BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan kedua
orang tuanyalah yang akan menjadiakannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”
Hadits
Rasulullah saw. di atas, bukan akan menggambarkan seorang anak yang terlahir fitrah secara
jasmani dan rohani akan ikut beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi jika orang
tuanya juga beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Melainkan karakter seperti
apa yang akan ditanamkan orang tua terhadap anaknya, apakah seperti karakternya
seorang yang Yahudi, Nasrani, ataukah karakter Majusi. Sehingga seorang anak
akan jauh dari sikap dan karakter yang Islami. Tidak seperti pada nilai-nilai
pendidikan yang diajarkan dalam Islam.
Kehidupan
keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang anak untuk membentuk
kepribadiannya. Dan orang tua merupakan guru pertama bagi mereka. Melalui orang
tualah mereka akan belajar bagaimana bersikap, bagaimana bertutur kata dan
berbagai pendidikan yang akan membentuk karakter mereka.
B.
Batasan
Masalah
Berdasarkan
latar belekang masalah yang diangkat dalam makalah ini, maka dapat ditatrik
beberapa batasan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
peran ortang tua sebagai pendidik pertama dalam keluarga?
2. Apa
yang dimaksud dengan kecerdasan emosi?
3. Bagaimana
membentu karakter anak dengan pola asuh kecerdasan emosi?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Peran
Orang Tua Sebagai Pendidik Pertama dalam Keluarga
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan kedua
orang tuanyalah yang akan menjadiakannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”
Hadits
Rasulullah saw. di atas, bukan akan menggambarkan seorang anak yang terlahir fitrah secara
jasmani dan rohani akan ikut beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi jika orang
tuanya juga beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Melainkan karakter seperti
apa yang akan ditanamkan orang tua terhadap anaknya, apakah seperti karakternya
seorang yang Yahudi, Nasrani, ataukah karakter Majusi. Sehingga seorang anak
akan jauh dari sikap dan karakter yang Islami. Tidak seperti pada nilai-nilai
pendidikan yang diajarkan dalam Islam.
Oleh
sebab itu, orang tua merupakan tempat pijakan pertama bagi seorang anak untuk
mengenal berbagai macam hal yang berada disekitarnya. Hal pertama yang akan
dilakukan seorang anak adalah meneladani apa yang dilihat pada orang tuanya
yang kemudian akan menjadi sebuah kebiasaan, apakah itu buruk atau baik.
Shahib bin Ubbad
misalnya, seorang yang terkenal dengan kedermawanan dan kemurahannya, beceritra
tentang bagaimana sifat yang mulia ini dapat melekat pada dirinya, ia katakan
bahwa sifat itu bersal dari ibunya. Ia juga mengatakan bahwa ia mendapatkan
petunjuk dari ibunya, khususnya cara pendidikannya terhadapnya. Ibunya setiap
hari memberinya sejumlah uang ketika hendak pergi ke sekolah dan memintanya
untuk bersedekah darinya.
Ibnu Ubbad berkata,
bahwa “perilaku sehari-hari yang
dibiasakan oleh ibuku terhadapku inilah yang menjadikan aku dermawan. Sebab,
aku terdidik bahwa manusia harus memikirkan orang lain seperti memikirkan
dirinya”.
Orang
tua seyogyanya mampu meperhatikan tuntutan-tuntutan kewajiban mereka terhadap
anak, dan menyebarkan benih yang baik serta memeliharanya hingga mengantarnya
sampai matang dan berbuah.[1]
Dalam
hal ini, orang tua dituntut untuk bisa berusaha sebaik mungkin. Dengan segala
hal yang akan terjadi pada kondisi orang tua maupun kondisi seorang anak.
Lingkunagan tempat tinggal, lembaga pendidikan formal dan berbagai faktor
pembentuk kepribadian anak lainnya merupakan faktor penunjang terhadap
penerapan pendidikan keluarga sebagai pilar pertama dan utama dalam membentuk
karakter anak.
Institusi
lain di luar keluarga tidak dapat menggantikan seluruhnya peran lembaga
keluarga. Bahkan pada institusi non keluarga, sangat mungkin adanya beberapa nilai
negatif yang berpengaruh jelek bagi proses pembentukan dan pendidikan anak.[2]
B.
