Rabu, 07 Januari 2015

MAKALAH “KONTRIBUSI ANTAR PAI DENGAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL”

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan Islam di Indonesia merupakan suatu komponen dari unit pendidikan nasional bangsa Indonesia. Setiap usaha untuk memajukan dan mengembangkan  pendidikan agama, khususnya agama islam, berarti juga ikut berusaha mengembangkan pendidikan nasional. Pentingnya pendidikan agama, khususnya pendidikan agama islama bagi bangasa Indonesia tidak diragukan lagi. Pendidkan agama adalah salah satu sarana untuk mebentuk manusia Indonesia yang bermental pancasila. Agama berfungsi  factor motifator dan kreatif yang melandasi segala cita-cita dan amal perbuatan bangsa Indonesia. Pendidikan agama, khususnya agama islam akan mewujudkan moralitas, mebentuk kehidupan manusia yang mempunyai daya tarik untuk menghadpi berbagai godaan, ancaman, dan penderitaan, serta berperilaku yang sesui dengan ucapan batinnya.
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi manusia.
Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan potensi manusia seperti intelektual, sosial, religius, moral, ekonomi , teknis, kesopanan, etnis budaya yang tidak dibatasi oleh ruang, waktu, subjek, objek, dan relasinya. Oleh karena itu pendidikan multikultural dapat juga diartikan sebagai pendidikan yang menghargai pluralitas dan pendidikan multikultural ini menjadi penting untuk diterapkan.
Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan di Indonesia.Hal ini disebabkan tingkat keanekaragaman Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, adat istiadat dan agama.
Keanekaragaman tersebut dapat memberi keuntungan jika dapat dimanfaatkan dengan baik. Sehingga perlu usaha untuk menanamkan jiwa multikultural pada masyarakat Indonesia.Salah satu satuan pelajaran yang dapat dimodifikasi dengan landasan multikultural adalah Pendidikan Agama Islam (PAI).Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya paling tidak harus menerapkan metodologi pengajaran, silabi dan kurikulum yang tepat.Modifikasi ini merupakan suatu upaya agar PAI menghasilkan orang-orang yang mempunyai kesalehan individu dan juga kesalehan sosial.
Makalah ini berusaha membahas tentang hakikat pendidikan multikultural dan penerapannya di Indonesia serta urgensi pendidikan Islam dalam membangun kesadaran multikulturalisme dalam masyarakat multikultural yang sarat dengan permasalahan dan apa yang bisa ditawarkan oleh lembaga pendidikan Islam untuk turut andil mengatasinya sehingga pada akhirnya pendidikan Islam mampu memberikan kontribusinya terhadap stabilitas nasional.

B.     Rumusan Masalah

1.      Definisi dan tujuan pendidikan menurut pandangan Islam !
2.      Sejarah dan Peran Pendidikan Agama Islam Di Indonesia !
3.      Definisi Pendidikan Multikultural !
4.      Keadaan Pendidikan Multikultural Di Indonesia !
5.      Nilai-nilai PAI Yang Terkandung Dalam Pendidikan Multikultural !
6.      Pendidikan Multikultural Sebagai Proses Pengembangan PAI !
7.      Kontribusi Pendidikan Multikultural Terhadap Materi PAI!
8.      Kecenderungan dan Kelemahan PAI di Era Multikulturalisme !



