Islam di jawa
berbeda degan di sumatera, di Sulawesi dan di tempat-tempat lain demikian pula
lembaga pendidikanya.
Khususnya
di jawa[6] di
kenal suatu lembaga pendidikan Islam yang bernama langgara (surau di sumatera tanjung di daerah sundah atau mushallah di Jakarta.)
langgar merupakan sebuah tempat pendidikan Islam pada tingkat pemula. Pelajaran
diberikan kepada anak-anak pada pagi dan soreh hari yang berlansung kira-kira
dua jam lamanya
Lembaga
pendidikan langgar terdapat di setiap desa. Begitu pula pada setiap desa,
didirikan sebuah mesjid desa, yang selain tempat ibadah juga tempat pendidikan
Islam pada tingkat permulaan. Pelajaran diberikan kepada anak-anak pada pagi
dan sore hari yang berlangsung kira-kira dua jam lamanya.
Lembaga
pendidikan langgar terdapat di setiap desa. Begitu pula pada setiap desa
didirikan sebuah mesjid desa, yang selain tempat ibadah juga tempat pendidikan
Islam. Sellain langgar dikenal pula, lembaga pendidikan, yang pada mulanya
diberikan di serambi rumah kiai, di serambih mesjid atau di tempa lain yang
khusus untik itu. Pengajian ini diselengarakan pada hari , tenga hari, dan
malam hari, tanpa dipungut bayaran.
Tujuan
pendidikan langgar ini adalah agar murid-murid dap[at membaca kitab sici Al
Qur’an sampai tamat. Karena itu lama velajar tidak terbatas tergantung pada
kemauan, kerajinan dan kecerdasan si murid. Caranya ialah, guru mengeja atau
mengucapakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan irama suara tertentu yang kemudian
ditirukan oleh murid. Pelajaran diberikan pada seorang demi seorang, satu perstu
maju mendekati guru, mendengarkan apa yang di ajarkan itu kemudian meirukanya.
Sementara itu murid-murid yang lainya berlatih dengan suara keras.
Sementara
itu pada lembaga pendidikan pengajaran Al Qur’an, pelajaran yang diberikan
adalah belajar membac huruf arab, membaca Al’Quran, terjemahan dan tafsir Al
Qur’an secara sederhana, bernyayi (kasidah), rukun iman, rukun Islam dan
lain-lain cara mengajarkan ialah cara hafalan. Dan setelah selesai pengajian
Al-Qur’an di lanjutkan dengan pengajian kitab.
Lembaga-lembaga
pendidikan Islam lahir seirama dengan gerak dinamisasi perdaban Islam.
Lembaga-lembaga tersebut bukan tiruan dari lembaga pendidikan luar, tapi tumbuh
dan berkembang sesui dengan kebutuhan pada zamannya.[7]
Di
Negara-negara arab kita kenal lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti: (1) Al
Kuttab (di Indonesia dengan pengajian Al Qur’an) dan sebagainya.
Jika
kita paparkan mak jenjang pendidikan pada era Islam dalam sejarah Indonesia
adalah seperti terurai pada tiga sub bab berikut ini.
a)
Pendidikan
Di Lingkungan Keluarga
Pendidikan
agama Islam yang mula-mula dikenal di Negara kita, Indonesia, Ialah pendidikan
agama di lingkungan keluarga. Ayah atau Ibu yang bertindak sebagai guru bagi
anak-anaknya. Ayah atau Ibu yang meberikan pendidikan akhlak berupa
cerita-cerita atau kisah-kisah orang-orang saleh atau u cerita sejarah parah
Nabi, yang biasanya diberikan sebelum tidur atau pada waktu berkumpul,
memberikan hafalan bacaan ayat-ayat Qur’an atau doa-doa serta menuntuk praktek
ibdah sholat dengan cara mengajak anak-anaknya untuk turut shalat berjama’ah
dengan ayah dirumah atau di langgar/mesjid.
Pendidika
semacam demikian umumnya dilaksanakan oleh keluarga-keluarga muslim walaupun
materi dan caranya bervariasi. Keluarga-keluarga muslim terutama yang taat,
bertekad untuk melaksanakan sereuan Nabi Muhamaad s.a.w. yang antar lain agar
menyeruh anak yang berusia 7 tahun untuk shalat. Maka utntuk hal tesebut
anak-anak diajari hafalan shalat, dengan mengajak turut shalat berjama’ah di
mesjid, langgar atau rumah dengan ayahnya disamping pendidikan-pendidikan
lainnya.
b)
Pendidikan Pesantaren
Pesntren adalah
lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang umumnya dilakukan dengan
cara non –klasikal dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santrinya
berdasarkan kitab-kitab ditulis dalam bahasa Arab oleh ulam-ulama Arab abad
pertengahan.
