BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Pendidikan ialah salah satu hal penting
bagi manusia. Betuk pendidikan bisa secara akademik atau non akademik.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia tercinta ini. Mulai dari Program Wajar (wajib belajar) Sembilan Tahun
sampai Wajar Dua Belas Tahun. Pembagian beasiswa dalam dan luar negeri pun
termasuk dalam salah satu program pemerintah. Adanya UU tentang pendidikan
memberikan garis tebal bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan
tanpa pengecualian. [1]
Sekolah negeri, sekolah swasta, bahkan
sekolah luar biasa (SLB) menjadi tempat formal untuk mendapatkan pendidikan.Berbicara
tentang SLB, tidak akan lepas dari keberadaan anak luar biasa (ABK).ABK ialah
anak yang memiliki grafik perkembangan yang berbeda dari anak normal. Grafik
tersebut bisa naik dan turun. Ada beberapa kategori ABK diantaranya
Tunagrahita, Tunawicara, Tunarungu, Tunalaras, Tunanetra, Tunadaksa, Anak
berkesulitan belajar, dan anak yang terlampau pintar. Sementara ini yang akan
saya bahas ialah tentang anak tunagrahita ringan. Banyak yang berasumsi bahwa
anak tunagrahita sama dengan anak idiot. Asumsi tersebut kurang tepat karena
sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi. Tunagrahita
ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi
yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang
terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan
tunagrahita berat.
Pembelajaran adalah suatu aktivitas yang secara
sengaja dilakukan untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk
tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran, kondisi atau situasi
yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan
terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Tugas guru bukan menyuapi anak dengan
materi tetapi guru sebagai fasilitator, yang anatara lain tugasnya menciptakan
kondisi yang memungkinkan siswa giat belajar.
Salah satu mata pelajaran yang dikembangkan dalam
kurikulum anak tunagrahita ringan jenjang pendidikan dasar adalah mata
pelajaran sains. Sains merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib
diberikan pada siswa tunagrahita ringan di sekolah. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Depdiknas (Nunik, 2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran sains
bagi siswa tunagrahita ringan bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep sains,
mempunyai sikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam
kehidupan sehari-hari sehingga lebih menyadari kebesaran dan kekuasaan
pencipta-nya.[2]
Salah satu pokok bahasan dalam mata pelajaran sains
untuk siswa unagrahita ringan kelas D VI adalah pokok bahasan energi dan
penguasaanya dalam kehidupan sehari-hari dan
kompetensi dasar yaitu siswa mampu mendeskripisikan penggunaan energi
dalam kehidupan sehari-hari dan cara menghemat energi. Pokok bahasan ini
diambil dengan pertimbangan bahwa pokok bahasan yang mengangkat tema tentang
kehidupan manusia sehari-harinya yang tidak terlepas dari energi dan dapat
mengungkap tentang kebesaran penciptaNya sesuai dengan tujuan pembelajaran
sains bagi anak tunagrahita ringan.
Pokok bahasan tentang energi ini merupakan salah
satu ruang lingkup baha kajian yang terdapat dalam kurikulum tinkgkat satuan
pendidikan (KTSP) untuk anak tunagrahita ringan. Materi ini mulai
dikembangankan dari kelas 2 SDLB tungrahita ringan. Hal ini menunjukan bahwa
materi ini penting diberikan bagi ATG ringan dan harus dapat bermanfaat bagi
kehidupannya dalam rangka peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan
kecakapan hidup. termasuk dalam kecakapan hidup adalah kecakapan sosial.
Kecakapan sosial yang dimaksud adalah ketika ATG berada dilingkumngan rumah.
Dalam kaitan pembelajaran tentang energi, salah satu kecakapan yang bisa
diharapkan dimiliki ATG adalah kecakapan dalam mengindari bahaya.
Berdasarkan studi pendahuluan diketahui terdapat
beberapa permasalahan yang dihadapi ATG dalam pembelajaran sains salah satunya
adalah rendahnya motivasi siswa dalam pembelajaran sains. Hal ini terlihat dari
kurangnya minat dan perhatian siswa pada saat pembelajaran, media yang kuanng
menarik menjadikan siswa cepat bosan dan jenuh ketika mendapaktkan pelajaran,
dan kesulitan dalam memahami hal-hal yang bersifat abstrak.
Berbagai permasalahan tersebut sebenarnya dapat
diatasi jika seorang guru mampu mendesain pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan agar tujuan yang diharapkan dapat tercapai dengan baik. Misalnya,
melalui pemilihan metode serta media-media pembelajaran yang tepat, menarik,
dan menyenangkan. Pemilihan media oleh guru sangatlah penting. Seorang guru
dapat mengunakan berbagai alternatif media pembelajaran yang diperkirakan dapat
membantu siswa belajar. Salah satu media yang dapat diterapkan adalah media
animasi komputer. Media animasi komputer merupakan salah satu media alaternatif
yang dapat digunakan dalam pembelajaran hal ini berdasarkan anggapan bahwa
aspek visual lebih bisa memberi informasi yang jelas dari sekedar kata-kata.
Animasi komputer dapat membantu ATG ringan belajar sains pada tingkatan
abstraksi yang berbeda karena gambar pada komputer berperan sebagai mediator
antara masalah pada alam nyata dengan dunia abstrak pengetahuan sains.
Dunia PLB memanfaatkan perkembangan teknologi
komputer untuk meningkatkan pembelajaran ATG. Media komputer pada perinsipnya
dihadirkan untuk mempermudah proses belajar, sehingga penggunaan komputer yang
sesuai akan memudahkan dalam penyampaian materi pelajaran yang disampaikan pada
siswa.[3] Didalam
mediasi animasi komputer selain ditonjolkan visualisasi gambar terdapat pula
unsur imaginasi suara. Hal ini yang menjadi penguat bagi ATG dalam
menerimainformasi mata pelajaran sains. Apa yang didengar dikuatkan oleh visual
(penglihatan), dan apa yang dilihat dikuatkan oleh audio (pendengaran). Hal ini
akan memberi kesan yang lebih kuat kepada ATG sehingga mereka akan mampu
mempertahankan respon dalam ingatannya. Media Gambar Animasi juga dapat disukai
anak-anak begitupun ATG, sehingga diharapkan pembelajaran sains bagi mereka
dapat lebih menyenangkan, dapat menghilangkan kejenuhan dalam proses
pembelajaran, serta meningkatkan hasil belajar siswa, baik hasil belajar dalam
aspek pengetahuan, pemahaman, maupun penerapan secara signifikan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apakah
masalah-masalah yang dihadapi anak tunagrahita ringan?
2.
Bagaimana
pengaruh media animasi komputer terhadap hasil belajar anak tunagrahita ringan?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Anak Tunagrahita
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering
mendengar istilah anak “bego”, atau kata yang lebih kasar lagi “anak gila”.
Itulah sebutan atau predikat untuk anak tunagrahita. Bahkan ada yang mengatakan
anak cacat (tuna) adalah sebagai kutukan, pembawa sial, karena perbuatan tidak
senonoh orang tuanya. Sehingga setiap orang tua yang mempunyai anak cacat
(tuna) merasa malu dan menyembunyikan anak tersebut. Dan ada pula yang
berpendapat, bahwa anak cacat adalah anak yang membawa hoki, membawa keberuntungan.
Itulah kenyataan yang terjadi di masyarakat.
Istilah
untuk anak tunagrahita bervariasi, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama :
lemah pikiran, terbelakang mental, cacat grahita dan tunagrahita. Dalam bahasa
Inggris dikenal dengan nama Mentally Handicaped, Mentally Retardid. Anak
tunagrahita adalah bagian dari anak luar biasa. Anak luar biasa yaitu anak yang
mempunyai kekurangan, keterbatasan dari anak normal. Sedemikian rupa dari segi:
fisik, intelektual, sosial, emosi dan atau gabungan dari hal-hal tadi, sehingga
mereka membutuhkan layanan pendidikan khusus untuk mengembangkan potensinya
secara optimal. Jadi anak tunagrahita adalah anak yang mempunyai kekurangan
atau keterbatasan dari segi mental intelektualnya, dibawah rata-rata normal,
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik, komunikasi, maupun
sosial, dan karena memerlukan layanan pendidikan khusus. [4]
"Anak tunagrahita ringan" Istilah
yang umum dikenal untuk anak tunagrahita ringan adalah debil, di kalangan
pendidik Amerika (America Education) ialah educable mentally retarded
yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia artinya mampu didik. Moh. Amin
(1995;23), mengemukakan yang dimaksud anak tunagrahita ringan adalah:
mereka yang meskipun kecerdasannya dan adaptasi sosialnya terhambat, namun
mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,
penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja. IQ anak tunagrahita ringan berkisar
50-70.
Sutjihati Sumantri (1996;86)
mengemukakan bahwa: anak tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil,
yakni mereka yang memiliki IQ 52-68 menurut Binet dan IQ 55-69 menurut
scala Wescheler (WISC). Mereka masih dapat diajar membaca, menulis dan
berhitung sederhana, dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled dan tidak
mampu menyesuaikan diri secara independen.Y.B. Suparlan (1983;30) mengemukakan
secara lebih spesifik sebagai berikut: IQ penderita debil antara 50-70 biasanya
mereka juga disebut educable children, karena mereka tidak saja
dapat dilatih tetapi juga dapat dididik.
Mereka dapat dilatih tentang
tugas-tugas yang lebih tinggi (kompleks) dalam kehidupan sehari-hari, dapat
pula dididik dalam bidang sosial dan intelektual. Pelajaran membaca, menulis
dan berhitung dapat diajarkan menurut tingkat-tingkat tertentu. Dari ketiga
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita ringan masih
memungkinkan memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung menurut
tingkatan–tingkatan tertentu.
