Senin, 06 Oktober 2014

Pendidikan Moralitas

BAB I
PENDAHULUAN
A.         Latar Belakang
Pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral masyarakat beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan pemanusiaan yang normal kata lainnya pendidikan adalah moralitas masyarakat. Kerusakan moral di dunia politik kini di bawah ke dunia pendidikan institusi pendidikan telah gagal menjalankan misi dan alasan adanya untuk mendidik anak-anak menjadi sosok yang memiliki integritas, salah satu faktor kerusakan moral misalnya, selama ini bangsa Indonesia lebih mengutamakan pembangunan ekonomi dan mengabaikan pembangunan karakter bangsa. Jika moral bangsa hancur maka bangsa ini pun terancam di ambang kehancuran.
Moralitas merupakan realitas hidup dan ada di sekitar kita, terkadang konsep moralitas itu telah disingkirkan, meski tidak mungkin akan raib di dunia ini. Konsep moralitas itu akan menjadi konsep yang bias kita akui memiliki tempat di dalam suatu cara hidup yang koheren, bermakna dan memuaskan bagi kita. Kebermaknaan itu tercermin dari keamanan, kenyamanan, kebersahabatan, ketenangan, tanpa prasangka, kepastian bertindak, memegang kesepakatan dan kecerian hidup. Inilah dambaan dan tuntutan kita untuk hidup dalam suasana asli moral (moral state of nature) di mana tuntutan-tuntutan moralitas dan aspirasi-aspirasi kita sendiri terakomodasikan secara normal di dalam hidup bermasyakat.


B.         Rumusan Masalah
1)          Apa definisi pendidikan moralitas?
2)          Bagaimana pendidikan moral dalam perspektif islam?





BAB II
PEMBAHASAN

A.         Definisi Moralitas
Sebagian filosof menjelaskan bahwa standar etika adalah moralitas yang muncul dari rasa cinta kepada sesama. Adapun yang berpendapat bahwa etika adalah tindakan yang muncul secara alamiah dari tabiat manusia itu sendiri. Etika itu dapat juga diartikan bagian dari cinta, etika juga merupakan bagian dari keindahan,  pengertian ini sama-sama meyakini ketidak terbatasan keindahan secara inderawi saja seperti keindahan pandangan mata atau pendengaran telinga. Karena, di samping keindahan inderawi adapula keindahan rasional rohani (al-jamal al’ aqli alma’ nawi) yang tidak dapat dilihat dengan indera tetapi dapat diketahui oleh rasio. Dari beberapa definisi salah satunya merujuk kepada (al-fi’l), dan berpendapat bahwa keindahan adalah sifat pada aksi dan perbuatan itu sendiri. Misalnya, sifat jujur itu adalah indah, memiliki daya tarik khusus, baik bagi pembicara maupun bagi pendengar.
 Demikian pula pada sifat sabar, istiqamah, jiwa besar, syukur, memuji, adil, masing-masing memiliki keindahan rohani (al- jamal al-ma’nawi) tersendiri, dimana pemilik sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang membuat dirinya pun menjadi indah, tidak ubahnya seperti seseorang yang mengenakan pakaian yang bagus, maka orangnya pun akan terlihat rupawan. Apalagi kaitan antara perbuatan dengan manusia, lebih erat dari kaitannya pakaian yang dipakainnya. Bagi manusia moralitas adalah aksi yang indah, aksi yang keindahannya ditangkap oleh seseorang melalui perasaan dan pemahamannya akan keindahan spiritual, yang standarnya terletak pada diri orang itu sendiri bukan pada diri orang lain.