Kata pesantren
berasal dari kata dasar santri dengan awalan pe- dan akhiran –an. Menurut Prof.
Johns[8]
kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, sedangkan C.C.
Beg berpendapat bahwa istlah tersebut berasasal dari istilah santri yang dalam
bahasa sangsekerta yang berarti orang ang tahu buku-buku suci agam hindu atau
seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata santri berasal dari kata
sastra yang berarti buku-buku suci, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Kata pesantern
sering dirangkaikan dengan kata pondok sebagai kata majemuk’’ pondok
pesantern’’ berarti asrama para santri atau tempat dari bamb atau barangkali
berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti asram atu hotel.
Pesantren
pada dasarnya adalah sebuah pendidikan Islam tradisional dimana para
siswanya(santri) tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan seseorang atau
lebih guru yang diesbut kiai. Asrama untuk para santri berada di lingkunagn
atau kompeleks pesantrendi mna kiai tinggal sertajuga menyediakan mesjid untuk
beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan kegiatan lain. Dahulu pesantern
merupakan milik kiai saja merupakan milik masyrakat.[9]
Banak
sekarang pendidik pesantern yang berstatus wakaf, baik wakaf yang diberikan
oleh kiai terdahulu maupun wakaf yang berasal dari orang-orang kaya. Walaupun
demikian, para kiai masi memilki kekuasaan mutlak atas pengurusan kompleks
pesantren tersbut.
Pondok,
asrama bagi para santri, merupakan cirri khas tradisi pesantern, yang
membedakan dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang
berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain.
Pada
masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram[10],
tempat pengajian yang disebut pesantren ini diagi menjadi tiga tingkat :
1. Pesantern
Desa (tingkat menegah)
Pada Pesantren
Desa ini bidang pendidikan yang diajarkan adalah kitab-kitab yang ditulis dalam
bahasa Ara, yang dalam pengajarannya diterjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa daerah.Pelajaran yang mula-mula ialah Usul 6 Bis, yaitu sejilid kitab
berisi 6 kitab dengan Bismillahirrahmanirrahim, susunan Ulama Samarkandi.Isinya
tentang agama Islam yang permulaan.Dismaping itu juga di ajarkan tentang mata
Tagrib dan Bidayatul Hidyah, karangan Imam Ghazali. Cara mengajarkan
kitab-kitab itu pada umumnya dengan cara sorogan, seorang demi seorang bagi
murid-murid permulaan dan dengan cara
bandungan (halaqah) bagi murid-murid yang sudah lanjut pelajarannya.
2. Pesantren
Besar (tingkat tinggi).
Pesantren ini
lengkap dengan pondok-pondoknya, seperti [pondok wonokromo (Imogiri), pondok
Krapyak(Yogyakarta). Selain qur’an dan hadits, diajarkan disini kitab-kitab
fiqih, Tasawwuf, Ilmu kalam, dan sebagainya.
Kitab-kitab
tersebut berbahasa arab yang dalam pengajarannya diterjemahkan kata demi kata
kedalam bahasa daerah dengan cara bandungan (halaqah). Untuk memahami kitab
tersbebut di perlukan penguasaan bahasa arab. Karenanya di ajarkan
komponen-komponen bahasa arab seperti nahwu, saraf, fonologi, morfologi,
sintaksis, ma’ ani Bayan, Badi dan lain-lain.[11]
3. Pesantren
Keahlian (takhasus).
Di sini
diajarkan satu cabang ilmu agama Islam dengan cara mendalam. Juga di ajarkan
satu macam tariqah, seperti Naqsyabandiyah, Syatriah,Qodiriyah, dan lain-lain.
Pada umumnya
pengajian Kitab ini berbeda dengan pengajian an Qur’an perbedaanya yaitu :
a.
Para murid pengajian kitab ini pada
umumnya masuk asrama (pondok pesantren).
b.
Mata pelajaran yang diberikan lebih
banyak daripada pengajian Qur’an; fase pertama pendidikannya pada umumnya
dimulai dengan pendidikan bahasa Arab.
Pondok,
Santri, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kiai, merupakan lima
elmen dasar dari trdisi pesantern.
Di
seluruh Jawa, biasanya orang mebedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga
kelompok :
1. Pesantren
Kecil, yang bisanya mempunyai jumlah santri di bawah 1.000 orang dan terbatas
pada tingkat kabupaten.
