Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Tradisional

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Salah satu usaha mengembangkan peradaban di kalangan umat Islam masa lalu, diawali dari usaha-usaha perluasan daerah kekuasaan (futuhat) yang berarti membuka daerah untuk dimasuki kekuasaan Islam. Walaupun demikian ekspansi berpengaruh terhadap pengenalan Islam dalam wilayah yang telah diduduki tersebut. Ekspansi wilayah, dalam hal ini peperangan merupakan realitas sejarah yang tidak dapat dipungkiri. Ini menunjukan bahwa sejarah umat Islam adalah sejarah politik. Hal ini logis karena prinsip kehidupan masa itu adalah mengemban amanah suci yang menyebarkan kebenaran atau “al-quwat fawq al-haq” (Khaerul Wahidin : 2004, ix). Sejarah perkembangan pemikiran yang merupakan cikal bakal munculnya peradaban mengalami pasang surut mengikuti dinamikan perkembangan sejarah umat Islam. Pendidikan yang diartikan sebagai suatu yang mampu merubah kondisi yang lebih baik mengalami perkembangan dan perubahan baik dari segi tujuan, metode, system serta alat untuk mengukur keberhasilan dari proses pendidikan tersebut. Untuk mengetahui perkembangan pendidikan haruslah diruntut menurut “historis” pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir, penggagas, penggerak dan pelaku pendidikan dari masa ke masa. Karena keterbatasan penulis mengenai hal ini, terutama mengenai literatur maka pembahasan dalam makalah ini tidaklah berkutat pada masalah runtutan “kesejarahan” secara periodik dari tahun ke tahun tetapi lebih menekankan sisi-sisi perkembangan pemikiran yang pernah terlintas dalam sejarah intelektual terutama bidang pendidikan, khususnya perkembangan pemikiran pendidikan Islam dan lebih khusus lagi dalam perkembangan pemikiran pendidikan tradisional Islam.



B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Pendidikan Tradisional?
2.      Bagaimana Ciri Pendidikan Tradisional Itu?
3.      Bagaimana Bentuk Pendidikan Tradisional?
4.      Apa Prinsip-Prinsip Pendidikan Tradisional Itu?
5.      Bagaimana Sistem Pendidikan Di Zaman Penyebaran Islam?
6.      Bagaimana Pendidikan Di Era Kemerdekaan?
7.      Bagaimana  Hubungan Pendidikan Tradisional Dengan Sejarah?













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Tradisional
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tradisional menurut kamus Bahasa Indonesia adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pd norma dan adat kebiasaan yg ada secara turun-temurun. Sedangkan secara bahasa tradisional berasal dari bahasa latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.
Secara historis, teknik pendidikan utama pendidikan tradisional adalah zikir lisan sederhana: Dalam pendekatan khas, siswa duduk diam di tempat mereka dan mendengarkan satu orang demi satu membacakan pelajaran nya, sampai masing-masing telah dipanggil. kegiatan utama guru adalah menugaskan dan mendengarkan bacaan tersebut, siswa belajar di rumah. Tes mungkin diberikan pada akhir unit, dan proses, yang disebut "tugas-studi-zikir-test", diulang. Selain penekanan yang berlebihan pada jawaban verbal, ketergantungan pada menghafal hafalan (menghafal tanpa upaya untuk memahami makna), dan terputus, tugas yang tidak berhubungan, itu juga penggunaan yang sangat tidak efisien dari siswa dan guru waktu.[1]
Pendidikan tradisional dikaitkan dengan unsur pemaksaan jauh lebih kuat daripada sekarang tampaknya diterima dalam budaya yang paling (rujukan?). Hal ini kadang-kadang mencakup: penggunaan hukuman fisik untuk menjaga disiplin kelas atau menghukum kesalahan; menanamkan agama yang dominan dan bahasa; memisahkan siswa sesuai. jenis kelamin, ras, dan kelas sosial, serta mengajar mata pelajaran yang berbeda untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Dalam hal kurikulum ada dan masih tingkat tinggi perhatian pada pengetahuan akademik waktu dihormati.


`           Pada saat ini itu sangat bervariasi dari budaya ke budaya, tetapi masih cenderung ditandai oleh tingkat jauh lebih tinggi dari paksaan dari pendidikan alternatif. sekolah tradisional di Inggris dan harta benda dan bekas koloni cenderung mengikuti gaya Inggris Umum Sekolah seragam ketat dan militeristik gaya disiplin. Ini dapat dibandingkan dengan Afrika Selatan, Amerika Serikat dan sekolah-sekolah Australia, yang dapat memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk komunikasi mahasiswa-guru spontan.

