BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang
tampil dengan wajah kemanusiaan pemanusiaan yang normal kata lainnya pendidikan
adalah moralitas masyarakat. Kerusakan moral di dunia politik kini di bawah ke
dunia pendidikan institusi pendidikan telah gagal menjalankan misi dan alasan
adanya untuk mendidik anak-anak menjadi sosok yang memiliki integritas, salah
satu faktor kerusakan moral misalnya, selama ini bangsa Indonesia lebih
mengutamakan pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan karakter bangsa.
Jika moral bangsa hancur maka bangsa ini pun terancam di ambang kehancuran.
Moralitas
merupakan realitas hidup dan ada di sekitar kita, terkadang konsep moralitas
itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib di dunia ini. Konsep
moralitas itu akan menjadi konsep yang bias kita akui memiliki tempat di dalam
suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita. Kebermaknaan
itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, ketenangan, tanpa
prasangka, kepastian bertindak, memegang kesepakatan dan kecerian hidup. Inilah
dambaan dan tuntutan kita untuk hidup dalam suasana asli moral (moral state of nature) di mana
tuntutan-tuntutan moralitas dan aspirasi-aspirasi kita sendiri terakomodasikan
secara normal di dalam hidup bermasyakat.
B.
Rumusan
Masalah
1)
Apa definisi pendidikan moralitas?
2)
Bagaimana pendidikan moral dalam
perspektif islam?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Moralitas
Sebagian
filosof menjelaskan bahwa standar etika adalah moralitas yang muncul dari rasa
cinta kepada sesama. Adapun yang berpendapat bahwa etika adalah tindakan yang
muncul secara alamiah dari tabiat manusia itu sendiri. Etika itu dapat juga
diartikan bagian dari cinta, etika juga merupakan bagian dari keindahan, pengertian ini sama-sama meyakini ketidak
terbatasan keindahan secara inderawi saja seperti keindahan pandangan mata atau
pendengaran telinga. Karena, di samping keindahan inderawi adapula keindahan
rasional rohani (al-jamal al’ aqli alma’
nawi) yang tidak dapat dilihat dengan indera tetapi dapat diketahui oleh
rasio. Dari beberapa definisi salah satunya merujuk kepada (al-fi’l), dan berpendapat bahwa
keindahan adalah sifat pada aksi dan perbuatan itu sendiri. Misalnya, sifat
jujur itu adalah indah, memiliki daya tarik khusus, baik bagi pembicara maupun
bagi pendengar.
Demikian pula pada sifat sabar, istiqamah,
jiwa besar, syukur, memuji, adil, masing-masing memiliki keindahan rohani (al- jamal al-ma’nawi) tersendiri, dimana
pemilik sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang membuat dirinya pun
menjadi indah, tidak ubahnya seperti seseorang yang mengenakan pakaian yang
bagus, maka orangnya pun akan terlihat rupawan. Apalagi kaitan antara perbuatan
dengan manusia, lebih erat dari kaitannya pakaian yang dipakainnya. Bagi
manusia moralitas adalah aksi yang indah, aksi yang keindahannya ditangkap oleh
seseorang melalui perasaan dan pemahamannya akan keindahan spiritual, yang
standarnya terletak pada diri orang itu sendiri bukan pada diri orang lain.
I.
Jiwa
yang indah
Sebagian
berpendapat bahwa yang etika merupakan topic keindahan, tetapi mereka
mendahulukan keindahan pada jiwa manusia ketimbang etika itu sendiri.[1]
Menurut mereka, secara umum, dimana ada keserasian disana ada keindahan.
Keduanya merupakan satu kesatuan, seperti terpadunya dan sempurnanya
anggota-anggota tubuh seseorang sehingga terlihat sempurna dan indah, yang
membuat orang lain terpesona. Padahal, keserasian pada tubuh adalah keserasian
jasad da seluruh potensi-potensi jiwa jika masing-masing proporsional sehingga
keserasian dan keindahan jiwanya pun tampak pada dirinya. Karena itu, mereka
berkata: “Sesungguhnya bagi setiap potensi dan kekuatan di dalam diri manusia
ada batas dan ukuran tertentu”.