I.            Jiwa yang indah
Sebagian berpendapat bahwa yang etika merupakan topic keindahan, tetapi mereka mendahulukan keindahan pada jiwa manusia ketimbang etika itu sendiri.[1] Menurut mereka, secara umum, dimana ada keserasian disana ada keindahan. Keduanya merupakan satu kesatuan, seperti terpadunya dan sempurnanya anggota-anggota tubuh seseorang sehingga terlihat sempurna dan indah, yang membuat orang lain terpesona. Padahal, keserasian pada tubuh adalah keserasian jasad da seluruh potensi-potensi jiwa jika masing-masing proporsional sehingga keserasian dan keindahan jiwanya pun tampak pada dirinya. Karena itu, mereka berkata: “Sesungguhnya bagi setiap potensi dan kekuatan di dalam diri manusia ada batas dan ukuran tertentu”.
Apabila melampaui batas atau ukuran tersebut maka akan terjadi ketidakseimbangan. Demikian pula jika kurang dari batas atau ukuran tersebut. Sebagai contoh, jika bola mata seseorang kebesaran maka akan terlihat jelek sekali, sebaiknya jika terlalu kecil, maka dia tidak terlihat rupawan. Manusia telah diberikan daya emosi yang memiliki batas atau ukuran normal tertentu, jika daya ini terlalu lemah, maka daya emosinya tidak terlihat indah, karena tidak seimbang, demikian pula jika daya emosinya terlalu besar. Persoalan yang penting adalah bagaimana kita dapat memperoleh standar normal tersebut? Bagaimana kita menentukan moderasi atau batas pertengahannya (al-hadd al-wasath), misalnya jika kita pertanyakan apakah moderasi atau batas tengah daya emosi manusia?
Jawaban pertanyaan di atas dapat dijawab dengan dua cara: pertama, bahwa keindahan tidak dapat secara mutlak didefinisikan. Bagi yang telah mengetahui keindahan tidak pernah memberitakan bahwa ukuran keindahan adalah apabila ukuran besar matanya begini, bentuk alisnya begini…dan sebagainya. Artinya, keindahan semacam ini hanya diketahui oleh manusia dengan perasaannya (dzauf), dan manusia telah merasa  tertarik dengan keindahan tersebut meski belum tahu persis batas atau standar ukurannya. Kedua, bagi manusia perkara semacam ini bersifat rasional, demikian pula dengan keindahan rasional (al-jamal al-aqli).[2]

II.               Karakter Bawaan Sebagai Dasar Moderasi Etika
Setelah kita amati, ternyata kita mungkin menemukan ukuran yang lebih kuat dari keindahan inderawi, yaitu dengan berdasarkan kepada karakter bawaan yang merupakan asal yang pasti (qath’i). Setiap potensi dan daya diciptakan untuk tujuan tertentu, yang kesemuanya membentuk tujuan menyeluruh.
Jika kita ingin mengetahui apakah daya kemampuan ini terletak pada tahap moderasi (al-hadd al- wasath) atau terletak pada tahap tidak seimbang (ifrath atau tafrith), maka kita harus menyingkap sisi kausalitas mengapa daya kemampuan ini diciptakan? Jawabannya, bahwa ia diciptakan untuk tahap moderasi (al-hadd al-wassath). Jika daya tersebut melalui atau kurang dari batas tahap moderasi tersebut, tentu untuk selama-lamanya dia tidak memiliki kemampuan untuk membela dirinya sekaligus tidak akan dapat hidup di tengah-tengah makhluk hidup semua. Oleh karena itu, daya emosi ini wajib ada pada diri setiap manusia. Daya emosi ini juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan manusia akan aktualisasi keinginan nafsu dan kecenderungan-kecenderungan positif lainnya, namun kadar yang diperlukan harus seimbang, tidak boleh berlebihan tidak pula kurang. Jika manusia tidak memiliki daya emosi ini, niscaya misalnya ketika hampir tenggelam di dalam air maka dia akan langsung tenggelam, karena dia sama sekali tidak memiliki motivasi untuk menyelamatkan dirinya agar tidak tenggelam. Demikian pula tentunya dalam berbagai kondisi lain.
Daya emosi pada kadar dapat membela atau mempertahankan hidup manusia berada pada ukuran tahap moderasi atau batas pertengahan (al-hadd al-wasath) atau keseimbangan (equilibrium), jika melebihi garis atau kurang dari garis tersebut maka akan terjadi ketidakseimbangan (inequilibrium) pada diri dan karakter tingkah laku (behavior) manusia. Demikan pula pada insting seksual manusia, tentunya ada tujuan tertentu, bukan hanya untuk melanggengkan garis keturunan saja seperti pada hewan. Manusia hidup berpasangan sebagai suami isteri, terdapat kemesraan dan kasih sayang sebagaimana yang digambarkan oleh Al-Qur’an. Mereka hidup pada taraf saling berkasih sayang sebagai fondasi keluarga dan agar hidup berketurunan, kemudian anak-anak merekapun tumbuh berkembang dalam suasana rumah tangga yang harmonis, jika insting seksual itu digunakan secara tidak proporsional maka tentunya akan terjadi ketidakseimbangan negatife dalam hubungan suami isteri, merusak keharmonisan dan dapat mengakibatkan kehancuran rumah tangga. Demikian pula pada seluruh daya lain yang ada pada diri manusia harus selalu dalam batas atau garis moderasi (al-hadd al-wasath).