B.     Ciri Pendidikan Tradisional.
Istilah tradisional tidak selalu berkonotasi negatif apalagi bila berkenaan dengan pola fikir kemanusiaan. Sebab sejarah pemikiran selalu berputar mengikuti “irama” perkembangan dengan sedikit penambahan, pengurangan dan modifikasi. Perubahan ini bukan berarti harus meniti jalan baru tetapi boleh mundur menengok pendapat yang pernah ditinggalkan atau kembali kepada pendapat yang pernah diketahui. Manusia bisa mengambil metede lama untuk mengembangkan hal baru begitulah seterusnya sejarah pemikiran manusia selalu berulang dan selalu diperbaharui ( Abdul Halim Mahmud : 2001, 49 ).
Pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional yang berbentuk halaqoh-halaqoh. Apalagi bila meruntut ke belakang mulai dari zaman Nabi diawali dengan pelaksanaan pendidikan di rumah (informal), kutab ( lembga pendidikan yang didirikan dekat masjid, tempat untuk belajar membaca dan menulis Al-Quran ), kemudian pendidikan di masjid dengan membentuk halaqoh-halaqoh ( lingkaran kecil, saling berkumpul dan transfer ilmu ), sallon ( sanggar-sanggar seni ; kemudian berkembang menjadi tepat tukar menukar keilmuan, transfer pengetahuan), dari masjid berubah menjadi madrasah ( Syamsul Nizar : 2007, 109-124 ).
Ciri pendidikan tradisional yang sangat menonjol adalah lebih betumpu perhatiannya terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu modern sedangkan sistem pendidikan modern hanya menitik beratkan ilmu-ilmu modern dengan mengabaikan Ilmu-ilmu keagamaan. Proses ini mulai dilakukan di rumah-rumah, kuttab, sallon, masjid dan madrasah ilmu yang diajarkan seputar pengajaran ilmu keagamaan. Dalam konteks Islam “keindonesiaan” mengenal istilah pesantren. Tempat para santri menimba ilmu agama. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan pada masa awal ini tidaklah mengherankan karena para pendahulu ( penyebar agama Islam) ingin berusaha memadukan konteks “keindonesiaan dengan keislaman”. Kemudian berkembang menjadi pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Namun seiring kemajuan zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan munculnya bentuk-bentuk madrasah, sebagai pengembangan dari sistem pesantren.
Selain itu ciri utama pendidikan tradisional adalah termasuk:
1.      Anak-anak biasanya dikirim ke sekolah dalam wilayah geografis distrik tertentu
2.      Mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur
3.      Anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka waktu itu.  

C.    Bentuk-Bentuk Pendidikan Tradisional
         Pendidikan di Zaman Hindu
Kedatangan dan Penyebaran Hindu dan Budha
Tanda- tanda datangnya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua ditemukan sekitar abad ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang lebih satu abad kemudian. Cendekiawan, ulama-biarawan, musafir-peziarah Budha dalam perjalanannya ke India, singgah di pulau Jawa untuk mengadakan studi pendahuluan dan persiapan lainnya. India adalah Tanah suci dan merupakan sumber inspirasi spiritual, ilmu pengetahuan, serta kesenian bagi pemeluk-pemeluk agama Budha.
Hindu yang datang ke Indonesia adalah Syiwaisme, berbeda dengan India, tumbuh berdampingan secara bersama-sama dengan Budha. Meskipun Syiwaisme dan Budha adalah agama yang berbeda namun di Indonesia tampak bahwa terdapat kecenderungan “syncretisme” yaitu keyakinan untuk mempersatukan figure Syiwa dan Budha sebagai satu sunber dan yang Maha Tinggi. Lambang kata Negara kita “Bhineka Tunggal Ika” adalah perujudan dari syncretisme tersebut. Dalam hal ini Budha dan Syiwa adalah Dewa-Dewa yang dapat dibedakan (Bhina) tetapi (Dewa-Dewa) itu (Ika) hanya satu (Tunggal). Kalimat tersebut merupakan salah satu bait dari syair Sutasoma karya empu Tantular dari zaman Majapahit. Didalam Hindu dikenal sistem Kasta, meskipun di Indonesia pelaksanaanny tidak setajam di India. Kaum Brahmana yaitu kaum ulama menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Mereka mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu theologia, sastra, bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ilmu- ilmu ekskta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, dan perhitungan waktu. Demikian juga seni bangunan, seni rupa, dan ilmu pengetehuan lainnya.
Menurut I-Tsing “Universitas” di Sriwijaya dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Budha dan dapat belajar dengan tenang. Mereka tinggal di asrama-asrama khusus. Mengenai sistem pendidikan tinggi telah digambarkan pada keadaan sekitar abad ke-4 sampai dengan abad ke-8. Pada abad-abad terakhir menjelang jatuhnya kerajaan Hindu di Indonesia sistem pendidikan tidak lagi dijalankan secara besar-besaran seperti sebelumnya, tetapi dilakukan oleh ulama guru kepada siswa dalam jumlah terbatas dalam padepokan. Pada padepokan tersebut kepada siswa selain diajarkan ilmu pengetahuan yang bersifat umum diajarkan pula ilmu-ilmu yang bersifat spiritual religius. Selain itu mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dipegang oleh para ulama. Namun demikian pendidikan dan pengajaran tidak dilaksanakan secara formal sehingga seorang siswa yang belum merasa puas akan ajaran yang telah diperoleh, mungkin saja berusaha mencari dan berpindah-pindah dari guru yang satu ke guru yang lainnya. Kaum bangsawan, satria, dan administrator lainnya mengirimkan anak-anaknya kepada ulama-ulama untuk dididik, atau ulama (guru) dipersilakan datang untuk mengajar anak-anak kaum bangsawan.
Bagi pendidikan kejuruan dan keterampilan seperti pertanian, pelayaran, perdagangan, konstruksi bangunan, seni pahat, dan ilmu bela diri (termasuk seni perang).
D.    Prinsip- prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip pendidikan tradisional adalah:
1.      Tidak ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem pendidikan tradisional
2.      Motivasi didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
3.      Belajar dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam pendidikan tradisional.

