BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu usaha
mengembangkan peradaban di kalangan umat Islam masa lalu, diawali dari
usaha-usaha perluasan daerah kekuasaan (futuhat) yang berarti membuka daerah
untuk dimasuki kekuasaan Islam. Walaupun demikian ekspansi berpengaruh terhadap
pengenalan Islam dalam wilayah yang telah diduduki tersebut. Ekspansi wilayah,
dalam hal ini peperangan merupakan realitas sejarah yang tidak dapat
dipungkiri. Ini menunjukan bahwa sejarah umat Islam adalah sejarah politik. Hal
ini logis karena prinsip kehidupan masa itu adalah mengemban amanah suci yang
menyebarkan kebenaran atau “al-quwat fawq
al-haq” (Khaerul Wahidin : 2004, ix). Sejarah perkembangan pemikiran yang
merupakan cikal bakal munculnya peradaban mengalami pasang surut mengikuti
dinamikan perkembangan sejarah umat Islam. Pendidikan yang diartikan sebagai
suatu yang mampu merubah kondisi yang lebih baik mengalami perkembangan dan
perubahan baik dari segi tujuan, metode, system serta alat untuk mengukur
keberhasilan dari proses pendidikan tersebut. Untuk mengetahui perkembangan
pendidikan haruslah diruntut menurut “historis”
pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikir, penggagas, penggerak dan pelaku
pendidikan dari masa ke masa. Karena keterbatasan penulis mengenai hal ini,
terutama mengenai literatur maka pembahasan dalam makalah ini tidaklah berkutat
pada masalah runtutan “kesejarahan” secara periodik dari tahun ke tahun tetapi
lebih menekankan sisi-sisi perkembangan pemikiran yang pernah terlintas dalam
sejarah intelektual terutama bidang pendidikan, khususnya perkembangan
pemikiran pendidikan Islam dan lebih khusus lagi dalam perkembangan pemikiran
pendidikan tradisional Islam.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian
Pendidikan Tradisional?
2.
Bagaimana Ciri
Pendidikan Tradisional Itu?
3.
Bagaimana Bentuk
Pendidikan Tradisional?
4.
Apa
Prinsip-Prinsip Pendidikan Tradisional Itu?
5.
Bagaimana Sistem Pendidikan Di Zaman Penyebaran Islam?
6.
Bagaimana Pendidikan
Di Era Kemerdekaan?
7.
Bagaimana Hubungan Pendidikan Tradisional Dengan Sejarah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Tradisional
Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan masyarakat.
Tradisional menurut
kamus Bahasa Indonesia adalah sikap dan cara berpikir serta
bertindak yg selalu berpegang teguh pd norma dan adat kebiasaan yg ada secara
turun-temurun. Sedangkan secara
bahasa tradisional berasal dari bahasa latin: traditio,
"diteruskan")
atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang
telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama
yang sama.
Secara historis, teknik pendidikan
utama pendidikan tradisional adalah zikir lisan sederhana: Dalam pendekatan
khas, siswa duduk diam di tempat mereka dan mendengarkan satu orang demi satu
membacakan pelajaran nya, sampai masing-masing telah dipanggil. kegiatan utama
guru adalah menugaskan dan mendengarkan bacaan tersebut, siswa belajar di
rumah. Tes mungkin diberikan pada akhir unit, dan proses, yang disebut
"tugas-studi-zikir-test", diulang. Selain penekanan yang berlebihan
pada jawaban verbal, ketergantungan pada menghafal hafalan (menghafal tanpa
upaya untuk memahami makna), dan terputus, tugas yang tidak berhubungan, itu
juga penggunaan yang sangat tidak efisien dari siswa dan guru waktu.[1]
Pendidikan tradisional dikaitkan dengan unsur pemaksaan jauh lebih kuat
daripada sekarang tampaknya diterima dalam budaya yang paling (rujukan?). Hal
ini kadang-kadang mencakup: penggunaan hukuman fisik untuk menjaga disiplin
kelas atau menghukum kesalahan; menanamkan agama yang dominan dan bahasa;
memisahkan siswa sesuai. jenis kelamin, ras, dan kelas sosial, serta mengajar
mata pelajaran yang berbeda untuk anak perempuan dan anak laki-laki. Dalam hal
kurikulum ada dan masih tingkat tinggi perhatian pada pengetahuan akademik
waktu dihormati.
` Pada saat ini itu sangat bervariasi dari budaya ke budaya, tetapi masih cenderung ditandai oleh tingkat jauh lebih tinggi dari paksaan dari pendidikan alternatif. sekolah tradisional di Inggris dan harta benda dan bekas koloni cenderung mengikuti gaya Inggris Umum Sekolah seragam ketat dan militeristik gaya disiplin. Ini dapat dibandingkan dengan Afrika Selatan, Amerika Serikat dan sekolah-sekolah Australia, yang dapat memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk komunikasi mahasiswa-guru spontan.
B.
Ciri Pendidikan Tradisional.
Istilah tradisional tidak selalu berkonotasi negatif
apalagi bila berkenaan dengan pola fikir kemanusiaan. Sebab sejarah pemikiran
selalu berputar mengikuti “irama” perkembangan dengan sedikit penambahan,
pengurangan dan modifikasi. Perubahan ini bukan berarti harus meniti jalan baru
tetapi boleh mundur menengok pendapat yang pernah ditinggalkan atau kembali
kepada pendapat yang pernah diketahui. Manusia bisa mengambil metede lama untuk
mengembangkan hal baru begitulah seterusnya sejarah pemikiran manusia selalu
berulang dan selalu diperbaharui ( Abdul Halim Mahmud : 2001, 49 ).
Pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional
yang berbentuk halaqoh-halaqoh. Apalagi bila meruntut ke belakang mulai dari
zaman Nabi diawali dengan pelaksanaan pendidikan di rumah (informal), kutab (
lembga pendidikan yang didirikan dekat masjid, tempat untuk belajar membaca dan
menulis Al-Quran ), kemudian pendidikan di masjid dengan membentuk halaqoh-halaqoh
( lingkaran kecil, saling berkumpul dan transfer ilmu ), sallon (
sanggar-sanggar seni ; kemudian berkembang menjadi tepat tukar menukar
keilmuan, transfer pengetahuan), dari masjid berubah menjadi madrasah ( Syamsul
Nizar : 2007, 109-124 ).