·
Karakteristik
Anak unagrahita ringan
Seperti telah kita ketahui bersama bahwa anak tunagrahita
ringan mempunyai ciri dan kekhasan masing-masing, tetapi secara garis besar
mereka mempunyai karakteristik yang hampir sama. Moh. Amin (1991;37) memberikan
karakteristik atau ciri-ciri anak tunagrahita ringan sebagai berikut:[5]
o
karakteristik
anak tunagrahita ringan banyak yang lancar berbicara tetapi kurang
perbendaharaan katanya, mengalami kesukaran berfikir abstrak, tetapi masih
dapat mengikuti pelajaran akademik. Pada umur 16 tahun baru mencapai umur
kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun, sebagian tidak dapat mencapai
umur kecerdasan seperti itu.
o Kecerdasan,
Kapasitas belajar anak terbelakang sangat terbatas. Terlebih lagi kapasitas
mengenai hal-hal yang abstrak. Mereka lebih banyak belajar dengan membeo (rote
learning) daripada dengan pengertian. Dari hari ke hari dibuatnya
kesalahan-kesalahan yang sama. Perkembangan mentalnya mencapai puncak pada usia
masih muda.
o Sosial,
Dalam pergaulan, mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin dirinya
sendiri. Waktu masih muda harus senantiasa dibantu, setelah dewasa kepentingan
ekonominya bergantung pada orang lain. Mereka mudah terperosok ke dalam tingkah
laku yang tidak baik.
o Fungsi-fungsi
mental lain, Mereka mengalami kesukaran memusatkan perhatian. Minatnya sedikit
dan cepat beralih perhatian, pelupa, sukar membuat asosiasi-asosiasi, sukar
membuat kreasi baru. Mereka cenderung menghindar dari berpikir.
o Dorongan
dan emosi, Anak yang sangat terbelakang hampir-hampir tidak memperlihatkan
dorongan untuk mempertahankan dirinya. Kehidupan dan penghayatannya terbatas.
o Kepribadian,
Anak tunagrahita jarang yang mempunyai kepribadian yang dinamis, menawan,
berwibawa, dan berpandangan luas. Kepribadian mereka pada umumnya mudah goyah. [6]
o Organisme
Baik struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tunagrahita pada umumnya kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap. Mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan. Mengacu pada fungsi intelektual yang secara jelas berada di bawah rata-rata/normal, sehingga menyebabkan perkembangan kecerdasan dimiliki banyak hambatan, untuk itu diperlukan layanan khusus guna membantu mengoptimalkan kemampuan dan potensinya, hal ini terutama yang berkaitan dengan perawatan diri. Sehingga pada kehidupannya kelak dapat mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain.
Baik struktur tubuh maupun fungsi organismenya, anak tunagrahita pada umumnya kurang dari anak normal. Sikap dan gerakannya kurang sigap. Mereka juga kurang mampu melihat persamaan dan perbedaan. Mengacu pada fungsi intelektual yang secara jelas berada di bawah rata-rata/normal, sehingga menyebabkan perkembangan kecerdasan dimiliki banyak hambatan, untuk itu diperlukan layanan khusus guna membantu mengoptimalkan kemampuan dan potensinya, hal ini terutama yang berkaitan dengan perawatan diri. Sehingga pada kehidupannya kelak dapat mandiri dan tidak selalu tergantung pada orang lain.
Selanjutnya dalam The News Amerika Webster (1956;301) bahwa:
“Moron (debile) is person whose mentality dopes not develop beyond the 12 years
old level”. Yang terjemahannya adalah kecerdasan berfikir seorang anak
tunagrahita ringan paling tinggi sama dengan kecerdasan anak normal usia 12
tahun. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemampuan akademik anak
tunagrahita ringan setinggi-tingginya adalah setingkat dengan anak kelas VI SD
umum.
·
Penyebab
tunagrahita
Terdapat
banyak faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tunagrahita. Para ahli
dari berbagai ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab ini diantaranya
adalah sebagai berikut:[7]
o
Faktor
keturunan
Adanya
kelainan kromosom baik autosom (mempunyai kromosom 3 ekor pada kromosom nomor
21 sehingga anak mengalami Langdon Down’s S yndrome dan pada trisomi kromosom
nomor 15 anak akan menderita Patau’s Syndrome dengan cicri-ciri berkepala
kecil, mata kecil, berkuping aneh, sumbing, dan kantung empedu yang besar .
Adanya kegagalan meiosis sehingga menimbulkan duplikasi dan translokasi) maupun
kelainan pada gonosom (gonosom yang seharusnya XY, karena kegagalan menjadi XXY
atau XXXY. Ciri yang menonjol adalah nampak laki-laki dan tunagrahita. Setelah
mencapai masa puber tubuhnya menjadi panjang, gayanya mirip wanita, berpayudara
besar).
o
Ganguan
metabolisme dan gizi
Metabolisme
dan gizi merupakan hal yang penting bagi perkembangan individu terutama
perkembangan sel-sel otak. Beberapa kelainan yang disebabkan oleh kegagalan
metabolisme dan kekurangan gizi diantaranya adalah sebagai berikut:
o
Phenylketonuria
Salah satu akibat gangguan metabolisme asam amino juga kelainan gerakan enzym phenylalanine hydroxide. Gejala umum yang nampak adalah tunagrahita, kekurangan pigmen, microcephaly, serta kelainan tingkah laku.
Salah satu akibat gangguan metabolisme asam amino juga kelainan gerakan enzym phenylalanine hydroxide. Gejala umum yang nampak adalah tunagrahita, kekurangan pigmen, microcephaly, serta kelainan tingkah laku.
o
Cretinisme
Disebabkan oleh keadaan hypohyroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau segera setelah melahirkan. Berat ringan kelainan tergantung pada tingkat kekurangan thyroxin. Gejala utama yang tampak adalah adanya ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan dan awal gejalanya dengan kurangnya nafsu makan, anak menjadi sangat pendiam, jarang tersenyum dan tidur yang berlebihan.
Disebabkan oleh keadaan hypohyroidism kronik yang terjadi selama masa janin atau segera setelah melahirkan. Berat ringan kelainan tergantung pada tingkat kekurangan thyroxin. Gejala utama yang tampak adalah adanya ketidaknormalan fisik yang khas dan ketunagrahitaan dan awal gejalanya dengan kurangnya nafsu makan, anak menjadi sangat pendiam, jarang tersenyum dan tidur yang berlebihan.
o
Infeksi
dan keracunan
Adanya
infeksi dan keracunan terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada
dalam kandungan ibunya yang menyebabkan anak lahir menjadi tunagrahita. [8]
o
Rubella
Penyakit ini menjangkiti ibu pada dua belas minggu pertama kehamilan. Selain tunagrahita, ketidaknormalan yang disebabkan penyakit ini adalah kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan yang sangat rendah pada waktu lahir dan lain-lain.
Penyakit ini menjangkiti ibu pada dua belas minggu pertama kehamilan. Selain tunagrahita, ketidaknormalan yang disebabkan penyakit ini adalah kelainan pendengaran, penyakit jantung bawaan, berat badan yang sangat rendah pada waktu lahir dan lain-lain.
o
Syphilis,
Kondisi bayi yang terkena Syphilis adalah kesulitan pendengaran, hidungnya
tampak seperti hidung kuda.
o
Syndrome
Gravidity Beracun, Ketunagrahitaan yang timbul dari Syndrome Gravidity Beracun
terjadi pada sebagian bayi yang lahir prematur, kerusakan janin yang disebabkan
oleh zat beracun, dan berkurangnya aliran darah pada rahim dan plasenta.
o
Trauma
dan zat radioaktif, Trauma otak yang terjadi dikepala dapat menimbulkan
pendarahan intracranial terjadinya kecacatan pada otak. Ini biasanya disebabkan
karena kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu (tang). Selain itu
penyinaran atau radiasi sinar X selama bayi dalam kandungan mengakibatkan cacat
mental microcephaly.
o
Masalah
pada kelahiran, Adanya kelahiran yang disertai hypoxia (kejang dan nafas
pendek) dipastikan bahwa bayi yang akan dilahirkan menderita kerusakan otak.
o
Faktor
lingkungan, Latar belakang pendidikan orang tua sering juga dihubngkan dengan
masalah-masalah perkembangan. Kurangnya kesadaran orang tua akan pentingnya
pendidikan dini serta kurangnya pengetahuan dalam memberikan rangsang-rangsang
positif dalam masa perkembangan anak dapat menjadi salah satu penyebab
timbulnya gangguan atau hambatan dalam perkembangan anak. Kurangnya kontak
pribadi dangan anak, misalnya dengan tidak mengajaknya berbicara, tersenyum,
bermain yang mengakibatkan timbulnya sikap tegang, dingin dan menutup diri.
Kondisi demikian akan berpengaruh buruk terhadap perkembangan anak baik fisik
maupun mental intelektualnya.
B. Masalah - Masalah Yang Di Hadapi
Anak Tunagrahita Ringan
Berkaitan karakteristik atau ciri-ciri yang dimiliki anak
tunagrahita ringan tersebut, maka secara langsung maupun tidak langsung
menimbulkan berbagai macam permasalahan. Beberapa permasalahan yang dihadapi
oleh anak tunagrahita ringan antara lain:[9]
1) Masalah hambatan dalam belajar
Aktivitas belajar berkaitan langsung dengan perkembangan
kognitif dan kecerdasan. Di dalam kegiatan belajar sekurang-kurangnya
dibutuhkan kemampuan dalam mengingat, memahami dan kemampuan untuk mencari
hubungan sebab akibat. Oleh sebab itu anak-anak pada umumnya dapat menemukan
kaidah dalam belajar. Setiap anak akan mengembangkan sendiri kaidah dalam
mengingat, memahami dalam dalam mencari hubungan sebab akibat tentang apa yang
sedang mereka pelajari. Sekali kaidah itu dapat ditemukan anak dapat belajar
secara efektif. Setiap anak biasanya mempunyai kaidah belajar yang berbeda satu
sama lainnya.