III.               Agama Sebagai Pondasi Etika
Perasaan cinta kepada sesama merupakan perkara immateri, perasaan ini akan dominan pada diri seseorang jika dia benar-benar meyakini tindakan-tindakan immateri (al-ma’nawiyyat), terutama keyakinan kepada Tuhan. Keyakinan “Imani” religius kepada Tuhan ini merupakan pondasi atau dasar sekaligus sumber etika, karena jika Tuhan sebagai zat keindahan mutlak yang bersifat immateri tidak ada, tentunya kitapun tidak mungkin akan percaya adanya keindahan-keindahan lain selain Tuhan. Keindahan-keindahan ruh dan perbuatan-perbuatan yang bersifat immateri hanya dapat dirasakan dan direalisir melalui keyakinan kepada Tuhan. Jika keyakinan kepada Tuhan yang Maha Indah tidak ada maka segala bentuk keindahan perbuatan baik yang hanya untuk kehidupan duniawi saja menjadi percuma dilakukan.
Sesungguhnya perbuatan baik merupakan perbuatan yang mendapat sinaran cahaya Ilahi, Intuisi, dan tidak dapat direalisasikan tanpa keimanan kepada Tuhan. Jika dikatakan bahwa yang ada hanya materi saja sedangkan yang immateri itu tidak ada, maka kebenaran dan hakekat serta keindahan tidak akan bermakna. Dari keyakinan akan adanya hari pembalasanlah teori kecerdasan dapat diterapkan, karena menurut teori ini, manusia diciptakan agar bermanfaat dan memperoleh manfaat (naf’iy). Dengan kecerdasan, harusnya manusia akan menghitung-hitung manfaat apa pada akhirnya yang akan ia peroleh. Demikian pula keyakinan akan keadilan Tuhan, keyakinan ini akan menjadi jaminan yang baik untuk merealisasikan etika. Teori agama sebagai pondasi etika ini sekaligus berkesimpulan bahwa perwujudan etika karena keyakinan kepada Tuhan dan Keadilan Ilahi.
IV.               Pendidikan Moral dalam Perspektif Pendidikan Islam
Pada lembaga pendidikan formal, guru menjadi ujung tombak moralisasi anak, meski tidak semua mereka menyadari akan tugasnya itu. Lawrence Kohlberg menulis bahwa kebanyakan guru tidak menyadari sepenuhnya bahwa mereka seharusnya berurusan dengan persoalan-persoalan pendidikan moral. Mereka sendiri seringkali  tidak memiliki pandangan yang jelas tentang pendidikan moral itu, bahkan mungkin tidak memperoleh pendidikan dan pelatihan mengenai pendidika moral tersebut. Di balai-balai pelatihan, sebagian besar guru dilatih untuk bagaimana memahami metode pembelajaran dan materi yang akan diajarkan. Meski demikian mereka secara terus menerus bertindak sebagai pendidik moral, mengajarkan tentang apa yang harus dilakukan oleh anak-anak, menilai perilaku afektif mereka, dan memantau relasi sosial mereka di kelas. Lembaga sekolah memang tidak memadai lagi menjadi agen tunggal pendidikan moral, yang ketika masyarakat telah terjadi demoralisasi yang luar biasa. Guru, di samping memberikan contoh perilaku bermoral, juga merumuskan nilai-nilai dasar moral bagi anak, dan bahwa sebagian dari akibatnya secara tidak sadar telah mendidik mereka secara moral. [3]
Antara seruan dan ajaran moral di sekolah dengan apa yang terjadi di masyarakat telah terjadi tarikan-tarikan, suatu fenomena yang bertolak belakang. Dalam memandang perubahan itu, masyarakat sendiri telah terbelah menjadi dua, yaitu mereka yang setuju dengan perubahan dan mereka yang berkeinginan melanggengkan tradisi alias status quo. Untuk mencapai tujuan yang disebutkan terakhir ini, pelaku adakalanya berbuat apa saja, sehingga fungsi control dan pengawasan nyaris tidak memiliki kekuatan apapun. Penutupan sebuah “lokalisasi” misalnya, dipersepsi sebagai suatu keharusan bagi banyak orang. Bersamaan dengan itu, banyak pula pihak-pihak yang ingin melanggengkannya, atau setidaknya meminta kompensasi besar, tanpa menggaransi bahwa perbuatan semacam itu tidak akan berpindah lokasi. Lalu, muncul sikap arogan pada hampir semua ini, baik karena kekuasaan, kekayaan, elitisme etnis, kecerdasan, maupun kekekaran fisik, dan lain-lain.