Apabila melampaui batas atau ukuran
tersebut maka akan terjadi ketidakseimbangan. Demikian pula jika kurang dari
batas atau ukuran tersebut. Sebagai contoh, jika bola mata seseorang kebesaran
maka akan terlihat jelek sekali, sebaiknya jika terlalu kecil, maka dia tidak
terlihat rupawan. Manusia telah diberikan daya emosi yang memiliki batas atau
ukuran normal tertentu, jika daya ini terlalu lemah, maka daya emosinya tidak
terlihat indah, karena tidak seimbang, demikian pula jika daya emosinya terlalu
besar. Persoalan yang penting adalah bagaimana kita dapat memperoleh standar
normal tersebut? Bagaimana kita menentukan moderasi atau batas pertengahannya (al-hadd al-wasath), misalnya jika kita
pertanyakan apakah moderasi atau batas tengah daya emosi manusia?
Jawaban pertanyaan di atas dapat
dijawab dengan dua cara: pertama, bahwa
keindahan tidak dapat secara mutlak didefinisikan. Bagi yang telah mengetahui
keindahan tidak pernah memberitakan bahwa ukuran keindahan adalah apabila
ukuran besar matanya begini, bentuk alisnya begini…dan sebagainya. Artinya,
keindahan semacam ini hanya diketahui oleh manusia dengan perasaannya (dzauf), dan manusia telah merasa tertarik dengan keindahan tersebut meski belum
tahu persis batas atau standar ukurannya. Kedua,
bagi manusia perkara semacam ini bersifat rasional, demikian pula dengan
keindahan rasional (al-jamal al-aqli).[2]
II.
Karakter
Bawaan Sebagai Dasar Moderasi Etika
Setelah kita
amati, ternyata kita mungkin menemukan ukuran yang lebih kuat dari keindahan
inderawi, yaitu dengan berdasarkan kepada karakter bawaan yang merupakan asal
yang pasti (qath’i). Setiap potensi
dan daya diciptakan untuk tujuan tertentu, yang kesemuanya membentuk tujuan
menyeluruh.
Jika kita ingin mengetahui
apakah daya kemampuan ini terletak pada tahap moderasi (al-hadd al- wasath) atau terletak pada tahap tidak seimbang (ifrath atau tafrith), maka kita harus menyingkap sisi kausalitas mengapa daya
kemampuan ini diciptakan? Jawabannya, bahwa ia diciptakan untuk tahap moderasi
(al-hadd al-wassath). Jika daya
tersebut melalui atau kurang dari batas tahap moderasi tersebut, tentu untuk
selama-lamanya dia tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya sekaligus
tidak akan dapat hidup di tengah-tengah makhluk hidup semua. Oleh karena itu,
daya emosi ini wajib ada pada diri setiap manusia. Daya emosi ini juga
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan aktualisasi keinginan nafsu
dan kecenderungan-kecenderungan positif lainnya, namun kadar yang diperlukan
harus seimbang, tidak boleh berlebihan tidak pula kurang. Jika manusia tidak
memiliki daya emosi ini, niscaya misalnya ketika hampir tenggelam di dalam air
maka dia akan langsung tenggelam, karena dia sama sekali tidak memiliki
motivasi untuk menyelamatkan dirinya agar tidak tenggelam. Demikian pula
tentunya dalam berbagai kondisi lain.