2. Pesantren
Menegah, yang biasanya mempunyai jumlah santri antar 1.000 sampai 2.000 orang.
3. Pesantern
Besar, yang bisanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang yang berasal dari
berbagai kabupaten dan profinsi.
Pesantern-psantern
besar mendidik murid-murid yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin pesantren
menegeh dan pesantren kecil secara budaya dan intelektual akan tetapi bergantung
kepada pesantren besar dimana mereka perna belajar. Ini berarti bahwa pesantern
besar dan pesantren kecil sling bergantung dan saling membutuhkan. Pesantern
menyediakan calon-calon kiai sedangkan pesantren-pesantren kecil menyediakn
para santir yang telah cukup terdidik untuk kemudian melanjutka pelajaran
tingkat tinggi mereka di pesantren besar.[12]
Proses
salling ketergantugan antara kedunya juga menciptakan system stratifikasi yang
eklusif sasama kiai, yang pararel dengan system atratifikisasi dari struktur
politik masyarakat Indonesia yang modern. Kiai yang memimpin pesantren menegah
merupakan elit dari tingkat profinsi, sedangkan kiai yang memimpin pesantern
kecil merupakan bagian dare lit kabupaten
c) Pendidikan
Kajian Al Qur’an
Pendidikan
yang paling sederhana, seluruhnya di pusatkan pada Al Qur’an. Pada dasarnya
pendidikan ini berupa pelajaran membeca beberapa bagian dari Al Qur’an. Untuk
permulaan, di ajarkan surat Al fatihah dan kemudian surat-surat pendek dalam
Juz Amma, yang penting untuk melaksanakan Ibdah.[13]
Pada
setiap kampung didirikan langgar atau mushllah atau tajung (Sunda), dan pada
setiap desa didirikan mesjid, yang disamping sebagai tempat ibdah juga sebagai
tempat pendidikan Islam. Langgar atau surau adalah tempat untuk mengaji Al Qur’an
dan tempat mengerjakan sembhyang lima waktu. Anak-anak yang berusia 7 tahun
belajar mengaji Al Qur’an pada seorang guru agama.
Pendidikan
dan pengajaran tingkat permulaan (rendah) dinamakan pengajian Qur’an. Anak-anak belajar mengaji ayat-ayat
Al Qur’an. Dengan duduk bersila menghadap guru, seorang demi seorang guru pun
duduk pula. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islam pada tingkat permulaan,
di mana anak=anak yang berbeda umurnya belajar membaca huruf arab dan mengaji
ayat-ayat Qur’an.
Apabilah
murid-murid itu sudah dapat membaca Al Qur’an sampai tamat mak berakhirlah
pendidikan langgar ini. Lamanya waktu belajar tidak dibatasi, tergantung pada
kemauan dan kemampuan si murid. Tujuan pendidikan di langgar ini ialah agar
murid pada suatu asaat dapat membaca lengkap dengan lagunya, menurut irama
terentu seluruh isi Al Qur’an 10 murid-murid duduk bersilah menghadap guru, di
ajar secara individual, satu persatu bergantian.
Pengajian
ini diberikan secara individual di rumah guru, langar atau surau. Namun dalam
beberapa kasus, juga di laksanakan di dalam rumah orang tua murid, terutama
kalu orang tua murid mempunyai kedudukan penting.[14]
Pada
umumnya seorang anak pada umur sekitar 6 tahun sampai 10 tahun, Untuk beberapa
jam belajar pada guru agama setempat. Bagaiman cara mengajarkan pengajian
tersebut, kutipan berikut akan menggambarkan dengan jelas kepada kita:
Pengajian
Al Qur’an diberikan secar individual kepada murid. Biasanya mereka berkumpul di
salah satu langgar atau sermbi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan
ayat-ayat suci di hadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selama ¼ atau
½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lain dengan suara keras
mengulang kaji kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah perbaiki gurunya.
Jadi dalam langar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam
suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi semenjak kanak-kanak terbiasa
hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara
murid yang lain.
Dalam
system pendidkan yang bercorak individual ini, sering terjadi perbedaan waktu
belajar yang besar, dimana ada murid yang cepat tetapi ada juga yang lambat
dalam menyelesaikan pendidikannya. Tujuan utama dalam pendidikan dasar ini
sudah tercapai kalau simurid pertama kali telah menamatkan membaca Al Qur’an
secara keseluruhan. Membaca disini mengandung pengertian melafalkan, karena
dalam fase ini belum diberikan pengajaran tentang isi teks. Juga pengajaran
bahasa arab belum diberikan dalam proses ini.