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang melatih kepekaan (sensibility) para peserta didik sedemikian rupa sehingga sikap hidup dan perilaku, juga keputusan dan pendekatannya kepada semua jenis pengetahuan dikuasai oleh perasaan mendalam terhadap nilai-nilai etis dan spiritual Islam. Spiritualisasi dan islamisasi ilmu, karenanya, menjadi ciri pendidika Islam untuk dibandingkan dengan pendidikan lainnya. Membangun menu bahan ajar yang bersifat spiritualisasi dan Islamisasi ilmu tidaklah mudah, karena ilmu, terutama ilmu sekuler, itu bersifat universal. Praktis jangka pendeknya dapat dilakukan oleh guru dengan memberi contoh dan penjelasan atas materi pembelajaran secara Islami. Pengedepanan pendidikan Islam sebagai instrument dan proses pembangunan moral bangsa, tidaklah sederhana, karena peradaban berubah-ubah begitu cepat. Syedh Sajjad Husain and Syed Ali Ashraf (2000) menulis bahwa saat ini masyarakat tengah mengalami krisis moral dan kejiwaan akibat gelombang krisis materialisme.  [4]
Tradisi hidup yang materialistik tidak menjadikan moralitas sebagai panutan, tapi kekayaan yang dijadikan ukuran kemuliaan dan kehormatan, betapapun hal tersebut tidak membangun dan memperbesar sistem pendidikan yang dapat membangkitkan dan menghasilkan moral spiritual masyarakat. Menurut dua orang penulis ini, kalangan terdidik, dosen dan pemikir yang menduduki jabatan-jabatan penting di universitas hanyut diterpa arus deras materialisme; mereka laksana potongan-potongan kecil daging yang terkena perubahan suhu sedikit saja amat cepat membusuk. Gejala itu lebih nyata pada kalangan birokrasi yang gandrung menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyat, sehingga lahirlah Indonesia sebagai Negara terkorup di kawasan Asia, bahkan dunia; dengan tampilan birokrasi yang terburuk, dan anggaran pendidikan nyaris terendah di dunia dengan ukuran presentase dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Karena itu sama sekali tidak layak seorang menutup mata terhadap derasnya arus pasang materialistik yang menerjang apa saja yang menentangnya.
Lembaga pendidikan terus mengalami modernisasi, namun bersamaan dengan itu pendidikan modern makin diberi makna sebagai pendidikan sekuler yang menyamakan cara pengajaran mata ajar agama dengan non agama, seperti matematika, dan geografi. Di sini perlu tampil pendidik Muslim sejati, yaitu memahami tata nilai, menemukan identitas, membangun kebersamaan, dan menjauhkan diri dari sikap arogan bukanlah sebagai tugas tambahan. Sarjana Muslim diharapkan andil besar untuk melakukan peran-peran dan membangun moral baru di masyarakat. Keinginan ini kerap terganjal dengan diskriminasi kualitas lulusan, termasuk di negara-negara Arab sekalipun. Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf  (2000) menulis, bila lembaga pendidikan agama dan sekuler di negara-negara Arab menghasilkan lulusan, maka tamatan pendidikan sekulerlah yang memegang posisi-posisi kunci pada angkatan bersenjata, kepolisian, bidang politik pamong praja dan administrasi negara. Alumni pendidikan agama hanya memperoleh pekerjaan sebagai hakim pada Pengadilan Agama Islam, Imam Mesjid, Khatib, atau guru agama dan guru bahasa Arab. Akibatnya timbullah pertentangan kelas dan budaya (a cultural and class struggle) antara dua kelompok ini, dan masing-masing kelompok lain dianggap kurang terdidik. Tamatan lembaga pendidika sekuler menyombongkan pengetahuannya mengenai bahasa asing, sains eksperimental, sejarah dunia, geografi, dan lain-lain. Alumni sekolah agama membanggakan kemahirannya dalam mengaji dan menghafal al-quran, pengetahuan mengenai hokum agama Islam, teologi, dan cabang-cabang studi Islam yang lain, serta ilmu-ilmu linguistik, seperti morfologi, tata bahasa Arab, retorika, persajakan dan lain-lain.