Ciri pendidikan tradisional yang sangat menonjol adalah
lebih betumpu perhatiannya terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata dengan
mengabaikan ilmu-ilmu modern sedangkan sistem pendidikan modern hanya menitik
beratkan ilmu-ilmu modern dengan mengabaikan Ilmu-ilmu keagamaan. Proses ini
mulai dilakukan di rumah-rumah, kuttab, sallon, masjid dan madrasah ilmu yang
diajarkan seputar pengajaran ilmu keagamaan. Dalam konteks Islam
“keindonesiaan” mengenal istilah pesantren. Tempat para santri menimba ilmu
agama. Perkembangan lembaga-lembaga pendidikan pada masa awal ini tidaklah
mengherankan karena para pendahulu ( penyebar agama Islam) ingin berusaha
memadukan konteks “keindonesiaan dengan
keislaman”. Kemudian berkembang
menjadi pesantren-pesantren yang ada di Indonesia. Namun seiring kemajuan
zaman, modernisasi pendidikan Islam mulai tampak dengan munculnya bentuk-bentuk
madrasah, sebagai pengembangan dari sistem pesantren.
Selain itu ciri utama pendidikan
tradisional adalah termasuk:
1.
Anak-anak
biasanya dikirim ke sekolah dalam wilayah geografis distrik tertentu
2.
Mereka
kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan
umur
3.
Anak-anak
masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka waktu itu.
C.
Bentuk-Bentuk
Pendidikan Tradisional
Pendidikan di Zaman Hindu
Kedatangan dan
Penyebaran Hindu dan Budha
Tanda-
tanda datangnya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua ditemukan sekitar abad
ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang pendidikan
dan ilmu pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang
lebih satu abad kemudian. Cendekiawan, ulama-biarawan, musafir-peziarah Budha
dalam perjalanannya ke India, singgah di pulau Jawa untuk mengadakan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya. India adalah Tanah suci dan merupakan sumber
inspirasi spiritual, ilmu pengetahuan, serta kesenian bagi pemeluk-pemeluk
agama Budha.
Hindu
yang datang ke Indonesia adalah Syiwaisme, berbeda dengan India, tumbuh
berdampingan secara bersama-sama dengan Budha. Meskipun Syiwaisme dan Budha
adalah agama yang berbeda namun di Indonesia tampak bahwa terdapat
kecenderungan “syncretisme” yaitu
keyakinan untuk mempersatukan figure Syiwa dan Budha sebagai satu sunber dan
yang Maha Tinggi. Lambang kata Negara kita “Bhineka Tunggal Ika” adalah
perujudan dari syncretisme tersebut.
Dalam hal ini Budha dan Syiwa adalah Dewa-Dewa yang dapat dibedakan (Bhina)
tetapi (Dewa-Dewa) itu (Ika) hanya satu (Tunggal). Kalimat tersebut merupakan
salah satu bait dari syair Sutasoma karya empu Tantular dari zaman Majapahit.
Didalam Hindu dikenal sistem Kasta, meskipun di Indonesia pelaksanaanny tidak
setajam di India. Kaum Brahmana yaitu kaum ulama menyelenggarakan pendidikan
dan pengajaran. Mereka mempelajari dan mengajarkan ilmu-ilmu theologia, sastra,
bahasa, dan ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ilmu- ilmu ekskta seperti ilmu
perbintangan, ilmu pasti, dan perhitungan waktu. Demikian juga seni bangunan,
seni rupa, dan ilmu pengetehuan lainnya.
Menurut
I-Tsing “Universitas” di Sriwijaya
dapat menampung beratus-ratus mahasiswa biarawan Budha dan dapat belajar dengan
tenang. Mereka tinggal di asrama-asrama khusus. Mengenai sistem pendidikan
tinggi telah digambarkan pada keadaan sekitar abad ke-4 sampai dengan abad
ke-8. Pada abad-abad terakhir menjelang jatuhnya kerajaan Hindu di Indonesia
sistem pendidikan tidak lagi dijalankan secara besar-besaran seperti
sebelumnya, tetapi dilakukan oleh ulama guru kepada siswa dalam jumlah terbatas
dalam padepokan. Pada padepokan tersebut kepada siswa selain diajarkan ilmu
pengetahuan yang bersifat umum diajarkan pula ilmu-ilmu yang bersifat spiritual
religius. Selain itu mereka harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dengan demikian pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai dengan pendidikan
tinggi dipegang oleh para ulama. Namun demikian pendidikan dan pengajaran tidak
dilaksanakan secara formal sehingga seorang siswa yang belum merasa puas akan
ajaran yang telah diperoleh, mungkin saja berusaha mencari dan berpindah-pindah
dari guru yang satu ke guru yang lainnya. Kaum bangsawan, satria, dan
administrator lainnya mengirimkan anak-anaknya kepada ulama-ulama untuk dididik,
atau ulama (guru) dipersilakan datang untuk mengajar anak-anak kaum bangsawan.
Bagi
pendidikan kejuruan dan keterampilan seperti pertanian, pelayaran, perdagangan,
konstruksi bangunan, seni pahat, dan ilmu bela diri (termasuk seni perang).
D.
Prinsip-
prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip
pendidikan tradisional adalah:
1. Tidak
ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam
sistem pendidikan tradisional
2. Motivasi
didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
3. Belajar
dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam
pendidikan tradisional.
E.
Sistem Pendidikan di Zaman Penyebaran Islam
a.
Pendidikan
di Langgar
Pendidikan
agama Islam di Langgar bersifat elementer, dimulai dengan mempelajari abjad
huruf Arab (Hijaiyah) atau
kadang-kadang langsung mengikuti guru dan menirukan apa yang telah dibacakan
dari kitab Al-Qur’an. Pendidikan di langgar dikelola oleh seorang petugas yang
disebu’amil, modin atau lebai (di
Sumatera) yang mempunyai tugas ganda, disamping memberikan do’a pada waktu
upacara keluarga atau desa, juga berfungsi sebagai guru. Pelajaran biasanya
diberikan pada pagi atau petang hari, satu sampai dua jam. Pelajaran memakan
waktu selama beberapa bulan, tetapi pada umumnya sekitar satu tahun. Anak-anak
belajar dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk
bersila. Mereka belajar pada guru seorang demi seorang dan belum berkelas-kelas
seperti sekarang.