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi dan Tujuan Pendidikan Menurut Pandangan Islam
Pendidikan adalah hak setiap manusia yang hidup di dunia ini. Pendidikan disamping sebagai proses transfer pengetahuan, juga berfungsi sebagai sarana transformasi dan regenerasi kehidupan sosial.Paulo freire, tokoh pendidikan Amerika Latin mengatakan bahwa tujuan akhir dari proses pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi).[1]
Tidak jauh berbeda dengan pandangan diatas M. Arifin[2] berpendapat, bahwa proses pendidikan pada akhirnya berlangsung pada titik kemampuan berkembangnya tiga hal yaitu mencerdaskan otak yang ada dalam kepala (head) kedua, mendidik akhlak atau moralitas yang berkembang dalam hati (heart) dan ketiga, adalah mendidik kecakapan/ketrampilan yang pada prinsipnya terletak pada kemampuan tangan (hand) selanjutnya populer dengan istilah 3 H’s.
Berangkat dari arti penting pendidikan ini, Karnadi Hasan memandang bahwa pendidikan bagi masyarakat dipandang sebagai “Human investment” yang berarti secara historis dan filosofis, pendidikan telah ikut mewarnai dan menjadi landasan moral dan etik dalam proses humanisasi dan pemberdayaan jati diri bangsa.[3]
Merujuk dari pemikiran tersebut, Pendidikan adalah rajat hidup bagi setiap manusia. Karena kita sadari bahwa tidak ada seorangpun yang lahir di dunia ini dalam keadaan pandai (berilmu). Hal ini membuktikan bahwa segala sesuatu di dunia ini merupakan proses berkelanjutan yang tidak asal jadi seperti bayangan dan impian kita. Berkaitan adanya proses tersebut, penciptaan manusia oleh Allah SWT juga tidaklah sekali jadi.
Ada proses penciptaan (khalq), proses penyempurnaan (taswiyyah), dengan cara memberikan ukuran atau hukum tertentu (taqdir), dan juga di berikannya petunjuk (hidayah). Dengan demikian menurut Sunnatullah manusia sangat terbuka kemungkinannya untuk mengembangkan segala potensi yang dia miliki melalui bimbingan dan tuntunan yang tearah, teratur serta berkesinambungan  yang semuanya merupakan proses dalam rangka penyempurnaan manusia (insan kamil) yang nantinya dapat memenuhi tugas dari kejadiannya yaitu sebagai Khalifah Fil Ardl.
Bagaimana bentuk dan pola peran seseorang, secara garis besarnya dapat dilihat dari kedudukan yang ditempatinya. Untuk mengetahui  hal itu, perlu dirujuk kepada penamaan yang disandangnya. Demikian pula akan halnya mengenai peran manusia. Peran ini dapat dirujuk antara lain dari berbagai sebutan yang diberikan kepada manusia. Selaku makhluk ciptaan, manusia dianugrah penciptanya dengan sejumlah nama atau sebutan.
Berdasarkan hakikat penciptaannya, maka secara moral manusia telah diikat oleh suatu perjanjian dengan penciptanya. Ikatan moral dalam bentuk pernyataan bertauhid kepada Allah.
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ  
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)" (Q.S. Al-Araf: 172).[4]
Sebagai bentuk perjanjian manusia dengan penciptanya. Perjanjian ini merupakan prinsip dasar dalam konsep hubungan manusia dengan penciptanya.
Tugas kekhalifahan menunjukkan peran, sedangkan amanah menitik beratkan pada tanggung jawab. Disinilah terlihat betapa hakikat manusia yang seharusnya ia lakoni dalam menjalani kehidupannya dimuka bumi. Tugas tersebut memang cukup berat, namun manusia yang mampu mengembannya.
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ  
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh, (Q.S. Al-Ahzab: 72)
Kesanggupan ini bagaimanapun membawa konsekuensi khusus bagi manusia, yaitu berupa pertanggungjawaban terhadap pelaksanaan amanat yang diterimanya. Semuanya itu kemudian akan dievaluasi oleh sang maha pencipta sendiri.
Manusia sebagai khalifah Allah menurut M. Quraish Shihab, tanggung jawab kekhalifahan manusia dapat dirujuk dari informasi dua ayat al-Qur’an. Kedua ayat tersebut adalah
øŒÎ)ur tA$s% š/u Ïps3Í´¯»n=yJù=Ï9 ÎoTÎ) ×@Ïã%y` Îû ÇÚöF{$# ZpxÿÎ=yz ( (#þqä9$s% ã@yèøgrBr& $pkŽÏù `tB ßÅ¡øÿム$pkŽÏù à7Ïÿó¡our uä!$tBÏe$!$# ß`øtwUur ßxÎm7|¡çR x8ÏôJpt¿2 â¨Ïds)çRur y7s9 ( tA$s% þÎoTÎ) ãNn=ôãr& $tB Ÿw tbqßJn=÷ès? ÇÌÉÈ 
Artinya:
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S, Al-Baqarah: 30) [5]
ߊ¼ãr#y»tƒ $¯RÎ) y7»oYù=yèy_ ZpxÿÎ=yz Îû ÇÚöF{$# Läl÷n$$sù tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# Èd,ptø:$$Î/ Ÿwur ÆìÎ7®Ks? 3uqygø9$# y7¯=ÅÒãŠsù `tã È@Î6y «!$# 4 ¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbq=ÅÒtƒ `tã È@Î6y «!$# öNßgs9 Ò>#xtã 7ƒÏx© $yJÎ/ (#qÝ¡nS tPöqtƒ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÏÈ  

Artinya:
Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. (Q.S. Shad: 26)
Selanjutnya beliau mengungkapkan bahwa ayat pertama menitikberatkan pada tugas khalifah sebagai penganugerahan, dan ayat kedua pada penawaran diri Allah kepada manusia sebagai amanat yang harus dipertanggungjawabkan.
Tugas sebagai khalifah ternyata ternyata mempunyai bentuk yang lebih kompleks dan kawasan cakupan yang lebih luas dari tugas dan tanggung jawab manusia sebagai makhluk social. Bila tanggung jawab social hanya terbatas pada hubungan antar manusia, maka tanggung jawab khalifah meliputi selain hubungan antar sesama manusia, seluruh makhluk hidup, hewan, tumbuhan, dan benda alam lainnya.