Deskripsi di atas terasa menyakitkan dilihat dari perspektif pendidikan Islam, meski harus diakui begitulah realitas peradaban kontemporer. Peradaban Islam yang sempat amat jaya pada abad pertengahan, kini cenderung menjadi penonton dengan umat yang mayoritas.[5] Realitas sejarah tengah kita saksikan, karena memang peradaban merupakan suatu proses yang berkembang, di mana dia merupakan hasil dari rasa ingin tahu yang mendorong manusia untuk mendapatkan semakin banyak pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri dan kegunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam dan sarjana Muslim mungkin terlalu banyak berbicara, melakukan seruan, ketika orang-orang sekuler justru banyak berbuat untuk mengaplikasikan pengetahuan dan memproduk karya-karya teknologis. Pola perilaku semacam itu, termasuk perilaku pengasuhan telah mengubah sifat manusia, organisasi sosial telah mentransformasikan sifat dasar manusia, yang ketika banyak berbicara sedikit kesempatan untuk bertindak. Perkembangan sejarah kebudayaan manusia sendiri berkaitan dengan perubahan sosial, transformasi, dan kemajuan teknologis. Lahirlah fenomena masyarakat sekuler yang di caci-maki pada satu sisi, dan ketergantungan secara teknologis dan keuangan yang tidak terelakkan di sisi lain.
Di luar kerangka itu, ketika moralitas bangsa makin dipertanyakan dan melahirkan kegundahan, terasa ada kebutuhan untuk menyajikan contoh-contoh mengenai sikap kecukupan, kesederhanaan, bekerja sukarela tanpa imbas imbalan, kesiapan untuk mengabdi kepada negara dan orang-orang yang hanya mencari kesejatian sebagai makhluk Tuhan semata. Contoh-contoh moralitas mulia telah diberikan oleh orang-orang yang mempunyai pengaruh kejiwaan yang kuat terhadap semua golongan usia di masyarakat. Mereka itulah orang-orang yang memancarkan sinar kesalehan dan kesetiaan hidup sesama hidup. Pada kesehariannya mereka mencurahkan hidupnya untuk mendarmakan pengetahuan, memperbaiki moral, dan keberagamaan tanpa sedikitpun mengharapkan imbalan materi. [6]
Benturan kultural selalu menyertai usaha-usaha untuk membangun masyarakat bermoral. Di setiap negara, pengaruh media massa atau media pemberitaan jauh lebih luas dan kuat daripada system pendidikan, termasuk system pendidikan Islam. Keberadaan jaringan dan sinyal-sinyal yang ditampilkan melalui media massa tersebut begitu gampang ditemukan pada seluruh jarring-jaring kehidupan. Menu sajian dikemas sesuka hati malalui jaringan ini, dengan target komersialisasi program. Tidak adanya koordinasi yang baik antara alat-alat pemberitaan yang kuat dan menyebar luas ini dengan pendidikan telah menimbulkan pertentangan dan kebingungan, kegelisahan, dan kekacauan kaum muda, termasuk kaum muda Muslim. Dampak ikutannya, banyak generasi muda terjangkiti frustasi kejiwaan dan ketidakjelasan intelektual. Pokok-pokok berita yang sangat menghasud dan gambar-gambar seksi yang membangkitkan gairah telah menarik perhatiannya, membuatnya meragukan norma-norma moralitas dan kebenaran mutlak seperti dipesankan oleh banyak sarjana Muslim dan ulama. Akan ada kesulitan untuk mencari bukti empirik mengenai hubungan kegagalan pendidikan budi pekerti dengan kejahatan di masyarakat pada umumnya, memperoleh legitimasi akademik. Karena variabel kejahatan di masyarakat dan di lingkungan pelajar sendiri terlalu riskan hanya direduksi sebagai kegagalan pendidikan budi pekerti di sekolah. Kita harus akui bahwa ada faktor sekolah yang menyebabkan konflik  psikologis. Dalam konteks pendidikan, adalah tugas guru untuk ikut mendorong tugas guru untuk ikut mendorong pembangunan moral dan moralitas anak didik. Pembangunan moral itu menurut para pakar setidaknya harus bersasaran individual.  [7]
























