BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kurikulum didefinisikan ke dalam
berbagai variasi seperti, ada yang memandangnya secara sempit, yaitu kurikulum
sebagai kumpulan mata pelajaran atau bahan ajar. Ada yang mengartikannya secara
luas, meliputi semua pengalaman yang diperoleh siswa karena pengarahan-bmbingan
dan tanggung jawab sekolah. Kurikulum juga diartikan sebagai dokumen tertulis
dari suatu rencana atau program pendidikan (written
curriculum), dan juga sebagai pelaksanaan dari rencana (actual curriculum). Tidak semua yang ada
dalam kurkulum tertulis, kemungkinan dilaksanakan di kelas.
Kurikulum merupakan rancangan
pembelajaran dalam institusi pendidikan yang harus ditempuh peserta didik dalam
jangka waktu tertentu. Dalam teks maupun prakteknya, kurikulum hendaknya
senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Agar senantiasa relevan,
kurikulum tentunya perlu dikembangkan dari waktu ke waktu agar isinya selalu
berkembang sesuai tuntutan dan harapan berbagai pihak terkait.
Kurikulum dapat mencakup lingkup
yang sangat luas, yaitu sebagai program pengajaran pada suatu jenjang
pendidikan, dan dapat pula menyangkut lingkup yang sangat sempit, seperti
program pengajaran suatu mata pelajaran untuk beberapa jam pelajaran. Apakah
dalam lingkup yang luas maupun sempit, kurikulum membentuk desain yang
menggambarkan pola organisasi dari komponen-komponen kurikulum dengan
perlengkapan penunjangnya.
Komponen kurikulum merupakan suatu
unsur yang perlu kita pahami agar dalam pelaksanaannya kita dapat berjalan
sesuai dengan tujuan yang ingin di capai. Sedangkan, desain kurikulum merupakan
suatu proses pengembangan kurikulum yang diawali dari perencanaan, yang
dilanjutkan dengan validasi, implementasi dan evaluasi. Suatu program kurikulum
apabila dilaksanakan tetapi kita tidak memahami konsepnya maka semua dapat
diakatakan sia-sia, jadi untuk memahami komponen dan desain kurikulum itu
sendiri dapat diakatakan penting bagi kita untuk memahami dan mempelajarinya
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas
dapat di tarik beberapa pokok permasalahan yang akan di bahas dalam makalah
ini, yaitu
1.
Apa saja komponen-komponen kurikulum?
2.
Apa saja desain pengembangan kurikulum?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Komponen-Komponen Kurikulum
Kurikulum dapat
diumpamakan sebagai suatu organisme manusia maupun binatang, yang memiliki
susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dari anatomi tubuh
kurikulum yang utama adalah tujuan, isi atau materi, proses atau sistem
penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat
satu sama lain.
Suatu kurikulum harus
memiliki kesesuaian atau relevansi. Kesesuaian ini meliputi dua hal. Pertama, kesesuaian antara kurikulum
dengan tuntutan, kebutuhan, kondisi dan perkembangan masyarakat. Kedua, kesesuaian antar
komponen-komponen kurikulum, yaitu isi sesuai dengan tujuan, proses sesuai
dengan isi dan tujuan, demikian juga evaluasi sesuai dengan proses, isi dan
tujuan kurikulum.[1]
1.
Komponen Tujuan
Tujuan memegang peranan
penting, akan mengarahkan semua kegiatan pengajaran dan mewarnai
komponen-komponen kurikulum lainnya. Tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan
dua hal. Pertama perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat. Kedua,
didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai
filosofis, terutama falsafah negara. Kita mengenal beberapa kategori tujuan
pendidikan, yaitu tujuan umum dan khusus, jangka panjang, menengah, dan jangka
pendek.
Dalam kurikulum pendidikan dasar dan
menengah 1975/1976 dikenal kategori tujuan sebagai berikut.
a.
Tujuan Pendidikan Nasional
Tujuan pendidikan
nasional merupakan tujuan jangka panjang, tujuan ideal pendidikan bangsa
indonesia.[2] Tujuan
pendidikan nasional merupakan tujuan pendidikan yang paling tinggi dalam
hierarki tujuan-tujuan pendidikan yang ada, yang bersifat ideal dan umum yang
dikaitkan dengan falsafah pancasila. Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun
1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan Pendidikan Nasional adalah
untuk menciptakan manusia Indonesia yang beriman, bertakwa terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan,
kesehatan jasmani dan ruhani, kepribadian yang mantap, mandiri, dan memiliki
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.[3]
Tujuan pendidikan nasional menurut
UU No. 2 Tahun 1989 pada dasarnya untuk membentuk anak didik menjadi manusa
seutuhnya, yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi serta beriman dan
bertakwa atau dikenal juga untuk membentuk manusia pancasilais.
b.