B.     Sejarah dan Peran Pendidikan Agama Islam Di Indonesia
Pada awal pengaruh agama Islam di Indonesia, keadaan pendidikan Islam masih bersifat kedaerahan. Tiap daeranhnya menyelengarakan pendidikan dan pengajaran Islam, Tiap daerah menyelangarakan pendidikan dan pengajaraan islam menurut keadaan derahnya masing-masing. Dengan demikian keadaan pendidikan Islam di jawa berbeda degan di sumatera, di Sulawesi dan di tempat-tempat lain demikian pula lembaga pendidikanya.
Khususnya di jawa[6] di kenal suatu lembaga pendidikan Islam yang bernama langgara (surau di sumatera tanjung di daerah sundah atau mushallah di Jakarta.) langgar merupakan sebuah tempat pendidikan Islam pada tingkat pemula. Pelajaran diberikan kepada anak-anak pada pagi dan soreh hari yang berlansung kira-kira dua jam lamanya
Lembaga pendidikan langgar terdapat di setiap desa. Begitu pula pada setiap desa, didirikan sebuah mesjid desa, yang selain tempat ibadah juga tempat pendidikan Islam pada tingkat permulaan. Pelajaran diberikan kepada anak-anak pada pagi dan sore hari yang berlangsung kira-kira dua jam lamanya.
Lembaga pendidikan langgar terdapat di setiap desa. Begitu pula pada setiap desa didirikan sebuah mesjid desa, yang selain tempat ibadah juga tempat pendidikan Islam. Sellain langgar dikenal pula, lembaga pendidikan, yang pada mulanya diberikan di serambi rumah kiai, di serambih mesjid atau di tempa lain yang khusus untik itu. Pengajian ini diselengarakan pada hari , tenga hari, dan malam hari, tanpa dipungut bayaran.
Tujuan pendidikan langgar ini adalah agar murid-murid dap[at membaca kitab sici Al Qur’an sampai tamat. Karena itu lama velajar tidak terbatas tergantung pada kemauan, kerajinan dan kecerdasan si murid. Caranya ialah, guru mengeja atau mengucapakan ayat-ayat Al-Qur’an dengan irama suara tertentu yang kemudian ditirukan oleh murid. Pelajaran diberikan pada seorang demi seorang, satu perstu maju mendekati guru, mendengarkan apa yang di ajarkan itu kemudian meirukanya. Sementara itu murid-murid yang lainya berlatih dengan suara keras.
Sementara itu pada lembaga pendidikan pengajaran Al Qur’an, pelajaran yang diberikan adalah belajar membac huruf arab, membaca Al’Quran, terjemahan dan tafsir Al Qur’an secara sederhana, bernyayi (kasidah), rukun iman, rukun Islam dan lain-lain cara mengajarkan ialah cara hafalan. Dan setelah selesai pengajian Al-Qur’an di lanjutkan dengan pengajian kitab.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam lahir seirama dengan gerak dinamisasi perdaban Islam. Lembaga-lembaga tersebut bukan tiruan dari lembaga pendidikan luar, tapi tumbuh dan berkembang sesui dengan kebutuhan pada zamannya.[7]
Di Negara-negara arab kita kenal lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti: (1) Al Kuttab (di Indonesia dengan pengajian Al Qur’an) dan sebagainya.
Jika kita paparkan mak jenjang pendidikan pada era Islam dalam sejarah Indonesia adalah seperti terurai pada tiga sub bab berikut ini.
a)      Pendidikan Di Lingkungan Keluarga
Pendidikan agama Islam yang mula-mula dikenal di Negara kita, Indonesia, Ialah pendidikan agama di lingkungan keluarga. Ayah atau Ibu yang bertindak sebagai guru bagi anak-anaknya. Ayah atau Ibu yang meberikan pendidikan akhlak berupa cerita-cerita atau kisah-kisah orang-orang saleh atau u cerita sejarah parah Nabi, yang biasanya diberikan sebelum tidur atau pada waktu berkumpul, memberikan hafalan bacaan ayat-ayat Qur’an atau doa-doa serta menuntuk praktek ibdah sholat dengan cara mengajak anak-anaknya untuk turut shalat berjama’ah dengan ayah dirumah atau di langgar/mesjid.
Pendidika semacam demikian umumnya dilaksanakan oleh keluarga-keluarga muslim walaupun materi dan caranya bervariasi. Keluarga-keluarga muslim terutama yang taat, bertekad untuk melaksanakan sereuan Nabi Muhamaad s.a.w. yang antar lain agar menyeruh anak yang berusia 7 tahun untuk shalat. Maka utntuk hal tesebut anak-anak diajari hafalan shalat, dengan mengajak turut shalat berjama’ah di mesjid, langgar atau rumah dengan ayahnya disamping pendidikan-pendidikan lainnya.

b)     Pendidikan Pesantaren
                                                                                
Pesntren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama Islam yang umumnya dilakukan dengan cara non –klasikal dimana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab-kitab ditulis dalam bahasa Arab oleh ulam-ulama Arab abad pertengahan.
Kata pesantren berasal dari kata dasar santri dengan awalan pe- dan akhiran –an. Menurut Prof. Johns[8] kata santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru ngaji, sedangkan C.C. Beg berpendapat bahwa istlah tersebut berasasal dari istilah santri yang dalam bahasa sangsekerta yang berarti orang ang tahu buku-buku suci agam hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Kata santri berasal dari kata sastra yang berarti buku-buku suci, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Kata pesantern sering dirangkaikan dengan kata pondok sebagai kata majemuk’’ pondok pesantern’’ berarti asrama para santri atau tempat dari bamb atau barangkali berasal dari bahasa Arab funduq yang berarti asram atu hotel.
Pesantren pada dasarnya adalah sebuah pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya(santri) tinggal dan belajar bersama di bawah bimbingan seseorang atau lebih guru yang diesbut kiai. Asrama untuk para santri berada di lingkunagn atau kompeleks pesantrendi mna kiai tinggal sertajuga menyediakan mesjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan kegiatan lain. Dahulu pesantern merupakan milik kiai saja merupakan milik masyrakat.[9]
Banak sekarang pendidik pesantern yang berstatus wakaf, baik wakaf yang diberikan oleh kiai terdahulu maupun wakaf yang berasal dari orang-orang kaya. Walaupun demikian, para kiai masi memilki kekuasaan mutlak atas pengurusan kompleks pesantren tersbut.
Pondok, asrama bagi para santri, merupakan cirri khas tradisi pesantern, yang membedakan dengan system pendidikan tradisional di masjid-masjid yang berkembang di kebanyakan wilayah Islam di negara-negara lain.
Pada masa pemerintahan Sulatan Agung Mataram[10], tempat pengajian yang disebut pesantren ini diagi menjadi tiga tingkat :
1.      Pesantern Desa (tingkat menegah)
Pada Pesantren Desa ini bidang pendidikan yang diajarkan adalah kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Ara, yang dalam pengajarannya diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa daerah.Pelajaran yang mula-mula ialah Usul 6 Bis, yaitu sejilid kitab berisi 6 kitab dengan Bismillahirrahmanirrahim, susunan Ulama Samarkandi.Isinya tentang agama Islam yang permulaan.Dismaping itu juga di ajarkan tentang mata Tagrib dan Bidayatul Hidyah, karangan Imam Ghazali. Cara mengajarkan kitab-kitab itu pada umumnya dengan cara sorogan, seorang demi seorang bagi murid-murid permulaan  dan dengan cara bandungan (halaqah) bagi murid-murid yang sudah lanjut pelajarannya.