Daya emosi pada
kadar dapat membela atau mempertahankan hidup manusia berada pada ukuran tahap moderasi
atau batas pertengahan (al-hadd al-wasath)
atau keseimbangan (equilibrium), jika
melebihi garis atau kurang dari garis tersebut maka akan terjadi
ketidakseimbangan (inequilibrium)
pada diri dan karakter tingkah laku (behavior)
manusia. Demikan pula pada insting seksual manusia, tentunya ada tujuan
tertentu, bukan hanya untuk melanggengkan garis keturunan saja seperti pada
hewan. Manusia hidup berpasangan sebagai suami isteri, terdapat kemesraan dan
kasih sayang sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an. Mereka hidup pada
taraf saling berkasih sayang sebagai fondasi keluarga dan agar hidup
berketurunan, kemudian anak-anak merekapun tumbuh berkembang dalam suasana
rumah tangga yang harmonis, jika insting seksual itu digunakan secara tidak
proporsional maka tentunya akan terjadi ketidakseimbangan negatife dalam
hubungan suami isteri, merusak keharmonisan dan dapat mengakibatkan kehancuran
rumah tangga. Demikian pula pada seluruh daya lain yang ada pada diri manusia
harus selalu dalam batas atau garis moderasi (al-hadd al-wasath).
III.
Agama
Sebagai Pondasi Etika
Perasaan cinta kepada sesama
merupakan perkara immateri, perasaan ini akan dominan pada diri seseorang jika
dia benar-benar meyakini tindakan-tindakan immateri (al-ma’nawiyyat), terutama keyakinan kepada Tuhan. Keyakinan “Imani”
religius kepada Tuhan ini merupakan pondasi atau dasar sekaligus sumber etika,
karena jika Tuhan sebagai zat keindahan mutlak yang bersifat immateri tidak
ada, tentunya kitapun tidak mungkin akan percaya adanya keindahan-keindahan
lain selain Tuhan. Keindahan-keindahan
ruh dan perbuatan-perbuatan yang bersifat immateri hanya dapat dirasakan
dan direalisir melalui keyakinan kepada Tuhan. Jika keyakinan kepada Tuhan yang
Maha Indah tidak ada maka segala bentuk keindahan perbuatan baik yang hanya
untuk kehidupan duniawi saja menjadi percuma dilakukan.
Sesungguhnya perbuatan
baik merupakan perbuatan yang mendapat sinaran cahaya Ilahi, Intuisi, dan tidak
dapat direalisasikan tanpa keimanan kepada Tuhan. Jika dikatakan bahwa yang ada
hanya materi saja sedangkan yang immateri itu tidak ada, maka kebenaran dan
hakekat serta keindahan tidak akan bermakna. Dari keyakinan akan adanya hari
pembalasanlah teori kecerdasan dapat diterapkan, karena menurut teori ini,
manusia diciptakan agar bermanfaat dan memperoleh manfaat (naf’iy). Dengan kecerdasan, harusnya manusia akan menghitung-hitung
manfaat apa pada akhirnya yang akan ia peroleh. Demikian pula keyakinan akan
keadilan Tuhan, keyakinan ini akan menjadi jaminan yang baik untuk
merealisasikan etika. Teori agama sebagai pondasi etika ini sekaligus berkesimpulan
bahwa perwujudan etika karena keyakinan kepada Tuhan dan Keadilan Ilahi.
IV.
Pendidikan
Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pada
lembaga pendidikan formal, guru menjadi ujung tombak moralisasi anak, meski
tidak semua mereka menyadari akan tugasnya itu. Lawrence Kohlberg menulis bahwa kebanyakan guru tidak menyadari
sepenuhnya bahwa mereka seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan
pendidikan moral. Mereka sendiri seringkali
tidak memiliki pandangan yang jelas tentang pendidikan moral itu, bahkan
mungkin tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan mengenai pendidika moral
tersebut. Di balai-balai pelatihan, sebagian besar guru dilatih untuk bagaimana
memahami metode pembelajaran dan materi yang akan diajarkan. Meski demikian
mereka secara terus menerus bertindak sebagai pendidik moral, mengajarkan
tentang apa yang harus dilakukan oleh anak-anak, menilai perilaku afektif
mereka, dan memantau relasi sosial mereka di kelas. Lembaga sekolah memang
tidak memadai lagi menjadi agen tunggal pendidikan moral, yang ketika
masyarakat telah terjadi demoralisasi yang luar biasa. Guru, di samping
memberikan contoh perilaku bermoral, juga merumuskan nilai-nilai dasar moral
bagi anak, dan bahwa sebagian dari akibatnya secara tidak sadar telah mendidik
mereka secara moral. [3]
Antara
seruan dan ajaran moral di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat telah
terjadi tarikan-tarikan, suatu fenomena yang bertolak belakang. Dalam memandang
perubahan itu, masyarakat sendiri telah terbelah menjadi dua, yaitu mereka yang
setuju dengan perubahan dan mereka yang berkeinginan melanggengkan tradisi
alias status quo. Untuk mencapai
tujuan yang disebutkan terakhir ini, pelaku adakalanya berbuat apa saja,
sehingga fungsi control dan pengawasan nyaris tidak memiliki kekuatan apapun. Penutupan
sebuah “lokalisasi” misalnya, dipersepsi sebagai suatu keharusan bagi banyak
orang. Bersamaan dengan itu, banyak pula pihak-pihak yang ingin
melanggengkannya, atau setidaknya meminta kompensasi besar, tanpa menggaransi
bahwa perbuatan semacam itu tidak akan berpindah lokasi. Lalu, muncul sikap
arogan pada hampir semua ini, baik karena kekuasaan, kekayaan, elitisme etnis,
kecerdasan, maupun kekekaran fisik, dan lain-lain.