Tujuan Intitusional
Tujuan institusional
merupakan sasaran pendidikan sesuatu lembaga pendidikan. Tujuan
institusional merupakan tindak lanjut dari tujuan pendidikan nasional. Sistem
pendidikan Indonesia memiliki jenjang yang melembaga pada suatu tingkatan. Tiap
lembaga memiliki suatu tujuan pendidikan yang disebut tujuan institusional,
karena itu dikenal bermacam-macam tujuan institusional, antara lain tujuan
institusional SD/MI, SMP/MTs, SMA/ MA, Universitas/Akademi/UIN/IAIN/STAIN, dan
lain sebagainya.[4]
Keberadaan tujuan pendidikan mesti
menggambarkan kelanjutan dan memiliki relevansi yang kuat dengan tujuan
pendidikan nasional. Agar tidak terjadi penyimpangan, tiap tujuan institusional
mesti di dahului dengan pengertian pendidikan, dasar pendidikan, tujuan
pendidikan nasional, dan tujuan umum lembaga yang dimaksud.
c.
Tujuan Kurikuler
Tujuan kurikuler merupakan tindak
lanjut dari tujuan institusional dalam melaksanakan kegiatan pendidikan dari suatu
lembaga pendidikan. Dengan demikian, isi pengajaran yang telah disusun
diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Suatu lembaga
pendidikan memiliki tujuan kurikuler yang biasanya dapat dilihat dari GBPP
suatu bidang studi. Dari GBPP (Garis-Garis BesarProgram Pengajaran) tersebut,
terdapat suatu tujuan kurikuler yang perlu dicapi oleh anak didik setelah ia
menyelesaikan pendidikannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah bahwa tujuan kurikuler mesti mencerminkan tindak lanjut dari tujuan
kurikuler dan tujuan pendidikan nasional. Karena itu, penjabaran tujuan
institusional dan tujuan pendidikan nasional mesti menggambarkan tujuan
kurikuler sehingga akan terlihat jelas hubungan hierarkis dari ketiga tujuan
pendidikan tersebut.
d. Tujuan instruksional
Tujuan ini bersifat operasional,
yaitu diharapkan dapat tercapai pada saat terjadinya proses belajar mengajar
yang bersifat langsung dan terjadi setiap hari pembahasan. Untuk mencapai
tujuan instruksional ini, biasanya seorang pendidik/guru perlu membuat Satuan
Pelajaran (SP). Dalam upaya mencapai tujuannya, tujuan instruksional ini sangat
ditentukan oleh kondisi proses belajar mengajar yang ada, antara lain
kompetensi pendidikan, fasilitas belajar, anak didik, metode, lingkungan, dan faktor
yang lain. Tujuan instruksional ada dua. Pertama, tujuan instruksional umum.
Kedua, tujuan intruksional khusus.[5]
Tujuan pendidikan nasional yang
berjangka panjang merupakan suatu tujuan pendidikan umum, sedangkan tujuan
instruksional yang berjangka waktu cukup pendek merupakan tujuan yang bersifat
umu yang biasanya abstrak dan luas, menjadi sasaran khusus yang lebih konkret,
sempit dan terbatas.
2.