2.      Pesantren Besar (tingkat tinggi).
Pesantren ini lengkap dengan pondok-pondoknya, seperti [pondok wonokromo (Imogiri), pondok Krapyak(Yogyakarta). Selain qur’an dan hadits, diajarkan disini kitab-kitab fiqih, Tasawwuf, Ilmu kalam, dan sebagainya.
Kitab-kitab tersebut berbahasa arab yang dalam pengajarannya diterjemahkan kata demi kata kedalam bahasa daerah dengan cara bandungan (halaqah). Untuk memahami kitab tersbebut di perlukan penguasaan bahasa arab. Karenanya di ajarkan komponen-komponen bahasa arab seperti nahwu, saraf, fonologi, morfologi, sintaksis, ma’ ani Bayan, Badi dan lain-lain.[11]

3.      Pesantren Keahlian (takhasus).
Di sini diajarkan satu cabang ilmu agama Islam dengan cara mendalam. Juga di ajarkan satu macam tariqah, seperti Naqsyabandiyah, Syatriah,Qodiriyah, dan lain-lain.
Pada umumnya pengajian Kitab ini berbeda dengan pengajian an Qur’an perbedaanya yaitu :

a.       Para murid pengajian kitab ini pada umumnya masuk asrama (pondok pesantren).
b.      Mata pelajaran yang diberikan lebih banyak daripada pengajian Qur’an; fase pertama pendidikannya pada umumnya dimulai dengan pendidikan bahasa Arab.
Pondok, Santri, masjid, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kiai, merupakan lima elmen dasar dari trdisi pesantern.
Di seluruh Jawa, biasanya orang mebedakan kelas-kelas pesantren dalam tiga kelompok :
1.      Pesantren Kecil, yang bisanya mempunyai jumlah santri di bawah 1.000 orang dan terbatas pada tingkat kabupaten.
2.      Pesantren Menegah, yang biasanya mempunyai jumlah santri antar 1.000 sampai 2.000 orang.
3.      Pesantern Besar, yang bisanya memiliki santri lebih dari 2.000 orang yang berasal dari berbagai kabupaten dan profinsi.
Pesantern-psantern besar mendidik murid-murid yang kelak menjadi pemimpin-pemimpin pesantren menegeh dan pesantren kecil secara budaya dan intelektual akan tetapi bergantung kepada pesantren besar dimana mereka perna belajar. Ini berarti bahwa pesantern besar dan pesantren kecil sling bergantung dan saling membutuhkan. Pesantern menyediakan calon-calon kiai sedangkan pesantren-pesantren kecil menyediakn para santir yang telah cukup terdidik untuk kemudian melanjutka pelajaran tingkat tinggi mereka di pesantren besar.[12]
Proses salling ketergantugan antara kedunya juga menciptakan system stratifikasi yang eklusif sasama kiai, yang pararel dengan system atratifikisasi dari struktur politik masyarakat Indonesia yang modern. Kiai yang memimpin pesantren menegah merupakan elit dari tingkat profinsi, sedangkan kiai yang memimpin pesantern kecil merupakan bagian dare lit kabupaten
c)      Pendidikan Kajian Al Qur’an
Pendidikan yang paling sederhana, seluruhnya di pusatkan pada Al Qur’an. Pada dasarnya pendidikan ini berupa pelajaran membeca beberapa bagian dari Al Qur’an. Untuk permulaan, di ajarkan surat Al fatihah dan kemudian surat-surat pendek dalam Juz Amma, yang penting untuk melaksanakan Ibdah.[13]
Pada setiap kampung didirikan langgar atau mushllah atau tajung (Sunda), dan pada setiap desa didirikan mesjid, yang disamping sebagai tempat ibdah juga sebagai tempat pendidikan Islam. Langgar atau surau adalah tempat untuk mengaji Al Qur’an dan tempat mengerjakan sembhyang lima waktu. Anak-anak yang berusia 7 tahun belajar mengaji Al Qur’an pada seorang guru agama. 
Pendidikan dan pengajaran tingkat permulaan (rendah) dinamakan pengajian  Qur’an. Anak-anak belajar mengaji ayat-ayat Al Qur’an. Dengan duduk bersila menghadap guru, seorang demi seorang guru pun duduk pula. Langgar merupakan lembaga pendidikan Islam pada tingkat permulaan, di mana anak=anak yang berbeda umurnya belajar membaca huruf arab dan mengaji ayat-ayat Qur’an.
Apabilah murid-murid itu sudah dapat membaca Al Qur’an sampai tamat mak berakhirlah pendidikan langgar ini. Lamanya waktu belajar tidak dibatasi, tergantung pada kemauan dan kemampuan si murid. Tujuan pendidikan di langgar ini ialah agar murid pada suatu asaat dapat membaca lengkap dengan lagunya, menurut irama terentu seluruh isi Al Qur’an 10 murid-murid duduk bersilah menghadap guru, di ajar secara individual, satu persatu bergantian.
Pengajian ini diberikan secara individual di rumah guru, langar atau surau. Namun dalam beberapa kasus, juga di laksanakan di dalam rumah orang tua murid, terutama kalu orang tua murid mempunyai kedudukan penting.[14]
Pada umumnya seorang anak pada umur sekitar 6 tahun sampai 10 tahun, Untuk beberapa jam belajar pada guru agama setempat. Bagaiman cara mengajarkan pengajian tersebut, kutipan berikut akan menggambarkan dengan jelas kepada kita:
Pengajian Al Qur’an diberikan secar individual kepada murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau sermbi rumah sang guru. Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu persatu di bawah bimbingannya selama ¼ atau ½ jam. Ketika salah seorang murid menghadap guru, murid lain dengan suara keras mengulang kaji kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah perbaiki gurunya. Jadi dalam langar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara murid yang lain.
Dalam system pendidkan yang bercorak individual ini, sering terjadi perbedaan waktu belajar yang besar, dimana ada murid yang cepat tetapi ada juga yang lambat dalam menyelesaikan pendidikannya. Tujuan utama dalam pendidikan dasar ini sudah tercapai kalau simurid pertama kali telah menamatkan membaca Al Qur’an secara keseluruhan. Membaca disini mengandung pengertian melafalkan, karena dalam fase ini belum diberikan pengajaran tentang isi teks. Juga pengajaran bahasa arab belum diberikan dalam proses ini.
Setelah anak-anak tamat mengaji Al Qur’an, sebagan besar di antara mereka ini keluar ke tengah-tengah masyarakat dan sebagian lagi meneruskan pelajaran ke tingkat lebih atas yang dinamai pengajian kitab.
Lembaga pengajian kitab ini diperuntuhkan khusus bagi murid-murid yang telah khatam mengaji Qur’an. Tempat mengajinya di sebut pesantren.
C.    Definisi Pendidikan Multikultural

Dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat Prudence Crandall[15] yang secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.
Secara etimologi istilah pendidikan multikultural terdiri dari dua term, yaitu pendidikan dan  multikultural. Pendidikan berarti proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan melalui pengajaran, pelatihan, proses dan cara mendidik. Dan multikultural diartikan sebagai keragaman kebudayaan, aneka kesopanan.
Sedangkan secara terminologi, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekwensi keragaman budaya, etnis, suku dan aliran (agama). Pengertian seperti ini mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan, karena pendidikan dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia.