Pendidikan Islam
adalah pendidikan yang melatih kepekaan (sensibility) para peserta didik sedemikian rupa
sehingga sikap hidup dan perilaku, juga keputusan dan pendekatannya kepada
semua jenis pengetahuan dikuasai oleh perasaan mendalam terhadap nilai-nilai
etis dan spiritual Islam. Spiritualisasi dan islamisasi ilmu, karenanya,
menjadi ciri pendidika Islam untuk dibandingkan dengan pendidikan lainnya.
Membangun menu bahan ajar yang bersifat spiritualisasi dan Islamisasi ilmu
tidaklah mudah, karena ilmu, terutama ilmu sekuler, itu bersifat universal.
Praktis jangka pendeknya dapat dilakukan oleh guru dengan memberi contoh dan
penjelasan atas materi pembelajaran secara Islami. Pengedepanan pendidikan
Islam sebagai instrument dan proses pembangunan moral bangsa, tidaklah
sederhana, karena peradaban berubah-ubah begitu cepat. Syedh Sajjad Husain and Syed
Ali Ashraf (2000) menulis bahwa saat ini masyarakat tengah mengalami krisis
moral dan kejiwaan akibat gelombang krisis materialisme. [4]
Tradisi hidup
yang materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai panutan, tapi kekayaan
yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan, betapapun hal tersebut tidak
membangun dan memperbesar sistem pendidikan yang dapat membangkitkan dan
menghasilkan moral spiritual masyarakat. Menurut dua orang penulis ini,
kalangan terdidik, dosen dan pemikir yang menduduki jabatan-jabatan penting di
universitas hanyut diterpa arus deras materialisme; mereka laksana
potongan-potongan kecil daging yang terkena perubahan suhu sedikit saja amat cepat
membusuk. Gejala itu lebih nyata pada kalangan birokrasi yang gandrung menumpuk
kekayaan di atas penderitaan rakyat, sehingga lahirlah Indonesia sebagai Negara
terkorup di kawasan Asia, bahkan dunia; dengan tampilan birokrasi yang
terburuk, dan anggaran pendidikan nyaris terendah di dunia dengan ukuran
presentase dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karena itu sama
sekali tidak layak seorang menutup mata terhadap derasnya arus pasang
materialistik yang menerjang apa saja yang menentangnya.
Lembaga
pendidikan terus mengalami modernisasi, namun bersamaan dengan itu pendidikan
modern makin diberi makna sebagai pendidikan sekuler yang menyamakan cara
pengajaran mata ajar agama dengan non agama, seperti matematika, dan geografi.