2) Peserta didik tunagrahita pada
umumnya tidak memiliki kaidah dalam belajar.
Mereka mengalami kesulitan dalam memproses informasi secara
abstrak, belajar bagi mereka harus terkait dengan objek yang bersifat kongkret.
Kondisi seperti itu berhubungan dengan kesulitan dalam mengingat, terutama
ingatan jangka pendek. Peserta didik tunagrahita dalam belajar hampir selalu
dilakukan dengan coba-coba, mereka tidak dapat menemukan kaidah dalam belajar, sukar
melihat objek yang sedang dipelajari secara keseluruhan. Mereka cenderung
melihat objek secara terpisah-pisah. Oleh karena itu peserta didik tunagrahita
mengalami kesulitan dalam mencari hubungan sebab akibat.
3) Masalah penyesuaian diri
Individu tunagrahita mengalami hambatan dalam memahami dan
mengartikan norma lingkungan. Oleh karena itu mereka sering melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan norma lingkungan di mana mereka berada.Tingkah laku
individu tunagrahita kadang-kadang dianggap aneh oleh orang lain karena mungkin
tindakannya tidak lazim atau apa yang mereka lakukan tidak sesuai dengan
usianya.
4) Keganjilan tingkah laku
Keganjilan tingkah laku yang tidak sesuai dengan ukuran
normatif berkaitan dengan kesulitan dalam memehami dan mengartikan norma,
sedangkan keganjilan tingkah laku berkaitan dengan ketidaksesuaian atau
kesenjangan antara perilaku yang ditampilkan dengan perkembangan umur. Sebagai
contoh anak tunagrahita yang berusia 10 tahun berperilaku seperti anak usia 6
tahun. Hal ini disebabkan adanya selisih yang signifikan antara CA dengan MA.
Semakin anak tunagrahita menjadi dewasa, selisih ini akan semakin lebar. Hal
inilah yang mungkin menimbulkan persepsi yang salah dari masyarakat mengenai
tunagrahita. [10]
5) Masalah pemeliharaan diri
Pada umumnya anak tunagrahita ringan mengalami kesulitan
dalam mengurus dirinya sendiri, mengetahui cara menghadapi dan menghindari
bahaya yang dapat merugikan keselamatan diri. Walaupun begitu dengan bimbingan
yang tepat, diharapkan anak anak tunagrahita ringan masih mampu mandiri.
6) Masalah pekerjaan
Anak tunagrahita walaupun dapat dididik menjadi tenaga kerja
semi-skilled, tapi masih membutuhkan pengawasan, dan juga peluang kerja yang
terbatas bagi mereka karena kurangnya penerimaan masyarakat, sehingga sedikit
sekali yang sudah benar-benar mandiri. Untuk mengantisipasi hal ini perlu
adanya kerjasama dari semua pihak sekolah hendaknya memberikan keterampilan
yang dibutuhkan oleh masyarakat. Pihak masyarakat diharapkan mau menerima
tenaga kerjaanak tunagrahita.
7) Masalah kepribadian
Anak-anak tunagrahita memiliki ciri kepribandian yang khas,
berbeda dari anak-anak pada umumnya. Perbedaan ciri kepribadian seseorang
dibentuk oleh faktor-faktor yang melatarbelakanginya. Terdapat sejumlah alasan
yang menjelaskan mengapa individu tunagrahita mempunyai hambatan dalam
perkembangan kepribadian. Alasan-alasan tersebut antara lain:
o
Isolasi
dan penolakan
Perilaku seorang individu
tunagrahita yang dipandang ganjil dan aneh oleh orang lain, cenderung akan
dikucilkan dari pergaulan kelompok teman sebaya. Anak tungrahita cenderung
tidak mempunyai teman, mereka menjadi tersingkir dari pergaulan sosial.
Penolakan dari teman sebaya bukan
semata-mata disebabkan oleh label tunagrahita, tetapi lebih disebabkan oleh
perilaku aneh dan ganjil yang mereka tampilkan. Penolakan teman sebaya terhadap
anak tunagrahita karena anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam belajar
keterampilan sosial yang diperlukan dalam pergaulan sosial. Semakin kehadiran
anak tunagrahita ditolak oleh teman sebaya, anak tunagrahita semakin
mengembangkan cara yang salah dalam berhubungan dengan teman. Penolakan dan
isolasi seperti ini menyebabkan munculnya penyimpangan kepribandian dan
penyimpangan dalam penyesuaian diri.
o
Labeling
dan stigma
Pemberian label tunagrahita yang
bersifat permanen dapat dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan merupakan
vonis yang harus disandang seumur hidup. Label seperti ini telah membentuk
persepsi masyarakat bahwa tunagrahita adalah kelompok manusia yang
dikategorikan sebagai manusia yang tidak normal (stigma). Stigma seperti itu
menimbulkan pemisahan yang tajam antara manusia yang di-stigma-kan sebagai
tunagahita dengan manusia lainnya. Sebagai akibat dari labeling dan stigma
seperti itu, sebagian orang tua melarang anak-anaknya untuk bergaul dan bermain
dengan anak tunagrahita.[11]
o
Stres
keluarga
Para ilmuwan psikologi, sosiologi
dan pakar pendidikan sepakat bahwa keluarga merupakan faktor yang sangat
penting dan menentukan dalam perkembangan anak. Seorang anak yang dibesarkan
dalam keluarga yang penuh kasih sayang dan kelahirannya diterima oleh kedua
orang tuanya, cenderung akan menjadi orang dewasa yang dapat menyesuaikan diri
dengan baik. Sementara, sorang anak yang dibesarkan yang kehadirannya ditolak
atau terlalu dilindungi oleh kedua orang tuanya, cenderung akan menjadi orang
dewasa yang sulit menyesuaikan diri.
Kehadiran seorang anak tunagrahita
dalam keluarga cenderung menimbulkan stress dan ketegangan pada keluarga yang
bersangkutan. Ketika orang tua mengetahui bahwa anaknya tunagrahita, orang tua
pada umumnya mengalami perasaan bersalah atau menunjukkan mekanisme pertahanan
diri, atau mungkin merasa kecewa yang mendalam. Akibat stres dan ketegangan
seperti itu mungkin orang tua menolak kehadiran anak atau mungkin memberikan
perlindungan yang sangat berlebihan. Sikap-sikap seperti itu dapat
mengakibatkan masalah perilaku dan emosi pada anak yang bersangkutan.[12]
o
Frustasi
dan kegagalan
Sebagai akibat dari adanya hambatan
dalam perilaku adaptif, anak tunagrahita tidak dapat memenuhi tugas-tugas yang
dituntut oleh masyarakat atau oleh teman sebayanya. Akibat dari keadaan seperti
itu, anak tunagrahita cenderung mengalami banyak kegagalan dan frustrasi.
Kegagalan dan frustrasi yang sangat sering dialami oleh anak tunagrahita
berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian.
o
Kesadaran
rendah
Proses kognitif dan proses
kepribadian merupakan dua hal yang berdiri sendiri tetapi saling mempengaruhi.
Proses kognitif terlibat erat dalam perubahan pola kepribadian dan bahkan dalam
reaksi emosi. Sangat masuk akal apabila berpegang pada asumsi bahwa orang yang
kemampuan kognitifnya tidak memadai seperti halnya tunagrahita, kepribadiannya
tidak matang dan tidak rasional.
Sebagai contoh, aspek penting dalam
perkembangan kepribadian adalah kontrol terhadap impuls dan pengendalian dari
tindakan impulsif. Kontrol impuls berkaitan erat dengan pekembangan kognitif. Anak pada umumnya akan dapat mengontrol impuls
dan menunda kepuasan sejalan dengan bertambahnya umur. Akan tetapi anak
tunagrahita mengalami kekurangan dalam perkembangan kognitif, maka anak
tunagrahita pada umumnya mengalami kesulitan dalam mengontrol impuls dan sukar
mengontrol keinginan dalam memenuhi kepuasan sesaat.
8) Masalah perkembangan bahasa
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh melalui proses
yang menakjubkan dengan beberapa cara. Pertama, anak belajar bahasa dari apa
yang mereka dengar setiap hari. Hampir semua anak dapat menguasai dasar aturan
bahasa (gramatikal) kurang lebih pada usia 4 tahun. Kedua, anak-anak belajar
bahasa tidak sekedar meniru ucapan yang mereka dengar. Anak-anak belajar juga
konsep gramatikal yang abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.
Anak-anak di manapun dan belajar bahasa apapun ternyata melalui tahapan dan
proses yang sama. Dapat dipastikan bahwa perolehan bahasa dan bicara merupakan
sifat biologis manusia (Ingalls, 1987).
Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan
gangguan proses bahasa. Pertama, gangguan atau kesulitan bicara, dimana
individu mengalami kesulitan dalam mengartikulasikan bunyi bahasa dengan benar.
Kenyataan menunjukan bahwa anak tunagrahita banyak yang mengalami kesulitan
bicara dibandingkan anak pada umumnya. Kelihatan dengan jelas bahwa terdapat
hubungan positif antara hambatan perkembangan kognitif dengan gangguan bicara.
