Senin, 06 Oktober 2014

Orang Tua Sebagai Pilar Pertama Pembentukan Karakter Anak Melalui Kecerdasan Emosional

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang akan menjadiakannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”
Hadits Rasulullah saw. di atas, bukan akan menggambarkan  seorang anak yang terlahir fitrah secara jasmani dan rohani akan ikut beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi jika orang tuanya juga beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Melainkan karakter seperti apa yang akan ditanamkan orang tua terhadap anaknya, apakah seperti karakternya seorang yang Yahudi, Nasrani, ataukah karakter Majusi. Sehingga seorang anak akan jauh dari sikap dan karakter yang Islami. Tidak seperti pada nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dalam Islam.
Kehidupan keluarga adalah sekolah pertama bagi seorang anak untuk membentuk kepribadiannya. Dan orang tua merupakan guru pertama bagi mereka. Melalui orang tualah mereka akan belajar bagaimana bersikap, bagaimana bertutur kata dan berbagai pendidikan yang akan membentuk karakter mereka.

B.     Batasan Masalah
Berdasarkan latar belekang masalah yang diangkat dalam makalah ini, maka dapat ditatrik beberapa batasan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana peran ortang tua sebagai pendidik pertama dalam keluarga?
2.      Apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosi?
3.      Bagaimana membentu karakter anak dengan pola asuh kecerdasan emosi?





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran Orang Tua Sebagai Pendidik Pertama dalam Keluarga
“Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, dan kedua orang tuanyalah yang akan menjadiakannya Yahudi, Nasrani dan Majusi”
Hadits Rasulullah saw. di atas, bukan akan menggambarkan  seorang anak yang terlahir fitrah secara jasmani dan rohani akan ikut beragama Yahudi, Nasrani dan Majusi jika orang tuanya juga beragama Yahudi, Nasrani maupun Majusi. Melainkan karakter seperti apa yang akan ditanamkan orang tua terhadap anaknya, apakah seperti karakternya seorang yang Yahudi, Nasrani, ataukah karakter Majusi. Sehingga seorang anak akan jauh dari sikap dan karakter yang Islami. Tidak seperti pada nilai-nilai pendidikan yang diajarkan dalam Islam.
Oleh sebab itu, orang tua merupakan tempat pijakan pertama bagi seorang anak untuk mengenal berbagai macam hal yang berada disekitarnya. Hal pertama yang akan dilakukan seorang anak adalah meneladani apa yang dilihat pada orang tuanya yang kemudian akan menjadi sebuah kebiasaan, apakah itu buruk atau baik.
Shahib bin Ubbad misalnya, seorang yang terkenal dengan kedermawanan dan kemurahannya, beceritra tentang bagaimana sifat yang mulia ini dapat melekat pada dirinya, ia katakan bahwa sifat itu bersal dari ibunya. Ia juga mengatakan bahwa ia mendapatkan petunjuk dari ibunya, khususnya cara pendidikannya terhadapnya. Ibunya setiap hari memberinya sejumlah uang ketika hendak pergi ke sekolah dan memintanya untuk bersedekah darinya.
Ibnu Ubbad berkata, bahwa “perilaku sehari-hari yang dibiasakan oleh ibuku terhadapku inilah yang menjadikan aku dermawan. Sebab, aku terdidik bahwa manusia harus memikirkan orang lain seperti memikirkan dirinya”.
Orang tua seyogyanya mampu meperhatikan tuntutan-tuntutan kewajiban mereka terhadap anak, dan menyebarkan benih yang baik serta memeliharanya hingga mengantarnya sampai matang dan berbuah.[1]
Dalam hal ini, orang tua dituntut untuk bisa berusaha sebaik mungkin. Dengan segala hal yang akan terjadi pada kondisi orang tua maupun kondisi seorang anak. Lingkunagan tempat tinggal, lembaga pendidikan formal dan berbagai faktor pembentuk kepribadian anak lainnya merupakan faktor penunjang terhadap penerapan pendidikan keluarga sebagai pilar pertama dan utama dalam membentuk karakter anak.
Institusi lain di luar keluarga tidak dapat menggantikan seluruhnya peran lembaga keluarga. Bahkan pada institusi non keluarga, sangat mungkin adanya beberapa nilai negatif yang berpengaruh jelek bagi proses pembentukan dan pendidikan anak.[2]