E.      Sistem Pendidikan di Zaman Penyebaran Islam
a.      Pendidikan di Langgar
Pendidikan agama Islam di Langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad huruf Arab (Hijaiyah) atau kadang-kadang langsung mengikuti guru dan menirukan apa yang telah dibacakan dari kitab Al-Qur’an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang disebu’amil, modin  atau lebai (di Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan do’a pada waktu upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya diberikan pada pagi atau petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun. Anak-anak belajar dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk bersila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas seperti sekarang.
Satu hal yang masih belum dilaksanakan pada pengajaran Al-Qur’an di Langgar, dan ini merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya menulis huruf Al-Qur’an (huruf Arab), dengan demikian Yang ingin dicapai hanya membaca semata. Padahal menurut metode baru dalam pengajaran belajar menulis bersama-sama dengan belajar membaca, artinya sesudah belajar membaca harus diajarkan pelajaran menulis, seperti halnya yang dikembangkan sekarang dengan memakai metode Iqra, dimana tidak hanya kemampuan membaca yang ditekankan, akan tetapi dituntut juga penguasaan si anak di dalam menulis.  



Pengajian Al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan atas dua macam, yaitu:
1.      Tingkatan rendah; merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf Al-Qur’an sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampong, dan anak-anak hanya belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2.      Tingkatan atas, pelajarannya selain tersebut diatas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu, qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[2]

Tujuan dari pendidikan pengajaran di Langgar adalah agar anak didik dapat membaca Al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan memahami isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman aka nisi dan makna Al-Qur’an tersebut.
Pada penyelenggaraan pendidikan langgar anak didik tidak dipungut uang sekolah, akan tetapi tergantung kepada kerelaan orang tua anak didik yang boleh memberikan tanda mata berupa benda “in natura” atau uang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hubungan antara anak didik dengan guru pada pendidikan langgar berlangsung terus walaupun kelak anak didik melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Mengenai metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu sistem sorogan, di mana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan guru/kiai, dan sistem halaqah yakni seorang guru/kiai dalam memberikan pengajarannya duduk dengan dikelilingi anak-anak didiknya. Di pusat-pusat pendidikan seperti ini (surau, langgar atau mesjid, bahkan di serambi rumah guru) berkumpul sejumlah anak didik, besar dan kecil, duduk di lantai menghadapi sang guru belajar mengaji. Hal seperti ini lebih dikenal dengan istilah halaqah.
b.      Pendidikan di Pesantren
Dari sejarah kita ketahui bahwa dengan kehadiran Kerajaan Bani Umayyah menjadikan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam tidak hanya belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang lain, seperti “Kutab”. Kutab ini dengan karakteristiknya yang khas, merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistem halaqah (sistem wetonan).[3]
Di Indonesia, istilah Kutab lebih dikenal dengan istilah “pondok pesantren”, yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat seorang kiai (pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana mesjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.[4] Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, mesjid dan pondok.
Pada mulanya pesantren yang ada masih bersifat salafiah (tradisional) dan hanya mengajarkan ilmu agama seperti Fikih, Tasawuf, dan Akidah dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Untuk keperluan ini para kiai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan  tempat-tempat khusus yang terdapat dikiri-kanan masjid. Aktivitas yang dilakukan dinamakan pengajian. Lembaga pengajian ini kelak berkembang menjadi lembaga pesantren. Menurut Nawawi dan Siregar dalam pertumbuhannya, pondok pesantren mengalami beberapa perkembangan.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren:
1. Tujuan umum;
Membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu dan amalnya.
2.   Tujuan khusus;
Mempersiapkan para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[5]
     Pesantren merupakan salah satu contoh dari pendidikan tradisional yang dipimpin oleh seorang kiai atau ulama. Pada mulanya pesantren yang ada masih bersifat salafiah (tradisional) dan hanya mengajarkan ilmu agama seperti Fikih, Tasawuf, dan Akidah dengan kitab kuning sebagai rujukannya. Pemahaman dan penghafalan terhadap Al-Qur’an dan Hadis merupakan syarat mutlak bagi para santri.[6]
Untuk keperluan ini para kiai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan tempat-tempat  khusus yang terdapat di kiri-kanan mesjid. Aktivitas yang dilakukan ini dinamakan pengajian. Lembaga pengajian ini kelak berkembang menjadi lembaga pesantaren.
Setelah mendapat pendidikan elementer di langgar setempat, di antara anak didik ada yang melanjutkan ke pesantren, anak-anak didik yang belajar di pesantren diasramakan dalam suatu kompleks yang disebut Pondok tersebut. Pondok ini, terutama yang bersifat trasional yang biasanya dibangun oleh guru yang bersangkutan atau swadaya masyarakat setempat.
Adapun sistem belajar di pesantren dapat digambarkan seperti ini: pada pagi hari setelah shalat subuh, para santri melakukan pekerjaan kerumahtanggaan untuk guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah dan sebagainya. Selain itu, baru diberikan pelajaran.
Pelajaran utama dengan diselingi oleh belajar sendiri. Pada siang hari anak didik beristirahat dan pada sore harinya belajar lagi. Dalam melakukan semua kegiatan, waktu shalat berjamaah selalu diperhatikan.
Di dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru beserta keluarganya dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan mesjid yang dipelihara bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan pesantren terdapat di Jawa. Di Sumatera terdapat penggabungan antara kedua sistem tersebut. Pesantren di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan “Bendungan”, sedangkan di Sumatera digunakan istilah Halaqah.[7]
1. Metode Wetonan (Halaqah)
Metode yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji sebagai kolektif.[8]
2. Metode Sorogan
Metode yang santrinya cukup pandai men “sorog” kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengajar individual.[9]
            Sebagai karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, Hukum Islam, sistem yurisprudensi Islam, Hadis, Tafsir, Alqur’an, Theologi Islam, Tasawuf, Tarikh dan retorika.[10]