Komponen isi dan struktur program/materi
Komponen isi dan struktur
program/materi merupakan materi yang diprogramkan untuk mencapai tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Isi atau materi yang dimaksud biasanya berupa
materi bidang-bidang studi, misalnya Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS,
Fiqh, Akhlak, Tsyri’, Bahasa Arab dan lain sebagainya. Bidang-bdang studi
tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang, dan jalur pendidikan yang ada, dan
bidang-bidang studi tersebut biasanya dicantumkan atau dimuatkan dalam sturktur
program kurikulum suatu sekolah.[6]
Materi kurikulum pada hakkatnya
adalah isi kurikulum. Dalam Undang-undang Pendidikan tentang sistem Pendidikan
Naisonal telah ditetapkan, bahwa . . . “Isi kurikulum merupakan bahan kajian
dan pelajaran untuk mencapai tujuan penyelenggaraan suatu pendidikan yang
bersangkutan dalam rangka upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional” (Bab IX,
ps. 39).[7]
Siswa belajar dalam bentuk interaksi
dengan lingkungannya, lingkungan orang-orang, alat-alat dan ide-ide. Tugas
utama seorang guru adalah menciptakan lingkungan tersebut, untuk mendorong
siswa melakukan interaksi yang produktif dan memberikan pengalaman belajar yang
dibutuhkan. Kegiatan dan lingkungan demikian dirancang dalam suatu rencana
mengajar, yang mencakup komponen-komponen: tujuan khusus, sekuens bahan ajar,
strategi mengajar, media dan sumber belajar, serta evaluasi hasil mengajar.[8]
Hilda Taba memberikan
kriteria untuk memilih isi/materi kurikulum sebagai berikut:
a)
Materi itu harus sahih dan signifikan,
artinya harus menggambarkan pengetahuan mutakhir
b)
Materi itu harus relevan dengan
kenyataan sosial dan kultural agar peserta didik lebih mampu memahami fenomena
dunia, termasuk perubahan-perubahan yang terjadi
c)
Materi itu harus mengandung keseimbangan
antara keluasan dan kedalaman
d)
Meteri harus mencakup berbagai ragam
tujuan
e)
Materi harus sesuai dengan kemampuan dan
pengalaman peserta didik, dan
f)
Materi harus sesuai dengan kebutuhan dan
minat peserta didik.
Begitu juga, Ronald
C.Doll dalam Zainal Arifin mengemukakan beberapa kriteria pemilihan materi
kurikulum, yaitu:
a)
Validitas dan signifikasi materi
b)
Adanya keseimbangan materi
c)
Kesesuaian materi dengan kebutuhan dan
minat murid
d)
Kemantapan materi, dalam arti tidak
cepat usang
e)
Hubungan antara materi dengan ide pokok
dan konsep-konsep
f)
Kemampuan peserta didik untuk
mempelajari materi, dan
g)
Kemungkinan menjelaskan materi itu
dengan data dari disiplin lain.
Pemilihan isi
kurikulum dapat juga mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
a)
Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
b)
Sesuai dengan tingkat perkembangan
peserta didik
c)
Bermanfaat bagi peserta didik,
masyarakat, dunia kerja, bangsa dan negara, baik untuk masa sekarang maupun
masa yang akan datang, dan
3.
Komponen media/sarana-prasarana
Media merupakan sarana perantara
dalam mengajar. Sarana dan prasarana atau media merupakan alat bantu untuk
memudahkan dalam mengaplikasikan isi kurikulum agar lebih mudah dimengerti oleh
anak didik dalam proses belajar mengajar. Pemakaian media dalam proses belajar
mengajar merupakan suatu hal yang perlu dlaksanakan oleh seorang pendidik agar
apa yang disampaikannya terhadap anak didik dapat memiliki makna penting bagi
anak didik yang telah berhasil menyerap dan memahami suatu materi pelajaran
yang telah ditempuhnya.[10]
Ketepatan memilih alat media
merupakan suatu hal yang dituntut bagi seorang pendidik agar materi yang
ditransfernya bisa berjalan sebagaimana mestinya, dan tujuan pengajaran atau
pendidikan daro proses belajar mengajar yang ada diharapkan bisa tercapai
dengan baik.[11]
Media mengajar merupakan segala
macam bentuk perangsang dan alat yang disediakan guru untuk mendorong siswa
belajar. Perumusan di atas menggambarkan pengertian media yang cukup luas,
mencakup berbagai bentuk perangsang belajar yang sering disebut sebagai audio visual aid, serta berbagai bentuk
alat penyaji perangsang belajar, berupa alat-alat elektronika seperti mesin
pengajaran, film, audio cassette, video cassette, televisi dan komputer.
Rowntree mengelompokkan media
mengajar menjadi lima macam dan disebut Modes, yaitu Interaksi insani, realita, pictorial, simbol tertulis, dan rekaman
suara.