D.    Keadaan Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa model pendidikan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pendidikan agama dan pendidikan nasional.Pendidikan yang ada sekarang ini cenderung menggunakan metode kajian yang bersifat dikotomis.Maksudnya, pendidikan agama berbeda dengan pendidikan nasional.
Pendidikan agama lebih menekankan pada disiplin ilmu yang bersifat normatif, establish, dan jauh dari realitas kehidupan.
Sedangkan pendidikan nasional lebih cenderung pada akal atau inteligensi.Oleh karena itu, sangat sulit menemukan sebuah konsep pendidikan yang benar-benar komprehensif dan integral.[16]
Salah satu faktor munculnya permasalahan itu adalah adanya pandangan yang berbeda tentang hakikat manusia.Kuatnya perbedaan pandangan terhadap manusia menyebabkan timbulnya perbedaan yang makin tajam dalam dataran teoritis, dan lebih tajam lagi pada taraf operasional. Fenomena tersebut, menjadi semakin nyata ketika para pengelola lembaga pendidikan memiliki sikap fanatisme yang sangat kuat, dan mereka beranggapan bahwa paradigmanya yang paling benar dan pihak yang lain salah, sehingga harus diluruskan.
Manusia dan pendidikan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan.Manusia sepanjang hidupnya melaksanakan pendidikan.Bila pendidikan bertujuan membina manusia yang utuh dalam semua segi kemanusiaannya, maka semua segi kehidupan manusia harus bersinggungan dengan dimensi spiritual (teologis), moralitas, sosialitas, emosionalitas, rasionalitas (intelektualitas), estetis dan fisik.Namun realitanya, proses pendidikan kita masih banyak menekannkan pada segi kognitf saja, apalagi hanya nilai-nilai ujian yang menjadi standar kelulusan, sehingga peserta didik tidak berkembang menjadi manusia yang utuh. Akibat selanjutnya akan terjadi beragam tindakan yang tidak baik seperti yang akhir akhir ini terjadi: tawuran, perang, penghilangan etnis, ketidakadilan, kesenjangan ekonomi, korupsi, ketidakjujuran, dan sebagainya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sebagai strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran, dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada siswa sangat diperlukan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
1.      Pendidikan multikultural secara inheren sudah ada sejak bangsa Indonesia ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah suka gotong royong, membantu, menghargai antara suku dan lainnya.[17]
2.      Pendidikan multikultural memberikan secercah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Keberhasilan pendidikan dengan mengabaikan ideologi, nilai-nilai, budaya, kepercayaan dan agama yang dianut masing-masing suku dan etnis harus dibayar mahal dengan terjadinya berbagai gejolak dan pertentangan antar etnik dan suku. Salah satu penyebab munculnya gejolak seperti ini, adalah model pendidikan yang dikembangkan selama ini lebih mengarah pada pendidikan kognitif intelektual dan keahlian psikomotorik yang bersifat teknis semata. Padahal kedua ranah pendidikan ini lebih mengarah kepada keahlian yang lepas dari ideologi dan nilai-nilai yang ada dalam tradisi masyarakat, sehingga terkesan monolitik berupa nilai-nilai ilmiah akademis dan teknis empiris. Sementara menurut pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai keyakinan, heterogenitas, pluralitas agama apapun aspeknya dalam masyarakat.
3.      Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang berorientasi bisnis. Pendidikan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia sebenarnya bukanlah pendidikan ketrampilan semata, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan, yang sering disebut kecerdasan ganda (multiple intelligence). Menurut Howard Gardner, kecerdasan ganda yang perlu dikembangkan secara seimbang adalah kecerdasan verbal linguistic, kecerdasan logika matematika, kecerdasan yang terkait dengan spasialRuang, kecerdasan fisik kinestetik, kecerdasan dalam bidang musik, kecerdasan yang terkait dengan lingkungan alam, kecerdasan interpersonal dan kecerdasan intrapersonal. Jadi, jika ketrampilan saja yang dikembangkan maka pendidikan itu jelas berorientasi bisnis.
4.      Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada jenis kekerasan. Kekerasan muncul ketika saluran perdamaian sudah tidak ada lagi.
5.      Dengan demikian, pendidikan multikultural sekaligus untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis di lingkungan mereka.[18]