Setelah
anak-anak tamat mengaji Al Qur’an, sebagan besar di antara mereka ini keluar ke
tengah-tengah masyarakat dan sebagian lagi meneruskan pelajaran ke tingkat
lebih atas yang dinamai pengajian kitab.
Lembaga
pengajian kitab ini diperuntuhkan khusus bagi murid-murid yang telah khatam
mengaji Qur’an. Tempat mengajinya di sebut pesantren.
C. Definisi Pendidikan Multikultural
Dari
perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall[15]
yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang
peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan
yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik
merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara
etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu
pendidikan dan multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui
pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan
sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan
secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian
seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena
pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat.
Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan
penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.
D. Keadaan Pendidikan Multikultural Di
Indonesia
Sebagaimana
diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu
pendidikan agama dan pendidikan nasional.Pendidikan yang ada sekarang ini
cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis.Maksudnya,
pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional.
Pendidikan
agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish,
dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan
pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi.Oleh karena itu,
sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif
dan integral.[16]
Salah satu
faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang
hakikat manusia.Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan
timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam
lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika
para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat,
dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain
salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia
dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Manusia sepanjang
hidupnya melaksanakan pendidikan.Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang
utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan
dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas,
rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik.Namun realitanya, proses
pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya
nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak
berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam
tindakan yang tidak baik seperti yang akhir akhir ini terjadi: tawuran, perang,
penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi,
ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan
kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi
pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara
menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan,
dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.
Pendidikan
multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah
bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan
lainnya.[17]
2.
Pendidikan
multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak
masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan
mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut
masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai
gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya
gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih
mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang
bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah
kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi
masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan
teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan
yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas,
pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3.
Pendidikan
multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang
diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan
semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan,
yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard
Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah
kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang
terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang
musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal
dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan
maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4.
Pendidikan
multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan.
Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
5.
Dengan
demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun
karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di
lingkungan mereka.[18]
E.
Nilai-nilai PAI Yang Terkandung Dalam
Pendidikan Multikultural
Konsep
pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar
AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme,
agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan
multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Hal ini
sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara
gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.Pendidikan
menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan
berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial
sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya. Pendidikan
multikultural (multicultural education)[19]
merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana
tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.Dan secara luas pendidikan multikultural
itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti
gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya
James Bank, salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah
membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan-
mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk
kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan
gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive
and cementing movement).
Mengenai
fokus pendidikan multikultural, TILAAR mengungkapkan bahwa dalam program
pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada
kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini
pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan
pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas
terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan
orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat
mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap
"peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of
recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok
minoritas.[20]
F.
Pendidikan Multikultural Sebagai Proses
Pengembangan PAI
Melihat
dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil
beberapa pemahaman, antara lain;
Ø Pendidikan multikultural merupakan
sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal
atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal
batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi
sesama manusia;
Ø pendidikan multikultural
mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial,
moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya
adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda
dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ø Pendidikan yang menghargai
pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah
keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini,
pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga
dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham,
keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan
bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi
pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan
nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Ø Pendidikan yang menghargai dan
menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan
penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk
disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan
transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah
negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi
yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa
dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.[21]
Dalam
konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas.
Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan
"Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur
rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek
mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan
kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi,
pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya
kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya
dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi.
Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai
pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara
garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus
streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di
kalangan anak didik.Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya
pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui
bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan
lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis,
rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.
Oleh
karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan
membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak
didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan
kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
Lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku
bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan
berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara
global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa
mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.
G. Kontribusi Pendidikan Multikultural
Terhadap Materi
PAI
Dalam
rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi
pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural,
antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan
ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan
ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi
dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap
toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan
pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan
(Al-Baqarah/2: 148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi
damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60: 8-9); c) materi
yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4: 135)[22]
Kedua, materi fiqih, bisa diperluas dengan
kajian fikih siyasah (pemerintahan).Dari fikih siyasah inilah terkandung
konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat
ataupun khalifah-khalifah sesudahnya.Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi
Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis,
multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak
jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan
multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang menfokuskan
kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri
sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar
kebangsaan.Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu
bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu.Dalam Al-Qur’an telah diceritakan
tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral.Agar
Pendidikan Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama
Islam memang sangat menentukan.Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang
variatif, tidak monoton.Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu
memberi keteladanan.[23]
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber
pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi
sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari
sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan
fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.