Satu
hal yang masih belum dilaksanakan pada pengajaran Al-Qur’an di Langgar, dan ini
merupakan kekurangannya adalah tidak diajarkannya menulis huruf Al-Qur’an
(huruf Arab), dengan demikian Yang ingin dicapai hanya membaca semata. Padahal
menurut metode baru dalam pengajaran belajar menulis bersama-sama dengan belajar
membaca, artinya sesudah belajar membaca harus diajarkan pelajaran menulis,
seperti halnya yang dikembangkan sekarang dengan memakai metode Iqra, dimana
tidak hanya kemampuan membaca yang ditekankan, akan tetapi dituntut juga
penguasaan si anak di dalam menulis.
Pengajian
Al-Qur’an pada pendidikan langgar dibedakan atas dua macam, yaitu:
1. Tingkatan
rendah; merupakan tingkatan pemula, yaitu mulainya mengenal huruf Al-Qur’an
sampai bisa membacanya, diadakan pada tiap-tiap kampong, dan anak-anak hanya
belajar pada malam hari dan pagi hari sesudah shalat subuh.
2. Tingkatan
atas, pelajarannya selain tersebut diatas, ditambah lagi dengan pelajaran lagu,
qasidah, barzanji, tajwid serta mengaji kitab perukunan.[2]
Tujuan
dari pendidikan pengajaran di Langgar adalah agar anak didik dapat membaca
Al-Qur’an dengan berirama dan baik, dan tidak dirasakan keperluan memahami
isinya. Jadi dalam hal ini hanya sebatas agar anak mampu membaca Al-Qur’an
dengan baik dan benar, tanpa memperhatikan tentang pemahaman aka nisi dan makna
Al-Qur’an tersebut.
Pada
penyelenggaraan pendidikan langgar anak didik tidak dipungut uang sekolah, akan
tetapi tergantung kepada kerelaan orang tua anak didik yang boleh memberikan
tanda mata berupa benda “in natura” atau
uang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Hubungan antara anak didik dengan
guru pada pendidikan langgar berlangsung terus walaupun kelak anak didik
melanjutkan pelajarannya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.
Mengenai
metode penyampaian materi pada pendidikan langgar memakai dua sistem, yaitu
sistem sorogan, di mana dengan sistem ini anak secara perorangan belajar dengan
guru/kiai, dan sistem halaqah yakni seorang guru/kiai dalam memberikan
pengajarannya duduk dengan dikelilingi anak-anak didiknya. Di pusat-pusat pendidikan
seperti ini (surau, langgar atau mesjid, bahkan di serambi rumah guru)
berkumpul sejumlah anak didik, besar dan kecil, duduk di lantai menghadapi sang
guru belajar mengaji. Hal seperti ini lebih dikenal dengan istilah halaqah.
b.
Pendidikan
di Pesantren
Dari
sejarah kita ketahui bahwa dengan kehadiran Kerajaan Bani Umayyah menjadikan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, sehingga anak-anak masyarakat Islam
tidak hanya belajar di mesjid tetapi juga pada lembaga-lembaga yang lain,
seperti “Kutab”. Kutab ini dengan karakteristiknya yang khas, merupakan wahana dan
lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan
sistem halaqah (sistem wetonan).[3]
Di
Indonesia, istilah Kutab lebih
dikenal dengan istilah “pondok pesantren”,
yaitu suatu lembaga pendidikan Islam, yang di dalamnya terdapat seorang kiai
(pendidik) yang mengajar dan mendidik para santri (anak didik) dengan sarana
mesjid yang digunakan untuk menyelenggarakan pendidikan tersebut, serta
didukung adanya pondok sebagai tempat tinggal para santri.[4]
Dengan demikian, ciri-ciri pondok pesantren adalah adanya kiai, santri, mesjid
dan pondok.
Pada mulanya
pesantren yang ada masih bersifat salafiah (tradisional) dan hanya mengajarkan
ilmu agama seperti Fikih, Tasawuf, dan Akidah dengan kitab kuning sebagai
rujukannya. Untuk keperluan ini para kiai menyediakan ruang khusus untuk
penginapan dan tempat-tempat khusus yang
terdapat dikiri-kanan masjid. Aktivitas yang dilakukan dinamakan pengajian.
Lembaga pengajian ini kelak berkembang menjadi lembaga pesantren. Menurut
Nawawi dan Siregar dalam pertumbuhannya, pondok pesantren mengalami beberapa
perkembangan.
Tujuan terbentuknya pondok pesantren:
1.
Tujuan umum;
Membimbing
anak didik untuk menjadi manusia yang berkepribadian Islam yang dengan ilmu
agamanya ia sanggup menjadi mubalig Islam dalam masyarakat sekitar melalui ilmu
dan amalnya.
2. Tujuan
khusus;
Mempersiapkan
para santri untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama yang diajarkan oleh kiai
yang bersangkutan serta mengamalkannya dalam masyarakat.[5]
Pesantren
merupakan salah satu contoh dari pendidikan tradisional yang dipimpin oleh
seorang kiai atau ulama. Pada mulanya pesantren yang ada masih bersifat salafiah (tradisional) dan hanya
mengajarkan ilmu agama seperti Fikih, Tasawuf, dan Akidah dengan kitab kuning
sebagai rujukannya. Pemahaman dan penghafalan terhadap Al-Qur’an dan Hadis
merupakan syarat mutlak bagi para santri.[6]
Untuk
keperluan ini para kiai menyediakan ruang khusus untuk penginapan dan
tempat-tempat khusus yang terdapat di
kiri-kanan mesjid. Aktivitas yang dilakukan ini dinamakan pengajian. Lembaga
pengajian ini kelak berkembang menjadi lembaga pesantaren.
Setelah
mendapat pendidikan elementer di langgar setempat, di antara anak didik ada
yang melanjutkan ke pesantren, anak-anak didik yang belajar di pesantren
diasramakan dalam suatu kompleks yang disebut Pondok tersebut. Pondok ini,
terutama yang bersifat trasional yang biasanya dibangun oleh guru yang
bersangkutan atau swadaya masyarakat setempat.