c.       Pendidikan di Madrasah
Seorang menteri terkenal dari dunia Arab bernama Nizam-el-Mulk (abad ke-11) adalah pendiri dan pelopor dari lembaga pendidikan “madrasah”. Tokoh ini mengadakan pembaharuan dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang semula bersifat murni Theologia (Ilmu Ke-Tuhanan) dan menambahkan ilmu-ilmu yang bersifat keduniawan seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu obat-obatan. Dalam perkembangannya madrasah ini ada yang berjenjang sejajar dengan pendidikan dasar dan menengah.
Kalau dibandingkan antara sistem pendidikan dan pengajaran pesantren dan madrasah dapat dilihat perbedaan bahwa pada pesantren cara-cara dan hubungan antara guru dan anak didik masih banyak terlihat ciri-ciri khas perguruan di Hindia yang berasal dari sistem pendidikan Hindu. Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai, tetapi murid harus bekerja bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan rumah tangga atau keperluan sehari-hari guru. Pencaharian dana untuk keperluan pesantren kepada umat Islam adalah identik dengan cara kaum biarawan Hindu atau Budha untuk mencari dana bagi keperluan biaranya. Pada madrasah guru-guru diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai atau secara tetap. Selain itu pada pesantren pendidikan dan pengajaran keagamaan masih tetap dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hubungan antara guru dan anak didik baik dalam surau, rangkang, langgar atau pesantren pada umumnya bersifat kekal, dan bekas murid akan selalu menghormati bekas gurunya dalam keadaan bagaimanapun juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada perguruan di India. Pada madrasah hubungan antara guru dan anak didiknya agaak longgar dan tidak mendalam seperti halnya dengan pesantren.[11]
Ketiga sistem pendidikan dan pengajaran yang ada di Indonesia sejak kedatangan agama Islam pada abad ke-13 hingga kini masih tetap bertahan, meskipun sistem pendidikan modern telah berperan dan mendominasi dunia pendidikan di Indonesia. Walaupun ketiga sistem tersebut telah banyak mengalami perubahan tetapi cirri-ciri khasnya masih dapat diidentifikasikan secara jelas.



F.     Prinsip- prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip pendidikan tradisional adalah:
1.      Tidak ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem pendidikan tradisional
2.      Motivasi didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
3.      Belajar dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam pendidikan tradisional.
.
4.      Pendidikan di Era Kemerdekaan
a.       Sistem Pendidikan Sekolah
Sejak Agustus 1950 penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran menggunakan Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950 RI untuk seluruh Indonesia, dan berlaku baik bagi susunan Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta. Susunan sekolah tersebut adalah Sekolah Rakyat 6 tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama 3tahun, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 3 tahun. Khususnya pendidikan guru selain SGB (3 tahun) san SGA (6 tahun) untuk guru Sekolah Dasar, didirikan pula PGLSP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), dan Kursus BI dan BII untuk guru Sekolah Lanjutan Atas . pada tahun 1954 didirikan Lembaga Pendidikan Guru bertingkat universitas yang pertama yaitu Perguruan Tinggi Guru (PTPG) di Bandung.   
Pada masa sebelum kemerdekaan sistem pendidikan sekolah didasarkan kepada sistem golongan, baik golongan berdasarkan bangsa maupun status sosial. Tetapi setelah kemerdekaan sistem pendidikan sekolah di Indonesia, hanya mengenal tiga tingkatan pendidikan.