Gagne mengemukakan lima macam
perangsang belajar disertai alat-alat untuk menyajikannya[12],
yaitu:
No
|
Perangsang
|
Alat
|
1
|
Kata-kata
tertulis
|
Buku, pengajaran berprogram, bagan, proyektor slide,
poster, cheklist.
|
2
|
Kata-kata
lisan
|
Guru, tape recording
|
3
|
Gambar dan
kata-kata lisan
|
Slide-tapes, slide bersuara, ceramah dan poster
|
4
|
Gambar bergerak, kata-kata dan suara lain
|
Proyektor film bergerak, televisi, demonstrasi
|
5
|
Konsep-konsep teoritis melalui gambar
|
Film bergerak, permainan boneka/wayang
|
4.
Komponen strategi belajar mengajar
Dalam proses belajar mengajar,
seorang pendidik atau guru perlu memahami suatu strategi. Strategi menunjuk
pada suatu pendekatan, metode dan peralatan mengajar yang diperlukan dalam
pengajaran. Strategi pengajaran lebih lanjut dapat dipahami sebagai cara yang
dimiliki oleh seorang pendidik atau guru dalam proses belajar mengajar. Dengan
demikian strategi di sini mempunyai arti komprehensif yang mesti dipahami dan
dupayakan untuk pengaplikasannya oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya
sejak dari mempersiapkan pengajaran sampai proses evaluasi.
Dengan menggunakan strategi yang
tepat, diharapkan hasil yang diperoleh dalam proses belajar mengajar dapat
memuaskan baik bagi pendidik maupun anak didik. Namun, penggunaan strategi yang
tepat dan akurat sangat ditentukan oleh tingkat kompetensi pendidik. Pendidik
akhir-akhir ini sudah mulai mengarah pada two
ways communication dalam proses belajar dan mengajar di kelas.[13]
5.
Komponen evaluasi
Evaluasi merupakan suatu komponen
kurikulum, karena kurikulum adalah pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar
mengajar. Dengan evaluasi dapat diperoleh informasi yang akurat tentang
penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan
informasi itu dapat dibuat keputusan tentang kurikulum itu sendiri,
pembelajaran, kesulitan dan upaya bimbngan yang perlu dilakukan.[14]
Dalam mengevaluasi, biasanya seorang
pendidik akan mengevaluasi anak didik dengan materi atau bahan yang telah
diajarkannya, atau paling tidak ada kaitannya dengan yang telah diajarkan. Hal
ini sangat penting, mengingat hasil penilaian atau hasil yang dimiliki oleh
anak didik tidak jarang menjadi barometer atas keberhasilan proses pengajaran
pada suatu sekolah dan berkaitan erat dengan masa depan anak didik.[15]
B. Desain Pengembangan Kurikulum
Desain kurikulum menyangkut pada
pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum.Penyusunan
desain kurikulum dapat di lihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan
dimensi fertikal. Dimensi horizontal berkenaan dengan penyusunan dari
lingkup isi kurikulum. Susunan lingkup ini di integrasikan dengan proses
belajar dan mengajar. Dimensi vertical menyangkut penyusunan sekuens bahan
ajar berdasarkan tingkat kesukaran. Bahan tersebut disusun mulai dari yang
mudah, kemudian menuju pada yang lebih sulit, atau mulai dari yang
dasar kemudian dengan yang lanjutan.
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus
pengajaran, terdapat tiga pola desain kurikulum, yaitu :
2.
Subject centered design adalah
suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
3.
Learner centered design adalah
suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
4.
Problem centered design adalah
desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam
masyarakat.
a.
Subject Centered Design.
Subject
centered design merupakan bentuk desain yang
paling popular, paling tua dan paling banya digunakan. Dalam Subjec
centered design, kurikulum di pusatkan pada isi atau materi yang akan
diajarkan. Kurikulum tersusun atas sejumlah mata pelajaran,dan mata pelajaran
tersebut diajarkan secara terpisah-pisah. Subjec centered berkembang dari
konsep pendidikan klasik yang demenekankan pada pengetahuan,nilai-nilai dan
warisan budaya masa lalu,dan berupaya untuk mewariskan kepada generasi
berikutnya.Karena mengutamakan isi atau bahan ajar ,maka desain kurikulum ini
disebut juga subject academic curriculum.
Kelebihan model design kurikulum :
1.
Mudah disusun, dilaksanakan, dievaluasi dan
disempurnakan.
2.
Para pengajar tidak perlu di persiapkan khusus, asal
menguasai ilmu atau bahan yang akan diajarkan yang sudah di kuasai oleh
pengajar.
Kekurangan model design kurikulum :
1.