Adapun
sistem belajar di pesantren dapat digambarkan seperti ini: pada pagi hari
setelah shalat subuh, para santri melakukan pekerjaan kerumahtanggaan untuk
guru, seperti membersihkan halaman, mengerjakan sawah dan sebagainya. Selain
itu, baru diberikan pelajaran.
Pelajaran
utama dengan diselingi oleh belajar sendiri. Pada siang hari anak didik
beristirahat dan pada sore harinya belajar lagi. Dalam melakukan semua
kegiatan, waktu shalat berjamaah selalu diperhatikan.
Di
dalam kompleks pesantren terdapat tempat kediaman para guru beserta keluarganya
dengan semua fasilitas rumah tangga dan tidak ketinggalan mesjid yang
dipelihara bersama. Pendidikan dan pengajaran di langgar dan pesantren terdapat
di Jawa. Di Sumatera terdapat penggabungan antara kedua sistem tersebut. Pesantren
di Jawa Barat, metode tersebut diistilahkan “Bendungan”,
sedangkan di Sumatera digunakan istilah Halaqah.[7]
1.
Metode Wetonan (Halaqah)
Metode
yang di dalamnya terdapat seorang kiai yang membaca suatu kitab dalam waktu
tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan
dan menyimak bacaan kiai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar
mengaji sebagai kolektif.[8]
2.
Metode Sorogan
Metode
yang santrinya cukup pandai men “sorog”
kan (mengajukan) sebuah kitab kepada kiai untuk dibaca dihadapannya, kesalahan
dalam bacaannya itu langsung dibenarkan oleh kiai. Metode ini dapat dikatakan
sebagai proses belajar mengajar individual.[9]
Sebagai
karakteristik khusus dalam pondok pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat
terfokus pada ilmu agama, misalnya ilmu sintaksis Arab, Hukum Islam, sistem
yurisprudensi Islam, Hadis, Tafsir, Alqur’an, Theologi Islam, Tasawuf, Tarikh
dan retorika.[10]
c.
Pendidikan
di Madrasah
Seorang
menteri terkenal dari dunia Arab bernama Nizam-el-Mulk (abad ke-11) adalah
pendiri dan pelopor dari lembaga pendidikan “madrasah”.
Tokoh ini mengadakan pembaharuan dengan memperkenalkan sistem pendidikan yang
semula bersifat murni Theologia (Ilmu Ke-Tuhanan) dan menambahkan ilmu-ilmu
yang bersifat keduniawan seperti astronomi (ilmu perbintangan) dan ilmu
obat-obatan. Dalam perkembangannya madrasah ini ada yang berjenjang sejajar
dengan pendidikan dasar dan menengah.
Kalau
dibandingkan antara sistem pendidikan dan pengajaran pesantren dan madrasah
dapat dilihat perbedaan bahwa pada pesantren cara-cara dan hubungan antara guru
dan anak didik masih banyak terlihat ciri-ciri khas perguruan di Hindia yang
berasal dari sistem pendidikan Hindu. Guru-guru tidak dibayar langsung dan tunai,
tetapi murid harus bekerja bagi kepentingan guru dalam arti untuk kepentingan
rumah tangga atau keperluan sehari-hari guru. Pencaharian dana untuk keperluan
pesantren kepada umat Islam adalah identik dengan cara kaum biarawan Hindu atau
Budha untuk mencari dana bagi keperluan biaranya. Pada madrasah guru-guru
diperkenankan menerima imbalan dalam bentuk uang tunai atau secara tetap.
Selain itu pada pesantren pendidikan dan pengajaran keagamaan masih tetap
dominan dibandingkan dengan ilmu pengetahuan lainnya. Hubungan antara guru dan
anak didik baik dalam surau, rangkang, langgar atau pesantren pada umumnya
bersifat kekal, dan bekas murid akan selalu menghormati bekas gurunya dalam
keadaan bagaimanapun juga. Ciri-ciri tersebut terdapat pula pada perguruan di
India. Pada madrasah hubungan antara guru dan anak didiknya agaak longgar dan
tidak mendalam seperti halnya dengan pesantren.[11]
Ketiga
sistem pendidikan dan pengajaran yang ada di Indonesia sejak kedatangan agama
Islam pada abad ke-13 hingga kini masih tetap bertahan, meskipun sistem
pendidikan modern telah berperan dan mendominasi dunia pendidikan di Indonesia.
Walaupun ketiga sistem tersebut telah banyak mengalami perubahan tetapi
cirri-ciri khasnya masih dapat diidentifikasikan secara jelas.
F.
Prinsip-
prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip
pendidikan tradisional adalah:
1. Tidak
ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam
sistem pendidikan tradisional
2. Motivasi
didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
3. Belajar
dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam
pendidikan tradisional.
.
4.
Pendidikan
di Era Kemerdekaan
a. Sistem
Pendidikan Sekolah
Sejak
Agustus 1950 penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran menggunakan
Undang-Undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran No. 4 tahun 1950 RI untuk seluruh
Indonesia, dan berlaku baik bagi susunan Sekolah Negeri maupun Sekolah Swasta.
Susunan sekolah tersebut adalah Sekolah Rakyat 6 tahun, Sekolah Lanjutan
Tingkat Pertama 3tahun, dan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas 3 tahun. Khususnya
pendidikan guru selain SGB (3 tahun) san SGA (6 tahun) untuk guru Sekolah
Dasar, didirikan pula PGLSP (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama), dan
Kursus BI dan BII untuk guru Sekolah Lanjutan Atas . pada tahun 1954 didirikan
Lembaga Pendidikan Guru bertingkat universitas yang pertama yaitu Perguruan
Tinggi Guru (PTPG) di Bandung.
Pada
masa sebelum kemerdekaan sistem pendidikan sekolah didasarkan kepada sistem
golongan, baik golongan berdasarkan bangsa maupun status sosial. Tetapi setelah
kemerdekaan sistem pendidikan sekolah di Indonesia, hanya mengenal tiga
tingkatan pendidikan.
1. Pendidikan
Rendah
Pendidikan yang
terendah di Indonesia adalah sekolah dasar. Pada tahun 1945 sekolah ini disebut
sekolah rakyat (SR) dan lama pendidikannya 6 tahun.
2. Pendidikan
Menengah
Pendidikan menengah
terbagi atas dua tingkat. Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Masing-masing tingkat lamanya 3 tahun. Tingkat
pendidikan menengah ini di bagi pula atas dua jenis sekolah yaitu Sekolah
Menengah Umum dan Sekolah Menengah Kejuruan.