Di sini perlu tampil pendidik Muslim sejati, yaitu memahami tata nilai,
menemukan identitas, membangun kebersamaan, dan menjauhkan diri dari sikap
arogan bukanlah sebagai tugas tambahan. Sarjana Muslim diharapkan andil besar
untuk melakukan peran-peran dan membangun moral baru di masyarakat. Keinginan
ini kerap terganjal dengan diskriminasi kualitas lulusan, termasuk di
negara-negara Arab sekalipun. Syed Sajjad
Husain dan Syed Ali Ashraf (2000) menulis, bila lembaga pendidikan agama
dan sekuler di negara-negara Arab menghasilkan lulusan, maka tamatan pendidikan
sekulerlah yang memegang posisi-posisi kunci pada angkatan bersenjata,
kepolisian, bidang politik pamong praja dan administrasi negara. Alumni
pendidikan agama hanya memperoleh pekerjaan sebagai hakim pada Pengadilan Agama
Islam, Imam Mesjid, Khatib, atau guru agama dan guru bahasa Arab. Akibatnya
timbullah pertentangan kelas dan budaya (a
cultural and class struggle) antara dua kelompok ini, dan masing-masing
kelompok lain dianggap kurang terdidik. Tamatan lembaga pendidika sekuler
menyombongkan pengetahuannya mengenai bahasa asing, sains eksperimental,
sejarah dunia, geografi, dan lain-lain. Alumni sekolah agama membanggakan
kemahirannya dalam mengaji dan menghafal al-quran, pengetahuan mengenai hokum
agama Islam, teologi, dan cabang-cabang studi Islam yang lain, serta ilmu-ilmu
linguistik, seperti morfologi, tata bahasa Arab, retorika, persajakan dan
lain-lain.
Deskripsi di
atas terasa menyakitkan dilihat dari perspektif pendidikan Islam, meski harus
diakui begitulah realitas peradaban kontemporer. Peradaban Islam yang sempat
amat jaya pada abad pertengahan, kini cenderung menjadi penonton dengan umat
yang mayoritas.[5]
Realitas sejarah tengah kita saksikan, karena memang peradaban merupakan suatu
proses yang berkembang, di mana dia merupakan hasil dari rasa ingin tahu yang
mendorong manusia untuk mendapatkan semakin banyak pengetahuan demi pengetahuan
itu sendiri dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam dan sarjana
Muslim mungkin terlalu banyak berbicara, melakukan seruan, ketika orang-orang
sekuler justru banyak berbuat untuk mengaplikasikan pengetahuan dan memproduk
karya-karya teknologis. Pola perilaku semacam itu, termasuk perilaku pengasuhan
telah mengubah sifat manusia, organisasi sosial telah mentransformasikan sifat
dasar manusia, yang ketika banyak berbicara sedikit kesempatan untuk bertindak.
Perkembangan sejarah kebudayaan manusia sendiri berkaitan dengan perubahan
sosial, transformasi, dan kemajuan teknologis. Lahirlah fenomena masyarakat sekuler
yang di caci-maki pada satu sisi, dan ketergantungan secara teknologis dan
keuangan yang tidak terelakkan di sisi lain.
Di luar kerangka
itu, ketika moralitas bangsa makin dipertanyakan dan melahirkan kegundahan,
terasa ada kebutuhan untuk menyajikan contoh-contoh mengenai sikap kecukupan,
kesederhanaan, bekerja sukarela tanpa imbas imbalan, kesiapan untuk mengabdi
kepada negara dan orang-orang yang hanya mencari kesejatian sebagai makhluk
Tuhan semata. Contoh-contoh moralitas mulia telah diberikan oleh orang-orang
yang mempunyai pengaruh kejiwaan yang kuat terhadap semua golongan usia di
masyarakat. Mereka itulah orang-orang yang memancarkan sinar kesalehan dan
kesetiaan hidup sesama hidup. Pada kesehariannya mereka mencurahkan hidupnya
untuk mendarmakan pengetahuan, memperbaiki moral, dan keberagamaan tanpa
sedikitpun mengharapkan imbalan materi. [6]
Benturan
kultural selalu menyertai usaha-usaha untuk membangun masyarakat bermoral. Di
setiap negara, pengaruh media massa atau media pemberitaan jauh lebih luas dan
kuat daripada system pendidikan, termasuk system pendidikan Islam. Keberadaan
jaringan dan sinyal-sinyal yang ditampilkan melalui media massa tersebut begitu
gampang ditemukan pada seluruh jarring-jaring kehidupan. Menu sajian dikemas
sesuka hati malalui jaringan ini, dengan target komersialisasi program. Tidak
adanya koordinasi yang baik antara alat-alat pemberitaan yang kuat dan menyebar
luas ini dengan pendidikan telah menimbulkan pertentangan dan kebingungan,
kegelisahan, dan kekacauan kaum muda, termasuk kaum muda Muslim. Dampak
ikutannya, banyak generasi muda terjangkiti frustasi kejiwaan dan
ketidakjelasan intelektual. Pokok-pokok berita yang sangat menghasud dan
gambar-gambar seksi yang membangkitkan gairah telah menarik perhatiannya,
membuatnya meragukan norma-norma moralitas dan kebenaran mutlak seperti
dipesankan oleh banyak sarjana Muslim dan ulama. Akan ada kesulitan untuk
mencari bukti empirik mengenai hubungan kegagalan pendidikan budi pekerti
dengan kejahatan di masyarakat pada umumnya, memperoleh legitimasi akademik.