E.     Nilai-nilai PAI Yang Terkandung Dalam Pendidikan Multikultural

Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Hal ini sejalan dengan pendapat Paulo Freire, pendidikan bukan merupakan "menara gading" yang berusaha menjauhi realitas sosial dan budaya.Pendidikan menurutnya, harus mampu menciptakan tatanan masyarakat yang terdidik dan berpendidikan, bukan sebuah masyarakat yang hanya mengagungkan prestise sosial sebagai akibat kekayaan dan kemakmuran yang dialaminya.  Pendidikan multikultural (multicultural education)[19] merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok.Dan secara luas pendidikan multikultural itu mencakup seluruh siswa tanpa membedakan kelompok-kelompoknya seperti gender, etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.
Selanjutnya James Bank, salah seorang pioner dari pendidikan multikultural dan telah membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan- mengatakan bahwa substansi pendidikan multikultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as education for freedom) sekaligus sebagai penyebarluasan gerakan inklusif dalam rangka mempererat hubungan antar sesama (as inclusive and cementing movement).
Mengenai fokus pendidikan multikultural, TILAAR mengungkapkan bahwa dalam program pendidikan multikultural, fokus tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok rasial, agama dan kultural domain atau mainstream. Fokus seperti ini pernah menjadi tekanan pada pendidikan interkultural yang menekankan peningkatan pemahaman dan toleransi individu-individu yang berasal dari kelompok minoritas terhadap budaya mainstream yang dominan, yang pada akhirnya menyebabkan orang-orang dari kelompok minoritas terintegrasi ke dalam masyarakat mainstream. Pendidikan multikultural sebenarnya merupakan sikap "peduli" dan mau mengerti (difference), atau "politics of recognition" politik pengakuan terhadap orang-orang dari kelompok minoritas.[20]

F.     Pendidikan Multikultural Sebagai Proses Pengembangan PAI

Melihat dan memperhatikan pengertian pendidikan multikultural di atas, dapat diambil beberapa pemahaman, antara lain;
Ø  Pendidikan multikultural merupakan sebuah proses pengembangan yang berusaha meningkatkan sesuatu yang sejak awal atau sebelumnya sudah ada. Karena itu, pendidikan multikultural tidak mengenal batasan atau sekat-sekat sempit yang sering menjadi tembok tebal bagi interaksi sesama manusia;
Ø  pendidikan multikultural mengembangkan seluruh potensi manusia, meliputi, potensi intelektual, sosial, moral, religius, ekonomi, potensi kesopanan dan budaya. Sebagai langkah awalnya adalah ketaatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, penghargaan terhadap orang-orang yang berbeda dalam hal tingkatan ekonomi, aspirasi politik, agama, atau tradisi budaya.
Ø  Pendidikan yang menghargai pluralitas dan heterogenitas. Pluralitas dan heterogenitas adalah sebuah keniscayaan ketika berada pada masyarakat sekarang ini. Dalam hal ini, pluralitas bukan hanya dipahami keragaman etnis dan suku, akan tetapi juga dipahami sebagai keragaman pemikiran, keragaman paradigma, keragaman paham, keragaman ekonomi, politik dan sebagainya. Sehingga tidak memberi kesempatan bagi masing-masing kelompok untuk mengklaim bahwa kelompoknya menjadi panutan bagi pihak lain. Dengan demikian, upaya pemaksaan tersebut tidak sejalan dengan nafas dan nilai pendidikan multikultural.
Ø  Pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat urgen untuk disosialisasikan. Sebab dengan kemajuan teknologi telekomunikasi, informasi dan transportasi telah melampaui batas-batas negara, sehingga tidak mungkin sebuah negara terisolasi dari pergaulan dunia. Dengan demikian, privilage dan privasi yang hanya memperhatikan kelompok tertentu menjadi tidak relevan. Bahkan bisa dikatakan “pembusukan manusia” oleh sebuah kelompok.[21]

Dalam konteks itu, pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas. Berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap "indiference" dan "Non-recognition" tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subyek-subyek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang: sosial, budaya, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya. Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang 'ethnic studies" untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Tujuan inti dari pembahasan tentang subyek ini adalah untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi kelompok-kelompok minoritas dan disadventaged.
Secara garis besar, paradigma pendidikan multikultural diharapkan dapat menghapus streotipe, sikap dan pandangan egoistik, individualistik dan eksklusif di kalangan anak didik.Sebaliknya, dia senantiasa dikondisikan ke arah tumbuhnya pandangan komprehensif terhadap sesama, yaitu sebuah pandangan yang mengakui bahwa keberadaan dirinya tidak bisa dipisahkan atau terintegrasi dengan lingkungan sekeliling yang realitasnya terdiri atas pluralitas etnis, rasionalisme, agama, budaya, dan kebutuhan.
Oleh karena itu, cukup proporsional jika proses pendidikan multikultural diharapkan membantu para siswa dalam mengembangkan proses identifikasi (pengenalan) anak didik terhadap budaya, suku bangsa, dan masyarakat global. Pengenalan kebudayaan maksudnya anak dikenalkan dengan berbagai jenis tempat ibadah,
Lembaga kemasyarakatan dan sekolah. pengenalan suku bangsa artinya anak dilatih untuk bisa hidup sesuai dengan kemampuannya dan berperan positif sebagai salah seorang warga dari masyarakatnya. Sementara lewat pengenalan secara global diharapkan siswa memiliki sebuah pemahaman tentang bagaimana mereka bisa mengambil peran dalam percaturan kehidupan global yang dia hadapi.