Agar
pemahaman pluralisme dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta
didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat
Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini
dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat
Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil
memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum,
jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok
minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam Madinah
sebagai loncatan sejarah yang luar biasa.[24]
Bila kita
cermati, bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik.Ia memuat pokok-pokok
pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi
itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup
modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur
hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan
dan lain-lain.
Menurut
Nurcholish Madjid, toleransi merupakan persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan
yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus
dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang
benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer
adalah ajaran yang benar itu sendiri.Sebagai sesuatu yang primer, toleransi
harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok
tertentu –untuk diri sendiri- pelaksanaan toleransi secara konsekwen itu
mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.[25]
Materi-materi
yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai
diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman
terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam
berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan,
materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya,
sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual
peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan.Untuk tingkat pendidikan
lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan
al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas
realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.Kenyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas.
Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat
menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan,
kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan
untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian
dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan
multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep
pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat,
khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama,
status sosial, gender, kemampuan, umur, dll[26].
Karena
itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau
dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional
mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan.Lebih dari itu,
seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan
multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan
nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put
yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan
disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai
keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan
kepercayaan lain.
H. Kecenderungan dan Kelemahan PAI di Era
Multikulturalisme
Di era
multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tantangan
karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari
eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka
seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran
teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju
surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain.
Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak
toleran.Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan
reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman
keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural,
humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.[27]
Paradigma
keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman
lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang
multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung
nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui
pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang
beragama harus dapat mengimplementasikannilai-nilkemanusiaan; menghormati hak
asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian
bagi seluruih umat manusia.[28]
Pradigma
dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara dalam melihat perselisihan dan perbedaan
pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror,
perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan
cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan
yang substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama
dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan.Sedangkan
peradigma pemahaman keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat
pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja.Akan tetapi yang terpenting
adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi
sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan
membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan
kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti
kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia
dapat ditegakkan.Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat
beragama dapat terbangun.
Contoh
kasus yang berakaitan dengan problematika keberagamaan di sekolah dan bagaimana
peran guru/dosen dalam membangun pemahaman keberagamaan yang inklusisf pada
siswa:[29]
Beberapa
bulan setelah kasus pemboman dua buah kafe di kota A, seorang guru, setelah
membaca berita di media massa, bercerita tentang kasus tersebut di depan
murid-muridnya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh B dan
kawan-kawan adalah bagian dari jihad. Dia menambahkan bahwa apa yang dilakukan
B cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena
para korban adalah orang kafir yang beragama C yang sedang senang-senang di
sebuah kafe.
Penjelasan
guru atau dosen seperti ini, tentunya sangat menyesatkan bagi peserta didiknya.
Guru dalam kisah tersebut, telah menumbuhkan sikap permusuhan terhadap pemeluk
agama C, dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap oarang lain (umat
beragama lain). Dalam hal ini, seharusnya guru menjelaskan bahwa tindakan B dan
kawan-kawan tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun menurut agama. Dia
juga harus menjelaskan bahwa semua agama atau kepercayaan yang ada di bumi
ini, tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan
terhdap siapa saja, termasuk pada pemeluk agama lain.
Mencermati
gambaran peristiwa tersebut di atas, guru dan sekolah memegang peranan penting
dalam mengimplementasikan nilai-nilai kebergamaan yang inkluisf di
sekolah.apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inkluisf,
maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan niali-nilai
keberagamaan tersebut padan siswa di sekolah.[30]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Agama islam
diwahyukan kepada Nabi Muhamad s.a.w mengandung implikasi pendidikan yang
bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bila pendidikan islam telah
menjadi ilmu ilmiah, dan amalia maka ia akan dungsi dapat berfungsi sebagai sarana
pembudayaan manusia yang bernafaskan islam yang lebih efektif dan efisien
Pendidikan
multikultural merupakan konstribusi terhadap PAI agar lebih mampu dalam
mengaktualisasikan tujuan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin.Bila kita cermati, bunyi naskah
konstitusi itu sangat menarik.Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut
tinjauan modern pun mengagumkan.
Konsep
pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar
AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme,
agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan
multikultural, secara sederhana dapat didefenisikan sebagai pendidikan
untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan
kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara
keseluruhan".