Kedua, hal yang lebih serius adalah ganguan bahasa dimana seorang anak
mengalami kesulitan dalam memahami konsep kosa-kata, kesulitan memahami aturan
sintaksis dan gramatikal dari bahasa yang digunakan. Peserta didik tunagrahita
yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak dibandingkan dengan yang mengalami
gangguan bicara.[13]
Hasil penelitian Ingalls (1987) tentang kemampuan berbahasa
anak tunagrahita menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita pada dasarnya memperoleh
keterampilan bahasa sama seperti anak pada umumnya, 2) kecepatan anak
tunagrahita dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah
dibandingkan dengan anak pada umumnya, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak
dapat mencapai keterampilan berbahasa yang sempurna, 4) perkembangan bahasa
anak tunagrahita sangat ketinggalan dibandingkan anak pada umumnya, sekalipun
pada MA yang sama, 5) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam memahami
gramatikal, 6) anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam menggunakan dan
memahami kalimat majemuk.
9)
Masalah
kesulitan dalam kehidupan sehari-hari Masalah ini berkaitan dengan kesehatan
dan pemeliharaan diri dalam kehidupan sehari-hari. Melihat kondisi keterbatasan
anak-anak dalam kehidupan sehari-hari mereka banyak mengalami kesulitan apalagi
yang termasuk kategori berat dan sangat berat; pemeliharaan kehidupan
sehari-harinya sangat memerlukan bimbingan. Karena itulah sekolah diharapkan sekali
dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam melatih dan membiasakan anak
didik untuk merawat dirinya sendiri. Masalah-masalah yang sering ditemui
diantaranya adalah; cara makan, menggosokkan gigi, memakai baju, memasang
sepatu dan lain-lain.
10) Masalah kesulitan belajar Dapat
disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berpikir mereka, tidak dapat
dipungkiri lagi bahwa mereka sudah tentu mengalami kesulitan belajar yang tentu
pula kesulitan tersebut terutama dalam bidang pengajaran akademik, sedangkan
untuk bidang studi, non akademik mereka tidak banyak mengalami kesulitan
belajar. Masalah-masalah yang sering dirasakan dalam kaitannnya dengan proses
belajar mengajar diantaranya: kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam
belajar yang baik, mencari metode yang tepat, kemampuan berpikir abstrakyang
terbatas, daya ingat yang lemah dan sebagainya.
11) Masalah penyesuaian diri Masalah
ini berkaitan dengan masalah-masalah atau kesulitan dalam hubungannya dengan
kelompok maupun individu disekitarnya. Disadari bahwa kemampuan penyesesuaian
diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan. Karena
tingkat kecerdasan anak tunagrahita jelas-jelas berada di bawah garis
rata-rata.
C. Menentukan Media Pembelajaran
Anak Berkebutuhan Khusus
Kemajuan teknologi modern
tentang komputer merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pembaharuan
dalam dunia pendidikan. Pada bidang pendidikan, pemerintah dan masyarakat umum
telah memberikan perhatian yang mendalam tentang kemajuan teknologi modern ini.
Teknologi dapat membantu mencapai sasaran dan tujuan pendidikan sehingga proses
belajar mengajar akan lebih berkesan dan bermakna (Asra, 2009). [14]Teknologi
informasi turut berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia.
Perkembangan teknologi
informasi meliputi perkembangan infrastruktur teknologi informasi,
seperti hardware,
software, teknologi penyimpanan data (storage), dan teknologi komunikasi (Laudon, 2006 dalam Noviari,
2009).
Kemajuan media komputer memberikan beberapa
kelebihan untuk kegiatan produksi audio visual. Pada tahun-tahun belakangan
komputer mendapat perhatian besar karena kemampuannya yang dapat digunakan
dalam bidang kegiatan pembelajaran. Ditambah dengan teknologi
jaringan dan internet, komputer seakan menjadi primadona dalam kegiatan
pembelajaran.
Penggunaan komputer merupakan salah satu bagian dari teknologi informasi yang
saat ini digunakan oleh para praktisi pendidikian dalam upaya menyajikan materi
pelajaran.
Komputer sebagai penyedia informasi dirasakan perlu untuk digunakan karena
dapat menyajikan informasi dengan baik (Sihombing, 2010). Media pembelajaran memberikan penekanan pada
posisi media sebagai wahana penyalur pesan atau informasi belajar untuk
mengkondisikan seseorang untuk belajar. Dengan
kata lain, pada saat kegiatan belajar berlangsung bahan belajar (learning
matterial) yang diterima siswa diperoleh melalui media (Asra, 2009).
Media pengajaran yang
sedang berkembang untuk saat ini yaitu multimedia. Penggunaan multimedia
merupakan kombinasi dari grafik, teks, suara, video, dan animasi. Objek yang
tidak dapat dilihat langsung, dapat digantikan dengan penggunaan multimedia
yang berupa penayangan teks, grafik, suara, video, dan animasi. Multimedia mengandung unsur komputer. Multimedia memberikan kesempatan
untuk belajar tidak hanya dari satu sumber belajar seperti guru, tetapi
memberikan kesempatan kepada subjek mengembangkan kognitif dengan lebih baik,
kreatif dan inovatif. Hal ini salah satunya karena informasi disajikan dalam
dua atau lebih bentuk seperti dalam bentuk gambar dan kata-kata (Saguni, 2006).
Media pembelajaran dapat
digunakan untuk meningkatkan pengalaman belajar ke arah yang lebih konkret.
Multimedia sebagai gabungan berbagai jenis media mampu menciptakan suasana
belajar yang begitu menarik dan menyenangkan sehingga akan memberikan motivasi
belajar yang lebih tinggi dalam diri seswa. Multimedia memberikan kesempatan kepada
siswa untuk belajar tidak hanya dari guru, tetapi memberikan kesempatan siswa
untuk mengembangkan kognitif dengan lebih baik, kreatif dan inofatif. Hal ini
salah satunya karena informasi disajikan dalam dua atau lebih bentuk seperti
gambar dan kata-kata (Puspita, 2008).
Media animasi yang
merupakan kumpulan gambar yang diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan
gerakan dan dilengkapi dengan audio sehingga berkesan hidup serta menyimpan
pesan-pesan pembelajaran. Kehadiran media animasi dalam pembelajaran Biologi
sangat mendukung proses penyampaian berbagai informasi dari guru ke siswa.
Proses-proses biologi yang kompleks dapat dengan mudah dijelaskan kepada siswa,
seperti proses fotosintesis, respirasi aerob, dan berbagai proses dalam sistem
organ manusia.
Pada proses belajar
mengajar, siswa sering dihadapkan pada materi yang abstrak dan diluar
pengalaman sehari-hari sehingga matri pelajaran sulit diterima dan dipahami
oleh siswa. Keistimewaan yang dimiliki oleh animasi intinya untuk
memvisualisasikan konsep abstrak yang sulit dipraktekkan dikelas (Sihombing,
2010). Media pembelajaran merupakan segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan atau isi pembelajaran,
dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemampuan siswa sehingga dapat
mendorong proses pembelajaran. Pembuatan media harus disesuaikan dengan
kebutuhan anak dan sesuai dengan teknologi modern yang berkembang pada saat ini.[15]
Media mempunyai fungsi yang sangat
besar dalam kegiatan pembelajaran, dintaranya yaitu media pembelajaran sebagai
perantara penyampai atau menyebarkan ide, gagasan, ataupun pendapat dalam
belajar sehingga yang dikemukakan tersebut sampai pada penerima yang dituju
yaitu anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam menentukan dan memilih media tidak boleh
seenaknya saja, harus dengan adanya pertimbangan yang matang. Banyak hal yang
harus dipertimbangkan yaitu, menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai,
disesuaikan dengan karakteristik siswa, dapat meningkatkan minat dan kemampuan
siswa, memilih waktu yang tepat, ketersediaan bahan dalam pembuatan media dan
mempunyai mutu tehnis yang baik.
Media
pembelajaran memilki banyak jenis dan masing-masing memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, oleh karena itu guru perlu memahami karakteristik media itu agar
dapat memilih media sesuai dengan tujuan pembelajaran. Model media pembelajaran
berdasarkan karakteristiknya digolongkan menjadi dua bagian yaitu, Media dua
dimensi dan media tiga dimensi. Media dua dimensi meliputi media grafis, media
bentuk papan, dan media cetak.
Media pembelajaran merupakan suatu
elemen penting yang tidak dapat terpisahkan dari proses pembelajaran secara
keseluruhan dan dapat lebih meningkatkan kualitas belajar siswa, kualitas
mengajar guru, di samping itu dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil
pembelajaran baik di sekolah umum maupun di SLB termasuk bagi anak-anak
tunagrahita. Seperti dalam pembelajaran anak-anak pada umumnya , maka
pembelajaran bagi anak tunagrahita pun, media pembelajaran dan Alat Bantu
pelajaran memegang peranan penting , hal ini dikarenakan anak tunagrahita
kurang mampu berfikir abstrak, seperti dikemukakan oleh Astati.[16]
Alat
Bantu pelajaran penting diperhatikan dalam mengajar anak tunagrahita. Hal ini
disebabkan anak tunagrahita kurang mampu berfikir abstrak, mereka membtutuhkan
hal-hal kongkrit. Agar terjadinya tanggapan tentang obyek yang dipelajari, maka
dibutuhkan alat pelajaran yang memadai. Selanjutnya diterangkan tentang karakteristik
alat Bantu pelajaran untuk anak tunagrahita antara lain: Warna. Tidak terlalu
menyolok Garis dan bentuk tidak boleh abstrak Hal yang penting adalah dalam
menciptakan atau memilih alat bantu atau media pembelajaran ini harus diingat
tentang hal-hal yang perlu ditonjolkan atau yang akan menjadi pusat / pokok pembicaraan.