Pembentukan
Karakter dengan Pola Asuh Emotional
Question (EQ)
Konsep
kecerdasan emosi mengacu pada penjabaran persoalan nafsu, rasa dan emosi. Ari Ginanjar
Agustian menyederhanakan Emotional Question (EQ) sebagai kemampuan untuk
merasa. Kunci kecerdasan emosi terletak pada kejujuran suara hati.[3]
Pemahaman
orang tua terhadap kecerdasan emosi adalah hal pertama yang harus mereka
miliki. Sebab, kecerdasan emosi sangat penting dalam tugas mengasuh anak
sehari-hari dan dalam menciptakan ketenangan dan keharmonisasian rumah tangga.
Mengasuh
anak dengan kecerdasan emosi menggunakan teknik-teknik yang spesifik dan
sederhana yang dapat menciptakan kedamaian dan keharmonisasian rumah tangga.
Dan pola asuh seperti ini akan menguji kesabaran dan kearifan orang tua sebagai
pendidik bagi anak-anaknya.
Berikut
ini beberapa prinsip mengasuh anak dengan kecerdasan emosi:
1. Sadari
Perasaan Sendiri dan Perasaan Orang Lain
Perasaan
adalah sesuatu yang sulit disadari. Pada umumnya, anak yang bermasalah dalam
perilaku akan mengalami kesulitan memberi label pada perasaannya dengan tepat.
Mereka tidak dapat membedakan antara jengkel dan marah, kecewa dan sedih,
bangga dan senang, dan lain-lain.
Jika
kita mampu mengenali perasaan-perasaan yang berbeda, kita akan mampu
mengendalikannya. Hal ini cukup penting karena setidaknya, keadaan kita akan
sangat mempengaruhi apa yang akan kita lakukan. Demikian pula kesadaran akan
perasaan orang lain. Jika kita mampu menyadari dan memahami perasaan orang
lain, kita akan tahu apa yang seharusnya kita lakukan terhadap orang lain.[4]
2. Tunjukkan
Empati dan Pahami Cara Pandang Orang Lain
Empati
adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Untuk dapat melakukan hal
ini, seorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupuin perasaan orang lain.
Semakin baik kita memahami perasaan klita, maka semakin baik pula pemahaman
kita terhadap persaan orang lain. Hillel mengungkapkan,
“ jangan menghakimi orang lain sebelum anda merasakan menjadi dirinya”.[5]
Dengan cara seperti inilah kita mampu memahami cara pandang dan perasaan orang
lain.
Untik
mengetahui perasaan orang lain dan berempati dengannya, seseorang harus membaca
perasaan tersebut. Tidak saja diperlukan mendengarkan dengan seksama, tetapi
juga membaca isyarat-isyarat non verbal, misalnya dnegan bahasa tubuh dan
tekanan suara yang mengungkapkan emosi.[6]
3. Atur
dan Atasi dengan Positif Gejolak Emosional dan Perilaku
Aspek
lain dari pengendalian diri adalah kemampuan membatasi reaksi emosional
terhadap suatu situasi. Baik reaksi itu positif maupun negatif. Dengan
mengajarkan dan mempraktikkan pengendalian diri, akan membantu memecahkan
masalah dalam keluarga dengan lebih bijaksana.
Mengatasi
perilaku implusf jelas sangat penting. Respon perilaku naluriah orang tua
sering tidak efektif dalam mengatasi masalah. Kita harus mampu memanfaatkan apa
yang kita ketahui tentang perasaan dan perspektif kita sendiri dan orang lain untuk
membantu dalam masalah pengendalian diri. Dan kemudian mulai berpikir jauh ke
depan.
4. Berorientasi
pada Tujuan dan Rencana Positif
Salah
satu hal yang terpenting manusia adalah bahwa kita dapat menetapkan tujuan dan
membuat rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Ini berarti bahwa, umumnya,
hal-hal yang dilakukan orang tua dan anak-anak berorientasi pada tujuan. Teori
kecerdasan orang tua menyatakan bahwa hal ini memiliki implitasi penting.
Tentu
saja, kita tidak selalu menyadari sepenuhnya tujuan kita, dan tujuan kita tidak
selalu positif. Seorang anak bisa jadi mempunyai tujuan membalas dendam kepada
orang yang dianggap atau benar-benar menghinanya. Tujuan membalas dendam,
sayangnya biasanya mendatangkan lebih banyak masalah. Orang tua kadang-kadang mendatangkan
tujuan mendapatkan sedikit waktu santai, pada saat anak-anak mempunyai tujuan
mendapatkan perhatian mereka.