Karena variabel kejahatan di masyarakat dan di lingkungan pelajar sendiri
terlalu riskan hanya direduksi sebagai kegagalan pendidikan budi pekerti di
sekolah. Kita harus akui bahwa ada faktor sekolah yang menyebabkan konflik psikologis. Dalam konteks pendidikan, adalah
tugas guru untuk ikut mendorong tugas guru untuk ikut mendorong pembangunan
moral dan moralitas anak didik. Pembangunan moral itu menurut para pakar
setidaknya harus bersasaran individual. [7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagian filosof menjelaskan bahwa
standar etika adalah moralitas yang muncul dari rasa cinta kepada sesama.
Adapun yang berpendapat bahwa etika adalah tindakan yang muncul secara alamiah
dari tabiat manusia itu sendiri. Etika itu dapat juga diartikan bagian dari
cinta, etika juga merupakan bagian dari keindahan, pengertian ini sama-sama meyakini ketidak
terbatasan keindahan secara inderawi saja seperti keindahan pandangan mata atau
pendengaran telinga. Karena, di samping keindahan inderawi adapula keindahan
rasional rohani (al-jamal al’ aqli alma’
nawi) yang tidak dapat dilihat dengan indera tetapi dapat diketahui oleh
rasio. Dari beberapa definisi salah satunya merujuk kepada (al-fi’l), dan berpendapat bahwa
keindahan adalah sifat pada aksi dan perbuatan itu sendiri. Misalnya, sifat
jujur itu adalah indah, memiliki daya tarik khusus, baik bagi pembicara maupun
bagi pendengar.
Demikian pula pada sifat sabar, istiqamah,
jiwa besar, syukur, memuji, adil, masing-masing memiliki keindahan rohani (al- jamal al-ma’nawi) tersendiri, dimana
pemilik sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang membuat dirinya pun
menjadi indah, tidak ubahnya seperti seseorang yang mengenakan pakaian yang
bagus, maka orangnya pun akan terlihat rupawan. Apalagi kaitan antara perbuatan
dengan manusia, lebih erat dari kaitannya pakaian yang dipakainnya. Bagi
manusia moralitas adalah aksi yang indah, aksi yang keindahannya ditangkap oleh
seseorang melalui perasaan dan pemahamannya akan keindahan spiritual, yang
standarnya terletak pada diri orang itu sendiri bukan pada diri orang lain.
B.
Saran
Penulis menyadari dalam
penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekuarngan oleh karena itu saran dan kritik dari para
pembaca sekalian sangat di harapkan penulis demi untuk perbaikan makalah ini
kedepannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Hericahyono
Ceppy, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, Semarang:
IKIP Semarang Press, 1996
Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islami, Jawa Barat:
Iqra Kurnia Gemilang, 2005.
Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius.
Sutisna, Administrasi Pendidikan dasar teoritis untuk Praktek Profesional,
Bandung: Angkasa.
Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan
Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006.
EmoticonEmoticon