G.    Kontribusi Pendidikan Multikultural Terhadap Materi PAI

Dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:
Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat pilihan, selain ayat-ayat tentang keimanan juga perlu ditambah dengan ayat-ayat yang dapat memberikan pemahaman dan penanaman sikap ketika berinteraksi dengan orang yang berlainan agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu a) materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Al-Baqarah/2: 148); b) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (al-Mumtahanah/60: 8-9); c) materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (an-Nisa’/4: 135)[22]
Kedua, materi fiqih, bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan).Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman, Nabi, Sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya.Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multi-etnis, multi-kultur, dan multi-agama.
Ketiga, materi akhlak yang menfokuskan kajiannya pada perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan.Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada Akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu.Dalam Al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral.Agar Pendidikan Agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan.Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton.Dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.[23]
Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleranasi.
Agar pemahaman pluralisme dan toleransi dapat tertanam dengan baik pada peserta didik, maka perlu ditambahkan uraian tentang proses pembangunan masyarakat Madinah dalam materi “Keadaan Masyarakat Madinah Sesudah Hijrah”, dalam hal ini dapat ditelusuri dari Piagam Madinah. Sebagai salah satu produk sejarah umat Islam, piagam Madinah merupakan bukti bahwa Nabi Muhammad berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan, penegakan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Beberapa ahli tentang sejarah Islam menyebut Piagam Madinah  sebagai loncatan sejarah yang luar biasa.[24]
Bila kita cermati, bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik.Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan. Dalam konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan lain-lain.
Menurut Nurcholish Madjid, toleransi merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang “enak” antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai “hikmah” atau “manfaat” dari pelaksanaan suatu ajaran yang benar. Hikmah atau manfaat itu adalah sekunder nilainya, sedangkan yang primer adalah ajaran yang benar itu sendiri.Sebagai sesuatu yang primer, toleransi harus dilaksanakan dan diwujudkan dalam masyarakat, sekalipun untuk kelompok tertentu –untuk diri sendiri- pelaksanaan toleransi secara konsekwen itu mungkin tidak menghasilkan sesuatu yang “enak”.[25]
Materi-materi yang bersumber pada pesan agama dan fakta yang terjadi di lingkungan sebagai diuraikan di atas merupakan kisi-kisi minimal dalam rangka memberikan pemahaman terhadap keragaman umat manusia dan untuk memunculkan sikap positif dalam berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang berbeda. Dalam proses pendidikan, materi itu disesuaikan dengan tingkatan dan jenjang pendidikan. Maksudnya, sumber bacaan dan bahasa yang digunakan disesuaikan dengan tingkat intelektual peserta didik di masing-masning tingkat pendidikan.Untuk tingkat pendidikan lanjutan, materi dipilih dengan menyajikan fakta-fakta historis dan pesan-pesan al-Qur’an yang lebih konkrit serta memberikan perbandingan dan perenungan atas realitas yang sedang terjadi di masyarakat saat ini.
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas.
 Keragaman ini diakui atau tidak akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut. Berkaitan dengan hal ini, pendidikan multikultural menawarkan satu alternatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial, gender, kemampuan, umur, dll[26].
Karena itulah yang terpenting dalam pendidikan multikultural adalah seorang guru atau dosen tidak hanya dituntut untuk menguasai dan mampu secara profesional mengajarkan mata pelajaran atau mata kuliah yang diajarkan.Lebih dari itu, seorang pendidik juga harus mampu menanamkan nilai-nilai inti dari pendidikan multikultural seperti demokrasi, humanisme, dan pluralisme atau menanamkan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif pada siswa. Pada gilirannya, out-put yang dihasilkan dari sekolah/universitas tidak hanya cakap sesuai dengan disiplin ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu menerapkan nilai-nilai keberagamaan dalam memahami dan menghargai keberadaan para pemeluk agama dan kepercayaan lain.

H.    Kecenderungan dan Kelemahan PAI di Era Multikulturalisme

Di era multikulturalisme dan pluralisme, pendidikan agama sedang mendapat tantangan karena ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik keluar dari eksklusifitas beragama. Wacana kafir-iman, muslim non-muslim, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas selalu diindoktrinasi.
Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran.Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontestual, substantif dan aktif sosial.[27]
Paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pandapat dan pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikannilai-nilkemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruih umat manusia.[28]
Pradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara  dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagmaan dari pada melakukan tindakan-tondakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Paradigma keagamaan yang substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nialai agama dari pada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan.Sedangkan peradigma pemahaman keagmaan aktif sosial berati agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja.Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat ditegakkan.Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat beragama dapat terbangun.
Contoh kasus yang berakaitan dengan problematika keberagamaan di sekolah dan bagaimana peran guru/dosen dalam membangun pemahaman keberagamaan yang inklusisf pada siswa:[29]
Beberapa bulan setelah kasus pemboman dua buah kafe di kota A, seorang guru, setelah membaca berita di media massa, bercerita tentang kasus tersebut di depan murid-muridnya. Dia bercerita bahwa apa yang telah dilakukan oleh B dan kawan-kawan adalah bagian dari jihad. Dia menambahkan bahwa apa yang dilakukan B cs, menurut agama, tidak berdosa telah melakukan tindakan tersebut karena para korban adalah orang kafir yang beragama C yang sedang senang-senang di sebuah kafe.
Penjelasan guru atau dosen seperti ini, tentunya sangat menyesatkan bagi peserta didiknya. Guru dalam kisah tersebut, telah menumbuhkan sikap permusuhan terhadap pemeluk agama C, dan telah melegalkan tindakan kekerasan terhadap oarang lain (umat beragama lain). Dalam hal ini, seharusnya guru menjelaskan bahwa tindakan B dan kawan-kawan tidak bisa dibenarkan baik secara hukum maupun menurut agama. Dia juga harus menjelaskan bahwa semua agama atau kepercayaan  yang ada di bumi ini, tidak pernah memerintahkan kepada pemeluknya untuk melakukan kekerasan terhdap siapa saja, termasuk pada pemeluk agama lain.
Mencermati gambaran peristiwa tersebut di atas, guru dan sekolah memegang peranan penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai kebergamaan yang inkluisf di sekolah.apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inkluisf, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan niali-nilai keberagamaan tersebut padan siswa di sekolah.[30]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan

Agama islam diwahyukan kepada Nabi Muhamad s.a.w mengandung implikasi pendidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bila pendidikan islam telah menjadi ilmu ilmiah, dan amalia maka ia akan dungsi dapat berfungsi sebagai sarana pembudayaan manusia yang bernafaskan islam yang lebih efektif dan efisien
Pendidikan multikultural merupakan konstribusi terhadap PAI agar lebih mampu dalam mengaktualisasikan tujuan Islam sebagai Rahmatan Lil Alamiin.Bila kita cermati, bunyi naskah konstitusi itu sangat menarik.Ia memuat pokok-pokok pikiran yang dari sudut tinjauan modern pun mengagumkan.
Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, rasionalisme, agama dan budaya seperti di Indonesia. Sedangkan wacana tentang pendidikan multikultural,  secara sederhana dapat didefenisikan sebagai pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan".
Dalam konstitusi itulah pertama kalinya dirumuskan ide-ide yang kini menjadi pandangan hidup modern di dunia, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan hubungan ekonomi antar golongan dan lain-lain.