3. Pendidikan
Tinggi[12]
Dalam periode
1945-1950, kesempatan untuk meneruskan studi ke lembaga pendidikan tinggi
terbuka lebar bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat. Lembaga pendidikan
tinggi berkembang pesat, tetapi karena pelaksanaannya diselenggarakan di tengah
perjuangan fisik maka perkuliahan kerapkali disela dengan perjuangan ke garis
depan.
Sistem
pendidikan Sekolah dalam 3 tingkat di atas adalah sebagai berikut
penjelasannya:
1. Pendidikan
Rendah (SD) hanya dilakukan di sekolah dengan lama pendidikan 6 tahun. Bagi
anak berusia 6 tahun dengan kemampuan cukup tinggi bisa diterima di SD,
walaupun menurut ketentuan anak usia 7 tahun mendapat prioritas utama tanpa
mengikuti Sekolah Taman Kanak-Kanak.
2. Pendidikan
Menengah (SLTA dan SMA ) dengan lama pendidikan 3 tahun. Untuk mencapai tingkat
tingkat SLTA harus mempunyai tanda lulus SLTP dan lulus dalam seleksi yang
diadakan. SMA mempersiapkan anak untuk melanjutkan ke tingkat pendidikan yang
lebih tinggi (perguruan tinggi), sedangkan SMEA, SKKA, STM, SPG, dan
lain-lainnya selain untuk melanjutkan ke Perguruan Tinggi juga membekali anak
untuk terjun ke masyarakat.
3. Pendidikan
Tinggi dapat dibedakan pada lembaga dalam bentuk Universitas, Institut,
Akademi, dan Sekolah Tinggi. Pada umumnya pada pendidikan tinggi setelah studi
3-4 tahun dapat memperoleh gelar sarjana muda, dan setelah 5-7 tahun mendapat
gelar Sarjana. Untuk dapat diterima pada perguruan tinggi harus mempunyai
ijazah SLTA yang sesuai dengan bidang yang ingin dimasuki dan harus lulus dalam
seleksi yang diselenggarakan.
Sistem
persekolahan serta tujuan dari masing-masing tingkat pendidikan di atas diatur
dalam Undang-undang No. 4 th. 1950, bab V pasal 7, sebagai berikut:
BAB V
Tentang jenis
pendidikan dan pengajaran maksudnya
Pasal 7
1. Pendidikan
dan pengajaran dtaman kanak-kanak bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan
jasmani kanak-kanak sebelum ia masuk sekolah rendah.
2. Pendidikan
dan pengajaran rendah bermaksud menuntun tumbuhnya rohani dan jasmani
kanak-kanak, memberikan kesempatan kepadanya guna mengembangkan bakat dan
kesukaannya masing-masing dan memberikan dasar-dasar pengetahuan, kecakapan,
dan ketangkasan baik lahir maupun batin.
3. Pendidikan
dan pengajaran menengah (umum dan vak) bermaksud melanjutkan dan meluaskan
pendidikan dan pengajaran yang diberikan di sekolah rendah untuk mengembangkan
cita hidup serta membimbing kesanggupan anak didik sebagai anggota masyarakat,
mendidik tenaga-tenaga ahli dalam pelbagai lapangan khusus sesuai dengan bakat
masing-masing dan kebutuhan masyarakat/ atau mempersiapkannya bagi pendidikan
dan pengajaran tinggi.
4. Pendidikan
dan pengajaran tinggi bermaksud member kesempatan kepada pelajar untuk menjadi
orang yang dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.
5. Pendidikan
dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan pengajaran kepada
orang-orang yang dalam keadaam kekurangan, baik jasmani maupun rohaninya,
supaya mereka dapat memiliki hidupnya lahir batin yang layak.
Setelah
kemerdekaan, sistem persekolahan di Indonesia member kesempatan belajar kepada
segala lapisan masyarakat. Di dalm UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 dikatakan
bahwa; Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Pun di dalam
Undang-undang Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 Bab XI pasal 17 menyebutkan:
Tiap-tiap warga negara Republik mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi
murid suatu sekolah, jika memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan untuk
pedidikan dan pengajaran pada sekolah itu.
Dari
penjelasan kedua undang-undang di atas, pemerintah Indonesia member kesempatan
belajar yang sama kepada setiap anak baik untuk pendidikan rendah, menengah
maupun pendidikan tinggi. Ini pun berarti bahwa setiap anak dari setiap
golongan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki
sekolah tertentu. Persyaratan yang diperlukan hanyalah prestasi belajar anak
itu. Apabila prestasi belajar anak itu baik, maka kesempatan untuk belajar
terbuka baginya.
Tentu saja dalam hal ini biaya sekolah
diperlukan. Setiap tingkat pendidikan tertentu memerlukan biaya pendidikan
tertentu. Bagi anak yang mempunyai prestasi belajar yang baik, tetapi kurang
mampu dalam pembiayaan sekolah, pemerintah mengusahakan pemberian bea siswa,
walaupun dalm jumlah terbatas.
b. Faktor-
faktor yang Berpengaruh dalam Pendidikan di Era Kemerdekaan
1.
Fasilitas
Fisik
Sebagai
konsekuensi dari usaha-usaha peningkatan dan perbaikan dalam bidang pendidikan,
pemerintah dihadapkan dengan maslah-masalah pokok yang menyangkut, gedung dan
alat-alat pelajaran, tenaga pengajar, biaya dan kurikulum.
Dalam
masa revolusi fisik, tidak sedikit gedung-gedung sekolah yang hancur. Demikian
pula tidak sedikit gedung-gedung yang dipergunakan sebagai asrama-asrama untuk
tentara. Tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi kekurangan
gedung sekolah adalah:
a).
Mendirikan gedung sekolah-sekolah baru. Tetapi cara ini pun masih belum
mencukupi akan kebutuhan gedung sekolah.
b).
Menyewa rumah-rumah rakyat untuk dijadikan gedung sekolah. Tindakan ini sebagai
usaha kedua pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
c).
Mengadakan sistem mengajar dua kali dalam sehari. Ini berarti bahwa satu gedung
sekolah dipergunakan oleh dua sekolah, sekolah pagi dan sekolah sore.