Karena pengetahuan yang di berikan secara
terpisah-pisah, hal itu berentangan dengan kenyataan, sebab dalam kenyataan
pengetahuan itu merupakan suatu kesatuan.
2.
Karena mengutamakan bahan ajar maka peran peserta
didik sangat pasif.
3.
Pengajaran lebih menekankan pada pengetahuan dan
kehidupan masa lalu,dengan demikian pengajaran lebih bersifat verbalistis dan
kurang praktis.[16]
Atas dasar tersebut, para pengkritik
menyarankan perbaikan ke arah yang lebh terntegrasi, praktis dan bermakna setya
memberikan peran yang lebih aktif kepada siswa.
Pada model subject centered design
curriculum di bagi menjadi tiga bagian yaitu:
a)
The Subject
Design
The subject
design merupakan bentuk desain yang paling murni dari subject centered design. Materi pelajaran di sajikan secara
terpisah-pisah dalam bentuk mata - mata pelajaran. Model desain ini telah ada sejak
lama. Pada abad ke-19 pendidikan tidak lagi di arahkan pada pendidikan umum (liberal art), tetapi pada pendidikan
yang bersifat praktis, berkenaaan dengan mata pencaharian (pendidikan
vokasional).
Pada saat itu mulai berkembang
mata-mata pelajaran fisika, kimia, biologi ,bahasa yang masih bersifat
teoritis, juga berkembang mata-mata pelajaran praktis seperti pertanian,
ekonomi, tata buku, kesejahteraan keluarga, keterampilan, dan lain-lain. Isi
pelajaran diambil dari pengetahuan dan nilai-nilai yang telah di temukan oleh
ahli-ahli sebelumnya. Para siswa di tuntut untuk menguasai semua pengetahuan
yang diberikan, apakah mereka menyenangi atau tidak, membutuhkan atau tidak
karena pelajaran-pelajaran tersebut diberikan secara terpisah-pisah, maka siswa
menguasainya pun terpisah-pisah pula. Tidak jarang siswa menguasai bahan hanya
pada tahap hafalan,bahan di kuasai secara verbalistis.
Kelemahan – kelemahan bentuk
kurikulum ini adalah :
1.
Kurikulum memberikan pengetahuan secara
terpisah-pisah, satu terlepas dari yang lainnya.
2.
Isi kurikulum di ambil dari masa lalu,terlepas dari
kejadian-kejadian yang sedang berlangsung sekarang.
3.
Kurikulum ini kurang memperhatiakan minat,kebutuhan,dan
pengalaman peserta didik.
4.
Isi kurikulum berdasarkan sistematika ilmu sering
menimbulkan kesukaran di dalam mempelajari dan menggunakannya.
5.
Kurikulum lebih mengutamakan isi dan kurang
memperhatikan cara penyampaian. Cara penyampaian utama adalah ekspositori yang
menyebabkan peranan siswa pasif.[17]
Kelebihan kurikulum ini adalah :
1.
Karena materi pelajaran diambil dari ilmu yang sudah
tersusun secara sistematis logis,maka penyusunannya cukup mudah.
2.
Bentuk ini memudahkan para peserta didik untuk mengikuti
pendidikan di perguruan tinggi, sebab pada perguruan tinggi umumnya digunakan
bentuk ini.
3.
Bentuk kurikulum ini dapat dilaksanakan secara
efisien, karena metode utamanya adalah metode ekspositori yang di kenal tingkat
efisiensinya cukup tinggi.
4.
Bentuk kurikulum ini sangat ampuh sebagai alat utuk
melestarikan dan mewariskan warisan budaya masa lalu.
b)
The
Disciplines Design.
Bentuk ini merupakan
pengembangan dari subject design,
keduanya masih menekankan kepada isi atau materi kurikulum. Walaupun bertolah
dari hal yang sama tetapi antara keduanya terdapat perbedaan. Pada disciplines design, isi kurikulum yang
di berikan di sekolah adalah disiplin-disiplin ilmu. Menurut pandangan ini
sekolah adalah makrokosmos dari dunia intelek, batu pertama dari hal itu adalah
isi dari kurikulum. Para pengembang kurikulum dari aliran ini berpegang teguh
pada disiplin-disiplin ilmu seperti fisika, biologi, psikologi, sosiologi dan
lain-lain.