Anak tunagrahita akan mengalami kesulitan apabila dihadapkan dengan obyek yang
kurang jelas tanpa tekanan tertentu. Jadi dalam memilih media pembelajaran bagi
anak tunagrahita, harus benar-benar selektif dan mengarah pada hal yang abstrak.
D.
Pembelajaran Ketrampilan Pada Anak
Tunagrahita Ringan
Anak tuna grahita adalah anak yang memiliki
kebutuhan khusus karena memiliki tingkat intelegensi yang cenderung rendah.
Karena tingkat intelegensi yang rendah tersebut anak tuna grahita kurang mampu
dalam pemenuhan kebutuhannya sendiri. Mereka memerlukan bantuan orang yang
berada disekitarnya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Anak tuna grahita
dibedakan menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1. Anak
tuna grahita ringan, yaitu anak tuna grahita yang mampu untuk diberikan pendidikan
akademik seperti anak-anak normal tapi memerlukan modifikasi dalam
pembelajarannya.
2. Anak
tuna grahita sedang, yaitu anak tuna grahita yang hanya mampu untuk dilatih
ketrampilan dan bina diri. Mereka tidak mampu diberikan pendidikan akademik
seperti anak-anak normal.
3. Anak
tuna grahita berat, yaitu anak tuna grahita yang hanya mampu untuk dirawat.
Mereka selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Dalam kesempatan ini kami hanya membahas tentang tugas guru dalam memberikan
pembelajaran pada anak tuna grahita ringan tingkat satuan SMPLB. Tugas seorang
guru bukan hanya mampu untuk memberikan pelajaran akademik pada anak didiknya
melainkan juga mampu untuk memberikan pelajaran tambahan berupa pembelajaran
ketrampilan.
Jadi seorang guru dituntut untuk kreatif dalam
pemberian pembelajaran ketrampilan pada anak didiknya khususnya untuk guru anak
berkebutuhan khusus. Seorang anak didik pastinya merasa bosan bila selalu
diberikan pelajaran akademik pada setiap pertemuan.
Pendidikan bagi anak tunagrahita bertujuan
mengembangkan potensi yang masih dimiliki secara optimal, agar mereka dapat
hidup mandiri dan dapat menyesuaikandiri dengan lingkungan di mana mereka
berada. [17]
Hasil observasi lapangan menunjukkan bahwa anak-anak
tunagrahita yang telah dan sedang mengikuti pendidikan di sekolah luar biasa,
pada umumnya belum menunjukkanperkembangan yang diharapkan. Sebagai contoh,
anak yang telah mengikuti program pendidikan selama 12 tahun dan kembali kepada
orang tuanya, ternyata masihbelum bisa mandiri, masih mengalami kesulitan dalam
memelihara diri (self care), belum mempunyai keterampilan untuk melakukan
pekerjaan sehari-hari untukkepentingan dirinya dan ketergantungan kepada orang
lain masih cukup tinggi. Maka dari itu ada kesan bahwa pendidikan yang telah
diikuti sekian lama itusepertinya tidak memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap perkembangan anak.
Keadaan seperti itu, bukan semata-mata karena
keterbelakangan mental yang dialami siswa, akan tetapi juga karena terdapat
kesenjangan antara program pendidikandi sekolah luar biasa dengan harapan orang
tua dan harapan lingkungan. Masyarakat dan orang tua mengharapkan agar anak
tunagrahita memiliki keterampilanyang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari,
sesuai dengan potensi yang dimiliki.
Sementara kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
program pendidikananak tunagrahita yang terjadi saat ini masih sangat
menekankan kepada aspek pengajaran yang bersifat akademik (semata-mata
menyampaikan bahan ajar), itupun dalam pelaksanaannya masih bersifat klasikal
dan belum memperhitungkan perbedaan hambatan belajar anak secara individual.
Padahal esensi dari pendidikananak tunagrahita ialah bahwa pendidikan lebih
bersifat individual karena perbedaan-perbedaan individu pada anak tunagrahita
sangat mencolok (Suhaeri HN& Edi Purwanto, 1996).
Sehubungan dengan itu pengetahuan dan keterampilan
para guru dalam pembelajaran anak tunagrahita perlu terus ditingkatkan. Jika melihat pendidikan tunagrahita di
Amerika, seperti yang dilaporkan oleh Lewis, Bruininks, Thurlow dan McGrew
(1988), yang meneliti dampak pendidikanyang diikuti anak tunagrahita terhadap
kehidupan mereka setelah selesai mengikuti program pendidikan di Minnesota,
menunjukkan bahwa 54% tunagrahita dapathidup mandiri. Indikator kemandirian
yang digunakan dalam penelitian Lewis ini adalah pekerjaan dan penghasilan. [18]Rata-rata
penghasilan yang dicapai olehtunagrahita dari pekerjaan itu sebesar 5,319 US
dolar/ th.
E.
Rekayasa Lingkungan untuk
Perkembangan Sosial Anak Tunagrahita (ATG)
Manusia sebagai makhluk sosial selalu memerlukan
kebersamaan dengan orang lain. Demikian pula anak tunarungu, ia tidak terlepas
dari kebutuhan tersebut. Akan tetapi karena mereka memiliki kelainan dalam segi
fisik, biasanya akan menyebabkan suatu kelainan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai pribadi yang
memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang berkarya.
Dengan penilaian tersebut, anak tunarungu merasa benar-benar kurang berharga
serta memberikan pengaruh yang benar-benar besar terhadap perkembangan fungsi
sosialnya.[19]
Dengan adanya hambatan dalam perkembangan sosial ini
mengakibatkan pula pertambahan minimnya penguasaan bahasa dan kecenderungan
menyendiri serta memiliki sifat egosentris. Faktor sosial dan budaya meliputi
pengertian yang sangat luas, yaitu lingkungan hidup di mana anak berinteraksi
yaitu interaksi antara individu-individu, dengan kelompok, keluarga, dan
masyarakat. Untuk kepentingan anak tunarungu, seluruh keluarga, guru, dan
masyarakat sekitar hendaknya berusaha mempelajari dan memahami keadaan mereka
karena hal tersebut dapat menghambat perkembangan kepribadian yang negatif pada
diri anak tunarungu. Kita harus berhati-hati jika ada pendapat bahwa
ketunarunguan mengakibatkan kelainan dalam penyesuaian diri terhadap
lingkungan. Kalaupun terjadi, hal ini bukanlah sebagai akibat dari kelainan itu
semata. Sebab, kelainan fisik hanyalah merupakan variabel dalam kelainan
psikologis. Jadi, bukanlah reaksi langsung, melainkan hanya akibat reaksi anak
dan lingkungannya tidak memahami keadaan yang ada.
F. Perilaku Sosial Anak Tunagrahita Di Lingkungan Keluarga
Kebutuhan perasaan aman sangat erat
hubungannya dengan kebutuhan akan afeksi (Sikap). Secara tidak langsung perasaan
aman akan membentuk sikap anak. Dengan perasaan aman, anak akan memiliki
pondasi yang kuat menghadapi konflik, frustasi, tuntutan dan kesulitan hidup.
Banyak cara untuk memperoleh perasaan aman baik melalui kasih sayang anak akan
bahagia. Kalau kebutuhan ini dihambat oleh penolakan, kebencian dan kurang
perhatian anak akan merasa tidak aman, cemas dan mereka akan menunjukkan sikap
yang agresif. Ini juga sering terjadi pada anak berkebutuhan khusus.
Anak adalah karunia terbesar yang diberikan
Tuhan Sang Maha Pencipta kepada kita umat manusia. Tuhan mempunyai rahasia
tersendiri sehingga ada anak yang di lahirkan normal dan ada pula yang di
lahirkan "istimewa" salah satunya adalah anak tunagrahita. Menghadapi
kenyataan memiliki anak sebagai penyandang gangguan Intelegensi atau anak
tunagrahita tidaklah mudah bagi orang tua, terutama jika dihadapi oleh orang
tua yang kurang pemahamannya terhadap semua permasalahan ketunaan tersebut,
baik itu tentang apa dan bagaimana ketunagrahitaan itu, serta penanganan yang
harus dilakukan guna mencapai keberhasilan pada tugas perkembangan anak. Dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, jawaban yang muncul berupa sederetan
karakteristik atau gejala-gejala anak tunagrahita yang salah satunya yaitu
gangguan perilaku sosial.
G.
Perkembangan Bahasa
Pada Anak Tunagrahita
Kemampuan bahasa pada anak-anak diperoleh dengan sangat
menakjubkan melalui beberapa cara. Pertama, anak dapat belajar bahasa apa saja
yang mereka dengar sehari-hari dengan cepat. Hampir semua anak pada umumnya dapat
menguasai aturan dasar bahasa kurang lebih pada usia 3 – 4 tahun (Gauri, 2007).
Kedua, bahasa apapun memiliki kalimat yang tidak terbatas, dan kalimat-kalimat
dari bahasa yang mereka dengar dan mereka ucapkan, belum pernah ia dengar
sebelumnya. Hal ini berarti anak-anak belajar bahasa tidak sekedar meniru
ucapan yang mereka dengar, anak-anak harus belajar konsep gramatikal yang
abstrak dalam menghubungkan kata-kata menjadi kalimat.[20]
Anak-anak belajar bahasa erat kaitannya dengan perkembangan
kognitif, sehingga perkembangan bahasa akan sejalan dengan perkembangan
kognitifnya. Pada kenyataanya, anak tunagrahita mengalami hambatan dalam
perkembangan kognitifnya sehingga perkembangan bahasanya juga terhambat.