Dalam
periode ini, timbul usaha-usaha masyarakat yang sangat terpuji. Mereka
bergotong-royong membangun gedung sekolah serta peralatannya yang kemudian
disumbangkan kepada pemerintah. Usaha ini , makin nampak hasilnya, setelah
dikalangan masyarakat timbul organisasi Persatuan Orang Tua Murid dan Guru
(POMG) yang berhasil menghimpun kekuatan anggotanya untuk membantu dalam bidang
pendidikan.
2.
Tenaga
Pengajar (Guru)[13]
Disamping
masalah gedung sekolah yang dihadapi pemerintah juga masalah tenaga pengajar.
Seperti yang diketahui bahwa tenaga-tenaga pengajar sebelum masa kemerdekaan
kebanyakan terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang sebagian besar
tidak mempunyai latar belakang pendidikan guru yang lengkap. Setelah
kemerdekaan tenaga guru ini makin sangat terasa pada semua tingkat pendidikan.
Tetapi yang terasa sekali adalah kekurangan tenaga guru pada tingkat pendidikan
rendah. Adapun faktor penyebab kekurangan tenaga guru ditingkat pendidikan
rendah ini, pertama karena banyak tenaga guru di tingkat pendidikan rendah yang
meninggalkan posnya dan menggabungkan diri dengan laskar-laskar perjuangan
untuk mempertahankan kemerdekaan. Kedua, dengan tuntutan rakyat untuk
mendapatkan pendidikan sesuai dengan pasal 31 UUD 1945 yang kemudian di kuatkan
dengan UU No. 4, tahun 1950, pasal 10 dan 17, maka pemerintah harus membuka
banyak sekolah rakyat serta meningkatkan yang 3 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini
sudah tentu membutuhkan tenaga guru.
Untuk mengatasi kekurangan guru,
kementerian PP dan K menyelenggarakan suatu pendidikan guru yang segera dapat menghasilkan
guru-guru. Jenis-jenis pendidikan guru yang diadakan pada masa itu ialah
Sekolah Guru C, Sekolah Guru B, dan Sekolah Guru A. Masing-masing pendidikan
guru itu lamanya 2,4, dan 6 tahun. Tetapi pemerintah kemudian menghapuskan sekolah
Guru C (2 tahun) atas saran dari PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), dengan
pertimbangan bahwa pendidikan guru 2 tahun kurang memenuhi syarat untuk
mengajar dan belum memenuhi syarat sebagai guru.
Sejalan dengan
pengadaan guru untuk tingkat rendah, kementerian PP dan K juga mengadakan usaha
pula penambahan guru untuk tingkat pendidikan menengah. Pendidikan guru untuk
SLTP dan SLTA dilakukan dengan melalui kursus-kursus yang lamanya 2 tahun.
Kursus-kursus yang diadakan yaitu kursus Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia, Bahasa
Inggris, Ilmu Bumi, dan Ilmu Pasti. Hanya kursus Ilmu Pasti yang belum
menghasilkan guru, Karena pecahnya clash II tahun 1948. Tetapi kursus-kursus
lainnya sempat pula menghasilkan tenaga-tenaga guru untuk sekolah menengah.
3.
Kurikulum[14]
Kurikulum
adalah suatu alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam usaha untuk
mengembangkan dan meningkatkan pendidikan, kurikulum telah mengalami perubahan
yang dimaksudkan untuk menghasilkan warga Negara yang sebaik-baiknya.
Kurikulum
yang pertama digunakan adalah kurikulum 1950, kemudian berubah menjadi
kurikulum 1958 yang dipergunakan sampai tahun 1964, dan disusun kurikulum 1964
yang pelaksanaannya tahun 1965. Kurikulum ini pun masih mengalami perubahan
pada tahun 1968 digunakan kurikulum baru yang mulai dilaksanakan tahun 1969 untuk
SMP, SMA, SMEA, SKKP, dan SKKA, sedangkan SMEP dan SPG berlaku tahun 1970.
Sebagai
contoh perubahan kurikulum 1965 menjadi kurikulum 1969 pada Sekolah Menengah
adalah, kurikulum 1965 yang membagi dalam kelompok dasar cipta, rasa, karsa,
dan krida sedangkan kurikulum 1969 membagi dalam kelompok pembinaan jiwa
Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus.
Sebagai konsekuensi dari perubahan
sistem itu, maka kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan
pula, sehingga yang semula diorientasikan kepada kepentingan kolonial maka kini
diubah selaras dengan kebutuhan bangsa yang merdeka. Salah satu hasil panitia
tersebut di atas yang menyangkut kurikulum adalah bahwa setiap rencana
pelajaran pada setiap tingkat pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a) Pendidikan
pikiraan harus dikurangi
b) Isi
pelajaran harus dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
c) Memberikan
perhatian terhadap kesenian
d) Pendidikan
watak
e) Pendidikan
Jasmani
f) Kewarganegaraan
dan Masyarakat.
Setelah UU Pendidikan dan pengajaran nomor
4/1950 dikeluarkan, maka:
a) Kurikulum
pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak memiliki dasar-dasar
pengetahuan, kecakapan, dan ketangkasan baik lahir maupun batin, serta
mengembangkan bakat dan kesukaannya.
b) Kurikulum
pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi,
serta mendidik tenaga-tenaga ahli dalam berbgai lapangan khusus, sesuai dengan
bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
c) Kurikulum
pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan pelajaran agar dapat menjadi
pimpinan dalam masyarakat, dan dapat memelihara kemajuan ilmu, dan kemajuan
hidup kemasyarakatan.
4.
Pembiayaan
Perubahan-perubahan
yang dilakukan pemerintah dalam bidang pendidikan itu sudah tentu memerlukan
biaya. Pengadaan gedung sekolah dan peralatannya, pengadaan tenaga guru serta
perubahan-perubahan dalam kurikulum banyak membutuhkan biaya. Berapa besarnya
biaya pendidikan yang dikeluarkan dalam periode ini sangat sulit diperoleh
angka-angka yang pasti mengingat periode tersebut merupakan periode perjuangan
fisik dalam mempertahankan kemerdekaan.
5.
Pendidikan
Tinggi
Pembinaan
serta pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia harus didasarkan pada:
a. UUD
1945 dan ketetapan MPR.
b. Asas-asas
Tridharma Perguruan Tinggi dalam hikmat kebebasan akademis yang bertanggung
jawab.