Perbedaan disciplines design dengan subject
design salah satunya terletak pada tingkat penguasaan. Disciplines design tidak seperti subject design yang menekankan pada penguasaan fakta-fakta dan
informasi. Pada model ini para peserta didik di dorong untuk memahami logika
atau struktur dasar disiplin ilmu, memahami konsep-konsep, ide-ide dan
prinsip-prinsip penting.
Juga didorong untuk memahami cara
mencari dan menemukannya. Hanya dengan menguasai hal-hal itu, peserta didik
akan memahami masalah dan mampu melihat hubungan berbagai fenomena baru. Proses
belajarnya tidak lagi menggunakan pendekatan ekspositori yang menyebabkan
peserta didik lebih banyak pasif, tetapi menggunakan pendekatan
inkuri dan diskaveri.[18]
Kelebihan disciplines design :
1.
Kurikulum ini bukan hanya memiliki organisasi
sistematik dan efektif tetapi juga dapat memelihara integritas intelektual
pengetahuan manusia.
2.
Peserta didik tidak hanya menguasai serentetan fakta, prinsip
hasil hafalan tetapi menguasai konsep, hubungan dan proses-proses intelektual
yang berkembang pada peserta didik.
Kelemahan disciplines design :
1.
Belum dapat memberikan pengetahuan terintegrasi.
2.
Belum mampu mengintegrasikan sekolah dengan masyarakat
atau kehidupan.
3.
Belum bertolak dari minat dan kebutuhan atau
pengalaman peserta didik.
4.
Susunan kurikulum belum efisien baik untuk kegiatan
belajar maupun untuk penggunanya.
5.
Meskipun lebih luas di bandingkan dengan subject
design tetapi secara akademis dan intelektual masih cukup sempit.[19]
c)
The Broad
Fields Design
Tujuan pengembangan kurikulum board fields adalah menyiapkan para
peserta didik yang kini hidup dalam dunia informasi yang sifatya spesialistis,
dengan pemahaman yang bersifat menyeluruh. Bentuk kurikulum ini banyak
digunakan di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, di sekolah menengah atas
penggunaannya agak terbatas apalagi di perguruan tinggi sedikit sekali.
Kelebihan board fields :
1.
Karena dasarnya bahan yang terpisah-pisah, walaupun
sudah terjadi penyatuan beberapa mata kuliah masih memungkinkan peyusunan
warisan-warisan budaya secara sistematis dan teratur.
2.
Karena mengintegrasikan beberapa mata kuliah
memungkinkan peserta didik melihat hubungan antara berbagai hal.
Kelemahan board fields:
1.
Kemampuan guru untuk tingkat sekolah
dasar guru mampu menguasai bidang yang luas, tetapi untuk tingkat
yang lebih tinggi, apalagi di perguruan tinggi sukar sekali.
2.
Karena bidang yang di pelajari luas, maka tidak dapat
diberikan secara mendetail, yang diajarkan hanya permukaannya saja.
3.
Pengintegrasian bahan ajar sedikit sekali, tidak
menggambarkan kenyataan, tidak memberikan pengalaman yang sesungguhnya bagi
siswa,dengan demikian kurang membangkitkan minat belajar.
4.
Meskipun kadarnya lebih rendah,dibandingkan dengan subject design tetapi model ini tetap menekankan penguasan bahan dan
informasi. Kurang menekankan proses pencapaian tujuan yang sifatnya afektif dan
kognitif tingkat tinggi.
b.
Learner-centered
design
Learner-centered
design merupakan penyempurnaan terhadap beberapa kelemahan dari subject centered design. Desain ini
mengutamakan peranan isi dari kurikulum. Learner
centered, memberi tempat utama kepada peserta didik. Di dalam
pendidikan, yang belajar dan berkembang adalah perserta didik
sendiri. Guru atau pendidik hanya berperan menciptakan situasi
belajar mengajar, mendorong atau memberikan bimbingan sesuai dengan kebutuhan
peserta didik. Learner centered design
bersumber dari konsep Rousseau tentang pendidikan alam, menekankan perkembangan
peserta didik. Pengorganisasian kurikulum didasarkan atas minat, kebutuhan dan
tujuan peserta didik.
Ciri-ciri utama yang membedakan
desain model learner centered dengan subject centered :
1.
Learner
centered design mengembangkan kurikulum
dengan bertolak dari peserta didik dan bukan dari isi.
2.