B.     Pembentukan Karakter dengan Pola Asuh  Emotional Question (EQ)
Konsep kecerdasan emosi mengacu pada penjabaran persoalan nafsu, rasa dan emosi. Ari Ginanjar Agustian menyederhanakan Emotional Question (EQ) sebagai kemampuan untuk merasa. Kunci kecerdasan emosi terletak pada kejujuran suara hati.[3]
Pemahaman orang tua terhadap kecerdasan emosi adalah hal pertama yang harus mereka miliki. Sebab, kecerdasan emosi sangat penting dalam tugas mengasuh anak sehari-hari dan dalam menciptakan ketenangan dan keharmonisasian rumah tangga.
Mengasuh anak dengan kecerdasan emosi menggunakan teknik-teknik yang spesifik dan sederhana yang dapat menciptakan kedamaian dan keharmonisasian rumah tangga. Dan pola asuh seperti ini akan menguji kesabaran dan kearifan orang tua sebagai pendidik bagi anak-anaknya.
Berikut ini beberapa prinsip mengasuh anak dengan kecerdasan emosi:
1.      Sadari Perasaan Sendiri dan Perasaan Orang Lain
Perasaan adalah sesuatu yang sulit disadari. Pada umumnya, anak yang bermasalah dalam perilaku akan mengalami kesulitan memberi label pada perasaannya dengan tepat. Mereka tidak dapat membedakan antara jengkel dan marah, kecewa dan sedih, bangga dan senang, dan lain-lain.
Jika kita mampu mengenali perasaan-perasaan yang berbeda, kita akan mampu mengendalikannya. Hal ini cukup penting karena setidaknya, keadaan kita akan sangat mempengaruhi apa yang akan kita lakukan. Demikian pula kesadaran akan perasaan orang lain. Jika kita mampu menyadari dan memahami perasaan orang lain, kita akan tahu apa yang seharusnya kita lakukan terhadap orang lain.[4]
2.      Tunjukkan Empati dan Pahami Cara Pandang Orang Lain
Empati adalah kemampuan untuk menyelami perasaan orang lain. Untuk dapat melakukan hal ini, seorang harus menyadari baik perasaan dirinya maupuin perasaan orang lain. Semakin baik kita memahami perasaan klita, maka semakin baik pula pemahaman kita terhadap persaan orang lain. Hillel mengungkapkan, “ jangan menghakimi orang lain sebelum anda merasakan menjadi dirinya”.[5] Dengan cara seperti inilah kita mampu memahami cara pandang dan perasaan orang lain.
Untik mengetahui perasaan orang lain dan berempati dengannya, seseorang harus membaca perasaan tersebut. Tidak saja diperlukan mendengarkan dengan seksama, tetapi juga membaca isyarat-isyarat non verbal, misalnya dnegan bahasa tubuh dan tekanan suara yang mengungkapkan emosi.[6]
3.      Atur dan Atasi dengan Positif Gejolak Emosional dan Perilaku
Aspek lain dari pengendalian diri adalah kemampuan membatasi reaksi emosional terhadap suatu situasi. Baik reaksi itu positif maupun negatif. Dengan mengajarkan dan mempraktikkan pengendalian diri, akan membantu memecahkan masalah dalam keluarga dengan lebih bijaksana.
Mengatasi perilaku implusf jelas sangat penting. Respon perilaku naluriah orang tua sering tidak efektif dalam mengatasi masalah. Kita harus mampu memanfaatkan apa yang kita ketahui tentang perasaan dan perspektif kita sendiri dan orang lain untuk membantu dalam masalah pengendalian diri. Dan kemudian mulai berpikir jauh ke depan.
4.      Berorientasi pada Tujuan dan Rencana Positif
Salah satu hal yang terpenting manusia adalah bahwa kita dapat menetapkan tujuan dan membuat rencana untuk mencapai tujuan tersebut. Ini berarti bahwa, umumnya, hal-hal yang dilakukan orang tua dan anak-anak berorientasi pada tujuan. Teori kecerdasan orang tua menyatakan bahwa hal ini memiliki implitasi penting.
Tentu saja, kita tidak selalu menyadari sepenuhnya tujuan kita, dan tujuan kita tidak selalu positif. Seorang anak bisa jadi mempunyai tujuan membalas dendam kepada orang yang dianggap atau benar-benar menghinanya. Tujuan membalas dendam, sayangnya biasanya mendatangkan lebih banyak masalah. Orang tua kadang-kadang mendatangkan tujuan mendapatkan sedikit waktu santai, pada saat anak-anak mempunyai tujuan mendapatkan perhatian mereka.
Kita perlu membantu anak-anak memahami arti kata tujuan. Sebagian anak memahaminya sebagai sasaran, sebagian lagi membayangkannya sebagai kemudi atau kompas, dan yang lainnya memiligi analogi olahraga. Visualisasi bagaimanapun, sadar akan tujuan akan membantu seorang mengembangkan rencana yang tepat, dan rencana-rencana itulah yang membantu kita mencapai tujuan.
5.      Gunakan Kecakapan Sosial Positif dalam Membina Hubungan.
Di samping memeilki perasaan, kendali diri, orientasi tujuan, dan empati, kemampuan berhubungan secara efektif dengan orang lain juga penting. Untuk itu, di perlukan kecakapan sosial seperti komunikasi dan pemecahan masalah. Dalam bekomunikasi seseorang tidak saja dituntut mampu mengekspresikan diri dengan jelas, tetapi juga harus bisa mendengarkan dan memberikan umpan balik konstruktif. Sekali lagi, ini merupakan kecakapan yang harus dikuasai oleh orangtua dan anak-anak.[7]
Keterampilan lain yang dipergunakan adalah kemampuan menjadi bagian dari suatu kelompok. Orangtua menginginkan keluarga berfungsi baik sebagai suatu kelompok. Mereka juga menginginkan anak-anak memiliki keterampilan yang berguna bagi kelompok-kelompok di sekolah, lingkungan kerja, atau dalam kehidupan bermasyarakat. Belajar mendengarkan orang lain dengan cermat, bergiliran, menyelaraskan berbagai perasaan berbeda, berkompromi, mebuat kesepakatan, dan menyatakan gagasan dengan jelas merupakan beberapa keterampilan sosial yang membantu kita berfungsi lebih baik dalam kelompok. Dan tentu saja, jika seluruh anggota kelompok mengunakan semua kecakapan tersebut, maka kelompok mereka akan berfungsi lebih baik pula, termasuk keluarga.
Keterampilan sosial lain yang penting termasuk kemampuan menyelesaikan persoalan antarpribadi dan membuat pilihan-pilihan tepat, penuh pertimbangan, dan bertanggungjawab dalam kehidupan sehari-hari. Disamping keterampilan untuk bangkit kembali ketika kita menghadapi jalan buntu dan rintang dalam berhubungan dengan orang lain. [8]