Hambatan tersebut ditunjukkan dengan tidak seiramanya antara perkembangan
bahasa dengan usia kalendernya (cronolical age), tetapi lebih seirama
dengan usia mentalnya (mental age).
Anak tunagrahita yang mengalami gangguan bahasa lebih banyak
dibandingkan dengan yang mengalami gangguan bicara (Rochyadi, 2005:23). Hasil
penelitian Robert Ingall (Rochyadi, 2005) tentang kemampuan berbahasa anak
tunagrahita dengan menggunakan ITPA (Illionis Test of Psycholinguistic
Abilities), menunjukkan bahwa 1) anak tunagrahita memperoleh keterampilan
berbahasa pada dasarnya sama seperti anak normal, 2) kecepatan anak tunagrahita
dalam memperoleh keterampilan berbahasa jauh lebih rendah dari pada anak
normal, 3) kebanyakan anak tunagrahita tidak dapat mencapai keterampilan bahasa
yang sempurna, 4) perkembangan bahasa anak tunagrahita sangat terlambat
dibandingkan dengan anak normal, sekalipun pada MA yang sama, 5) anak
tunagrahita mengalami kesulitan tertentu dalam menguasai gramatikal, 6) bahasa
tunagrahita bersifat kongkrit, 7) anak tunagrahita tidak dapat dapat menggunakan
kalimat majemuk. Ia akan banyak menggunakan kalimat tunggal.[21]
McLean dan Synder (Sunardi dan Sunaryo, 2006:191) menemukan
bahwa anak tunagrahita cenderung mengalami kesulitan dalam keterampilan
berbahasa, meliputi morfologi, sintaksis, dan semantic. Dalam hal semantic
mereka cenderung kesulitan dalam menggunakan kata benda, sinonim, penggunaan
kata sifat, dan dalam pengelompokkan hubungan antara obyek dengan ruang, waktu,
kualitas, dan kuantitas. Senada dengan hal di atas, Sutjihati (Sunardi dan
Sunaryo, 2006) menjelaskan bahwa anak tunagrahita disamping dalam komunikasi
sehari-hari cenderung menggunakan kalimat tunggal, pada mereka umumnya juga
mengalami gangguan dalam artikulasi, kualitas suara, dan ritme, serta mengalami
kelambatan dalam perkembangan bicara.
Secara lebih teperinci Gauri (2007) memaparkan perkembangan
bahasa pada anak tunagrahita. Dalam penjelasannya ini Gauri Pruthi menyajikan
hasil penelitian perkembangan bahasa pada anak tunagrahita (Down syndrome).
a.
Perkembangan
Prabahasa
Perkembangan ini dimulai dari bayi baru lahir. Jika dilihat
dari masa ini maka antara bayi norma dan bayi Down syndrome hampir memiliki
perkembangan yang sama (Gauri, 2007). Hanya saja bayi normal lebih aktif dan
menunjukkan perilaku tangisan yang lebih keras/lepas.
Bellugi (Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada
populasi tunagrahita dari kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X,
mereka sangat miskin kontak mata sehingga mereka ini sulit memperoleh
pengalaman berbahasa lewat imitasi visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams
syndrome lebih banyak tertarik mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak
menghabiskan waktu dengan mengamati wajah seseorang.[22]
b.
Perkembangan
Vokal
Hasil penelitian Oller dkk (Gauri, 2007) terhadap anak-anak
Down syndrome usia 0 – 2 tahun menunjukkan bahwa perkembangan vocal (babbling)
anak-anak ini tertinggal 2 bulan dibandingkan dengan anak normal. Anak Down
syndrome usia ini juga tidak stabil dalam perkembangan babbling/merabannya
atau cenderung kurang aktif melakukannya dibanding anak- anak normal. Lynch
(Gauri, 2007) menyebutkan pula, “… selain persoalan tersebut mereka menunjukkan
keterlambatan perkembangan motoriknya serta memiliki hipotonus”.
c.
Perkembangan
Sosial dan Komunikasi
Bayi Down syndrome (0-18 bulan) memperlihatkan keterlambatan
perkembangan kontak mata, begitu pula dalam perkembangan merabannya (Berger
& Cunninghan dalam Gauri, 2007). Sejalan dengan itu Jasnow dan kawan-kawan
(Gauri, 2007) menyatakan mereka juga kurang memiliki interaksi dengan ibunya.
Pada usia satu tahun lebih mereka mulai lebih dominan menggunakan penglihatannya
dibandingkan menggunakan anggota tubuh lainnya untuk mengeksplorasi lingkungan.
Bayi Down syndrome (18 bulan) juga menunjukkan ketertarikan
dengan ibunya atau orang lain dengan kontak mata, namun mereka kesulitan
berinteraksi dengan ibunya dan mainannya dalam waktu bersamaan. Komuniksi yang
terjalin dengan ibu lebih banyak menggunakan kontak mata disbanding vokalisasi
ucapannya. Perbedaan perkembangan pola interaksi semakin terlihat jelas ketika
bayi Down syndrome memasuki usia dua tahun lebih. Perbedaan tersebut
direfleksikan dalam bentuk bermain dan komunikasi.
Mundy dan kawan-kawan (Gauri, 2007) melakukan penelitian
yang komprehensif tentang komunikasi social terhadap kelompok anak-anak Down
syndrome usia 2-3 tahun. Anak-anak tersebut dibandingkan dengan anak-anak
normal dengan usia yang sama. Hasilnya anak-anak Down syndrome menunjukkan
perilaku interaksi social yang lebih banyak dibandingkan dengan anak pada
umumnya. Tapi anak Down syndrome lebih sedikit berkata-kata dan tidak mampu
mengungkapkan apa yang dimintanya melalui ucapan dibanding dengan anak pada
umumnya.
Anak-anak Down syndrome juga lebih focus kepada orang-orang
disekitar dari pada objek bendanya ketika menginginkan sesuatu. Kondisi
tersebut merefeksikan keterlabatan perkembangan bahasanya. Mereka lebih suka
menarik tangan, menujuk, atau melakukan gesture tertentu kepada orang sekitar
ketika menginginkan sesuatu dari pada meminta objek dengan ucapan. Bellugi
(Gauri, 2007) meneliti perkembangan pra bahasa pada populasi tunagrahita dari
kelompok syndrome yang lain, misalnya frgile X, mereka sangat miskin kontak
mata sehingga mereka ini sulit memperoleh pengalaman berbahasa lewat imitasi
visual. Sedangkan, itu anak-anak Williams syndrome lebih banyak tertarik
mengamati wajah dan sepanjang hari lebih banyak menghabiskan waktu dengan
mengamati wajah seseorang. Anak-anak Down syndrome ini semakin bertambah usia
maka ia semakin bertambah ramah (friendly) kepada orang-orang
disekitarnya.[23]
d.
Perkembangan
Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang lebih
menekan pada perkembangan pemahaman makna kata dan makna kata dalam satu
kelompok/kalimat. Perkembangan bahasa anak-anak normal mulai menunjukkan
perkembangan yang sangat pesat ketika mereka mulai berusia satu tahun.
Perkembangan bahasanya terlihat pada perbendaharaaan kata yang dimilikinya.
Semakin berkembang ketika usia 36 bulan, mereka menguasai lebih dari 500 kata
dan mereka memahami kata-kata tersebut (Fenson, 1994 dalam Gauri, 2007).
Perkembangan perbendaharaan kata pada anak Down syndrome
ternyata sebanding dengan usia mentalnya, bahkan ada yang benar-benar
tertinggal dikarenakan adanya hambatan ganda, yaitu gangguan bicara (Miller et
al., 1994 dalam Gauri, 2007).
Penelitian terakhir tentang penggunaan kata benda (kaitannya
dalam masalah semantic) pada anak Down syndrome ternyata mereka ini lebih
menggunakan kata dasarnya atau pada tingkat dasar (misalnya mobil, kuda) tidak
mencapai tingkat subordinatnya (contoh Mercedes, zebra) atau tingkat
superordinat (misalnya, kendaraan, hewan). Semua objek dipilih karena kelompok
dasarnya misalnya anak tidak mempertimbangkan mobil sedan, truk, atau bis,
semua itu akan dilabel sebagai mobil. Anak kesulitan jika harus melabel hingga
subordinat dan superordinat. Begitu pula dengan kuda, maka anak tidak akan
mempertimbangkan kuda zebra, kuda stallion dll. Mereka hanya akan melabel pada
tingkat dasar, yaitu kuda.[24]
Penelitian lain yang mendukung Mervisn dan Bertrand (Gauri,
2007) yang memperjelas bahwa anak-anak Down syndrome lebih memahami objek secara
keseluruhan, tidak memahami dari atributnya atau bagian-bagian dari objek itu.
e.
Perkembangan
Fonologis (Bunyi Bahasa)
Sejalan dengan peroleh makna kata , mereka juga belajar
bagaimana mengartikulasikannya (mengucapkannya) sesuai dengan aturan bahasa yang
berlaku. Hampir semua perkembangan fonologis semakin sempurna ketika anak-anak
mulai masuk sekolah. Namun, mereka terkadang harus berhadapan dengan
kesalahan-kesalahan pengucapan.
Anak-anak tunagrahita cenderung memperlihatkan adanya
gangguan artikulasi. Anak-anak Down syndrome menunjukkan kesulitan pada aspek
fonologis yang dapat berkaitan dengan keterlabatan perkembangan merabannya dan
bisa juga diakibatkan keterlabatan perkembangan bahasanya secara umum. Penelitian
Dodd (Gauri, 2007) membandingkan kesalahan fonologi pada anak-anak Down
syndrome berat dengan anak tunagrahita ringan, dan anak-anak normal, mereka itu
memiliki usia mental yang sama. Hasilnya, anak-anak Down syndrome lebih banyak
memiliki kesalahan fonologis dan memiliki berbagai variasi kesalahan yang
sangat berbeda dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, serta anak-anak Down
syndrome perkembangan fonologi jauh tertinggal secara signifikan dari level
kognitifmya.
f.