Dasar-dasar tersebut di
atas harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1). Hasil-hasil yang
telah dicapai hingga sekarang.
2).
Harapan keluarga, masyarakat, dan pemerintah terhadap pendidikan sebagai keseluruhan, dan terhadap pendidikan tinggi
pada khususnya.
3). Implikasi kemajuan
Ilmu pengetahuan dan teknologi.
4). Dinamika dan
perspektif perkembangan kebudayaan nasional.[15]
Dengan
berlandaskan pada dasar-dasar tersebut dan berpedoman pada konsep pendidikan
seumur hidup (life long education),
pembianaan serta pengembangan perguruan tinggi harus terarah. Pengarahan pada
dasarnya ditujukan kepada pengembangan suatu sistem pendidikan tinggi di
Indonesia secara menyeluruh yang menyangkut perguruan-perguruan tinggi
pemerintah dan swasta di dalam satu pola pembinaan, dengan arah-arah sebagai
berikut:
1) Pendidikan
tinggi harus merupakan bagian integlar dari usaha-usaha pembangunan baik nasional
maupun regional.
2) Pendidikan
tinggi harus merupakan penghubung antara dunia ilmu pengetahuan, teknololgi,
dan kebutuhan masyarakat.
3) Pendidikan
tinggi harus melaksanakan pendidikan berdasarkan pola pemikiran yang analitis
dan berorientasi kepada pemecahan-pemecahan permasalahan dan disertai oleh
suatu pandangan masa depan.
4) Pendidikan
tinggi harus berpartisipasi dalam perbaikan serta pengembangan:
a. Mutu
kehidupan dan mutu kebudayaan
b. Ilmu
pengetahuan dan penerapannya
c. Pengertian
dan kerja sama internasional dalm usaha mencapai perdamaian dunia dan
kesejahteraan umat manusia.
5) Pendidikan
tinggi hendaknya memungkinkan terlaksananya:
a. Pengembangan
seluruh kemampuan serta kepribadian manusia.
b. Mobilitas
siswa dari satu pengalaman pendidikan ke yang lain.
c. Diversifikasi
dalam pendidikan dan proses belajar.
d. Demokratisasi
dalam pendidikan dan proses belajar.
e. Mobilisasi
sumber-sumber msyarakat yang dapat manfaatkan dalam pendidikan.
f. Pertumbuhan
kegairahan riset.
Dengan
demikian maka pengarahan pendidikan yang dimaksudkan tersebut diatas ini
menyangkut masalah pembinaan perguruan tinggi secara menyeluruh ternmasuk
perencanaan masing-masing dan menyangkut berbagai kebijaksanaan yang luas ruang
lingkupnya.
a)
Pendidikan
Tinggi Republik
Perkembangan
pendidikan tinggi sesudah proklamasi sangat menarik karena meskipun mengalami
tantangan yang luar biasa namun dalam bidang ini justru memperoleh kemajuan
pesat. Ika Daigaku di Jakarta (daerah
Pendudukan Belanda) dilanjutkan da diperluas menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran.
[16]
b)
Pendidikan
Tinggi di daerah pendudukan Belanda
Atas prakasa pihak
Belanda pada bulan Januari 1946 didirikan suatu “universitas darurat” (Nood- Universiteit) yang terdiri dari 5
fakultas yaitu fakultas-fakultas kedokteran, hukum, sastra & filsafat, dan
pertanian di Jakarata, dan fakultas teknik di Bandung.
6.
Mahasiswa
dan pelajar Pejuang
Sebagai
salah satu unsur dari suatu bangsa yang sedang berjuang untuk kemerdekaannya
maka para mahasiswa dan pelajar tidak mau ketinggalan dan ikut serta secara
langsung dalm perjuangan bersenjata. Sebagaimana dalam setiap taraf perjuangan
nasional di Indonesia kaum pemuda, khususnya mahasiswa dan pelajar, selalu
menjadi pelopor dan merupakan salah satu faktor penentu untuk mencapai
kemenangan.
Karena
selama masa pendudukan Jepang para pelajar sudah biasa dengan latihan-latihan
kemiliteran, maka pada masa perjuangan bersenjata langsung dapat menyesuaikan
diri dan terjun dalam kancah pertempuran di garis depan. Sebagai wadah semula
di dalam organisasi IPI (Ikatan Pelajar Indonesia) diadakan suatu bagian yaitu
IPI bagian pertahanan. Di samping itu sesuai dengan zamannya banyak
diorganisasikan kesatuan atau laskar-laskar bersenjata yang seluruh anggotanya
terdiri dari pelajar. Ketika dibentuk BKR(Badan Keamanan Rakyat) , TKR (Tentara
Keamanan Rakyat) dan kemudian diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia),
maka banyak kesatuan pelajar yang tergabung di dalamnya.
Akhirnya
pemerintah memandang perlu adanya koordinasi antara semua kesatuan-kesatuan
bersenjata agar terdapat kesatuan komando.[17]
G.
Hubungan
Pendidikan Tradisional dengan Sejarah
Para ahli sejarah pendidikan seperti: A.L. Tibawi
dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah dalam Bahasa Arab merujuk pada
lembaga pendidikan tinggi yang luas didunia Islam (Klasik) pra modern. Artinya, secara
istilah madrasah di masa klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah
dalam pengertian bahasa Indonesia. Berkembangnya madrasah di Indonesia di awal
abad ke- 20 Masehi ini, memang merupakan wujud dari upaya pembaharuan
pendidikan Islam yang dilakukan para cendikiawan muslim di Indonesia, yang
melihat bahwa Lembaga Pendidikan Islam “Asli”
(tradisional) tersebut dalam beberapa hal tidak lagi sesuai dengan tuntutan
dan perkembangan zaman disamping itu, kedekatan sistem belajar-mengajar ala
sekolah yang, ketika madrasah mulai bermunculan, memang sudah banyak
dikembangkan oleh pemerintah Hindia Belanda, membuat banyak orang berpandangan
bahwa madrasah sebenarnya merupakan bentuk lain dari sekolah, hanya saja diberi
muatan dan corak ke-Islaman.[18]
BAB III
PENTUP
A.