BAB III
PENUTUP

A.         Kesimpulan
Sebagian filosof menjelaskan bahwa standar etika adalah moralitas yang muncul dari rasa cinta kepada sesama. Adapun yang berpendapat bahwa etika adalah tindakan yang muncul secara alamiah dari tabiat manusia itu sendiri. Etika itu dapat juga diartikan bagian dari cinta, etika juga merupakan bagian dari keindahan,  pengertian ini sama-sama meyakini ketidak terbatasan keindahan secara inderawi saja seperti keindahan pandangan mata atau pendengaran telinga. Karena, di samping keindahan inderawi adapula keindahan rasional rohani (al-jamal al’ aqli alma’ nawi) yang tidak dapat dilihat dengan indera tetapi dapat diketahui oleh rasio. Dari beberapa definisi salah satunya merujuk kepada (al-fi’l), dan berpendapat bahwa keindahan adalah sifat pada aksi dan perbuatan itu sendiri. Misalnya, sifat jujur itu adalah indah, memiliki daya tarik khusus, baik bagi pembicara maupun bagi pendengar.
 Demikian pula pada sifat sabar, istiqamah, jiwa besar, syukur, memuji, adil, masing-masing memiliki keindahan rohani (al- jamal al-ma’nawi) tersendiri, dimana pemilik sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang membuat dirinya pun menjadi indah, tidak ubahnya seperti seseorang yang mengenakan pakaian yang bagus, maka orangnya pun akan terlihat rupawan. Apalagi kaitan antara perbuatan dengan manusia, lebih erat dari kaitannya pakaian yang dipakainnya. Bagi manusia moralitas adalah aksi yang indah, aksi yang keindahannya ditangkap oleh seseorang melalui perasaan dan pemahamannya akan keindahan spiritual, yang standarnya terletak pada diri orang itu sendiri bukan pada diri orang lain.
B.         Saran
Penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekuarngan  oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca sekalian sangat di harapkan penulis demi untuk perbaikan makalah ini kedepannya.





DAFTAR PUSTAKA

       Hericahyono Ceppy, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, Semarang: IKIP Semarang Press, 1996

       Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islami, Jawa Barat: Iqra Kurnia Gemilang, 2005.

Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, Yogyakarta: Kanisius.

       Sutisna, Administrasi Pendidikan dasar teoritis untuk Praktek Profesional, Bandung: Angkasa.

        Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006.

       [1]Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islami, (Jawa Barat: Iqra Kurnia Gemilang, 2005) h. 105.
       [2]Ibid., h. 107.
       [3] Ceppy Hericahyono, Dasar-Dasar Pendidikan Moral, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1996) h.72.
       [4]Sutisna, Administrasi Pendidikan dasar teoritis untuk Praktek Profesional, (Bandung: Angkasa)
       [5]Kohlberg, Tahap-tahap Perkembangan Moral, (Yogyakarta: Kanisius)
       [6]Sudarwan Danim, Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2006) h. 68.
      [7]Ibid., h. 69.


EmoticonEmoticon