Perkembangan
Tata Bahasa Awal
Setelah kemampuan melabel/member nama suatu objek dikuasai,
kemudian anak-anak biasanya mencoba mengkombinasikan kata-kata yang sudah
dipahami dirangkai menjadi dua-tiga kata sehingga membentuk ucapan/perkataan
sederhana yang juga disebut ucapan telegrafik. Secara beratahap kemampuan
anak-anak dalam membuat kalimat semakin bertambah panjang, seiirng dengan
bertambahnya pemahaman makna kata dan elemen-elemen gramatikal. pertumbuhan
seperti itu dapat diukur dengan Mean Length Utterances (MLU) (Brown, 1973 dalam
Gauri, 2007).[25]
Perkembangan tata bahasa awal juga ditemukan pada anak-anak
tunagrahita. Tapi perkembangannya terlambat dibandingkan dengan anak-anak pada
umumnya. Berbegai penelitian telah dilakukan untuk mengkaji masalah tersebut
terhadap anak-anak Down syndrome. Hasilnya jika diukur dengan MLU maka pada
mereka itu akan ditemukan penyebaran perubahan rata-ratanya sangat bervariasi.
Contoh, hasil penelitian terhadap anak perempuan Down
syndrome yang belum menunjukkan kemampuan menyusun ucapan yang terdiri dari dua
kata, sedangkan usianya 4 tahun. Namun rata-rata MLU nya sama dengan anak-anak
normal ketika ia usia 5 tahun 6 bulan. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa
ditemukan bahwa pada anak-anak Down syndrome mampu merangkai dua kata menjadi
ungkapan yang bermakna terjadi pada usia enam tahun. Tentunya hal itu
tertinngal banyak oleh anak-anak normal (Tager, 1990 dalam Gauri, 2007).
g.
Perkembangan
Pragmatik
Selain, fonologi, kosa kata dan tata bahasa, anak-anak juga
harus belajar menggunakan bahasa secara efektif sesuai dengan konteks
sosialnya. Dalam percakapan normal partisipan harus saling berbagi
giliran, berada ada dalam topic pembicaraan yang sama, pernyataan dari pesan
yang disampaikan harus jelas dan sesuai aturan budayanya sehingga mendukung
setiap individu dalam percakapan tersebut.[26]
Dalam penelitian terhadap perkembangan pada anak-anak normal
yang menyelidiki beberapa aspek perkembangan pragmatic, di dalam tersusun atas
perkembangan perilaku bicara, kompetensi percakapan, dan sensitifitas terhadap
kebutuhan pendengar. Perkembangan perilaku bicara tersusun atas perilaku ketika
meminta, perintah, mengeluh, menolak, interaksi, dll; kompetensi percakapan
terdiri dari mampu mengelola topic percakapan dalam waktu yang lama, saling
bergiliran bicara, dan mampu menambahkan informasi baru sesuai dengan topik
yang sedang berlangsung; sensitive terhadap kebutuhan pendengar/lawan bicara
dengan cara merespon dengan tepat terhadap apa yang diminta.
1)
Perkembangan
Perilaku Bicara
Sangat kontras sekali anatar kemampuan sintaksis dan
kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome ini. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kemampuan pragmatis anak-anak Down syndrome, setelah diukur melalui MLU,
ternyata sama dengan anak-anak normal, yaitu berada pada rentang 1,7 hingga
2,0. Namun secara fungsional tetap tertinggal dibandingkan dengan anak
normal meskipun dengan usia mental yang sama. Dari aspek functional lainnya
ketika meminta, anak-anak Down syndrome lebih banyak menggunakan satu kata.
Begitu pula dengan yang lainnya.[27]
2)
Kompetensi
Percakapan
Anak-anak pada umumnya mampu berbagi giliran untuk
bercakap-cakap sebab mereka sejak awal perkembangan bahasa sudah memiliki
pengalaman belajar berintekasi bahasa dengan ibunya. Berbeda dengan anak-anak
Down syndrome mereka sedikit mengambil pengalaman berbahasa sejak awal sehingga
kesulitan untuk kesulitan untuk berbagi giliran bicara, kesulitan melakukan
percakapan sesuai topic, sering beralih topic pembicaraan bukan menambah
informasi untuk memperkuat topic perbincangan.
3)
Sensitifitas
Terhadap Kebutuhan Pendengar
Lawan bicara terkadang membutuhkan informasi tambahan,
meminta pengulangan ucapan/pembicaraan, atau minta penjelasan. Jika itu bisa
dipahami maka perbincangan akan semakin menarik. Hanya saja itu sulit bagi
anak-anak Down syndrome. Mereka lebih focus pada perbincangannya sendiri. Namun
demikian, penelitian pada anak-anak Down syndrome usia 10 tahun ke atas, mereka
lebih mampu melakukan itu walau pun sebatas mengulang pembicaraan.
Berdasarkan perkembangan bahasa di atas maka kemampuan
bahasa anak tunagrahita cukup rendah. Masalah kemampuan bahasa yang rendah pada
anak tunagrahita mengisyaratkan bahwa pendidikan yang diberikan kepada mereka
seyogianya dirancang sebaik mungkin dengan menghindari penggunaan bahasa yang
kompleks (rumit). “Bahasa yang digunakan hendaknya berbentuk kalimat tunggal
yang pendek, gunakan media atau alat peraga untuk mengkongkritkan konsep-konsep
abstrak agar ia memahaminya.” (Rochyadi, 2005:24).
Perbedaan Tuna Grahita dan Autis
Hati-hati
memberikan layanan pendidikan terhadap anak-anak yang sulit berkomunikasi.
Keliru pendekatan dan terapi sangat berisiko menghambat perkembangan
intelegensia anak.
Selama ini,
anak yang sulit berkomunikasi dan menahan emosi cenderung dicap tunagrahita. Itu karena kurangnya pemahaman utuh
tentang apa yang disebut anak-anak berkebutuhan khusus.
“Bisa jadi, anak yang bergejala demikian tergolong autisme.
Antara autisme dan tunagrahita terdapat perbedaan mendasar sehingga perlakuan
yang diberikan pun harus berbeda,” ujar Mudjito, Direktur Pendidikan Luar Biasa
Depdiknas di sela-sela seminar “Memahami dan Mencari Solusi Kesulitan Belajar
pada Anak Autisme” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (26/2). Menurut Mudjito, autisme
ialah anak yang mengalami gangguan berkomunikasi dan berinteraksi sosial serta
mengalami gangguan sensoris, pola bermain, dan emosi. Penyebabnya karena
antarjaringan dan fungsi otak tidak sinkron. Ada yang maju pesat, sedangkan
yang lainnya biasa-biasa saja. Survei menunjukkan, anak-anak autisme lahir dari
ibu-ibu kalangan ekonomi menengah ke atas. Ketika dikandung, asupan gizi ke
ibunya tak seimbang.[28]
Adapun tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dan
keterbelakangan mental, jauh di bawah rata- rata. Gejalanya tak hanya sulit
berkomunikasi, tetapi juga sulit mengerjakan tugas-tugas akademik. Ini karena
perkembangan otak dan fungsi sarafnya tidak sempurna. Anak-anak seperti ini
lahir dari ibu kalangan menengah ke bawah. Ketika dikandung, asupan gizi dan
zat antibodi ke ibunya tidak mencukupi. “Sepintas, anak-anak autis dan
tunagrahita memang sama-sama sulit berkomunikasi. Tetapi, dalam
perkembangannya, pada situasi tertentu anak-anak autis bisa lebih cerdas
membahasakan sesuatu, melebihi anak-anak normal seusianya,” tambah Mudjito.
Dalam seminar yang menampilkan drg Sri Utami Soedarsono
(Direktur Pelita Hati, Pusat Pendidikan untuk Anak Berkebutuhan Khusus) serta
Ery Soekresno Psi (konsultan anak berkebutuhan khusus) tersebut, terungkap
bahwa istilah autisme berasal dari kata autos yang berarti diri sendiri dan
isme yang berarti aliran. Autisme berarti suatu paham yang tertarik hanya pada
dunianya sendiri.
Penyebab autis sangat kompleks, tak lepas dari faktor
genetika dan lingkungan sosial. Awal Februari lalu, para ilmuwan yang bertemu
pada “Autism Summit” di California, Amerika Serikat (AS), sepakat bahwa gejala
autisme disebabkan oleh interaksi sejumlah gen dengan faktor-faktor lingkungan
yang belum teridentifikasi.[29]
Mengutip International Herald Tribune (10/2), Mudjito
menguraikan, ditemukan sedikitnya dua indikasi autisme pada bayi baru lahir. Pertama,
zat putih pada otak-yang berisi serat-serat penghubung neuron di wilayah
terpisah dalam otak-berkembang hingga 9 bulan, kemudian berhenti. Pada usia 2
tahun, zat putih ini ditemui secara berlebihan di lobes bagin depan,
cerebellum, dan wilayah asosiasi di mana terjadi pemrosesan tingkat tinggi.
Kedua, lingkaran kepala bayi baru lahir lebih kecil daripada
rata-rata lingkaran kepala bayi baru lahir pada umumnya. Pada usia 1-2 bulan,
tiba-tiba otaknya tumbuh dengan pesat. Hal serupa terjadi pada usia 6 bulan-2
tahun. Pertumbuhan ini lalu menurun pada usia 2-4 tahun. Ukuran otak anak autis
berusia 5 tahun lebih kurang sama dengan ukuran otak anak normal berusia 13
tahun.