1.   Pendidikan Rendah
Pendidikan yang terendah di Indonesia adalah sekolah dasar. Pada tahun 1945 sekolah ini disebut sekolah rakyat (SR) dan lama pendidikannya 6 tahun.
2.   Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah terbagi atas dua tingkat. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Masing-masing tingkat lamanya 3 tahun. Tingkat pendidikan menengah ini di bagi pula atas dua jenis sekolah yaitu Sekolah Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan.
3.   Pendidikan Tinggi[12]
Dalam periode 1945-1950, kesempatan untuk meneruskan studi ke lembaga pendidikan tinggi terbuka lebar bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat. Lembaga pendidikan tinggi berkembang pesat, tetapi karena pelaksanaannya diselenggarakan di tengah perjuangan fisik maka perkuliahan kerapkali disela dengan perjuangan ke garis depan.
Sistem pendidikan Sekolah dalam 3 tingkat di atas adalah sebagai berikut penjelasannya:
1.      Pendidikan Rendah (SD) hanya dilakukan di sekolah dengan lama pendidikan 6 tahun. Bagi anak berusia 6 tahun dengan kemampuan cukup tinggi bisa diterima di SD, walaupun menurut ketentuan anak usia 7 tahun mendapat prioritas utama tanpa mengikuti Sekolah Taman Kanak-Kanak.
2.      Pendidikan Menengah (SLTA dan SMA ) dengan lama pendidikan 3 tahun. Untuk mencapai tingkat tingkat SLTA harus mempunyai tanda lulus SLTP dan lulus dalam seleksi yang diadakan. SMA mempersiapkan anak untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi (perguruan tinggi), sedangkan SMEA, SKKA, STM, SPG, dan lain-lainnya selain untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi juga membekali anak untuk terjun ke masyarakat.
3.      Pendidikan Tinggi dapat dibedakan pada lembaga dalam bentuk Universitas, Institut, Akademi, dan Sekolah Tinggi. Pada umumnya pada pendidikan tinggi setelah studi 3-4 tahun dapat memperoleh gelar sarjana muda, dan setelah 5-7 tahun mendapat gelar Sarjana. Untuk dapat diterima pada perguruan tinggi harus mempunyai ijazah SLTA yang sesuai dengan bidang yang ingin dimasuki dan harus lulus dalam seleksi yang diselenggarakan.   
Sistem persekolahan serta tujuan dari masing-masing tingkat pendidikan di atas diatur dalam Undang-undang No. 4 th. 1950, bab V pasal 7, sebagai berikut:
BAB V
Tentang jenis pendidikan dan pengajaran maksudnya
Pasal 7
1.      Pendidikan dan pengajaran dtaman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah.
2.      Pendidikan dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan kesukaannya masing-masing dan memberikan dasar-dasar pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin.
3.      Pendidikan dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan cita hidup serta membimbing kesanggupan anak didik sebagai anggota masyarakat, mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat/ atau mempersiapkannya bagi pendidikan dan pengajaran tinggi.
4.      Pendidikan dan pengajaran tinggi bermaksud member kesempatan kepada pelajar untuk menjadi orang yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
5.      Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaam kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya, supaya mereka dapat memiliki hidupnya lahir batin yang layak.
Setelah kemerdekaan, sistem persekolahan di Indonesia member kesempatan belajar kepada segala lapisan masyarakat. Di dalm UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 dikatakan bahwa; Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Pun di dalam Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 Bab XI pasal 17 menyebutkan: Tiap-tiap warga negara Republik mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah, jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk pedidikan dan pengajaran pada sekolah itu.
Dari penjelasan kedua undang-undang di atas, pemerintah Indonesia member kesempatan belajar yang sama kepada setiap anak baik untuk pendidikan rendah, menengah maupun pendidikan tinggi. Ini pun berarti bahwa setiap anak dari setiap golongan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki sekolah tertentu. Persyaratan yang diperlukan hanyalah prestasi belajar anak itu. Apabila prestasi belajar anak itu baik, maka kesempatan untuk belajar terbuka baginya.
   Tentu saja dalam hal ini biaya sekolah diperlukan. Setiap tingkat pendidikan tertentu memerlukan biaya pendidikan tertentu. Bagi anak yang mempunyai prestasi belajar yang baik, tetapi kurang mampu dalam pembiayaan sekolah, pemerintah mengusahakan pemberian bea siswa, walaupun dalm jumlah terbatas.
        
b.      Faktor- faktor yang Berpengaruh dalam Pendidikan di Era Kemerdekaan
1.      Fasilitas Fisik
Sebagai konsekuensi dari usaha-usaha peningkatan dan perbaikan dalam bidang pendidikan, pemerintah dihadapkan dengan maslah-masalah pokok yang menyangkut, gedung dan alat-alat pelajaran, tenaga pengajar, biaya dan kurikulum.  
Dalam masa revolusi fisik, tidak sedikit gedung-gedung sekolah yang hancur. Demikian pula tidak sedikit gedung-gedung yang dipergunakan sebagai asrama-asrama untuk tentara. Tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan gedung sekolah adalah:
a). Mendirikan gedung sekolah-sekolah baru. Tetapi cara ini pun masih belum mencukupi akan kebutuhan gedung sekolah.
b). Menyewa rumah-rumah rakyat untuk dijadikan gedung sekolah. Tindakan ini sebagai usaha kedua pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
c). Mengadakan sistem mengajar dua kali dalam sehari. Ini berarti bahwa satu gedung sekolah dipergunakan oleh dua sekolah, sekolah pagi dan sekolah sore.
Dalam periode ini, timbul usaha-usaha masyarakat yang sangat terpuji. Mereka bergotong-royong membangun gedung sekolah serta peralatannya yang kemudian disumbangkan kepada pemerintah. Usaha ini , makin nampak hasilnya, setelah dikalangan masyarakat timbul organisasi Persatuan Orang Tua Murid dan Guru (POMG) yang berhasil menghimpun kekuatan anggotanya untuk membantu dalam bidang pendidikan.