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.      Keluarga merupakan pilar pertama dan utama pendidikan anak dalam keluarga
2.      Lingkunagan tempat tinggal, lembaga pendidikan formal dan berbagai faktor pembentuk kepribadian anak lainnya merupakan faktor penunjang terhadap penerapan pendidikan keluarga sebagai pilar pertama dan utama dalam membentuk karakter anak.
3.      Pemahaman orang tua terhadap kecerdasan emosi adalah hal pertama yang harus mereka miliki. Sebab, kecerdasan emosi sangat penting dalam tugas mengasuh anak sehari-hari dan dalam menciptakan ketenangan dan keharmonisasian rumah tangga.

B.     Saran dan Kritik
Dalam penulisan makalah ini, tentu saja tidak terlepas dari berbagai kekurangan, baik dalam isi makalah maupun teknik-teknik penulisan. Untuk itu, sangat diharapkan saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan penulisan makalah selanjutnya.










DAFTAR PUSTAKA

Agustian, Ari Ginanjar, ESQ Emotional Spiritual Quetiont, Jakarta: Arga, 2006
Elias, J. Maurice, Cara-Cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2003
Fa’iz, Ahmad, Cita Keluarga Islam Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003
Mazhahiri, Husain, Pintar Mendidik Anak, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 2002



[1] Husain Mazhahiri, Pintar Mendidik Anak, ( Jakarta: PT. Lentera Basritama; cet. V, 2002) h. 3
[2] Ahmad Fa’iz, Cita Keluarga Islam ( Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta; cet. III, 2003) h. 71
[3] Ari Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spiritual Question (Jakarta: Arga; cet. XXV, 2006) h. 42
[4] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, ( Bandung: PT. Mizan Pustaka; cet. VI, 2003) h.40
[5] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, h. 41
[6] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, h. 42
[7] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, h.46
[8] Maurice J. Elias dkk, Cara-cara Efektif Mengasuh Anak dengan EQ, h. 47


EmoticonEmoticon