Beberapa teori lain juga mengungkapkan, autisme juga dapat
disebabkan oleh virus seperti rubella, toxo, herpes, jamur, nutrisi buruk,
perdarahan, dan keracunan makanan saat hamil. Hal itu menghambat pertumbuhan
sel otak pada bayi sehingga fungsi otak pada bayi yang dikandung terganggu,
terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan interaksi. Terkait dengan nutrisi,
Mudjito menunjuk pola hidup pada masyarakat kota turut mendukung potensi
lahirnya anak autis. Misalnya, mengonsumsi makanan dan minuman tanpa
pengendalian mutu, termasuk makanan cepat saji. Bisa juga karena sayur dan buah
yang dikonsumsi mengandung zat pestisida.
Tak pelak, prevalensi (peluang terjadinya) autisme sangat
pesat. Tahun 1980-an, di AS, dari hanya 4-5 anak yang autis per 10.000
kelahiran naik menjadi 15-20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun
2000-an, sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Belum ada data tentang
prevalensi autisme di Indonesia. Namun, mengingat pola hidup kurang sehat di
negara maju pun sudah merambah masyarakat kota-kota besar di Indonesia,
fenomenanya diyakini mirip AS. “Di sekolah- sekolah luar yang berada di kota
besar, tidak sulit menemukan anak autis. Di pedalaman, hampir tidak ditemukan,”
papar Mudjito.
Ia menghargai maraknya inisiatif lembaga sosial di tiap kota
yang membuka layanan pendidikan khusus bagi autisme. Apalagi pola pendekatannya
cenderung menyeluruh, termasuk aspek medis. Hanyalah satu dari delapan jenis
kelainan gejala khusus yang menjadi sasaran layanan pendidikan khusus, yang
kini dikembangkan pemerintah dan masyarakat. Jenis-jenis kelainan lainnya
mencakup tunanetra (gangguan penglihatan), tunadaksa (kelainan pada alat
gerak/tulang, sendi, dan otot), tunagrahita (keterbelakangan mental), dan
tunalaras (bertingkah laku aneh).
Badan Pusat Statistik mencatat, saat ini sekitar 1,5 juta
anak di Indonesia yang mengalami kelainan seperti itu. Namun, karena
terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 50.000 anak yang
mengenyam pendidikan. Sesuai Deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan
Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak
lainnya.[30]
Oleh karena itu, pemerintah menggalakkan model pendidikan
inklusi, di mana sekolah umum bisa memberikan layanan pendidikan terhadap anak
berkebutuhan khusus, terpadu dengan siswa pada umumnya. Sayangnya, pengadaan
guru khusus untuk pendidikan layanan khusus masih sulit dipenuhi. Tahun ini,
dari 75.000 kuota pengangkatan pegawai negeri sipil untuk guru, hanya 500 guru
sekualifikasi itu yang terangkat. Padahal, secara nasional masih dibutuhkan
1.500. Jika secara totalitas anak berkebutuhan khusus saja sulit terlayani,
apalagi anak autis, yang selama ini cenderung dicap tunagrahita. (nasrullah
nara) sumber: kompas.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan ialah salah satu hal penting
bagi manusia. Betuk pendidikan bisa secara akademik atau non akademik.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan mutu pendidikan di
Indonesia tercinta ini. Mulai dari Program Wajar (wajib belajar) Sembilan Tahun
sampai Wajar Dua Belas Tahun. Pembagian beasiswa dalam dan luar negeri pun
termasuk dalam salah satu program pemerintah. Adanya UU tentang pendidikan
memberikan garis tebal bahwa pendidikan harus dilaksanakan secara merata dan
tanpa pengecualian.
Pembelajaran adalah suatu aktivitas yang secara
sengaja dilakukan untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk
tercapainya suatu tujuan pembelajaran. Dalam pembelajaran, kondisi atau situasi
yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dipertimbangkan
terlebih dahulu oleh perancang atau guru. Tugas guru bukan menyuapi anak dengan
materi tetapi guru sebagai fasilitator, yang anatara lain tugasnya menciptakan
kondisi yang memungkinkan siswa giat belajar.
Salah satu mata pelajaran yang dikembangkan dalam
kurikulum anak tunagrahita ringan jenjang pendidikan dasar adalah mata
pelajaran sains. Sains merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang wajib
diberikan pada siswa tunagrahita ringan di sekolah. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Depdiknas (Nunik, 2007:41) yang menyatakan bahwa pembelajaran sains bagi siswa
tunagrahita ringan bertujuan agar siswa memahami konsep-konsep sains, mempunyai
sikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan
sehari-hari sehingga lebih menyadari kebesaran dan kekuasaan pencipta-nya.
DAFTAR
PUSTAKA
Ashman,
Andrian & Elkins, John., “Educating
Children With Special Needs” Australia: Sidney Printice, 1994.
Depdikbud.,
“Pendidikan Luar Biasa” Jakarta:
Depdikbud, 1997.
Halahan,
F. Kauffman, “Konsep Pendidikan
Brorientasi Kecakapan Hidup/life skillss” Jakarta: Depdiknas, 2003.
Kirk,
Samuel & Gallagher James “Education
of Exceptional Children” Boston: Houghton Mifflin company, 1989.
Moh.
Amin., “Ortopedagogi Anak Tunagrahita”, Jakarta:
Debdikbud:1996.
Dirjen
Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan
Komunikasi Anak Tunagrahita” Yogyakarta:FIP-Universitas Negeri, 2003.
Poloway,
Edward A, Patton James “Strategies for
Teaching Learners With Spesial Needs”, New York: Macmilln Publishing
Company, 1993.
Cece
Wijaya., “Pendidikan Anak Tunagrahita
Ringan”. Bandung: PT. Remaja Rosdaka, 1996.
Indria
Laksmi G., “Upaya Penanganan Anak dengan
Ganguan Pemusatan Perhatian”, Yogyakarta: PT. Kencana, 1985.
Fallen,
N.H. dan Umansky, W., “Young Children
With Special Needs”, Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company,
1985.
Ingalls,
Robert P., “Mental Retardation: The Changing Outlook”, New York: John Wiley,
1978.
McLoughlin,
J.A. dan Lewis, R.B., “Assesing Special
Students”. Ohio: Merril Publishing Company, 1986.
Mulyono
Abdurrahman., “Pendidikan bagi Anak
Berkesulitan Belajar”, Jakarta: Dirjen Dikti PPPG 1996.
Natawidjaja,
Rochman., “Penelitian Tindakan/Action
Research”, Bandung: IKIP Bandung, 1997.
Natawidjaya
dan Alimin., “Penelitian dalam Pendidikan
Luar Biasa”, Jakarta: Depdikbud,1996.
Somantri, T. Sutjihati., “Psikologi Anak Luar Biasa”, Jakarta: Dirjen Dikti PTA, 1996
Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, Bandung:PPS IKIP Bandung, 1999.
Somantri, T. Sutjihati., “Psikologi Anak Luar Biasa”, Jakarta: Dirjen Dikti PTA, 1996
Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di atas rata-rata: Tesis”, Bandung:PPS IKIP Bandung, 1999.
[1]
Ashman, Andrian & Elkins, John.,
“Educating Children With Special Needs”
(Australia: Sidney Printice, 1994) h. 76
[3]
Halahan, F. Kauffman, “Konsep Pendidikan Brorientasi Kecakapan
Hidup/life skillss” (Jakarta: Depdiknas, 2003) h.85
[4]
Kirk, Samuel & Gallagher James “Education of Exceptional Children”
(Boston: Houghton Mifflin company, 1989) h.110
[5]
Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di
atas rata-rata: Tesis”, (Bandung:PPS IKIP Bandung, 1999) h. 80
[7]
Natawidjaja, Rochman., “Penelitian Tindakan/Action Research”,
(Bandung: IKIP Bandung, 1997) h.44
[8]
Ingalls, Robert P., “Mental
Retardation: The Changing Outlook”, (New York: John Wiley, 1978) h 112
[9]Ingalls, Robert P., “Mental
Retardation: The Changing Outlook”, h 118
[12]
Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di
atas rata-rata: Tesis”, h. 80
[13]Sunardi., “Karakteristik Anak Berkesulitan Belajar yang Memiliki Intelegensi di
atas rata-rata: Tesis”, h. 89
[14]
Poloway, Edward A, Patton James “Strategies for Teaching Learners With
Spesial Needs” (New York: Macmilln Publishing Company, 1993) h.92
[19]
Mulyono Abdurrahman., “Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar”,
(Jakarta: Dirjen Dikti PPPG 1996) h. 54
[20]Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita”
(Yogyakarta:FIP-Universitas Negeri, 2003) h.65
[21]Dirjen Dikti Mumpuniarti, dkk., “Pengembangan Komunikasi Anak Tunagrahita”,
h.69
[24]
Kirk, Samuel & Gallagher James “Education of Exceptional Children”
(Boston: Houghton Mifflin company, 1989) h.88
[25]Fallen, N.H. dan Umansky, W., “Young Children With Special Needs”,
(Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company, 1985). H 90
[26]
Fallen, N.H. dan Umansky, W., “Young Children With Special Needs”,
(Columbus-Ohio: Charles E Merrill Publishing Company, 1985). H 140
[28]
McLoughlin, J.A. dan Lewis, R.B., “Assesing Special Students”. (Ohio:
Merril Publishing Company, 1986) h. 33
[29]
Natawidjaya dan Alimin., “Penelitian dalam Pendidikan Luar Biasa”,
(Jakarta: Depdikbud, 1996) h.89
[30]Ingalls, Robert P., “Mental
Retardation: The Changing Outlook”, h 112
EmoticonEmoticon