Kurikulum di kembangkan bersama antara guru dengan
siswa dalam penyelesaian tugas-tugas pendidikan.[20]
c.
Problem
Centered Design
Problem
centered design berpanhkal pada filsafat yang mengutamakan peranan
manusia. Konsep pendidikan para pengembang model kurikulum ini berangkat
dari asumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial selalu hidup
bersama. Konsep-konsep ini menjadi landasan pula dalam pengembangan
kurikulum. Problem centered design menekankan pada isi maupun perkembangan
peserta didik. Ada dua
variasi model desain kurikulum
ini, yaitu :
a)
The Areas of
Living Design
Areas of
Living desain menekankan prosedur belajar melalui pemecahan masalah
dalam prosedur belajar ini tujuan bersifat proses dan bersifat isi di
integrasikan.
Desain ini mempunyai beberapa
kebaikan dari pada desain-desain lainnya.
1.
The areas of
living design merupakan the
subject mater design tetapi dalam bentuk yang terintegrasi.
2.
Desain ini mendorong penggunaan prosedur dalam
pemecahan masalah.
3.
Menyajikan bahan ajar dalam bentuk yang relevan, yaitu
untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan.
4.
Desain tersebut menyajikan bahan ajar yang fungsional.
5.
Motivasi belajar datang dari dalam diri peserta didik,
tidak perlu di rangsang dari luar.
Kelemahan model desain ini.
1.
Penentuan lingkup dan sekuens dari bidang-bidang
kehidupan yang sangat esensial sangat sukar,timbul organisasi isi kurikulum
yang berbeda.
2.
Lemahnya atau kurangnya integeritas dan kontinuitas
organsasi isi kurikulum.[21]
b)
The Core
design.
Timbul sebagai reaksi utama kepada separate subject design yang sifatnya
terpisah-pisah dalam mengintegrasikan bahan ajar, mereka memilih mata
pelajaran atau bahan ajar tertentu sebagai inti. Menurut konsep ini
inti-inti bahan ajar dipusatkan pada kebutuhan individual dan sosial.
The core
kurikulum diberikan guru-guru
yang memiliki penguasaan dan berwawasan luas bukan spesialis. Ada beberapa
variasi core kurikulum :
1.
The separate
subject core.
2.
The
correlated core.
3.
The fused
core.
4.
The activity
/ experience core.
5.
The areas of
living core.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kurikulum dapat
diumpamakan sebagai suatu organisasime manusia maupun binatang, yang memiliki
susunan anatomi tertentu. Unsur atau komponen-komponen dari anatomi tubuh
kurikulum yang utama adalah tujuan, is atau materi, proses atau sistem
penyampaian dan media, serta evaluasi. Keempat komponen tersebut berkaitan erat
satu sama lain.
Yang termasuk
komponen-komponen kurikulum adalah:
1. Komponen
Tujuan
2.
Komponen isi dan struktur program/materi
3.
Komponen media/sarana-prasarana
4.
Komponen strategi belajar mengajar
5.
Komponen evaluasi
Desain kurikulum menyangkut pada
pola pengorganisasian unsur-unsur atau komponen kurikulum.Penyusunan
desain kurikulum dapat di lihat dari dua dimensi, yaitu dimensi horizontal dan
dimensi vertikal.
Berdasarkan pada apa yang menjadi fokus
pengajaran, terdapat tiga pola desain kurikulum, yaitu :
1.
Subject centered design adalah
suatu desain kurikulum yang berpusat pada bahan ajar.
2.
Learner centered design adalah
suatu desain kurikulum yang mengutamakan peranan siswa.
3.
Problem centered design adalah
desain kurikulum yang berpusat pada masalah-masalah yang dihadapi dalam
masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Zainal, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2011
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori & Praktik,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011
Hamalik,
Oemar, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 1995
Subandijah, Pengembangan
dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993
Sukmadinata,
Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum,
Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2010
[1]Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum,
(Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2010), h. 102.
[5]Abdullah Idi, Ibid., h. 56-57.
[6]Abdullah Idi, Ibid., h. 57.
[7]Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran (Jakarta:
Bumi Aksara, 1995), h. 25.
[9]Zainal Arifin, Konsep dan Model
Pengembangan Kurikulum (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), h. 89-90.
[10]Abdullah Idi, op.cit., h. 57-58.
[11]Subandijah, Pengembangan
dan Inovasi Kurikulum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 5.
EmoticonEmoticon