2.      Tenaga Pengajar (Guru)[13]
Disamping masalah gedung sekolah yang dihadapi pemerintah juga masalah tenaga pengajar. Seperti yang diketahui bahwa tenaga-tenaga pengajar sebelum masa kemerdekaan kebanyakan terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang sebagian besar tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru yang lengkap. Setelah kemerdekaan tenaga guru ini makin sangat terasa pada semua tingkat pendidikan. Tetapi yang terasa sekali adalah kekurangan tenaga guru pada tingkat pendidikan rendah. Adapun faktor penyebab kekurangan tenaga guru ditingkat pendidikan rendah ini, pertama karena banyak tenaga guru di tingkat pendidikan rendah yang meninggalkan posnya dan menggabungkan diri dengan laskar-laskar perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Kedua, dengan tuntutan rakyat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 yang kemudian di kuatkan dengan UU No. 4, tahun 1950, pasal 10 dan 17, maka pemerintah harus membuka banyak sekolah rakyat serta meningkatkan yang 3 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini sudah tentu membutuhkan tenaga guru.
Untuk mengatasi kekurangan guru, kementerian PP dan K menyelenggarakan suatu pendidikan guru yang segera dapat menghasilkan guru-guru. Jenis-jenis pendidikan guru yang diadakan pada masa itu ialah Sekolah Guru C, Sekolah Guru B, dan Sekolah Guru A. Masing-masing pendidikan guru itu lamanya 2,4, dan 6 tahun. Tetapi pemerintah kemudian menghapuskan sekolah Guru C (2 tahun) atas saran dari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dengan pertimbangan bahwa pendidikan guru 2 tahun kurang memenuhi syarat untuk mengajar dan belum memenuhi syarat sebagai guru.
               Sejalan dengan pengadaan guru untuk tingkat rendah, kementerian PP dan K juga mengadakan usaha pula penambahan guru untuk tingkat pendidikan menengah. Pendidikan guru untuk SLTP dan SLTA dilakukan dengan melalui kursus-kursus yang lamanya 2 tahun. Kursus-kursus yang diadakan yaitu kursus Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Ilmu Bumi, dan Ilmu Pasti. Hanya kursus Ilmu Pasti yang belum menghasilkan guru, Karena pecahnya clash II tahun 1948. Tetapi kursus-kursus lainnya sempat pula menghasilkan tenaga-tenaga guru untuk sekolah menengah.

3.      Kurikulum[14]
Kurikulum adalah suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha untuk mengembangkan dan meningkatkan pendidikan, kurikulum telah mengalami perubahan yang dimaksudkan untuk menghasilkan warga Negara yang sebaik-baiknya.
Kurikulum yang pertama digunakan adalah kurikulum 1950, kemudian berubah menjadi kurikulum 1958 yang dipergunakan sampai tahun 1964, dan disusun kurikulum 1964 yang pelaksanaannya tahun 1965. Kurikulum ini pun masih mengalami perubahan pada tahun 1968 digunakan kurikulum baru yang mulai dilaksanakan tahun 1969 untuk SMP, SMA, SMEA, SKKP, dan SKKA, sedangkan SMEP dan SPG berlaku tahun 1970.
Sebagai contoh perubahan kurikulum 1965 menjadi kurikulum 1969 pada Sekolah Menengah adalah, kurikulum 1965 yang membagi dalam kelompok dasar cipta, rasa, karsa, dan krida sedangkan kurikulum 1969 membagi dalam kelompok pembinaan jiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
               Sebagai konsekuensi dari perubahan sistem itu, maka kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan pula, sehingga yang semula diorientasikan kepada kepentingan kolonial maka kini diubah selaras dengan kebutuhan bangsa yang merdeka. Salah satu hasil panitia tersebut di atas yang menyangkut kurikulum adalah bahwa setiap rencana pelajaran pada setiap tingkat pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a)      Pendidikan pikiraan harus dikurangi
b)      Isi pelajaran harus dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
c)      Memberikan perhatian terhadap kesenian
d)     Pendidikan watak
e)      Pendidikan Jasmani
f)       Kewarganegaraan dan Masyarakat.  
  Setelah UU Pendidikan dan pengajaran nomor 4/1950 dikeluarkan, maka:
a)      Kurikulum pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak memiliki dasar-dasar pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin, serta mengembangkan bakat dan kesukaannya.
b)      Kurikulum pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi, serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbgai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
c)      Kurikulum pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan pelajaran agar dapat menjadi pimpinan dalam masyarakat, dan dapat memelihara kemajuan ilmu, dan kemajuan hidup kemasyarakatan.

4.      Pembiayaan
Perubahan-perubahan yang dilakukan pemerintah dalam bidang pendidikan itu sudah tentu memerlukan biaya. Pengadaan gedung sekolah dan peralatannya, pengadaan tenaga guru serta perubahan-perubahan dalam kurikulum banyak membutuhkan biaya. Berapa besarnya biaya pendidikan yang dikeluarkan dalam periode ini sangat sulit diperoleh angka-angka yang pasti mengingat periode tersebut merupakan periode perjuangan fisik dalam mempertahankan kemerdekaan.