Dalam
konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi
pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap
kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan
ekonomi antar golongan dan lain-lain.
Dengan membangun paradigma pemahaman
keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan
nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti kebenaran, keadilan,
kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat ditegakkan.Lebih
khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat beragama dapat terbangun
B.
Saran
Dari uraian diatas, kami selaku penyusun menghimbau
kepada kita semua khususnya kami sendiri untuk menelaah dan merenungkan kembali
bahwa betapa besar konstribusi pendidikan Multikultural terhadap kita umat
Islam khususnya dalam meningkatkan jiwa sosial antar agama, suku, budaya, dsb.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Nur, Pluralitas Agama kerukunan dalam keragaman,
Jakarta: PT. Gramedia, 2001
Ainul Yagim, Pendidikan multicultural cross-cultural
understanding untuk Demokrasi dankeadilan, Yogyakarta: Pilar media, 2005
Assegap Abd
Rahman, Politik Pendidikan Nasional
Pergeseran kebijakan pendidikan agama islam dari praproklamasi ke reformasi,Yogyakarta: karunia kalam,2005
Asy’arie Musa, Pendidikan multicultural dan konflik bangsa,
Kompas: 3 September 2004
Depertemen Agama
RI, Al-Quran
dan Terjemahnya
Gorski Paul, Multicultural
Philosophy Series, Multicultural
Education, Cetakan k-2, Companies: 2003
Hasan Karnadi “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal
Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam
Strategis, IAIN Walisongo, 2000,
H.A.R, Tilaar, Perubahan
Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk IndonesiaJakarta: Grasindo, 2002
M Arifin,Filsafat Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara
2000.
Madjid Nurcholish, “Masyarakat
Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangandan Kemungkinan”, (Cetakanke-2, Republika, 10 Agustus
1999),
Makmur Johan, Sejarah Pendidikan Zaman Penjajahan.
(Jakarta Manggola Bakti Jakarta:1993)
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005),
Musthofa, Imam, Machalli,
Pendidikan Islam dan Tantangan
Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004)
Paulo freire,Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang
Zaman (Jakarta:
Kanisius, 2001).
Sedyawati Edi, Zairnurdin
M..Sejarah Pendidikan Di Indonesia
Sebelum Kedatangan Bangsa Barat, (Jakarta;1991).
Suwondo Bambang. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, (Mizan
Jakarta:1995). Cet-1
Suharto Toto, Filsafat pendidikan islam, Cetakan ke 1,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),
[1]Paulo freire Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (Jakarta: Kanisius, 2001). h. 16.
[3]Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan
Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000,
Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000, h. 29.
[4] Depertemen Agama RI, Al-Quran
dan Terjemahnya
[6] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum
Kedatangan Bangsa Barat, (Jakarta;1991). Cet-1, h, 220
[7] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum
Kedatangan Bangsa Barat, Cet-1, h.222
[9]Johan
Makmur, Sejarah Pendidikan Zaman
Penjajahan. (Jakarta Manggola Bakti Jakarta:1993), Cet-1, h. 90-91
[11] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, Cet-1,
h. 94-95
[13] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesi Sebelum
Kedatangan Bangsa Barat, Cet-1, h. 223-225
[14] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, Cet-1,
h. 90-92
[16] Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi:
Tantangandan Kemungkinan”, (Cetakan ke-2,
Republika, 10 Agustus 1999), h. 4-5.
[17]Yagim Ainul, Pendidikan multicultural cross-cultural understanding untuk Demokrasi
dankeadilan, (Yogyakarta:
Pilar media, 2005), h. 32
[19]Abd Rahman Assegap, Politik Pendidikan Nasional Pergeseran
kebijakan pendidikan agama islam dari praproklamasi ke reformasi,(Yogyakarta: karunia kalam,2005), h.
26
[20] Musthofa, Imam, Machalli, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 178
[22]Musthofa, Imam, Machalli, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, h. 178
[24]Ainul
Yaqin, Pendidikan Multikultural
Cross-Cultural Understanding untukDemokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 41
[25] Musthofa, Imam, Machalli, Pendidikan
Islam dan Tantangan Globalisasi, h. 178
[26]H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif
untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo,
2002).,h.30
[27] Musa Asy’arie, “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa”,
(Kompas, September 2004), h.4.
[28]Syamsul Ma’arif, Pendidikan
Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2005), h. 36
[29] Paul Gorski, Multicultural Philosophy Series, Multicultural Education, Cetakan k-2, (Companies: 2003), h. 38
EmoticonEmoticon