Kita
perlu membantu anak-anak memahami arti kata tujuan.
Sebagian anak memahaminya sebagai sasaran, sebagian lagi membayangkannya sebagai
kemudi atau kompas, dan yang lainnya memiligi analogi olahraga. Visualisasi
bagaimanapun, sadar akan tujuan akan membantu seorang mengembangkan rencana
yang tepat, dan rencana-rencana itulah yang membantu kita mencapai tujuan.
5. Gunakan
Kecakapan Sosial Positif dalam Membina Hubungan.
Di
samping memeilki perasaan, kendali diri, orientasi tujuan, dan empati,
kemampuan berhubungan secara efektif dengan orang lain juga penting. Untuk itu,
di perlukan kecakapan sosial seperti komunikasi dan pemecahan masalah. Dalam
bekomunikasi seseorang tidak saja dituntut mampu mengekspresikan diri dengan
jelas, tetapi juga harus bisa mendengarkan dan memberikan umpan balik
konstruktif. Sekali lagi, ini merupakan kecakapan yang harus dikuasai oleh
orangtua dan anak-anak.[7]
Keterampilan
lain yang dipergunakan adalah kemampuan menjadi bagian dari suatu kelompok.
Orangtua menginginkan keluarga berfungsi baik sebagai suatu kelompok. Mereka
juga menginginkan anak-anak memiliki keterampilan yang berguna bagi
kelompok-kelompok di sekolah, lingkungan kerja, atau dalam kehidupan
bermasyarakat. Belajar mendengarkan orang lain dengan cermat, bergiliran,
menyelaraskan berbagai perasaan berbeda, berkompromi, mebuat kesepakatan, dan
menyatakan gagasan dengan jelas merupakan beberapa keterampilan sosial yang
membantu kita berfungsi lebih baik dalam kelompok. Dan tentu saja, jika seluruh
anggota kelompok mengunakan semua kecakapan tersebut, maka kelompok mereka akan
berfungsi lebih baik pula, termasuk keluarga.
Keterampilan
sosial lain yang penting termasuk kemampuan menyelesaikan persoalan
antarpribadi dan membuat pilihan-pilihan tepat, penuh pertimbangan, dan
bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari. Disamping keterampilan untuk
bangkit kembali ketika kita menghadapi jalan buntu dan rintang dalam
berhubungan dengan orang lain. [8]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Keluarga
merupakan pilar pertama dan utama pendidikan anak dalam keluarga
2. Lingkunagan
tempat tinggal, lembaga pendidikan formal dan berbagai faktor pembentuk
kepribadian anak lainnya merupakan faktor penunjang terhadap penerapan
pendidikan keluarga sebagai pilar pertama dan utama dalam membentuk karakter
anak.
3. Pemahaman
orang tua terhadap kecerdasan emosi adalah hal pertama yang harus mereka
miliki. Sebab, kecerdasan emosi sangat penting dalam tugas mengasuh anak
sehari-hari dan dalam menciptakan ketenangan dan keharmonisasian rumah tangga.
B.
Saran
dan Kritik
Dalam
penulisan makalah ini, tentu saja tidak terlepas dari berbagai kekurangan, baik
dalam isi makalah maupun teknik-teknik penulisan. Untuk itu, sangat diharapkan
saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ari Ginanjar,
ESQ Emotional Spiritual Quetiont,
Jakarta: Arga, 2006
Elias, J. Maurice, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003
Fa’iz, Ahmad, Cita Keluarga Islam Jakarta: PT. Serambi
Ilmu Semesta, 2003
Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak, Jakarta: PT.
Lentera Basritama, 2002
[1] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, ( Jakarta: PT.
Lentera Basritama; cet. V, 2002) h. 3
[2] Ahmad Fa’iz, Cita Keluarga Islam ( Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta; cet. III, 2003) h. 71
[3] Ari Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spiritual Question
(Jakarta: Arga; cet. XXV, 2006) h. 42
[4] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
( Bandung: PT. Mizan Pustaka; cet. VI, 2003) h.40
[5] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, h.
41
[6] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
h. 42
[7] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
h.46
[8] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ,
h. 47
EmoticonEmoticon