Kesimpulan
Dari sejumlah uraian di
atas, dapat di tarik kesimpulan bahwa
Pendidikan Tradisional itu sangat bervariasi dengan geografis dan periode
sejarah.Usaha utama pendidikan tradisional adalah untuk mengirimkan ke generasi
berikutnya keterampilan, fakta, dan standar perilaku moral dan sosial yang
orang dewasa anggap perlu untuk bahan generasi berikutnya dan keberhasilan
sosial. Selain itu
juga, dari kesimpulan diatas dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa:
1.
Secara historis, teknik pendidikan utama pendidikan
tradisional adalah zikir lisan sederhana: Dalam pendekatan khas, siswa duduk
diam di tempat mereka dan mendengarkan satu orang demi satu membacakan
pelajaran nya, sampai masing-masing telah dipanggil.
2.
Ciri pendidikan tradisional yang sangat
menonjol adalah lebih betumpu perhatiannya terhadap ilmu-ilmu keagamaan semata
dengan mengabaikan ilmu-ilmu modern sedangkan sistem pendidikan modern hanya
menitik beratkan ilmu-ilmu modern dengan mengabaikan Ilmu-ilmu keagamaan.
3.
Bentuk-bentuk Pendidikan
tradisional yaitu pendidikan di zaman
Hindu
4.
Prinsip-prinsip Pendidikan Tradisional
Prinsip-prinsip
pendidikan tradisional adalah:
a. Tidak
ada teori yang di rumuskan secara koheren yang membahas kegiatan belajar dalam
sistem pendidikan tradisional
b. Motivasi
didasari hukuman, ganjaran, atau hadiah persaingan
c. Belajar
dengan menghafal dan menyimpan informasi tanpa bantuan catatan ditekankan dalam
pendidikan tradisional.
5. Sistem
Pendidikan di Zaman Penyebaran Islam terdiri dari:
a. Pendidikan
di Langgar
b. Pendidikan
di Pesantren
c. Pendidikan
di Madrasah
6. Pendidikan
di Era Kemerdekaan terdiri dari:
a. Sistem
Pendidikan Sekolah
Pada
masa sebelum kemerdekaan sistem pendidikan sekolah didasarkan kepada sistem
golongan, baik golongan berdasarkan bangsa maupun status sosial. Tetapi setelah
kemerdekaan sistem pendidikan sekolah di Indonesia, hanya mengenal tiga
tingkatan pendidikan.
· Pendidikan
Rendah
· Pendidikan
Menengah
· Pendidikan
Tinggi
b.Faktor-
faktor yang Berpengaruh dalam Pendidikan di Era Kemerdekaan
· Fasilitas
Fisik
· Tenaga
Pengajar (Guru)
· Kurikulum
· Pembiayaan
· Pendidikan
Tinggi
· Mahasiwa
dan Pelajar Pejuang
7. Hubungan
Pendidikan Tradisional dengan Sejarah
Para ahli sejarah pendidikan seperti: A.L. Tibawi
dan Mehdi Nakosteen, mengatakan bahwa madrasah dalam Bahasa Arab merujuk pada
lembaga pendidikan tinggi yang luas didunia
Islam (Klasik) pra modern. Artinya, secara istilah madrasah di masa
klasik Islam tidak sama terminologinya dengan madrasah dalam pengertian bahasa
Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Fatta, Imam, Modernisasi Pesantren dan Krisis Ulama, Jakarta:
Panjimas, 1991.
Arifin,
HM, Kapita Selekta Pendidikan Arief,Armai, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam Klasik. Bandung: Penerbit Angkasa, 2005.
Hamzah , Amir, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam,
Jakarta: Mulia Ofset, 1989.
Thayeb, Syarif, Pendidikan
Luar Sekolah dan Pembinaan Bangsa, Jakarta: Dep. P dan K, 1976.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Langgulung
Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1988.
Masyhuri Aziz A,
Pokok Pikiran Pengembangan Pengkajian
Kitab, (Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Mestoko, Sumarsono, Pendidikan Di Indonesia Dari Jaman Ke Jaman.
Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Mukti Ali. A, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini,
Jakarta: Rajawali, 1987.
Said M. & Mansur Dahlan, Mendidik Dari Zaman Ke Zaman, Cet. I,
Jakarta: Pen. Kebangsaan, 1953.
Saidi, Ridwan, pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984.
Tim Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren, Jakarta:
Dirjen Bimas Islam, 1983.
Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
Hidakarya Agung, 1985.
[1]
http://id.shvoong.com/humanities/theory-criticism/2098484-pengertian-pendidikan-tradisional/#ixzz1qgb0OIiv
[3]
Hasan
Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta:
Pustaka Al-Husna, 1988) h. 112
[5]
Arifin
HM, Kapita Selekta Pendidikan Islam dan
Umum,( Jakarta: Bumi Aksara, 1991) h. 248
[6]
Imam Al-Fatta, Modernisasi Pesantren dan
Krisis Ulama, (Jakarta: Panjimas, 1991) h. 255
[7]
Tim Depag RI, Pedoman Pembinaan Pondok
Pesantren, (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 1983) h. 8
[8]
Aziz
Masyhuri A, Pokok Pikiran Pengembangan
Pengkajian Kitab, (Jakarta: Bina Aksara, 1986) h. 26
[9]
Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam, (Jakarta: Mulia Ofset, 1989) h. 26
[11] Sumarsono
Mestoko, Pendidikan di Indonesia Dari
Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) h. 69
[12]
Sumarsono
Mestoko, Pendidikan di Indonesia Dari
Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986) h. 151
[13]
M. Said & Dahlan Mansur, Mendidik
Dari Zaman Ke Zaman, (Cet. I, Jakarta: Pen. Kebangsaan, 1953) h. 158
[14] Syarif Thayeb, Pendidikan Luar Sekolah dan Pembinaan Bangsa, (Jakarta: Dep. P dan
K, 1976) h. 161
[15]
Djumhur & Danasaputra, Sejarah
Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1979) h. 185
[16]
BP3K Depdikbud, Pendidikan di Indonnesia
dari Jaman ke Jaman, ( Jakarta: Dep. P dan K, 1979) h. 185
[17] Ridwan Saidi, pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1984) h. 187
[18]
Armai Arif, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga Pendidikan Islam Klasik, (Bandung:
Angkasa, 2005) h. 155
EmoticonEmoticon