Dengan membangun paradigma pemahaman keberagmaan yang lebih humanis, pluralis, dan kontekstual diharapkan nilai-niali universal yang ada dalam agama sepeti kebenaran, keadilan, kemanusiaaan, perdamaian dan kesejahteraan umat manusia dapat ditegakkan.Lebih khusus lagi, agar kerukunan dan kedamaian antar umat beragama dapat terbangun

B.     Saran

Dari uraian diatas, kami selaku penyusun menghimbau kepada kita semua khususnya kami sendiri untuk menelaah dan merenungkan kembali bahwa betapa besar konstribusi pendidikan Multikultural terhadap kita umat Islam khususnya dalam meningkatkan jiwa sosial antar agama, suku, budaya, dsb.




DAFTAR PUSTAKA

Achmad Nur, Pluralitas Agama kerukunan dalam keragaman, Jakarta: PT. Gramedia, 2001
Ainul Yagim, Pendidikan multicultural cross-cultural understanding untuk Demokrasi dankeadilan, Yogyakarta: Pilar media, 2005
Assegap Abd Rahman, Politik Pendidikan Nasional Pergeseran kebijakan pendidikan agama islam dari praproklamasi ke reformasi,Yogyakarta: karunia kalam,2005
Asy’arie Musa, Pendidikan multicultural dan konflik bangsa, Kompas: 3 September 2004
Depertemen Agama RI,  Al-Quran dan Terjemahnya
Gorski Paul, Multicultural Philosophy Series, Multicultural Education, Cetakan k-2, Companies: 2003
Hasan Karnadi “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,
H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk IndonesiaJakarta: Grasindo, 2002
M Arifin,Filsafat Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara 2000.
Madjid Nurcholish, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangandan Kemungkinan”, (Cetakanke-2,  Republika, 10 Agustus 1999),
Makmur Johan, Sejarah Pendidikan Zaman Penjajahan. (Jakarta Manggola Bakti Jakarta:1993)
Ma’arif, Syamsul, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005),
Musthofa, Imam, Machalli,  Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004)
Paulo freire,Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (Jakarta: Kanisius, 2001).
Sedyawati Edi, Zairnurdin M..Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa Barat, (Jakarta;1991).
Suwondo Bambang. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, (Mizan Jakarta:1995). Cet-1
Suharto Toto, Filsafat pendidikan islam, Cetakan ke 1,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004),






[1]Paulo freire Pendidikan : Kegelisahan Sepanjang Zaman (Jakarta: Kanisius, 2001). h. 16.
[2]Prof. H.M. Arifin, M. Ed., Filsafat Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara 2000) h. 57.
[3]Karnadi Hasan “Konsep Pedidikan Jawa”, dalam : Jurnal Dinamika islam dan Budaya Jawa, No 3 tahun 2000, Pusat Pengkajian Islam Strategis, IAIN Walisongo, 2000,  h. 29.
[4] Depertemen Agama RI,  Al-Quran dan Terjemahnya
[5] Depertemen Agama RI,  Al-Quran dan Terjemahnya.
[6] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa Barat, (Jakarta;1991). Cet-1,  h, 220
[7] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sebelum Kedatangan Bangsa Barat, Cet-1, h.222
[8] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, (Mizan Jakarta:1995). Cet-1,, h. 93-94
[9]Johan Makmur, Sejarah Pendidikan Zaman Penjajahan. (Jakarta Manggola Bakti Jakarta:1993), Cet-1, h. 90-91
[10] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, Cet-1, h.  94-95
[11] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, Cet-1, h.  94-95
[12] Johan Makmur. Sejarah Pendidikan Indonesia Zaman Penjajahan, Cet-1, h.  90-91
[13] Edi Sedyawati, M. Zairnurdin. Sejarah Pendidikan Di Indonesi Sebelum Kedatangan Bangsa Barat, Cet-1, h. 223-225
[14] Bambang Suwondo. Sejarah Pendidikan Daerah Bengkulu, Cet-1, h.  90-92
[15]TotoSuharto, Filsafat pendidikan islam, Cetakan ke 1,(Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), h. 25.
[16] Nurcholish Madjid, “Masyarakat Madani dan Investasi Demokrasi: Tantangandan Kemungkinan”, (Cetakan ke-2,  Republika, 10 Agustus 1999), h. 4-5.
[17]Yagim Ainul, Pendidikan multicultural cross-cultural understanding untuk Demokrasi dankeadilan, (Yogyakarta: Pilar media, 2005), h. 32
[18]Musa Asy’arie, Pendidikan multicultural dan konflik bangsa, (Kompas: 3 September 2004), h. 35
[19]Abd Rahman Assegap, Politik Pendidikan Nasional Pergeseran kebijakan pendidikan agama islam dari praproklamasi ke reformasi,(Yogyakarta: karunia kalam,2005), h. 26
[20] Musthofa, Imam, Machalli,  Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 178
[21]Nur Achmad, Pluralitas Agama kerukunan dalam keragaman, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), h. 29.
[22]Musthofa, Imam, Machalli,  Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, h. 178
[23]Musthofa, Imam, Machalli, Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, (h. 179
[24]Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untukDemokrasi dan Keadilan, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 41
[25] Musthofa, Imam, Machalli,  Pendidikan Islam dan Tantangan Globalisasi, h. 178
[26]H.A.R, Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia (Jakarta: Grasindo, 2002).,h.30
[27] Musa Asy’arie, “Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa”, (Kompas, September 2004), h.4.
[28]Syamsul Ma’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 36
[29] Paul Gorski, Multicultural Philosophy Series, Multicultural Education, Cetakan k-2, (Companies: 2003), h. 38
[30]Syamsul Ma’arif, Pendidikan pluralism di Indonesia, ,h. 40.


EmoticonEmoticon