5.      Pendidikan Tinggi
Pembinaan serta pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia harus didasarkan pada:
a.       UUD 1945 dan ketetapan MPR.
b.      Asas-asas Tridharma Perguruan Tinggi dalam hikmat kebebasan akademis yang bertanggung jawab.
Dasar-dasar tersebut di atas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1). Hasil-hasil yang telah dicapai hingga sekarang.
2). Harapan keluarga, masyarakat, dan pemerintah terhadap pendidikan sebagai  keseluruhan, dan terhadap pendidikan tinggi pada khususnya.
3). Implikasi kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi.
4). Dinamika dan perspektif perkembangan kebudayaan nasional.[15]
Dengan berlandaskan pada dasar-dasar tersebut dan berpedoman pada konsep pendidikan seumur hidup (life long education), pembianaan serta pengembangan perguruan tinggi harus terarah. Pengarahan pada dasarnya ditujukan kepada pengembangan suatu sistem pendidikan tinggi di Indonesia secara menyeluruh yang menyangkut perguruan-perguruan tinggi pemerintah dan swasta di dalam satu pola pembinaan, dengan arah-arah sebagai berikut:
1)      Pendidikan tinggi harus merupakan bagian integlar dari usaha-usaha pembangunan baik nasional maupun regional.
2)      Pendidikan tinggi harus merupakan penghubung antara dunia ilmu pengetahuan, teknololgi, dan kebutuhan masyarakat.
3)      Pendidikan tinggi harus melaksanakan pendidikan berdasarkan pola pemikiran yang analitis dan berorientasi kepada pemecahan-pemecahan permasalahan dan disertai oleh suatu pandangan masa depan.
4)      Pendidikan tinggi harus berpartisipasi dalam perbaikan serta pengembangan:
a.       Mutu kehidupan dan mutu kebudayaan
b.      Ilmu pengetahuan dan penerapannya
c.       Pengertian dan kerja sama internasional dalm usaha mencapai perdamaian dunia dan kesejahteraan umat manusia.
5)      Pendidikan tinggi hendaknya memungkinkan terlaksananya:
a.       Pengembangan seluruh kemampuan serta kepribadian manusia.
b.      Mobilitas siswa dari satu pengalaman pendidikan ke yang lain.
c.       Diversifikasi dalam pendidikan dan proses belajar.
d.      Demokratisasi dalam pendidikan dan proses belajar.
e.       Mobilisasi sumber-sumber msyarakat yang dapat manfaatkan dalam pendidikan.
f.       Pertumbuhan kegairahan riset.
Dengan demikian maka pengarahan pendidikan yang dimaksudkan tersebut diatas ini menyangkut masalah pembinaan perguruan tinggi secara menyeluruh ternmasuk perencanaan masing-masing dan menyangkut berbagai kebijaksanaan yang luas ruang lingkupnya.

a)      Pendidikan Tinggi Republik
Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi sangat menarik karena meskipun mengalami tantangan yang luar biasa namun dalam bidang ini justru memperoleh kemajuan pesat.  Ika Daigaku di Jakarta (daerah Pendudukan Belanda) dilanjutkan da diperluas menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran. [16]

b)     Pendidikan Tinggi di daerah pendudukan Belanda
Atas prakasa pihak Belanda pada bulan Januari 1946 didirikan suatu “universitas darurat” (Nood- Universiteit) yang terdiri dari 5 fakultas yaitu fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra & filsafat, dan pertanian di Jakarata, dan fakultas teknik di Bandung.



6.       Mahasiswa dan pelajar Pejuang
Sebagai salah satu unsur dari suatu bangsa yang sedang berjuang untuk kemerdekaannya maka para mahasiswa dan pelajar tidak mau ketinggalan dan ikut serta secara langsung dalm perjuangan bersenjata. Sebagaimana dalam setiap taraf perjuangan nasional di Indonesia kaum pemuda, khususnya mahasiswa dan pelajar, selalu menjadi pelopor dan merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai kemenangan.
Karena selama masa pendudukan Jepang para pelajar sudah biasa dengan latihan-latihan kemiliteran, maka pada masa perjuangan bersenjata langsung dapat menyesuaikan diri dan terjun dalam kancah pertempuran di garis depan. Sebagai wadah semula di dalam organisasi IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) diadakan suatu bagian yaitu IPI bagian pertahanan. Di samping itu sesuai dengan zamannya banyak diorganisasikan kesatuan atau laskar-laskar bersenjata yang seluruh anggotanya terdiri dari pelajar. Ketika dibentuk BKR(Badan Keamanan Rakyat) , TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan kemudian diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia), maka banyak kesatuan pelajar yang tergabung di dalamnya.
Akhirnya pemerintah memandang perlu adanya koordinasi antara semua kesatuan-kesatuan bersenjata agar terdapat kesatuan komando.[17]



G.    Hubungan Pendidikan Tradisional dengan Sejarah
Para ahli sejarah pendidikan seperti: A.L. Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah dalam Bahasa Arab merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas didunia  Islam (Klasik) pra modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal abad ke- 20 Masehi ini, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan pendidikan Islam yang dilakukan para cendikiawan muslim di Indonesia, yang melihat bahwa Lembaga Pendidikan Islam “Asli” (tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman disamping itu, kedekatan sistem belajar-mengajar ala sekolah yang, ketika madrasah mulai bermunculan, memang sudah banyak dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda, membuat banyak orang berpandangan bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi muatan dan corak ke-Islaman.[18]













BAB III
PENTUP
A.    Kesimpulan
               Dari sejumlah uraian di atas,  dapat di tarik kesimpulan bahwa Pendidikan Tradisional itu sangat bervariasi dengan geografis dan periode sejarah.Usaha utama pendidikan tradisional adalah untuk mengirimkan ke generasi berikutnya keterampilan, fakta, dan standar perilaku moral dan sosial yang orang dewasa anggap perlu untuk bahan generasi berikutnya dan keberhasilan sosial. Selain itu juga, dari kesimpulan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa:
1.      Secara historis, teknik pendidikan utama pendidikan tradisional adalah zikir lisan sederhana: Dalam pendekatan khas, siswa duduk diam di tempat mereka dan mendengarkan satu orang demi satu membacakan pelajaran nya, sampai masing-masing telah dipanggil.
2.      Ciri pendidikan tradisional yang sangat menonjol adalah lebih betumpu perhatiannya terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata dengan mengabaikan ilmu-ilmu modern sedangkan sistem pendidikan modern hanya menitik beratkan ilmu-ilmu modern dengan mengabaikan Ilmu-ilmu keagamaan.
3.      Bentuk-bentuk Pendidikan tradisional  yaitu pendidikan di zaman Hindu
4.      Prinsip-prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip pendidikan tradisional adalah:
a.       Tidak ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam sistem pendidikan tradisional
b.      Motivasi didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
c.       Belajar dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam pendidikan tradisional.
5.      Sistem Pendidikan di Zaman Penyebaran Islam terdiri dari:
a.    Pendidikan di Langgar
b.   Pendidikan di Pesantren
c.    Pendidikan di Madrasah

6.      Pendidikan di Era Kemerdekaan terdiri dari:
a. Sistem Pendidikan Sekolah
Pada masa sebelum kemerdekaan sistem pendidikan sekolah didasarkan kepada sistem golongan, baik golongan berdasarkan bangsa maupun status sosial. Tetapi setelah kemerdekaan sistem pendidikan sekolah di Indonesia, hanya mengenal tiga tingkatan pendidikan.
·      Pendidikan Rendah
·      Pendidikan Menengah
·      Pendidikan Tinggi
b.Faktor- faktor yang Berpengaruh dalam Pendidikan di Era Kemerdekaan
·      Fasilitas Fisik
·      Tenaga Pengajar (Guru)
·      Kurikulum
·      Pembiayaan
·      Pendidikan Tinggi
·      Mahasiwa dan Pelajar Pejuang
7.      Hubungan Pendidikan Tradisional dengan Sejarah
Para ahli sejarah pendidikan seperti: A.L. Tibawi dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah dalam Bahasa Arab merujuk pada lembaga pendidikan tinggi yang luas didunia  Islam (Klasik) pra modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa Indonesia.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Fatta, Imam, Modernisasi Pesantren dan Krisis Ulama, Jakarta: Panjimas, 1991.
Arifin, HM, Kapita Selekta Pendidikan Arief,Armai, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa, 2005.
Hamzah , Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta: Mulia Ofset, 1989.
Thayeb, Syarif,  Pendidikan Luar Sekolah dan Pembinaan Bangsa, Jakarta: Dep. P dan K, 1976.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Langgulung Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Masyhuri Aziz A, Pokok Pikiran Pengembangan Pengkajian Kitab, (Jakarta: Bina Aksara, 1986.

              Mestoko, Sumarsono, Pendidikan Di Indonesia Dari Jaman Ke Jaman. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Mukti Ali. A, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali, 1987.
              Said M. & Mansur Dahlan, Mendidik Dari Zaman Ke Zaman, Cet. I, Jakarta: Pen. Kebangsaan, 1953.
              Saidi, Ridwan, pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa, Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tim Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1983.
              Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Hidakarya Agung, 1985.







                 [2] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1985) h. 35
[3] Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988) h. 112
[4] A. Mukti Ali, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, (Jakarta: Rajawali, 1987) h. 323
[5] Arifin HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan Umum,( Jakarta: Bumi Aksara, 1991) h. 248
[6] Imam Al-Fatta, Modernisasi Pesantren dan Krisis Ulama, (Jakarta: Panjimas, 1991) h. 255
[7] Tim Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1983) h. 8
[8] Aziz Masyhuri A, Pokok Pikiran Pengembangan Pengkajian Kitab, (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 26
[9] Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta: Mulia Ofset, 1989) h. 26
[10] Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, (Jakarta: Mulia Ofset, 1989) h. 236


[11] Sumarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) h. 69
[12] Sumarsono Mestoko, Pendidikan di Indonesia Dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) h. 151

[13] M. Said & Dahlan Mansur, Mendidik Dari Zaman Ke Zaman, (Cet. I, Jakarta: Pen. Kebangsaan, 1953) h. 158             
[14]  Syarif Thayeb, Pendidikan Luar Sekolah dan Pembinaan Bangsa, (Jakarta: Dep. P dan K, 1976) h. 161
[15] Djumhur & Danasaputra, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1979) h. 185
[16] BP3K Depdikbud, Pendidikan di Indonnesia dari Jaman ke Jaman, ( Jakarta: Dep. P dan K, 1979) h. 185
[17] Ridwan Saidi, pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 187
[18] Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Bandung: Angkasa, 2005) h. 155


EmoticonEmoticon